Anda di halaman 1dari 32

ANESTESI SPINAL

PENYUSUN
06147034Indah Pratiwi - 4
PEMBIMBING
Dr. Rudy, SpAn

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI RSUD CIAWI


PERIODE 4 juli 2015 25 juli 2015
Lembar Pengesahan

Anestesi Spinal
Dipersiapkan dan disusun oleh :
Indah Pratiwi (406147034)

Pembimbing

dr. Rudi Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI RSUD CIAWI


PERIODE 4 juli 2015 25 juli 2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah yang
dilimpahkanNya, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan
Referat dengan topik Spinal Anestesi
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, dengan hati terbuka penulis
menerima

segala

kritik

dan

saran

yang

bersifat

membangun

demi

kesempurnaan penulisan makalah ini.


Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. dr. Rudy, SpAn sebagai pembimbing
2. dr. Rizqan, SpAn
3. dr. Prachayo, SpAn
yang telah banyak memberikan ilmu dan bimbingannya selama siklus
kepaniteraan ilmu anestesi RSUD Ciawi sejak tanggal 4 juli 25 juli 2015.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembacanya.

Jakarta, 17 juli 2015

Penulis

Daftar Isi
Lembar Pengesahan

Kata Pengantar

Daftar Isi

Pendahuluan

Patofisiologi

Efek samping

Obat anestesi spinal

11

Indikasi

13

Kontraindikasi

14

Teknik anestesi spinal

16

Komplikasi

23

Kesimpulan

27

Daftar Pustaka

28

PENDAHULUAN
Anestesi spinal merupakan tindakan anestesi memasukkan obat
anestesi lokal ke dalam ruang subarakhnoid pada daerah lumbal. Tergantung
dosis yang diberikan, anestesi lokal tersebut dapat menimbulkan efek
neurologis mulai dari hilangnya sensasi panas sampai timbulnya anestesi
lengkap pada daerah sekitar daerah dermatom.
Anestesi spinal ini mulai diperkenalkan sejak abad kedua puluh tetapi
masih dalam perdebatan. Setelah tahun 1950 di Amerika Serikat penggunaan
anestesi spinal semakin berkembang sejalan dengan semakin meningkatnya
keamanan dan kenyamanan untuk pasien. Mulai tahun 1975 anestesi spinal
mulai diakui dapat memberi keuntungan bagi pasien dan lebih mudah untuk
dikerjakan sehingga bukan hanya menjadi alternatif dari anestesi umum.2
Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang baik untuk
tindakan-tindakan bedah, obstetrik, operasi-operasi bagian bawah abdomen,
dan ekstremitas

bawah. Teknik ini baik bagi penderita-penderita yang

mempunyai kelainan paru-paru, diabetes mellitus, penyakit hati yang difus


dan kegagalan fungsi ginjal, sehubungan dengan gangguan metabolisme dan
ekskresi dari obat-obatan. Anestesi spinal ini lebih mudah dilakukan, onset
lebih cepat, blokade syarafnya menyakinkan, kemungkinan toksisitasnya
tidak ada karena dosis yang rendah, dan karena adanya blokade saraf sakral
yang sempurna, perasaan tidak enak seperti pada anestesi epidural

tidak

ada.2
Sebelum dilakukan spinal anestesi perlu dilakukan informed consent
(izin dari pasien) tentang tindakan yang akan dilakukan terhadap diri pasien
dan evaluasi preoperasi. Teknik apapun itu usahakan untuk mempertahankan
kestabilan sistem kardiovaskuler dan oksigenasi yang cukup.
Anestesi spinal adalah tindakan untuk memblok saraf sensorik, motorik
dan otonom dengan cara memasukkan obat anestesik lokal kedalam ruang

subarakhnoid. Teknik ini sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan.

1)

Anestesi spinal yang pertama kali dikerjakan pada manusia pada tahun 1899
oleh Bier, tetapi karena angka kematian yang tinggi, teknik tersebut tidak
popular. Tetapi setelah diketahui efek fisiologis dari anstetik lokal di dalam
ruang

subarakhnoid,

kini

bahaya

tersebut

dapat

dicegah.

Sesudah

penyuntikan intratekal yang terpengaruh lebih dahulu yaitu saraf simpatis


dan saraf parasimpatis, diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba,
dan tekan dalam. Yang mengalami blokade terakhir yaitu serabut motoris,
rasa getar dan propioseptif. Blokade simpatis ditandai dengan adanya
kenaikan suhu tungkai bawah. Setelah anestesia selesai, pemulihan terjadi
dengan urutan yang sebaliknya, yaitu fungsi motoris yang pertama kali pulih
kembali.

2)

Sifat anestetik lokal yang ideal sebaiknya tidak mengiritasi dan tidak
merusak jaringan saraf secara permanen. Kebanyakan anestetik lokal
memenuhi syarat ini. Batas keamanan harus lebar, sebab anestetik lokal
akan diserap dari tempat suntikan. Mula kerja harus sesingkat mungkin,
sedangkan masa kerja harus cukup lama sehingga cukup waktu untuk
melakukan

tindakan

operasi,

tetapi

tidak

demikian

lama

sampai

memperpanjang waktu pemulihan. Zat anestetik lokal juga harus dapat larut
dalam

air,

perubahan.

stabil

dalam

larutan,

dapat

disterilkan

tanpa

mengalami

2,3)

PATOFISIOLOGI
Lokal anestetik yang dimasukkan ke dalam ruang subarakhnoid akan
memblok impuls sensorik, autonom dan motorik pada serabut saraf anterior
dan posterior yang melewati cairan serebrospinal. Serabut akar saraf
merupakan tempat aksi kerja utama pada anestesi spinal dan epidural, selain
itu bisa bekerja pada serabut akar saraf spinal dan akar ganglion dorsal.

Dalam anestesi spinal konsentrasi obat lokal anestetik di cairan serebrospinal


memiliki efek yang minimal pada medula spinalis.
Ada empat faktor yang mempengaruhi absorbsi anestetik lokal pada
ruang subarakhnoid, yaitu (1) konsentrasi anestetik lokal, konsentrasi
terbesar ada pada daerah penyuntikkan. (2) daerah permukaan saraf yang
terpajan akan memudahkan absorpsi dari anestetik lokal. Oleh karena itu
semakin jauh penyebaran anestetik lokal dari tempat penyuntikkan, maka
akan semakin menurun konsentrasi anestetik lokal dan absorpsi ke sel saraf
juga menurun, (3) lapisan lipid pada serabut saraf, (4) aliran darah ke sel
saraf.
Absorbsi dan distribusi anestetik lokal setelah penyuntikkan spinal
ditentukan oleh banyak faktor antara lain dosis, volume dan barisitas dari
anestetik lokal serta posisi pasien. Selanjutnya obat memiliki akses bebas ke
jaringan medula spinalis dan bekerja langsung pada target lokal di membran
sel saraf serta sebagian kecil dosis dapat memberikan efek yang cepat.
Anestetik lokal di cairan serebrospinal ini tidak berikatan dengan protein
terlebih dahulu.
Daerah utama dari aksi blokade neuraksial adalah akar saraf. Anestesi
lokal disuntikkan ke CSF (anestesi spinal) atau ruang epidural (anestesi
epidural dan kaudal) dan menggenangi akar saraf dalam ruang subarachnoid
atau ruang epidural. Injeksi langsung anestesi lokal ke CSF untuk anestesi
spinal memungkinkan dosis yang relatif kecil dan volume anestesi lokal untuk
mencapai blokade sensorik dan motorik. Sebaliknya, anestesi lokal pada
epidural anestesi pada akar saraf memerlukan volume dan dosis yang jauh
lebih tinggi. Selain itu, tempat suntikan untuk anestesi epidural harus dekat
dengan akar saraf yang harus diblok. Blokade transmisi saraf (konduksi)
dalam pada serabut saraf posterior akan menghambat somatik dan viseral,
sedangkan blokade serabut akar saraf anterior mencegah eferen motorik dan

outflow otonom1.
Blokade somatic
Dengan mengganggu transmisi rangsangan nyeri dan menghilangkan
tonus otot rangka, blok neuraksial dapat memberikan kondisi operasi yang
sangat baik. Blok sensori menghambat stimulus nyeri baik pada somatik dan
viseral, sedangkan blokade motorik menghasilkan relaksasi otot rangka.
Pengaruh anestesi lokal pada serabut saraf bervariasi sesuai dengan ukuran
serabut saraf, apakah itu bermielin, konsentrasi yang dicapai dan lama
kontak. Akar saraf tulang belakang terdiri dari berbagai tipe serat saraf. Serat
lebih kecil dan bermielin umumnya lebih mudah diblokir daripada yang lebih
besar dan tidak bermielin. Fakta bahwa konsentrasi anestesi lokal menurun
dengan meningkatnya jarak dari level injeksi, menjelaskan fenomena blokade
diferensial. Diferensial blokade biasanya menghasilkan blokade simpatik
(dinilai oleh sensitivitas suhu) yang mungkin dua segmen lebih tinggi dari
blok sensorik (nyeri, sentuhan ringan), dan dua segmen lebih tinggi dari
blokade motorik1.
Blokade otonom
Interupsi dari transmisi eferen pada nervus spinal dan menyebabkan
blokade dari simpatik dan parasimpatik. Simpatik outflow spinal cord bisa
dideskripsikan sebagai torakolumbal dan parasimpatis disebut kraniosakral.
Serabut saraf praganglion simpatis (kecil, serabut termielinisasi tipe B) keluar
dari spinal cord dari T1 sampai L2 dan bisa menyebabkan rantai simpatis ke
atas maupun ke bawah sebelum bersinap dengan posganglion sel pada
ganglia simpatik. Anestesi neuroaksial tidak memblok nervus vagus. Respon
fisiologi dari anestesi ini adalah menurunkan kerja simpatis1.
Blok neuroaksial tipikal menyebabkan penurunan tekanan darah yang
disertai dengan penurunan detak jantung dan kontraktilitas jantung. Tonus

vasomotor secara primer ditentukan oleh serabut simpatik yang muncul dari
T5 dan L1, yang menginervasi otot polos arteri dan vena. Blokade dari nervus
ini menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh vena, penurunan pengisian
darah dan menurunkan venous return ke jantung. Untuk beberapa kasus
vasodilatasi ateria

dapat menyebabkan penurunan resistensi sistemik

pembuluh darah. Efek dari vasodilatasi atrial dapat diminimalisir dengan cara
mengkompensasi vasokonstriksi diatas blok. Blok simpatis yang tinggi tidak
hanya

mengkompensasi

vasokonstriksi

tapi

juga

memblok

serabut

akselarator jantung yang berasal dari T1-T4. Hipotensi bisa disebabkan oleh
bradikardi dan penurunan kontraktili jantung. Hal ini dapat diperbaiki dengan
cara meningkatkan venous return dengan head down position1.
Efek kardiovaskular harus diantisipasi untuk meminimalkan hipotensi.
Hal ini diantisipasi dengan cara pemberian cairan intravena 10-20 mL/Kg
pada pasien sehat akan secara parsial berkompensasi untuk pengisian vena.
Walaupun dengan usaha ini hipotensi masih tetap terjadi dan harus ditangani
dengan tepat. Penanganan cairan dapat ditingkatkan dan autotransfusi dapat
dilakukan dengan cara menurunkan kepala pasien. Bradikardi berlebih dan
simptomatik harus ditangani dengan pemberian atropin dan hipotensi
diterapi menggunakan vasopresor.

Direct -adrenergic agonis (seperti

fenilefrin) meningkatkan tonus vena dan menyebabkan konstriksi arteriolar,


yang menyebabkan peningkatan aliran balik vena dan resistensi sistemik
vaskular. Efek langsung penggunaan efedrin adalah meningkatkan denyut
jantung dan kontraktilitas, sedangkan efek tidak langsung menghasilkan
beberapa vasokonstriksi. Jika hipotensi dan atau bradikardia bertahan
meskipun intervensi ini, epinefrin (5-10 g intravena) harus diberikan segera 1.
Perubahan klinis yang signifikan dari fisiologi paru biasanya minimal
dengan blok neuraksial karena diafragma dipersarafi oleh saraf frenikus yang
berasal dari C3-C5. Bahkan dengan segmen thorakal tinggi, volume tidal
tidak berubah, hanya ada sedikit penurunan kapasitas vital, yang disebabkan

oleh hilangnya kontribusi otot perut untuk ekspirasi paksa1.


Pada prosedur pembedahan yang menyebabkan trauma menyebabkan
neuroendokrin trauma melalui respon inflamasi lokal dan aktivasi serat saraf
aferen somatik dan viceral. Respon ini termasuk peningkatan hormon
adrenokortikotropik, kortisol, epinefrin, norepinefrin, dan level vasopresin
melalui sistem aktivasi renin-angiotensin-aldosteron. Neuroaksial blokade
dapat menurunkan sebagian atau secara total respon stres ini1.
EFEK SAMPING2
1.

Sistem kardiovaskular

Depresi automatisasi, kontraktilitas, dan kecepatan konduksi miokard.


Dilatasi arteriolar karena relaksasi otot polos.
Dosis besar dapat menyebabkan disritmia atau kolaps sirkulasi.
Injeksi bupivakain intravena mengakibatkan reaksi kardiotoksik yang
berat termasuk hipotensi, blok atrioventrikular, irama idioentrikular, dan
aritmia yang dapat mengancam jiwa seperti takikardia ventrikular dan
fibrilasi.
2.

Sistem pernafasan

Relaksasi otot polos bronkus


Henti nafas akibat paralisis saraf frenikus di C3-5, paralisis interkostal
atau depresi langsung pusat pengaturan nafas.
Blokade saraf torakal akan menurunkan aktivitas otot interkostal. Ini
hanya

berpengaruh

kecil

pada

volume

tidal,

tapi

hal

ini

akan

menimbulkan penurunan kapasitas vital akibat penurunan kontribusi


otot abdomen dalam ekspirasi paksa. Pasien ini akan mengalami dispnea
dan kesulitan untuk inspirasi maksimal serta batuk. Blokade torakal juga
memicu penurunan cardiac output dan tekanan arteri pulmonal serta
peningkatan ventilasi atau ketidakseimbangan perfusi

yang akan

menyebabkan penurunan tekanan oksigen arteri. Pasien dengan blokade


torakal saat bangun harus diberikan oksigen yang tinggi untuk
membantu pernafasan1.
3.

Sistem pencernaan
Inervasi simpatis pada organ-organ abdomen mulai dari T5-L1. Akibat
blokade

simpatis,

maka

kerja

parasimpatis

meningkat

seperti

peningkatan sekresi, relaksasi sfingter dan konstriksi usus. Sekitar 20%


pasien mual dan muntah setelah anestesi spinal dan faktor risiko
terjadinya karena blokade saraf diatas T5, hipotensi, penggunaan opioid
dan riwayat mual muntah sebelumnya. Peningkatan aktivitas vagal
setelah blokade simpatis menyebabkan peningkatan peristaltik usus
yang

memicu

mual.

Dengan

demikian,

atropine

berguna

untuk

mengatasi mual setelah blokade spinal yang tinggi


4.

Sistem saraf pusat


Sistem saraf pusat rentan terhadap toksisitas obat anestetik lokal
dengan tanda-tanda awal rasa kebas, parestesi lidah, pusing. Keluhan
sensorik berupa tinitus dan pandangan kabur. Tanda eksitasi seperti
kurang istirahat, agitasi, gelisah, paranoid. Tanda adanya depresi sistem
saraf pusat misal bicara tidak jelas/pelo, mudah mengantuk, kejang,
depresi pernafasan, tidak sadar, koma.

5.

Imunologi

10

Golongan ester lebih sering menyebabkan alergi, karena merupakan


derivat para-amino-benzoic acid (PABA) yang dikenal sebagai alergen.
6.

Ginjal dan hepar


Aliran darah ginjal dipengaruhi oleh tekanan arterial. Bila tidak terjadi
vasokonstriksi di ginjal maka aliran darah ginjal tidak akan menurun
sampai tekanan arteri rata-rata menurun dibawah 50 mmHg. Dengan
begitu, bila tidak terjadi hipotensi berat maka aliran darah ginjal serta
urin

output

masih

dalam

batas

normal

selama

anestesi

spinal.

Sedangkan aliran darah hepar akan menurun mengikuti derajat dari


hipotensi

Penggolongan Anastesi Local dan Durasi

Obat-Obat Anestesi Spinal


1. Bupivakain
Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun
sebagai

berikut

1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide

hydrochloride. Bupivakain adalah derivat butil dari mepivakain yang kurang


lebih tiga kali lebih kuat daripada asalnya. Obat ini bersifat long acting.

11

Secara

komersial

kecenderungan

bupivakain

yang

lebih

tersedia

dalam

menghambat

sensoris

mg/ml.

Dengan

daripada

motoris

menyebabkan obat ini sering digunakan untuk analgesia selama persalinan


dan pasca bedah. Pada tahun- tahun terakhir, larutan bupivakain baik
isobarik maupun hiperbarik telah banyak digunakan pada blok subrakhnoid
untuk operasi abdominal bawah. Pemberian bupivakain isobarik, biasanya
menggunakan konsentrasi 0,5%, volume 3-4 ml dan dosis total 15-20 mg,
sedangkan bupivakain hiperbarik diberikan dengan konsentrasi 0,5%, volume
2-4 ml dan total dosis 15-22,5 mg.
Bupivakain dapat melewati sawar darah uri tetapi hanya dalam jumlah
kecil. Bila diberikan dalam dosis ulangan, takifilaksis yang terjadi lebih ringan
bila dibandingkan dengan lidokain. Salah satu sifat yang paling disukai dari
bupivakain selain dari kerjanya yang panjang adalah sifat blokade motorisnya
yang lemah. Toksisitasnya lebih kurang sama dengan tetrakain. Bupivakain
juga mempunyai lama kerja yang lebih panjang dari lignokain karena
mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mengikat protein. Untuk
menghilangkan

nyeri

pada

persalinan,

dosis

sebesar

30

mg

akan

memberikan rasa bebas nyeri selama 2 jam disertai blokade motoris yang
ringan. Analgesik pasca bedah dapat berlangsung selama 4 jam atau lebih,
sedangkan pemberian dengan tehnik anestesi kaudal akan memberikan efek
analgesik selama 8 jam atau lebih. Pada dosis 0,25 0,375 % merupakan
obat terpilih untuk obstetrik dan analgesik paska bedah. Konsentrasi yang
lebih tinggi (0,5 0,75 %) digunakan untuk pembedahan. Konsentrasi
infiltrasi 0,25 - 0.5 %, blok saraf tepi 0,25 0,5 %, epidural 0,5 0,75 %,
spinal 0,5 %. Dosis maksimal pada pemberian tunggal adalah 175 mg. Dosis
rata-ratanya 3 4 mg / kgBB.

2. KLONIDIN

12

Klonidin adalah salah satu contoh dari agonis 2 yang digunakan untuk
obat antihipertensi (penurunan resistensi pembuluh darah sistemik) dan efek
kronotropik negatif. Lebih jauh lagi, klonidin dan obat 2 agonis lain juga
mempunyai efek sedasi. Dalam beberapa penelitian juga ditemukan efek
anestesi dari pemberian secara oral (3-5g/kg), intramuscular (2g/kg),
intravena (1- 3g/kg), transdermal (0,1-0,3 mg setiap hari) intratekal 75150g) dan epidural (1-2g/kg) dari pemberian klonidin. Secara umum
klonidin menurunkan kebutuhan anestesi dan analgesi (menurunkan MAC)
dan memberikan efek sedasi dan anxiolisis.
Selama

anestesi

umum,

klonidin

dilaporkan

juga

meningkatkan

stabilitas sirkulasi intraoperatif dengan menurunkan tingkatan katekolamin.


Selama anestesi regional, termasuk peripheral nerve block, klonidin akan
meningkatkan durasi dari blokade. Efek langsung pada medula spinalis
mungkin dibantu oleh reseptor postsinaptik 2 dengan ramus dorsalis.
Keuntungan lain juga mungkin berupa menurunkan terjadinya postoperative
shivering, inhibisi dari kekakuan otot akibat obat opioid, gejala withdrawal,
dan pengobatan dari beberapa sindrom nyeri kronis. Efek samping berupa
bradikardia, hypotensi, sedasi, depresi nafas dan mulut kering. Klonidin
adalah agonis alfa2- adrenergik parsial selektif yang bekerja secara sentral
yang bekerja sebagai obat anti hipertensi melalui kemampuannya untuk
menurunkan keluaran sistem saraf simpatis dari sistem saraf pusat. Obat ini
telah terbukti efektif digunakan pada pasien dengan hipertensi berat atau
penyakit renin-dependen. Dosis dewasa yang biasa digunakan per oral
adalah 0,2-0,3 mg. Ketersediaan klonidin transdermal ditujukan untuk
pemberian secara mingguan pada pasien bedah yang tidak dapat diberikan
obat per oral.

3. FENTANYL

13

Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik


narkotika digunakan sebagai penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan injeksi
IM (intramuskular) Fentanyl digunakan untuk menghilangkan sakit yang
disebabkan kanker. Menghilangkan periode sakit pada kanker adalah dengan
menghilangkan rasa sakit secara menyeluruh dengan obat untuk mengontrol
rasa sakit yang persisten/menetap. Obat Fentanyl digunakan hanya untuk
pasien yang siap menggunakan analgesik narkotika.
Fentanyl bekerja di dalam sistem saraf pusat untuk menghilangkan
rasa sakit. Beberapa efek samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam
sistem syaraf pusat. Pada pemakaian yang lama dapat menyebabkan
ketergantungan tetapi tidak sering terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan
aturan. Ketergantungan biasa terjadi jika pengobatan dihentikan secara
mendadak. Sehingga untuk mencegah efek samping tersebut perlu dilakukan
penurunan

dosis

secara

bertahap

dengan

periode

tertentu

sebelum

pengobatan dihentikan.
Aksi sinergis dari fentanyl dan anestesi lokal di blok neuraxial pusat
(CNB)

meningkatkan

kualitas

analgesia

intraoperatif

dan

juga

memperpanjang analgesia pascaoperasi. Durasi biasa pada efek analgesik


adalah 30 sampai 60 menit setelah dosis tunggal intravena sampai 100 mcg
(0,1 mg). Dosis injeksi Fentanyl 12,5 g menghasilkan efek puncak, dengan
dosis

yang

lebih

rendah

tidak

memiliki

efek

apapun

dan

dosis

tinggimeningkatkan kejadian efek samping.

INDIKASI
Tindakan anestesi spinal diindikasikan untuk pembedahan daerah yang
diinervasi oleh cabang T4 ke bawah, misalnya :3,4,5
1. Bedah ekstremitas bawah

14

2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rectum perineum
4. Bedah obstetri ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah, pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri
biasanya dikombinasi dengan anestesi umum ringan
Dengan memperhatikan hal hal sebagai berikut :3,4,5
1. Setiap prosedur, dimana anestesi lokal dapat menghasilkan kondisi
operasi yang nyaman dan memuaskan.
2. Penyakit paru yang diderita oleh pasien masih dapat terkompensasi
dengan baik.
3. Tidak memiliki riwayat yang tidak baik dengan anestesi lokal.
4. Mengantisipasi masalah masalah dengan rumatan jalan nafas.
5. Untuk operasi darurat tanpa puasa yang adekuat, anestesi jenis ini
sangat dianjurkan, untuk menghindari kemungkinan aspirasi isi
lambung.
KONTRA INDIKASI
Absolut :
1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
5. Tekanan intrakranial meningkat
Relatif :
1. Septikemia
2. Pasien kurang atau tidak kooperatif
3. Pasien dengan kelainan neurologis
4. Deformitas tulang belakang

15

KEUNTUNGAN
1. Pasien tetap sadar
2. Dapat menghindari masalah-masalah pada anestesi umum
3. Pasien dapat makan dan minum setelah operasi

5)

4. Terdapat bukti definitif bahwa ujung jarum yang telah ditempatkan


dengan baik pada posisi yang tepat ( dengan aspirasi cairan
serebrospinalis )
5. Hanya sejumlah kecil anestesi lokal dibutuhkan karena sifat dasar
cairan LCS, dosis ini ternyata menghilangkan kemungkinan keracunan
karena kelebihan dosis.

6)

KERUGIAN
1. Bahaya infeksi yang menyebabkan meningitis bila jarum dimasukkan
ke dalam kulit yang telah disiapkan. Suntikan ke dalam LCS melalui
daerah yang terinfeksi adalah kontraindikasi mutlak.
2. Insidens nyeri kepala spinalis dikaitkan dengan kebocoran LCS
setelah aspirasi jarum, telah berhasil dikurangi, tetapi belum sama
sekali dihilangkan, dengan penggunaan jarum spinalis halus (25 dan 26
g ).
3. Penyuntikan
penyebaran

volume
yang

anestesi

terlalu

lokal

tinggi

yang

atau

terlalu

tidak

banyak

diharapkan

atau
dapat

menyebabkan paralisis respirasi yang lama. Penyulit ini membutuhkan


ventilasi buatan.
4. Kerusakan medulla spinalis, atau radiks nervus spinalis baik karena
trauma langsung atau spasme arteri yang memperdarahi medulla
spinalis, atau karena hipotensi, jarang terjadi, kecuali jika sebagian
larutan lain di luar anestesi lokal disuntikkan. Anestesi spinalis tidak
boleh digunakan jika terdapat penyakit spinalis neurologik aktif.

7)

5. Retensi urin mungkin terjadi setelah anestesi spinalis karena blok


nervus S2-S4 sehingga menyebabkan menurunkan reflex berkemih.

16

6. Nyeri punggung seringkali terjadi sesudah anestesi spinalis, terutama


jika pungsi lumbalis dilakukan usaha yang berulangkali.
7. Terjadi resiko potensial dari hematoma yang meluas pada kanalis
spinalis dan kompresi medulla spinalis atau nervus yang terjadi setelah
pungsi lumbalis pada penderita dengan kelainan pembekuan darah
atau karena antikoagulan.

5)

TEKNIK ANESTESI SPINAL


Blok neuraksial hanya dilakukan di tempat yang mempunyai fasilitas
alat-alat dan obat-obat yang diperlukan untuk intubasi dan resusitasi yang
siap sewaktu-waktu dibutuhkan. Anestesi regional akan lebih mudah bila
sebelumnya

dilakukan

premedikasi

yang

baik.

Persiapan

pasien

non

farmakologi juga sangat membantu. Pasien harus dijelaskan apa yang


diharapkan sehingga dapat meminimalkan kecemasan.
Pemberian oksigen dengan masker atau kanul nasal dapat membantu
mencegah terjadinya hipoksemia, terutama bila menggunakan sedatif.
Monitoring minimal yang dibutuhkan adalah tekanan darah dan pulse
oximetry. Monitoring pada anestesi regional sama dengan pada anestesi
umum.
Setelah monitor terpasang, pasien ditidurkan posisi lateral dekubitus
atau pasien didudukkan. Posisi duduk merupakan posisi termudah untuk
tindakan punksi lumbal. Pasien duduk di tepi meja operasi dengan kaki pada
kursi, bersandar ke depan dengan tangan menyilang di depan. Pada posisi
dekubitus lateral pasien tidur berbaring dengan panggul dan lutut difleksikan
maksimal. 1,3
Posisi penusukan jarum spinal ditentukan kembali, yaitu di daerah antara
vertebra lumbalis. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua
krista iliaka dengan tulang belakang adalah L4 atau L4-5. tentukan tempat

17

tusukan, misalnya pada L2-3, L3-4 atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau
diatasnya beresiko trauma terhadap medula spinalis.1,3,4

Gambar 1. Permukaan anatomi untuk mengidentifikasi tinggi


tulang belakang
Sterilkan tempat tusukan dengan povidon iodin dan alkohol. Lakukan
penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada bidang medial dengan
sudut 10-30o terhadap bidang horizontal ke arah kranial. Jarum lumbal akan
menembus

ligamentum

supraspinosum,

ligamentum

interspinosum,

ligamentum flavum, lapisan duramater dan lapisan subarachnoid.3

18

Gambar 2. Potongan sagital tempat tusukan spinal


Cabut stilet, lalu cairan serebrospinal akan menetes keluar. Suntikan obat
anestetik local yang telah dipersiapkan ke dalam ruang subarachnoid.
Kadang-kadang

untuk

memperlama

kerja

obat

dapat

ditambahkan

vasokonstriktor seperti adrenalin.4

A.

Posisi Pasien

1,5

1. Posisi Duduk
Midline anatomi lebih mudah dinilai ketika pasien posisi duduk
dari pada ketika pasien posisi lateral dekubitus. Perbedaan ini lebih
jelas pada pasien yang sangat gemuk / obese. Pasien duduk dengan
siku diletakkan diatas paha atau tepi meja operasi atau dengan
memeluk bantal. Fleksi dari spinal (tulang belakang membusur
maksimal) menjadikan area target yang berdekatan dengan prosesus
spinosus dan spinal mendekat ke permukaan kulit.

19

Gambar 3. Posisi duduk untuk blok


neuraksial

Gambar 4. Efek fleksi, target area


membuka

2. Posisi Lateral Dekubitus


Beberapa ahli anaestesi lebih suka posisi lateral untuk blok
sentral. Pasien tidur miring dengan lutut fleksi sampai menyentuh perut
atau

dada

seperti

fetal

position.

Asisten

dapat

membantu

memposisikan pasien.

20

3. Posisi Prone

Gambar 5. Posisi lateral dekubitus untuk blok


neuraksial

Posisi ini mungkin digunakan untuk prosedur anorektal pada


larutan obat anestesi hipobarik, lebih jauh blok ini dilaksanakan pada
posisi yang sama seperti prosedur operasi (jackknife) sehingga pasien
tidak harus bergerak mengikuti blok. Ketika liquor cerebrospinal (LCS)
tidak

menetes

melalui

jarum,

penempatan

ujung

jarum

pada

subarakhnoid perlu dikonfirmasi dengan aspirasi LCS.

B.

Pendekatan Anatomis
1. Pendekatan Median

1,4

Tulang belakang teraba dan posisi tubuh pasien diperiksa untuk


memastikan bahwa tulang belakang tegak lurus dengan bidang datar.
Tekanan antara prosesus spinosus vertebra atas dan bawah pada level
yang akan di digunakan diraba, menentukan tempat jarum akan
disuntikkan. Setelah persiapan dan dilakukan anestesi lokal, masukkan
jarum pada median/midline. Prosesus spinosus dari tulang belakang ke
kulit mengarah kebawah, untuk itu jarum yang akan dimasukkan

21

mengarah sedikit ke sefal. Pada jaringan subkutan terasa ada sedikit


tahanan

pada

ligamentum

jarum.

Saat

jarum

supraspinosum

dan

masuk

lebih

dalam,

melalui

akan

terasa

interspinosum

meningkatnya kerapatan jaringan.


Jika jarum menyentuh tulang pada saat masih dangkal, mungkin
jarum membentur prosesus spinosus bagian bawah. Jika

jarum

membentur tulang setelah jarum masuk dalam, biasanya jarum yang di


midline membentur prosesus spinosus bagian atas, atau posisi jarum
disebelah lateral midline dan membentur lamina. Pada kasus yang lain,
jarum bengkok arah jarum belok. Saat jarum menembus ligamentum
flavum, biasanya tahanan akan meningkat secara nyata.
Setelah

menembus

ligamentum

flavum,

disini

terdapat

perbedaan prosedur anestesi spinal dan epidural. Pada anestesi


epidural, setelah menembus ligamentum flavum tiba-tiba di temui
hilangnya tahanan (loss of resistance), berarti jarum telah masuk ke
dalam

ruang

menembus

epidural.

ruang

Pada

epidural

anestesi
dan

spinal,

menembus

jarum

selanjutnya

membran

dura-

subarachnoid yang ditandai dengan mengalirnya LCS keluar melalui


jarum.

Gambar 6. Pendekatan midline

22

2. Pendekatan Paramedian

1,4

Teknik paramedian dipilih bila blok epidural atau spinal sulit


dilakukan, terutama pada pasien yang tidak bisa diposisikan dengan
mudah, misalnya pada pasien dengan artritis berat, kiposkoliosis atau
pernah menjalain operasi tulang belakang sebelumnya.
Tempat masuknya jarum pada pendekatan paramedian ini adalah
2 cm lateral bawah mengarah ke prosesus spinosus atas pada level
yang diinginkan. Karena disebelah lateral, akan menembus ligamentum
interspinosum dan otot paraspinosus, jarum akan melalui tahanan yang
lebih

kecil.

Jarum

mengarah

ke

midline

dengan

sudut

10-25o.

Identifikasi dari ligamentum flavum dan masuknya ke ruang epidural


dengan

hilangnya

tahanan

(loss

of

resistance)

sulit

dipisahkan

dibandingkan dengan pendekatan median/midline.


Jika menyentuh tulang ketika masih dangkal dengan pendekatan
paramedian, mungkin jarum membentur dengan bagian medial dari
lamina bagian bawah dan arahnya harus dialihkan ke atas dan
barangkali diarahkan sedikit ke lateral. Pada kasus dimana membentur
tulang setelah masuk dalam, biasanya jarum menyentuh bagian lateral
dari lamina bagian bawah dan arah harus dialihkan sedikit ke atas,
mengarah ke midline.

23

Gambar 7. Pendekatan Paramedian


C. Jarum Spinal1
Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya runcing
seperti ujung bambu runcing (jenis Quincke Babcock atau Greene) dan jenis
yang ujungnya seperti ujung pensil (Whitacre). Ujung pensil banyak
digunakan karena jarang menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan
spinal.

Gambar 8. Jenis jarum spinal


KOMPLIKASI ANESTESI SPINAL
1.Komplikasi Segera6

24

A. Hipotensi
Mekanisme yang mendasari terjadinya hipotensi pada anestesi
spinal

terutama

akibat

blok

saraf

simpatik

preganglionik

yang

menyebabkan vasodilatasi tidak hanya pada pembuluh darah arteri dan


arteriola tetapi juga pada vena dan venula, sehingga terjadi penurunan
tahanan pembuluh darah perifer. Smith dkk menyatakan terjaddinya
hipotensi pada anestesi spinal akibat turunnya venous return karena
penumpukan darah pada pembuluh darah vena. Tahanan pembuluh
darah tepi ditentukan oleh tonus arteri yang diatur oleh persarafan
simpatis. Blok vasokonstriktor arteri menyebabkan dilatasi arteri dan
kehilangan tonus arteri tetapi tidak semuanya hilang dan masih
terdapat sisa tonus yang bermakna. Dilatasi arteri tidak merata bahkan
di daerah yang mengalami blok simpatis sekalipun. Vasodilatasi daerah
yang terblok membuat kompensasi vasokonstriksi daerah yang tidak
terblok.6,7,8
Derajat hipotensi yang relative ringan sebagian besar berasal dari
perubahan tahanan pembuluh darah tepi. Bila tekanan darah terus
turun di bawah batas kritis dapat menyebabkan gangguan perfusi
oksigen ke jaringan perifer sehingga terjadi hipoksia. Derajat dan
insiden hipotensi pada anestesi spinal dipengaruhi oleh beberapa factor
yaitu umur, jenis kelamin, berat badan, kondisi fisik, jenis obat, tingkat
hambatan sensorik, posisi pasien dan manipulasi operasi. 6,7,8
Bila terjadi hipotensi akibat anestesi spinal, harus segera ditherapi
dengan tujuan untuk mengembalikan oksigenasi jaringan yaitu dengan
meningkatkan curah jantung, meningkatkan tekanan dan aliran perfusi
jaringan dan meningkatkan kandungan oksigen dalam darah. Terdapat
4 tindakan utama untuk terapi hipotensi pada anestesi spinal, yaitu
posisi head down/ tredelenberg, pemberian oksigen, pemberian cairan
intravena dan terapi vasopresor. 6,7,8

25

B. Total Spinal Anestesi


Total spinal anestesi merupakan komplikasi dari spinal anestesi yang
sangat berbahaya karena dapat menyebabkan apneu. Komplikasi ini
terjadi bila blok simpatis sampai cervical sehingga dapat menyebabkan
hipotensi berat, bradikardi, dan terjadi gangguan respirasi. Jika terjadi
hipotensi dalam waktu yang lama akan mengakibatkan hipoperfusi
pada pusat respirasi yang berujung pada terjadinya apneu.
Selain hipotensi berat, gangguan respirasi atau apneu juga dapat
terjadi karena blok nervus frenikus yang mempersarafi otot diafragma
sehingga pasien sulit bernapas dan terjadi apneu.
Faktor

yang

diantaranya

dapat

adalah

menyebabkan

posisi

pasien

terjadinya

dan

komplikasi

barisitas

dari

ini

larutan,

peningkatan tekanan intra abdominal yang mendadak, batuk atau


pasien mengangkat kaki pada saat obat dimasukan. Penaganan total
spinal anestesi adalah dengan melakukan ABC resusitasi, intubasi,
pemberian

oksigen

100%

dan

terapi

seperti

pada

penanganan

hipotensi.7,8
C. Reaksi Toksik Sistemik
Absorpsi dari obat obatan anestesi local yang berlebihan dapat
mengakibatkan produksi toxic serum level yang sangat tinggi. Gejala
yang terlihat pada pasien dengan reaksi toksik sistemik adalah sesuai
dengan organ target yang terkena.
Yang sangat ekstrim adalah bila mengenai system saraf pusat, yaitu
dapat

terjadi

kejang

dan

penurunan

kesadaran.

Pada

system

kardiovaskuler dapat terjadi hipotensi dan aritmia. Penanganan yang


dilakukan berupa terapi simptomatik dan suportif. 7,8
D. Reaksi Alergi

26

Gejala yang terlihat pada reaksi alergi ini bermacam macam, dari
hanya sekedar kemerahan pada kulit, urtikaria, mengenai mukosa,
mata, system pencernaan, system pernapasan, system kardiovaskuler
sampai terjadinya syok anafilaktik.
Dalam menangani reaksi alergi ini, dari yang ringan sampai berat
obat pilihan utama yang kita gunakan adalah adrenalin. Setelah itu
dapat diberikan obat anti histamine 1, anti histamine 2, baru kemudian
mengobati sesuai organ target yang terkena. 8
E. Hipotermia
Yang dirasakan pasien adalah rasa dingin dan badannya akan
menggigil. Penyebab pasti pada menggigil belum diketahui, bisa
diakibatkan suhu ruangan yang dingin, penguapan tubuh yang
mengalami vasodilatasi.
Penanggulangan: pasien diselimuti, suhu ruangan dihangatkan,
oksigenasi, bila belum berhasil dapat diberikan petidin dengan dosis
12,5 mg iv.8

2.Komplikasi lanjut

7,8

A. Nyeri Kepala
Nyeri kepala yang terjadi pasca anestesi spinal ini mengenai 5 10
% dari pasien. Nyeri kepala ini juga lebih banyak mengenai wanita
daripada pria dan lebih banyak mengenai usia muda. Ukuran jarum
juga dapat mempengaruhi terjadinya nyeri kepala pasca anestesi spinal
ini. Penyebab dari nyeri kepala ini sendiri adalah adanya suatu
kebocoran dari LCS dan iritasi selaput otak. Pencegahan yang dapat
dilakukan antara lain adalah dengan penggunaan jarum ukuran kecil,
penyesuaian bevel jarum, pensterilan dan bebas zat kimia. Pengelolaan

27

untuk nyeri kepala ini adalah tirah baring 24 72 jam, Nacl 25 50 ml,
cairan oral/ parenteral, analgetik, blood patch epidural, dan stagen.
B. Sakit Punggung
Saat jarum melewati kulit, jaringan subkutan, dan ligamentum dapat
menyebabkan trauma. Sakit punggung post operasi ini biasanya ringan
dan dapat sembuh dengan sendirinya walaupun bisa berlangsung
selama seminggu. Walaupun terlihat ringan, tapi sakit punggung bisa
menandakan suatu komplikasi yang lebih serius misalnya epidural
hematoma dan abses. Penanganan dari sakit punggung ini adalah
dengan pemberian analgetik anti inflamasi dan tirah baring.
C. Retensi Urine
Blok anastesi local pada radix S2-S4 dapat menurunkan tonus dari
kandung kemih dan menghambat releks berkemih seseorang. Efek
retensi urin ini lebih banyak terjadi pada pasien pria. Penanganannya
adalah dengan memasang kateter. Disfungsi kandung kemih yang
persisten dapat terjadi sebagai manifestasi dari cedera saraf.
D. Meningitis dan Arachnoiditis
Pada anestesi spinal, dapat terjadi infeksi sebagai akibat dari
kontaminasi peralatan yang digunakan, obat yang disuntikan, atau
organism yang ada pada kulit yang kurang dibersihkan. Untungnya, hal
ini jarang terjadi. Arachnoiditis merupakan komplikasi lain yang juga
jarang dilaporkan. Ditandai dengan gejala seperti nyeri dan gejala
neurological

lainnya.

Pada

gambaran

radiographic

didapatkan

gambaran gumpalan di radix saraf. Pencegahan yang paling utama


adalah penggunaan jarum spinal yang disposable. Dengan begitu, kita
juga bisa melaksanakan salah satu unsur dari patients safety.

28

KESIMPULAN
Anestesi

spinal

merupakan

tindakan

anestesi

memasukan

obat

anestesi local ke dalam LCS, yang disuntikan dalam ruang subarachnoid pada
daerah lumbal.
Teknik dalam melakukan anestesi spinal ini, dengan memposisikan
pasien : duduk, lateral dekubitus, dan prone. Sedangkan dalam memasukkan
jarum, menggunakan 2 pendekatan yaitu : pendekatan median dan
pendekatan paramedian. Pada anestesi spinal jarum dimasukkan di bawah L3
pada dewasa dan L1 pada anak anak, untuk menghindari trauma pada
medulla spinalis. Bila LCS telah mengalir keluar melalui jarum, berarti ujung
jarum

telah

masuk

ke

ruang

subarachnoid

anestesi

spinal

bisa

dan

obat

anestesi

bisa

dimasukkan.
Tindakan

menyebabkan

beberapa

macam

komplikasi, yang dibagi menjadi komplikasi segera dan komplikasi lanjut.


Yang termasuk dalam komplikasi segera adalah hipotensi, total spinal
anestesi, reaksi toksik sistemik, reaksi alergi, dan hipotermia. Sedangkan
yang termasuk dalam komplikasi lanjut antara lain adalah nyeri kepala, sakit
punggung, retensi urin, meningitis dan arachnoiditis.

29

DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Spinal, Epidural, and Caudal Blocks.
Clinical Anesthesiology. 5th ed. USA; Lange Medical Books / Mc Graw Hill
Medical Publishing Division; 2013; 937-974.
2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Analgesia Regional. Petunjuk Praktis
Anestesiologi Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007; 5: 105-120.
3. Kristanto

S.

Anestesiologi

Analgesia
dan

Regional.

Terapi

Intensif

Anestesiologi.
Fakultas

Jakarta;

Kedokteran

Bagian

Universitas

Indonesia; 1989; 22: 109-114.


4. Bernards

CM. Epidural

and

Spinal

Anesthesia.

Clinical

Anesthesia.

Philadelpia, Lippincot Williams and Wilkins; 2006; 691-717.


5. Meryana. Anestesia / Analgesia dalam Obstetri Ginekologi. Jakarta [online]
2009 (Cited July 2009). Available at : http://meryana79.wordpress.com/
6. Prabowo. Anestesi Regional. Jakarta [online] 2009 (Cited July 2009).
Available at : http://drboen.blogspot.com/2009/07/anestesi-regional.html
7. Sulistio K. Analgesia Regional. Kumpulan Kuliah Anestesiologi. Jakarta;
Bursa Kedokteran Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 1982; 15: 107-118.

30

8. Birnbach DJ, Ferous F. Complication of Obstetric Regional Anesthesia. San


Fransisco: Churcill Livingstone; 2000; 235-241.

31

Anda mungkin juga menyukai