Fraktur Basis Cranii
Fraktur Basis Cranii
Oleh:
Akhmat Robbi Tricahyono, S. Kep.
NIM 112311101061
a.
Fraktur Temporal
Dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat 3 subtipe dari
fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Tipe transversal dari
fraktur temporal dan tipe longitudinal fraktur temporal ditunjukkan di bawah ini
(Ishman dan Friedland, 2004; Qureshi, et al, 2009).
(A) Transverse temporal bone fracture dan (B) Longitudinal temporal bone
fracture
A
B
b. Fraktur Longitudinal
Terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa pada os
temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan segmen timpani.
Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau posterior
menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa cranii media dekat
foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan
yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari
foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir
pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari
kedua fraktur longitudinal dan transversal. Namun sistem lain untuk klasifikasi
fraktur os temporal telah diusulkan. Sistem ini membagi fraktur os temporal
kedalam petrous fraktur dan nonpetrous fraktur, yang terakhir termasuk fraktur
yang melibatkan mastoid air cells. Fraktur tersebut tidak disertai dengan deficit
c.
yang stabil karena ligamen alar dan membrane tectorial tidak mengalami
kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral
bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur tidak stabil (American College of
Surgeon Committe on Trauma, 2004; Sugiharto, dkk, 2006).
d. Etiologi
e. Patofisiologi
f. Tanda Gejala
a. Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar
pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis cranii fossa anterior
adalah dengan rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes).
Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi, tergantung
pada kondisi patologis intrakranial (Thai, 2007).
b. Fraktur longitudinal os temporal berakibat
pada
terganggunya
tulang
cranial IX, X, XI, dan XII (Anderson dan Montesano, 1988; American College of
Surgeon Committe on Trauma, 2004).
Manitol efektif untuk mengurangi edema serebral. Selain karena efek osmotik,
manitol juga dapat mengurangi TIK dengan meningkatkan arus microcirculatory
otak dan pengiriman oksigen. Efek pemberian bolus manitol tampaknya sama
selama rentang 0,25 sampai 1,0 g/kg.
b. Mengontrol tekanan perfusi otak
Tekanan perfusi otak harus dipertahankan antara 60 dan 70 mmHg, baik dengan
mengurangi TIK atau dengan meninggikan MAP. Rehidrasi secara adekuat dan
mendukung kardiovaskular dengan vasopresor dan inotropik dapat meningkatkan
MAP dan mempertahankan tekanan perfusi otak >70 mmHg.
c. Mengontrol hematokrit
Aliran darah otak dipengaruhi oleh hematokrit. Viskositas darah meningkat
sebanding dengan semakin meningkatnya hematokrit dengan tingkat optimal
sekitar 35%. Aliran darah otak berkurang jika hematokrit meningkat lebih dari
50% dan akan meningkat dengan tingkat hematokrit di bawah 30%.
d. Obat-obatan sedasi
Pemberian rutin obat sedasi seperti analgesik dan agen yang memblokir
neuromuscular dapat menjadi terapi pilihan. Propofol telah menjadi obat sedatif
pilihan. Fentanil dan morfin sering diberikan untuk membatasi nyeri,
memfasilitasi ventilasi mekanis dan mempotensiasi efek sedasi. Obat yang
memblokir neuromuscular dapat juga mencegah peningkatan TIK yang dihasilkan
oleh batuk dan penegangan pada endotrachealtube.
e. Kontrol suhu
Demam dapat memperberat defisit neurologis yang ada dan dapat memperburuk
kondisi pasien. Metabolisme otak dan oksigen meningkat sebesar 6-9 % untuk
setiap kenaikan 1 derajat Celcius. Tiap fase akut cedera kepala, hipertermia harus
diterapi karena akan memperburuk iskemik otak.
f. Kontrol bangkitan
Bangkitan terjadi terutama pada pasien yang telah menderita hematoma, cedera
termasuk patah tulang tengkorak dengan penetrasi dural, adanya tanda fokal
neurologis dan sepsis. Antikonvulsan harus diberikan apabila terjadi bangkitan.
g. Kontrol cairan
NaCl 0,9% dengan osmolaritas 308 mosm/l, telah menjadi kristaloid pilihan
dalam manajemen dari cedera otak. Resusitasi dengan NaCl 0,9% membutuhkan
4 kali volume darah yang hilang untuk memulihkan parameter hemodinamik.
h. Head Up 30o
Menaikkan posisi kepala dengan sudut 15-30 dapat menurunkan TIK dan
meningkatkan venous return ke jantung.
i. Merujuk ke dokter bedah saraf
Indikasi rujukan ke ahli bedah saraf:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
Penanganan khusus dari fraktur basis cranii terutama untuk mengatasi komplikasi
yang timbul, meliputi:
a. Fistula cairan serebrospinal
Mengakibatkan kebocoran cairan dari ruang subarachnoid ke ruang ekstra
arachnoid, duramater, atau jaringan epitel yang terlihat sebagai rinore dan otore.
Sebagian besar rinore dan otore baru terlihat satu minggu setelah terjadinya
trauma. Kebocoran cairan ini membaik satu minggu setelah dilakukan terapi
konservatif. Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest
dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, dan melakukan aktivitas
berat. Diberikan obat-obatan seperti laxantia, diuretic dan steroid (Haryono,
2006).
b. Rinore
Terjadi pada sekitar 25% pasien dengan fraktur basis anterior. CSS mungkin
bocor melalui sinus frontal (melalui pelat kribrosa atau pelat orbital dari tulang
frontal), melalui sinus sfenoid, dan agak jarang melalui klivus. Kadang-kadang
pada fraktur bagian petrosa tulang temporal, CSS mungkin memasuki tuba
eustachian dan mengalir dari hidung. Pengaliran dimulai dalam 48 jam sejak
cedera pada hampir 80% kasus. Penatalaksanaan secara konservatif dapat
dilakukan secara bed rest dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin,
meniup hidung dan melakukan aktivitas berat. Diberikan obat-obatan seperti
laxantia, diuretic, dan steroid. Dilakukan punksi lumbal secara serial dan
pemasangan kateter subarachnoid secara berkelanjutan. Disamping itu dapat
diberikan antibiotik profilaksis untuk mencegah timbulnya infeksi (Haryono,
2006).
Pembedahan dapat secara
tampon pada kebocoran akan berhasil baik dan berguna bagi pasien yang tidak
dapat diketahui lokasi kebocoran atau fistel yang abnormal. Kerugian teknik ini
adalah angka kematian yang tinggi, terjadi retraksi dari otak seperti edema,
hematoma dan perdarahan. Disamping itu dapat terjadi anosmia yang permanen.
Sering terjadi kebutaan terutama pada pembedahan di daerah fossa craniii
anterior. Kerugian lain adalah waktu operasi dan perawatan yang lama.
Pendekatan ekstrakranial dilakukan dengan cara eksternal sinus dan bedah sinus
endoskopi. Pendekatan eksternal sinus yaitu melakukan flap osteoplasti anterior
dengan sayatan pada koronal dan alis mata. Disamping itu dapat juga dengan
pendekatan eksternal etmoidektomi, transe-tmoidal sfenoidotomi, trans-septal
sfenoidotomi atau trans-antral, tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan
teknik ini adalah memiliki lapang pandang yang baik, angka kematian yang
rendah, tidak terdapat anosmia dan angka keberhasilan 80%. Kerugian teknik ini
adalah cacat pada wajah
Disamping itu sulit menangani fistel pada sinus frontal dan sfenoid (Haryono,
2006).
Tindakan bedah sinus merupakan tehnik operasi yang lebih disukai dengan angka
keberhasilan yang tinggi (83% - 94%) dan angka kematian yang rendah. Pada
fistel yang kecil (<3mm) dapat diperbaiki dengan free graftmukoperikondrial
yang diletakkan diatas fistel. Pada fistel yang besar (>3mm) digunakan graft dari
tulang rawan dan tulang yang diletakkan dibawah fistel dan dilapisi dengan flap
lokal atau free graft. Keuntungan teknik ini adalah lapang pandang yang jelas
sehingga memberikan lokasi kebocoran yang tepat. Mukosa dapat dibersihkan
dari kerusakan tulang tanpa memperbesar ukuran dan kerusakan dari tulang.
Disamping itu graft dapat ditempatkan
(Haryono, 2006).
c. Otore
Terjadi bila tulang petrosa mengalami fraktur, duramater dibawahnya serta
arakhnoid robek, serta membran timpanik perforasi. Fraktur tulang petrosa
diklasifikasikan menjadi longitudinal dan transversal berdasarkan hubungannya
terhadap aksis memanjang dari piramid petrosa, namun kebanyakan merupakan
fraktur campuran. Pasien dengan fraktur longitudinal tampil dengan kehilangan
pendengaran konduktif, otore, dan perdarahan dari telinga luar. Pasien dengan
fraktur transversal umumnya memiliki membran timpanik normal dan
memperlihatkan kehilangan pendengaran sensorineural akibat kerusakan labirin,
kokhlea, atau saraf kedelapan di dalam kanal auditori. Paresis fasial tampil hingga
pada 50% pasien. Fraktur longitudinal empat hingga enam kali lebih sering
dibanding yang transversal, namun kurang umum menyebabkan cedera saraf
fasial. Otore CSS berhenti spontan pada kebanyakan pasien dalam seminggu.
Insidens meningitis pasien dengan otore mungkin sekitar 4%, dibanding 17%
pada rinore CSS. Pada kejadian yang jarang, dimana otore tidak berhenti,
sehingga diperlukan pengaliran lumbar dan bahkan operasi (Haryono, 2006).
d. Infeksi
Meningitis merupakan infeksi tersering pada fraktur basis cranii. Penyebab paling
sering dari meningitis pada fraktur basis cranii adalah S. Pneumoniae. Profilaksis
meningitis harus segera diberikan, mengingat tingginya angka morbiditas dan
mortalitas walaupun terapi antibiotik telah digunakan. Pemberian antibioti tidak
perlu menunggu tes diagnostik karena pemberian antibiotik yang terlambat
berkaitan erat dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Profilaksis
antibiotik yang diberikan berupa kombinasi vancomycin dan ceftriaxone.
Antiobiotik golongan ini digunakan mengingat tingginya angka resistensi
antibiotik golongan penicillin, cloramfenikol, maupun meropenem (Pillai, 2010).
e. Pnemocephalus
Adanya udara pada cranial cavity setelah trauma yang melalui meningen.
Meningkatnya tekanan di nasofaring menyebabkan udara masuk melalui cranial
cavity melalui defek pada duramater dan menjadi terperangkap. TIK yang
meningkat dapat memperbesar defek yang ada dan menekan otak dan udara yang
terperangkap. Terapi dapat berupa kombinasi dari operasi untuk membebaskan
udara intrakranial, serta memperbaiki defek yang ada, dan tredelenburg position
(Qureshi, et al, 2009).
B. Referensi
American College of Surgeon Committe on Trauma. 2004. Cedera Kepala. Dalam: Advanced
Trauma Life Support for Doctors. Edisi 7. Komisi Trauma IKABI.
Anderson, P. A. dan Montesano, P. X. 1988. Morphology and Treatment of Occipital Condyle
Fractures. Spine (Phila Pa 1976).
Bulechek, G. M., dkk. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). Sixth Edition. United
States of America: Elsevier Mosby.
Haryono, Y. 2006. Rinorea Cairan Serebrospinal. USU: Departemen THT-KL FK USU.
Herdman, T. H. 2012. Nanda International Nursing Diagnoses: Definition & Classification,
2012-2014. Oxford: Wiley-Blackwell.
Ishman, S. L. dan Friedland, D. R. 2004. Temporal Bone Fractures: Traditional Classification
and Clinical Relevance. Laryngoscope.
Legros, B., et al. 2000. Basal Fracture of The Skull and Lower (IX, X, XI, XII) Cranial
Nerves Palsy: Four Case Reports Including Two Fractures of The Occipital Condyle. J
Trauma.
Listiono, L. D. 1998. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Edisi III. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Moorhead, S., dkk. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). Fourth Edition. United
States of America: Mosby Elsevier.
Netter, F. H. dan Machado, C. A. 2003. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon Learning
System LLC.
Pillai, P., et al. 2010. Traumatic Tension Pneumocephalus: Two Cases and Comprehensive
Review of Literature. OPUS 12 Scientist.
Qureshi, N. H., et al. 2009. Skull Fracture. On Emedicine Health. Serial online.
http://emedicine.medscape.com/article/248108clinicalmanifestations.
[diakses
20
November 2015].
Sugiharto, L., dkk. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta:
EGC.
Thai, T. 2007. Helmet Protection Against Basilar Skull Fracture. Biomechanical of Basilar
Skull Fracture. ATSB Research and Analysis Report Road Safety Research Grant
Report. Australia.
Tuli, S., et al. 1997. Occipital Condyle Fractures. Neurosurgery.