LP CKD Causa HT Erin
LP CKD Causa HT Erin
OLEH
ERIN RIYANTI
11612012
Oleh
Mahasiswa
Erin Riyanti
11612012
Pembimbing I
(Lahan)
Pembimbing II
(Institusi)
Prof. Dr. dr. Budhi Setianto (Depkes, 2007), yang menyatakan bahwa
hipertensi adalah kenaikan tekanan darah sistolik lebih dari 150 mmHg dan
tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg.
B. ETIOLOGI
lupus eritematosus
2. Ras.
Hipertensi pada yang berkulit hitam paling sedikit dua kalinya pada yang berkulit
putih.
4. Pola Hidup.
Faktor seperti halnya pendidikan, penghasilan dan faktor pola hidup pasien telah
diteliti, tanpa hasil yang jelas. Penghasilan rendah, tingkat pendidikan rendah dan
kehidupan atau pekerjaan yang penuh stress agaknya berhubungan dengan insiden
hipertensi yang lebih tinggi. Obesitas juga dipandang sebagai faktor resiko utama.
Merokok dipandang sebagai faktor resiko tinggi bagi hipertensi dan penyakit
arteri koroner. Hiperkolesterolemia dan hiperglikemia adalah faktor faktor
utama untuk perkembangan arterosklerosis yang berhubungan dengan hipertensi.
C.
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi gagal ginjal kronik yang disebabkan oleh hipertensi adalah
sebagai berikut : Hipertensi menyebabkan penurunan perfusi renal yang
mengakibatkan terjadinya kerusakan parenkim ginjal. Hal ini menyebabkan
peningkatan renin dan meningkatkan angiotensin II, selanjutnya angiotensin II
dapat menyebabkan dua hal yaitu : peningkatan aldosteron dan vasokonstriksi
arteriol. Pada kondisi peningkatan aldosteron, akan meningkatkan reabsorpsi
natrium, natrium akan meningkat di cairan ekstraseluler sehingga menyebabkan
retensi air dan peningkatan volume cairan ekstraseluler. Pada vasokonstriksi
arteriol terjadi peningkatan tekanan glomerulus, hal ini akan menyebabkan
kerusakan pada nefron, sehingga laju filtrasi glomerulus menurun. Sebagai
kompensasi dari penurunan laju filtrasi menurun, maka kerja nefron yang masih
normal akan meningkat sampai akhirnya mengalami hipertrofi. Pada kondisi
Stadium 2
Stadium 3
mL/menit/1,73m2
-
Stadium
kelainan
ginjal
dengan
LFG
antara
15-
29mL/menit/1,73m2
-
D. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369):
a. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat
badan berkurang, mudah tersinggung, depresi
b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas
dangkal atau sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem
yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin
juga sangat parah.
Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi,
(akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin angiotensin aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner
(akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan
perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan,
kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu
berkonsentrasi).
Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
a. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi
perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan
irama jantung dan edema.
b. Gannguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak,
suara krekels.
c. Gangguan gastrointestinal
d. Gangguan muskuloskeletal
Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan
), burning feet syndrom ( rasa kesemutan dan terbakar, terutama
ditelapak kaki ), tremor, miopati ( kelemahan dan hipertropi otot
otot ekstremitas.
e. Gangguan Integumen
kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning kuningan
akibat penimbunan urokrom, gatal gatal akibat toksik, kuku tipis
dan rapuh.
f. Gangguan endokrim
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan
menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan
metabolic lemak dan vitamin D.
g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan
natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia,
hipokalsemia.
h. System hematologi
anemia
yang
disebabkan
karena
berkurangnya
produksi
E.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Didalam memberikan pelayanan keperawatan terutama intervensi maka
perlu pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan baik secara medis ataupun
kolaborasi antara lain :
1.Pemeriksaan lab.darah
a. hematologi
Hb, Ht, Eritrosit, Lekosit, Trombosit
b. RFT ( renal fungsi test )
ureum dan kreatinin
c. LFT (liver fungsi test )
d. Elektrolit
Klorida, kalium, kalsium
e. koagulasi studi
PTT, PTTK
f. BGA
2. Urine
-
urine rutin
3. pemeriksaan kardiovaskuler
-
ECG
ECO
4. Radidiagnostik
F.
USG abdominal
CT scan abdominal
BNO/IVP, FPA
Renogram
PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu :
a) Konservatif
b) Dialysis
-
peritoneal dialysis
biasanya dilakukan pada kasus kasus emergency.
Sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak
bersifat akut
Dialysis )
-
Hemodialisis
Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena
dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan
melalui daerah femoralis namun untuk mempermudah maka
dilakukan :
c) Operasi
-
Pengambilan batu
transplantasi ginjal
Aktivitas / istirahat
Gejala
2) Sirkulasi
Gejala : riwayat hipertensi lama, atau berat, palpitasi, nyeri dada (angina)
Tanda : Hipertensi, nadi kuat,edema jaringan umum dan pitting pada kaki,
telapak,tangan, disritmia jantung.
Nadi lemah halus,hipotensi ortostatik menunjukan hipovolemia, pucat,
kecenderungan perdarahan.
3) Integritas ego
Gejala : Factor stress, contoh financial, hubungan dan sebagainya, perasaan
tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.
Tanda : Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan
kepribadian
4) Eliminasi
Gejala : Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria, abdomen kembung,
diare, atau konstipasi.
Tanda
Perubahan
warna
urine,
contoh
kuning
pekat,
merah,
Keamanan
Gejala : Kulit gatal, ada/ berulangnya infeksi
Tanda : Pruritus, demam,(sepsis, dehidrasi), normotermia dapat secara
actual terjdai peningkatan pada pasie yang mengalami suhu tubuh lebih
rendah dari normal., petechie,
10) Seksualitas
Gejala : Penurunan libido ; amenorea ; infertilitas
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan
yang muncul pada pasien CKD adalah:
1. Penurunan curah jantung
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
3. Perubahan nutrisi
4. Perubahan pola nafas
5. Gangguan perfusi jaringan
6. Intoleransi aktivitas
7. kurang pengetahuan tentang tindakan medis
8. resti terjadinya infeksi
C.
INTERVENSI
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang
meningkat
Tujuan:
Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil :
mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan
frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama
dengan waktu pengisian kapiler
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi jantung dan paru
R: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
Intervensi:
a. Awasi konsumsi makanan / cairan
R: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
b. Perhatikan adanya mual dan muntah
R: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat
mengubah
atau
menurunkan
pemasukan
dan
memerlukan
intervensi
c. Beikan makanan sedikit tapi sering
R: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan
R: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial
e. Berikan perawatan mulut sering
R: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak
disukai dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan
4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder:
kompensasi melalui alkalosis respiratorik
Tujuan: Pola nafas kembali normal / stabil
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
R: Menyatakan adanya pengumpulan sekret
b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
R: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
c. Atur posisi senyaman mungkin
R: Mencegah terjadinya sesak nafas
d. Batasi untuk beraktivitas
R: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau
hipoksia
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis
Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga dengan kriteria hasil :
Intervensi:
a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler,
perhatikan kadanya kemerahan
R: Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat
menimbulkan pembentukan dekubitus / infeksi.
b. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa
R: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang
mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan
c. Inspeksi area tergantung terhadap udem
R: Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek
d. Ubah posisi sesering mungkin
R: Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi
buruk untuk menurunkan iskemia
e. Berikan perawatan kulit
R: Mengurangi pengeringan , robekan kulit
f. Pertahankan linen kering
R: Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit
g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk
memberikan tekanan pada area pruritis
R: Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko
cedera
h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar
R: Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi
lembab pada kulit
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang
tidak adekuat, keletihan
Tujuan: Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi
Intervensi:
b.
c.
d.
e.
maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa)
melalui pembedahan (NKF, 2006).
2. Indikasi
Price dan Wilson (1995) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas
berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus
dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan
penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan.
Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja
purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis
lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin serum diatas
6 mg/100 ml pada pria , 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluro filtration rate
(GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus
berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak
dilakukan lagi.
Penyakit dalam (medikal): Arf- pre renal/renal/post renal, apabila
pengobatan konvensional gagal mempertahankan rft normal. Crf, ketika
pengobatan konvensional tidak cukup, Keracunan.
Indikator
biokimiawi
yang
memerlukan
tindakan
hemodialisa:
infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan
lanjut (PERNEFRI, 2003).
4. Tujuan
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa:
a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisasisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa
metabolisme yang lain.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi
ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang
lain.
5. Proses Hemodialisa
Suatu mesin hemodialisa yang digunakan untuk tindakan hemodialisa
berfungsi mempersiapkan cairan dialisa (dialisat), mengalirkan dialisat dan aliran
darah melewati suatu membran semipermeabel, dan memantau fungsinya
termasuk dialisat dan sirkuit darah korporeal. Pemberian heparin melengkapi
antikoagulasi sistemik. Darah dan dialisat dialirkan pada sisi yang berlawanan
untuk memperoleh efisiensi maksimal dari pemindahan larutan. Komposisi
dialisat, karakteristik dan ukuran membran dalam alat dialisa, dan kecepatan
aliran darah dan larutan mempengaruhi pemindahan larutan (Tisher & Wilcox,
1997).
Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan suatu
saringan sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan untuk
menyaring dan membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat sisa
metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan hemodialisa
diperlukan akses vaskuler sebagai tempat suplai dari darah yang akan masuk ke
dalam mesin hemodialisa (NKF, 2006).
Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran
semipermeabel yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian lain
untuk dialisat. Darah mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah darah
ataupun dalam arah yang sama dengan arah aliran darah. Dializer merupakan
sebuah hollow fiber atau capillary dializer yang terdiri dari ribuan serabut kapiler
halus yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung
kecil ini, dan cairan dialisat membasahi bagian luarnya. Dializer ini sangat kecil
dan kompak karena memiliki permukaan yang luas akibat adanya banyak tabung
kapiler (Price & Wilson, 1995).
Menurut Corwin (2000) hemodialisa adalah dialisa yang dilakukan di luar
tubuh. Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter
masuk ke dalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah membran
semipermeabel (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan dialirkan
darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga keduanya terjadi difusi.
Setelah darah selesai dilakukan pembersihan oleh dializer darah dikembalikan ke
dalam tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-shunt).
Selanjutnya Price dan Wilson (1995) juga menyebutkan bahwa suatu
sistem dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi untuk cairan
dialisa. Darah mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur arteri/blood line),
melalui dializer hollow fiber dan kembali ke pasien melalui jalur vena. Cairan
dialisa membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan dihangatkan sampai
sesuai dengan suhu tubuh, kemudian dicampur dengan konsentrat dengan
perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk dialisat atau bak cairan dialisa.
Dialisat kemudian dimasukan ke dalam dializer, dimana cairan akan mengalir di
luar serabut berongga sebelum keluar melalui drainase. Keseimbangan antara
darah dan dialisat terjadi sepanjang membran semipermeabel dari hemodializer
melalui proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.
Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan
hidrostatik antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik dapat
dicapai dengan meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen darah
dializer yaitu dengan meningkatkan resistensi terhadap aliran vena, atau dengan
menimbulkan efek vakum dalam ruang dialisat dengan memainkan pengatur
tekanan negatif. Perbedaaan tekanan hidrostatik diantara membran dialisa juga
meningkatkan kecepatan difusi solut. Sirkuit darah pada sistem dialisa dilengkapi
dengan larutan garam atau NaCl 0,9 %, sebelum dihubungkan dengan sirkulasi
penderita. Tekanan darah pasien mungkin cukup untuk mengalirkan darah melalui
sirkuit ekstrakorporeal (di luar tubuh), atau mungkin juga memerlukan pompa
darah untuk membantu aliran dengan quick blood (QB) (sekitar 200 sampai 400
ml/menit) merupakan aliran kecepatan yang baik. Heparin secara terus-menerus
dimasukkan pada jalur arteri melalui infus lambat untuk mencegah pembekuan
darah. Perangkap bekuan darah atau gelembung udara dalam jalur vena akan
menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke dalam aliran darah pasien.
Untuk menjamin keamanan pasien, maka hemodializer modern dilengkapi dengan
monitor-monitor yang memiliki alarm untuk berbagai parameter (Price & Wilson,
1995).
Menurut PERNEFRI (2003) waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan
dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4 5 jam dengan
frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10 15 jam/minggu
dengan QB 200300 mL/menit. Sedangkan menurut Corwin (2000) hemodialisa
memerlukan waktu 3 5 jam dan dilakukan 3 kali seminggu. Pada akhir interval 2
3 hari diantara hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak
normal lagi. Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel
darah merah rusak dalam proses hemodialisa.
6. Komplikasi Hemodialisa
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama tindakan
hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain:
a. Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa
sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi
pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi.
b. Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya
dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan
kelebihan tambahan berat cairan.
c. Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan
kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh
terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.
d. Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan
dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat
dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik diantara
kompartemen-kompartemen ini. Gradien osmotik ini menyebabkan perpindahan
air ke dalam otak yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan
biasanya terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan
azotemia berat.
e. Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor
pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.
f. Perdarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai
dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama hemodialisa
juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.
g. Ganguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang
disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai dengan
sakit kepala.
h. Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler.
i. Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak
adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.
7. Tanda-tanda dialysis adekuat:
Tercapai bb kering
Td terkendali
Hb > 10 gr/dl
5. Keunggulan hd
a.
b.
c.
d.
6. Kelemahan hd
a.
b.
c.
d.
e.
Tergantung mesin
Sering terjadi: hipotensi, kram otot,disequilibrium sindrom
Terjadi aktivasi: complement, sitokines mungkin timbul amiloidosis
Vaskuler access: infeksi trombosis
Sisa fungsi ginjal cepat menurun disbanding peritoneal dialysis.
Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Hemodialisa
1.
Pengkajian
Pengkajian pre hd
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
Pengkajian post hd
a. Tekanan darah: hipotensi
b. Keluhan: pusing, palpitasi
c. Komplikasi hd: kejang, mual, muntah, dsb
2. Diagnosa keperawatan
a. Pola nafas tidak efektif b.d edema paru, asidosis metabolic, hb 7 gr/dl,
pneumonitis
b. Resiko cedera b.d akses vaskuler & komplikasi sekunder terhadap
penusukan & pemeliharaan akses vaskuler.
Rencana keperawatan:
a. Pola nafas tidak efektif b.d edema paru, asidosis metabolic, hb 7 gr/dl,
pneumonitis
Tujuan: pola nafas efektif setelah dilakukan tindakan hd 4-5 jam
Kriteria hasil:
Nafas 16-28 x/m
Edema paru hilang
Tidak sianosis
Intervensi:
1. Kaji penyebab nafas tidak efektif
R/ untuk menentukan tindakan yang harus segera dilakukan
2. Kaji respirasi & nadi
R/ menentukan tindakan
3. Berikan posisi semi fowler
R/ melapangkan dada klien sehingga nafas lebih longgar
4. Ajarkan cara nafas yang efektif
R/ hemat energi sehingga nafas tidak semakin bera
5. Berikan o2
R/ hb rendah, edema, paru pneumonitis, asidosis, perikarditis
menyebabkan suplai o2 ke jaringan kurang
6. Lakukan su pada saat hd
R/ su adalah penarikan secara cepat pada hd, mempercepat pengurangan
edema paru
7. Kolaborasi pemberian tranfusi darah
R/ untuk hb, sehingga suplai o2 ke jaringan cukup
8. Kolaborasi pemberian antibiotic
R/ untuk mengatasi infeksi paru & perikard
9. Kolaborasi foto torak
R/ follow up penyebab nafas tidak efektif
10. Evaluasi kondisi klien pada hd berikutnya
R/ mengukur keberhasilan tindakan
11. Evaluasi kondisi klien pada hd berikutnya
R/ untuk follou up kondisi klien
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8.
Jakarta : EGC
Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman
Untuk Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3.
Jakarta : EGC
Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan) Jilid 3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan
Keperawatan
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis
Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC
infeksi
vaskuler
zat toksik
arteriosklerosis
tertimbun ginjal
Retensi urin
hematuria
anemia
GFR turun
GGK
retensi Na
produksi Hb turun
resiko
suplai nutrisi dalam darah turun
gangguan nutrisi
gastritis
mual, muntah
gangguan
perfusi jaringan
edema
(kelebihan volume cairan)
iritasi lambung
oksihemoglobin turun
perdarahan
preload naik
suplai
turun
O2 jaringan turun
suplai O2 ke otak turun
beban jantung naik aliran darah ginjal
kapiler paru naik
intoleransi akt
suplai O2 kasar turun
RAA turun
syncope
edema paru
(kehilangan kesadaran)
retensi Na & H2Otimb.
naik as. laktat naik
gang. pertukaran gas
metab. anaerob
intoleransi aktivitas