Proyek-proyek investasi yang ditujukan untuk produk baru dan bergerak ke dalam pasar
baru, pada sisi lain, kemungkinan besar sangat kompleks karena melibatkan risiko yang
besar. Proyek-proyek ini juga kemungkinan sangat penting dan menjanjikan dari segi
keuangan jangka panjang, karena lini produk sebuah perusahaan cenderung menjadi usang
seiring dengan berjalannya waktu dan pasar tradisional bisa menyusut atau bahkan menjadi
hilang (ingat apa yang terjadi pada pasar mistar hitung, yang digantikan sepenuhnya oleh
kalkulator tangan). Terakhir, proyek-proyek investasi yang ditujukan memenuhi regulasi
pemerintah biasanya menimbulkan masalah legal, evaluasi, dan pemantauan khusus yang
memerlukan pakar eksternal.
Dari apa yang telah dijelaskan di atas, jelas bahwa pencarian ide dan usulan untuk
proyek-proyek investasi baru penting untuk profitabilitas masa depan dan kelangsungan
hidup perusahaan dari waktu ke waktu. Dalam perusahaan yang terkelola dengan baik dan
dinamis, semua karyawan didorong untuk menyampaikan ide-ide baru. Namun, mayoritas
perusahaan besar kemungkinan mempunyai divisi penelitian dan pengembangan (litbang)
yang diberi tanggung jawab untuk merekomendasikan usulan-usulan proyek investasi baru.
Staf dari divisi semacam ini kemungkinan besar terdiri atas pakar-pakar pengembangan
produk, riset pemasaran, rekayasa industri dan lain-lain, dan mereka bertemu secara reguler
dengan kepala divisi-divisi lain dalam sesi brainstorming untuk membahas produk, pasar, dan
strategi-strategi baru.
Meskipun keputusan akhir untuk menerima atau tidak mmenerima suatu investasi dibuat
oleh manajemen puncak perusahaan, khususnya untuk proyek-proyek yang melibatkan lini
produk dan pasar baru, proses penganggara modal biasanya melibatkan hampir seluruh divisi
perusahaan. Divisi pemasaran dibutuhkan untuk meramalkan permintaan atas produk baru
atau produk yang telah dimodifikasi yang rencananya akan dijual perusahaan; departemen
produksi, rekayasa, personalia, dan pembelian harus menyediakan studi kelayakan dan
estimasi-estimasi mengenai biaya dari proyek investasi; kemudian departemen keungan harus
menentukan bagaimana keperluan dana investasi dikumpulkan dan berapa besar biaya yang
harus ditanggung perusahaan. Jadi, proses penganggaran modal bisa dikatakan
mengintegrasikan kerja semua divisi perusahaan.
marginal yang dihadapi perusahaan menentukan berapa banyak investasi perusahaan. Hal ini
ditampilkan dalam figur 14- 1.
Dalam figur 14- 1, batang-batang yang berhuruf mengindikasikan jumlah modal yang
diperlukan bagi setiap proyek investasi yang dapat diambil oleh perusahaan dan tingkat
pengembalian yang diperkirakan dari masing-masing proyek investasi. Jadi, Proyek A
membutuhkan investasi $2 juta dan diperkirakan akan memberikan pengembalian 18 persen.
Proyek B membutuhkan investasi $3 juta (total $2 juta yang dibutuhakan untuk Proyek A di
sepanjang sumbu horizontal) dan diperkirakan akan memberikan tingkat pengembalian 16
persen, dan begitu seterusnya. Puncak dari tiap batang, dengan demikian, mewakili
kebutuhan modal yang harus disediakan perusahaan. Perhatikan bahwa proyek-proyek
disusun dari proyek yang diharapkan akan memberikan tingkat pengembalian paling tinggi
kepada perusahaan ke proyek yang diharapkan akan memberikan tingkat pengembalian
terendah. Kurva biaya modal marginal (marginal cost of capital-MCC) memperlihatkan
bahwa perusahaan dapat memperoleh modal sebesar $2 juta dengan suku bunga (biaya)
sebesar 10 persen, tetapi jika ingin mendapatkan lebih banyak modal, perusahaan harus
menanggung biaya yang semakin tinggi. Bagaimana kurva MCC dibuat dan mengapa
bentuknya seperti itu akan dibahas dalam Subbab 14-4.
Dihadapkan pada kurva permintaan modal dan kurva biaya marginal yang ditampilkan
dalam figur 14- 1, perusahaan akan mengambil Proyek A, B, dan C karena tingkat
pengembalian yang diharapkan dari proyek-proyek ini melampaui biaya modal yang
dibutuhkan. Secara spesik, perusahaan akan mengambil Proyek A karena proyek ini
diperkirakan akan memberikan tingkat pengembalian 18 persen sementara biaya modalnya
hanya 10 persen. Begitu juga, perusahaan akan mengambil Proyek B karena proyek ini
menawarkan tingkat pengembalian 16 persen sementara biaya modalnya hanya 10 persen
sampai 11 persen. Perusahaan juga akan mengambil Proyek C karena proyek ini menawarkan
tingkat pegembalian 14 persen sementara biaya modalnya hanya sekitar 12 persen.
Sebaliknya, perusahaan tidak mengambil Proyek D dan E karena kedua proyek ini
menawarkan tingkat pengembalian yang lebih rendah dari pada biaya modal yang dibutuhkan
untuk mewujudkan proyek-proyek ini. Sebagai contoh, Proyek D hanya memberikan tingkat
pengembalian 11 persen sementara biaya modalnya melebihi 12 persen. Bagi Proyek E,
selisih negatif antara tingkat pengembalian dengan biaya modal bahkan makin melebar. Jika
berinvestasi pada Proyek D dan E, perusahaan akan mendapatkan laba total yang lebih rendah
dalam jangka panjang dan nilai perusahaan akan menurun.
kas harus diestimasikan berdasarkan setelah pajak, dengan menggunakan tarif pajak marginal
parusahaan. Ketiga, sebagai beban nonkas, depresiasi memengaruhi arus kas perubahan
hanya melalui dampaknya atas pajak.
Sebuah proyek tertentu biasanya melibatkan pengeluaran awal dan menghasilkan
serangakaian arus kas bersih sepanjang usia proyek. Investasi awal untuk menambah lini
produk mungkin meliputi biaya pembelian dan pemasangan peralatan, biaya reorganisasi
proses produksi perusahaan, biaya penyediaan modal kerja tambahan untuk persediaan dan
piutang dagang, dan lain-lain. Arus kas bersih sama dengan arus kas masuk dikurangi arus
kas keluar dalam tiap tahun sepanjang usia proyek. Arus kas masuk, tentu saja peneriamaan
penjualan inkremental yang dihasilkan oleh proyek ditambah nilai sisa dari peralatan pada
akhir usia ekonomisnya, jika ada, dan perolehan kembali modal kerja pada akhir usia proyek.
Arus kas keluar biasanya meliputi biaya variabel inkremental, biaya tetap, dan pajak dari
hasil proyek.
per tahun. Departemen keuangan juga mengantisipasi bahwa tarif pajak marginal perusahaan
adalah 40%. Departemen keuangan akan menggunakan metode depresiasi garis lurus
sehingga beban depresiasi tahunan adalah $200.000 per tahun sepanjang 5 tahun. Nilai sisa
dari peralatan baru pada akhir usia proyek diestimasikan $250.000, dan perusahaan juga
memperkirakan akan mendapatkan kembali modal kerja sebesar $100.000 pada akhir tahun
kelima. Arus kas dari proyek ini diiktisarkan dalam tabel 14-1.
dimana Rt mengacu kepada estimasi arus kas bersih dari proyek setiap tahun selama n tahun
yang dipertimbangkan, k adalah tingkat diskon yang telaah disesuaikan resiko, E mengacu
kepada jumlah dari dan C0 adalah biaya awal proyek. Nilai perusahaan akan meningkat ika
NPV proyek positif dan nilai perusahaan menurun jika NPV proyek negatif. Jadi perusahaan
akan mengambil proyek yang mempunyai NPV positif dan mengabaikan proyek yang
mempunyai NPV negatif.
Sebagai contoh, jika k (tingkat diskon yang telahdisesuaikan terhadap resiko) atau biaya
modal dari proyek adalah 12%, maka nilai sekarang bersih dari proyek yang mempunyai
estimasi arus kas bersih seperti yang terdapat dalam tabel 14-1, dan memerlukan biaya awal
$1 juta adalah:
Proyek ini dengan demikian akan menambah $454.852 atas nilai perusahaan, dan
perusahaan harus mengambilnya. Seandainya perusahaan menggunakan tingkat diskon yang
disesuaikan terhadap resiko 10% dan 20%, nilai sekarang bersih proyek masing-masing
adalah $543.012 dan $169.078 . jadi sekalipun k 20%, perusahaan tetap bisa mengambil
proyek.
C. Tingkat Pengembalian Internal
Metode lain yang dapat digunakan untuk menentukan apakan sebuah perusahaan
sebaiknya mengambil suatu proyek investasi atau tidak adalah menghitung tingkat
pengembalian internal dari proyek. Tingkat pengembalian internal dari proyek (Internal Rate
of return- IRR on a project) adalah tingkat diskon yang akan menyamakan nilai sekarang dari
arus kas bersih dengan biaya awal proyek. Ini diperoleh dengan mengubah persamaan 142untuk k*, tingkat pengembalian internal (IRR).
Walaupun tingkat pengembalian internal (IRR=k*) proyek dapat dengan mudah dihitung
dengan menggunakan komputer atau kalkulator tangan. nilai ini juga dapat diperoleh melalui
trial and error memakai tabel B-2 dalam lampiran B pada akhir buku ini. Secara khusus, kita
mulai menggunakan tingkat diskon sembarang untuk menghitung nilai sekarang dari arus kas
bersih dari proyek. Jika nilai sekarang dari arus kas bersih melebihi biaya awal proyek, kita
menaikkan diskon dan mengulangi prosesnya. Sebaliknya, jika nilai sekarng arus kas bersih
proyek lebih rendah dari nilai biaya awal proyek, maka kita turunkan tingkat diskon nya.
Proses ini terus berlanjut sampai tingkat diskon yang ditemukan menyamai nilai sekarang
arus kas bersih dengan biaya awal proyek (sehingga sisi kiri dari persamaan 14-2 sama
dengan sisi kanannya). Tingkat diskon yang ditemukan adalah tingkat pengembalian internal
(IRR=k*) dari proyek.
Perusahaan harus mengambil proyek jika tingkat pengembalian internal proyek (IRR=
k*) melebihi atau sama dengan biaya yang di pakai perusahaan (k), dan perusahaan sebaiknya
tidak menerima proyek jika tingkat pengembalian internalnya lebih rendah dari pada biaya
modal marginal. Sebagai contoh, dengan menggunakan tabel B-2 kita bisa menghitung bahwa
nilai sekarang bersih arus kas dari proyek yang diperlihatkan dalam tabel 14-1 adalah
$1.057.631 jika k= 24% dan $961.986 jika k=28%, sementara biaya awal dari proyek adalah
$1 juta. Karena nilai sekarang arus kas bersih melebihi biaya awal proyek pada k=24% dan
lebih rendah dari biaya awal proyek pada saat k= 28%, tingkat pengembalian internal proyek
ini (k*) mesti berada antara 24% dan 28%. Tepatnya adalah 26,3%.
memiliki NPV lebih tinggi mungkin memiliki IRR lebih rendah dari proyek alternatif, dan
sebaliknya.
Sebagai contoh tabel 14-2 memperlihatkan bahwa proyek A mempunyai nilai sekarang
bersih yang lebih tinggi tetapi memiliki IRR yang lebih rendah dibanding proyek B.
Penyebabnya adalah bahwa dengan metode NPV, arus kas bersih yang dihasilkan oleh proyek
diasumsikan secara implisit dan konservatif akan diinvestasikan kembali pada terhadap suku
bunga yang setara dengan biaya modal atau tingkat diskon yang telah disesuaikan terhadap
risiko yang dipakai perusahaan.sebaliknya, dengan metode IRR, arus kas bersih yang
dihasilkan oleh proyek secara implisit diasumsikan diinvestasikan pada tingkat pengembalian
internal lebih tinggi yang sama. Karena tidak ada kepastian bahwa perusahaan dapat
meninvestasikan kembali aruskas bersih yang dihasilkan dari proyek pada tingkat
pengembalian internal lebih tinggi yang sama didapat dari proyek tersebut, secara umum
metode NPV lebih baik untuk digunakan dalam memutuskan proyek mana yang akan diambil
dari dua proyek yang saling meniadakan (two mutually exclisive). Artinya, perusahaan lebih
baik menerima proyek yang NPVnya lebih tinggi, bukan yang mempunyai IRR yang lebih
tinggi, jika kedua metode menghasilkan sinyal yang berlawanan.
Dalam kasus penjatahan modal (capital rationing)- yaitu, saat perusahaan tidak dapat
mengambil semua proyek yang mempunyai NPV positif- perusahaan harus mengurutkan
proyek berdasarkan indeks profitabilitasnya dan memilih proyek proyek yang memiliki
indeks profitabilitas tertinggi, bukan yang mempunyai NPV tertinggi. Indeks profitabilitas
(profitability index PI) sebuah proyek dukur dengan :
Dimana Rt adalah arus kas bersih dalam tahun t proyek, dan C 0 adalah biaya investasi
awal proyek. Dalam penjatahan modal, perusahaan harus memilih proyek-proyek yang
mempunyai profitabilitas tertinggi per dolar biaya atau investasi (yaitu, proyek-proyekyang
PI-nya melebihi 1 dengan selisih tertinggi) dalam rangka menghindari bias terhadap
pemilihan proyek-proyek besar. Sebagai contoh, data-data yang terdapat dalam tabel 14-3
memperlihatkan bahwa meskipun proyek A mempunyai NPV yang lebih tinggi dari proyek B
atau C, dan dengan demikian , akan menjadi proyek satu-satunya yang diambil menurut
aturan investasi NPV jika perusahaan hanya bisa mengeluarkan $ 2juta, indeks probabilitas
proyek B dan C lebih tinggi daripada indeks probabilitas proyek A, dan perusahaan
seharusnya mengambil kedua proyek ini, bukan proyek A. Yaitu secara bersama sama
proyek B dan C menaikkan nilai perusahaan lebih tinggi dari pada proyek A, tetapi kedua
proyek ini tidak akan diambil jika perusahaan hanya bisa menginvestasikan $ 2juta dan
mengikuti aturan NPV. Meskipun sederhana, contoh diatas memperlihatkan bahwa dengan
penjatahan modal, indeks probabilitas atau NPV relatif dapat menghasilkan ranking atau
aturan berbeda sehubungan dengan proyek-proyek mana yang sebaiknya diambil. Tentu saja
tanpa penjatahan modal, perusahaan akan mengambil semua proyek yang mempunyai NPV
positif atau indeks probabilitas lebih dari 1.
Penjatahan modal bisa muncul karena beberapa alasan.
Pertama, pengambilan semua proyek yang memiliki NPV positif bisa menimbulkan
ekspansi yang berlebihan sehingga menyiksa sumberdaya manajerial, personalia, dan sumber
daya lainnya dari perusahaan. Karenanya, manajemen puncak mungkin membatasi jumlah
dan ukuran proyek investasi yang diambil selama suatu periode tertentu.
Kedua, sebuah perusahaan mungkin enggan meminjam terlalu banyak untuk mengganti
dana internal mengingat resiko yang akan dihadapi perusahaan jika perekonomian tiba-tiba
melemah. Manajemen puncak mungkin juga enggan mengumpulkan dana tambahan dengan
menjual saham, karena takut akan kehilangan kontrol atas perusahaan.
Ketiga, manajemen puncak mungkin membatasi anggaran modal untuk beragam
investasinya begitu saja tanpa pertimbangan khusus.
4. BIAYA MODAL
Dalam bagian ini kita akan membahas bagaimana perusahaan mengestimasi biaya
pengumpulan modal untuk diinvestasikan. Seperti yang telah kita lihat dalam sub bab 14-1,
ini merupakan elemen penting proses penganggaran modal. Perusahaan bisa mendapatkan
dana investasi dari sumber internal (yaitu, dari laba ditahan) atau dari sumber eksternal
(yaitu, dengan kredit dan menjual saham). Biaya dari penggunaan dana internal adalah biaya
kesempatan atau pengembalian yang hilang karena dana ini tidak digunakan keluar
perusahaan. Biaya dari dana eksternal adalah tingkat pengembalian terendah yang diminta
oleh pemberi pinjaman dan pemegam saham sebelum mau meminjamkan atau
menginvestasikan dana mereka kedalam perusahaan. Dalam bagian ini kita akan membahas
bagaimana biaya utang ( yaitu, biaya pengumpulan modal melalui pinjaman) ditentuukan. Di
satu sisi, estimasi biaya utang tidak begitu sulit. Di sisi lain, paling tidak terdapat tiga metode
yang dimaksud adalah suku bunga bebas-risiko plus premi, model penelitian dividen, dan
model penentuan harga aset modal (CAPM). Metode-metode ini akan dibahas satu persatu.
Pengistimasian biaya modal dibahas secara mendetail dalam mata kuliah manajemen
keuangan. Di sini, hanya diperkenalkan topik yang dimaksud.
A. Biaya Utang
Biaya utang (cost of debt) adalah pengembalian yang diminta pemberi pinjaman untuk
pinjaman yang mereka berikan kepada perusahaan. Karena pembayaran bunga yang
dilakukan oleh perusahaan untuk dana pinjaman dapat dikurangkan (deductible) dari laba
kena pajak perusahaan, biaya setelah pajak dari dana yang dipinjam (Kd) dihitung dengan
mengalikan bunga yang dibayarkan (r) dengan 1 dikurangi tarif pajak marginal perusahaan, t.
Yaitu,
Kd = r(1 t)
Sebagai contoh, jika perusahaan meminjam dengan suku bunga 12,5 persen dan
menghadapi tarif pajak marginal 40 persen atas laba kena pajak, biaya setelah pajak dari
modal utang adalah:
jenis pertama dari resiko (yaitu P1) biasanya diukur oleh selisih antara suku bunga
obligasi perusahaan (r) dengan suku bunga obligasi pemerintah (r f). Risiko tambahan terlibat
dalam pembelian saham dibandingkan obligasi (yaitu p2) biasanya diestimasikan 4 %. Ini
adalah selisih historis antara tingkat pengembalian rata-rata dividen dari saham dengan
tingkat pengembalian rata-rata obligasi swasta adalah 11%, maka premi resiko total (rp) yang
terlibat dalam pembelian saham perusahaan, bukan obligasi pemerintah adalah :
rp = P1 + P2 = (11%-8%) + 4% = 3% +4% =7%
jadi, biaya modal ekuitas perusahaan adalah :
ke = rf + P1 + P2 = 8% + 3% + 4% = 15%
C. Biaya Modal Ekuitas : Model Penilaian Deviden
Biaya modal ekuitas juga dapat diestimasikan memakai model penilaian deviden
(divident valuation model). Untuk mendapatkan model ini, kita mulai de ngan menyatakan
bahwa, dibawah asumsi informasi sempurna, nilai dari satu lembar saham biasa harus sama
dengan nilai sekarang dari semua dividen masa depan yang diperkirakan akan dibayarkan,
yang didiskontokan memakai tigkat pengembalian yang diminta investor (k e). Jika dividen
persaham (D) yang dibayarkan kepada pemegang saham diperkirakan konstan dari waktu ke
waktu, nilai sekarang dari satu lembar saham biasa perusahaan (P) dengan demikian adalah :
P=
t =1
D
( 1+ ke ) t
Jika devident diasumsikan tetap konstan sepanjang waktu dan akan dibayarkan hingga
waktu yang tidak terbatas, persamaan diatas dengan demikian adalah anuitas dan dapat ditulis
menjadi :
P=
D
ke
Jika dividen diperkirakan meningkat dari waktu ke waktu dengan laju pertumbuhan
tahunan g, maka harga dari satu lembar saham biasa akan lebih besar dan ditentukan oleh :
P=
D
k eg
Dengan mengubah persamaan diatas untuk mendapatkan ke , maka biaya modal ekuitas
perusahaan adalah :
ke =
D
+g
P
Artinya, tingkat pengembalian yang diminta investor dari ekuitas sama dengan rasio dari
dividen yang dibayarkan untuk satu lembar saham biasa terhadap harga dari dari satu lembar
saham biasa yang bersangkutan (dividen yield) ditambah perkiraan laju pertumbuhan
pembayaran dividen dari waktu ke waktu (g). Nilaig adalah laju pertumbuhan historis
perusahaan atau prediksi pertumbuhan laba yang dibuat oleh analis analis sekuritas
(berbasis ekspektasi penjualan, margin laba, dan posisi kompetitif dari perusahaan) yang di
publikasikan dalam business week, forbes, dan publikasi bisnis lainnya.
Sebagai contoh, jika perusahaan membayar deviden $20 perlembar untuk saham biasa
yang mempunyai harga $200 per lembar dan laju pertumbuhan dividen 5% per tahun, biaya
modal ekuitas untuk perusahaan ini adalah :
Ke = $20/$200 + 0,05 =0,10 + 0,05 = 0,15 atau 15%
D. Biaya Modal Ekuitas : Model Penetapan Harga Aset Modal
Metode lain yang sering dipakai untuk mengestimasikan biaya modal ekuitas adalah
model penetapan harga aset modal (capital asset pricing model CAMP). Metode ini tidak
hanya memperhitungkan risiko perbedaan harga (risk differential) antara saham biasa dengan
sekuritas pemerintah, tetapi juga perbedaan resiko saham biasa perusahaan dengan saham
biasa rata rata dari semua perusahaan atau portofolio pasar berbasis luas. Risiko perbedaan
harga antara saham biasa dengan sekuritas pemerintah diukur oleh (k m rf), diman km adalah
tingkat pengembalian rata-rata dari semua saham biasa dan r f adalah tingkat pengembalian
dari sekuritas pemerintah.
Risiko perbedaan saham antara saham biasa perusahaan dengan saham biasa dari semua
perusahaan dicerminkan oleh koefisien beta (beta coeffitient ). Ini adalah rasio dari
gejolak dalam pengembalian saham biasa perusahaan terhadap gejolak dalam pengembalian
biasa dari semua perusahaan. Koefisien beta dapat diperoleh dengan meregresikan gejolak
pengembalian saham perusahaan terhadap gejolak dalam pengembalian rata-rata dari saham
saham biasa (seperti yang diukur oleh standard & Poors 500 Index atau new york stock
exchange index) sepanjang suatu periode tertentu. Atau biasanya koefisien beta dari sahamsaham individual didapatkan dari value line investment survey, merrill lynch , atau
perusahaan perusahaan saham sekuritas lain.
Koefisien beta sebesar 1berarti bahwa variabelitas dalam pengembalian saham biassa
perusahaan adalah sama dengan variabilitas dalam pengembalian semua saham. Jadi, investor
yang memegang saham dari sebuah perusahaan menghadapi semua risiko yang sama dengan
investor yang memegang portofolio pasar berbasis-luas yang mengandung semua saham.
Koefisien beta sebesar 2 berrti bahwa variabilitas dalam pengembalian dari ( resiko
pemilikan) saham sebuah perusahaan dua kali lebih besar dari pada variabilitas dalam
pengembalian dari semua saham. Sebaliknya, koefisien beta sebesar 0,5 berarti bahwa
variabilitas dalam pengembalian saham biasa sebuah perusahaan setengah dari variabilitass
dalam pengembalian semua saham secara rata-rata. Biaya modal ekuitas yang diestimasikan
oleh model CAPM adalah :
Ke =rf + (km rf)
Dimana Ke adalah biaya modal sekuritas,rf adalah suku bunga bebas risiko, adalah
koefisien beta, dan km adalah pengembalian rata rata dari saham semua perusahaan. Jadi
CAPM menyatakan bahwa biaya modal ekuitas sama dengan jumlah dari suku bunga bebas
risiko ditambah koefisien beta kali premi risiko dari saham rata-rata (k m = rf). Perhatikan
bahwa mengalikan dengan (km rf) menghasilkan premi risiko atas pemilikan saham biasa
perusahaan tertentu.
Sebagai contoh, asumsikan bahwa suku bunga bebas risiko (r f ) adalah 8%, pengembalian
rata-rata dari saham biasa (km ) adalah 15%, dan koefisien beta () untuk perusahaan yang
bersangkutan adalah 1. Biaya dari model ekuitas ke untuk perusahaan ini adalah:
Ke = 8% + 1(15% - 8%) = 15%
Artinya, karena koefisiaen beta sebesar 1 mengindikasikan bahwa saham perusahaan
saham ini sama berisikonya dengan saham semua perusahaan secara rata-rata, biaya modal
ekuisitas adalah 15 persen (sama dengan tingkat pengembalian rata-rata dari semua saham).
Jika = 1,5 (sehingga risiko yang terkandung di dalam pemilikan saham perusahaan 1,5 kali
lebih besar dari risiko saham rata-rata) maka biaya dari modal ekuitas akan menjadi:
Ke = 8% + 1,5(15% - 8%) = 18,5%
Sebaliknya, jika = 0,5 maka
Ke = 8% + 0,5(15% - 8%) = 11,5%
Dalam contoh ini dan dalam contoh-contoh yang menggunakan suku bunga bebas-risiko
plus premi risiko dan model penilaian dividen, biaya modal ekuitas adalah sama dengan
(15%). Ini jarang terjadi. Yaitu, pemakaian metode berbeda dalam mengistimasikan biaya
model ekuisitas besar kemungkinan akan memberikan hasil yang agak berbeda pula. Dengan
demikian, perusahaan kemungkinan akan menggunakan ketiga metode dan berupaya
merekonsiliasi perbedaanya untuk mendapatkan konsensus mengenai biaya modal ekuitas.
E. Biaya Modal Tertimbang
Secara umum, sebuah perusahaan kemungkinan besar akan mengumpulkan modal dari
laba ditahan, dengan meminjam dan dengan menjual saham, sehingga biaya marginalnya dari
modal bagi perusahaan adalah rata-rata tertimbang dari biaya pengumpulan berbagai jenis
modal.
Karena bunga yang harus dibayarkan untuk dana pinjaman bersifat tax-deductible
sementara dividen yang dibayarkan untuk saham tidak, biaya utang secara umum lebih
rendah dari pada biaya dari modal ekuisitas. Namun, risiko yang terlihat dalam pengumpulan
dana dengan meminjam lebih tinggi daripada risiko modal ekuisitas karena perusahaan harus
secara teratur melakukan pembayaran dividen. Jadi, perusahaan biasanya tidak hanya
mengumpulkan dana melalui pinjman tetapi juga dengan menjual saham (serta dengan laba
ditahan).
Perusahaan sering kali berusaha mempertahankan atau meraih struktur modal terhadap
ekuisitas tertentu dalam jangka panjang. Sebagai contoh, perusahaan penyedia fasilitas umum
mungkin menginginkan struktur modal yang terdiri atas 60 persen utang dan 40 persen
ekuisitas, sementara produsen mobil mungkin menyukai struktur yang terdiri atas 30 persen
utang dan 70 persen ekuitas. Rasio utang/ekuisitas yang diinginkan oleh sebuah perusahaan
mencerminkan preferensi risiko manajemen dan pemegang sahamnya, dan sifat dari bisnis
perusahaan. Perusahaan penyedia fasillitas umum mau menerima risiko yang lebih tinggi,
seperti yang dicerrminkan oleh rasio utang/ekuisitas yang lebih tinggi, karena arus labanya
lebih stabil dibanding arus laba produsen mobil. Ketika ingin mengumpulkan modal,
perusahaan meminjam dan menjual saham sedemikian rupa dalam rangka mempertahankan
atau meraih rasio utang/ekuisitas yang diinginkan.
Biaya modal gabungan (compesite cost of capital) perusahaan (Kc) dengan demikian
adalah rata-rata tertimbang dari biya modal utang (kd) dan biaya modal ekuisitas (ke), yaitu:
Kc = wdkd + weke
di mana wd dan we masing-masing adalah proporsi dari utang dan ekuisitas dalam struktur
modal perusahaan. Sebagai contoh, jika biaya utang (setelah pajak) adalah 7,5 persen, biaya
modal ekuisitas 15 persen, dan perusahaan ingin mempunyai rasio utang /ekuisitas 40:60,
maka biaya modal marginal tertimbang untuk perusahaan ini adalah:
Kc = (0,40) (7,5%) + (0,60) (15%) = 3% + 9% = 12%
Ini adalah biaya modal marginal gabungan yang telah kita gunakan untuk mengevaluasi
semua usulan proyek investasi yang dihadapi perusahaan dalam subbab 14- 1. Maksudnya,
proporsi utang terhadap ekuisitas yang ingin diraih atau dipertahankan oleh perusahaan dalam
jangka panjang biasanya tidak didefinisikan untuk proyek-proyek individu, tetapi untuk
semua proyek investasi yang tengah dipertimbangkan oleh perusahaan. Perhatikan bahwa
biaya modal marginal pada akhirnya akan naik (yaitu, kemiringan dari kurva MCC dalam
figur 14- 1 menjadi positif) seiring perusahaan semakin mengumpulkan tambahan dengan
meminjam dan menjual saham karena semakin meningkatkan risiko yang dihadapi pemberi
pinjaman dan investor seiring meningkatnya rasio utang/ekuitas.
5. MENGKAJI ULANG PROYEK INVESTASI SETELAH IMPLEMENTASI
Mengkaji ulang (review) proyek-proyek setelah mengimplementasikan merupakan hal
yang penting. Review semacam ini menyangkut perbandingan arus kas aktual dan
pengembalian dari sebuah proyek dengan arus kas dan pengembalian yang diperkirakan atau
atau diramalkan dari proyek tersebut, serta penjelasan atas setiap penyimpangan yang
muncul. Dalam melakukan review proyek setelah implementasi, adalah penting untuk
menyadari bahwa sebagian perbedaan antara hasil yang diperkirakan atau diramalkan dengan
hasil aktual tidak dapat dielakkan mengingat ketidakpastian yang melingkupi arus kas masa
depan. Sebagian perbedaan antara hasil yang diramalkan dengan hasil aktual juga bisa
ditimbulkan oleh kejadian-kejadian yang tidak dapat diramalkan (seperti lesunya industri
penerbangan karena adanya serangan teroris 11 September dan tantangan keamanan
berikutnya dalam tahun 2001 dan 2002) yang tidak bisa dikendalikan oleh perusahaan.
Membandingkan dan menjelaskan perbedaan antara hasil yang diramalkan dengan hasil
aktual dari suatu proyek investasi setelah implementasi sangatlah bermanfaat. Alasannya
adalah jika pembuat keputusan tahu bahwa proyek investasi mereka akan di-review dan
dievaluasi setelah implementasi dan dibandingkan dengan ekspektasi awal, mereka akan
cenderung merencanakan investasi secara lebih hati-hati dan juga bekerja keras untuk
memastikan bahwa ekspektasi tercapai. Sebagai contoh, telah ditemukan bahwa perusahaanperusahaan berkinerja paling baik adalah perusahaan yang sangat mementingkan post-audit
dan bahwa estimasi para pembuat keputusan membaik jika mereka tahu bahwa post-audit
dilakukan secara rutin. Namun, review post-audit harus digunakan secara hati-hati agar tidak
menurunkan niat pembuat keputusan untuk mengusulkan poyek-proyek investasi yang sangat
berisiko tetapi berpotensi menghasilkan banyak laba.
yang dikenakan oleh bank-bank untuk kredit jangka pendek dan jangka menengah kepada
sektor pihak swasta di AS dan Jepang sepanjang tahun 1981 sampai 2001. Saat periode ini,
Jepang adala pesaing utama bagi AS dalam sebagian besar pasar teknologi tinggi, baik di AS
sendiri maupun di pasar-pasar internasional. Suku bunga pinjaman jangka panjang
berhubungan dengan suku bunga pinjaman jangka pendek dan jangka menengah dan secara
umum bergerak bersamaan dan searah.
Tabel 14- 5 menunjukkan bahwa suku bunga pinjaman nominal di AS lebih tinggi
dibandingkan di Jepang dalam setiap tahun sepanjang tahun 1981 sampai 2001. Suku bunga
pinjaman riil (suku bunga nominal yang telah disesuaikan inflasi) suku bunga yang
memengaruhi daya saing internasional di AS lebih tinggi dibandingkan di Jepang selama
periode 1981 sampai 1984, dan ini merupakan periode yang sangat merugikan daya saing
internasional AS relatif terhadap daya saing Jepang. Walaupun faktor-faktor lain juga
berperan, tingginya biaya modal di AS relatif terhadap biaya modal di Jepang jelas
merupakan salah satu faktor yang menentukan. Dari tahun 1985 sampai 1994, selisih suku
bunga pinjaman riil AS-Jepang bervariasi dan perusahaan-perusahaan AS mendapatkan
kembali sebagian daya saing yang hilang selama awal dekade 1980-an. Sejak tahun 1995,
suku bunga riil di AS sekali lagi menjadi jauh lebih tinggi di banding di Jepang. Namun,
meskipun dihadapkan pada kenyataan semacam itu, AS terus mendapatkan kembali daya
saing dalam hubungannya dengan Jepang. Jelas, kekuatan-kekuatan lain yang berperan
( seperti tingginya efisiensi dari sektor jasa dan keuangan di AS dibanding di Jepang) mampu
mengungguli dampak negatif dari tingginya suku bunga riil.
Penyebab tingginya suku bunga pinjaman nominal dan riil di AS daripada suku bunga di
Jepang adalah tingginya permintaan atas pinjaman dan rendahnya pasokan dana yang di AS
dibanding dengan di Jepang. Salah satu penyebab tingginya permintaan terhadap pinjaman di
AS adalah tingginya difisit anggaran selama tahun 1990-an. Pada saat yang sama, tingkat
tabungan di AS sangatlah rendah, namun sangat tinggi di Jepang. Dengan permintaan
terhadap dana pinjaman sangat tinggi di AS relatif terhadap permintaan dana pinjaman di
Jepang, tidaklah mengejutkan jika suku bunga nominal dan riil di AS lebih tinggi dari pada
suku bunga nominal dan riil di Jepang sepanjang periode yang dikaji.
LAMPIRAN...