Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

CKD causa HIPERTENSI

OLEH
ERIN RIYANTI
11612012

PRODI DIII KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO
2014

Laporan Persetujuan Pembimbing


Laporan Pendahuluan oleh : Erin Riyanti
NIM
: 11612012
Judul
: CKD ( Cronic Kidney Disease ) causa HIPERTENSI
Telah diseujui dalam rangka mengikuti Praktik Profesi Keperawatan II Medikal
Bedah Mahasiswa DIII Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Ponorogo pada tanggal 26 Mei 2014 samapai dengan 31 Mei
2014 di Ruang Hemodialisa RSUD Syaiful Anwar Malang.

Oleh
Mahasiswa
Erin Riyanti
11612012

Pembimbing I
(Lahan)

Pembimbing II
(Institusi)

CKD ( CHRONIC KIDNEY DISEASE ) at causa HIPERTENSI


A. PENGERTIAN
Gagal ginjal kronik (GGK) biasanya akibat akhir dari kehilangan
fungsi ginjal lanjut secara bertahap (Doenges, 1999; 626)
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD)
merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001; 1448)
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang
progresif dan lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun.
(Price, 1992; 812)
Sesuai dengan topik yang saya tulis didepan cronic kidney disease
( CKD ),pada dasarnya pengelolaan tidak jauh beda dengan cronoic renal
failure ( CRF ), namun pada terminologi akhir CKD lebih baik dalam
rangka untuk membatasi kelainan klien pada kasus secara dini, kerena
dengan CKD dibagi 5 grade, dengan harapan klien datang/merasa masih
dalam stage stage awal yaitu 1 dan 2. secara konsep CKD, untuk
menentukan derajat ( stage ) menggunakan terminology CCT ( clearance
creatinin test ) dengan rumus stage 1 sampai stage 5. sedangkan CRF
( cronic renal failure ) hanya 3 stage. Secara umum ditentukan klien datang
dengan derajat 2 dan 3 atau datang dengan terminal stage bila
menggunakan istilah CRF.
Definisi atau pengertian hipertensi banyak dikemukakan oleh para
ahli. WHO mengemukakan bahwa hipertensi terjadi bila tekanan darah
diatas 160/95 mmhg, sementara itu Smelttzer & Bare (2002:896)
mengemukakan bahwa hipertensi merupakan tekanan darah persisten atau
terus menerus sehingga melebihi batas normal dimana tekanan sistolik
diatas 140 mmhg dan tekanan diastole diatas 90 mmhg. Pendapat yang
sama juga diutarakan oleh doenges (2000:42). Pendapat senada juga
disampaikan oleh TIM POKJA RS Harapan Kita, Jakarta (1993:199) dan

Prof. Dr. dr. Budhi Setianto (Depkes, 2007), yang menyatakan bahwa
hipertensi adalah kenaikan tekanan darah sistolik lebih dari 150 mmHg dan
tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg.
B. ETIOLOGI

Infeksi misalnya pielonefritis kronik, glomerulonefritis

Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna,


nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis

Gangguan jaringan penyambung misalnya

lupus eritematosus

sistemik, poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif

Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal


polikistik,asidosis tubulus ginjal

Penyakit metabolik misalnya


DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis

Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal

Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli


neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah:
hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher
kandung kemih dan uretra.

Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis

Etiologi dari hipertensi antara lain:


1. Usia.
Hipertensi akan makin meningkat dengan meningkatnya usia hipertensi pada yang
berusia dari 35 tahun dengan jelas menaikkan insiden panykit arteri dan kematian
premature.
2. Jenis Kelamin.
berdasar jenis kelamin pria umumnya terjadi insiden yang lebih tinggi daripada
wanita. Namun pada usia pertengahan, insiden pada wanita mulai meningkat,
sehingga pada usia di atas 65 tahun, insiden pada wanita lebih tinggi.

2. Ras.
Hipertensi pada yang berkulit hitam paling sedikit dua kalinya pada yang berkulit
putih.
4. Pola Hidup.
Faktor seperti halnya pendidikan, penghasilan dan faktor pola hidup pasien telah
diteliti, tanpa hasil yang jelas. Penghasilan rendah, tingkat pendidikan rendah dan
kehidupan atau pekerjaan yang penuh stress agaknya berhubungan dengan insiden
hipertensi yang lebih tinggi. Obesitas juga dipandang sebagai faktor resiko utama.
Merokok dipandang sebagai faktor resiko tinggi bagi hipertensi dan penyakit
arteri koroner. Hiperkolesterolemia dan hiperglikemia adalah faktor faktor
utama untuk perkembangan arterosklerosis yang berhubungan dengan hipertensi.

C.

PATOFISIOLOGI
Patofisiologi gagal ginjal kronik yang disebabkan oleh hipertensi adalah
sebagai berikut : Hipertensi menyebabkan penurunan perfusi renal yang
mengakibatkan terjadinya kerusakan parenkim ginjal. Hal ini menyebabkan
peningkatan renin dan meningkatkan angiotensin II, selanjutnya angiotensin II
dapat menyebabkan dua hal yaitu : peningkatan aldosteron dan vasokonstriksi
arteriol. Pada kondisi peningkatan aldosteron, akan meningkatkan reabsorpsi
natrium, natrium akan meningkat di cairan ekstraseluler sehingga menyebabkan
retensi air dan peningkatan volume cairan ekstraseluler. Pada vasokonstriksi
arteriol terjadi peningkatan tekanan glomerulus, hal ini akan menyebabkan
kerusakan pada nefron, sehingga laju filtrasi glomerulus menurun. Sebagai
kompensasi dari penurunan laju filtrasi menurun, maka kerja nefron yang masih
normal akan meningkat sampai akhirnya mengalami hipertrofi. Pada kondisi

hipertrofi akan meningkatkan filtrasi cairan tetapi reabsorbsi cairan tubulus


menurun, protein di tubulus di ekskresikan ke urine (proteinuria) yang
menyebabkan penurunan protein plasma (hipoproteinemia), hipoalbuminemia,
dan penurunan tekanan onkotik kapiler. Penurunan tekanan onkotik kapiler
menyebabkan edema anasarka. Pada edema anasarka akan menekan kapilerkapiler kecil dan syaraf yang akhirnya terjadi hipoksia jaringan. Penurunan GFR
lebih lanjut akan menyebabkan tubuh tidak mampu membuang air, garam dan sisa
metabolisme, sehingga terjadi sindrom uremia. Sindrome uremia akan
meningkatkan zat-zat sisa nitrogen, akhirnya terjadi : rasa lelah, anoreksia, mual
dan muntah.
Klasifikasi
Gagal ginjal kronik dibagi 3 stadium :
-

Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar


kreatinin serum normal dan penderita asimptomatik.

Stadium 2 : insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan


telah rusak, Blood Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin
serum meningkat.

Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.

K/DOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari


tingkat penurunan LFG :
-

Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria


persisten dan LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2

Stadium 2

: Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan

LFG antara 60-89 mL/menit/1,73 m2


-

Stadium 3

: kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59

mL/menit/1,73m2
-

Stadium

kelainan

ginjal

dengan

LFG

antara

15-

29mL/menit/1,73m2
-

Stadium5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73m2 atau


gagal ginjal terminal.

Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance


Creatinin Test ) dapat digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )
72 x creatini serum

D. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369):
a. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat
badan berkurang, mudah tersinggung, depresi
b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas
dangkal atau sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem
yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin
juga sangat parah.
Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi,
(akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin angiotensin aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner
(akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan
perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan,
kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu
berkonsentrasi).
Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
a. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi
perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan
irama jantung dan edema.
b. Gannguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak,
suara krekels.
c. Gangguan gastrointestinal

Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan


metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada saluran
gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau
ammonia.

d. Gangguan muskuloskeletal
Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan
), burning feet syndrom ( rasa kesemutan dan terbakar, terutama
ditelapak kaki ), tremor, miopati ( kelemahan dan hipertropi otot
otot ekstremitas.
e. Gangguan Integumen
kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning kuningan
akibat penimbunan urokrom, gatal gatal akibat toksik, kuku tipis
dan rapuh.
f. Gangguan endokrim
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan
menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan
metabolic lemak dan vitamin D.
g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan
natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia,
hipokalsemia.
h. System hematologi
anemia

yang

disebabkan

karena

berkurangnya

produksi

eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum sum


tulang berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup
eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan
fungsi trombosis dan trombositopeni.

E.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Didalam memberikan pelayanan keperawatan terutama intervensi maka
perlu pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan baik secara medis ataupun
kolaborasi antara lain :
1.Pemeriksaan lab.darah
a. hematologi
Hb, Ht, Eritrosit, Lekosit, Trombosit
b. RFT ( renal fungsi test )
ureum dan kreatinin
c. LFT (liver fungsi test )
d. Elektrolit
Klorida, kalium, kalsium
e. koagulasi studi
PTT, PTTK
f. BGA
2. Urine
-

urine rutin

urin khusus : benda keton, analisa kristal batu

3. pemeriksaan kardiovaskuler
-

ECG

ECO

4. Radidiagnostik

F.

USG abdominal

CT scan abdominal

BNO/IVP, FPA

Renogram

RPG ( retio pielografi )

PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu :
a) Konservatif

Dilakukan pemeriksaan lab.darah dan urin

Observasi balance cairan

Observasi adanya odema

Batasi cairan yang masuk

b) Dialysis
-

peritoneal dialysis
biasanya dilakukan pada kasus kasus emergency.
Sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak
bersifat akut

adalah CAPD ( Continues Ambulatori Peritonial

Dialysis )
-

Hemodialisis
Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena
dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan
melalui daerah femoralis namun untuk mempermudah maka
dilakukan :

AV fistule : menggabungkan vena dan arteri

Double lumen : langsung pada daerah jantung ( vaskularisasi ke


jantung )

c) Operasi
-

Pengambilan batu

transplantasi ginjal

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN CKD


A. PENGKAJIAN
1)

Aktivitas / istirahat
Gejala

: Kelelahan ekstrem, kelemahan, malaise, gangguan tidur

(insomnia / gelisah atau somnolen)


Tanda

: Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak

2) Sirkulasi
Gejala : riwayat hipertensi lama, atau berat, palpitasi, nyeri dada (angina)
Tanda : Hipertensi, nadi kuat,edema jaringan umum dan pitting pada kaki,
telapak,tangan, disritmia jantung.
Nadi lemah halus,hipotensi ortostatik menunjukan hipovolemia, pucat,
kecenderungan perdarahan.
3) Integritas ego
Gejala : Factor stress, contoh financial, hubungan dan sebagainya, perasaan
tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.
Tanda : Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan
kepribadian
4) Eliminasi
Gejala : Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria, abdomen kembung,
diare, atau konstipasi.
Tanda

Perubahan

warna

urine,

contoh

cokelat,berawan, oliguria, dapat menjadi anuria.


5) Makanan/ cairan

kuning

pekat,

merah,

Gejala : Peningkatan berat badan cepat (edema), penuruna berat badan


(malnutrisi), anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa metalik tak sedap
di mulut (pernapasan amonia), penggunaan diuretic
Tanda : Distensi abdomen / asites, pembesaran hati,, perubahan turgor kulit /
kelembaban, edema (umum,tergantung), ulserasi gusi, perdarahan gusi /
lidah, penurunan otot, penurunan lemak subkutan, penampilan tak
bertenaga.
6) Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang, sindrom kaki
gelisah,
Tanda : Gangguan status mental, contoh penurunan lapang perhatian,
ketidakmampuan berkosentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan
tingkat kesadaran, stupor, koma, rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.
7) Nyeri / kenyamanan
Gejala : Nyeri panggul, sakit kepala ; kram otot/nyeri kaki (memburuk saat
malam hari)
Tanda : Perilaku berhati-hati/ distraksi, gelisah.
8) Pernapasan
Gejala : napas pendek ; dispnea nocturnal paroksimal ; batuk dengan / tanpa
sputum kental dan banyak.
Tanda : Takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi / kedalaman (pernapasan
kusmaul), batuk produktif dengan sputum merah muda encer (edema
paru).
9)

Keamanan
Gejala : Kulit gatal, ada/ berulangnya infeksi
Tanda : Pruritus, demam,(sepsis, dehidrasi), normotermia dapat secara
actual terjdai peningkatan pada pasie yang mengalami suhu tubuh lebih
rendah dari normal., petechie,

10) Seksualitas
Gejala : Penurunan libido ; amenorea ; infertilitas

11) Interaksi social


Gejala : kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu bekerja,
mempertahankn fungsi peran biasanya dalam keluarga.
12) Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : riwayat DM keluarga (resiko tinggi untuk gagal ginjal), penyakit
polikistik, nefritis herediter,kalkulus urinaria, malignasi, riwayat terpajan
oleh toksin, contoh, obat, racun lingkungan
B.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan
yang muncul pada pasien CKD adalah:
1. Penurunan curah jantung
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
3. Perubahan nutrisi
4. Perubahan pola nafas
5. Gangguan perfusi jaringan
6. Intoleransi aktivitas
7. kurang pengetahuan tentang tindakan medis
8. resti terjadinya infeksi

C.

INTERVENSI
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang
meningkat
Tujuan:
Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil :
mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan
frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama
dengan waktu pengisian kapiler
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi jantung dan paru
R: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur

b. Kaji adanya hipertensi


R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem
aldosteron-renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya
(skala 0-10)
R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na
dan H2O)
Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan
dengan kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan
output
Intervensi:
a. Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan
masukan dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital
b. Batasi masukan cairan
R: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan
respon terhadap terapi
c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
R: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga
dalam pembatasan cairan
d. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan
terutama pemasukan dan haluaran
R: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output
3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
anoreksia, mual, muntah
Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan
kriteria hasil: menunjukan BB stabil

Intervensi:
a. Awasi konsumsi makanan / cairan
R: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
b. Perhatikan adanya mual dan muntah
R: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat
mengubah

atau

menurunkan

pemasukan

dan

memerlukan

intervensi
c. Beikan makanan sedikit tapi sering
R: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan
R: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial
e. Berikan perawatan mulut sering
R: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak
disukai dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan
4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder:
kompensasi melalui alkalosis respiratorik
Tujuan: Pola nafas kembali normal / stabil
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
R: Menyatakan adanya pengumpulan sekret
b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
R: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
c. Atur posisi senyaman mungkin
R: Mencegah terjadinya sesak nafas
d. Batasi untuk beraktivitas
R: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau
hipoksia
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis
Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga dengan kriteria hasil :

Mempertahankan kulit utuh

Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit

Intervensi:
a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler,
perhatikan kadanya kemerahan
R: Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat
menimbulkan pembentukan dekubitus / infeksi.
b. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa
R: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang
mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan
c. Inspeksi area tergantung terhadap udem
R: Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek
d. Ubah posisi sesering mungkin
R: Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi
buruk untuk menurunkan iskemia
e. Berikan perawatan kulit
R: Mengurangi pengeringan , robekan kulit
f. Pertahankan linen kering
R: Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit
g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk
memberikan tekanan pada area pruritis
R: Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko
cedera
h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar
R: Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi
lembab pada kulit
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang
tidak adekuat, keletihan
Tujuan: Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi
Intervensi:

a. Pantau pasien untuk melakukan aktivitas


b. Kaji fektor yang menyebabkan keletihan
c. Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
d. Pertahankan status nutrisi yang adekuat

7. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan tindakan medis


(hemodialisa) b.d salah interpretasi informasi.
a.

Kaji ulang penyakit/prognosis dan kemungkinan yang


akan dialami.

b.

Beri pendidikan kesehatan mengenai pengertian,


penyebab, tanda dan gejala CKD serta penatalaksanaannya
(tindakan hemodialisa ).

c.

Libatkan keluarga dalam memberikan tindakan.

d.

Anjurkan keluarga untuk memberikan support system.

e.

Evaluasi pasien dan keluarga setelah diberikan penkes.

Laporan pendahuluan Hemodialisa


1. Pengertian
Menurut Price dan Wilson (1995) dialisa adalah suatu proses dimana solute
dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari
kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa
peritoneal merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip
dasar kedua teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari plasma ke larutan
dialisa sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox (1997) hemodialisa didefinisikan
sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran
semipermeabel (dializer) ke dalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan
untuk memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan
melalui ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar
dari air plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran. Dengan
memperbesar jalan masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan produksi dializer
yang dapat dipercaya dan efisien, hemodialisa telah menjadi metode yang
dominan dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di Amerika Serikat
(Tisher & Wilcox, 1997).
Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus
yang dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk
membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam
sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke aliran darah,

maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa)
melalui pembedahan (NKF, 2006).
2. Indikasi
Price dan Wilson (1995) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas
berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus
dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan
penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan.
Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja
purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis
lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin serum diatas
6 mg/100 ml pada pria , 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluro filtration rate
(GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus
berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak
dilakukan lagi.
Penyakit dalam (medikal): Arf- pre renal/renal/post renal, apabila
pengobatan konvensional gagal mempertahankan rft normal. Crf, ketika
pengobatan konvensional tidak cukup, Keracunan.
Indikator

biokimiawi

yang

memerlukan

tindakan

hemodialisa:

Peningkatan bun > 20-30 mg%/hari, Serum kreatinin > 2 mg%/hari,


Hiperkalemia, Overload cairan yang parah, Odem pulmo akut yang tidak berespon
dengan terapi medis
Pada crf: Bun > 200 mg%, Creatinin > 8 mg%, Hiperkalemia, Asidosis
metabolik yang parah.
3. Kontra Indikasi
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah
hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan
sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari
hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa,
akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi
hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi

infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan
lanjut (PERNEFRI, 2003).
4. Tujuan
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa:
a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisasisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa
metabolisme yang lain.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi
ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang
lain.
5. Proses Hemodialisa
Suatu mesin hemodialisa yang digunakan untuk tindakan hemodialisa
berfungsi mempersiapkan cairan dialisa (dialisat), mengalirkan dialisat dan aliran
darah melewati suatu membran semipermeabel, dan memantau fungsinya
termasuk dialisat dan sirkuit darah korporeal. Pemberian heparin melengkapi
antikoagulasi sistemik. Darah dan dialisat dialirkan pada sisi yang berlawanan
untuk memperoleh efisiensi maksimal dari pemindahan larutan. Komposisi
dialisat, karakteristik dan ukuran membran dalam alat dialisa, dan kecepatan
aliran darah dan larutan mempengaruhi pemindahan larutan (Tisher & Wilcox,
1997).
Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan suatu
saringan sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan untuk
menyaring dan membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat sisa
metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan hemodialisa
diperlukan akses vaskuler sebagai tempat suplai dari darah yang akan masuk ke
dalam mesin hemodialisa (NKF, 2006).
Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran
semipermeabel yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian lain

untuk dialisat. Darah mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah darah
ataupun dalam arah yang sama dengan arah aliran darah. Dializer merupakan
sebuah hollow fiber atau capillary dializer yang terdiri dari ribuan serabut kapiler
halus yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung
kecil ini, dan cairan dialisat membasahi bagian luarnya. Dializer ini sangat kecil
dan kompak karena memiliki permukaan yang luas akibat adanya banyak tabung
kapiler (Price & Wilson, 1995).
Menurut Corwin (2000) hemodialisa adalah dialisa yang dilakukan di luar
tubuh. Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter
masuk ke dalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah membran
semipermeabel (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan dialirkan
darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga keduanya terjadi difusi.
Setelah darah selesai dilakukan pembersihan oleh dializer darah dikembalikan ke
dalam tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-shunt).
Selanjutnya Price dan Wilson (1995) juga menyebutkan bahwa suatu
sistem dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi untuk cairan
dialisa. Darah mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur arteri/blood line),
melalui dializer hollow fiber dan kembali ke pasien melalui jalur vena. Cairan
dialisa membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan dihangatkan sampai
sesuai dengan suhu tubuh, kemudian dicampur dengan konsentrat dengan
perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk dialisat atau bak cairan dialisa.
Dialisat kemudian dimasukan ke dalam dializer, dimana cairan akan mengalir di
luar serabut berongga sebelum keluar melalui drainase. Keseimbangan antara
darah dan dialisat terjadi sepanjang membran semipermeabel dari hemodializer
melalui proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.
Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan
hidrostatik antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik dapat
dicapai dengan meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen darah
dializer yaitu dengan meningkatkan resistensi terhadap aliran vena, atau dengan
menimbulkan efek vakum dalam ruang dialisat dengan memainkan pengatur
tekanan negatif. Perbedaaan tekanan hidrostatik diantara membran dialisa juga

meningkatkan kecepatan difusi solut. Sirkuit darah pada sistem dialisa dilengkapi
dengan larutan garam atau NaCl 0,9 %, sebelum dihubungkan dengan sirkulasi
penderita. Tekanan darah pasien mungkin cukup untuk mengalirkan darah melalui
sirkuit ekstrakorporeal (di luar tubuh), atau mungkin juga memerlukan pompa
darah untuk membantu aliran dengan quick blood (QB) (sekitar 200 sampai 400
ml/menit) merupakan aliran kecepatan yang baik. Heparin secara terus-menerus
dimasukkan pada jalur arteri melalui infus lambat untuk mencegah pembekuan
darah. Perangkap bekuan darah atau gelembung udara dalam jalur vena akan
menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke dalam aliran darah pasien.
Untuk menjamin keamanan pasien, maka hemodializer modern dilengkapi dengan
monitor-monitor yang memiliki alarm untuk berbagai parameter (Price & Wilson,
1995).
Menurut PERNEFRI (2003) waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan
dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4 5 jam dengan
frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10 15 jam/minggu
dengan QB 200300 mL/menit. Sedangkan menurut Corwin (2000) hemodialisa
memerlukan waktu 3 5 jam dan dilakukan 3 kali seminggu. Pada akhir interval 2
3 hari diantara hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak
normal lagi. Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel
darah merah rusak dalam proses hemodialisa.
6. Komplikasi Hemodialisa
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama tindakan
hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain:
a. Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa
sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi
pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi.
b. Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya
dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan
kelebihan tambahan berat cairan.

c. Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan
kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh
terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.
d. Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan
dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat
dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik diantara
kompartemen-kompartemen ini. Gradien osmotik ini menyebabkan perpindahan
air ke dalam otak yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan
biasanya terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan
azotemia berat.
e. Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor
pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.
f. Perdarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai
dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama hemodialisa
juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.
g. Ganguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang
disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai dengan
sakit kepala.
h. Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler.
i. Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak
adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.
7. Tanda-tanda dialysis adekuat:
Tercapai bb kering

Pasien tampak baik


Bebas simtom uremia
Nafsu makan baik
Aktif

Td terkendali
Hb > 10 gr/dl

5. Keunggulan hd
a.
b.
c.
d.

Produk sampah nitrogen molekul kecil cepat dapat dibersihkan


Waktu dialisis cepat
Resiko kesalahan tehnis kecil
Adequasy dialisis dapat ditetapkan segera, underdialisis segera dapat
dibenarkan.

6. Kelemahan hd
a.
b.
c.
d.
e.

Tergantung mesin
Sering terjadi: hipotensi, kram otot,disequilibrium sindrom
Terjadi aktivasi: complement, sitokines mungkin timbul amiloidosis
Vaskuler access: infeksi trombosis
Sisa fungsi ginjal cepat menurun disbanding peritoneal dialysis.
Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Hemodialisa

1.

Pengkajian

Pengkajian pre hd
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Riwayat penyakit, tahap penyakit


Usia
Keseimbangan cairan, elektrolit
Nilai laboratorium: hb, ureum, creatinin, ph
Keluhan subyektif: sesak nafas, pusing, palpitasi
Respon terhadap dialysis sebelumnya.
Status emosional
Pemeriksaan fisik: bb, suara nafas, edema, ttv, jvp
Sirkuit pembuluh darah.

Pengkajian post hd
a. Tekanan darah: hipotensi
b. Keluhan: pusing, palpitasi
c. Komplikasi hd: kejang, mual, muntah, dsb
2. Diagnosa keperawatan
a. Pola nafas tidak efektif b.d edema paru, asidosis metabolic, hb 7 gr/dl,
pneumonitis
b. Resiko cedera b.d akses vaskuler & komplikasi sekunder terhadap
penusukan & pemeliharaan akses vaskuler.

c. Kelebihan volume cairan b.d: penurunan haluaran urine, diet cairan


berlebih, retensi cairan & natrium.
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan pemasukan atau mencerna makanan atau
mengabsorpsi zat-zat gizi b.d faktor biologis, psikologis atau ekonomi.
3.

Rencana keperawatan:
a. Pola nafas tidak efektif b.d edema paru, asidosis metabolic, hb 7 gr/dl,
pneumonitis
Tujuan: pola nafas efektif setelah dilakukan tindakan hd 4-5 jam
Kriteria hasil:
Nafas 16-28 x/m
Edema paru hilang
Tidak sianosis
Intervensi:
1. Kaji penyebab nafas tidak efektif
R/ untuk menentukan tindakan yang harus segera dilakukan
2. Kaji respirasi & nadi
R/ menentukan tindakan
3. Berikan posisi semi fowler
R/ melapangkan dada klien sehingga nafas lebih longgar
4. Ajarkan cara nafas yang efektif
R/ hemat energi sehingga nafas tidak semakin bera
5. Berikan o2
R/ hb rendah, edema, paru pneumonitis, asidosis, perikarditis
menyebabkan suplai o2 ke jaringan kurang
6. Lakukan su pada saat hd
R/ su adalah penarikan secara cepat pada hd, mempercepat pengurangan
edema paru
7. Kolaborasi pemberian tranfusi darah
R/ untuk hb, sehingga suplai o2 ke jaringan cukup
8. Kolaborasi pemberian antibiotic
R/ untuk mengatasi infeksi paru & perikard
9. Kolaborasi foto torak
R/ follow up penyebab nafas tidak efektif
10. Evaluasi kondisi klien pada hd berikutnya
R/ mengukur keberhasilan tindakan
11. Evaluasi kondisi klien pada hd berikutnya
R/ untuk follou up kondisi klien

b. Resiko cedera b.d akses vaskuler & komplikasi sekunder terhadap


penusukan & pemeliharaan akses vaskuler.
Tujuan: pasien tidak mengalami cedera
Kriteria hasil:
Kulit pada sekitar av shunt utuh/tidak rusak
Pasien tidak mengalami komplikasi hd
Intervensi:
1. Kaji kepatenan av shunt sebelum hd
R/ av yg sudah tidak baik bila dipaksakan bisa terjadi rupture vaskuler
2. Monitor kepatenan kateter sedikitnya setiap 2 jam
R/ posisi kateter yg berubah dapat terjadi rupture vaskuler/emboli
3. Kaji warna kulit, keutuhan kulit, sensasi sekitar shunt
R/ kerusakan jaringan dapat didahului tanda kelemahan pada kulit, lecet
bengkak, sensasi
4. Monitor td setelah hd
R/ posisi baring lama stlh hd dpt menyebabkan orthostatik hipotensi
5. Lakukan heparinisasi pada shunt/kateter pasca hd
R/ shunt dapat mengalami sumbatan & dapat dihilangkan dg heparin
6. Cegah terjadinya infeksi pd area shunt/penusukan kateter
R/ infeksi dpt mempermudah kerusakan jaringan
c. Kelebihan volume cairan b.d: penurunan haluaran urine, diet cairan
berlebih, retensi cairan & natrium.
Tujuan: keseimbangan volume cairan tercapai setelah dilakukan hd 4-5
jam
Kriteria hasil:
Bb post hd sesuai dry weight
Udema hilang
Retensi 16-28 x/m
Kadar natrium darah 132-145 meq/l
Intervensi:
1. Kaji status cairan: timbang bb pre dan post hd, keseimbangan
masukan dan haluaran, turgor kulit dan edema, distensi vena leher,
monitor vital sign.
R/ pengkajian merupakan dasar untuk memperoleh data, pemantauan 7
evaluasi dari intervensi
2. Batasi masukan cairan, pada saat priming & wash out hd
R/ pembatasan cairan akan menetukan dry weight, haluaran urine &
respon terhadap terapi.
3. Lakukan hd dengan uf & tmp sesuai dg kenaikan bb interdialisis
R/ uf & tmp yang sesuai akan kelebihan volume cairan sesuai dg target
bb edeal/dry weight

4. Identifikasi sumber masukan cairan masa interdialisis


R/ sumber kelebihan cairan dapat diketahui
5. Jelaskan pada keluarga & klien rasional pembatasan cairan
R/ pemahaman kerjasama klien & keluarga dalam pembatasan cairan
6. Motivasi klien untuk kebersihan mulut
R/ kebersihan mulut mengurangi kekeringan mulut, sehingga keinginan
klien untuk minum

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8.
Jakarta : EGC
Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman
Untuk Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3.
Jakarta : EGC
Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan) Jilid 3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan
Keperawatan
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis
Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan


Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC
Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II.
Jakarta.: Balai Penerbit FKUI

infeksi

vaskuler

reaksi antigen antibodi

zat toksik

arteriosklerosis

Obstruksi saluran kemih

tertimbun ginjal

Retensi urin

suplai darah ginjal turun

batu besar dan kasar


iritasi / cidera jaringan
menekan saraf perifer
nyeri pinggang

hematuria
anemia

GFR turun
GGK

retensi Na

sekresi protein terganggu

sekresi eritropoitis turun

total CES naik


sindrom uremia urokrom tertimbun di kulit

produksi Hb turun
resiko
suplai nutrisi dalam darah turun
gangguan nutrisi

tek. kapiler naik


perpospatemia
gang. keseimbangan asam - basa
perubahan warna kulit
pruritis
vol. interstisial naik
prod. asam naik
gang.
integritas kulit
as. lambung naik
nausea, vomitus

gastritis
mual, muntah

gangguan
perfusi jaringan

edema
(kelebihan volume cairan)

iritasi lambung

resiko gangguan nutrisiinfeksi

oksihemoglobin turun

perdarahan

payah jantung kiri


bendungan atrium kiri na
COP turun

preload naik

tek. vena pulmonalis

suplai
turun
O2 jaringan turun
suplai O2 ke otak turun
beban jantung naik aliran darah ginjal
kapiler paru naik

- hematemesishipertrofi ventrikel kiri


- melena
anemia

intoleransi akt
suplai O2 kasar turun

RAA turun

syncope
edema paru
(kehilangan kesadaran)
retensi Na & H2Otimb.
naik as. laktat naik
gang. pertukaran gas
metab. anaerob

kelebihan vol. cairan


- fatigue
- nyeri sendi

intoleransi aktivitas

Anda mungkin juga menyukai