Sejarah Perkembangan Aswaja
Sejarah Perkembangan Aswaja
DI INDONESIA
PENDAHULUAN
Islam masuk ke Indonesia sejak zaman Khulafaur Rasyidin tepatnya pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Penyebaran Islam di Indonesia masuk
melalui dua jalur utama yaitu Jalur Selatan yang bermadzhab Syafii (Arab, Yaman, India, Pakistan, Bangladesh, Malaka, Indonesia) dan Jalur Utara (Jalur
Sutara) yang bermadzhab Hanafi (Turki, persia, Kazakhstan, Uzbekistan, Afganistan, Cina, Malaka, Indonesia). Penyebaran Islam semakin berhasil,
khususnya di Pulau Jawa sejak abad ke-13 oleh Wali Sanga. Dari murid murid Wali Sanga inilah kemudian secara turun temurun menghasilkan Ulama
ulama besar di wilayah Nusantara seperti Syaikhuna Khoil Bangkalan (Madura), Syaikh Arsyad Al Banjari (Banjar, Kalimantan, Syaikh Yusuf Sulawesi,
dan lain lain.
Telaah terhadap Ahlussunnah Wal Jamaah ( Aswaja ) sebagai bagaian dari kajian keislaman merupakan upaya yang mendudukkan aswaja secara
proporsional, bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena
rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada masanya dan
mempunyai sifat dan aktualisasinya tertentu.
Pemaksaan suatu aliran tertentu yang pernah berkembang di era tertentu untuk kita yakini, sama halnya dengan aliran teologi sebagai dogma dan
sekaligus mensucikan pemikiran keagamaan tertentu. Padahal aliran teologi merupakan fenomena sejarah yang senantiasa membutuhkan interpretasi sesuai
dengan konteks zaman yang melingkupinya. Jika hal ini mampu kita antisipasi berarti kita telah memelihara kemerdekaan (hurriyah); yakni kebebasan
berfikir (hurriyah al-rayi), kebebasan berusaha dan berinisiatif (hurriyah al-irodah) serta kebebasan berkiprah dan beraktivitas (hurriyah al-harokah).
Selama kurun waktu berdirinya (1926) hingga sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja tersebut bertahan di tubuh Nahdlatul Ulama. Baru pada
sekitar pertengahan dekade 1990 tersebut, muncul gugatan yang mempertanyakan, tepatkah Aswaja dianut sebagai madzhab, atau lebih tepat dipergunakan
dengan cara lain?
PENGERTIAN
1. Pengertian Aswaja secara Bahasa
Ahlun : keluarga, golongan atau pengikut.
Ahlussunnah : orang orang yang mengikuti sunnah (perkataan, pemikiran atau amal perbuatan Nabi Muhammad SAW.)
Wal Jamaah : Mayoritas ulama dan jamaah umat Islam pengukut sunnah Rasul.
Dengan demikian secara bahasa \aswaja berarti orang orang atau mayoritas para Ulama atau umat Islam yang mengikuti sunnah Rasul dan para Sahabat
atau para Ulama.
2. Secara Istilah
Berarti golongan umat Islam yang dalam bidang Tauhid menganut pemikiran Imam Abu Hasan Al Asyari dan Abu Mansur Al Maturidi,
sedangkan dalam bidang ilmu fiqih menganut Imam Madzhab 4 (Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali) serta dalam bidang tasawuf menganut pada Imam Al
Ghazali dan Imam Junaid al Baghdadi.
3. Mazhab
Secara bahasa berasal dari kata madzhabun yang berarti tempat berjalan. Menurut istilah ialah metode atau cara yang dipakai seorang mujtahid
(ulama yang memenuhi syarat berijtihad) dalam menetapkan hukum berdasarkan Al Quran dan Hadits. Maka bermadzhab ialah menjalankan syariat agama
sesuai dengan hasil ijtihad Imam Mujtahid. Bermadzhab hukumnya wajib bagi yang tidak mampu berijtihad. Adapun yang mampu berijtihad maka
hukumnya boleh sepanjang memenuhi syarat syarat sebagai mujtahid. Bermadzhab bukan berarti tidak mengikuti Al Quran dan Hadits, sebab ijtihad para
Imam Mujtahid berdasarkan Al Quran dan Hadits, baru jika mereka tidak mendapatkan nash di dalam keduanya, mereka kemudian berijtihad.
Sebagaimana Hadits Rasul dari Imam Tirmidzi, yaitu ketika Nabi bertanya kepada Muadz bin Jabal :
Nabi : Dengan apa kamu memutuskan perkara Muadz?
Muadz : Dengan sesuatu yang terdsapat dalam kitabullah (Al Qur an).
Nabi : Kalau tidak engkau dapati dalam kitabullah?
Muadz : Saya akan memutus sesuatu yang telah diputuskan oleh Rasulullah (Hadits).
Nabi : Kalau tidak engkau dapati pada apa yang telah kuputuskan?
Muadz : Saya akan berijtihad dengan menggunakan pikiran saya.
Nabi : Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan dari utusanNya.
Pada waktu Rasulullah masih hidup, segala persoalan dapat diselesaikan oleh beliau. Perkembangan selanjutnya pada zaman sahabat, tabiin,
tabiit tabiin, dan seterusnya banyak persoalan baru muncul, yang pada zaman Nabi belum ada. Karena sulitnya cara menentukan hukum berdasarkan
Sumber Hukum yang ada yaitu Al Quran, Sunnah Rasul, Ijma dan Qiyas dari para Sahabat, Tabiin, Tabiit Tabiin dan Ulama penerusnya. Hal iniberjalan
sampai tahun 500 H yaitu hampir ada 10 Madzhab.
Namun setelah itu dari 10 madzhab yang ada meringkas menjadi 4 madzhab yang besar yaitu : Madzhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali yang
digunakan di dunia Islam sampai sekarang, kecuali yang anti madzhab.
Jadi bermadzhab disini berarti cara yang ditempuh untuk mendapat kebenaran yang ada dalam Al Quran dan Hadits melalui pemahaman atau
hasil pemikiran Imam Mujtahid. Adapun ciri ciri orang Islam yang anti Madzhab antara lain mempunyai sikap sebagai berikut :
Selalu mengatakan bahwa mereka adalah orang Islam, bukan Islam ini dan islam itu dan hanya berpedoman pada Al Quran dan Hadits. Dan
menganggap sesat kalau bermadzhab.
Menganggap semua orang Islam berhak melakukan Ijtihad, menentukan hukum atau menafsirkan hukum sendiri dari Al Quran dan Hadits tanpa
memperhatikan syarat syarat Ijtihad dan bantuan Ulama.
Tidak mengakui dan menghargai Ulama (Kyai) sebagai pewaris risalah Nabi.
Membenci adanya golongan golongan atau organisasi organisasi Islam selain golongannya.
Keras kepala, tidak mau kalah dalam berdebat walaupun sudah jelas salah, menganggap dirinya yang paling benar, suci, paling ahli surga dan
menganggap muslim yang lain ahli bidah, sesat, kufur, murtad, dan lain-lain.
tolok bandingnya dimana-mana di zaman apapun di Asia Tenggara. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa ketika tradisi kebudayaan Islam sedang berkembang
di Indonesia, dipusat dunia Islam, bidang itu telah mapan. Bahkan disana terkenal dengan masa kebekuan, masa kemunduran pemikiran karena di
galakkanya taklid. Dunia pemikiran Islam di Indonesia bagaimanapun juga mempunyai akar pemikiran yang bersumber di pusat dunia Islam tersebut
sebelumnya.
Gerakan modern islam
Pembaharuan Islam atau gerakan modern Islam merupkan jawaban yang ditunjukan terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya.
Kemunduran progresif kerajaan Usmani yang merupakan pemangku khilafah Islam, setelah abad ke 17, melahirkan kebangkitan Islam dikalangan warga
Arab Imperium. Yag terpenting diantaranya adalah gerakan Wahabi, sebuah gerakan reformis puritanis (salafiah). Gerakan ini merupakan sarana yang
menyiapkan jembatan kearah pmbaruan yang bernuansa intelektual.
Katalisator terkenal dari gerakan pembaharuan ini adalah Jamaludin Al-Afgani (1897). Ia mengajarkan solidaritas pan Islam dan pertahanan
terhadap imperialisme Eropa, dengan kembali ke Islam dalam suasana yang secara ilmiah di modernsasi.
SEJARAH PERKEMBANGAN
1. NU dan ASWAJA
Nahdlatul Ulama adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama dengan tujuan memelihara tetap tegaknya ajaran Islam Ahlussunah wal
Jamaah di Indonesia. Dengan demikian antara NU dan Aswaja mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan, NU sebagai organisasi / Jam iyyah
merupakan alat untuk menegakkan Aswaja dan Aswaja merupakan aqidah pokok Nahdlatul Ulama.
Ulama secara lughowi (etimologis / kebahasaan) berarti orang yang pandai, dalam hal ini ilmu agama Islam. Begitu berharganya seorang Ulama,
sampai Nabi pernah bersabda yang artinya : Ulama itu pewaris Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak mewaiskan dirham atau dinar, melainkan hanya
mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang cukup banyak..
Di Indonesia, seorang Ulama diidentikkan atau biasa disebut Kyai yang berarti orang yang sangat dihormati. Agar tidak gampang memperoleh
gelar Ulama atau Kyai, maka ada 3 kriteria yaitu :
Norma pokok yang harus dimiliki oleh seorang Ulama adalah ketaqwaan kepada Allah SWT.
Seorang Ulama mempunyai tugas utama mewarisi misi (risalah) Rasulullah SAW, meliputi : ucapan, ilmu, ajaran, perbuatan, tingkah laku, mental
dan moralnya.
Seorang Ulama memiliki tauladan dalam kehidupan sehari hari seperti : tekun beribadah, tidak cinta dunia, peka terhadap permasalahan dan
kepentingan umat & mengabdikan hidupnya di jalan Allah SWT.
2. Kyai Hasyim Asyari dan NU : Pejuang Syariah
Kiai Hasyim Asyari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-
temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Kakeknya, Kiai Ustman,
terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah pendiri
Pesantren Tambakberas di Jombang.
Sejak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai
Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, sejak usia 15 tahun,
ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain; mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren
Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo).
Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asyari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Makkah. Di sana ia berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib
dan Syaikh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis.
Dalam perjalanan pulang ke Tanah Air, ia singgah di Johor, Malaysia, dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asyari
mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada Abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asyari
memosisikan Pesantren Tebuireng sebagai pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional. Di pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan,
tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi dan
berpidato.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asyari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti
kebangkitan ulama. Organisasi ini berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asyari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi
NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Cikal-bakal berdirinya perkumpulan para ulama yang kemudian menjelma menjadi Nahdhatul Ulama (Kebangkitan Ulama) tidak terlepas dari
sejarah Khilafah. Ketika itu, tanggal 3 Maret 1924, Majelis Nasional yang bersidang di Ankara mengambil keputusan, Khalifah telah berakhir tugastugasnya. Khilafah telah dihapuskan karena Khilafah, pemerintahan dan republik, semuanya menjadi satu gabungan dalam berbagai pengertian dan
konsepnya.
Keputusan tersebut mengguncang umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Untuk merespon peristiwa itu, sebuah Komite Khilafah
(Comite Chilafat) didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarikat
Islam dan wakil ketua KH A. Wahab Hasbullah dari golongan tradisi (yang kemudian melahirkan NU). Tujuannya untuk membahas undangan kongres
Kekhilafahan di Kairo (Bandera Islam, 16 Oktober 1924). Kemudian pada Desember 1924 berlangsung Kongres al-Islam yang diselenggarakan oleh Komite
Khilafah Pusat (Centraal Comite Chilafat). Kongres memutuskan untuk mengirim delegasi ke Konferensi Khilafah di Kairo untuk menyampaikan proposal
Khilafah. Setelah itu, diadakan lagi Kongres al-Islam di Yogyakarta pada 21-27 Agustus 1925. Topik Kongres ini masih seputar Khilafah dan situasi Hijaz
yang masih bergolak. Kongres diadakan lagi pada 6 Februari 1926 di Bandung; September 1926 di Surabaya, 1931, dan 1932. Majelis Islam Ala Indonesia
(MIAI) yang melibatkan Sarikat Islam (SI), Nahdhatul ulama (NU), Muhammadiyah dan organisasi lainnya menyelenggarakan Kongres pada 26 Februari
sampai 1 Maret 1938 di Surabaya. Arahnya adalah menyatukan kembali umat Islam.
Meskipun pada awalnya, Kongres Al-Islam merupakan wadah untuk mengatasi perbedaan, pertikaian dan konflik di antara berbagai kelompok
umat Islam akibat perbedaan pemahaman dan praktik keagamaan menyangkut persoalan furiyah (cabang), seperti dilakukan sebelumnya pada Kongres
Umat Islam (Kongres al-Islam Hindia) di Cirebon pada 31 Oktober-2 November 1922. Namun, pada perkembangan selanjutnya, lebih difokuskan untuk
mewujudkan persatuan dan mencari penyelesaian masalah Khilafah.
Lahirnya NU sendiri, yang merupakan kelanjutan dari Komite Merembuk Hijaz, yang tujuannya untuk melobi Ibnu Suud, penguasa Saudi saat itu,
untuk mengakomodasi pemahaman umat yang bermazhab, jelas tidak terlepas dari sejarah keruntuhan Khilafah. Ibnu Suud sendiri adalah pengganti Syarif
Husain, penguasa Arab yang lebih dulu membelot dari Khilafah Utsmaniyah. Jadi, secara historis lahirnya NU tidak terlepas dari persoalan Khilafah. Di sisi
lain, NU sejak kelahirannya tidak berpaham sekular dan tidak pula anti formalisasi. Bahkan NU memandang formalisasi syariah menjadi sebuah kebutuhan.
Hanya saja, yang ditempuh NU dalam melakukan upaya formalisasi bukanlah cara-cara paksaan dan kekerasan, tetapi menggunakan cara gradual yang
mengarah pada penyadaran. Hal ini karena sepak terjang NU senantiasa berpegang pada kaidah fiqhiyah seperti: m l yudraku kulluh l yutraku kulluh (apa
yang tidak bisa dicapai semua janganlah kemudian meninggalkan semua); dar al-mafsid muqaddamun ala jalb al-mashlih (mencegah kerusakan lebih
didahulukan daripada mengambil kemaslahatan). Sejarah NU menjadi bukti bahwa sejak kelahirannya NU justru concern pada perjuangan formalisasi Islam.
KESIMPULAN
Melacak akar-akar sejarah munculnya istilah ahlul sunnah waljamaah, secara etimologis bahwa aswaja sudah terkenal sejak Rosulullah SAW.
Sebagai konfigurasi sejarah, maka secara umum aswaja mengalami perkembangan dengan tiga tahab secara evolutif. Pertama, tahap embrional pemikiran
sunni dalam bidang teologi bersifat eklektik, yakni memilih salah satu pendapat yang dianggap paling benar. Pada tahap ini masih merupakan tahap
konsolidasi, tokoh yang menjadi penggerak adalah Hasan Al-Basri (110 H/728 M). Kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam AlSyafii (205 H/820 M) berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al- quran dalam konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahap
ini, kajian dan diskusi tentang teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan kristalisasi teologi sunni disatu pihak menolak rasionalisme
dogma, di lain pihak menerima metode rasional dalam memahami agama. Proses kristalisasi ini dilakukan oleh tiga tokoh dan sekaligus ditempat yang
berbeda pada waktu yang bersamaan, yakni; Abu Hasan Al-Asyari (324 H/935 M)di Mesopotamia, Abu Mansur Al-Maturidi (w.331 H/944 M) di
Samarkand, Ahmad Bin Jafar Al-Thahawi (331 H/944 M) di Mesir. Pada zaman kristalisasi inilah Abu Hasan Al-Asyari meresmikan sebagai aliran
pemikiran yang dikembangkan. Dan munculnya aswaja ini sebagai reaksi teologis-politis terhadap Mutazilah, Khowarij dan Syiah yang dipandang oleh
Asari sudah keluar dari paham yang semestinya.
Lain dengan para Ulama NU di Indonesia menganggap aswaja sebagai upaya pembakuan atau menginstitusikan prinsip-prinsip tawasuth
(moderat), tasamuh (toleran) dan tawazzun (seimbang) serta taaddul (Keadilan). Perkembangan selanjutnya oleh Said Aqil Shiroj dalam mereformulasikan
aswaja sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr) keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berdasarkan atas dasar modernisasi, menjaga
keseimbangan dan toleransi, tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka memberikan warna baru terhadap cetak biru (blue print) yang sudah mulai tidak
menarik lagi dihadapan dunia modern.
Aswaja
I Pengantar
Telaah terhadap Ahlussunnah Wal Jamaah ( Aswaja ) sebagai bagaian dari kajian keislaman merupakan upaya yang mendudukkan aswaja secara
proporsional, bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena
rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada masanya dan
mempunyai sifat dan aktualisasinya tertentu.
Pemaksaan suatu aliran tertentu yang pernah berkembang di era tertentu untuk kita yakini, sama halnya dengan aliran teologi sebagai dogma dan sekaligus
mensucikan pemikiran keagamaan tertentu. Padahal aliran teologi merupakan fenomena sejarah yang senantiasa membutuhkan interpretasi sesuai dengan
konteks zaman yang melingkupinya. Jika hal ini mampu kita antisipasi berarti kita telah memelihara kemerdekaan (hurriyah); yakni kebebasan berfikir
(hurriyah al-rayi), kebebasan berusaha dan berinisiatif (hurriyah al-irodah) serta kebebasan berkiprah dan beraktivitas (hurriyah al-harokah) (Said Aqil
Siradj : 1998).
Berangkat dari pemikiran diatas maka persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana meletakkan aswaja sebagai metologi berfikir (manhaj alfikr)?.Jika mengharuskan untuk mengadakan sebuah pembaharuan makna atau inpretasi, maka pembaharuan yang bagaimana bisa relevan dengan
kepentingan Islam dan Umatnya khususnya dalam intern PMII. Apakah aswaja yang telah dikembangkan selama ini didalam tubuh PMII sudah masuk
dalam kategori proporsional? Inilah yang mungkin akan menjadi tulisan dalam tulisan ini.
II Aswaja Dan Perkembangannya
Melacak akar-akar sejarah munculnya istilah ahlul sunnah waljamaah, secara etimologis bahwa aswaja sudah terkenal sejak Rosulullah SAW. Sebagai
konfigurasi sejarah, maka secara umum aswaja mengalami perkembangan dengan tiga tahab secara evolutif. Pertama, tahab embrional pemikiran sunni
dalam bidang teologi bersifat eklektik, yakni memilih salah satu pendapat yang dianggap paling benar. Pada tahab ini masih merupakan tahab konsolidasi,
tokoh yang menjadi penggerak adalah Hasan al-Basri (w.110 H/728 M). Kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam al-SyafiI
(w.205 H/820 M) berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al- quran dalam konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahab ini,
kajian dan diskusi tentang teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan kristalisasi teologi sunni disatu pihak menolak rasionalisme dogma,
di lain pihak menerima metode rasional dalam memahami agama. Proses kristalisasi ini dilakukan oleh tiga tokoh dan sekaligus ditempat yang berbeda pada
waktu yang bersamaan, yakni; Abu Hasan al-Asyari (w.324 H/935 M)di Mesopotamia, Abu Mansur al-Maturidi (w.331 H/944 M) di Samarkand, Ahmad
Bin Jafar al-Thahawi (w.331 H/944 M) di Mesir. ( Nourouzzaman Shidiqi : 1996). Pada zaman kristalisasi inilah Abu Hasan al-Asyari meresmikan sebagai
aliran pemikiran yang dikembangkan. Dan munculnya aswaja ini sebagai reaksi teologis-politis terhadap Mutazilah, Khowarij dan Syiah yang dipandang
oleh Asari sudah keluar dari paham yang semestinya.
Lain dengan para Ulama NU di Indonesia menganggap aswaja sebagai upaya pembakuan atau menginstitusikan prinsip-prinsip tawasuth (moderat),
tasamuh (toleran) dan tawazzun (seimbang) serta taaddul (Keadilan). Perkembangan selanjutnya oleh Said Aqil Shiroj dalam mereformulasikan aswaja
sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr) keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berdasarkan atas dasar modernisasi, menjaga
keseimbangan dan toleransi, tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka memberikan warna baru terhadap cetak biru (blue print) yang sudah mulai tidak
menarik lagi dihadapan dunia modern. Dari sinilah PMII menggunakan aswaja sebagai manhaj al fikr dalam landasan gerak.
III Aswaja Sebagai Manhaj al-fikr
Dalam wacana metode pemikiran, para teolog klasik dapat dikategorikan menjadi empat kelompok. Pertama, kelompok rasioalis yang diwakili oleh aliran
Mutazilah yang pelapori oleh Washil bin Atho, kedua, kelompok tekstualis dihidupkan dan dipertahankan oleh aliran salaf yang munculkan oleh Ibnu
Taimiyah serta generasi berikutnya. Ketiga, kelompok yang pemikirannya terfokuskan pada politik dan sejarah kaum muslimin yang diwakili oleh syiah
dan Khawarij, dan keempat, pemikiran sintetis yang dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asyari dan Abu Mansur al-Maturidi.
Didalam PMII Aswaja dijadikan Manhajul Fikri artinya Aswaja bukan dijadikan tujuan dalam beragama melainkan dijadikan metode dalam berfikir untuk
mencapai kebenaran agama. Walaupun banyak tokoh yang telah mencoba mendekontruksi isi atau konsep yang ada dalam aswaja tapi sampai sekarang
Aswaja dalam sebuah metode berfikir ada banyak relevasinya dalam kehidupan beragama, sehingga PMII lebih terbuka dalam mebuka ruang dialektika
dengan siapapun dan kelompok apapun.
Rumusan aswaja sebagai manhajul fikri pertama kali diintrodusir oleh Kang Said (panggilan akrab Said Aqil Siradj) dalam sebuah forum di Jakarta pada
tahun 1991. Upaya dekonstruktif ini selayaknya dihargai sebagai produk intelektual walaupun juga tidak bijaksana jika diterima begitu saja tanpa ada
discourse panjang dan mendalam dari pada dipandang sebagai upaya merusak norma atau tatanan teologis yang telah ada. Dalam perkembangannya,
akhirnya rumusan baru Kang Said diratifikasi menjadi konsep dasar aswaja di PMII. Prinsip dasar dari aswaja sebagai manhajul fikri meliputi ; tawasuth
(mederat), tasamuh (toleran) dan tawazzun (seimbang). Aktualisasi dari prinsip yang pertama adalah bahwa selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada
posisi yang terhormat (namun tidak terjebak pada mengagung-agungkan akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada apakah dan bagaimana
dia menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan keseimbangan yang mendalam antara wahyu dan akal sehingga kita tidak
terjebak pada paham skripturalisme (tekstual) dan rasionalisme. Selanjutnya, dalam konteks hubungan sosial, seorang kader PMII harus bisa menghargai dan
mentoleransi perbedaan yang ada bahkan sampai pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat
kita pada orang lain, yang diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialiektikakakan keyakinan atau pendapat tersebut, dan ending-nya
diserahkan pada otoritas individu dan hidayah dari Tuhan. Ini adalah menifestasi dari prinsip tasamuh dari aswaja sebagai manhajul fikri. Dan yang terakhir
adalah tawazzun (seimbang). Penjabaran dari prinsip tawazzun meliputi berbagai aspek kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maupun
dalam konteks politik sekalipun. Ini penting karena seringkali tindakan atau sikap yang diambil dalam berinteraksi di dunia ini disusupi oleh kepentingan
sesaat dan keberpihakan yang tidak seharusnya. walaupun dalam kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan mungkin tidak ada orang yang tidak memiliki
keberpihakan sama sekali, minimal keberpihakan terhadap netralitas. Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa memandang dan
menposisikan segala sesuatu pada proporsinya masing-masing adalah sikap yang paling bijak, dan bukan tidak mengambil sikap karena itu adalah
manifestasi dari sikap pengecut dan oportunis.
IV Penutup
Ini bukanlah sesuatu yang saklek yang tidak bisa direvisi atau bahkan diganti sama sekali dengan yang baru, sebab ini adalah hanya sebuah produk
intelektual yang sangat dipengaruhi ruang dan waktu dan untuk menghindari pensucian pemikiran yang pada akhirnya akan berdampak pada kejumudan dan
stagnasi dalam berpikir. Sangat terbuka dan kemungkinan untuk mendialektikakan kembali dan kemudian merumuskan kembali menjadi rumusan yang
kontekstual. Karena itu, yakinlah apa yang anda percayai saat ini adalah benar dan yang lain itu salah, tapi jangan tutup kemungkinan bahwa semuanya itu
bisa berbalik seratus delapan puluh derajat.
Setelah Rasulullah wafat, tampilah Abu Bakar sebagai khalifah untuk memimpin umat. Pelayanan umat
muslim terhadap al-Quran pada masa kepimpinan khalifah Abu Bakar mengalami suatu kemajuan yang
sangat signifikan. Hal ini tidak lepas dari kondisi umat pada masa itu, riwayat dari Imam Bukhori
menerangkan sebagai berikut: Berkata kepada kami Musa bin Ismail dari Ibrahim bin Saad berkata
kepada kami Ibnu Syihab dari Ubaid bin as-Sibaq bahwa Zaid bin Tsabit Ra menyatakan: Telah datang
kepadaku
Abu
Bakar
as-Siddiq
setelah
peperangan
di
Yamamah,
kebetulan
Umar
bin
Khattab
bersamanya, Abu Bakar menyatakan sungguh Umar telah datang kepadaku dan berkata : Peperangan
telah menyebabkan kematian beberapa pembaca al-Quran, dan saya sungguh khawatir jika kematian
meluas kebeberapa Qurra di daerah-daerah hingga menyebabkan hilangnya kebanyakan al-Quran, dan
kodifikasi atas al-Quran. Saya mengatakan
Umar, Bagaimana
mungkin
kita
melakukan
sesuatu
yang
belum
pernah
Rasulullah
Saw
lakukan? Umar berkata: Demi Allah hal ini adalah sangat baik. Maka Umar tetap memintaku hingga
Allah melapangkan dadaku atas hal itu sebagaimana penglihatan Umar. Zaid berkata, bahwa Abu Bakar
menyatakan sesungguhnya engkau orang yang masih muda lagi cerdas, bukannya kami menuduhmu ,
dan
engkau
telah
menulis
wahyu
untuk
Rasulullah
Saw,
maka
cermatilah
al-Quran
dan
lakukan
kodifikasi. Maka demi Allah, seandainya saja memerintahkanku memindahkan salah satu gunung dari
beberappa
gunung
tidaklah
lebih
berat
dari
perintah
kodifikasi
atas
al-Quran.
Saya
berkata
Bagaimana mungkin kalian melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah Saw? Berkata
Abu Bakar: Demi Allah, inilah yang terbaik. Abu Bakar memintaku hingga Allah melapangkan dadaku
untuk dapat memahami pendapat Abu Bakar dan Umar, maka segera saya lakukan penulusuran dan
pengumpulan al-Quran dari rumput dan pelepah pohon serta hafalan para Qurra sampai saya temukan
akhir dari surat at-Taubah (..telah datang kepadamu..) hingga akhir surat pada Abu Khuzainah alAnshori yang tidak terdapat pada lainya. Lembaran-lembaran tersebut terasa ditangan Abu Bakar hingga
beliau wafat ,kemudian umar dan kemudian ditangan Hafshaf binti Umar bin Khattab. [1]
Upaya penyalinan oleh para penulis wahyu dengan dibantu para Qurra (penghafal al-Quran) telah
menghasilkan tulisan al-Quran dalam bentuk lembaran-lembaran yang dapat meminimalisir perbedaan
pendapat dalam tulisan dan bacaan al-Quran bagi umat muslim.
Dengan upaya adanya kodifikasi tersebut diatas tugas para penghafal al-Quran bukannya selesai. Sebab
tugas tersebut tidak semata-mata untuk pengajaran al-Quran saja, namun lebih dari itu merupakan
suatu ibadah yang membuat para pelakunya memiliki keutamaan disisi Allah.
Kodifikasi ll (Upaya Perwujudan Mushaf Induk)
Pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab masalah perbedaan dalam membaca al-Quran
belum
merupakan
melakukan
masa
hal
kodifikasi
kepemimpinan,
yang
atas
mengkhawtirkan,
al-Quran
masalah
walaupun
sebagaimana
tersebut
mulai
telah
begitu
mereka
dipaparkan
menimbulkan
telah
sebelumnya.
kekhawatiran,
mengantisipasi
Namun
sehinagga
dengan
setelah
para
dua
sahabat
segera mengambil tindakan seperti yang disebutkan dalam riwayat berikut: Berkata kepada kami Musa,
berkata kepada Ibrahim, berkata kepada kami Ibnu Syihab bahwa Anas bin Malik mengatakan kepadanya:
6
Khudzaifah
bin
alYaman
datang
kepada
ustman
,dan
sebelumnya
ia
memerangi
warga
Syam dalam penaklukan Armenia dan Azarbaijan bersama warga Irak, maka terkejutlah Khudzaifah akan
adanya perbedaan mereka dalam hal bacaan al-Quran, maka berkatalah Khudzaifah kepada Ustman:
Wahai pemimpin orang-orang yang beriman, beritahulah umat ini sebelum mereka berselisih dalam
masalah
Kitab
sebagaimana
umat
Yahudi
dan
Nasroni.
Ustman
lantas
berkirim
surat
kepada
Hafsah,Kirimkan kepada kami lembaran-lembaran untuk kami tulis dalam mushaf (bentuk plural dari
mushaf, kumpulan lembaran yang diapit dua kulit seperti buku) kemudian kami kembalikan kepadam,
Hafsah segera mengirmkan kepada Ustman ,maka Ustmanpun segera memerintahkan Zaid bin Tsabit
,Abdullah bin Zubair ,Said bin Ash serta Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalinnya kedalam
mushaf-mushaf, dan dia (Ustman) mengatakan kepada otoritas Quraisy tersebut di atas: Jika kalian
berselisih dengan Zaid bin Tsabit tentang masalah al-Quran diturunkan, maka tulislah dengan lisan
Quraisy, sebab al-Quran diturunkan dalam dialek mereka (suku Quraisy), dan merekapun melakukan hal
ini, dan ketika mereka selesai menyalin lembaran-lembaran tersebut kedalam beberapa mushaf, Ustman
segera mengembalikan lembaran-lembaran tersebut kepasa Hafsah, lalu mengirim mushaf yang telah
mereka salin kesatu tempat, dan memerintahkan agar selain mushaf tersebut entah berupa lembaran
(sahifah) atau sudah berupa mushaf untuk dibakar. [2]
Pada masa itu tulisan (kaligrafi) Arab masih belum berharakat dan bertitik seperti yang kita jumpai pada
saat ini, perbedaan harakat, dan panjang pendek bacaan akan menunjukan makna yang berbeda, hal ini
tidak mustahil menimbulkan kesulitan tersendiri bagi masyarakat muslim non Arab. Cara baca dan
pemaknaan yang salah sangat mungkin dilakukan oleh mereka.
Berdasarkan laporan dari Huzdaifah bin al-Yaman yang baru datang dari Armenia dan Azarbaijan (kedua
wilayah tersebut bukan wilayah yang berbahasa Arab), Ustman sebagai kholifah dibantu para sahabat
segera mengambil tindakan. Demi mengatasi hal itu maka al-Quran yang pernah ditulis pada masa Abu
Bakar (masih dalam bentuk lembaran ) disalin lagi dalam bentuk mushaf (diapit dua kulit seperti buku),
untuk dibagikan ke daerah daerah sebagai al-Quran standar, sedangkan yang lain dimusnahkan.
Keputusan yang diambil oleh para sahabat, khususnya ustman sebagai pemimpin umat pada waktu itu
sangatlah tepat, sebab tugas seorang khalifah tidak hanya masalah ekonomi, politik dan sosial, tapi juga
menyangkut
keagamaan,
seperti
penjagaan
keaslian
al-Quran
baik
bacaan
maupun
tulisannya.
Jika
merebak suatu bacaan yang salah dan beraneka ragam, maka tugas pemimpin umat Islamlah untuk
membetulkan, sehingga umat ini selamat dari apa yang pernah dilakuakan oleh umat sebelumnya.
Tapi yang perlu diingat bahwa standarisasi tidak menafikan adanya tujuh macam bacaan yang memang
sudah ditetapkan oleh Rasulullah. Dengan adanya mushaf imam (induk) kemudian kita kenal dengan
Mushaf Ustmani, secara tidak langsung khalifah Ustman tekah meletakkan dasar-dasar untuk tumbuh
kembangnya ilmu al-Quran yang diawali dengan pembahasan masalah rasm (bentuk tulisan) Ustmani
atau ilmu rasm al-Quran.
Jika diruntut dari awal, wahyu ditulis oleh tim yang ditunjuk oleh Rasulullah pada saat bersamaan
dihafalkan oleh para qurra, kemudian pada masa khalifah Abu Bakar apa yang ditulis oleh tim dalam
7
bentuk mushaf (sajifah) lembaran-lembaran tersebut disalin kembali menjadi bentuk mushaf (berbentuk kepadanya:
Khudzaifah
bin
alYaman
datang
kepada
ustman
,dan
sebelumnya
ia
memerangi
warga
Syam dalam penaklukan Armenia dan Azarbaijan bersama warga Irak, maka terkejutlah Khudzaifah akan
adanya perbedaan mereka dalam hal bacaan al-Quran, maka berkatalah Khudzaifah kepada Ustman:
Wahai pemimpin orang-orang yang beriman, beritahulah umat ini sebelum mereka berselisih dalam
masalah
Kitab
sebagaimana
umat
Yahudi
dan
Nasroni.
Ustman
lantas
berkirim
surat
kepada
Hafsah,Kirimkan kepada kami lembaran-lembaran untuk kami tulis dalam mushaf (bentuk plural dari
mushaf, kumpulan lembaran yang diapit dua kulit seperti buku) kemudian kami kembalikan kepadam,
Hafsah segera mengirmkan kepada Ustman ,maka Ustmanpun segera memerintahkan Zaid bin Tsabit
,Abdullah bin Zubair ,Said bin Ash serta Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalinnya kedalam
mushaf-mushaf, dan dia (Ustman) mengatakan kepada otoritas Quraisy tersebut di atas: Jika kalian
berselisih dengan Zaid bin Tsabit tentang masalah al-Quran diturunkan, maka tulislah dengan lisan
Quraisy, sebab al-Quran diturunkan dalam dialek mereka (suku Quraisy), dan merekapun melakukan hal
ini, dan ketika mereka selesai menyalin lembaran-lembaran tersebut kedalam beberapa mushaf, Ustman
segera mengembalikan lembaran-lembaran tersebut kepasa Hafsah, lalu mengirim mushaf yang telah
mereka salin kesatu tempat, dan memerintahkan agar selain mushaf tersebut entah berupa lembaran
(sahifah) atau sudah berupa mushaf untuk dibakar. [2]
Pada masa itu tulisan (kaligrafi) Arab masih belum berharakat dan bertitik seperti yang kita jumpai pada
saat ini, perbedaan harakat, dan panjang pendek bacaan akan menunjukan makna yang berbeda, hal ini
tidak mustahil menimbulkan kesulitan tersendiri bagi masyarakat muslim non Arab. Cara baca dan
pemaknaan yang salah sangat mungkin dilakukan oleh mereka.
Berdasarkan laporan dari Huzdaifah bin al-Yaman yang baru datang dari Armenia dan Azarbaijan (kedua
wilayah tersebut bukan wilayah yang berbahasa Arab), Ustman sebagai kholifah dibantu para sahabat
segera mengambil tindakan. Demi mengatasi hal itu maka al-Quran yang pernah ditulis pada masa Abu
Bakar (masih dalam bentuk lembaran ) disalin lagi dalam bentuk mushaf (diapit dua kulit seperti buku),
untuk dibagikan ke daerah daerah sebagai al-Quran standar, sedangkan yang lain dimusnahkan.
Keputusan yang diambil oleh para sahabat, khususnya ustman sebagai pemimpin umat pada waktu itu
sangatlah tepat, sebab tugas seorang khalifah tidak hanya masalah ekonomi, politik dan sosial, tapi juga
menyangkut
keagamaan,
seperti
penjagaan
keaslian
al-Quran
baik
bacaan
maupun
tulisannya.
Jika
merebak suatu bacaan yang salah dan beraneka ragam, maka tugas pemimpin umat Islamlah untuk
membetulkan, sehingga umat ini selamat dari apa yang pernah dilakuakan oleh umat sebelumnya.
Tapi yang perlu diingat bahwa standarisasi tidak menafikan adanya tujuh macam bacaan yang memang
sudah ditetapkan oleh Rasulullah. Dengan adanya mushaf imam (induk) kemudian kita kenal dengan
Mushaf Ustmani, secara tidak langsung khalifah Ustman tekah meletakkan dasar-dasar untuk tumbuh
kembangnya ilmu al-Quran yang diawali dengan pembahasan masalah rasm (bentuk tulisan) Ustmani
atau ilmu rasm al-Quran. pelajaran dasar wajib bagi pelajar khususnya abad-abad pertengahan sampai sekarang,
terutama di pesantren. Tidaklah keterlaluan jika Syaikhhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan : Umat kita tidaklah
8
sama dengan ahli kitab, yang tidak menghafalkan kitab suci mereka. Bahkan jikalau seluruh mushaf ditiadakan maka
al-Quran tetap tersimpan dalam hati umat muslim. [6]
Pada
masa
sekarang,
pengawasan
ada
di
bawah
lajnah
pentashih
al-Quran,
dibawah
pengawasan
departemen RI. Di Negara Islampun terdapat badan yang serupa, khususnya dalam masalah al-Quran.
Kini umat muslim bisa mendengarkan dari manapun di penjuru dunia tanpa merasa asing akan bacaan
mereka
dengan
media
bermacam-macam.
Dalam
upaya
mampelajari
ayat-ayat
al-Quranpun
sudah
banyak kemudian yang mereka dapatkan baik berupa tafsir maupun terjemahan serta sederet ilmu-limu
yang lainya.
Jika diruntut dari awal, wahyu ditulis oleh tim yang ditunjuk oleh Rasulullah pada saat bersamaan
dihafalkan oleh para qurra, kemudian pada masa khalifah Abu Bakar apa yang ditulis oleh tim dalam
bentuk mushaf (sajifah) lembaran-lembaran tersebut disalin kembali menjadi bentuk mushaf (berbentuk
KEPEMIMPINAN SETELAH RASUL
Muhammad SAWW dipilih menjadi Rasul sesuai dengan ayat "Kami tidak utus engkau(Muhammad)kecuali untuk menjadi Rahamat
bagi alam semesta."
Beliau dalam hidupnya berhasil merubah secara Fundamental dan Radikal Politik,Sosial dan Budaya Jahiliyah menjadi Politik,Sosial
dan Budaya Ilahiyah (ISLAM)
Jika kita tinjau Muhammad mempunyai 2 (dua) Missi yang diembannya:
1.Missi Ilahi semasa hidupnya(Nabi success sampai terbentuknya Madinah yang aman tentram dan penuh dengan keadilan yang
langsung dibawah kepemimpinannya).
2.Missi Ilahi setelah wafatnya,disini kita bisa meninjau apakah :
a. Nabi Pasif. ( Nabi tidak mempunyai planning masa depan ummatnya,acuh,dan melepaskan begitu saja kpd ummatnya??),yang
ternyata Realitasnya......Masyarakat Islam Bingung.
b. Nabi Aktif. ( Nabi disini mempersiapkan,punya planning untuk masa depan ummatnya).
Dalam hal ini Realitasnya :
1. Nabi mempersiapkan missi Militer Usamah bin Zaid,sesuai dengan hadist "Siapkan pasukan Usamah! Satuan tempur harus segera
bertolak! (Tarikh Al-Kamil Karya Ibnul Katsir).
Jika kita tinjau disini Nabi dalam keadaan sakit yang parah,Apakah mungkin untuk missi kemiliteran Nabi Pikirkan,sedangkan untuk
Kepemimpinan tidak??
2. Tragedi yang dikenal didalam kitab kitab Hadist Yaumil Khamis.
Ketika Rasulullah SAWW hampir Wafat sedangkan dirumah beliau terdapat beberapa sahabat termasuk Umar bin Khattab,beliau
meminta dengan suara parau tersendat-sendat sambil menahan rasa sakit dan nyeri.
Musnad Ahmad bin Hambal Juz 1 hal 300 ; Shahih Muslim An-Nishaburi Juz 2 Bab Al-Washaya dan Shahih Bukhori Juz 1 Kitan anNikah. "Berikan padaku selembar kertas dan tinta,Aku tuliskan untuk kalian semua,sebuah pusaka tulisan yang mana jika kalian
mematuhi isinya,maka pasti kalian tidak akan sesat setelah aku tinggal pergi".
Dari kejadian diatas bahwa Nabi berakti Aktif dalam mempersiapkan Kepemimpinan setelah Beliau wafat .Mustahil Nabi Pasif karena
dari cukilan sebagian kejadian diatas dapat kita simpulkan Pasti Nabi AKTIF mempersiapkan kepemimpinan setelah wafatnya
Beliau.Khalifah Abubakar,Umar saja mempunyai pesan dan planning untuk siapa yang harus melanjutkan kekhalifaan setelah mereka
tiada ,masa Rasulullah SAWW yg ditunjuk ALLAH SWT sebagai Nabi dan yg mendidik Khalifah Abubakar,Umar,Manusia termulia
paling BerIlmu yang dari Zaman Adam sampai Kiamat tidak mempunyai planning kedepan(saya berlindung kepada ALLAH SWT dari
prasangka seperti itu).
Dalam mempersiapkan ( Nabi Aktif ) itu bisa ditinjau apakah :
1.Nabi mempersiapkan System Syura.
Dalam Realitasnya tidak ada dalam hadist maupun sejarah Nabi meletakkan system Syura(secara detil) dalam peralihan
kepemimpinan.Khalifah Abubakar,Khalifah Umar tidak melakukan System Syura,dimana Khalifah Abubakar langsung memilih
Umar,dan Khalifah Umar menunjuk 6(enam)orang untuk memilih Khalifah setelah Ia meninggal.Jelas Nabi tidak mempunyai atau
mempersiapkan System Syura,karena Sahabat2 yang dekat dg Beliau tidak memakainya,dan itu menjadi Hujah dan contoh bahwa Nabi
tidak mempersiapkan System Syura.Apalagi selanjutnya setelah Masa Imam Ali bin Abi Thalib As.timbul masa kerajaan yang dimulai
oleh Muawiyah.
Maka jangan anda ingin mengexpose/menjual bahwa Islam mempunyai contoh System Syura,dimana dan sejarah siapa yg bisa anda
pakai sebagai panutan.(teman saya pernah dipermalukan oleh seorang Nasrani).
2.Nabi Mepersiapkan Kader.
Realitasnya ini jelas dan ada,Yakni Imam Ali bin Abi Thalib yang dididik dari kecil dan tidak pernah menyembah berhala ,lahir dalam
Ka'bah, besar dirumah Nubuwwah,memiliki Intelektualitas yang mumpuni,Moralitas dan loyalitas kepada Nabi yang Paripurna.
ALLAH SWT didalam Al-Quran berkali2 memuji dan mengangkat kemuliaan Imam Ali bin Abi Thalib,tidak ada sahabat yang bisa
menandinginya,Manusia yang Mulia kedua setelah Rasulullah SAWW.Al-Quran Surah 33 ayat 33 ;Al-Maidah Ayat 55;Ad-Dahr Ayat 8
dan banyak lagi,serta hadits-hadist yg silahkan anda cari.
Dari tulisan klritis diatas dapat kita simpulkan bahwa :
NABI PASTI MEMPUNYAI KADER UNTUK MELANJUTKAN KEPEMIMPINAN ISLAM,MUSTAHIL UMMAT ISLAM TIDAK
PUNYA PEMIMPIN.
Hanya karena sejarah yg telah begitu lama terjadi,dan hasil karya Setan maka Islam terpecah seperti sekarang ini,maka kita jangan mau
diperdaya oleh Setan,dan mari Kita bangun, bangkit,ISLAM ITU TIDAK SUNNI DAN TIDAK SYII,TIDAK BARAT DAN TIDAK
TIMUR ,TETAPI ISLAM ITU LA ILA HA IL-ALLAH MUHAMMAD RASULULLAH.
10
menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang
menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.
Salamin-Dikalangan anak muda NU, terutama yang tergabung dalam wadah organisasi kemahasiswaan PMII, diawal
tahun 1990-an mulai ramai membicarakan Aswaja.
Pada mulanya perbincangan baru seputar pertanyaan, mengapa aswaja menghambat perkembangan intelektual
masyarakat ? diskusi terhadap doktrin ini lalu sampai kesimpulan, bahwa kemandegan berfikir ini karena kita
mengadopsi mentah-mentah bahwa aswaja secara QodI (kemasan praktis pemikiran aswaja). Lalu dicobalah
membongkar sisi metodologi berfikirnya (Manhaj Al-fikr): Yakni cara berfikir yang menganggap prinsip Tawasuth
(moderat), Tawazun (keseimbangan), dan Taadul (keadilan). Setidaknya prinsip ini bisa mengantarkan pada sikap
keberagaman yang non tatharruf atau ekstrim kiri dan kanan.
12