Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar belakang

Autisme berasal dari istilah dalam bahasa Yunani; aut = diri sendiri, isme
orientation/state= orientasi/keadaan. Maka autisme dapat diartikan sebagai kondisi
seseorang yang secara tidak wajar terpusat pada dirinya sendiri; kondisi seseorang
yang senantiasa berada di dalam dunianya sendiri. Istilah autisme pertama kali
diperkenalkan oleh Leo Kanner pada tahun 1943, selanjutnya ia juga memakai
istilah Early Infantile Autism, atau dalam bahasa Indonesianya diterjemahkan
sebagai Autisme masa kanak-kanak . Hal ini untuk membedakan dari orang
dewasa yang menunjukkan gejala autis seperti ini. Autis merupakan suatu
gangguan perkembangan pada anak yang sifatnya komplek dan berat, biasanya
telah terlihat sebelum berumur 3 tahun, tidak mampu untuk berkomunikasi dan
mengekspresikan perasaan maupun keinginannya. Akibatnya perilaku dan
hubungannya dengan orang lain menjadi terganggu, sehingga keadaan ini akan
sangat mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Autis dapat mengenai
siapa saja tidak tergantung pada etnik, tingkat pendidikan, sosial dan ekonomi.
Autis bukanlah masalah baru, dari berbgai bukti yang ada, diketahui kelainan ini
sudah ada sejak berabad-abad yang lampau. Hanya saja istilahnya relatif masih
baru. Diperkirakan kira-kira sampai 15 tahun yang lalu, autisme merupakan suatu
gangguan yang masih jarang ditemukan, diperkirakan hanya 2-4 penyandang
autisme. Tetapi sekarang terjadi peningkatan jumlah penyandang autisme sampai
lebih kurang 15-20 per 10.000 anak. Jika angka kelahiran pertahun di Indonesia 4,6
juta anak, maka jumlah penyandang autisme pertahun akan bertambah dengan
0,15% yaitu 6900 anak.[1]

B.

Rumusan Masalah

1.

Apa pengertian autis ?

2.

Apa penyebab dan karakteristik anak autis ?

3.

Apa saja penangan untuk anak autis ?

4.

Apa peran fisioterapi pada anak autis ?

BAB II

KERANGAKA TEORI

A.

Pengertian

Autis berasal dari kata auto yang artinya sendiri. Istilah ini dipakai karena mereka
yang mengidap gejala autisme seringkali memang terlihat seperti orang yang hidup
sendiri. Mereka seolah-olah hidup di dunianya sendiri dan terlepas dari kontak sosial
yang ada disekitarnya. Autisme merupakan salah satu bentuk gangguan tumbuh
kembang, berupa sekumpulan gejala akibat adanya kelainan syaraf-syaraf tertentu
yang menyebabkan funsi otak tidak bekerja secara normal sehingga mempengaruhi
tumbuh kembang, kemampuan komunikasi, dan kemampuan interaksi sosialnya.[2]
Kata autistik diambil dari kata Yunani, autos = aku, yaitu seluruh sikap anak yang
mengarah pada dunianya sendiri. Istilah autistik menunjukkan suatu gejala
psikologis yang unik dan menonjol, yakni mengacuhkan suara, penglihatan atau
kejadian-kejadian yang melibatkan dirinya.[3]
Autis berasal dari kata Autos yang berarti diri sendiri dan isme yang berarti
suatu aliran. Berarti autisme adalah suatu paham yang tertarik hanya pada
dunianya sendiri. Autis adalah suatu gangguan perkembangan yang komplek
menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktifitas imajinasi, gangguan sensoris,
pola bermain, perilaku, dan emosi.[4]

Autis adalah gangguan perkembangan berat yang antara lain mempengaruhi cara
seseorang untuk berkomunikasi dan berelasi (berhubungan) dengan orang lain.
Penyandang autis tidak dapat berhubungan dengan orang lain secara berarti karena
antara lain ketidakmampuan berkomunikasi verbal maupun non verbal.[5]

B.

Etiologi (Penyebab Autis )

Sampai sekarang belum terdeteksi faktor yang menjadi penyebab tunggal


timbulnya gangguan autis. Namun demikian ada beberapa faktor yang dapat
menjadi penyebab timbulnya autis berdasarkan beberapa hasil penelitian:
1.

Faktor Psikologis dan Keluarga

Faktor-faktor psikologis yang dapat menyebabkan gangguan autis adalah


ketidaksadaran dan ketidakpahaman akan eksistensi diri yang sebenarnya berbeda
dengan orang lain, tidak memiliki percaya diri pada kekuatan dan potensinya, sikap
menarik diri dari situasi sosial, pandangan dunia luar yang terlalu sempit, disabilitas
kognitif (keterlambatan kognitif), kegagalan dalam relasi sosial, ketidakmampuan
berbahasa, rendahnya kosep diri dan perilaku yang tidak lazim[6]

Beberapa ahli (Kanner dan Bruno Bettelhem) menganggap autisme sebagai akibat
hubungan yang dingin, tidak akrab antara orang tua (ibu) dan anak. Demikian juga
dikatakan, orang tua atau pengasuh yang emosional, kaku, obsesif, tidak hangat
bahkan dingin dapat menyebabkan anak asuhnya menjadi autistik[7]
2.

Faktor Biologis

a. Faktor genetik
Yaitu keluarga yang terdapat anak autis memiliki resiko lebih tinggi dibanding
populasi keluarga normal. Hal ini didasarkan pada pewarisan sifat-sifat induk
melalui kromosom. Manusia normal mengandung 46 kromosom, atau dapat
dikatakan 23 kromosom dari laki-laki dan 23 kromosom dari perempuan. Sedangkan
kromosom manusia yang tidak normal memiliki 45 atau 47 buah kromosom.
Kromosom yang tidak normal inilah yang membawa sifat keturunan gangguan
mental.
Kromosom sendiri terbagi menjadi dua, yaitu kromosom sek yang terdiri dari
satu pasang kromosom yang menentukan jenis kelamin, dan kromosom otomos
yang merupakan kromosom pasangan pertama sampai pasangan ke-22 yang
mewarisi sifat-sifat induknya seperti bentuk badan, warna kulit, intelegensi, bakatbakat khusus dan juga gangguan mental.[8]
Menurut para peneliti, faktor genetik memegang peranan kuat sebagai
penyebab autis karena manusia banyak mengalami mutasi genetik akibat dari cara
hidup yang semakin modern seperti penggunaan zat kimia dalam kehidupan
sehari-hari, dan faktor udara yang semakin terpolusi[9].
Hasil penelitian lain menemukan bahwa gangguan autistik lebih banyak
ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan, yakni sekitar
3-5 lebih banyak pada anak laki-laki. Namun tingkat keparahannya lebih banyak
terjadi pada anak perempuan, apalagi jika memiliki riwayat keluarga autistik.
Sementara penelitian[10]menemukan bahwa gangguan autis memiliki komponen
genetik dari keluarga yang memiliki anak autis berkisar 3-5%. Hasil penelitian pada
anak kembar ternyata ditemukan bahwa adanya kesesuaian gen gangguan autis
pada anak kembar monozigotik dengan angka kontribusi diperkirakan sekitar
36%[11].
b. Pre Natal
Beberapa faktor yang dapat memicu munculnya autis pada masa kehamilan
terjadi pada masa kehamilan 0-4 bulan, bisa diakibatkan oleh polutan logam berat
(Pb, Hg, Cd, Al), infeksi (toksoplasma, rubella, candida, dan sebagainya), zat aditif
(pengawet, pewarna dan MSG), hiperemesis (muntah-muntah berat), perdarahan
berat, dan alergi berat.[12]
1).

Lama masa kehamilan

Penelitian yang dilakukan Tommy Movsas dari Michigan State


University menunjukkan bahwa bayi yang lahir prematur (sebelum usia kandungan

cukup bulan) mempunyai risiko tinggi mengidap autis. Demikian juga jika lahirnya
lebih lama dari masa kehamilan normal, risiko mengidap autis juga sama tinggi[13].
Usia kehamilan normal pada ibu hamil yaitu 37-42 minggu. Sedangkan kehamilan
yang lebih dari 42 minggu disebut sebagai kehamilan lewat waktu (postterm), dan
disebut kehamilan preterm jika usia kehamilan kurang dari 37 minggu. Biasanya
bayi yang lahir prematur akan mudah terserang penyakit, yaitu penyakit kuning.
Disebut kehamilan preterm jika usia kehamilan kurang dari 37 minggu. Hal ini
berdampak pada bayi dimana kekebalan tubuh bayi masih lemah karena fungsi
organ tubuhnya belum terbentuk sempurna, sehingga perkembangan bayi
terganggu. [14]
2) .

Obesitas

Menurut Paula Krakowiak, epidemiolog dari UC Davis MIND Institute,


penelitian terbaru yang dilakukan para ilmuwan yang berafiliasi dengan UC Davis
MIND Institute menemukan bahwa ibu yang obesitas beresiko 67% lebih besar
melahirkan anak yang menyandang autis. [15]
Menurut dr. Suririnah, bahwa selama kehamilan, ibu hamil perlu untuk
bertambah berat badan.[16] Berat badan wanita hamil akan mengalami kenaikan
sekitar 6,5-16,5 kg. Metode yang biasa digunakan adalah BMI (Body Mass Index).
Kenaikan berat badan terlalu banyak ditemukan pada
kasus preeklampsi dan eklampsi (Rukiyah, dkk., 2009). Hal ini berhubungan dengan
hipertensi pada kehamilan yang dapat dengan cepat menimbulkan oliguria dan
disfungsi ginjal. Sehingga prognosis pada bayi dan ibunya menjadi serius[17].
3).

Diabetes

Selain obesitas, hasil penelitian para ilmuwan yang berafiliasi dengan UC


Davis MIND Institue juga menemukan bahwa penderita diabetes berisiko 2,3 kali
lebih besar memiliki anak dengan gangguan perkembangan dibandingkan ibu
dengan kondisi sehat. Namun, proporsi ibu dengan diabetes yang memiliki anak
autis lebih tinggi daripada ibu yang sehat, meski secara statistik tidak terlalu
signifikan. Studi ini juga menemukan, anak penyandang autis dari ibu penderita
diabetes lebih mungkin mengalami kecacatan (rendahnya pemahaman bahasa dan
komunikasi) daripada anak autis yang lahir dari ibu yang sehat. Namun, anak-anak
tanpa autis yang lahir dari ibu penderita diabetes juga rentan mengalami gangguan
sosialisasi jika dibandingkan dengan anak tanpa autis dari ibu yang sehat[18].
Menurut peneliti, pada ibu penderita diabetes dan kemungkinan kondisi pradiabetes di masa kehamilan, pengaturan glukosa menjadi sulit diatur sehingga
meningkatkan produksi insulin pada janin. Produksi insulin yang tinggi membuat
kebutuhan akan oksigen menjadi lebih besar, akibatnya suplai oksigen bagi janin
menjadi berkurang. (Kompas.com) Kejadian diabetes pada ibu hamil bisa didapat
saat hamil atau sebelumnya memang memiliki kadar gula yang tinggi. (Solikhah,
2011)
Beberapa pengaruh penyakit diabetes terhadap janin atau bayi:

(a) Bayi berisiko mengalami kelainan jiwa


(b) Bayi berisiko mengidap penyakit gula
(c) Bayi berisiko mengalami cacat bawaan
(d) Kematian janin dalam rahim (> ke-36) dan lahir mati
(e) Bayi dengan dismaturitas
4) .

Perdarahan selama masa kehamilan

Perdarahan selama kehamilan sering bersumber dari placenta


complication yang menyebabkan gangguan perkembangan otak. Perdarahan pada
awal kehamilan berkaitan dengan kelahiran prematur dan memiliki berat bayi yang
rendah, dimana kondisi ini sangat rentan terjadinya autis. Dalam periode neonatus,
anak autis mempunyai insiden yang tinggi untuk mengalami sindrom gawat
pernapasan dan anemia neonatus. Beberapa komplikasi yang timbul
pada neonatusmempengaruhi kondisi fisik bayi yang akan dilahirkan. Bila terjadi
gangguan kelahiran, maka hal yang paling berbahaya adalah hambatan aliran
darah pada otak dan oksigen ke seluruh tubuh. Dan organ yang paling sensitif
terkena autis adalah otak.[19]
Pada awal kehamilan, perdarahan abnormal adalah merah, banyak, atau
perdarahan dengan rasa nyeri[20]Sedangkan, pada kehamilan lanjut perdarahan
yang berbahaya antara 24-28 minggu. Hal ini dikarenakan sifat perdarahan yang
cepat dan banyak yang berasal dari gangguan pada plasenta (Dewi, 2011). Apabila
diagnosa klinik dapat ditegakkan, itu berarti perdarahan telah terjadi sekurangkurangnya 500 ml.
5) . Usia orang tua saat hamil
Menurut Alycia Halladay, Direktur Riset Studi Lingkungan Autism Speaks,
makin tua usia orangtua saat memiliki anak, makin tinggi risiko si anak menderita
autis. Penelitian yang dipublikasikan tahun 2010 menemukan, perempuan usia 40
tahun memiliki risiko 50 persen memiliki anak autisme dibandingkan dengan
perempuan berusia 20-29 tahun. Hal ini diduga karena terjadinya faktor mutasi
gen (Kompas.com).
Terlalu tua untuk hamil (usia diatas 35 tahun) bisa jadi berakibat pada
persalinan, yaitu persalinan memakan waktu cukup lama, disertai perdarahan dan
risiko cacat bawaan. Sedangkan hamil di bawah usia 20 tahun bisa berakibat
kesulitan dalam melahirkan dan keracunan saat hamil (Hartati, 2010).
c.

Zat-zat aditif yang mencemari otak anak

Menurut Sunu, beberapa faktor yang berpotensi menjadi penyebab autis


pada anak antara lain seperti:
1)

Asupan MSG (Mono Sodium Glutamat)

2)

Protein tepung terigu (gluten), dan protein susu sapi (kasein)

3)

Zat perwarna

4)

Bahan pengawet

5)

Polutan logam berat.

Dari hasil tes pada darah dan rambut beberapa anak autis ditemukan
kandungan logam berat dan beracun sepertiarsenik, antimoni, kadmium (Cd), air
raksa (Hg), atau timbal (Pb). Diduga kemampuan tubuh anak autis tidak mampu
melakukan sekresi terhadap logam berat akibat masalah yang sifatnya genetik.
6)
Bahkan beberapa ahli juga berpendapat bahwa jenis imunisasi seperti
MRR (Mump, Measles, and Rubbella) dan hepatitis B pada bayi dapat juga menjadi
pemicu munculnya autisme, meskipun hal ini masih menjadi perdebatan[21].
Selama ini pemberian vaksin kombinasi three in one, yakni vaksin campak, gondok,
dan rubela (MMR) dan vaksin hepatitis B masih dianggap sebagai vaksin
penyelamat manusia. Akan tetapi, dari data-data patologis ditemukan bahwa vaksin
MMR juga dianggap bisa memberikan kontribusi pada pembentukan autis.
Diperkirakan vaksin ini mengandung zat pengawet[22]
d. Neurobiologis
Dari data prevalensi menunjukkan bahwa tiga dari empat penderita autis
memiliki kecenderunganretradasi mental dengan tingkat estimasi antara 30%-70%,
sehingga penderita autis memperlihatkan abnormalitas neurobiologis, seperti
kekakuan gerakan tubuh dan cara berjalan yang abnormal. Hasil CATSCAN
(Computer Assisted Axial Tomography) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging)
menemukan adanya abnormalitas cerebellum pada penderita autis. Penemuan ini
diperkuat oleh penelitian Courchesne (1991) yang menemukan adanya keterkaitan
abnormalitas otak bagian cerebellum terhadap gangguan autistik (Pieter, dkk.,
2011).
e.

Gangguan sistem pencernaan

Kurangnya enzim sekretin diketahui berhubungan dengan munculnya gejala


autisme. Kasus semacam ini ditemukan pada seorang penderita autis
bernama Parker Back pada tahun 1997. Selain itu, hasil pemeriksaan usus anakanak yang mengalami autis ditemukan adanya peradangan. Dari hasil penelitian,
peradangan ini diketahui disebabkan oleh virus campak.[23]
3.

Faktor Sosio Kultural

Yaitu faktor yang berlangsung dalam lingkungan hidup (kehidupan sosial).


Faktor ini mempunyai daya dorong terhadap perkembangan kepribadian anak.
Faktor sosio kultural ini juga meliputi objek dalam masyarakat atau tuntutan dari
masyarakat yang dapat berakibat tekanan pada individu sehingga melahirkan
berbagai gangguan, seperti suasana perang dan suasana kehidupan yang diliputi
kekerasan, menjadi korban prasangka dan diskriminasi berdasarkan suku, agama,
ras, politik, dan sebagainya, perubahan sosial dan IPTEK yang sangat cepat.[24]

C.

Karakteristik Autis

Karakteristik gangguan autisme pada sebagian individu sudah mulai muncul sejak
bayi. Ciri yang sangat menonjol adalah tidak ada kontak mata dan reaksi yang
sangat minim terhadap ibunya atau pengasuhnya, ciri ini semakin jelas dengan
bertambahnya umur. Pada sebagian kecil lainnya dari individu penyandang autis,
perkembangannya sudah terjadi secara .relatif normal. Pada saat bayi sudah
menatap, mengoceh, dan cukup menunjukkan reaksi pada orang lain, tetapi
kemudian pada suatu saat sebelum usia 3 tahun ia berhenti berkembang dan terjadi
kemunduran. Ia mulai menolak tatap mata, berhenti mengoceh, dan tidak bereaksi
terhdap orang lain.
Oleh karena itu kemudian diketahui bahwa seseorang baru dikatakan mengalami
gangguan autisme , jika ia memiliki gangguan perkembangan dalam tiga aspek
yaitu kualitas kemampuan interaksi sosial dan emosional, kualitas yang kurang
dalam kemampuan komunikasi timbal balik, dan minat yang terbatas disertai
gerakan-gerakan berulang tanpa tujuan Ciri-ciri tersebut harus sudah terlihat
sebelum anak berumur 3 tahun. Mengingat bahwa tiga aspek gangguan
perkembangan di atas terwujud dalam berbagai bentuk yang berbeda, dapat
disimpulkan bahwa autis sesungguhnya adalah sekumpulan gejala/ciri yang
melatar-belakangi berbagai faktor yang sangat bervariasi, berkaitan satu sama lain
dan unik karena tidak sama untuk masing-masing anak. Dengan demikian, maka
sering ditemukan ciri-ciri yang tumpang tindih dengan beberapa gangguan
perkembangan lain. Gradasi manifestasi gangguan juga sangat lebar antara yang
berat hingga yang ringan. Di satu sisi ada individu yang memiliki semua gejala, dan
di sisi lain ada individu yang memiliki sedikit gejala. Adapun ciri gangguan pada
autisme tersebut adal;ah sebagai berikut:

1. Gangguan dalam komunikasi


a.
Terlambat bicara, tidak ada usaha untuk berkomunikasi dengan gerak dan
mimik.
b.

Meracau dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti orang lain.

c.

Sering mengulang apa yang dikatakan orang lain.

d.

Meniru kalimat-kalimat iklan atau nyanyian tanpa mengerti.

e.

Bicara tidak dipakai untuk komunikasi.

f.

Bila kata-kata telah diucapkan, ia tidak mengerti artinya.

g.

Tidak memahami pembicaraab orang lain.

h.

Menarik tangan orang lain bila menginginkan sesuatu.

2. Gangguan dalam interaksi sosial


a.

Menghindari atau menolak kontak mata.

b.

Tidak mau menengok bila dipanggil.

c.

Lebih asik main sendiri.

d.

Bila diajak main malah menjauh.

e.

Tidak dapat merasakan empati .

3. Gangguan dalam tingkah laku


a.

asyik main sendiri.

b.

tidak acuh terhadap lingkungan.

c.

tidak mau diatur, semaunya.

d.

menyakiti diri .

e.
f.

melamun, bengong dengan tatapan mata kosong.


kelekatan pada benda tertentu .

g.
tingkah laku tidak terarah, mondar mandir tanpa tujuan, lari-lari, manjatmanjat, berputar-putar, melompat-lompat, mengepak-ngepak tangan, berteriakteriak, berjalan berjinjit-jinjit.
4. Gangguan dalam emosi
a.
b.
c.

rasa takut terhadap objek yang sebenarnya tidak menakutkan


tertawa, menangis, marah-marah sendiri tanpa sebab
tidak dapat mengendalikan emosi; ngamuk bila tidak mendapatkan
keinginannya

5. Gangguan dalam sensoris atau penginderaan


a.

menjilat-jilat benda

b.

mencium benda-benda atau makanan

c.

menutup telinga bila mendengar suara keras dengan nada tertentu

d.

tidak suka memakai baju dengan bahan yang kasar

D.

Klasifikasi Autis

Menurut Yatim (2002), klasifikasi anak autis dikelompokkan menjadi tiga, antar lain:

1.

2.

3.

Autis Persepsi
Dianggap autis yang asli karena kelainan sudah timbul sebelum lahir.
Ketidakmapuan anak berbahasa termasuk pada penyimpangan reaksi
terhadap rangsangan dari luar, begitu juga ketidakmampuan anak
bekerjasama dengan orang lain, sehingga anak bersikap masa bodoh.
Autis Reaksi
Terjadi karena beberapa permasalahan yang menimbulkan kecemasan
seperti orangtua meninggal, sakit berat, pindah rumah atau sekolah dan
sebagainya. Autis ini akan memumculkan gerakan-gerakan tertentu
berulang-ulang disertai kejang-kejang. Gejala ini muncul pada usia lebih
besar 6 sampai 7 tahun sebelum anak memasuki tahapan berpikir logis.
Autis yang timbul kemudian
Terjadi setelah anak menginjak usia sekolah, dikarenakan kelainan jaringan
otak yang terjadi setelah anak lahir. Hal ini akan mempersulit dalam hal
pemberian pelatihan dan pelayanan pendidikan untuk mengubah
perilakunya yang sudah melekat.[25]

BAB III
LAPORAN KASUS

I.

KETERANGAN UMUM PENDERITA

Nama

: An.A.

Umur

: 11 tahun.

Jenis Kelamin : Perempuan.


Agama

: Islam

Pekerjaan

:-

Alamat
No. CM

II.

: Mojo Laban, Sukoharjo.


:-

DATA MEDIS RUMAH SAKIT

Tidak ada karena pasien tidak di rumah sakit.

III.
A.

SEGI FISIOTERAPI
PEMERIKSAAN SUBYEKTIF

1.

KELUHAN UTAMA

Paien belum bisa berkonsentrasi ( mata tidak bisa fokus ).

Pasien belum bisa bicara.

Tangan pasien hand clapping.

Adanya spasme otot punggung.

Hipotonus general.

2.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien merupakan anak pertama dari 2 bersaudara. Pada saat hamil usia ibunya 22
tahun. Selama kehamilan tidak ada keluhan apa-apa. Bayi lahir saat usia kandungan
9 bulan dan lahir normal. Saat anak usia 2 tahun belum bisa bicara dan asik dengan
dunianya sendiri. Dan orang tua dari pasien tersebut mulai curiga terhadap tumbuh
kembang anaknya karena berbeda dengan anak seusianya. Awalnya ibu pasien
menyangka anaknya hanya seperti ayahnya yang pendiam tetapi lama-lama ibu
pasien semakin curiga dan akhirnya di bawa ke dokter umum. Setelah di bawa ke
dokter ibu ibi pasien disarankan untuk menerapikan anaknya. Saat pasien usia 5
tahun di bawa terapi ke YPAC dan di diagnosa Autis. Terapi berlangsung sampai
pasien 7 tahun. Saat masih terapi, terapi rutin 3x/minggu OT dan TW. Setelah usian
7 tahun dan sampai saat ini usia 11 tahun sudah tidak pernah di lakukan terapi lagi.
Saat ini pasien belum bisa bicara, konsentrasi bellum ada, belum bisa
menggenggam dengan kencang, adanya perubahan postur vetebrae, adanya
spasme otot dan hand calpping.
3.

STATUS SOSIAL

4.

Lingkungan tempat tinggal : pasien tingga bersama ibu dan ayahnya serta
adiknya.
Aktivitas rekreasi : pasien sering mengisi waktu dengan menonton tv atau
bermain dengan mainannya.
Aktivitas sosialnya : pasien belum bias berinteraksi ataupun bermain dengan
teman sebanyanya.
RIWAYAT KELUARGA
Tidak ada riwayat keluarga yang mempunyai penyakkit tersebut.

5.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Tidak ada riwayat penyakit apapun.

B.

PEMERIKSAAN OBYEKTIF

1.

PEMERIKSAAN VITAL SIGN

Denyut Nadi : tidak di lakukan karena px hipersensitif.

Pernafasan

: 22kali /menit.

Temperatur

: 36,5 C.

Tinggi Badan : 150 cm.

Berat Badan : 45 kg.

2.

INSPEKSI/OBSERVASI

Statis
-

Punggung pasien terlihat kifosis.

Mata pasien terlihat yidak fokus.

Dinamis
-

Kedua tangan pasien terlihat hand clapping.

Pasien nampak belum bisa bicara.

3.

PALPASI

Adanya Hipotonus general.

Adanya Spasme Otot Punggung.

4.

PERKUSI

Tendon bicep

: ++

Tendon trisep

: ++

Tendon radialis

: ++

Tendon patella

: ++

5.

AUSKULTASI

Tidak dilakukan karena tidak ada riwayat penyakit jantung ataupun paru.

6.
a.

PEMERIKSAAN GERAK DASAR


Gerak Aktif :


AGA
: regio shoulder, elbow, wrist sinistra maupun dextra mampu
bergerak aktif dan full ROM.

AGB
full ROM.

b.

: regio hip, knee, ankle sinistra maupun dextra bergerak aktif dan

Gerak pasif :

AGA
: regio shoulder, elbow, wrist sinistra maupun dextra mampu
bergerak aktif dan full ROM, hard end feel pada ekstensi elbow.

AGB
full ROM.

: regio hip, knee ankle sinistra maupun dextra bergerak aktif dan

c.

Gerak isometrik melawan tahanan :

Semua gerakan bisa dilakukan.

7.

MUSCLE TEST

Nilai Otot
Group Otot

Kanan

Kiri

Ekstensor shoulder

Fleksor shoulder

Endorotator shoulder

Eksorotator shoulder

Adductor shoulder

Abductor shoulder

Ekstensor elbow

Fleksor elbow

Eksorotator wrist

Endorotator wrist

Ekstensor hip

Fleksor hip

Ektensor knee

Fleksor knee

Ekstensor ankle

Fleksor ankle

Ekstensor trunk

Fleksor trunk

Keterangan :
Normal : Subyek bergerak dengan penuh melawan gravitasi dan melawan tahanan
maksimal (5)
Good : Subyek bergerak dengan penuh melawan gravitasi tanpa melawan
tahanan (4)
Fair : Subyek bergerak LGS melawan gravitasi tanpa melawan tahanan (3)
Poor

: Subyek bergerak dengan LGS penuh tanpa melawan gravitasi (2)

Frace

: Kontraksi otot bisa dipalpasi tetapi tidak ada pergerakan sendi (1)

Zero

: Kontraksi otot tidak dapat dipalpasi (0)

8.

ANTROPOMETRI TEST

Tidak dilakukan.

9.

ROM TEST

Tidak dilakukan.

10. PEMERIKSAAN NYERI


Tidak dilakukan karena tidak terdapat nyeri.

11. TEST KOGNITIF, INTRAPERSONAL & INTERPERSONAL

Test kognitif

: Pasien tidak mampu berkomunikasi dengan baik.

Test Intrapersonal

: Pasien tidak dapat mengikuti terapis dengan baik,


dan menghindar saat diterapi.

Test Interpersonal

: Pasien tidak mampu merespon dan tidak bisa


berinteraksi dengan orang lain.

12. TEST KEMAMPUAN FUNGSIONAL & LINGKUNGAN AKTIVITAS

Terlampir.

13. PEMERIKSAAN SPESIFIK


Tidak dilakukan.

BAB IV
PEMBAHASAN
Dalam kasus ini, seorang pasien anak bernama An.A berusia 11 tahun dengan
keluhan berkonsentrasi (mata belum bisa fokus), belum bisa bicara, dan pasien
mengalami hand clapping.
A.
1.

Penatalaksanaan fisioterapi
Neurosenso Stimulasi

Suatu metode beupa stimulasi sensoris pada receptor taktil ( seluruh permukaan
tubuh ) sebagai pintu utama semua rangsangan / stimulus yang masuk.
2.

Massage

Massage dengan cara manual adalah salah satu cara perawatan tubuh dengan
menggunakan kedua tangan pada bagian kedua tangan pada bagian telapak tangan
maupun jari-jari tangan. Massage bertujuan sebagai theurapetic.
3.

Brain Gym

Pembaharuan pola bergerak untuk dapat membantu mengoptimalkan kemampuan


belajar anak dengan meningkatkan pengaliran energi (vitalitas) ke otak. Brain Gym
bertujuan untuk mengintregasikan setiap bagian otak untuk membuka bagian otak
yang sebelumnya tertutup atau terhambat.
4.

Oral Function Stimulation

Suatu metode intervensi atau terapi untuk menstimulasi atau meningkatkan


kemampuan oral kontrol.
5.

Exercise

Exercise yang di berikan antara lain : latihan penguatan otot-otot tangan, latihan
penguatan otot punggung, latihan tengkurap dari sisi kanan dan kiri, latihan duduk
dari posisi tengkurap, latihan duduk dari posisi miring, latihan duduk dari posisi
terlentang.
H.

Olahraga dan Aktivitas Fisik untuk Anak Autis

Aktivitas dan Olahraga Dasar

a.

Mengikuti Alunan Musik

1)
Anak-anak autis disuruh di dalam ruangan atau di hall senam. Ruangan dirancang
sedemikian rupa dengan aneka hiasan yang menarik dan dijauhkan dari benda-benda
berbahaya.
2)
Di ruangan ini anak autis di putarkan sebuah musik yang menyenangkan bagi mereka,
sebelumnya anak-anak autis di putarkan beberapa musik, kemudian musik yang dirasa menarik
dan dapat membuat seorang anak autus menari dapat digunakan dalam latihan ini.
3)
Di sini anak-anak autus di biarkan bergerak mengikuti alunan music sesuai kehendak
mereka, latihan ini hendaknya dilakukan oleh lebih dari 5 anak agar ada interaksi diantara anakanak.
4)
Dengan mereka bergerak mengikuti alunan musik secara tidak langsung mereka sudah
melakukan olahraga dan aktivitas fisik.
5)
Seorang praktisi atau pemberi program bertugas mengawasi dan membimbing anak-anak
autis.
b.

Menggerakan Anak Autis Secara Pasif

Anak autis kadang ada juga yang tidakmau bergerak dan cenderung pendiam. Dalam hal ini
seorang pengajar, praktisi, dan pelatih memiliki peranan sangat penting yaitu dengan
melakukan pendekatan kepada seorang anak autis dengan langkah-langkahnya sebagai
berikut:
1)
Seorang pengajar melakukan interaksi dengan seorang anak autis, dengan cara
mengajak bicara dan memberikan sentuhan dan pelukan lembut kepada mereka.
2)
Apabila si anak sudah menurut dan mau mengikuti kita, secara bertahap dan perlahan kita
dapat menggerakan beberapa angota tubuh si anak secara pasif, dengan latihan pasif ini
perlahan-lahan maka si anak sudah melakukan aktifitas fisik.
3)
Tahap selanjutnya pengajar mengajak si anak bermain bersama seperti berjalan di taman,
dengan ini maka si anak sudah melakukan kegiatan olahraga.
c.

Lempar Tangkap Bola

Permainan lempar tangkap bola ini digunakan guna melatih respon dan agar anak autis mau
memperhatikan pembimbing. Walaupun mungkin mereka kadang tidak balas melempar tetapi
respon dari anak autis sangatlah penting untuk perkembangan otak, motorik, dan kondisi fisik
anak autis.
Pembimbing atau guru harus dapat menyesuaikan dengan perilaku dan kondisi si anak, yaitu
dengan cara:
1)

Seorang pembimbing berpenampilan menarik dan tidak membuat anak autis ketakutan.

2)
Pembimbing diharapkan dapat menarik perhatian dari si anak dengan berperilaku baik
dan dapat member kenyamana pada si anak.
3)
Pembimbing harus sabar, dan jeli dalam melatih agar anak autis dapat termonitoring
perkembangannya.

d.

Bermain Ayunan

Tujuan utama dari bermain ayunan ini adalah untuk memberi kenyamanan sehingga seorang
anak autis dapat teralihkan pandngannya kepada seorang pelatih, pembimbing, dan guru.
Pertama seorang anak autis diminta duduk di ayunan, kemudian pembimbing mengayun si
anak secara perlahan.
Awal-awalnya mungkin seorang anak autis akan merasa senang. Tahap selanjutnya si anak
mau memperhatikan pembimbing/ terapis. Tahap terakhir si anak dapat mengayun sendiri dan
mau bergerak sendiri, dngen ini maka secara tidak sadar si anak sudah melakukan aktivitas
jasmani.

e.

Menggambar di Kertas

1) Pembimbing menyiapkan kertas yang agak besar yang diletakkan di lantai.


2) Di sekitar kertas di siapkan beberapa buah alat tulis, yang nantinya digunakan oleh anak
autis untuk menulis atau menggambar.
3) Pembimbing menempatkan anak autis di sisi kertas, dan meminta anak tersebut
menggambar sesuka mereka
4) Latihan ini ditujukan untuk melatih ketrampilan dan sambil mereka menggambar secara
tidak langsung mereka sudah menggerakan tubuh mereka. Selain itu latihan ini juga dapat
membantu konektifitas otak dengan anggota gerak sehingga dapat memicu perkembangan
ketrampilan, kecerdasan, dan motorik mereka.
f.

Mandi Bola

1) Menyiapkan sebuah bak yang dilapisi dengan spon dan benda-benda lunak.
2) Bak tersebut kemudian di isi dengan bola-bola lunak berukuran kecil (seperti yang
digunakan untuk mandi bola).
3) Bak dibuat seaman dan semenarik mungkin.
4) Anak autis diminta untuk bermain di bak tersebut.
5) Latihan ini digunakan untuk merangsang sensibilitas anak autis, kenyamanan anak autis
dengan tekanan bola yang seperti pelukan dan dengan mereka bergerak bermain di bak bola
tanpa disadari mereka sudah melakukan aktivitas olahraga.
Aktivitas dan Olahraga Lanjutan ke Arah Prestasi
Dalam aktivitas dan olahraga lanjutan ini, anak autis yang dilatih adalah anak yang sudah
memiliki kemampuan yang kompleks, sudah bias berfikir sendiri dan mau menuruti perkataan
untuk melakukan aktivitas tertentu, sudah berkurangnya gejala, dan mampu untuk di latih
dengan aktivitas yang lebih komplek.

a.

Sepak Boala Kelimaan

1)

Bentuk Lapangan

2)

Peraturan Secara Umum

a)

Pemain masing masing berjumlah 5 orang.

b)

Waktu pertandingan 2x7 menit dengan waktu istirahat 5 menit (menyesuaikan).

c)

Peraturan yang lain menyesuaikan dengan kondisi dari peserta.

d) Di sini yang penting anak autis bisa melakukan permainan dengan senang dengan sesuka
mereka.
b.

Mencocokan Warna atau Gambar

1)
Seorang anak autis diminta berdiri di atas bener yang sudah ada blok-blok warna atau
gambar.
2)

Anak tersebut diminta untuk bergerak memilih gambar sesuai dengan intruksi pelatih.

3)

Latihan ini untuk melatih konsentrasi, kelincahan, dan respon dari anak autis.

c.

Berenang

1)

Anak autis dipakaikan pakaian pelampung, kemudian diminta untuk berenang di kolam.

2)

Kolam yang digunakan tidak boleh terlalu dalam dan pas dengan postur anak tersebut.

3)

Pelatih harus selalu siaga dan mengawasi saat anak autis berenang.

4)

Latihan ini digunakan untuk melatih kemampuan gerak dan kebugaran anak.

BAB V
PENUTUP

A.

Kesimpulan

Autis adalah kondisi seseorang yang secara tidak wajar terpusat pada dirinya
sendiri; kondisi seseorang yang senantiasa berada di dalam dunianya
sendiri. Sampai sekarang belum terdeteksi faktor yang menjadi penyebab tunggal
timbulnya gangguan autis. Ciri yang sangat menonjol adalah tidak ada kontak mata
dan reaksi yang sangat minim terhadap ibunya atau pengasuhnya, ciri ini semakin
jelas dengan bertambahnya umur. Pada sebagian kecil lainnya dari individu
penyandang autis, perkembangannya sudah terjadi secara .relatif normal.Anita
Fatimah Maharani usia 11 tahun yang memiliki permasalahan belum bisa

berkonsentrasi (mata tidak bisa fokus), belum bisa bicara, dan mengalami hand
clapping. Dilakukan kunjungan 1 kali dengan terapi berupa neurosenso stimulasi,
massage, brain gym, oral function stimulation, dan exercise.
B.

Saran

1.
Untuk orang tua pasien sebaiknya mulai untuk menerapikan pasien suapaya
ada peningkatan pada tumbuh kembangnya.
2.
Sebaiknya orang tua lebih memahami tentang pola makan dan asupan gizi
yang baik kusus untuk anak autis .

C.

Edukasi

1.
Keluarga disarankan untuk aktif melakukan pengulangan apa yang sudah
diajarkan oleh terapis.
2.

Keluarga dianjurkan untuk sering mengajak anak bermain dan berbicara.

Anda mungkin juga menyukai