Anda di halaman 1dari 56

TIK

BAB I
BAB II
BAB III

BAB I
BAB II
BAB III

1.
2.
1.
2.
1.
2.
3.

PEMBAHASAN
Prinsip dasar mekanika batuan, sifat fisik dan mekanik batuan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi karakter suatu materi atau bahan.
Klasifikasi batuan.
Faktor-faktor batuan yang mempengaruhi peledakan
Distribusi tegangan disekitar terowongan
Pengaruh distribusi tegangan pda jenis-jenis terowongan
Mekanisme interaksi antara batuan dan penyangaan
SOAL-SOAL

POKOK BAHASAN
Mekanisme pembentukan batuan dan hal-hal yang mempengaruhi karakter suatu
materi atau bahan dan perbedaan sifat fisik dan mekanik batuan.
Klasifikasi batuan berdasarkan teori-teroi tertentu dan faktor-faktor mekanik
batuan yang mempengaruhi peledakan.
Teori-teori distribusi tegangan disekitar terowongan, pengaruh distribusi pada
jenis-jenis terowongan dan mekanisme interaksi antara batuan dan penyangaan.

DESKRIPSI SINGKAT
Mengenal dan menafsirkan prinsip-prinsip dasar mekanika batuan diantaranya
tentang konsep gaya (force), tegasan (stress), tarikan (strain) dan faktor-faktor
BAB I

lainnya yang mempengaruhi karakter suatu materi/bahan diantaranya uji kuat, kuat
tekan dan modulus young serta perbedaan antara sifat fisik dan mekanik batuan.
Mempelajari klasifikasi batuan berdasarkan teori-teori diantaranya menurut

BAB II

Terzaghi, benawski, dll, serta factor-faktro batuan yang mempengaruhi peledakan


diantaranya jenis batuan, density batuan, dll.
Mempelajari distribusi tegangan diantara terowongan baik sebelum maupun

BAB III
I.

setelah pembuatan terowongan, pengaruh distribusi pada jenis-jenis terowongan


dan mekanisme interaksi antara batuan dan penyanggaan.
Bahan Bacaan :
1. Suyartono DKK, Good Mining Practice, Studi Nusa, Jakarta, 2003, Bab IV, Hal :
85.
2. Dr. Ir. H. Moch. Munir, Ms ; Geologi dan Mineralogi Tanah, Pustaka Jaya,
Jakarta, 1996, Bab IX, Hal : 174.

II.
III.

BAB I
BAB II
BAB III

Bacaan Tambahan
:
1. Wahana komunitas Geografi, www.Blog Geografi.com, 2010
Pertanyaan kunci
:
1. Jelaskan perbedaan sifat fisik dan mekanik batuan
2. Sebutkan dan terangkan beberapa defenisi dari Modulus Young
3. Tegasan diferensial dapat dikelompokaan menjadi 3 jenis, jelaskan
1. Tuliskan defenisi Batuan menurut, Terzaghi, Bienawski, Barton
1. Jelaskan 3 tegangan mula-mula (Intial stress) pada terowongan
2. Jelaskan 3 asumsi-asumsi distribusi tegangan disekitar terowongan
1

BAB I
PRINSIP DASAR MEKANIKA BATUAN
Mekanika batuan adalah salah cabang disiplin ilmu geomekanika. Mekanika batuan
merupakan ilmu yang mempelajari sifat-sifat mekanik batuan dan massa batuan. Hal ini
menyebabkan mekanika batuan memiliki peran yang dominan dalam operasi penambangan,
seperti

pekerjaan

penerowongan,

pemboran,

penggalian,

peledakan

dan

pekerjaan

lainnya.sehingga untuk mengetahui sifat mekanik batuan dan massa batuan dilakukan berbagai
macam uji coba baik itu dilaboratorium maupun dilapangan langsung atau secara insitu.Untuk
2

mengetahui sifat mekanik batuan dilakukan beberapa percobaan seperti uji kuat tekan uniaksial,
uji kuat tarik, uji triaksial dan uji tegangan insitu.
Mekanika batuan sendiri mempunyai karakteristik mekanik yang diperoleh dari
penelitian ini adalah kuat tekan batuan (t), kuat tarik batuan (c ), Modulus Young (E), Nisbah
Poisson (v), selubung kekuatan batuan (strength envelope), kuat geser (), kohesi (C), dan sudut
geser dalam ().Masing-masing karakter mekanik batuan tersebut diperoleh dari uji yang
berbeda. Kuat tekan batuan dan Modulus Young diperoleh dari uji kuat tekan uniaksial. Pada
penelitian ini nilai kuat tekan batuan dan Modulus Young diambil dari nilai rata-rata hasil
pengujian lima contoh batuan. Untuk kuat tarik batuan diperoleh dari uji kuat tarik tak langsung
(Brazillian test). Sama dengan uji kuat tekan uniaksial, uji kuat tarik tak langsung menggunakan
lima contoh batuan untuk memperoleh kuat tarik rata-rata. Sedangkan selubung kekuatan
batuan, kuat geser, kohesi, dan sudut geser dalam diperoleh dari pengujian triaksial konvensional
dan multitahap.Selain mengamati sifat mekanik atau dinamik dari batuan dalam praktikum ini
juga akan diamati sifat fisik batuan tersebut, dengan mengamati bobot dan masa jenisnya dalam
beberapa keadaan.
A. Uji Kuat Tekan Uniaksial ( UCS )
Penekanan uniaksial terhadap contoh batuan selinder merupakan uji sifat mekanik yang
paling umum digunakan. Uji kuat tekan uniaksial dilakukan untuk menentukan kuat tekan
batuan (t ), Modulus Young (E), Nisbah Poisson (v) , dan kurva tegangan-regangan. Contoh
batuan berbentuk silinder ditekan atau dibebani sampai runtuh. Perbandingan antara tinggi dan
diameter contoh silinder yang umum digunakan adalah 2 sampai 2,5 dengan luas permukaan
pembebanan yang datar, halus dan paralel tegak lurus terhadap sumbu aksis contoh batuan. Dari
hasil pengujian akan didapat beberapa data seperti:

1. Kuat Tekan Batuan (c)


Tujuan utama uji kuat tekan uniaksial adalah untuk mendapatkan nilai kuat tekan dari
contoh batuan. Harga tegangan pada saat contoh batuan hancur didefinisikan sebagai kuat tekan
uniaksial batuan dan diberikan oleh hubungan :
c = F
A

Keterangan :
c = Kuat tekan uniaksial batuan (MPa)
F = Gaya yang bekerja pada saat contoh batuan hancur (kN)
A = Luas penampang awal contoh batuan yang tegak lurus arah gaya (mm)
2. Modulus Young ( E )
Modulus Young atau modulus elastisitas merupakan faktor penting dalam mengevaluasi
deformasi batuan pada kondisi pembebanan yang bervariasi. Nilai modulus elastisitas batuan
bervariasi dari satu contoh batuan dari satu daerah geologi ke daerah geologi lainnya karena
adanya perbedaan dalam hal formasi batuan dan genesa atau mineral pembentuknya. Modulus
elastisitas dipengaruhi oleh tipe batuan, porositas, ukuran partikel, dan kandungan air. Modulus
elastisitas akan lebih besar nilainya apabila diukur tegak lurus perlapisan daripada diukur sejajar
arah perlapisan (Jumikis, 1979).
Modulus elastisitas dihitung dari perbandingan antara tegangan aksial dengan regangan aksial.
Modul elastisitas dapat ditentukan berdasarkan persamaan :
=
a
Keterangan:
.

E = Modulus elastisitas (MPa)

= Perubahan tegangan (MPa)

a = Perubahan regangan aksial (%)

Terdapat tiga cara yang dapat digunakan untuk menentukan nilai modulus elastisitas yaitu :
1. Tangent Youngs Modulus, yaitu perbandingan antara tegangan aksial dengan regangan
aksial yang dihitung pada persentase tetap dari nilai kuat tekan. Umumnya diambil 50%
dari nilai kuat tekan uniaksial.
2. Average Youngs Modulus, yaitu perbandingan antara tegangan aksial dengan regangan
aksial yang dihitung pada bagian linier dari kurva tegangan- tegangan.
4

3. Secant Youngs Modulus, yaitu perbandingan antara tegangan aksial dengan regangan
aksial yang dihitung dengan membuat garis lurus dari tegangan nol ke suatu titik pada
kurva regangan-tegangan pada persentase yang tetap dari nilai kuat tekan. Umumnya
diambil 50% dari nilai kuat tekan uniaksial.
3. Nisbah Poisson ( Poisson Ratio )
Nisbah Poisson didefinisikan sebagai perbandingan negatif antara regangan lateral dan regangan
aksial. Nisbah Poisson menunjukkan adanya pemanjangan ke arah lateral (lateral expansion)
akibat adanya tegangan dalam arah aksial. Sifat mekanik ini dapat ditentukan dengan
persamaan:
V = l
a
Keterangan:
V = Nisbah Poisson
l = regangan lateral (%)
a= regangan aksial (%)
Pada uji kuat tekan uniaksial terdapat tipe pecah suatu contoh batuan pada saat runtuh.
Tipe pecah contoh batuan bergantung pada tingkat ketahanan contoh batuan dan kualitas
permukaan contoh batuan yang bersentuhan langsung dengan permukaan alat penekan saat
pembebanan. Kramadibrata (1991) mengatakan bahwa uji kuat tekan uniaksial menghasilkan
tujuh tipe pecah, yaitu :
a. Cataclasis
b. Belahan arah aksial (axial splitting)
c. Hancuran kerucut (cone runtuh)
d. Hancuran geser (homogeneous shear)
e. Hancuran geser dari sudut ke sudut (homogeneous shear corner to corner)
f. Kombinasi belahan aksial dan geser (combination axial dan local shear)
g. Serpihan mengulit bawang dan menekuk (splintery union-leaves and buckling)
5

B. Uji Kuat Tarik Tak Langsung ( Brazilian Test )


Sifat mekanik batuan yang diperoleh dari uji ini adalah kuat tarik batuan ( t).Ada dua metode
yang dapat dipergunakan untuk mengetahui kuat tarik contoh batuan di laboratorium, yaitu
metode kuat tarik langsung dan metode kuat tarik tak langsung. Metode kuat tarik tak langsung
merupakan uji yang paling sering digunakan. Hal ini disebabkan uji ini lebih mudah dan murah
daripada uji kuat tarik langsung. Salah satu uji kuat tarik tak langsung adalah Brazilian test.
Pada uji brazilian, kuat tarik batuan dapat ditentukan berdasarkan persamaan:
t= 2.F
.D.L
Keterangan :
t = Kuat tarik batuan (MPa)
F = Gaya maksimum yang dapat ditahan batuan (KN)
D = Diameter contoh batuan (mm)
L = Tebal batuan (mm)
Uji Kecepatan Rambat Gelombang Ultrasonik
Uji kecepatan rambat gelombang ultrasonik dilakukan untuk menentukan cepat rambat
gelombang ultrasonik yang merambat melalui contoh batuan. Pada uji ini, waktu tempuh
gelombang primer yang merambat melalui contoh batuan diukur dengan menggunakan Portable
Unit Non-destructive Digital Indicated Tester (PUNDIT). Kecepatan rambat gelombang primer
ditentukan melalui persamaan 2.5.
Vp= L
tp
Keterangan:
L = panjang contoh batuan yang diuji (m)
Vt= waktu tempuh gelombang ultrasonik primer (detik)
tp = cepat rambat primer atau tekan (m/detik)

Cepat rambat gelombang ultrasonik yang merambat di dalam batuan dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu: ukuran butir dan bobot isi, porositas dan kandungan air, temperature
kehadiran bidang lemah.
Ukuran butir dan bobot isi
Batuan yang memiliki ukuran butir halus atau kecil memiliki cepat rambat gelombang
lebih besar daripada batuan dengan ukuran butir kasar atau besar. Hal ini disebabkan karena
batuan berbutir kasar akan memberikan ruang kosong antar butir lebih besar dibandingkan
batuan berbutir halus. Ruang kosong inilah yang menyebabkan cepat rambat gelombang
menurun karena tidak ada media perambatannya. Sama halnya dengan ukuran butir, batuan
berbutir halus memiliki bobot isi yang lebih padat dibandingkan batuan berbutir kasar. Karena
kerapatan antar butir yang tinggi dan sedikitnya ruang kosong yang dimiliki batuan. Oleh karena
itu, batuan yang memiliki bobot isi tinggi memiliki cepat rambat gelombang yang tinggi.
1. Porositas dan kandungan air
Porositas merupakan banyaknya rongga dalam suatu batuan terhadap volume keseluruhan. Jadi
semakin tinggi nilai porositas akan menunjukan semakin banyak rongga atau ruang kosong di
dalam batuan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi porositas maka cepat rambat
gelombang akan semakin kecil. Kandungan air dalam batuan yang cenderung berpori akan
merubah kecepatan rambat gelombang di dalam batuan tersebut. Pada nilai porositas tertentu,
kecepatan rambat gelombang akan bertambah besar karena terjadinya peningkatan
derajatkejenuhan air. Hal ini terjadi karena kecepatan rambat gelombang di dalam air jauh lebih
besar dari di udara.
2.Temperatur
Kecepatan rambat gelombang ultrasonik juga diperngaruhi. Temperatur tinggipada saat
pengujian akan menurunkan cepat rambat gelombang yang merambatmelalui contoh batuan.

3. Kehadiran bidang lemah


Bidang lemah yang berada didalam batuan akan mempengaruhi cepat rambat gelombang
ultrasonik. Bidang lemah yang merupakan bidang batas antara dua permukaan akan
menhadirkan ruang kosong berisi udara. Ruang kosong ini akan memperlambat cepat rambat

gelombang ultrasonik. Dengan demikian, kehadiran bidang lemah akan menurunkan cepat
rambat gelombang yang merambat melalui batuan.
Pengujian Point Load ( Point Load Test )
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kekuatan ( strength ) dari percontoh batu secara tidak
langsung dilapangan. Percontoh batuan dapat berbentuk silinder.
Peralatan yang digunakan mudah dibawa-bawa, tidak begitu besar dan cukup ringan. Pengujian
cepat, sehingga dapat diketahui kekuatan datuan dilapangan, sebelum pengujian dilaboratorium
dilakukan.
Dari pengujian ini didapat :
Is = P
D2
Dimana : Is = Point load strength index ( Index Franklin )
P = Beban maksimum sampai percontoh pecah
D = Jarak antara dua konus penekan
Hubungan antara index franklin (Is) dengan kuat tekan ( t) menurut BIENIAWSKI sebagai
berikut:
c = 18 23 Is untuk diameter percontoh = 50 mm. Jika Is = 1 MPa maka index tersebut tidak
lagi mempunyai arti sehingga disarankan untuk menggunakan pengujian lain dalam penentuan
kekuatan ( strength ) batuan.
Uji triaxial
Tujuan utama uji triaksial adalah untuk menentukan kekuatan batuan pada kondisi
pembebanan triaksial melalui persamaan kriteria keruntuhan. Kriteria keruntuhan yang sering
digunakan dalam pengolahan data uji triaksial adalah criteria Mohr-Coulomb. Hasil pengujian
triaksial kemudian diplot kedalam kurva Mohr-Coulomb sehingga dapat ditentukan parameterparameter kekuatan batuan sebagai berikut:

Strength envelope (kurva intrinsik)

Kuat geser (Shear strength)

Kohesi (C)

Sudut geser dalam ()

Pada pengujian triaksial, contoh batuan dimasukkan kedalam sel triaksial, diberi tekanan
pemampatan (3), dan dibebani secara aksial (1), sampai runtuh. Pada uji ini, tegangan
menengah dianggap sama dengan tekanan pemampatan (3= 1).
Alat uji triaksial yang digunakan merupakan merujuk pada alat triaksial yang dikembangkan
oleh Von Karman pada tahun 1911 Di dalam apparatus ini, tekanan fluida berfungsi sebagai
tekanan pemampatan (3 ) yang diberikan kepada contoh batuan. Fluida dialirkan dengan
menggunakan pompa hidraulik dan dijaga agar selalu konstan. Pada mulanya, beban aksial
merupakan instrumen utama yang mengendalikan uji ini. Namun dengan perkembangan
teknologi masa kini sudah memungkinkan untuk mengendalikan uji ini melalui kontrol beban
atau deformasi yang dialami contoh batuan, bahkan dengan menggunakan katup servo, regangan
aksial dan tekanan pori dapat juga diatur besarnya. Untuk penelitian ini, digunakan mesin tekan
Control seri 85060715 CAT C25/B tanpa katup servo.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Uji Triaksial
1. Tekanan pemampatan
Tekanan pemampatan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi dalam uji triaksial.
Besarnya tegangan aksial pada saat contoh batuan runtuh saat pengujian triaksial selalu lebih
besar daripada tegangan aksial saat contoh batuan runtuh pada pengujian kuat tekan uniaksial.
Hal ini disebabkan karena adanya penekanan (pemampatan) dari arah lateral dari sekeliling
contoh batuan pada uji triaksial. Berbeda pada pengujian kuat tekan uniaksial, tekanan
pemampatannya adalah nol (zero confining pressure), sehingga tegangan aksial batuan lebih
kecil. Berdasarkan penelitian Von Karman (1911) pada batuan marbel Carrara dapat dilihat
dengan adanya tekanan pemampatan pada contoh batuan mengakibatkan kenaikan tekanan
aksial dan bersifat lebih ductile. menunjukkan semakin tingginya tegangan puncak (peak) jika
tekanan pemampatannya semakin besar.
2. Tekanan pori
Dari penelitian Schwartz pada tahun 1964 yang mempelajari tentang tekanan pori pada
uji triaksial terhadap batuan sandstone (). Dapat disimpulkan bahwa naiknya tekanan pori akan
menurunkan kekuatan batuan.

3. Temperatur
Secara umum, kenaikan temperatur menghasilkan penurunan kuat tekan batuan dan
membuat batuan semakin ductile. kurva tegangan diferensial (deviatoric stress, 3-1) regangan
aksial untuk batuan granit pada tekanan pemampatan 500 MPa dan pada temperatur yang
berbeda-beda. Pada temperatur kamar, sifat batuan adalah brittle, tetapi pada temperatur 800 0C
batuan hampir seluruhnya ductile. Efek temperatur terhadap tegangan diferensial saat runtuh
untuk setiap tipe batuan adalah berbeda. Pada penelitian ini, pengaruh temperature diabaikan.
4. Laju deformasi
Kenaikan laju deformasi secara umum akan menaikkan kuat tekan batuan. Hal ini
terbukti dari penelitian-peneliatian terdahulu. Pada tahun 1961, Serdengecti dan Boozer
melakukan penelitian tentang pengaruh kenaikan laju deformasi pada uji triaksial. Dari
penelitian mereka pada batuan limestone dan gabbro solenhofen,
4. Bentuk dan Dimensi contoh batuan
Bentuk contoh batuan pengujian triaksial sama seperti uji kuat tekan uniaxial bentuk
silinder.Semakin bertambahnya ukuran contoh batuan, kemungkinan tiap contoh batuan
dipengaruhi oleh bidang lemah akan semakin besar. Oleh karena itu, semakin besar contoh
batuan yang akan diuji, kekuatan contoh batuan tersebut akan berkurang.Variasi perbandingan
panjang terhadap diameter contoh batuan ( /d) diketahui akan mempengaruhi kekuatan contoh
batuan. Kekuatan contoh batuan akan menurun seiring dengan menaiknya perbandingan panjang
terhadap diameter contoh batuan ( /d). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Mogi
pada tahun 1962. Menurut ISRM (1972) untuk contoh batuan pada uji triaksial dan kuat tekan
uniaksial, perbandingan antara tinggi dan diameter contoh silinder yang umum digunakan adalah
2 sampai 2,5 dengan area permukaan pembebanan yang datar, halus dan paralel tegak lurus
terhadap sumbu aksis contoh batuan.
5. Tipe Deformasi Batuan pada Uji Triaksial
Secara garis besar tipe deformasi yang terjadi saat contoh batuan runtuh dapat dibedakan
menjadi dua tipe, yaitu brittle fracture dan ductile fracture. Serdengecti dan Boozer
menyebutkan bahwa brittle fracture terjadi pada tekanan pemampatan yang rendah, temperatur
yang rendah dan laju deformasi yang besar. Sebaliknya, ductile fracture lebih sering terjadi pada
tekanan pemampatan yang tinggi, temperatur yang tinggi dan laju deformasi yang rendah
(Vutukuri, Lama & Saluja, 1974).Griggs & Handin (1960) menjelaskan deformasi makroskopik
yang dialamibatuan pada tekanan pemampatan yang tinggi dalam uji triaksial. Mereka
mendapatilima tipe deformasi yang terjadi yang dialami contoh batuan saat diberi tekanan
10

pemampatan yang tinggi dalam uji triaksial tersebut Tipe 1 menunjukkan deformasi brittle yang
ditandai oleh bentuk runtuh atau pecah yang berupa splitting. Splitting dianggap sebagai rekahan
yang sejajar terhadap arah gaya tekan aksial yang mengindikasikan lepasnya ikatan antarbutir
dalam contoh batuan karena tarikan.
Tipe 2 masih menunjukkan deformasi brittle, sudah terlihat adanya deformasi plastis
sebelum contoh batuan runtuh (seiring dengan naiknya tekanan pemampatan). Belahan yang
berbentuk kerucut dengan arah aksial menunjukkan terjadinya tegangan kompresif, sedangkan
belahan kerucut akan memiliki arah lateral ketika terjadi tegangan tarik.
Tipe 3 sudah mulai menunjukkan transisi dari brittle ke ductile. Penambahan tekanan
pemampatan menyebabkan contoh batuan runtuh in shear. Shear runtuh terjadi ketika butiran
yang terikat berpindah sepanjang bidang geser. Proses ini terjadi secara perlahan dari tarikan
(tension) dan berakhir dengan geseran (shear).
Karena tekanan pemampatan semakin naik, contoh batuan mulai terdeformasi secara
ductile (laju deformasi semakin menurun) dan contoh batuan sudah mulai bersifat plastis (tipe
4). Apabila tekanan pemampatan dinaikkan kembali, contoh batuan akan bersifat sangat plastis
dan akan sukar untuk mendapatkan kekuatan puncaknya (tipe 5).
Mengenal dan menafsirkan tentang asal-usul dan mekanisme pembentukan suatu struktur
geologi akan menjadi lebih mudah apabila kita memahami prinsip-prinsip dasar mekanika
batuan, yaitu tentang konsep gaya (force), tegasan (stress), tarikan (strain) dan faktor-faktor
lainnya yang mempengaruhi karakter suatu materi/bahan.
Gaya (Force)
1. Gaya merupakan suatu vektor yang dapat merubah gerak dan arah pergerakan suatu
benda.
2. Gaya dapat bekerja secara seimbang terhadap suatu benda (seperti gaya gravitasi dan
elektromagnetik) atau bekerja hanya pada bagian tertentu dari suatu benda (misalnya
gaya-gaya yang bekerja di sepanjang suatu sesar di permukaan bumi).
3. Gaya gravitasi merupakan gaya utama yang bekerja terhadap semua obyek/materi yang
ada di sekeliling kita.
4. Besaran (magnitud) suatu gaya gravitasi adalah berbanding lurus dengan jumlah materi
yang ada, akan tetapi magnitud gaya di permukaan tidak tergantung pada luas kawasan
yang terlibat.

11

5. Satu gaya dapat diurai menjadi 2 komponen gaya yang bekerja dengan arah tertentu,
dimana diagonalnya mewakili jumlah gaya tersebut.
6. Gaya yang bekerja diatas permukaan dapat dibagi menjadi 2 komponen yaitu: satu tegak
lurus dengan bidang permukaan dan satu lagi searah dengan permukaan.
7. Pada kondisi 3-dimensi, setiap komponen gaya dapat dibagi lagi menjadi dua komponen
membentuk sudut tegak lurus antara satu dengan lainnya. Setiap gaya, dapat dipisahkan
menjadi tiga komponen gaya, yaitu komponen gaya X, Y dan Z.
Tekanan Litostatik
1. Tekanan yang terjadi pada suatu benda yang berada di dalam air dikenal sebagai tekanan
hidrostatik. Tekanan hidrostatik yang dialami oleh suatu benda yang berada di dalam air
adalah berbanding lurus dengan berat volume air yang bergerak ke atas atau volume air
yang dipindahkannya.
2. Sebagaimana tekanan hidrostatik suatu benda yang berada di dalam air, maka batuan
yang terdapat di dalam bumi juga mendapat tekanan yang sama seperti benda yang
berada dalam air, akan tetapi tekanannya jauh lebih besar ketimbang benda yang ada di
dalam air, dan hal ini disebabkan karena batuan yang berada di dalam bumi mendapat
tekanan yang sangat besar yang dikenal dengan tekanan litostatik. Tekanan litostatik ini
menekan kesegala arah dan akan meningkat ke arah dalam bumi.
Tegasan (Stress forces)
1. Tegasan adalah gaya yang bekerja pada suatu luasan permukaan dari suatu benda.
Tegasan juga dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi yang terjadi pada batuan sebagai
respon dari gaya-gaya yang berasal dari luar.
2. Tegasan dapat didefinisikan sebagai gaya yang bekerja pada luasan suatu permukaan
benda dibagi dengan luas permukaan benda tersebut: Tegasan (P)= Daya (F) / luas (A).
3. Tegasan yang bekerja pada salah satu permukaan yang mempunyai komponen tegasan
prinsipal atau tegasan utama, yaitu terdiri daripada 3 komponen, yaitu: P, Q dan R.
4. Tegasan pembeda adalah perbedaan antara tegasan maksimal (P) dan tegasan minimal
(R). Sekiranya perbedaan gaya telah melampaui kekuatan batuan maka retakan/rekahan
akan terjadi pada batuan tersebut.
5. Kekuatan suatu batuan sangat tergantung pada besarnya tegasan yang diperlukan untuk
menghasilkan retakan/rekahan.
12

Gaya Tarikan (Tensional Forces)


1. Gaya Tegangan merupakan gaya yang dihasilkan oleh tegasan, dan melibatkan
perubahan panjang, bentuk (distortion) atau dilatasi (dilation) atau ketiga-tiganya.
2. Bila terdapat perubahan tekanan litostatik, suatu benda (homogen) akan berubah
volumenya (dilatasi) tetapi bukan bentuknya. Misalnya, batuan gabro akan mengembang
bila gaya hidrostatiknya diturunkan.
3. Perubahan bentuk biasanya terjadi pada saat gaya terpusat pada suatu benda. Bila suatu
benda dikenai gaya, maka biasanya akan dilampaui ketiga fasa, yaitu fasa elastisitas, fasa
plastisitas, dan fasa pecah.
4. Bahan yang rapuh biasanya pecah sebelum fase plastisitas dilampaui, sementara bahan
yang plastis akan mempunyai selang yang besar antara sifat elastis dan sifat untuk pecah.
Hubungan ini dalam mekanika batuan ditunjukkan oleh tegasan dan tarikan.
5. Kekuatan batuan, biasanya mengacu pada gaya yang diperlukan untuk pecah pada suhu
dan tekanan permukaan tertentu.
6. Setiap batuan mempunyai kekuatan yang berbeda-beda, walaupun terdiri dari jenis yang
sama. Hal ini dikarenakan kondisi pembentukannya juga berbeda-beda.
7. Batuan sedimen seperti batupasir, batugamping, batulempung kurang kuat dibandingkan
dengan batuan metamorf (kuarsit, marmer, batusabak) dan batuan beku (basalt, andesit,
gabro).
Batuan yang terdapat di Bumi merupakan subyek yang secara terus menerus mendapat gaya
yang berakibat tubuh batuan dapat mengalami pelengkungan atau keretakan. Ketika tubuh
batuan melengkung atau retak, maka kita menyebutnya batuan tersebut terdeformasi (berubah
bentuk dan ukurannya). Penyebab deformasi pada batuan adalah gaya tegasan (gaya/satuan
luas). Oleh karena itu untuk memahami deformasi yang terjadi pada batuan, maka kita harus
memahami konsep tentang gaya yang bekerja pada batuan.
Tegasan (stress) dan tegasan tarik (strain stress) adalah gaya gaya yang bekerja di seluruh
tempat dimuka bumi. Salah satu jenis tegasan yang biasa kita kenal adalah tegasan yang bersifat
seragam (uniform-stress) dan dikenal sebagai tekanan (pressure). Tegasan seragam adalah suatu
gaya yang bekerja secara seimbang kesemua arah. Tekanan yang terjadi di bumi yang berkaitan
dengan beban yang menutupi batuan adalah tegasan yang bersifat seragam. Jika tegasan
kesegala arah tidak sama (tidak seragam) maka tegasan yang demikian dikenal sebagai tegasan
diferensial.
Tegasan diferensial dapat dikelompokaan menjadi 3 jenis, yaitu:
13

1. Tegasan tensional (tegasan extensional) adalah tegasan yang dapat mengakibatkan batuan
mengalami peregangan atau mengencang.
2. Tegasan kompresional adalah tegasan yang dapat mengakibatkan batuan mengalami
penekanan.
3. Tegasan geser adalah tegasan yang dapat berakibat pada tergesernya dan berpindahnya
batuan.
Hubungan antara gaya tarikan dan gaya tegasan yang terjadi pada proses deformasi batuan.
1. Deformasi yang bersifat elastis (Elastic Deformation) terjadi apabila sifat gaya tariknya
dapat berbalik (reversible).
2. Deformasi yang bersifat lentur (Ductile Deformation) terjadi apabila sifat gaya tariknya
tidak dapat kembali lagi (irreversible).
3. Retakan / rekahan (Fracture) terjadi apabila sifat gaya tariknya yang tidak kembali lagi
ketika batuan pecah/retak.
Ketika batuan terdeformasi maka batuan mengalami tarikan. Gaya tarikan akan merubah
bentuk, ukuran, atau volume dari suatu batuan. Tahapan deformasi terjadi ketika suatu batuan
mengalami peningkatan gaya tegasan yang melampaui 3 tahapan pada deformasi batuan.
Kita dapat membagi material menjadi 2 (dua) kelas didasarkan atas sifat perilaku dari material
ketika dikenakan gaya tegasan padanya, yaitu :
1. Material yang bersifat retas (brittle material), yaitu apabila sebagian kecil atau sebagian
besar bersifat elastis tetapi hanya sebagian kecil bersifat lentur sebelum material tersebut
retak/pecah (gambar 4-3 kiri).
2. Material yang bersifat lentur (ductile material) jika sebagian kecil bersifat elastis dan
sebagian besar bersifat lentur sebelum terjadi peretakan / fracture (gambar 4-3 kanan).
Bagaimana suatu batuan / material akan bereaksi tergantung pada beberapa faktor, antara lain
adalah:
1. Temperatur Pada temperatur tinggi molekul molekul dan ikatannya dapat meregang
dan berpindah, sehingga batuan/material akan lebih bereaksi pada kelenturan dan pada
temperatur, material akan bersifat retas.
2. Tekanan bebas pada material yang terkena tekanan bebas yang besar akan sifat untuk
retak menjadi berkurang dikarenakan tekanan disekelilingnya cenderung untuk
14

menghalangi terbentuknya retakan. Pada material yang tertekan yang rendah akan
menjadi bersifat retas dan cenderung menjadi retak.
3. Kecepatan tarikan Pada material yang tertarik secara cepat cenderung akan retak. Pada
material yang tertarik secara lambat maka akan cukup waktu bagi setiap atom dalam
material berpindah dan oleh karena itu maka material akan berperilaku / bersifat lentur.
4. Komposisi Beberapa mineral, seperti Kuarsa, Olivine, dan Feldspar bersifat sangat
retas. Mineral lainnya, seperti mineral lempung, mica, dan kalsit bersifat lentur. Hal
tersebut berhubungan dengan tipe ikatan kimianya yang terikat satu dan lainnya. Jadi,
komposisi mineral yang ada dalam batuan akan menjadi suatu faktor dalam menentukan
tingkah laku dari batuan. Aspek lainnya adalah hadir tidaknya air. Air kelihatannya
berperan dalam memperlemah ikatan kimia dan mengitari butiran mineral sehingga dapat
menyebabkan pergeseran. Dengan demikian batuan yang bersifat basah cenderung akan
bersifat lentur, sedangkan batuan yang kering akan cenderung bersifat retas.
Perbedaan sifat fisik dan sifat mekanik batuan :

Sifat fisik batuan adalah penentuan sifat batuan yang dimana pengujiannya tanpa
merusak batuan (non destructive test).
Contohnya :
- Bobot isi (bobot isi asli, bobot isi kereing dan bobot isi jenuh)
- Porositas
- Asorpsi
- Void ratio
- Spesific gravity

Sifat mekanik batuan adalah suatu penentuan sifat yang pengujiannya merusak
batuan (destructive test) sehingga percontohan batuan menjadi hancur.
Contohnya :
- Kuat tekan (c ) untuk menentukan batas elastisitas,
- Kuat tarik
- Point load test untuk mengetahui kekuatan
- Pengujian triaksial
- Punch shear test untuk penentuan kuat geser
- Direct box shear strength test untuk penentuan kohesi, sudut geser dalam, kuat geser
garis, garis coulomb shear strength.
- Ultra sonic Velocity test untuk mendapat nilai cepat rambat gelombang sekunder.

15

BAB II
KLASIFIKASI MEKANIKA BATUAN

Klasifikasi Batuan Menurut Terzaghi


Terzaghi merumuskan metoda yang pertama dalam mengevaluasi batuan dengan
perancangan , metode

ini adalah suatu pengembangan

yang penting dalam mendukung

konstruksi baja dan menetapkan sebagai sistem yang digunakan untuk perkuatan tunnel. 50
tahun yang lalu ditekankan bagaimana mengklasifikasikan ini adalah sesuai dengan tujuan di
mana batuan untuk dibangun bangunan dibuat lengkung baja sebagai penguat terowongan,
kalsifikasi ini bukanlah constuction modern tetapi menyangkut massa batuan dimana pada
bagian atas dan samping tunnel. batuan yang dikendurkan di dalam tunnel akan cenderung]
untuk pindah ke arah terowongan itu. pergerakan ini akan terjadi gesekan sepanjang batasanbatasan tunnel baik samping dan dan dari atas gesek ini umumnya berasal dari permukaan
tanah ke material sebelah menyebelah

terowongan untuk mendukung pergerakan yang

terjadi pada karakteristik dari batuan berkumpul pada bagian atas dimensi terowongan H, dan B
Sambungan yang di pasang bersama-sama tunnel menahan tekanan vertivcal adan tidak
memerlukan perkuatan batuan dari samping kedua kondisi ini jarang dijumpai
Blocky dan batuan paling buruk fragmen secara kimiawi tetap utuh yang (mana)
seluruhnya terpisah dengan yang lain dalam mendukung tunnel tersebut perlu perkuatan dari
samping

16

Batuan yang dihancurkan Tetapi tetap utuh mempunyai fragmen sekecil pasir yang
tersementasi kembali membentuk batuan dibawah permukaan air

Kondisi Batuan
1. keras dan utuh

2. stratifield [sulit/keras]
atau schistose

3. bersendi sedang

Kekuatan batuan

0-0,5 B

Keterangan
Jika terjadi spalling maka
diperlukan lapisan
sebagian besar gaya
digunakan untuk melawan
beban dari atas

0- 0,25 B

(masive)
4. blok Sedang dan paling
buruk

0,25 B- 0,35(B+H)

tidak ada

5 seluruh blacky dan

( 0,35-1.10)(B+H

sedikit/kecil atau tidak

paling buruk

(ada) sisi memaksa


tekanan dari samping
sangat dipertimbangkan

6. dihancurkan akibat

6 1,1(B+H

tekanan

untuk mengurangi efek


rembesan kedasar
terowongan
sisi berat/lebat presure

7. Squeesing batuan pada

1,1-2.1 ( B+H)

kedalaman

8 squezing batuan

membalikkan siruts tulang


rusuk lingkar requered
direkomendasikan

( 2.1-4.5)(b+H)
rangkaian lingkar

9.squezing dept batuan

< 2,1-4,5 feet inrespective

digunakan mendukung

[menyangkut] nilai B+H

terowongan

17

2. Klasifikasi massa batuan menurut Bienawski


Klasifikasi geomekanik (menurut Bienawski). Secara umum dapat dilihat pada table
berikut :
Nomor

Sangat

Baik sekali

Baik

Sedang

Jelek

RQD (%)

81 - 100

61 80

41 -60

21 - 40

21

Pelapukan

Tidak lapuk

Sedikit lapuk

Lapuk

Sangat

Lapuk

100 250

lapuk
25 50

total

> 250

sedang
50 -100 mm

>2m

0,6 2 m

0,1 mm

< 0,1 mm

kelas

Kuat batuan
utuh (mpa)
Spasi kekar
Renggangan
kekar
Kemenerusan
kekar
Aliran air
tanah per 10
m terowongan
Orientasi
jurus dan
kemiringan

Tak
menerus

< 60

mm

mm

0,1 1 mm

1 5 mm

> 5 mm

Menerus

Menerus

Meneru

tanpa

dengan

dengan

pengisi

pengisi
Sedang

mengisi
Besar

25 125

> 125

Tidak ada

Tidak ada

Kecil < 25

(kering)

(kering)

1/mat

Menguntungk

Sedang

Sangat
menguntung
kan

an

< 25

60 200

0,2 0,6 m

Tak menerus

jelek

1/mat
Tidak
menguntung
kan

1/mat
Sangat
tidak
mengunt
ungkan

Klasifikasi Geomekanik Massa Batuan Terkekarkan


Parameter-perameter yang dipakai untuk menghitung harga kualitas batuan yaitu :
-

RQD

Spasi rekahan

Kondisi rekahan

Kekuatan batuan utuh seperti indeks kekuatan point load dan uniaxial

Air tanah seperti aliran/10 m, panjang terewongan, tegangan pori dengan tegangan
utama maxmum dan keadaan umum.

A. Parameter Klasifikasi dan Pembobotannya


Parameter
18

1 Kekuatan

indeks kekuatan

>10 MPa

4-10 MPa

2-4MPa

1-2 MPa

untuk nilai yang kecil dipakai UCS


batuan utuh

point load
uniaxial

>250 Mpa 100-250 MPa 50-250 MPa 25-50 MPa 5-25

MPa 1-5 MPa <1 MPa


pembobotan

15

12

2 RQd
3. Klasifikasi Norwegian Geotechnical institute (NGI), menurut Borton
Ada 6 parameter yang dipakai untuk menghitung harga kualitas batuan (Q), seperti pada
persaman :
Q =

RQD

Jn

Jr

Ja

Jw

SRF

Dimana :
RQD = Rock quality designation
Nilai 0 25

= sangat jelek

25 50

= jelek

50 75

= sedang

75 90

= baik

90 100 = baik sekali


Jn = Nilai jumlah Joint set
Nilai : 0,5 -1,0 = massif
2,0 = satu set kekar
6,0 = satu set kekar + acak
9,0 = Tiga set kekar
12,0 =
20

= batu hancur seperti tanah

19

Jr

= Nilai kekerasan (permukaan) kekar

Ja

= Nilai ubah kekar alteration

Jw

= Faktor reduksi air dalam kekar

SRF = Faktor reduksi tegangan

FAKTOR BATUAN YANG MEMPENGARUHI PELEDAKAN


A. JENIS BATUAN
Setiap jenis batuan mempunyai sifat yang berbeda, dari sifat tersebut maka
batuan dapat dibedakan atas Batuan Beku, Batuan Sedimen, dan Batuan Metamorf
Karena perbedaan sifat yang dimiliki oleh setiap jenis batuan, maka berbeda pula
jenis bahan peledak dan metode yang digunakan dalam proses peledakan. Misalnya
batuan beku umumnya lebih keras jika dibanding dengan batuan sedimen atau batuan
metamorf, sehingga untuk peledakan batuan beku akan menggunakan bahan peledak
dengan detonasi tinggi dalam hal ini menggunakan jenis bahan peledak High Explosive,
sedang untuk batuan sedimen bias hanya dengan menggunakan bahan peledak Low
Explosive.
Contoh Batuan beku

Contoh Batuan Sedimen

20

Contoh Batuan Metamorf

1.

DENSITY BATUAN
Density batuan adalah perbandingan antara berat (gram) dengan volume (cc),
atau dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut :
Density

Berat (Gram)
Volume (cc)

Density batuan merupakan faktor yang mempengaruhi peledakan karena batuan


dengan berat jenis yang lebih tinggi biasanya memerlukan faktor energi yang lebih tinggi
untuk menghasilkan fragmentasi yang optimum kecuali jika batuan tersebut dalam
keadaan berlapis lapis dan bersambung dengan baik.
2.

KEKUATAN BATUAN
Kekuatan batuan adalah daya tahan batuan dari gangguan atau bila dikenai gaya
dan tekanan. Karena setiap batuan mempunyai kekuatan yang berbeda-beda maka sangat
penting untuk kita ketahui dalam merencanakan peledakan.

Batuan yang memiliki

kekuatan besar sebaiknya menggunakan bahan peledak dengan daya ledak yang besar
juga untuk menghasilkan bongkahan yang maksimal, sebaliknya jika batuan yang akan
diledakkan mempunyai kekuatan yang kecil maka dapat menggunakan bahan peledak
dengan daya ledak kecil pula sesuai dengan kebutuhan.
3.

STRUKTUR BATUAN
Struktur batuan yang dimaksud adalah bentuk-bentuk dari perlapisan batuan yang
terbentuk akibat adanya gaya-gaya endogen yang bekerja padanya berupa adanya
perlapisan, retakan, rekahan, perlipatanserta rongga-rongga yang terdapat pada batuan.
Struktur batuan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi peledakan,
misalnya pada batuan berlapis dengan kohesi terbatas dapat bergeser sehingga
menyebabkan patahnya bahan peledak. Batuan yang mempunyai banyak retakan, secara
umum memerlukan energi peledakan yang relative lebih sedikit untuk mendapatkan
fragmentasi yang baik, namun banyaknya rekahan serta rongga-rongga pada batuan
menyebabkan terjadinya fly rock (batuan melayang), ledakan udara (airblast) serta
getaran yang hebat.

4.

JENIS BAHAN PELEDAK


Bahan peledak adalah bahan senyawa kimia tunggal atau campuran berbentuk
padat, cair, gas atau campuran yang apabila dikenai suatu aksi panas, benturan, gesekan
atau ledakan awal akan mengalami suatu reaksi dengan kecepatan tinggi, hasil reaksinya

21

sebagian atau seluruhnya berbentuk gas dan disertai panas dan bertekanan yang sangat
tinggi.
Jenis bahan peledak secara garis besar (berdasarkan sumber energinya) dapat
diklasifikasikan menjadi tiga golongan (J.J Manon, 1976), yaitu:
1. Bahan peledak mekanis (mechanical explosives)
2. Bahan peledak kimia (chemical explosives)
3. Bahan peledak nuklir (nuclear explosives)
Namun juga yang membedakan jenis bahan peledak berdasarkan lapangan
penggunaannya, yaitu:
-

Bahan peledak militer, yaitu untuk kepentingan militer,


Bahan peledak komersial/industry, yaitu untuk pekerjaan-pekerjaan sipil, tambang dan
sebagainya.
Dari ketiga bahan peledak di atas, yang umum digunakan sebagai bahan peledak

industry ialah golongan bahan peledak kimia


Berdasarkan kecepatan perambatan reaksinya, bahan peledak kimia dapat dibagi
menjadi dua jenis (menurut R. L. Ash, 1962), yaitu:
a.

Low Explosive : adalah bahan peledak


yang kecepatan perambatan reaksinya rendah, ummnya lebih kecil dari 1.000 m/sec.
Contoh : Black Powder, Propellant, Puroteknik. Peristiwa perambatan reaksinya disebut
pembakaran sangat lambat dan deflagrasi (agak cepat).

b.

High Explosive : adalah bahan peledak


yang kecepatan perambatan reaksinya tinggi umumnya lebih besar dari 1.500 m/sec.
Contoh : Dinamit, TNT, PETN. Peristiwa perambatan reaksinya disebut peledakan.
Jenis bahan peledak marupakan faktor yang mempengaruhi peledakan karena

pemakaian bahan peledak harus disesuaikan dengan kondisi batuan yang akan diledakkan.
Hal ini juga akan berkaitan dengan biaya yang digunakan, karena jenis bahan peledak High
Explosive akan lebih mahal jika dibanding dengan jenis bahan peledak Low Explosive.
Misalnya untuk batuan yang keras dengan batuan yang lunak; jenis bahan peledak
yang digunakan akan berbeda, yakni untuk batuan yang lebih keras akan menggunakan
bahan peledak jenis High Explosive, sedangkan untuk batuan lunak bisa hanya dengan
menggunakan bahan peledak Low Explosive dengan biaya yang lebih rendah dari pada
menggunakan bahan peledak jenis High Explosive yang akan lebih mahal. Selain itu, untuk
batuan lunak jika menggunakan bahan peledak jenis High Explosive, akan menyebabkan
terjadinya fly rock (batuan melayang).

22

BAB III
DISTRIBUSI TEGANGAN DI SEKITAR TEROWONGAN

I. DISTRIBUSI TEGANGAN SEBELUM DIBUAT TEROWONGAN


Dibuatnya sebuah atau beberapa terowongan dibawah tanah akan mengakibatkan perubahan
distribusi tegangan (stress distribution) di bawah tanah, terutama di dekat terowonganterowongan tersebut.Sebelum terowongan dibuat, pada titik-titik didalam massa batuan bekerja
tegangan mula-mula (initial stress). Tegangan mula-mula ini ada 3 macam, yaitu :
a) Tegangan gravitasi (gravitational stress) yang terjadi karena berat dari

tanah atau

batuan yang berada diatasnya (overburden).


b) Tegangan tektonik (tectonic stress) terjadi akibat geseran-gesan pada kulit bumi yang
terjadi pada waktu yang lampau maupun saat ini, seperti pada saat terjadi sesar dan lainlain.
c) Tegangan sisa (residual stress) adalah tegangan yang masih tersisa,
Walaupun penyebab tegangan tersebut sudah hilang yang ataupun pembengkakan pada kulit
bumi.Jika tegangan tektonik dan tegangan sisa tidak ada atau dapat diabaikan karna kecilnya
pada suatu daerah yang akan dibuat terowongan maka tegangan mula-mula harus teoritis sebagai
berat persatuan luas dari tanah/batu yang terdapat diatasnya, atau dapat ditulis sebagai :
o = pgz dimana :

II.

= tegangan mula-mula

pg

= density tanah / batu diatasnya

= kedalaman dari permukaan tanah.

DISTRIBUSI TEGANGAN SETELAH DIBUAT TEROWONGAN


Untuk memudahkan perhitungan distribusi tegangan disekitar terowongan maka

digunakan asumsi-asumsi sebagai berikut :


1. Geometri dari terowongan.
a) Penampang terowongan mengikuti bentuk-bentuk geometri yang
seperti lingkaran, elip, oval, segi empat dengan sudut-sudut membulat.
23

sederhana,

b) Terowongan berada pada bidang horisontal.


c) Terowongan terletak pada kedalaman z r (z 20 r), dimana r adalah jari-jari
penampang terowongan.
d) terowongan sangat panjang, sehingga dapat digunakan hipotesa regangan bidang
(plane strain).
e) Symetrical revolution disekeliling sumbu panjangnya.
2. Keadaan batuan.
a. kontinu
b. homogen
c. isotrop
3. Keadaan tegangan mula-mula (initial stress) berupa tegangan gravitasi.
2.1

Model sederhana untuk Terowongan berbentuk Lingkaran


Sesuai dengan asumsi-asumsi yang diambil seperti tersebut diatas, maka untuk

terowongan berbentuk bulat analisis tegangannya dapat didekati dengan analisis tegangan
bidang yang terjadi pada model pelat berlubang. Gambar 1 menyajikan pelat yang mengalami
tarik meratanya S dalam arah .. Apabila sebuah lubang kecil dibuat di tengah pelat, maka
distribusi tegangan di tengah lubang akan berubah, tetapi perubahan diabaikan pada jarak yang
cukup besar bila dibandingkan dengan jari-jari lubang a.
Tinjaulah bagian pelat di dalam lingkaran konsentris berjari-jari b yang jauh lebih besar bila
dibandingkan dengan a. Tegangan pada jari-jari b secara efektif sama seperti pada pelat tanpa
lubang dan demikian diberikan oleh
(r) r=b = S cos2 = ...

S (1 + cos 2 )

1
(r) r=b = -

S sin 2

(a)

24

Gaya ini bekerja disekeliling luar cincin yang mempunyai jari-jari dalam dan luar r = a dan r =
b, menghasilkan distribusi

Gambar 1
MODEL PELAT BERLUBANG
tegangan didalam cincin, yang bisa dianggap terdiri dari dua bagian. Yang pertama akibat
komponen tetap gaya normal S. Bagian lainnya terdiri dari gaya normal S sin 2, bersamasama dengan gaya geser - S sin 2,

menghasilkan tegangan yang bisa diturunkan dari

fungsi tegangan dalam bentuk


= f cos 2

(b)

Subtitusi harga ini kedalam persamaan kesesuaian maka diperoleh


2

2s

r2

+
r2

r2

1
+

r2

(c)

=0

Selanjutnya didapatkan persamaan diferensial biasa untuk menentukan f(r) sebagai berikut :
d2

+
dr2

d 2f

+
r

dr

df

+
r2

dr2

4f
+

dr

25
r2

= 0

(d)

dan bentuk penyelesaian umumnya adalah :


1
f ( r ) = Ar2 + Br4 + C

(e)

r2
Dengan demikian fungsi tegangan adalah:
1
=

Ar2 + Br4 + C

+D

(f)

r2
dimana r adalah tegangan normal yang bekerja dalam arah radial, adalah tegangan
normal yang bekerja dalam arah tangensial, sedangkan r adalah tegangan geser yang bekerja
pada bidang yang normalnya searah dengan arah radial dan arah geserannya searah dengan arah
tangensial.
2.2.

Distribusi Tegangan untuk Terowongan Bulat


Untuk menyederhanakan kasus umum yang sering dijumpai pada terowongan, maka

jenis pembebanan tegangan perlu dibedakan, yaitu dengan melihat tegangan mula-mula pada
arah vertikal (Sv) dan pada arah horizontal (Sh) yang bekerja.
Berhubung tegangan mula-mula dalam hal ini hanya berupa tegangan gravitasi saja, maka
keberadaan Sh disini dapat dijelaskan dengan menggunakan kaidah Hooke dimana telah bekerja
tegangan vertikal, akan tetapi tidak memungkinkan terjadinya perpindahan ke arah lateral
(horizontal). Maka besar Sh dapat diperoleh dari :
Sh = ( P / 1 P ) Sv

dimana v adalah nisbah Poisson.


Berdasarkan persamaan (a) ini maka kelompok medan tegangan dibedakan menjadi :
1. Medan tegangan uni-directional, dimana Sv = -pgz dan Sh = 0.

26

2. Medan tegangan lateral constraint, dimana Sv = -pgz, Sh tidak = 0 dan

Sv

(untuk selanjutnya dianggap Sh = Sv).


3. Medan tegangan Hydrostatic, dimana Sv = Sh = -pgz.
Komponen tegangan sebagaimana diperlihatkan pada persamaan (k) butir 3.2.1. diatas
hanyalah berlaku untuk tegangan bidang dengan arah pembebanan yang hanya satu arah (unidirectional). Untuk jenis pembebanan yang lain, yaitu dimana ada Sh dan Sv, maka dengan
menggunakan prinsip superposisi akan diperoleh persamaan komponen tegangan sebagai
berikut:
4

Sr

SA = mSI
3

1
2

-1

Stress
Concentration

GAMBAR 2
DISTRIBUSI TEGANGAN PADA SUMBU SIMETRI
Pada gambar 2 diperlihatkan distribusi tegangan yang bekerja pada bagian samping dan
atas terowongan. Besarnya tegangan yang bekerja dalam hal ini dinyatakan dengan besaran

27

pemusatan tegangan (stress concentration), yang didefinisikan sebagai hasil bagi antara tegangan
yang terjadi (setelah dibuat terowongan) dengan tegangan mula-mulanya (dalam hal ini Sv).
Terlihat bahwa tegangan tangensial () memberikan angka yang jauh lebih besar
dibandingkan dengan jenis / komponen tegangan

Gambar 3
DISTRIBUSI TEGANGAN DI SEKITAR TEROWONGAN BULAT
lainnya, oleh karena itu dalam pemakaian praktis besaran ini sangat diperlukan untuk
perancangan kestabilan bukaan. Harus diingat bahwa gambar 12 baru memperlihatkan distribusi
tegangan yang terjadi pada arah sumbu horisontal dan vertikal penampang lintang terowongan
bulat. Untuk distribusi tegangan sepanjang kontur lingkaran terowongan , dengan mengambil
asumsi bahwa model analisis dalam hal ini adalah axi-simetri (simetrical revolution), maka
hasilnya diperlihatkan pada gambar 3.

28

Dari persamaan komponen tegangan di sekitar terowongan (b), distribusi tegangan pada gambar
3 dapat dijelaskan dengan mengambil besaran r = a, dan besaran Sh yang sesuai ( m = 0, atau
1), dan terlihat bahwa tegangan tangensial tidak lagi konstan pada kontur lingkaran.
Untuk m = 0, maka persamaan komponen tegangan tangensial dapat disederhanakan menjadi :
= Sv (1 - 2 cos 2) (c)
terlihat bahwa :
= - Sv

untuk = 0

untuk = /6

Sv

untuk = /4

= 2 Sv

untuk = /3

= 3 Sv

untuk = /2

(d)

Untuk Sh dan Sv tidak sama dengan nol, maka tegangan tangensial pada kontur lingkaran :
= 3Sh - Sv untuk = 0
= 2Sh

untuk = /6

= Sv + Sh untuk = /4
= 2Sv

untuk = /3

= 3Sv - Sh untuk = /2

Dapat dilihat bahwa semua tarikan (tensile) tangensial akan hilang jika Sh mencapai harga Sv/3
dan untuk Sv = Sh semua = 2 Sv.
2.3. Distribusi Tegangan untuk Terowongan tidak Bulat
Jika penampang lintang terowongan tidak berlaku lingkaran, atau dengan kata lain
konturnya tidak isotrop, maka tegangan kritis di sekitar lubang bukaan diperlihatkan berturutturut untuk bentuk elip, oval dan segi empat dengan sudut-sudut membulat seperti pada lampiran
A, B dan C.
Prinsip dasar penentuannya hampir analog dengan pada terowongan dengan bentuk
bulat, akan tetapi untuk bentuk-bentuk yang semakin kompleks seperti oval dan segi empat
29

dengan sudut-sudut membulat, dimana penyelesaian matematisnya juga semakin rumit maka
penyelesaiannya dibantu dengan cara eksperimental misalnya dengan metoda fotoelastis.
Pada bentuk kontur yang tidak isotrop ini selain besaran-besaran seperti pada bentuk
lingkaran, juga ditambahkan besaran ukuran sumbu panjang dan sumbu pendeknya, dalam hal
ini ditunjukkan dengan besaran tinggi bukaan (Ho) dan lebar bukaan (Wo). Gambar 14
memperlihatkan distribusi tegangan pada sumbu simetri untuk terowongan berbentuk elips.

PENYANGGA PADA TEROWONGAN


I. MEKANISME INTERAKSI ANTARA BATUAN DAN PENYANGGA
Perilaku dari sebuah terowongan dan unjuk laku dari sistem penyangga tergantung pada
karakteristik beban-deformasi dari batuan dan penyangga seperti cara dan waktu dari
pemasangan penyangga. Interaksi antara penyangga dan massa batuan secara kualitatif
digambarkan oleh kurva reaksi massa batuan seperti pada Gambar 3.1. Konsep ini
dikembangkan secara terperinci oleh DEERE dan kawan-kawannya (tahun 1970) teteapi sesudah
mulai dibicarakan oleh FENNER di Austria tahun 1936. Paling akhir, konsep ini dipelejari oleh
BROWN dan kawan-kawannya tahun 1983.
Pada saat terowongan digali, batuan bergerak ke arah dalam. Kurva reaksi dari massa batuan
menggambarkan beban yang harus diberikan kepada atap atau lantai terowongan untuk
mencegah gerakan lebih lanjut . Gerakan (movement) yang terjadi sebelum penyagga dipasang
digambarkan oleh garis OA. Jika penyangga sama sekali tidak bergerak kalau ditekan, maka
beban dari penyangga digambarkan oleh garis AA. Tetapi bagaimanapun juga penyangga akan
mengalami deformasi bersama dengan deformasi dari dinding terowongan dan keseimbangan
terjadi pada titik C pada displacement dari dinding terowongan sama dengan OB dan deformasi
dari penyangga sama dengan AB.
Keseimbangan pada titik C hanya tercapai jika penyangga rancangannya sesuai dan
dipasang tepat pada waktunya. Garis AeE menggambarkan penyangga yang hancur sebelum
dapat menstabilkan terowongan. Garis AF menggambarkan penyangga yang terlalu lemah
sedangkan garis GH adalah penyangga yang dipasang terlambat, sehingga tidak efektif.
Oleh karena itu sangat penting untuk dicatat para sarjana dilapangan untuk memasang
penyangga secepat mungkin sehingga penyangga mulai berfungsi bersamaan dengan deformasi
batuan yang pertama sehingga massa batuan akan membentuk gerakan busur didalamnya dan
tegangan geser mencoba sebagai penyangga sendiri.
Untuk batuan yang kurang kuat, penyangga harus dipasang secepat mungkin.Perkuatan
batuan yang aktif akan lebih efektif dan kapasitas yang dibutuhkan lebih kecil dibandingkan
30

dengan penyangga pasif tetapi pemasangannya harus sesegera mungkin sesudah tiap kemajuan
penggalian.
II.

TEORI PENYANGGAAN
Tujuan utama mendesain penyangga pada lubang bukaan di bawah tanah adalah untuk

membantu massa batuan menyangga dirinya sendiri. Gambar 3.2 adalah contoh sebuah
terowongan yang digali secara full face dengan pemboran dan peledakan, menggunakan
penyangga besi (steel set support) yang dipasang sesudah mucking horisontal dan vertikal insitu stress dianggap sama = PO.
Pada tahap 1, tunnel face belum mencapai seksi x - x. Massa batuan yang berada pada
bagian dimana terowongan akan dibuat dalam keadaan seimbang dengan massa batuan
disekelilingnya. Tekanan yang diberikan oleh penyangga pada profil yang akan digali sama
dengan in-situ stress PO
Pada tahap 2, tunnel face sudah melewati seksi x - x dan tekanan penyangga pi, yang
sebelumnya diberikan oleh batuan yang berada di dalam tunnel, turun menjadi O.Bagaimanapun
juga, terowongan tidak akan runtuh karena deformasi u dibatasi oleh muka terowongan (tunnel
face) dengan pengendalian yang cukup baik. Jika pengendalian u oleh face tidak ada, tekanan
penyangga pi yang diberikan oleh titik B dan C pada yang dibutuhkan untuk membatasi u adalah
sama.
Tekanan penyangga pi yang dibutuhkan untuk membatasi u pada atap (roof) adalah lebih besar
dari yang dibutuhkan untuk membatasi u pada dinding (side wall) karena berat dari daerah batu
lepas (zone of loosened rock) di atas tunnel harus ditambahkan untuk menghitung tekanan
penyangga yang dibutuhkan untuk membatasi stress yang menyebabkan displacement pada atap.
Pada tahap 3, terowongan sudah selesai di- mucking dan steel set sudah dipasang
dekat dengan face. Pada keadaan ini, penyangga belum terbebani seperti ditunjukkan oleh titik
D karena tidak ada deformasi yang terjadi pada terowongan. Jika batuan mempunyai sifat
deformasi yang tidak tergantung pada waktu, maka deformasi radial terowongan masih
ditunjukkan oleh titik B dan C. Pada tahap 4, tunnel face maju kira-kira 1,5 kali diameter dari
seksi x - x dan pengendalian deformasi di dekat face sudah berkurang sekali. Oleh karena itu
deformasi radial selanjutnya dari dinding dan atap dinyatakan oleh kurva CEG dan BFH pada
Gambar 3.2. Deformasi radial atau convergence dari tunnel menyebabkan penyangga terbebani.
Tekanan penyangga pi yang tersedia dari steel set bertambah dengan deformasi radial
terowongan seperti digambarkan oleh garis DEF.
Pada tahap 5, tunnel face maju jauh dari seksi x - x sehingga tidak ada lagi
pengendalian untuk massa batuan pada seksi x - x. Jika tidak ada penyangga-penyangga yang
dipasang, maka deformasi radial pada terowongan bertambah seperti digambarkan oleh kurva
31

EG dan FH pada Gambar 3.2Untuk dinding, tekanan yang dibutuhkan untuk membatasi turun
menjadi O pada titik G dan dalam hal ini dinding akan stabil jika tidak ada lagi gaya yang dapat
menyebabkan deformasi.
Dipihak lain, penyangga yang dibutuhkan untuk membatasi deformasi pada atap turun
sampai minimum dan akan mulai naik. Ini karena displacement ke bawah atap dari daerah lepas
di dalam atap menyebabkan tambahan batuan yang menjadi lepas dan berat dari tambahan
batuan lepas, ditambahkanuntuktekanan penyangga yang dibutuhkan.Pada contoh di atas, atap
akan runtuh jika tidak ada penyangga yang di pasang didalam terowongan. Pada Gambar 3.2
dibagian bawah, kurva reaksi penyangga untuk steel set berpotongan dengan kurva Load
deformasi untuk dinding dan atap terowongan pada titik E dan F. Pada titik-titik ini tekanan
penyangga yang dibutuhkan untuk membatasi deformasi pada dinding dan atap adalah tepat
seimbang dengan tekanan penyangga yang tersedia dari steel set dan terowongan serta sistem
penyangga adalah dalam keseimbangan yang stabil.
III. PENYANGGA PADA PEMBUATAN TEROWONGAN DENGAN CARA
KLASIK DAN DENGAN CARA NATM
Tunneling dengan cara klasik :
Pemasangan penyangga sementara (temporary support) membutuhkan waktu lama

32

.Kurva Load Deformation Massa Batuan Dan Sistem Penyangga Menurut Daeman ( Hoee dan
Brown ). Kontak antara penyangga sementara dan batuan tidak kontinu. Penyangga sementara
membutuhkan tempat dan dapat mengurangi penampang terowongan sampai 30%. Karena
pemasangan penyangga atap (permanent support) lama maka batuan disekitar terowongan
kehilangan tegangan dan mengalami deformasi yang besar akan terjadi overbreak. Gambar 3.4
menunjukkan penyangga untuk metoda klassik.
Kurva Intrinsik Untuk Metoda Klasik
Kurva intrinsik dan karakteristik batuan sebelum penggalian. Kurva intrinsik ini berubah
secara tidak menguntungkan dari segi kestabilan selama

penggalian

dan

sesudah

lubang

bukaan terbentuk. Kurva ini menjadi kurva 1 (kurva 1 jika penggalian secara mekanis, kurva 1
jika menggunakan bahan

peledak).

Disini tidak diperhatikan cara operasi dan rencana penggalian yang merupakan

faktor penting

juga.
Jika terjadi kehilangan tegangan, maka kekuatan batuan turun secara drastis (kurva 2 atau 3)
sehingga dengan mudah kekuatan batuan dapat dilampaui oleh

tegangan

yang

bekerja

(digambarkan oleh lingkaran Mohr).Fenomena ini dapat menyebabkan gangguan pada massa

33

batuan (seperti perilaku batuan menjadi plastik, deformasi yang besar, terjadi kehancuran dan
retakan batuan setempat, dll).Menurut Prof. Muller (1964) pengembangan volumik sekitar 2
sampai 3% dapat menyebabkan menurunnya kekuatan batuan sampai 80 - 90%.
Pada NATM degradasi batuan tidak akan terjadi karena :
1.

Cara penggalian tidak full face.

2.

Penyangga sementara dengan shotcrete dilaksanakan, sehingga kurva 1

menjadi kurva 2.

Keuntungan ini ada hubungannya dengan terisinya ... dan bagian kosong pada batuan oleh
semen, sehingga blok-blok batu saling terikat satu sama lain.
Lapisan semen hasil shotcrete menimbulkan tekanan confining (radial) yang

dinyatakan

dengan lingkaran Mohr dari tegangan yang bergerak ke sebelah kanan sehingga menjauhi kurva
intrinsik (gambar kurva intrinsik untuk NATM).

Tekanan confining pi merupakan aksi bersama antara rock bolt dan deformasi batuan
yang ditahan oleh semen hasil shotcrete.Tekanan confining pi kecil sekali tetapi memainkan
peranan penting untuk kestabilan, terutama untuk batuan yang retak-retak. Massa batuan yang
sebenarnya adalah diskontinu, sering tidak isotrop dan homogen, mempunyai perilaku mekanik
yang sangat kompleks, berbeda dengan perilaku massa batuan yang homogen, kontinu dan
34

isotrop.Oleh karena itu untuk batuan yang banyak mengandung rekahan tidak dapat
digambarkan hanya dengan satu kurva intrinsik.Karakteristik mekanik sangat erat hubungannya
dengan struktur dan cara pembebanannya (orientasi dari tensor tegangan terhadap struktur).
Akibatnya kestabilan tergantung juga pada struktur dan keadaan confining pada suatu
daerah yang diselidiki. Struktur (crack) mempunyai pengaruh lebih besar jika keadaan tegangan
mendekati kondisi uniaxial. Untuk menghilangkan peranan dari crack yang merugikan maka kita
harus menjauhi keadaan tegangan uniaxial.

Penyangga Pada Metode Klasik dan NATM

35

PEMANTAUAN DI DALAM TEROWONGAN


I. MAKSUD DAN TUJUAN PEMANTAUAN DI DALAM TEROWONGAN
Penentuan perilaku sebuah terowongan selama pembuatannya saat ini dikenalsebagai hal
yang penting, kadang-kadang sangat diperlukan, untuk membantu rancangan dan konstruksi
terowongan tersebut. Pemantauan yang sistematis dari unjuk laku massa batuan dan penyangga
dianggap sebagai salah satu penemuan yang pengembangannya penuh harapan di dalam
pembuatan terowongan atau lebih luasnya lagi pembuatan lubang bukaan bawah tanah.
Kompleksnya massa batuan di alam menyebabkan pemantauan in-situ menjadi sangat penting di
dalam pertambangan dan pembuatan terowongan. Hasil observasi dan pengukuran selama
konstruksi dapat digunakan untuk merevisi/memperbaiki rancangan yang dibuat sebelum
konstruksi dengan menghilangkan asumsi-asumsi yang digunakan pada tahap perencanaan.
Tujuan utama dari pemantauan in-situ (berupa pengukuran-pengukuran) adalah untuk
menentukan kondisi kestabilan dari sebuah terowongan dengan menyediakan data-data
kuantitatif dari perilaku massa batuan dan penyangga.Dari berbegai teknik pemantauan yang
ada, pengukuran perpindahan (displacement) di dalam terowongan sudah dibuktikan adalah
yang paling berguna. Ada dua alasan untuk itu.
Pertama, perpindahan adalah besaran yang dapat di ukur langsung dan dapat dipantau
secara kontinu (relatif mudah). Tegangan, dilain pihak harus ditentukan secara tidak langsung
dari berbagai pengukuran dan sulit dipantau secara kontinu.
Kedua, pengukuran perpindahan memberikan informasi tentang gerakan seluruh massa
batuan di dalam jarak pengukuran dan tidak memperlihatkan variasi yang besar

seperti

jika

besarannya diukur pada suatu titik.


II.

PENGUKURAN CONVERGENCE
Pengukuran convergence adalah mengukur perubahan jarak dari dua titik pengukuran

yang dipasang di dalam terowongan (lihat Gambar 4.1). Jarak yang diukur dapat berupa jarak
antara ; atap dan lantai, atap dan dinding, dinding dan lantai serta dinding dan dinding . Jarak
maksimum yang diukur dibatasi sampai 25 meter. Titik pengukuran adalah baut (bolt) yang
ditanam di dalam batuan tetapi tidak begitu dalam. Alat yang digunakan untuk pengukuran
convergece disebut convergence meter. Pengamatan dapat dilakukan setiap saat yang
dikehendaki asalkan kontinu agar interpretasi dari hasil pengukuran dapat dilakukan dengan
36

baik. Gambar 4.2 memperlihatkan hasil pengukuran convergence. Bila hasil pengukuran
memperlihatkan kecenderungan naik yang besar antara pergerakan batuan terhadap waktu, maka
harus segera dilakukan tindakan misalnya perbaikan atau penambahan penyangga.
III. PENGUKURAN DENGAN BOREHOLE EXTENSOMETER
Extensometer di dalam lubang bor dapat digunakan untuk mengukur perpindahan total
dari dinding batuan, yang diakibatkan oleh penggalian dengan suatu titik acuan di dalam massa
batuan yang tidak dipengaruhi oleh penggalian atau untuk mengukur perpindahan relatif antara
titik-titik pengukuran di dalam massa batuan sepanjang lubang bor. Bila hasil pengukuran
memperlihatkan kecenderungan naiknya gerakan batuan terhadap waktu, maka harus segera
dilakukan tindakan untuk menghentikan gerakan tersebut misalnya menambah penyangga.
IV. STASIUN PENGAMATAN
Program pemantauan di dalam terowongan biasanya menyangkut dua jenis stasiun
pengukuran, yaitu stasiun pengukuran convergence dan stasiun pengukuran extensometer di
dalam lubang bor. Jika kedua stasiun ini dipasang pada sebuah terowongan maka disebut stasiun
lengkap. Gambar 4.3 memperlihatkan sebuah stasiun lengkap yang terdiri dari beberapa
extensometer di dalam lubang bor dan titik-titik pengukuran convergence. Stasiun pengukuran
ini harus digambarkan secara jelas terhadap kondisi geologi. Gambar 4.4 dan 4.5
memperlihatkan data-data hasil pemantauan berupa pengukuran convergence dan pengukuran
extensometer di dalam lubang

Stolar

37

C
t1

pasang penyannga

t2

C = D0 D1o

C = D1 D2

t2
t1

t2

t3 t4

Pengukuran Converage

38

Hasil Pengukuran Converage

SOAL-SOAL
1. Untuk Mengetahui kekuatan batuan dilokasi penambangan pada kedalaman 250
m dari permukaan tanah, maka dilakukan uji Triaxial di laboratorium.
Hasil pengujian Triaxial adalah sebagai berikut :
1 (kg/cm2)

2 (kg/cm2)

11

14

20

25

30

34

38

Kuat tekan batuan rata-rata = 15 kg/cm2


a. Gambarkan lingkaran Mohr dari hasil pengujian tersebut menurut kriteria
Mohr.
b. Hitung besarnya faktor keamanan pada poin (a)
c. Hitung tegangan vertikal dan tegangan horizontal di lokasi penambangan
tersebut, jika diketahui density rata-rata = 2,65 ton/m 3 dan poisson ratio
() = 0,3
2. Sebuah lapisan batubara miring di PT. Kitadin yang membentuk sudut 35 0
terhadap bidang horizontal, untuk itu perlu diketahui besarnya tegangantegangan yang bekerja pada lapisan batubara tersebut. Jika density rata-rata
batuan diatas lapisan batubara = 2,5 ton/m3 dan poisson ratio () = 0,25 serta
tegangan geser = 7,5 Kg/cm2
Hitung :

39

a. Tegangan normal (n) dan tegangan geser (nt) di titik A pada lapisan
batubara di kedalaman 150 m dari permukaan tanah
b. Gambarkan lingkaran Mohr pada kertas grafik dengan skala yang benar
dan beri arti dari titik-titik yang membentuk lingkaran Mohr.
c. Hitung Mayor Principal Strees dan Minor Principal Strees pada (b).
3. Klasifikasi Bienawski pada suatu terowongan dengan jari-jari 4 m. Dari hasil
pemboran diperoleh core dengan diameter 10 cm. dari hasil pengujian
laboratorium diperoleh gaya maksimal (F) = 150 KN Hasil Core yang diperoleh
pada kedalaman 2 m yaitu : 10 cm, 9 cm, 21 cm, 20 cm, 22 cm, 8 cm, 7 cm, 25
cm, 30 cm, 15 cm, 5 cm, 4 cm, 6 cm,8,5 cm, kondisi air tanahnya Dripping.
Spasi rekahan rata-rata 45 mm, kondisi bidang discontinue Slickensided dan
orientasi strike tegak lurus sumbu terowongan dengan dip 40 0 550
a. Berapa Aktive Span terowongan tersebut.
b. berapa Stand Up Time agar para pekerja bisa dengan aman bekerja di front
penggalian.
c. Hitung kohesi dan sudut gesek dalam
JAWABAN
b). Faktor keamanan
- Lingkaran I

= 3

F.K =

a
b

3
2,55
b

= 2,55

=
= 1,17

Karena FK > 1, maka dalam keadaan aman

- Lingkaran II

40

= 3,6

F.K =

a
b

3,6
2,8
b

= 2,5

=
= 1,28

Karena FK > 1, maka dalam keadaan aman

- Lingkaran III

= 4,5

= 4

F.K =

a
b

4,5
4

= 1,125
Karena FK > 1, maka dalam keadaan aman

- Lingkaran IV

= 5,2

= 5

F.K =

a
b

5,2
5

= 1,04
Karena FK > 1, maka dalam keadaan aman

- Lingkaran V

= 5,9

F.K =

a
b

41

5,9
5,9
b

= 5,9

=
= 1

Karena FK = 1, maka dalam keadaan Kritis

- Lingkaran VI

= 6,6

F.K =

a
b

6,6
6,8
b

= 6,8

=
= 0,97

Karena FK < 1, maka dalam keadaan tidak aman

- Lingkaran VII

= 7,3

F.K =

a
b

7,3
7,3
b

= 7,3

=
= 1

Karena FK = 1, maka dalam keadaan kritis


c).

Dik :

2,65 ton/m3

0,3

250 m

v =

.........?

h =

.........?

Dit :

Peny:
42

v = . H
= 2,65 ton/m3 . 250 m
= 662,5 ton/m2
= 66,25 kg/cm2

h = y .

1
0,3
1 0,3

= 66,25 kg/cm2 .
=

28,39 kg/cm2

2. Dik :

350

2,5 ton/m3

0,25

Dit

H =

150 m

xy =

7,5 kg/cm2

: a. n = .........?
nt

= .........?

b. gambar lingkaran mohr


c. max

.........?

min = .........?
Peny:
v

= y = . H
= 2,5 ton/m3 . 150 m
= 375 ton/m2
= 37,5 kg/cm2

= x = y .

43

0,25
1 0,25
= 37,5 kg/cm2 .
= 12,5 kg/cm2

x y
a).

n =

x y
2

cos 2 xy Sin 2

12,5 37,5 12,5 37,5

Cos2(35 0 ) 7,5Sin 2(35 0 )


2
2

= 25 + ( -12,5) ( 0,342 ) + 7,05


= 25 - 4,27 + 7,05
= 27,78 kg/cm2

x y
2

nt =

Sin 2 xy Cos 2

12,5 37,5
Sin 2(35 0 ) 7,5Cos2(35 0 )
2

25
Sin 2(35 0 ) 7,5Cos 2(35 0 )
2

= ( -12,5 ) ( 0,93 )

- 7,5 ( 0,342 )

= -14,185 kg/cm2

x y
c).

max =

1 / 2 ( x y ) 2 4( xy )
2

12,5 37,5
1 / 2 (12,5 37,5) 2 4(7,5) 2
2

40
1 / 2 (25) 2 225
2

625 225
=

20 + 1/2

20 + 14,58
44

34,58 kg/cm2

x y
min =

1 / 2 ( x y ) 2 4( xy )
2

12,5 37,5
1 / 2 (12,5 37,5) 2 4(7,5) 2
2

40
1 / 2 (25) 2 225
2

625 225
=

20 - 1/2

= 20 - 14,58
=

5,42 kg/cm2

3). Dik : F = 150 KN = 15.000 Mpa


R= 4 m
Dit

: a.

Active Span = ..?

b. Stand Up = ?
c.

C dan = ..?

Peny:

RQD

Panjang Core 10 cm
100%
Total Kedalaman

10 21 20 22 25 30 15
100%
190,5
=

143
100%
190,5
=
=

75 %

Untuk mengetahui nilai pembobotan, maka digunakan tabel untuk melihat


besarnya nilai pembobotan
Diskripsi

Pembobotan

45

15.000 Mpa

15

75 % RQD

17

45 mm

Menetes ( Driping )

Slickensided

Orientasi Kekar

0
______+
Total

49

Sehingga kelas massa batuan berada pada kelas III yaitu antara 60 41
atau Sedang, maka :
a. Active Span Terowongan

5m

b. Stand Up Time

= 1 Minggu

c. -

= 200 300 kpa

kohesi

( Sudut Geser Dalam )

25 35

1. Sebutkan dan terangkan beberapa defenisi dari Modulus Young


2. Buktikan dengan menggunakan empat persegi panjang kecil dimana titik P
terletak ditengah-tengah bahwa :
xy = yx
yz = zy
zx = xz
3. Sebuah lapisan Batubara miring yang membentuk sudut 30 0 terhadap bidang
horizontal akan ditambang. Untuk itu perlu diketahui besarnya tegangantegangan yang bekerja pada lapisan batubara tersebut. Jika density rata-rata
batuan di atas lapisan batubara = 2,60 ton/m3 dan nisbah Poisson = 0,30 serta
tegangan geser = 8,5 kg/cm2.
Hitung :
a. Tegangan normal ( n ) dan tegangan geser ( nt ) di titik M. Pada lapisan
batubara di kedalaman 140 m dari permukaan tanah

46

b. Gambarkan lingkaran Mohr pada kertas grafik dengan skala yang benar,
terangkan dan beri contoh arti dari titik-titik yang membentuk lingkaran
Mohr. Hitung Mayor Principal Strees dan Minor Principal Strees
c. Dari lingkaran Mohr yang dibuat pada (b). Tentukan tegangan noramal ( n )
dan tegangan geser ( nt ) pada titik N dilapisan batubara yang membuat
sudut 500 terdapat bidang horizontal pada kedalaman 140 m.
JAWAB
1. Beberapa defenisi Modulus Young
a. Tangent Youngs Modulus Et
Diukur pada tingkat tegangan = 50% c

Et =

b. Average Youngs Modulus Eav


Diukur dari rata-rata kemiringan kurva atau bagian linier yang terbesar dari
kurva.

Eav =

c. Secant Youngs Modulus Es


Diukur dari tegangan = 0 sampai nilai tegangan tertentu, yang biasanya =
50% c

Es =

2. Titik P terletak ditengah-tengah empat persegi panjang, sehingga dalam


keadaan setimbang. Dalam keadaan setimbang, momen gaya-gaya ke titik P
pada arah sumbu x, sumbu y, dan sumbu z sama dengan nol

Mx=

yz dxdzdy yz dxdzdy zy dxdzdy zy dxdzdy

0
2
2
2
2

47

yz dxdzdy yz dxdzdy zy dxdzdy zy dxdzdy

2
2
2
2
dxdzdy
=0

yz
2

yz
2

zy
2

2 yz
2

zy
2

= 0

2 zy
2

= 0

yz - zy = 0

yz

My

xy dxdzdy xy dxdzdy yx dxdzdy yx dxdzdy

2
2
2
2

= 0

xy dxdzdy xy dxdzdy yx dxdzdy yx dxdzdy

2
2
2
2
dxdzdy
= 0

xy
2

xy
2

yx

2 xy
2

yx
2

= 0

2 yx
2

= 0

xy yx = 0
xy
z

48

= yx

= zy

zx dxdzdy zx dxdzdy xz dxdzdy xz dxdzdy

2
2
2
2

= 0

zx dxdzdy zx dxdzdy xz dxdzdy xz dxdzdy

2
2
2
2
dxdzdy
= 0

zx zx xz xz

2
2
2
2

2 zx 2 xz

2
2

= 0

= 0

zx - xz
zx = xz
3). Dik :

30

2,60 ton/m3

0,30

Dit

H =

140 m

xy =

8,5 b kg/cm2

: a. n = .........?
nt

= .........?

b. gambar lingkaran mohr


max = .........?
min = .........?
c.

30

n dan nt = ....?

Peny:
v

= y = . H
= 2,60 ton/m3 . 150 m
= 364 ton/m2

49

= 0

= 36,4 kg/cm2

= x = y .

1
0,25
1 0,25

= 36,4 kg/cm2 .
= 15,6 kg/cm2

x y
a).

n =

=
=

x y
2

cos 2 xy Sin 2

15,6 36,4 15,4 36,4

Cos 2(30 0 ) 8,5Sin 2(30 0 )


2
2
26 - 10,4 ( 0,5 ) + 8,5 ( 0,866 )

= 26 - 5,2 + 7,531
= 28,331 kg/cm2

x y
2

nt =

Sin 2 xy Cos 2

15,6 36,4
Sin 2(30 0 ) 8,5Cos 2(30 0 )
2
20,8
Sin 2(35 0 ) 8,5Cos 2(35 0 )
2

= - 10,4 ( 0,866 ) - 8,5 ( 0,5 )


= -13, 25 kg/cm2

x y
b).

max

1 / 2 ( x y ) 2 4( xy )
2

15,6 36,4
1 / 2 (15,6 36,4) 2 4(8,5) 2
2

50

52
1 / 2 (20,8) 2 4(72,25)
2

432,64 289
=

26 + 1/2

26 + 13,43

39,43 kg/cm2

x y
2

min =

1 / 2 ( x y ) 2 4( xy )
2

15,6 36,4
1 / 2 (15,6 36,4) 2 4(8,5) 2
2

52
1 / 2 (20,8) 2 4(72,25)
2

432,64 289
=

26 - 1/2

= 26 - 13,43
=
c).

12,57 kg/cm2

H = 140 m
= 500
v

= y = . H
= 2,60 ton/m3 . 150 m
= 364 ton/m2
= 36,4 kg/cm2

= x = y .

1
0,25
1 0,25

= 36,4 kg/cm2 .

51

= 15,6 kg/cm2

x y
2

n =

=
=

x y
2

cos 2 xy Sin 2

15,6 36,4 15,4 36,4

Cos2(50 0 ) 8,5Sin 2(50 0 )


2
2
26 - 10,4 ( -0,17 ) + 8,5 ( 0,98 )

= 26 + 1,76 + 8,33
= 36,09 kg/cm2

x y
2

nt =

Sin 2 xy Cos 2

15,6 36,4
Sin 2(50 0 ) 8,5Cos 2(50 0 )
2

20,8
Sin 2(50 0 ) 8,5Cos 2(50 0 )
2

= - 10,4 ( 0,98 ) - 8,5 ( -0,17 )


= -10,19 + 1,445
= -8, 745 kg/cm2
3). Dik :

D= 4 m
H= 150 m
= 2,45 ton/m3
= 0,3

Dit

.........?

r =

.........?

r = 00, = 300, = 450, = 900. = ..............?


Peny:
R =

. D
52

. 4m

2m

200 cm

v =

. H

2,45 ton/m3 . 150 m

367,5 ton/m2

36,75 kg/cm2

h =

K . v

. v

0,3
1 0,3
. 36,75 kg/cm2

=
=

0,428 . 36,75 kg/cm2

15,73 kg/cm2

Karena dinding terowongan maka R = r = 2 m


-

Besaran nilai r untu = 00, = 300, = 450, = 900

00

v h
2
r =

=
=

R2 v h

2
r 2

1 3

R4
R2
Cos 2

4
r4
r 2

36,75 15,73
200 2 36,75 15,73
200 4
200 2
1

2
2
200 2
200 4
200 2

Karena R = r, maka r bernilai 0 untuk semua besaran sudut


-

Besaran nilai untu = 00, = 300, = 450, = 900


= 00
=

3 h - v

53

Cos 2(0)

3 (15,73) 36,75

47,19 36,75

10,44 kg/cm2

= 300
=

2 h

2 (15,73)

47,19 kg/cm2

= 450
=

h + v

15,73 + 36,75

52,48 kg/cm2

= 900
=

3v - h

3 (36,75) - 15,73

110,25 - 15,73

94,52 kg/cm2

Besaran nilai r untu = 00, = 300, = 450, = 900


= 00

h v
2
r =

1 3

R4
R2

2
r4
r2

Sin 2

15,73 36,75
(200) 4
(200) 2
1 3

2
2
(200) 4
(200) 2

21,02
1 3(1) 2(1) (0)
2

0 kg/cm2

= 300
54

Sin 2(0 0 )

h v
2

1 3

r =

=
=

R4
R2

2
r4
r2

Sin 2

15,73 36,75
(200) 4
(200) 2
1 3

2
2
(200) 4
(200) 2

Sin 2(30 0 )

21,02
1 3(1) 2(1) (0,866)
2
-10,51 (-4) ( 0,866)

36,40 kg/cm2

= 450

h v
2

1 3

r =

=
=

R4
R2

2
r4
r2

Sin 2

15,73 36,75
(200) 4
(200) 2
1 3
2
2
(200) 4
(200) 2

Sin 2(45 0 )

21,02
1 3(1) 2(1) (1)
2
-10,51 (-4)

42,28 kg/cm2

= 900

h v
2
r =

1 3

R4
R2
2 2
r4
r

Sin 2

15,73 36,75
(200) 4
(200) 2
1 3

2
2
(200) 4
(200) 2

21,02
1 3(1) 2(1) (0)
2

55

Sin 2(90 0 )

0 kg/cm2

56

Anda mungkin juga menyukai