Anda di halaman 1dari 5

Paradox of Thrift (Paradoks Penghematan) adalah situasi di mana terdapat adanya

ketidakselarasan antara TABUNGAN (SAVING) rumah tangga dan konsekuensi-konsekuensi


potensial yang tidak diinginkan dari tabungan tersebut. Apabila sebagian besar rumah tangga
memutuskan untuk menabung sebagian besar pendapatan mereka, maka mereka akan
mengonsumsi sebagian kecil pendapatan tersebut, dan pengeluaran yang berkurang ini akan
menurunkan PERMINTAAN AGREGAT (AGGREGATE DEMAND) yang akan mengakibatkan
menurunkan tingkat output dan kesempatan kerja. Karena itu, suatu peningkatkan dalam
tabungan akan menurunkan tingkat pendapatan nasional.
Paradox of thrift graphs

Kita sebagai konsumen dalam ekonomi mempunyai tujuan mengoptimalkan kepuasan


(utility). Bagaimana mendapatkan kombinasi (bundle of goods) yang terbaik atas konsumsi kita
sehingga memberi tingkat kepuasan tertinggi.
Konsumsi (C) secara agregat (total) dalam suatu wilayah perekonomian (misalnya
negara) akan sangat mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Hal ini
ditandai dengan hubungan positif (keynessian) antara konsumsi dengan pendapatan negara (Y)
atau bisa disetarakan dengan PDB (Produk Domestik Bruto). Dan Pertumbuhan PDB ini disebut
sebagai pertumbuhan ekonomi. Y=C+G+I+X-M. Atau kalau kita otak-atik, konsumsi yang
dilakukan oleh rumah tangga-rumah tangga (RTK) akan menggerakkan perekonomian dengan
terbelinya barang dan jasa, menyebabkan produsen (RTP) akan terus beraktivitas, dan merekrut
banyak tenaga kerja dari RTK. Demikian perekonomian akan berputar karena RTK mendapatkan
penghasilan untuk dikonsumsikan kembali. Dan menurut toeri dan fakta, semakin tinggi
pendapatan maka akan semakin tinggi konsumsi kita, walau peningkatannya tak sebanyak
peningkatan pendapatan (dalam %). Maka konsumsi kita sebagai rumah tangga menjadi sangat
berarti. Apabila RTK mengurangi konsumsinya, misalnya lebih banyak ditabung, hal ini memang
sehat bagi keuangan RTK, tetapi kabar buruk bagi kondisi makroekonomi. Jika yang terjadi

adalah kelesuan, maka biasanya pemerintah akan memanaskannya dengan stimulus fiskal.
Dengan memperbesar pengeluarannya (G) seperti membangun infrasturktur penting, seperti
jalan, listrik, air, bendungan, pelabuhan, pemotongan pajak
Menteri Keuangan Chatib Basri meminta masyarakat Indonesia giat belanja untuk
mendorong ekonomi Indonesia tetap aman dan lebih maju. Salah satu alasan Indonesia lolos dari
krisis ekonomi saat ini adalah orang-orang masih bisa belanja. Jadi, kalau dulu orang bilang
hemat pangkal kaya, sekarang belanja pangkal kaya karena akan mendorong ekonomi. Apa yang
disampaikan oleh Menteri Keuangan tersebut sesungguhnya bukanlah teori baru. Itu adalah teori
yang sudah lama sekali yang dikenal dengan "Paradox of Thrift". Ini adalah teori yang
dikembangkan oleh Keynes yang mengatakan bahwa "sikap hemat itu baik. Namun, bila sikap
hemat diterapkan dalam skala nasional akan membawa bencana apabila ditetapkan pada waktu
depresi."
Paradox of thrift juga mengatakan apabila semua orang berusaha menghemat maka
aggregate demand akan jatuh. Ini akan menyebabkan permintaan terhadap barang-barang
konsumsi menurun. Ini akan menyebabkan pabrik akan berkurang. Akibatnya lapangan kerja
akan berkurang sehingga pendapatan rakyat menurun. Maka ekonomi lesu dan pertumbuhan
ekonomi menjadi lebih rendah.
Ini yang diajarkan Keynes ketika terjadi depresi pada tahun 1930-an. Keynes
berargumentasi ketika ekonomi mengalami depresi, pemerintah harus melakukan stimulus
dengan melakukan belanja sehingga defisit dapat dijustifikasi sebagai motor ketika ekonomi
sedang lesu. Artinya, Keynes mengajarkan untuk tetap berbelanja.
Persoalan, situasi sekarang dengan jaman Keynes berbeda. Pada masa Keynes, hubungan
antar value chain dan perdagangan masih belum mengglobal seperti sekarang. Berdasarkan
logika, argumen keep buying, keep spending memang menyebutkan bila masyarakat tetap
membeli barang, maka demand produk akan meningkat. Artinya, permintaan barang dari pabrik
bertambah sehingga membuka peluang kerja sehingga menciptakan virtuous cycle.
Sayangnya, ini hanya terlihat di level makro. Kenyataannya, permintaan dalam skala
besar terhadap produk konsumer kita, seperti mobil, motor, ponsel tidak menciptakan virtuous
cycle tersebut. Itu terjadi karena struktur industri berbeda.
Dari hasil riset yang kami lakukan menunjukkan bahwa yang lebih banyak mendapatkan
manfaat dari kenaikan permintaan adalah perusahaan asing ketimbang lokal. Contohnya, untuk
kasus Telkom dan Astra International. Di sini terlihat bahwa rantai supply chain juga dikuasai
perusahaan-perusahaan asing. Artinya, jika Telkom melakukan spending, orang juga membeli
ponsel, maka yang menikmati bukanlah pihak domestik. Itu bisa dilihat berapa banyak uang
yang bertahan di domestik. Jika struktur industri telekomunikasi kita lebih banyak berada di
dalam negeri dan padat karya, maka itu bagus. Persoalannya, yang terjadi tidak demikian.

Dalam supply chain Telkom Per Agustus 2013 terlihat bahwa Telkom memiliki 10
pemasok. Lima diantaranya merupakan mitra lokal, seperti Tower Bersama, Solusi Tunas
Pratama, Sarana Menara Nusantara, Kimia Farma dan Inti Bangun Sejahtera. Sedangkan lima
lainnya adalah perusahaan asing, yakni perusahaan Cina (ZTE-Corp), Finlandia (Nokia OYJ),
Amerika Serikat (Apple Inc), Swedia (Ericsson LM-8), dan Perancis (Alcatel-Lucent).

Demikian halnya untuk kasus Astra. Semakin banyak orang berbelanja motor maupun
mobil, maka semakin besar subsidi bahan bakar minyak. Artinya, defisit anggaran negara
semakin besar sehingga tidak sustainable (berkelanjutan). Bila dilihat dari supply chain Astra
International Per Agustus 2013, situasinya lebih buruk. Data itu menunjukkan bahwa Astra
memiliki 18 suppliers. Delapan mitra merupakan perusahaan lokal seperti Astra Otoparts, Denso
Sales Indonesia, Kabaya Indonesia, Tunas Dwipa Matra, dan lain-lain. Sedangkan 10 mitra
lainnya merupakan perusahaan Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman, seperti Cisco Systems,
Dell, Komatsu, Toyota, Isuzu.

Jadi, memakai teori lama yang sebenarnya bukan terobosan baru mengindikasikan
pemerintah sedang putus asa. Tanpa ada reformasi struktur industri kita, jangan berharap ada
keajaiban. Keep buying justru akan menghasilkan kebangkrutan. Membohongi rakyat dengan
teori ini, bukan jamannya lagi.

Referensi:
http://en.wikipedia.org/wiki/Paradox_of_thrift
http://www.katadata.co.id/4/8/perspektif/dorong-orang-belanja-sinyal-menkeu-putus-asa/417/

Paradox of Thrift
Nama

: Jenifer Wahyudin

NIM

: A31113023

Makroekonomi I
2014

Anda mungkin juga menyukai