Anda di halaman 1dari 33

99

BAB 4
LANDASAN HISTORIS
Sejarah proses perkembangan pendidikan sejak dulu sampai sekarang merupakan
pelajaran berharga bagi pendidik dan pengembanga kurikulum, sebab menurut Ornstein
dan Hunkins (2013:55), sejarah kurikulum memberikan pengetahuan berharga kepada
pendidik dan pengembang kurilulum masa kini. Sejalan dengan iu, John Dewey (1916)
menyebut pengetahuan masa lalu adalah kunci keberhasilan pemahaman masa kini
(Ornstein&Levine,1985:74). Artinya, prestasi pendidikan hari ini adalah hasil kurikulum
masa lalu. Dengan demikian, sejarah kurikulum meberikan pelajaran berharga kepada
pendidik dan pengembang kurikulum hari dan dan masa depan, sehingga landasan
historis merupakan salah satu landasan kurikulum.
Landasan historis kurikulum membicarakan proses bagaimana program
pendidikan masa lalu tumbuh sampai saat ini dan masih berpengaruh pada kurikulum
sekarang dan masa depan. Jika pendidikan harus tumbuh dari posisinya yang konservatif
menuju perbaikan mengikuti tuntutan zaman, pendidik perlu terus menerus mengevaluasi
landasan berpikir, praktek dan prosedur pendidikan saat ini dengan memperhatikan
perkembangan pendidikan di masa lalu (Stone&Schenider,1971:224). Bab ini
merangkum sejarah singkat kurikulum sejak pra-abad ke-20, menjelang abad ke-20
sampai kurikulum abad ke-20.
Pendidikan Pra-Abad ke-20
Pendidikan, pada hakekatnya, telah ada semenjak manusia ada: pada masa pra
sejarah, orang tua mengajar anak-anak dengan tujuan yang relatif sama dengan
masyarakat saat ini yaitu untuk mewariskan atau mentransfer nilai-nilai budaya kepada
generasi muda melalui pendidikan. Pendidikan atau sekolah, menurut Wiles&Bondi
(1989:4), seringkali menjadi kenderaan bagi rekonstruksi sosial. Beberapa cuplikan
sejarah pendidikan di masa pra abad ke-20 adalah sebagai berikut.
Pendidikan sejak

masyarakat pra literasi (700-5000 SM) merupakan sejarah

panjang sampai kini, ketika sejak itu umat manusia mengembangkan keterampilan hidup
(life

skills)

seperti

mencipta,

mempertahankan

dan

mentransfer

kebudayaan.

Pengembangan kebudayaan keterampilan hidup (cultural survival skills) itu adalah tema

100
pokok pendidikan, berdasarkan kenyataan bahwa

sejak dulu sampai kini, manusia

merespon berbagai masalah dan tantangan hidup untuk menemukan cara penanggulangan
yang tepat bagi kehidupan yang baik. Tantangan hidup manusia pra-sejarah, antara lain,
keganasan alam seperti banjir dan kekeringan, binatang buas dan kelompok sosial lain
yang tidak bersahabat, dan desakan untuk memenuhi kebutuhan seperti pangan, sandang,
dan papan. Keadaan ini, menurut Butts (1955), mengharuskan manusia memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang dimulai dengan cara coba-coba menanggulanginya
yang makin lama berkembang sampai menjadi kebudayaan (Ornstein&Levine, 1985:75).
Karena muatan budaya sekelompok masyarakat yang ternyata mampu membuat
kehidupan mereka nyaman, para orang tua masyarakat itu ingin mewariskannya kepada
anak cucu mereka yang mencakup pengetahuan, keterampilan, sikap, bahasa dan muatan
kebudayaan lain. Bentuk paling awal muatan kebudayaan yang diwariskan itu ialah hasil
pembuatan alat-alat keperluan hidup (tool making), cerita-cerita rakyat dan keterampilan
berbahasa. Melalui bahasa, warga mengembangkan keterampilan berpikir abstrak yang
memungkinkan kehidupan mereka berkembang pesat sampai menjadi bagian penting
proses pendidikan yang berlangsung secara alami dari orang tua ke anak-anak
(Ornstein&Levine,1985:75). Keterampilan berpikir yang ditunjang keterampilan bahasa
merupakan modal strategis bagi perkembangan keterampilan hidup warga dan
perkembangan nilai-nilai kemanusiaan kemasyarakatan.
Pendidikan Mesir dan Cina Kuno. Dari tahun 4000-3000 S.M., peradaban Mesir
ditopang tiga hal utama: penggunaan metal, sistem tulisan, dan pemerintahan terorganisir
(Johnson,1968:8). Hampir seperdua dari 6000 tahun sejarah Mesir, pendidikan lebih
fokus pada praktek dari pada pengembangan berpikir kognitif abstrak, sedangkan aspek
afektif diajarkan melalui institusi agama dan keluarga. Kemudian timbul pendidikan bagi
anak laki-laki yang diajar bapaknya. Hal ini memungkinkan berkembangnya program
pendidikan yang lebih berorientasi vokasional dengan sistem magang yang diperkuat
latihan di rumah. Fokus utamanya ialah pada pengajaran menulis hieroglyph yang
didorong pemerintahan berbasis dokumen oleh kelas penguasa konservatif sebagai
otoritas pendidikan tinggi.

Secara tradisional, tekanan terutama diletakkan pada

pengajaran matematika praktis, astronomi, kedokteran, teknik dan geografi yang


berakibat pada kemajuan arsitektur Mesir kuno.

101
Diperkirakan keruntuhan peradaban Mesir kuno disebabkan kekurangan
kesusteraan, pola pikir filosofis dan penelitian ilmiah yang berhubungan dengan
pengetahuan abstrak (Schubert, 1986:55). Gambaran kebudayaan tersebut belum terkait
sekolah dan kurikulum seperti dikenal hari ini. Walaupun begitu, menurut

Johnson

(1968:8), tersirat ada upaya untuk mentransfer kebudayaan melalui pemberian


pengalaman belajar kepada anak-anak tentang kehidupan mereka tiap hari.
Situasi berbeda ditemukan di Cina yang didominasi dua orientasi pendidikan:
pertama ide Lao-Tse (abad ke-6 SM), dan kedua Confucius (abad ke-5 S.M). Pendidikan,
menurut Lao-Tse, merupakan buah kontemplasi sebagai landasan pokok perkembangan
pikiran dan prestasi yang bermanfaat dan penting bagi kehidupan manusia. Sedangkan
pendidikan, menurut Confucius, harus berorientasi kepentingan masyarakat dari pada
kepentingan pribadi,

sehingga pendidikan dipandang sebagai proses

yang

mengembangkan masyarakat dan institusinya (Schubert, 1986:57).


Pendiddikan Yunani Kuno. Sistem pendidikan dunia moderen berasal dari sistem
pendidikan Yunani kuno (1600-300 S.M). Agar pendidikan berhasil bagi anak dan negara,
pendidikan harus fokus pada pembentukan jasmani dan rohani berdasarkan prinsip
moderasi dan keseimbangan (Schubert, 1986:57). Di antara sistem pendidikan yang
terkenal di Yunani ialah pendidikan di kota Sparta dan Athena selama abad ke-7 dan ke-8
S.M. Sekolah di Junani saat itu didisain bagi kepentingan publik. Di Sparta, setelah
pendidikan pendahuluan di rumah tangga bagi anak berumur 7-20 tahun, laki-laki dan
perempuan dilatih pendidikan jasmani untuk menjadi tentara sampai mereka menjadi
warga kota pada umur 30 tahun. Fokus pendidkan ialah pada latihan pendidikna jasmani
melalui latihan kemiliteran gimnastik. Pendidikan moral dan politik diajarkan dengan
menghafal undang-undang. Sistem pendidikan Sparta tersebut menghasilkan anak
berketerampilan militer yang kuat dan politisi andal (Johnson,1968:9).
Sedangkan di Athena, pendidikan fokus pada persiapan anak menjadi warga
negara demokratik. Anak-anak dididik di rumah sampai berumur tujuh tahun sebagai
tempat pendidkan formal pertama kali diberikan kepada mereka. Anak perempuan tinggal
di rumah di bawah asuhan ibu untuk menerima pendidikan moral dan pengembangan
fisik agar bisa melahirkan anak-anak sehat ketika dewasa (Johnson,1968:9). Sedangkan
anak laki-laki dikirim ke sekolah swasta sampai berumur 16 tahun.

102
Pembelajaran individual merupakan karakteristik pendidikan Athena melalui
pelajaran musik, sastra dan pendidikan jasmani. Pada umur 16 tahun, anak laki-laki
belajar di sekolah gimnasium dan sekolah kota dengan mata pelajaran pokok pendidikan
jasmani. Anak-anak berumur 8-16 tahun mempelajari berbagai ragam mata pelajaran
termasuk tata bahasa, sastra, puisi, retorika, drama, matematika dan pidato. Sekolah
Athena menghasilkan filosof terkenal dan guru-guru seperti Socrates, Plato dan Aristotle.
Tulisan kedua orang terebut terakhir memberikan pemahaman yang mendasar tentang
filsafat pendidikan di Athena (Stone&Scheneider,1971: 227).
Pertengahan abad ke-15 S.M, timbul perubahan ekonomi Yunani yaitu munculnya
kelas pedagang yang memerlukan tipe baru pendidik, terutama di Athena yaitu a Sophist.
Kelompok pendidik tutorial privat ini mengembangkan berbagai ragam metode mengajar
bagi kelas pedagang dan kelas sosial di Athena dan di beberapa negara kota di Yunani.
Mereka membutuhkan kemampuan intelektual dan keterampilan retorika. Kaum sofis
menyatakan kesanggupan mereka mengajar mata pelajaran atau keterampilan apa saja
kepada siapa saja yang ingin belajar. Keahlian mereka adalah tatabahasa, logika dan
retorika yang kemudian berkembang menjadi liberal arts. Pada dasarnya, mereka fokus
pada pengembangan keterampilan komunikasi supaya siswa mereka berhasil menjadi
advokat dan legislator yang sukses, sebab keterampilan komunikasi membuka jalan
menuju kekuasaan (Ornsein&Levine,1985:79).
Setelah 479 S.M dan akhir Perang Prusia, pendidikan Yinani tumbuh pesat. Mata
pelajaran membaca, menulis, dan bercakap-cakap dikembangkan sampai diajarkan
kepada anak-anak berumur 7-13 tahun. Para sophist menciptakan mata pelajaran formal
seperti Tata Bahasa, Retorika, dan Logika. Kurikulum bagi anak berumur 13-16 tahun
diperluas dengan memasukkan geometri, menggambar, musik, tata bahasa dan retorika.
Pendidikan yang lebih tinggi bagi anak-anak berumur 16 tahun ke atas fokus pada mata
pelajaran retorika dan filsafat. Di Aleksandria, matematika dan sains masuk kurikulum
perguruan tinggi. Sekolah waktu itu cenderung menuju spesialisasi yang memecah
filsafat menjadi astronomi, geografi dan matematika (Johnson,1968:10-11).
Cukup banyak filosof Yunani kuno berkontribusi pada pemikiran pendidikan.
Aristipus (435-355 SM) mengutamakan hedonisme sebagai tujuan hidup dan sasaran
pendidikan. Sebaliknya, Epicurus (341-270 SM) menginginkan kesederhanaan, penge-

103
kangan nafsu dan moderasi, dan Zeno dari Citium (340-265 SM) menekankan kehidupan
sederhana (stoic life)

dan pengekangan nafsu kemewahan dan kepemilikan materi

sebagai tujuan pendidikan. Selain itu dan banyak yang lain lagi, kontributor terbesar bagi
pemikiran pendidikan ialah Socrates, Plato dan Aristoteles (Schubert,1986:56).
Socrates (470-399? SM) terkenal dengan socratic method of questioning, metode
bertanya dan diskusi yang memicu inkuiri diikuti

pengutamaan kebaikan (virtues).

Metode bertanya Socrates itu dianggap suatu teknik pedagogik ampuh oleh banyak guru
sampai kini (Zais,1976:132). Dia adalah seorang yang bermartabat, bijaksana, dan adil.
Dia hidup semasa kaum Sophists yang menginginkan kelancaran berbahasa dalam
membicarakan masalah praktis. Ia juga dikenal menjagokan moral dan standar etika
tinggi dan ini berpengaruh besar pada murid-muridnya agar mengutamakan universitalitas moral pada pengembangan pengetahuan, kemampuan berpikir dan menganalisis
pengalaman yang terdapat dalam Dialogues of Plato (Johnson,1968:10).
Plato (428-328 SM), murid Socrates paling terkenal, mengembangkan formulasi
klasik prinsip filsafat idealisme, filsafat tradisional dan tertua. Menurut idealisme,
berpikir dan belajar merupakan nama dari proses pemunculan ide-ide ke permukaaan.
Pembelajaran dipandang Plato sebagai proses penemuan atau pengumpulan kembali
pengetahuan tersembunyi (latent knowledge) dalam bentuk yang sebenarnya. Karena
pengetahuan yang sebenarnya itu (true knowldege) bersifat inteletual dan realitas,
pengetahuan hanya bisa diungkap secara intelektual, dan karena itu, pendidikan harus
bersifat intelektual pula (Ornstein&Levine,1985:82).,
Ada tiga cara, menurut Plato, untuk memunculkan ide-ide laten ke permukaan
sampai ide-ide itu manjadi pengetahuan: (1) mengingat melalui stimulasi sensori yang
bukan suatu cara yang andal: (2) mengajukan pertanyaan tingkat tinggi (probing
questions) kepada siswa oleh guru yaitu melalui metode bertanya Socrates, suatu teknik
pedagogis terbaik menurut banyak pendidik; tetapi teknik ini tidak efektif sebagai
generator ilmu-ilmu baru; dan (3) melalui kontemplasi yang menembus alam bawah
sadar manusia untuk mengingat pengetahuan yang belum pernah diketahui sebelumnya
sehingga memerlukan suatu pikiran bebas (liberated mind). Untuk menghasilkan pikiran
liberal, keadaan yang kondusif bagi kontemplasi merupakan tujuan pokok Platos
Preparatory Curriculum (Zais,1976:132).

104
Kurikulum Plato,

dalam Platos Republic, adalah suatu proses yang sangat

panjang, mulai sejak anak berumur 6-18 tahun bagi anak laki dan perempuan
(Schubert,1986:56). Kurikulum Plato Quadrivium

terdiri atas empat bidang studi:

aritmatika, geometri, astronomi dan musik. Aritmatika harus dipelajari dalam bentuknya
yang paling abstrak untuk melatih berpikir jernih agar anak bisa memahami hakekat
angka secara sempurna. Geometri dipelajari dengan alasan yang hanpir sama dengan
aritmatika. Sama halnya dengan angka murni yang tidak eksis dalam bentuk konkrit,
begitu juga dengan angka, garis, sudut dan sebagainya yang tidak ditemukan di manamana sehingga geometri bisa membantu pikiran keluar dari ketidak sempurnaan objek
yang inferior dari indera menuju ke arah pemahaman ide-ide benda yang sempurna.
Astronomi harus dipelajari untuk mengenal pola pengetahuan yang lebih tinggi dari
setiap bentuk yang sesungguhnya ada. Sedangkan musik dipelajari sebagai suatu yang
intelek sehingga pikiran memahami keharmonisan angka atau refleksi mengapa beberapa
angka serasi dan mengapa pula yang lain tidak. Ini berarti, musik dalam kurikulum Plato,
sejalan dengan mata pelajaran moderen tentang teori harmoni (Zais,1976:132-33).
Keempat bidang studi itu, menurut Plato, membentuk sains yang mempersiapkan
siswa untuk memahami knowledge of the good. Untuk menguasai pengetahuan yang baik
perlu dilakukan studi sistematis tentang dialectic atau filasafat. Jadi, Plato memandang
filsafat bukan hanya sebagai the queen of all of the sciences, tetapi juga inti kurikulum
pendidikan tinggi (Zais,1976:133).
Walau Plato yang menggagas ide pendidikan liberal, tetapi Aristotles murid Plato,
yang merinci ide itu ke pendidikan liberal seperti terdapat dalam The Politics. Menurut
Aristotle, pendidikan liberal fokus pada peningkatan kompetensi personal yang
bermanfaat bagi masyarakat. Sebab, menurut Aristotle, hasil akhir filsafat, politik dan
pendidikan adalah kebahagiaan umat manusia. Karena itu, Aristotle menginginkan agar
kurikulum bersifat umum, bukan kejuruan, yang mencakup gimnastik bagi kesehatan
jasmani, rohani dan pikiran; musik bagi pemurnian kasih sayang, minat, rasa serta
estetika dan etika; filsafat dan sains bagi pendidikan logika. Di samping itu, perlu
diperhatikan pengalaman dan kebiasaan berkarakter yang baik menuju kebahagiaan. Bagi
Plato dan Aristotle, pendidikan lebih dari sekedar penemuan kebenaran tentang sesuatu,
tetapi juga bagi pencarian bagaimana sesuatu itu seharusnya (Schubert,1986:133).

105
Pendidikan Romawi Kuno. Sama halnya dengan kebudayaannya, pendidikan di
Romawi kuno dipengaruhi pendidikan Yunani. Sementara Yunani mengembangkan
konsep kultur dan pendidikan di timur Mediteranian; Romawi mengembangkan kekuatan
politiknya di semenanjung Italia dan seluruh daerah barat Mediteranian. Tujuan
pendidikan Romawi kuno adalah pengajaran nilai-nilai moral dan kemuliaan sosial untuk
menjaga ketertiban hukum, kebiasaan dan agama (Johnson,1968:11). Dengan sistem itu,
Romawi ingin membentuk empirium besar yang mengharuskan mereka konsentrasi pada
perang dan politik. Setelah empirium itu terealisir, mereka fokus pada adminstrasi,
hukum dan diplomasi bagi pemeliharaan kekuasaan. Jika Yunani fokus pada fislsafat
spekulatif, Romawi lebih tertarik pada pendidikan bagi politisi dan tenaga administrator
andal (Ornstein&Levine,1985:87).
Beberapa periode penting peradaban Romawi berakibat pada perbedaan sistem
pendidikannya. Pada mulanya pendidikan dilakukan di rumah (700-275 SM) oleh orang
tua. Selama periode 275-130 S.M, kurikulum berbasis model filsafat Yunani, sastra dan
retorika, diberlakukan. Kemudian, sistem pendidikan Romawi yang lebih berorientasi
Latin, menghasilkan Sekolah Gramar Latin yang manjadi cekal bakal model pendidikan
Barat. Sekolah gramar itu menghasilkan orator yang pada waktu itu merupakan simbol
keberhasilan warga Romawi (Ornstein&Levine,1985:58). Sistem pendidikan format
Romawi dimulai di Sekolah Dasar semacam play school bagi anak umur 6-12 tahun
yang mengajarkan membaca, menulis, aritmatika dan moral. Sekolah Dasar dilanjutkan
dengan sekolah menengah atau sekolah gramar dengan mata pelajaran bahasa Latin, dan
bahasa Yunani, di samping berbicara, sejarah, geografi, mitologi, dan etika. Siswa di atas
16 tahun dipersiapkan menjadi ahli hukum atau administrator publik melalui sekolah
retorika untuk mempelajari gramar, retorika, logika dan sastra. Menurut Johnson (1968:
11), bangsa Romawi kemudian mengembangkan kurikulum The Seven Liberal Arts yang
berasal dari kurikulum Yunani kuno: Trivium (gramar, retorika dan logika) dan kurikulum
Plato Quadrivium (aritmatika, geometri, astronomi dan musik).
Revolusi merubah sistem pendidikan Romawi. Setelah

Romawi menjadi

empirium, keberhasilan orang di empirium itu ditandai kemampuannya berpidato yang


dilengkapi penguasaan sains dan pelayanan publik sehingga pendidikan menjadi domain
pemerintah. Pada periode 300-500 S.M, kurikulum terpisah dari kehidupan. Penghafalan

106
karya sastra dan kontrol ketat terhadap siswa menjadi bagian penting missi pendidikan,
kecuali pendidikan kejuruaan (teknik) yang masih terkait kehidupan di msyarakat.
Menurut Maxwell et.al. (1963), sensor ide-ide dan pemisahan para ahli dan politisi
dianggap sebagai penyebab utama kejatuhan Romawi (Schubert,1986:58).
Beberapa pendidik utama di sejarah Roma adalah Cicero, Plutarch dan
Quintillian. Cicero (106-43 B.C)

menjagokan retorika sebagai studi pokok yang

mencakup liberal arts dan humaniora berdasarkan pengalaman hidup dan studi rinci
tentang karakter para orator yang meggerakkan kemajuan mesayarakat. Plutarch (46-120
A.D) terkenal sebagai ahli yang membangun imej tentang orang berpendidikan luas yang
muncul di era Renaisans. Sedangkan Quintillian (35-95A.D) menetapkan prinsip
pendidikan yang sejajar dengan prinsip pendidikan progresif di abad ke-20
(Schubert,1986:58).
Pendidikan Islam
Peradaban Islam, yang berasal dari Arab, menurut

Malice Ruthven (2000),

menjadi kekuatan global, kultural dan kependidikan disebabkan kemampuannya


menyerap, mereinterpretasi dan mentransfer pengetahuan dari satu kawasan ke kawasan
lain (Orstein&Levine,2008:75). Kebudayaaan Islam, lanjut kedua penulis, bersumber dari
Muhammad saw (569-632), sebagai nabi Allah yang menjadi reformer dan proselytizer
dan nabi tearkhir dan paling utama utusan Allah. Sumber utama ajaran agama Islam
tertulis dan terpelihara dengan baik dalam kitab suci al-Quran. Al Quran itu sendiri,
menurut Abdurrahman an-Nahlawi (1989:45), mulai diturunkan dengan ayat pendidikan.
Dan di dalam al-Quran itu, banyak ayat yang memerintahkan umat Islam agar mmpu
memakai akalnya (berpikir), sehingga umat bisa mempelajari berbagai gejala alam raya
hasil ciptaanNya.
Mengkaji gejala alam ditugaskan Allah kepada manuisa sebagai khalifah di muka
bumi Sebagai khalifah, menurut Zuhairini,et.al. (1992), manusia mendapat mandat dari
Allah untuk mengatur hidup dan kehidupannya serta membudayakan alam dan manusia.
Berdasarkan itu, manusia harus merefleksi dan merealisir sufat-sifat Allah. Ini berarti
manusia harus bersikap Islami dengan jalan mengikuti perintah Allah, dan al-Quran
merupakan penjabaran dari sebagian perintah tersebut (Zuhairini,et.al.,1992:110) agar
manusia dapat hidup bebahagia, baik di dunia maupun di akhirat.

107
Berdasarkan perintah Allah tersebut, sejarah mencatat cukup banyak pakar dan
pemikir Islam ikut berkontribusi pada pengembangan ilmu pengtahuan. Salah satu contoh
kemajuan ilmu pengetahuan oleh pakar Islam diilustrasikan dengan baik oleh Schubert
(1986) sebagai berikut. Pusat kebudayaan Barat abad pertengahan ialah Constantinople,
ibu kota Empirium Roma Timur, dari tahun 330-1453. Banyak sekali dokumen ilmu
pengetahuan disimpan di sana selama masa kejatuhan Roma di bawah pimpinan
Konstantin Agung (287?-337) dan tetap disimpan di tempat itu setelah kejatuhan Roma.
Orang-orang Konstatinople itu melihat dengan iri pada kolega ilmuwannya di dunia
Islam, lawannya dalam Perang Salib. Tingkat kemajuan dan kejayaan keilmuan Islam di
kota-kota Moorissh seperti Toledo dan Granada di Spanyol, di Bagdad Turki,
Mesopotamia dan Kairo di Afrika Utara, dalam banyak hal, lebih superior dari pada
ketika Perang Salib (Schubert,1986:61).
Pada abad ke-10

dan ke-11, pendidikan Arab Islam (700-1350), menurut

Ornstein&Levine (2008), berpengaruh pada perkembangan pendidikan Barat, terutama


pada evolusi keilmuan di abad pertengahan, khususnya filsafat pemikiran dan pendidikan
tinggi. Sebagai hasil kontak ilmuwan Barat dan ilmuwan Arab Islam di Spanyol dan
Afrika Utara, ilmuwan Barat mempelajari cara pikir baru tentang matematika, ilmu-ilmu
alam, kedokteran dan filsafat. Pakar Islam telah menemukan dan menerjemahkan
pemikiran dan ide-ide filosof Aristotle, Euclid, Archimedes dan Hipocrates ke bahasa
Arab. Terjemahan itu penting bagi pendidikan Islam dan melalui kontak dengan Eropa,
hasil terjemahan itu diperkenalkan kembali ke dunia Barat. Secara khusus, Ibn Rasyid
atau Averos (1126-1198), menulis komentar penting atas karya Aristotle sehingga
mempengaruhi ahli pendidikan dan pendidik abad pertengahan Eropa (Ornstein&
Levine,2008;76). Artinya, melalui karya ilmuwan Islam para ilmuwan Barat, pada abad
pertengahan, memahami karya Aristotle. Teori dan parktek kedokteran Islam juga
diperkenalkan kepada universitas abad pertengahan di Salento Italia (Ornstein&Levine,
1985:91-93). Selain itu, pakar Islam berkontribusi pada studi astronomi, matematika dan
kedokteran (Ornstein&Levine,2008:77).
Pada abad pertengahan, tingkat pembelajaran dan keagungan Islam di kota-kota
Moorish Toledo Gradana di Spanyol, Turki Bagdad di Mesopotamia dan Kairo di Afrika
Utara, dalam banyak hal, lebih unggul dibandingkan Barat. Dari pusat-pusat ide itu,

108
universitas Barat muncul sehingga hubungan yang lebih kosmopolitan dengan timur
berkembang pesat. Dari budaya di era itu, muncul beberapa pendidik besar seperti AlGhazali (1058-1111) sebagai salah seorang ilmuwan Islam yang mengemukakan ketidak
mampuan otak manusia jika berhadapan dengan kemuliaan, kebesaran, kekuasaan dan
keagungans Tuhan seperti imortalitas dan keabadian. Tiga ratus tahun kemudian, Ibnu
Khaldoun (1332-1406), menurut ahli sejarah, merupakan seorang intelektual terbesar di
abad itu. Dalam bukunya Historical Prolegomena, ia menginterpretasi evolusi peradaban
dalam konteks kondisi intelektual dan sosial. Dalam karyanya, ia juga mendiskusikan
metode dan prosedur instruksional (Schubert, 1986:61) .
Melalui perluasan kekuasaan Islam, ajaran agama ini tersebar sampai ke Afrika
Utara dan India, bahkan sampai ke Spanyol, sebagai akibat kontak dengan berbagai
ragam penduduk dan budaya, seperti Hindu, Mesir dan Syria. Walaupun ajaran agama
tetap, tetapi peradaban Arab Islam berkembang yang terefleksi pada pertumbuhan pesat
sastera, filsafat, sains dan arsitektur. Dari semua perkembangan tersebut, yang paling
besar kontribusi praktisnya ialah sistem penomoran Arab sebagai dasar matematika.
Pakar Islam mengadopsi sistem angka India tetapi memperkenlkan angka nol yang sangat
krusial bagi penyempurnaan sistem penomoran sehingga inovasi ini menggantikan sistem
angka Latin (Ornstein&Levine,2008:77). Seperti telah disinggung di muka, para ilmuwan
Islam juga tercatat dalam sejarah ikut berkontribusi pada perkembangan ilmu-ilmu
Astronomi, Matematika, dan Kedokteran.
Atas pengaruh pemimpin Islam Arab, lahir pendidikan tinggi Arab di Bagdad,
Kairo, Cordoba, dan Grenada. Selain itu, kontribusi terbesar bangsa Arab

pada

pendidikan Barat ialah terjemahan dan pelestarian karya besar filosof Yunani seperti
Aristotles, Eilicid Galen dan Prolemy (Ornstein&Levine,1985:92). Pemikir Islam, seperti
Avisena (980-1037) dan Averroes (1126-1198), juga berpengaruh besar pada pendidikan
Barat dan Eropa (Ornstein&Levine,1985:92). Avisena yakin filsafat bisa mengiluminasi
dan memperkaya pengalaman keagamaan umat melalui terjemahan karya Arisrotle ke
dalam bahasa Arab. Sementara bangsa Eropa yang telah mengenal ide filosof itu
kehilangan teks Aristotles sehingga terjemahan Avisena itu sangat bermanfaat bagi
pendidikan Barat yang selanjutnya menerjemahkan pula ke bahasa Latin. Hal inilah yang
selanjutnya berkontribusi pada pendidikan Barat, terutama pendidikan tinggi. Averoes,

109
seorang ahli kedokteran di Cordoba, juga penerjemah dan komentator karya Aristotles.
Sebagai seorang pemikir orisinal, dia menulis banyak tentang kedokteran, astronomi dan
filsafat. Karena sangat tertarik pada pendidikan, ia menegaskan agar guru menenmukan
kebenaran dan mentransfernya ke murid-muridnya.
Selain berkontribusi pada pendidikan dan kebudayaaan Islam itu sendiri, para
sarjana Muslim juga berkontribusi pada kultur Eropa Barat, antara lain: (1) penerjemahan
karya klasik Yunani ke dalam bahasa Arab, dan (2) pengembangan kemajuan bidang
matematika dan sains. Masuknya ide-ide dunia Arab Islam ke kebudayaan dan
pendidikan Barat merupakan tipe transfer lintas kebudayaan ide-ide pendidikan
(Ornstein&Levine, 1985:92).
Pada abad ke-21, interaksi makin intens antara Arab dan kebudayaaan Islam
dengan dunia Barat. Walau interaksi ini agak terganggu oleh kecurigaan dan permusuhan
disebabkan peristiwa 11 September dan pendudukan negara-negara Islam oleh Barat,
terutama Amerika Serikat seperti Irak, Afganistan dan lain-lain, tetapi muncul keinginan
besar Barat, terutama di Amerika Serikat dan Eropa, untuk mempelajari ajaran dan
kebudayaan Arab dan ajaran Islam (Orsntein&Levine,2008:77).
Saat ini, banyak sekolah dan perguruan tinggi di Amerika Serikat yang membuka
program studi dan menawarkan mata pelajaran dan mata kuliah tentang kultur Arab dan
ajaran

agama

Islam

(Ornstein.,et.al,2011:77;Ornstein&Levine,2008:77).

Dapat

disimpulkan bahwa ilmuwan Arab Islam berkontribusi besar pada perkembangan ilmu
pengetahuan di dunia barat melalui karya terjemahan filosof Yunani dan kepakaran
beberapa tokoh ilmuwan Islam sendiri yang luput dari pengetahuan orang banyak karena
jarang diungkapkan dalam literatur dan media massa kini.
Pendidikan Abad Pertengahan
Karena pendidikan

di abad pertengahan (500-1400 SM) identik dengan

pendidikan Kristen, perspektif kurikulum di era ini terkait ajaran Kristen. Era kebudayaan
dan pendidikan Barat mulai pada akhir periode klasik Yunani dan Romawi kuno sampai
permulaan era

moderen. Abad pertengahan ditandai melemahnya pembelajaran dan

penguatan pengaruh skolastik pendidik akademik. Dengan ketiadaan pusat kekuasaan


politik yang kuat, pola kehidupan di masyarakat pertengahan merupakan sintesis gereja
Katolik Latin yang dikendalikan Paus di Roma (Ornstein&Levine,1985:93).

110
Sesuai ajaran agama, pengetahuan yang perlu masuk kurikulum

ialah jiwa

manusia immortal, tidak berpindah-pindah dan ia lebih utama dari benda keduniawian.
Karena itu, pendidikan fokus pada penanaman prinsip hidup, kebutuhan emosi, moral dan
spritual kepada semua orang.. Sasarannya ialah pengakuan prinsip kasih sayang pada
semua manusia berdasarkan kecintaan pada Tuhan. Dogma ini menghapus hukum gereja
Jahudi dan pengutamaan rasio dan pengetahuan keduniawian serta memberikan hak
kepada setiap orang meneruskan kehidupan melalui komunikasi personal dengan Tuhan.
Penyerahan diri pada keinginan Tuhan berarti memberikan Tuhan kerajaan, kekuasaan
dan kemenangan kehidupan (Schubert,1986:59).
Pendidikan dasar di era ini dilakukan melalui institusi seperti parish, chantry, dan
monastic school di bawah naungan gereja. Sekolah menengah, sekolah monastik dan
sekolah katedral menawarkan kurikulum pengetahuan umum. Sedangkan sekolah yang
memberikan

keterampilan pokok dan kejuruan dilakukan

gilda perdagangan dan

kerajinan. Para ksatria menerima latihan kemiliteran dan hukum sipil di istana. Dalam
pengembangan institusi pendidikan, yang ditandai munculnya perguruan tinggi abad
pertengahan, dikuatkan oleh suburnya pendidikan akademik sehingga

memberikan

kontribusi pada pendidikan di era ini. Johnson (1968) mengidentifikasi lima jenis sekolah
di awal era Kristen: (1) Cateehumenal Schools, dikelola gereja untuk mengajarkan
doktrin, disiplin dan moral sesuai ajaran Kristen di samping pengajaran scriptures dan
hymns; (2) Cateehetical Schools mengajarkan teologi Kristen dalam konteks filsafat
Yunani dan sains; (3) Monastic Schools mengajarkan bahasa Latin, membaca, menulis,
musik dan etika bergaul dan moral di samping matematik dan astronomi; (4) Song
Schools mengajarkan nyanyi dan musik yang harus dikuasai siswa mengiringi kegiatan
agama, dan (5) Chantry Schools dilaksanakan pendeta untuk mengajarkan nyanyian
misa, dan jika waktu ada, diajarkan pula membaca dan menulis bahasa Latin sesuai
kebutuhan gereja (Johnson,1968:12).
Pendidikan Era Renaisan dan Reformasi
Masa Renaisans, bermula pada awal abad ke-14 (1350-1500), mencapai
puncaknya pada abad ke-15 yang ditandai munculnya perhatian pada aspek humanistik
Yunani Latin klasik. Era ini dikenal pula sebagai masa transisi antara abad pertengahan
dan abad moderen. Sama halnya dengan skolastik pertengahan, para humanis di era ini

111
menemukan otoritas masa lampau dengan mengutamakan manuskrip klasik mereka.
Tetapi, menurut Schwoebel (1971), pendidik humanis lebih tertarik pada pengalaman
keduniawian dari pada ketuhanan (Ornstein&Levine,1985:96).
Pengaruh Renaisans terutama terlihat di Italia yang menumbuhkan perdagangan
dan surplus keuangan sehingga menyuburkan seni, sastra dan arsitektur. Kekayaaan yang
melimpah di kota-kota besar Italia mensejahterakan pendidik dan sekolah humanis
(Orstein&Levine,1985:97). Mulai zaman pertengahan sampai akhir 1400an, sikap baru
terhadap keilmuan mulai muncul. Para sarjana di Eropa Barat dan Inggrs berpaling lagi
ke sastra humanis Yunani dan Romawi, dan yang lebih penting, tumbuh spirit penelitian
ilmiah. Di bidang pendidikan, hal ini menumbuhkan metode kiritis bertanya Soctares
serta pedagogi praktis dan humanistik. Misalnya, Sekolah Da Feltre di Mantua
menyiapkan anak orang kaya menjadi gentleman berbudaya melalui kurikulum The
Seven Liberal Arts (dialektik, retorik, gramar, astronomi, aritmatika,

geometri dan

musik), serta bahasa Yunani, bahasa Latin, Sejarah dan Senirupa. Kalau di Sekolah Da
Feltre mengutamakan hafalan dan perkuliahan, di sekolah Sylvio dan yang lain lebih
menekankan metode mengajar dan sastra Yunani untuk mengembangkan kemampuan
berpikir, menghargai keindahan dan menjunjung tinggi kemuliaan. Dengan memanfaatkan percetakan, Sylvio (1405-1464) dari Italia, dalam bukunya On the Education of
Boys, menerangkan metode mengajar untuk mengembangkan rasio, rasa keindahan, dan
nilai kemuliaan. Erasmus (1466-1536) dari Belanda adalah yang pertama semenjak
Quintillian yang menyatakan bahwa metode mengajar harus berdasarkan pemahaman
tentang anak dan psikologi belajar. Dia juga menekankan peran penting bermain dalam
pembelajaran dan

audio visual aids merupakan alat bantu belajar yang ampuh

(Schubrt,1986:62).
Walaupun demikian, adalah Montaigne (1533-1592) dari Perancis yang
mengajukan kurikulum paling progresif. Pentingnya observasi, rekaman langsung,
interaksi dengan dunia nyata, integrasi pikiran dan badan, dan tekanan pada pemenuhan
kebutuhan anak berakar pada ide Montagne yang dimuat dalam bukunya Essays. Ellyot,
(1490-1546) dari Inggris yang mengambil ide Quintillian, menjagokan bahasa klasik,
Latin dan Yunani, The Seven Libera Arts serta dansa dan pendidikan jasmani dalam
kurikulum sekolah. Di samping itu, dalam bukunya Governor, Elyot menyatakan bahwa

112
pendidikan era Renaisans adalah pendidikan tenaga aristokrasi sebagai pimpinan atau
bangsawan (Schubert,1986:62).
Situasi ini merupakan salah satu tahap transisi menuju reformasi yang bukan
hanya gerakan keagamaan, tetapi juga gerakan populis. Masa transisi

memperoleh

momentum ketika saat itu muncul mesin cetak dan usaha penerbitan oleh Gutenberg yang
membantu kelancaran komunikasi dan protes terutama kepada gereja. Gereja dianggap
institusi korup, meletakkan kekayaan di bawah kekuasaan beberapa orang saja dan juga
terlalu mengontrol kehidupan pribadi rakyat banyak. Situasi transisi itu lebih
dimatangkan oleh kelahiran kota-kota, pemerintahan sekuler, perbedaan hukum gereja
dan hukum sipil dan tumbuhnya nasionalisme yang melahirkan strategi pendidikan bagi
kepentingan masyarakat dan penghargaan hak individu (Schubert, 1986:63).
Martin Luther King dari Jerman (1483-21546) dan John Calvin dari Perancis
(1509-1546) dalah dua kontributor utama perubahan kurikulum di era Reformasi. Luther
ingin pendidikan wajib bagi semua anak: kaya, miskin, laki-laki atau perempuan, jika
gereja harus direformaiasi. Sekolah harus di bawah kontrol pemerintah sehingga mudah
dimonitor, disupervisi dan disurvei agar dapat dilakukan cek akuntabilitas apakah
kurikulum dilaksanakan sesuai stndar. Pendidikan agama harus diberikan dalam bahasa
ibu anak bersangkutan dan mengusulkan musik dan pendidikan jasmani dalam kurikulum
serta perlunya mengajarkan bahasa klasik pada pendidikan tinggi. Calvin menganjurkan
perlu supervisi rumah tangga supaya diketahui apakah orang tua mengajarkan ajaran
agama dengan benar, sehingga bisa dihindarkan pengajaran agama yang tidak sesuai
doktrin agama. Calvin juga menginginkan agar sekolah dan gereja sama-sama fokus pada
pengajaran agama. Kedua tokoh menganggap peran staregis rumah tangga dalam
pendidikan anak-anak, sebagai pembentuk disiplin anak-anak (Schuber,1986:63).
Sebagai jawaban atas ide reformasi itu, gereja Katolik mengembangkan ide
metode mengajar, administrasi sekolah, supervisi guru dan kurikulum. Semua pelajaran
di sekolah menengah dan pendidikan tinggi fokus pada tema pokok teologi, di samping
bahasa klasik dan The Seven Liberal Arts. Guru dibekali petujuk rinci tentang pelajaran
yang seragam supaya guru memakai metode mengajar yang sama di semua kelas. Metode
mengajar terdiri atas dua fase: kuliah dan pendalaman berupa pertanyaan dan hafalan.
Seperti telah disinggung di muka, Luther ingin agar pendidikan diwajibkan bagi semua

113
anak laki-laki, perempuan, miskin dau kaya. Sekolah harus dikontrol negara dan
pendidikan agama harus diberikan dalam bahasa ibu anak-anak dengan manambah mata
pelajaran musik, pendidkan jasmani serta bahasa klasik pada pelajaran akademik.
Pada Abad ke-16, muncul pendidik realis yang menyatakan banyak pengetahuan
yang perlu diketahui siswa selain pengetahuan klasik, yaitu pengetahuan yang diperoleh
melalui observasi dan anlisis. Selain ahli Spanyol, adalah Juan Luis Wives (1492-1540)
yang menjagokan kurikulum berorientasi siswa bagi laki-laki dan perempuan yang diajar
dengan bahasa ibu yang bersifat humanistik dan berdasarkan studi empiris psikologis.
Wives juga menginginkan pendidikan untuk semua terutama keluarga miskin dengan
fokus pada seni, alam dan otak sebagai mata pelajaran utama. Di Perancis muncul Francis
Rabelais (1483-1553) yang menekankan pentingnya pendidikan disenangi anak, dan
karena itu, anak perlu dibimbing agar belajar dari pengalaman melalui observasi,
interpretasi dan evaluasi kehidupan, sehingga pendidikan tidak hanya bersumber dari
buku teks. Jadi, para realis menginginkan pendidikan lebih betrorientasi life-centered dan
mereka setuju dengan ide reformasi yaitu universal education (Schubert,1986:63).
Spirit era rasional tersebut mencapai puncaknya pada abad ke-17 dan ke-18 yang
dimulai penemuan ilmiah oleh filosof, ilmuan sosial dan pendidik seperti Copernicus
(1473-1543), Galileo (1564-1642) dan Newton (1642-1727) yang menguatkan spirit
penemuan ilmiah. Bahkan Fancis Bacon (1561-1226) dari Inggers, yang dianggap the
father of scientific method, menyatakan pengetahuan, kecuali domain gereja, sebagai
paradigma logika induksi mulai digantikan oleh, atau minimal memiliki status yang sama
dengan, logika deduktif Aristotles. Filosof Thomas Hobbes dari Inggers (1588-1679) dan
Rene Descartes dari Perancis (1596-1650) melanjutkan bahwa logika dan empirisme
berpengaruh besar pada kurikulum. Descartes melakukan rekonsiliasi perbedaan yang
besar antara agama, sains dan filsafat di era Renaiasans dan Reformasi. Dia mencari
jawaban tentang apakah mungkin pengetahuan yang benar bisa lebih banyak diketahui
melalui indera semata. Dia menyimpulkan bahwa kebenaran

bisa dicapai melalui

kemampuan intelek, bukan hanya dengan empirisme, tetapi juga melalui intuisi.
Sedangkan Hobbes dikenal sebagai pelopor lahirnya psikolgi moderen, karena teorinya
tentang empirisme melalui panca indra menghasilkan imaginasi, memori dan sebagainya
pada otak manusia.

Hobbes juga berpengaruh pada politik yang mendeklarasikan

114
keutamaan kepentingan negara dari pada kepentingan individu, sehingga keberlanjutan
kehidupan manusia ditentukan oleh kekompakan kelompok sosial masyarakat dan
individu dalam mengatasi anarki sosial dan kerusakan alam yang ditimbulkan
keserakahan manusia. Situasi ini, menurut Hobbes, mengharuskan negara peduli pada
pendidikan moral dan agama. Descartes berkesimpulan, berdasarkan keyakinan tentang
pengetahuan dari Tuhan (melalui pikiran), dia menyimpulkan bahwa pengetahuan bisa
pula dicapai dengan cara lain (melalui kemampuan intelektual dan bukti empiris), bukan
hanya melalui pikiran ( imaginasi dan intuisi) (Schubert,1986:64).
Doktrin Descartes tentang dualisme pikiran dan badan berpengaruh besar pada
filsafat dan pendidikan Barat pada abad ke-20, seperti terefleksi pada aspek pendidikan
kognitif dan non-kognitif. Sedangkan tentang faham dualisme pendidikan umum dan
pendidikan agama, doktrin ini berdampak pula pada pemikiran politik Barat yang
memisahkan negara dan gereja yang kemudian dicoba mengintegrasikannya oleh Froebel
dan Dewey di badang pendidikan. Ide ini direalisir filosof Belanda Baruch Spinoza
(1632-1677) yang mengemukakan posisi pantheistic bahwa Tuhan dimanifestasikan pada
semua benda dan non-benda di jagat raya ini (Schubert,1986:64).
Berdasarkan itu, Spinoza mensponsori negara yang memberikan kebebasan
berpikir dan hak kepada pendidik di sekolah untuk bisa mempertanyakan segala macam
hal. Dia mendorong pendidik untuk mengintegrasi kedua aspek, rasio dan pengalaman,
dalam kurikulum. Oleh karena itu, tujuan utama kurikulum, menurut Spinoza, ialah
membantu siswa mengembangkan potensi dirinya sehingga ia dapat berfungsi dengan
baik di masyarakat. Dan Spinoza menolak ide agar guru memakai metode mengajar yang
seragam seperti telah ditentukan, dan berdasarkan itu, ia mendesak agar guru diberi
kebebasan berpikir dan memanfaatkan pengalamannya

untuk menentukan metode

mengajar yang dianggapnya terbaik. Memang ide Spinoza itu terlalu liberal pada
zamannya, tetapi pokok pikiran pendidikan liberal Spinoza berpengaruh pada pendidikan
di abad-abad berikut (Schubet,1986:64).
Pendidikan Menjelang Abad ke-20
Terpengaruh oleh Lock, Benyamin Franklin (1700-90) di Amerika Serikat
menginginkan pendidikan yang berkaitan langsung dengan pendidikan menengah profesi
yaitu Akademi dengan bahasa Inggeris sebagai bahasa pengantar, bukan bahasa klasik

115
Junani atau Latin, yang mendominasi dunia pendidkan Amerika sejak 1830 sampai 40
tahun ke depan (Schubert,1976:66). Kurikulum Akademi, menurut Franklin, harus
bermakna bagi kelas menengah berorientasi bisnis agar mereka bisa menghadapi
kehidupan kontemporer.
Pada awal 1800an, Akademi mulai menggantikan sekolah Gramar Latin, karena
Akademi menawarkan beragam kurikulum praktis bagi siswa yang akan bekerja setelah
tamat, di samping program bagi siswa yang akan meneruskan ke perguruan tuinggi
(Ornstein&Hunkins, 2013:66). Menurut Wiles dan Bondi (1989:4), kurikulum akademi
mencakup mata pelajaran klasik temasuk bahasa Latin, orthography dan gramar.
Akademi tumbuh sampai tahun 1800an ketika sekolah menengah menggantikannya.
Kemudian, Akademi juga menawarkan mata kuliah bahasa klasik dan bahasa moderen,
sains, matematik, seni musik dan kerumahtanggan. Akademi juga menawarkan program
bagi calon guru, yang karena itu, akademi juga menawarkan mata kuliah pedagogi, sains
dan seni. Beberapa Akademi Militer swasta dan Akademi Militer elit masih bertahan
sampai sekarang (Ornstein&Hunkins,2013:67).
Filosof Perancis Jean Jacques Rousseau (1712-78), yang telah meletakkan dasar
filsafat pendidikan progresif, menyokong Akademi yang didirikan Franklin di Amerika
Serikat. Roussesau yang menuduh negara sebagai institusi korup, siswa perlu dididik
kembali agar dapat diciptakan masyarakat baru seperti terdapat dalam bukunya Emily, a
New Social Contract. Kurikulum, menurut Rousseau, harus memungkinkan anak bermain
secara alamiah selama lima tahun pertama kehidupan anak-anak. Selama tujuh tahun
berikut, mereka harus diberi kesempatan untuk mengaktifkan pengalaman sensori melalui
pelajaran konkrit dari pada abstrak. Sasarannya ialah agar anak-anak

dapat

mengembangkan konsep, ide dan rasio ketika mereka berumur antara 12-17 tahun
sehingga ketika mereka sudah bisa terjun ke masyarakat, mereka sudah memahami halhal yang baik dalam kehidupan bersama di masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa childcentered curriculum merupakan kontribusi Rousseau (Schubert,1986:66).
Ide Rousseau dan Locke diadopsi melalui reformasi kurikulum di Jerman oleh
Johann Basedow (1723-90) dengan menambah mata pelajaran praktis seperti Ilmu Alam,
Sejarah Alam, Anatomi dan Pendidikan Jasmani. Sebagai penggagas belajar langsung
dari alam, Basedow memperkenalkan pula

kunjungan lapangan untuk belajar topik-

116
topik praktis melalui perkenalan langsung di lapangan tentang sesuatu yang dipelajari
anak-anak, di samping ia juga memperkenalkan perbaikan buku teks, fasilitas sekolah
dan bentuk hukuman disiplin ringan kepada anak-anak (Schubert,1986:66).
Sekolah eksperimen Basedow The Philantropinum mempengaruhi tokoh
pembaharu pendidikan Swiss, Johann Heinrrich Pestalozii (1746-1827), yang idenya
berasal dari ide Rousseau yang berkontribusi besar pada perkembangan sekolah dasar.
Menurut Night (1951), Pestalozii meletakkan fondasi sekolah dasar moderen dan
membantu mereformasi praktek pendidikan di sekolah dasar (Ornstein&Hunkins,
2013:61. Selain itu, Pestalozii mengkampanye tentang pentingnya keseimbangan dan
keharmonisan perkembangan semua kemampuan anak: antara kemampuan otak
(kognitif),

hati (afektif) dan tangan (psikomotorik). Berdasarkan itu, Pestalozii

menginginkan agar anak miskin bisa pula bermartabat, dan karena itu, dia ngin agar
disiplin pada anak harus berdasar kasih sayang dan penghargaan pada anak sebagai
seorang individu (Schubert,1986:66).
Selama 20 tahun Pestalozii aktif menyebarkan dokrinnya itu di sekolah
eksperimen di Swiss (Schubert,1986:66). Dia mengusulkan general method dan special
method. Metode yang petama terkait pendidikan bagi kestabilan emosi anak diiringi kasih
sayang pada anak. Metode kedua perlu mempertimbangkan kemampuan indera dengar
dan indera visual anak dalam proses pembelajaran. Pestalozii juga memperkenalkan
object lesson yaitu anak mempelajari objek-objek nyata (seperti tanaman, batu dan
benda-benda di rumah) atau gambar-gambar dengan mempertimbangkan perbedaan
kemampuan individu anak dalam proses pembelajaran yang merangsang perkembangan
persepsi panca indera anak. Anak akan menentukan bentuk, jumlah dan bunyi dari bendabenda.

Pestalozii yakin bahwa melalui objek nyata itu, anak bisa mengenal dan

menggambarkan benda-benda, menyebutkan nama benda-benda itu sesuai perkembangan


alami anak. Alasannya ialah karena, menurut Pestalozii, anak belajar melalui indera, dan
karena itu, ia menolak belajar hafalan (rote learning), tetapi menganjurkan agar
kurikulum dikaitkan dengan pengalaman anak di rumah. Dari mempelajari objek nyata
itu, anak memiliki kesempatan untuk mempelajari bentuk, jumlah dan bunyi benda nyata,
sehingga dari ketiga properti benda itu muncul konsep pelajaran tiga keterampilan The
ThreeRs (reading, writing, arithmetic) (Ornstein&Hunkins, 2013:61 &66).

117
Ideliasme Pestalozii direalisir dalam kurikulum sekolah moderen tanpa bayar di
Jerman untuk menjadikan pendidikan sebagai instrumen negara bagi perbaikan sosial,
bukan instrumen gereja. Filosof idealis dan komisioner pendidikan Amerika Serikat dari
tahun 1889-1906, William T. Harris, mentrasfer dan menyebarkan ide Pestalozii tersebut
secara luas di kurikulum sekolah Amerika Serikat. Sebenarnya, idealisme Harris dan
pendidik abad ke-18 dan ke-19 lainnya, berakar dari filsafat Immanuel Kant (1724-1804)
dan George William Hegel (1770-1831), keduanya dari Jerman. Kant memandang
pendidikan

berperan

strategis

bagi

peningkatan

individu

manusia.

Dengan

mengembangkan ide Rousseau tentang pentingnya pengembangan individu, Kant


menganjurkan agar kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan siswa, dan
siswa harus diberi kesempatan untuk mengembangkan bakat dan minat masing-masing
anak asalkan tidak merugikan manusia lain (Schubert,1986:67).
Hegel memandang pendidikan sebagai proses yang berlangsung sepanjang hayat
sehinggga memungkinkan siswa berkembang optimal melalui pendidikan liberal.
Sehubungan dengan itu, Kant menginginkan agar menjadi tugas negara untuk
menyediakan pendidikan bagi perkembangan siswa. Ide ini mempengaruhi Horace Mann,
Henry Bernard dan Harris. Ide Kant, Hegel dan Pestalozzi berpengaruh sedikit pada
pendidik dan filosof Jerman Johann Frederick Herbart (1776-1841) yang dikenal sebagai
Bapak Sains Pendidikan dan Bapak Psikologi Moderen. Hal ini disebabkan karena ide
Herbart banyak berpengaruh pada para pendidik sampai awal abad ke-20. Misalnya,
Herbart

mengembangkan

lima

langkah

metode

pengajaran:

(1)

association,

mengembangkan hubungan antara pengetahuan yang telah diketahui dan yang akan
diketahui siswa; (2) presentation, menyajikan materi yang akan dipelajari menurut
prinsip psikologi anak; (3) association, mengembangkan analogi dengan materi yang
sebelumnya; (4) generalization, berpindah dari contoh konkrit ke yang abstrak; dan (5)
application,

memakai

pengetahuan

yang

baru

diperoleh

sebagai

basis

bagi

pengembangan pengetahuan selanjutnya. Guru dan pengembang kurikulum, umumnya,


mengikuti saja langkah pengajaran tersebut, tetapi mereka kurang memahami esensi
tujuan pendidikan yang terkandung dalam ide Herbart tersebut (Schubert,1986:67-68).
Esensi tujuan pendidikan Hebart adalah pengembangan manusia berbudaya
(cultured human beings) sesuai standar nilai-nilai yang tinggi. Ini berarti bahwa

118
pendidikan, menurut Herbart, adalah usaha moral yang dikembangkan dari potensi moral
yang inheren dalam setiap diri anak dan, karena itu, pendidikan harus dilakukan
berdasarkan psikologi anak. Dan adalah tugas guru untuk mengajarkan dan mengarahkan
perkembangan anak menuju ke pembentukan mereka menjadi manusia berbudaya.
Kurikulum untuk mencapai tujuan tersebut, menurut Herbart, adalah pengajaran nilainilai budaya yang terdapat dalam mitologi dan sejarah kuno dalam literatur moderen.
Dengan kurikulum tersebut, guru harus memperkaya dan memperluas perspektif anak
(apperceptive mass), dengan cara mengekpose anak pada

pengetahuan terkait

pengalaman agar dapat meningkatkan kadar moral anak (Schubert,1986: 67-68).


Berangkat dari contoh dan ide Pestalozii, Frederick Froebel (1782-1852) dari
Jerman, mendirikan Taman Kanak-kanak (TK) pertama tahun 1837, membuka jalan
lahirnya pendidikan progresif pada abad berikut (Schubert,1986:68). Sekolah diuntukkan
bagi anak berumur 3-4 tahun, yang menurut Froebel, anak belajar melalui bermain yang
didisain sekitar bakat dan minat individu dan kelompok anak. Kurikulum harus terpusat
pada anak (child-centered) dan pembelajaran

dilaksanakan dengan kasih sayang,

kepercayaan dan kebebasan. Bernyanyi, bercerita, dan benda-benda berwarna warni serta
permainan merupakan bagian pokok dari kurikulum formal TK. Dalam belajar sambil
bermain itu, anak-anak diajar memanipulasi objek (segi empat, kubus dan lingkaran),
membentuk dan mengkonstruksi materi (tanah liat, pasir dan, triplek) serta terlibat dalam
kegiatan bermain (membangun istana dan gunung, berlari serta melakukan kegiatan
belajar lainnya) (Orstein&Hunkins,2013:61-62).
Anak-anak bisa tumbuh dan bekembang melalui kegiatan yang mereka lakukan,
karena kegiatan tersebut mengintegrasi fisik, spirit, emosi dan intelek individual anak.
Sama dengan Rousseau, Froebel berasumsi bahwa, pada dasarnya, anak bersifat baik dan
karena itu, permainan anak merupaknn ekpresi kebaikan manusia. Kurikulum Froebel
muncul dalam lingkungan kebun bunga yang menyuburkan keinginan ekplorasi anak
atas lingkungan kebun bunga itu (Schubert, 1986:69) karena, menurut Froebel, kegiatan
belajar kelompok merupakan medium alami dalam mengekspresikan diri (Zais,1986:45).
Pertengahan abad ke-19 merupakan waktu pematangan lahirnya pendidikan
universal di Amerika Serikat yang dipicu munculnya

nasionalisme sebagai cara

mempertahankan nasionalisme itu. Artinya, muncul perhatian yang besar pada warga

119
umum yang diikuti keinginan besar pula untuk menciptakan keadilan dan persamaan
pendidikan untuk semua anak. Waktu sudah datang bagi pematangan ide Thomas
Jefferson dalam Bill for the More General Diffusion of Knowledge (1797) tentang diffusi
pengetahuan dan ide Horace Mann (1976-1859) yang menginginkan common school
bagi anak-anak dari semua ras, agama, kepercayaan dan kelas sosio-ekonomis di Amerika
Serikat.

Sekolah tersebut, selain disediakan bagi semua anak, juga dibangun dan

dikontrol oleh masyarakat. Hal ini menunjukkan adanya sokongan Mann

pada ide

Jefferson tentang persamaan kualitas dan kesempatan pendidikan bagi semua anak
(Schubert,1986:69). Perlu disebutkan bahwa Jefferson menginginkan agar negara
mendidik warganya memperoleh kemajuan demokrasi di masyarakat, serta perlunya
negara menyediakan pendidikan berkelanjutan bagi anak-anak berbakat dan kesempatan
pendidikan yang sama bagi warga yang kurang mampu (Ornstein&Hunkins,2013:59).
Munculnya semangat sains memperoleh momentum waktu

Herbart Spencer

(1820-1903) dari Inggris yang menilai studi ilmiah seperti sosiologi, politik, fisika dan
biologi lebih penting dari pendidikan kultural dan humaniora, karena sains berkontribusi
lebih besar bagi kelanjutan kehidupan manusia. Ide ini kelihatannya dipengaruhi ide
Charles Darwin yang memunculkan suatu pertanyaan pada diri

Spencer terkait

kurikulum yaitu, What knowledge is of most worth. Herbart menjawab sendiri


pertanyaan itu, yaitu pengetahuan tentang kesehatan, vokasi, kewarganegaraan,
keruamahtanggaan dan pemanfaatan waktu lowong. Ternyata ide ini bergema dalam
kurikulum sekolah sampai abad berikut (Schubert,1986:69).
Pada waktu yang bersamaan dengan hal di atas, Leo Tolstoy (1828-1910) dari
Rusia, sekembali dari lawatannya ke Eropa, mengenal metode pendidikan Pestalozii,
Herbart dan Froebel. Tolstoy mengembangkan sekolah dasar yang membebaskan anakanak keluar masuk sekolah sesui keinginan mereka dan sekolah dijadikan sebagai tempat
anak-anak bebas bermain dengan ide-ide, belajar berdiskusi atas bantuan guru dan orang
dewasa di masyarakat. Sebenarnya, jauh sebelum itu, Tolstoy telah melakukan
eksperimen untuk mengantisipasi aspek pendidikan progresif yang sangat liberal dan ia
mengajukan kurikulum sebagai yang terdapat dalam diri guru. Hal ini dijelaskan
Boultwood (1965) bahwa guru harus seorang yang menguasai mata pelajaran yang

120
diajarkannya dan menguasai pula bagaimana mengajarkannya, bukan saja secara
intelektual tetapi juga dengan nuansa kasih sayang pada anak (Schubert,1986:70).
Orientasi kurikulum dengan berbagai variasi muncul ketika memasuki abad ke19. Edward Austin Sheldon (1823-1897) memimpin Teachers Training School yang
pertama di Amerika Serikat dengan metode pendidikan Pestalozii. William Torrey Harris
(1835-1909) adalah pengembang fondasi psikologis dalam praktek pendidikan di
Amerika Serikat. Sebagai seorang idealis, ia mengaplikasikan pemikiran Hegel dalam
pendidikan dan disiplin sekolah. Dia juga mendirikan Taman Kanak-Kanak pertama di
Amerika Serikat dan juga sebagai pengawas pendidikan di sekolah St.Louis dan
kemudian ia menjadi komisioner pendidikan (Schubert,1986:70).
Kolonel Francis Wayland Parker (1837-1902), setelah mengunjungi

sekolah

Herbat, Pestalozii, dan Froebel di Eropah, mengembangkan idenya pada sekolah normal
di Chicago antara 1883-1902. Menurut Fraley, tekanan pada bakat, minat dan
pengalaman anak serta kritiknya terhadap pendidikan tradisional membuka jalan bagi
munculnya pendidikan progresif di Amerika Serikat dan

ide ini ternyata sangat besar

pengaruhnya pada John Dewey (Schubert,1986:70).


Pendidikan Abad ke-20
Atas dorongan untuk mengadakan pendidikan universal di Amerika Serikat,
pendidik menemukan metode pendidikan yang sesuai (metode dipakai karena waktu
itu belum da kurikulum seperti dikenal sekarang ini). Stanley Hall

(1844-1922)

menginginkan dilakukan studi mendalam tentang perkembangan anak dan adolesens


sebagai dasar penetapan metode mengajar yang tepat. Ide ini diajukannya berdasarkan
hasil penelitian laboratorium psikologi ekperimematal.

Sebagai dosen di Hopkin

University, ide Hall itu berpengaruh pada calon doktor John Dewey, yang waktu itu
masih seorang guru sekolah menengah di Oil City, Pennsylvania. John Dewey (18591952), yang belajar dari Charles Sanders Pierce (1839-1914) bersama William James
(1842-1910) dari Harvard University, mengajukan landasan filosofis pragmatisme untuk
menantang teori asosionist oleh Herbart, bahwa belajar terbentuk melalui pembentukan
kebiasaan. James yakin tentang perlunya dilakukan studi tentang sistem saraf anak agar
dapat memahami bahwa kebiasaan yang baik dimiliki anak melalui pemikiran, bukan
hanya melalui ucapan verbal (Schubert,1986:71).

121
Ide James tentang learning by doing sangat berkesan pada Dewey yang juga
terpengaruh tentang kaitan antara demokrasi dan pendidikan oleh Mann dan Jefferson.
Besarnya pengaruh tersebut tehadap Dewey terlihat pada banyak buku yang ditulisnya
selama 93 tahun kehidupannya. Memandang pendidikan dari filsafat eksperimental dan
hasil penelitiannya di sekolah eksperimen di University of Chacago, Dewey menekankan
perlunya pendidik menyadari bahwa pendidikan harus melibatkan anak secara bermakna
dalam kehidupan sosial. Guru dan pengembang kurikulum dapat memulai pendidikan
dari aspek psikologis anak, seperti bakat dan minat, yang bergerak ke aspek logika dalam
mamahami lingkungan kehidupan sehingga menghasilkan pengalaman yang berkembang
melalui perkenalan anak atas pengetahuan yang relevan (Schubert,1986:72).
Ide inilah yang membawa Dewey (1902,1916,1929,1938) ke kesimpualan bahwa
sekolah dan masyarakat tidak terpisah. Karena itu, tujuan sekolah, menurut Dewey, ialah
untuk menyelesaikan masalah sosial

agar terbentuk masayarakat yang lebih baik.

Berdasarkan hal itu, pendidik harus fokus pada pembentukan individu anak ssbagai
makhluk unik sehingga kebutuhan perkembangan individual anak harus bisa
berkontribusi pada kemajuan masyarakat. Bagi Dewey, tidak ada dikotomi antara raga
dan jiwa; antara individu dan masyarakat; berkerja dan bermain; alamiah dan lingkungan;
malahan masing-masingnya berkontribusi secara komplementer satu sama lain
(Schubert,1986:72). Ini berarti, Dewey memandang pendidikan atau sekolah sebagai
suatu institusi netral yang bisa berfungsi sebagai pengembang atau pengekang kebebasan;
pendorong atau pengontrol kekuasaan. Implikasi ide ini, Dewey menginginkan agar
tujuan pendidikan sejalan dengan tujuan masyarakat (Ornstein&Hunkins,2013:75).
Kolega Dewey, yang juga profesor di Colombia University Edward Thorndike
(1874-1949), walaupun sama-sama belajar dari William James dan menyenangi studi
ilmiah Darwin, Thorndike sangat berbeda dengan Dewey. Thorndike mengembangkan
dasar teori Stimulus-Respons (S-R) yang menganggap pendidikan berdasarkan pada
adanya stimlus (dorongan) untuk menghasilkan reward (jawaban), dan karena itu, belajar
berarti melibatkan asosiasi yang spesifik antara dorongan dan jawaban.
Dua dekade pada abad ke-20 adalah era pendidikan progresif, waktu lahirnya
Asosiasi Pendidikan Progresif tahun 1919 yang mempromosikan ide dan praktek Dewey.
Pada saat bersamaan, tiga pendidik progresif muncul di Eropa. Di Italia, Maria

122
Montessori (1970-1952) mengajukan metode perkembangan spontan fisik, mental, dan
spiritual anak melalui kegiatan pendidikan untuk mengembangkan kemampuan sensori
yang dapat tumbuh pesat selama masa sensitif pertumbuhan melalui metode didaktik
yang tepat. Montessori mengaplikasikan pendekatan tersebut dengan sukses pada anak
berkemampuan khusus dan anak miskin melalui transfer teknik itu kepada beragam
tingkat kemampuan dan latar belakang sosial anak. Montessori memahami kondisi
lingkungan rumah anak miskin yang kurang kondusif pada pengembangan intelektual
anak, seperti ketidakadaan buku-buku dan tempat yang nyaman untuk belajar dengan
tenang. Dia menyaksikan anak-anak sekolahnya yang memerlukan lingkungan belajar
yang mendukung perkembangan itelektual dan emosional anak (Ornstein&Hunkins,
2013:102). Lingkungan keluarga anak yang positif merupakan salah satu kondisi yang
diperlukan bagi perkembangan anak, sehingga Montesori mengajukan metode mengajar
yang kondusif yaitu tersedianya rangsangan posistif bagi pemenuhan perkembangan
minat dan bakat anak sedemikian rupa sehingga anak bisa dibiarkan berkembang sesuai
kecepatan perkembangan masing-masing. Tujuan utama pelajaran individual Montessori
ialah membantu anak mengurus diri sendiri; metode ini bisa tersebar luas ke seluruh
dunia melalui latihan pendek selama enam bulan (Schubert,1986:75).
Dua tokoh progresif Eropa lainnya ialah Gerg Kerschenteiner (1854-1932) dari
Jerman dan Devide Decroly (1871-1832) dari Belgia. Decroly mendirikan sekolah kerja
(activity school) yang ternama di Eropa dengan kurikulum terpusat pada minat anak.
Decroly fokus pada pendidikan untuk memanusiakan dan meningkatkan harkat anak
sehingga Decroly dikenal, menurut Connel (1980), sebagai tokoh pendidikan progresif.
Dia memiliki bakat sebagai pekerja sosial yang peduli pada anak, dan karena itu, ia
mempunyai cara untuk memenuhi kebutuhan bagi peningkatan bakat dan minat anak.
Sedangkan

Kerschenteiner, seorang administrator sekolah, reformer pendidikan dan

penyokong sekolah kerja, berhasil mengaplikasikan pendidikan progresif dalam skala


besar pada sistem sekolah publik dari tahun 1894-1919, sehingga, menurut Connel, ia
dapat mempengaruhi administrator sekolah lainnya di Hamburg, Vienna dan Rusia pada
tahun 1920an (Schubert,1986:75).
Amerika Serikat menancapkan tonggak kelahiran kurikulum sebagai bidang studi
yang ditandai munculnya tiga persitiwa penting pada tahun 1918. Pertama, William

123
Kilpatrick (1925) menerbitkan buku Project Method yang dibaca luas seluruh dunia
untuk mempromosikan ide filsafat kurikulum Dewey. Ternyata, ide tentang perlunya
keterlibatan siswa dalam perencanaan kurikulum berakar dari Kilpatrick dan Rugg (1930)
yang mempromosikan penyusuan kurikulum terpusat pada siswa dan berbasis kegiatan
siswa (Ornstein&Hunkins,2013:20. Karena itu, menurut Kilpatrck, guru dan siswa harus
memiliki tujuan yang sama, berkisar pada situasi kehidupan yang tipikal dan proyak
harus berada dalam situasi sosial seperti sesuatu yang akan dihasilkan atau dikonsumsi,
sesuatu masalah yang akan diselesaikan, tau suatu latihan yang akan dilaksanakan untuk
dapat dikuasai anak. Kedua, tahun 1918 terbit buku The Curriculum oleh Franklin
Bobbit, bapak gerakan efisiensi sosial dalam kurikulum. Kurikulum, menurut Bobbit,
harus diformulasi berdasarkan analisis kegiatan ilmiah tentang kehidupan orang dewasa
yang diterjemahkan ke dalam tujuan tingkah laku. Proses ini dikenal dengan activity
analysis, yaitu menganalisis kehidupan orang dewasa secara lebih rinci seperti terdapat
dalam bukunya How to Make a Curriculum (1924). Ketiga, terbitnya laporan berjudul
Cardinal Principles of Secondary Education oleh National Education Assosiation,
Asosiasi Pendidikan Nasional Amerika (NEA) (1918) yang memuat tujuh prinsip atau
tujuan pendidikan menengah yaitu (a) kesehatan, (b) penguasaan proses utama, (c)
anggota keluarga yang baik, (d) persiapan vokasi, (e) pemanfaatan waktu lowong, dan
(g) kewarganegaraan (Schubert,1986:75).
Perlu diketahui bahwa NEA, antara 1893-1895, telah membentuk Committee of
Fifteen (mengkaji kurikulum sekolah dasar), Committee of Ten (mengkaji kurikulum
sekolah menegah), serta Committe on College Entrance Requirement (mengkaji
persyaratan memasuki perguruan tinggi). Laporan hasil kerja ketiga komite itu dikritik
sebagai masih bernuansa kurikulum klasik dengan sedikit perluasan berupa penyesuaian
dengan kebutuhan hidup (Schubert,198:76). Artinya,

laporan ketiga komite tersebut

menunjukkan keinginan untuk mempertahankan kurikulum klasik tanpa mempertimbangkan kemampuan, kebutuhan sosial, bakat dan minat anak (Ornstein&Hunkins,2013:70).
Kembali ke Cardinal Principles of Secondary Education, tujuan kurikulum
sekolah menengah memberikan tekanan pada kesatuan studi, responsif terhadap
kenyataan hidup dan kesadaran bahwa sekolah menengah komprehensif diperlukan bagi
kebanyakan populasi siswa. Tetapi, menurut Cremin (1955), tujuan sekolah menengah

124
bisa sebagai gerakan penting dan berpengarauh pada studi kurikulum, karena ada upaya
untuk beranjak dari dominasi kurikulum klasik selama ini (Schubert,1986:76).
Tahun 1920an menandai kecenderungan untuk menjadikan bidang stuti kurikulum
lebih ilmiah yang sebelumnya telah dimulai Bobbit dan, secara tidak langusng, oleh Judd
dan Thorndike. Kecenderungan itu menuju ke dua arah yaitu agar kurikulum: (1) lebih
spesisfik dan lebih tepat sasaran; (2) lebih responsif terhadap kebutuhan sosial kehidupan
dari pada meneruskan kurikulum tradisional sesuai kebiasaan selama ini. Ide tersebut
diajukan beberapa orang seperti berikut. Frederick Bosner (1920) memakai analisis kerja
untuk menentukan pengetahuan, keterampilan, sikap dan apresiasi dalam semua segi
kehidupan orang Amerika sebagai dasar penetapan kurikulum sekolah dasar. David
Snedden (1921) menginginkan agar tujuan kurikulum dikembangkan berdasarkan hasil
analisis empiris tentang kebutuhan hidup orang dewasa, baik fisik, civik, kultur maupun
vokasi. Seperti telah disinggung di muka, W.W.Charters (1823) memberikan dasar teoritis
terhadap ide Bobbit melalui activity analysis. Setelah kebutuhan sosial masyarakat ideal
diidentifikasi, kemudian dianalisis dan dirumuskan ke dalam tujuan kurikulum yang
disusun menurut urutan prioritas kegunaannya bagi anak dan adolosens yang responsif
pada kebutuhan kehidupan siswa di masyarakat. Henry Harap dalam The Tachniques of
Curriculum Making (1928) memberi contoh manual tentang teknik penyusunan
kurikulum yang berbeda dengan yang dipreskripsiskan Bobbit dan Charters yang
dianggap terlalu spesifik (Schubert,1986:76).
Oposisi tehadap aliran social behaviorist tahun 1920an terus dilakukan loyalis
Dewey. W.H Kilpatrick (1926), misalnya, terus mengkritik Teachers College of Colombia
University, yang waktu itu berfungsi sebagai pusat pemikiran pengembangan kurikulum.
George D. Strayer memimpin survei sekolah yang dilakukan Rice sperempat abad lalu.
Rice mensurvei lebih 50 sekolah pada lebih 50 kota untuk mendapatkan umpan balik bagi
perbaikan kurikulum sekolah. Survei itu adalah sebagai dorongan kepada pengembang
kurikulum untuk melakukan studi ilmiah pada sekolah di dalam negara bagian dan
sekolah lokal sebagai dasar penyusunan kurikulum sekolah. Selain itu, Strayer atas
pengaruh Herbart, Dewey dan Thorndike, menginginkan desentralisasi otoritas penetapan
kurikulum. Harold Rugg yang terpengaruh spirit demokrasi Dewey dalam pendidikan,
menghimbau agar dibentuk komite kurikulum di tingkat lokal dan mengharapkan

125
tumbuhnya sikap untuk melakukan riset bagi semua yang terlibat dalam pengembangan
dan penetapan kurikulum sekolah. Imbauan juga dilakukan Strayer agar pendidik
menempatkan riset sebagai dasar sentral dalam proses pendidikan dan kurikulum. Ini
berarti, penelitian kurikulum adalah proses interaksi guru dan siswa melalui dialog dalam
menetapkan bersama apa yang perlu dipelajari siswa dan bagaimana guru menyampaikan
pelajaran. Proses ini dilakukan L. Thomas Hopkins mulai tahun 1920an yang
berlanjut`sampai lima dekade berikut (Schubert,1986:77).
Pada akhir tahuan 1920an, beberapa pakar pendidikan Eropa merasuki pemikiran
pendidikan Amerika. Filosof dan matematikawan Alfred North Whitehead, dalam
bukunya The Aims of Education (1929), menegaskan bahwa ide-ide yang terkandung
dalam keseluruhan pengetahuan perlu digali melalui dialog sesuai ritme prosses belajar.
Sebenanya, ritme, pola atau tingkat perkembangan anak telah dikemukakan dengan baik
oleh Jean Piaget (1926,1928,1929). Selain itu, psikolog gestalist Max Wertheimer dan
tulisan psikoanalitik Freud, Jung dan lain-lain mulai memasuki arena pemikiran
pedididikan Amerika (Schubert,1986:77).
Pemikiran pendidikan Amerika waktu itu sedang dilanda perdebatan antara kaum
intelektual tradisonal (liberal) dan lawannya social behaviorists dan experimentalist.
Perdebatan antar kubu itu menunjukkan perbedaan besar yang berkepanjangan sehingga
mewarnai dinamika perkembangan bidang studi kurikulum selama lebih satu dekade.
Cara lain untuk menyatakan masalah yang diperdebatkan itu digambarkan dengan baik
oleh Dewey yaitu agar pendidikan fokus pada tiga sumber utama kurikulum yaitu
pembelajar (the learners), masyarakat dan mata pelajaran. Tahun 1902, Dewey
beragumentasi bahwa ketiga faktor itu saling terkait satu sama lain. Karena itu, perlu
dilakukan keseimbangan antara ketiganya. Tetapi ide itu tidak dilakukan; kaum
tradisionslist yang tetap fokus pada mata pelajaran, kaum soscial behaviorists pada
masyarakat, dan kaum experimentalists pada siswa (Schubert,1986:77).
Salah satu kontribusi penting pada literatur kurikulum tahun 1930an diberikan
oleh Hollis Caswell dan Doak Cambell. Mereka menerbitkan synoptic curriculum text,
buku yang memuat rangkuman keadaan studi kurikulum bagi pendidik profesioanl yang
menekuni kurikulum. Tahun 1930an, ketika populasi siswa berlimpah, pemikiran tentang
kurikulum fokus pada berbagai arah yang berbeda, ketika sangat banyak buku kurikulum

126
yang beredar, Caswell dan Cambell (1935), menerbitkan buku yang memberikam
kesadaran berimbang tentang bidang studi kurikulum. Artinya, buku mereka itu memuat
pedoman tentang perkembangan kurikulum kontemporer seperti memberikan refleksi
tentang isu-isu masyarakat, ide-ide dan prosedur pengembangan kurikulum yang harus
dipahami pengembang kurikulum. Tahun 1937, mereka menerbitkan suplemen refleksi
Reading in Curriulum Development. Sebagai suatu refleksi, tentu saja buku itu mengarah
pada suatu orientasi dalam memandang bidang studi kurikulum. Caswell dan Cambell
(1935) condong pada Dewey dan pokok pikiran progresif seperti terlihat pada perhatian
besar pada siswa dalam pembelajaran (Schubert,1986:82). Pada tahuna 1940an,
kecenderungan itu berlanjut, seperti terlihat pada synoptic texts yang beberapa teks itu
lebih condong pada siswa, beberapa pada masyarakat, dan beberapa yang lain pada
disiplin ilmu. Semua teks tersebut berfungsi sebagai cara untuk sosialisasi perkembangan
bidang studi kurikulum. Misalnya, ada teks tentang kurikulum terpusat pada anak dalam
The Child and His Curriculum oleh Lee dan Lee (1940,1950,1960). Gwynn (1943,
1950,1960,1969) terpusat pada masyarakat, dan Alberty (1947,1953,1962) tentang
Kurikulum Inti di sekolah menengah yang menyatukan siswa, masyarakat, dan dsisiplin
ilmu. Kurikulum Inti, menurut Zais (1976:64), didisain untuk mengintegrasikan hasil
belajar dari beberapa mata pelajaran dengan alokasi waktu yang lebih lama dari waktu
mata pelajaran biasa. Selain itu, kurikulum inti dimaksudkan untuk meningkatkan
hubungan interpersonal, perkembangan kepribadian dan keterampilan pemecahan
masalah siswa (Zais,1976:65). Sedangkan Stratemeyer (1947,1957) mengajukan
kurikulum yang fokus pada pengembangan kemampuan pemecahan masalah kehidupan
yang selalu timbul (persistent life problems) dalan masyarakat (Schubert, 1986:82)..
Pada tahun 1949, Ralph W. Tyler menerbitkan Basic Principles of Curriculum
and Instruction. Tyler terpengaruh ide Dewey, Charters, Rugg, Bode dan lain-lain. Tyler
memformulasi empat aspek pokok disain kurikulum yaitu tujuan, pengalaman belajar,
organisasi pengalaman belajar, dan evaluasi. Tyler juga mengemukakan ide Dewey
tentang kurikulum yang seimbang antara yang fokus pada siswa, masyarakat dan
pengetahuan sebagai dasar kurikulum. Ide Tyler tentang prinsip utama kurikulum dan
pengajaran tersebut danggap sebagai perrenial paradigm kurikulum (Schubert,1986:82).
Dan Skema atau Model Tyler itu disebut sebagai buku klasik studi kurikulum, karena

127
Skema Tyler tersebut banyak menjadi referensi utama dalam kebanyakan buku teks
kurikulum sampai saat ini. Malahan Kelly (2004:15) menyebut Tyler sebagai salah
seorang the founding father model perencanaan kurikukum.
Selama tahun 1940an, kecenderungan pengelompokkan siswa dimulai. Perhatian
diberikan terutama pada siswa berbakat agar banyak siswa yang dapat meneruskan ke
pendidikan tinggi. Ini juga berarti lebih banyak perhatian, dana dan waktu diberikan pada
pengembangan prasarana dan sarana pendidikan serta dana bagi perkembangan bisnis
pengelolaan pendidikan dari pada dana untuk kepentingan pendidikan itu sndiri yaitu
pengembangan kurkulum. Selain itu, perhatian juga diberikan pada audio visual aids,
program bimbingan dan membaca fungsional serta peningkatan keterlibtan masyarakat
(Schubert,1986:83).
Selama tahaun 1950an, salah satu teks klasik dari synoptic curriculum muncul
yaitu berkaitan dengan hal-hal yang fundamental tentang kurikulum oleh Smith, Stanley
dan Shores (1950,rev.1957). Teks ini menyarankan supaya kurikulum lebih condong pada
pemberian keseimbangan antara yang fokus pada masyarakat, walaupuan juga fokus pada
minat dan bakat siswa melalui kurikulum inti. Sasarannya ialah agar siswa dapat
menghadapi masalah kehidupan kotemporer sesuai minat dan bakat siswa melalui
penguasaan lintas disiplin ilmu (Schubert,1986:83) .
Tahun 1950an juga menyaksikan kembalinya pemikiran konservatif yang
menginginkan agar diberikan perhatian yang serius kembali pada penguasaan
keterampilan pokok yang disponsori Arthur Benstor tahun 1955 dan yang lain. Hal ini
dilakukan untuk menetralisir ide pendidikan untuk penyesuaian diri (life adjusment) yang
populer setelah Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Sasarannya ialah untuk menyiapkan
anak menghadapi masalah yang lebih serius di masa depan bagi kehidupan yang lebih
baik dari sebelumnya (Schubert,1986:83).
Ternyata tahun 1950an, memang muncul masalah serius yang membuat Amerika
Serikat kebakaran jenggot, yaitu berhasilnya Rusia mengorbitkan satelit Sputnik ke
ruang angkasa tahun 1950an. Para ahli antar disiplin ilmu dikumpulkan untuk
meningkatkan sistem pendidikan Amerika. Ide perbaikan pendidikan matematika, yang
dikenal sebagai Matematika Moderen yang dikembangkan Max Beberman awal 1950an,
lebih dikembangankan kembali untuk menghadapi space race (perlombaab angkasa luar).

128
Tahuan 1960an, Jerome Bruner menebitkan The Process of Education yang menggagas
image pendidikan sains yang responsif pada pemenuhan kebutuhan disiplin ilmu,
kebutuhan sosial dan kebutuhan individu. Walau demikian, reformasi konten kerikulum
pasca Sputnik mendodong diberlakukan kurikulum seimbang pada disiplin ilmu
pengetahuan sesuai kebutuhan sosial dan kepentingan politik (Schubert,1986:84).
Bukan saja konten ilmiah kurikulum yang ditingkatkan, tetapi juga studi
kurikulum dan pembelajaran diteruskan berdasarkan riset seperti yang dianjurkan Gage.
Tahun 1963, Gage mengumpulkan hasil riset tentang pembelajaran yang selama ini telah
dilakukan dan ia menganjurkan agar lebih banyak lagi riset dilaksanakan sebagai dasar
pengembangan pendidikan melalui kurkulum yang relevan dengan tuntutan perubahan
dan kemajuan zaman. Sebelumnya, tahun 1956, Benyamin Bloom menerbitkan
Taxonomy of Educational Objectives: Cognitive Domain yang dianggap sebagai dasar
riset kurikulum dan sebagai cara menuju riset yang lebih sistematik tentang perencanaan
kurikuklum dan pembelajaran. Pada tahun 1964, David Krathwohl mengembangkan
ranah afektif taksonomi tujuan pendidikan.
Tahun 1960an timbul ide sekolah komprehensif dan profesi, pendidikan umum di
samping persiapan anak masuk pendidikan tinggi. Untuk maksud tersebut, diperlukan
kurikulum broad fields (berbasis luas) yang mencakup pelajaran bahasa Inggris, bahasa
asing, sains, matematika, ilmu sosial dan humaniora (Schubert,1986:84). Orientasi yang
lebih besar terarah pada perkembangan kurikulum yang responsif pada kebutuhan
berbagai ragam kelompok masyarakat; tahun 1960an dikembangkan kurikulum untuk
memenuhi kebutuhan persamaan kesempatan belajar kepada anak berkemampuan
khusus. Kecenderungan ini berlanjut sampai tahun 1970an, dan tahun 1980an diikuti
pemberian kesempatan memperoleh pendidikan bagi keluarga miskin dan bagi berbagai
kelompok sosial ekonomi, etnik dan gender. Tahun 1980an juga ditandai sebagai tahun
munculnya metode baru qualitative research yang bermanfaat dalam mengkaji hasil
pendidikan dalam masyarakat yang kompleks dan multi kultural. Tahuan 1980an juga
ditandai tahun munculnya gerakan kembali ke fundamenal (back-to-basics). Pada saat
yang sama muncul pula pendidkan moral dan etika yang dianggap bisa membantu
penanggulangan masalah kekerasan sosial dan disharmonisasi kehidupan di masyarakat.
Perhatian pada teknokogi maju bagi bidang pendidikan juga muncul tahun 1980an

129
terutama revolusi komputer. Selain itu, depresi ekonomi menuntut perbaikan kurikulum
yang responsif bagi pesiapan anak memasuki dunia kerja yang kemudian diikuti tuntutan
perbaikan kurikulum sekolah untuk menyiapakan anak agar dapat hidup dengan baik
dalam a changing society, masyarakat yang berubah (Schubert,1986:84).
Dapat kita simpulkan

bahwa selama seabad terakhir, program sekolah atau

kurikulum telah mengalami banyak perubahan dalam beberapa waktu tertentu sebagai
cara untuk melakukan penyesuaian dengan dinamika perkembangan dan kemajuan
masyarakat.

Selain itu, perubahan penyesuaian juga dilakukan guna memenuhi

kebutuhana anak-anak dari kelompok masyarakat dari berbagai ragam latar belakang
budaya. Artinya, rancangan untuk mendidik anak telah dilakukan berupa perubahan
setiap saat: visi, masalah dan tantangan baru muncul di masyarakat, lokal, regional dan
internasional. Sasaranya ialah agar kurikulum responsif terhadap perubahan kebutuhan
masyarakat dengan dinamika tinggi sehingga relevansi kurikulum tetap terjaga sesuai
tuntutan perkembangan, kemajuan dan tantangan masa depan yang capat berubah.
Kesimpulan
Pada dasarnya, pendidikan telah berlangsung semenjak manusia ada. Sejak
masa pra-sejarah, orang dewasa mendidik anak dengan tujuan yang relatif sama dengan
orang dewasa di masyarakat kini, yaitu untuk mewariskan kebudayaan kepada generasi
muda agar mereka dapat fungsional dengan baik di masyarakat. Di samping itu,
pewarisan kebudayaan kepada generasi berikut, bukan hanya dapat memelihara
kebudayaan masyarakat, tetapi juga dapat mengembangkan kebudayaan itu sendiri oleh
generasi berikut itu sesuai tuntutan perkembangan zaman.
Kebudayaan bemula dari upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup yang
menghasilkan keterampilan hidup yang dalam perjalanannya menghadapi berbagai
tantangan, baik dari keterbatasan kemampuan manusia itu sendiri, maupun tantangan
alam dan lingkungan. Usaha pemenuhan kebutuhan hidup itu menghasilkan tradisi, adat
istiadat, pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang lama kelamaan menjadi nilainilai luhur budaya masyarakat bersangkutan. Para leluhur merasakan sendiri bahwa
kebudayaan itu telah berkontribusi pada kehidupan mereka yang baik, bagi diri dan warga
masyarakat.

130
Muatan kebudaayaan, terutama pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai atau
sikap dikemas ke dalam beberapa mata pelajaran sebagai menu pokok kurikulum
pendidikan. Pada abad ke-19, kurikulum fokus pada pengajaran mata pelajaran itu dan
karena itu, anak cenderung menjadi

objek pengajaran dari pada sebagai subjek

pembelajaran. Aliran yang menyokong orientasi kurikulum ini biasa dikenal sebagai
alairan kurikulum tradisional. Menjelang abad ke-20, perkembangan ekonomi, sosial
masyarakat, demokrasi, industri dan perdagangan serta nasionalisme berpengaruh pada
kurikulum. Kurikulum yang sebelumnya didominasi mata pelajaran bermuatan tradisi,
agama, dan bahasa klasik, mulai memicu

perubahan

kurikulum. Pendidikan tidak

semata fokus pada pengajaran mata pelajaran klasik atau tradisonal saja, tetapi juga untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi, industri, politik, perdagangan dan perkembangan sosial
ekonomi dan kemasyarakatan. Di

samping itu, kemajuan riset psikologi tentang

bagaimana anak belajar mempengaruhi dunia pendidikan sehingga anak dijadikan


sebagai subjek pendidikan, bukau objek pengajaranm semata. Artinya,

dinamika kehi-

dupan masyarakat berpengaruh, langsung atau tidak langsung, pada orientasi kurikulum.
Pada abad ke-20, terlihat tiga sumber utama pendidikan dan kurikulum yaitu
displin ilmu, masyarakat dan anak Ada pakar atau sekelompok pakar (intelectual
traditionalists) yang menginginkan agar pendidikan fokus pada transfer pengetahuan
termasuk pengetahuan klasik karena dianggap sebagai warisan budaya hasil peradaban
umat manusia yang harus dilestarikan melalui pendidikan. Aliran ini menginginkan agar
kurikulum fokus pada pengajaran ilmu pengetahuan termasuk pengajaran liberal arts
dan bahasa klasik. Aliran kedua ialah yang menginginkan agar masyarakat menjadi
sumber utama kurikulum (social behaviorist), karena masyarakat yang mendirikan
sekolah sehingga sekolah harus berfungsi sebagai instrumen pendidikan orang tua kepada
anak meraka. Yang ketiga,

agar anak atau siswa yang menjadi sumber kurikulum

(experientialists atau progressives). Aliran ini menginginkan agar anak sebagai makhluk
unik, dengan bakat dan minat yang berbeda-beda, menjadi sumber kurikulum sehngga
siswa menjadi subjek pendidikan dari pada sebagai objek pengajaran di sekolah.
Akhirnya, ada yang menginginkan agar diberikan keseimbangan perhatian
(balanced atention) pada kurikulum sekolah yaitu agar dilakukan keseimbangan antara
ketiga sumber utama kurikulum tersebut seperti disponsori Dewey dan kawan-kawan dari

131
aliran progrersif. Menjelang berakhirnya abad ke-20, ternyata masyarakat mengalami
banyak perubahan yang sangat cepat. Untuk menghadapi hal ini, digagas agar kurikulum
didisain untuk menyiapkan anak agar dapat hidup di masyarakat masa depan yang cepat
berubah (a changing society). Yang terakhir ini dilabel sebagai kurikulum moderen
sebagai lawan kurikulum tradisional yang fokus pada masyarakat kini dan masa lalu.

Anda mungkin juga menyukai