PENDAHULUAN
Steven Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolisis (TEN) adalah
penyakit mukokutaneus yang jarang, bersifat akut dan mengancam nyawa dengan
karakteristik berupa nekrosis dan pelepasan dari lapisan epidermis yang luas yang
hampir selalu berhubungan dengan konsumsi obat. Manifestasi disebabkan karena
adanya kematian sel-sel keratinosit yang luas yang mengakibatkan pemisahan yang
luas pada dermal-epidermal junction memberikan gambaran kulit yang melepuh
(bula). Penyakit ini berjalan tanpa dapat diprediksi. Mula-mula timbul dermatosis
yang tampak tidak berbahaya namun dapat menjadi progresif dalam watu singkat, dan
setelah terjadi pelepasan kulit (skin detachment) yang luas maka tidak dapat
diprediksi kapan penyakit akan sembuh. Beberapa penelitian telah meneliti tentang
gejala klinis dari SJS dan TEN dan telah membentuk suatu c$riteria diagnosis. Risiko
kematian juga dapat diprediksi secara akurat dengan menggunakan tingkat keparahan
penyakit yang dapat digunakan sebagai prediksi prognosis dari TEN (SCORTEN)1.
Prognosis ditentukan dari seberapa cepat obat yang menjadi penyebabnya
diidentifikasi dan dihentikan. Meskipun TEN dan terutama SJS dulu dianggap
termasuk dalam spectrum penyakit yang di dalamnya termasuk Eritema Multiforme
Mayor, kelainan ini kini dibedakan karena penyebab, penatalaksanaan dan
prognosisnya biasanya berbeda. SJS dan TEN juga harus dibedakan dari dermatosis
seperti Stapylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS), fixed drug eruption, druginduced linear IgA bullous dermatosis, eritema toksik akibat kemoterapi dan
pustulosis eksantematous generalisata akut karena penatalaksanaan dan prognosis
yang berbeda. Belum ada terapi spesifik untuk SJS dan TEN yang menunjukkan
efektvitas dalam prosesnya. Prevalensi yang rendah dan potensi mengancam nyawa
menjadikan penyakit ini sulit untuk dilakukan penelitian 1. Bentuk penyakit yang
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Steven Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolisis (TEN) adalah
penyakit mukokutaneus yang jarang, bersifat akut dan mengancam nyawa dengan
karakteristik berupa nekrosis dan pelepasan dari lapisan epidermis yang luas yang
hampir selalu berhubungan dengan konsumsi obat. Manifestasi disebabkan karena
adanya kematian sel-sel keratinosit yang luas yang mengakibatkan pemisahan yang
luas pada dermal-epidermal junction memberikan gambaran kulit yang melepuh
(bula)1,4.
SJS dan TEN adalah variasi dari kondisi makula eritomatous yang dapat
menjadi erosi epidermal dan membran mukosa. Pada kasus SJS terdapat 10% bagian
tubuh yang dapat terkena sedangkan pada TEN lebih dari 30%.7
2.2 Sejarah
Pada tahun 1922, dua orang dokter berkebangsaan Amerika, Stevens and
Johnsons menjelaskan tentang sindrom mukokutaneus akut pada dua orang anak lakilaki. Kondisi tersebut ditandai dengan adanya konjungtivitis purulen yang berat,
stomatitis berat, dan neksosis mukosa yang luas dan lesi kutan yang menyerupai
eritema multiforme (EM). Kelainan ini kemudian dikenal sebagai Steven-Johnson
Syndrome (SJS) dan diketahui sebagai penyakit mukokutaneus berat yang dapat
berakhir fatal. SJS kemudian dimasukan sebagai EM mayor oleh Bernard Thomas
pada tahun 1950. Namun, penelitian yang dilakukan dewasa ini telah menemukan
bahwa SJS dan EM merupakan dua kelainan yang berbeda1,4.
Pada tahun 1956, Alan Lyell menjelaskan tentang empat orang pasien dengan
erupsi berupa bula pada kulit yang olehnya diberi istilah toxic epidermal
necrolysis. Lyell juga mengamati adanya serangan pada membrane mukosa sebagai
bagian dari sindroma dan mengamati bahwa inflamasi yang terjadi pada dermis
sangat minimal,yang kemudian disebut sebagai dermal silence, salah satu ciri-ciri
yang membedakan dengan infiltrate inflamasi yang jelas dari penyakit vesikobulosa
lainnya seperti EM, dermatitis herpetiformis dan pemfigus bulosa. TEN pada waktu
itu dianggap sebagai reaksi kutaneus akibat stimulus multiple, termasuk obat
(sulfonamid), dan mikroba (Staphylococcus) 1.
Penelitian yang dilakukan pada tikus neonatal yang mengalami subgranular
epidermal split setelah pajanan terhadap phage S. aureus grup II, penemuan
eksotoksin staphylococcal baru yang disebut epidermolytic toxic berujung pada
dibedakannya TEN dengan Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS). Dengan
semakin banyaknya insidensi TEN pada tahun-tahun mendatang setelah penelitian
Lyell, menjadi jelas bahwa beberapa obat tertentu seperti sulfonamide, pyrazolon,
barbiturate, dan antikonvulsan sering berkaitan dengan timbulnya TEN. Pada waktu
yang sama, obat-obatan juga semakin dikaitkan sebagai penyebab timbulnya EM
mayor dengan stomatitis berat. Karena itu, EM, SJS dan TEN dulu dianggap sebagai
bagian dari spectrum reaksi kutaneus. Sekarang telah ditemukan bahwa penyebab
mayor dari EM adalah HSV dan virus ini tidak berhubungan dengan penyebab TEN.
Penelitian oleh Jean-Claude Roujeaujuga membuktikan bahwa SJS dan EM adalah
dua penyakit yang memiliki penyebab dan prognosis yang berbeda. SJS dan TEN
sekarang dianggap sebagai satu kesatuan epidermolisis berat karena reaksi kutaneus
akibat obat, dimana perbedaan hanya meliputi luas permukaan tubuh yang terkena1,4.
termasuk
pasien
yang
memiliki
genotip
slow-acetylator,
karbamazepin
(20%),
jamu
(13.3%).
Kausa
lainnya
berupa
amoksisilin,
Chlormezanone
Aminopenicillin
Phenytoin
Amithiozone
(Thioacetazonde)
Piroxicam
Antiretroviral
Barbiturate
Carbamazepine
Sulfadiazine
Sulfasalazine
Trimethoprimsulfametoxazole
Pada umumnya risiko terjadinya SJS/TEN paling tinggi pada mingguminggu awal dari terapi. Lebih jauh lagi, obat-obatan dengan waktu paruh
lama lebih sering mengakibatkan reaksi obat dan akibat fatal dibandingkan
obat dengan waktu paruh singkat1,2.
2.4 Patogenesis
Hingga kini urutan pasti dari proses molekuler dan seluler yang terjadi
dalam SJS/TEN baru dipahami sebagian. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa SJS/TEN terkait dengan ketidakmampuan tubuh dalam detoksifikasi
metabolit obat reaktif. Prosesnya diawali dengan adanya respon imun
terhadap kompleks antigenik yang dibentuk dari reaksi metabolit tersebut
dengan jaringan tubuh tertentu1. Patogenesis utama diduga akibata adanya
proses hipersensitivitas tipe II (sitotoksik)4,5.
periode
sensitasi
dan
menunjang
peran
imunitas
dalam
Penelitian
menunjukkan
bahwa
kerusakan
jaringan
yang
Dalam
dan
kehilangan
kemampuan
kohesinya
pada
kehilangan
10
11
typical target lesion yang mempunyai tiga lingkaran konsentris yang khas
dan dengan atypical target lesion yang papular pada EM1.
SJS
SJS-TEN
TEN
12
Distribution
Isolated lesions
Confluence (+) on
face and trunk
Isolated lesions
Confluence (++) on
face and trunk
Mucosal
involvement
Yes
Yes
Yes
Systemic
symptoms
Usually
Always
Always
Detachment
(%BSA)
<10
10-30
>30
13
14
Saat merawat pasien dengan kondisi seperti ini, luas dari nekrolisis
harus dievaluasi secara tepat dan hati-hati karena merupakan salah satu
faktor penentu prognosis. Dalam hal ini aturan untuk mengukur total luas
permukaan tubuh (Body Surface Area) yang digunakan dalam luka bakar
dapat dipakai. Pengalaman menunjukkan bahwa sangat sering terjadi
overestimasi dalam mengukur luas pelepasan kulit (skin detachment).
Pengukuran harus meliputi lesi kulit yang terlepas baik secara spontan
maupun tidak (Nikolsky sign +), dan tidak termasuk area yang hanya berupa
eritema saja (Nikolsky
15
16
EM
harus
ada
typical
target
lesion,
sedangkan
SJS
17
pula terjadi dalam 2 hari dalam kasus re-exposure obat yang sebelumnya
pernah memicu SJS/TEN. Pada umumnya, pengobatan untuk pasien dengan
SJS atau TEN harus dibatasi hingga batas minimum, penggunaan obat
substitusi yang sesuai dan lebih dipilih obat-obatan dengan waktu paruh
singkat1.
pada
dewasa
yang
menderita
gagal
ginjal
dan
pasien
18
membrane mukosa, telapak tangan dan kaki. Nikolsky sign dapat (+) seperti
pada TEN, tapi dihasilkan oleh pemisahan subkorneal superficial bukan
pemisahan dermal-epidermal seperti pada TEN. Lesi berupa bula yang
mudah pecah, diikuti pengelupasan. Pengelupasan (eksfoliasi) yang terjadi
lebih superfisial, meninggalkan lapisan epidermis yang masih intak dan
bukan jaringan dermis yang basah dan berwarna merah terang seperti pada
TEN. Pada SSSS sering didapatkan adanya nasal discharge yang purulen1.
AGEP, yang juga merupakan efek samping akibat obat, tampak
sebagai area eritema yang luas dengan pustul kecil (< 3mm) multipel di
atasnya. Adanya neutrofilia dan eosinofilia, ditambah dengan pustule akan
membedakan dengan diagnosis TEN. Nikolsky sign dapat positif sehingga
tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis. Keterlibatan membran
mukosa terjadi pada 20% kasus. Histologi adalah salah satu pemeriksaan
yang berguna, dimana pada AGEP ditemukan infiltrat neutrofil yang padat
dengan pustul intraepidermal dan subkorneal, namun tidak ada full thickness
epidermal necrosis. Lesi mukokutaneus multipel dari fixed drug eruption
dapat menyerupai SJS naik secara klinis maupun histologis, untuk itu perlu
ditentukan jumlah lesi yang timbul pertama kali1.
19
2.8 Penatalaksanaan
20
21
utama
kematian.
Komplikasi
meliputi
hipovolemia,
22
23
24
dengan
antibiotik
pencetus.
Obat
pilihan
antara
lain
2.9 Komplikasi
25
26
2.10 Prognosis
27
SCORTEN
0-1
2
Points
1
1
1
1
1
1
1
28
3
4
>5
35.8
58.3
90
Angka kematian terjadi pada 1 dari 3 pasien dengan TEN dan paling
sering disebabkan oleh infeksi (S. aureus dan Pseudomonas aeruginosa).
Kehilangan
cairan
transepidermal
yang
berat
dikaitkan
dengan
BAB III
KESIMPULAN
29
pecah, dapat meluas ke lateral dengan penekanan ringan oleh ibu jari seiring
dengan meluasnya pelepasan epidermis (Asboe-Hansen sign).
Penatalaksanaan optimal dari SJS dan TEN memerlukan diagnosis
secara dini, penghentian dengan segera obat-obatan pencetusnya, perawatan
suportif dan terapi spesifik. Komplikasi yang dapat terjadi berupa sekuele
antara lain simblefaron, sinekia konjungtiva, entropion, scarring, pigmentasi
irregular, erosi persisten dari membrane mukosa, phimosis, sinekia vaginal,
distrofi kuku, dan kerontokan rambut difus.
Pada TEN ada beberapa faktor yang yang dihubungkan dengan
prognosis buruk, termasuk di dalamnya usia tua dan luas lesi . Penghentian
obat penyebab yang terlambat juga berhubungan menurunnya prognosis.
Penghentian obat penyebab dengan segera dapat menurunkan risiko kematian
sebesar 30%. Skor derajat berat penyakit untuk TEN telah dibuat
(SCORTEN) dimana ada tujuh parameter signifikan dalam menentukan
prognosis dari penyakit.
30