BAB I
BAB II
BAB III
BAB I
BAB II
BAB III
1.
2.
1.
2.
1.
2.
3.
PEMBAHASAN
Prinsip dasar mekanika batuan, sifat fisik dan mekanik batuan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi karakter suatu materi atau bahan.
Klasifikasi batuan.
Faktor-faktor batuan yang mempengaruhi peledakan
Distribusi tegangan disekitar terowongan
Pengaruh distribusi tegangan pda jenis-jenis terowongan
Mekanisme interaksi antara batuan dan penyangaan
SOAL-SOAL
POKOK BAHASAN
Mekanisme pembentukan batuan dan hal-hal yang mempengaruhi karakter suatu
materi atau bahan dan perbedaan sifat fisik dan mekanik batuan.
Klasifikasi batuan berdasarkan teori-teroi tertentu dan faktor-faktor mekanik
batuan yang mempengaruhi peledakan.
Teori-teori distribusi tegangan disekitar terowongan, pengaruh distribusi pada
jenis-jenis terowongan dan mekanisme interaksi antara batuan dan penyangaan.
DESKRIPSI SINGKAT
Mengenal dan menafsirkan prinsip-prinsip dasar mekanika batuan diantaranya
tentang konsep gaya (force), tegasan (stress), tarikan (strain) dan faktor-faktor
BAB I
lainnya yang mempengaruhi karakter suatu materi/bahan diantaranya uji kuat, kuat
tekan dan modulus young serta perbedaan antara sifat fisik dan mekanik batuan.
Mempelajari klasifikasi batuan berdasarkan teori-teori diantaranya menurut
BAB II
BAB III
I.
II.
III.
BAB I
BAB II
BAB III
Bacaan Tambahan
:
1. Wahana komunitas Geografi, www.Blog Geografi.com, 2010
Pertanyaan kunci
:
1. Jelaskan perbedaan sifat fisik dan mekanik batuan
2. Sebutkan dan terangkan beberapa defenisi dari Modulus Young
3. Tegasan diferensial dapat dikelompokaan menjadi 3 jenis, jelaskan
1. Tuliskan defenisi Batuan menurut, Terzaghi, Bienawski, Barton
1. Jelaskan 3 tegangan mula-mula (Intial stress) pada terowongan
2. Jelaskan 3 asumsi-asumsi distribusi tegangan disekitar terowongan
1
BAB I
PRINSIP DASAR MEKANIKA BATUAN
Mekanika batuan adalah salah cabang disiplin ilmu geomekanika. Mekanika batuan
merupakan ilmu yang mempelajari sifat-sifat mekanik batuan dan massa batuan. Hal ini
menyebabkan mekanika batuan memiliki peran yang dominan dalam operasi penambangan,
seperti
pekerjaan
penerowongan,
pemboran,
penggalian,
peledakan
dan
pekerjaan
lainnya.sehingga untuk mengetahui sifat mekanik batuan dan massa batuan dilakukan berbagai
macam uji coba baik itu dilaboratorium maupun dilapangan langsung atau secara insitu.Untuk
2
mengetahui sifat mekanik batuan dilakukan beberapa percobaan seperti uji kuat tekan uniaksial,
uji kuat tarik, uji triaksial dan uji tegangan insitu.
Mekanika batuan sendiri mempunyai karakteristik mekanik yang diperoleh dari
penelitian ini adalah kuat tekan batuan (t), kuat tarik batuan (c ), Modulus Young (E), Nisbah
Poisson (v), selubung kekuatan batuan (strength envelope), kuat geser (), kohesi (C), dan sudut
geser dalam ().Masing-masing karakter mekanik batuan tersebut diperoleh dari uji yang
berbeda. Kuat tekan batuan dan Modulus Young diperoleh dari uji kuat tekan uniaksial. Pada
penelitian ini nilai kuat tekan batuan dan Modulus Young diambil dari nilai rata-rata hasil
pengujian lima contoh batuan. Untuk kuat tarik batuan diperoleh dari uji kuat tarik tak langsung
(Brazillian test). Sama dengan uji kuat tekan uniaksial, uji kuat tarik tak langsung menggunakan
lima contoh batuan untuk memperoleh kuat tarik rata-rata. Sedangkan selubung kekuatan
batuan, kuat geser, kohesi, dan sudut geser dalam diperoleh dari pengujian triaksial konvensional
dan multitahap.Selain mengamati sifat mekanik atau dinamik dari batuan dalam praktikum ini
juga akan diamati sifat fisik batuan tersebut, dengan mengamati bobot dan masa jenisnya dalam
beberapa keadaan.
A. Uji Kuat Tekan Uniaksial ( UCS )
Penekanan uniaksial terhadap contoh batuan selinder merupakan uji sifat mekanik yang
paling umum digunakan. Uji kuat tekan uniaksial dilakukan untuk menentukan kuat tekan
batuan (t ), Modulus Young (E), Nisbah Poisson (v) , dan kurva tegangan-regangan. Contoh
batuan berbentuk silinder ditekan atau dibebani sampai runtuh. Perbandingan antara tinggi dan
diameter contoh silinder yang umum digunakan adalah 2 sampai 2,5 dengan luas permukaan
pembebanan yang datar, halus dan paralel tegak lurus terhadap sumbu aksis contoh batuan. Dari
hasil pengujian akan didapat beberapa data seperti:
Keterangan :
c = Kuat tekan uniaksial batuan (MPa)
F = Gaya yang bekerja pada saat contoh batuan hancur (kN)
A = Luas penampang awal contoh batuan yang tegak lurus arah gaya (mm)
2. Modulus Young ( E )
Modulus Young atau modulus elastisitas merupakan faktor penting dalam mengevaluasi
deformasi batuan pada kondisi pembebanan yang bervariasi. Nilai modulus elastisitas batuan
bervariasi dari satu contoh batuan dari satu daerah geologi ke daerah geologi lainnya karena
adanya perbedaan dalam hal formasi batuan dan genesa atau mineral pembentuknya. Modulus
elastisitas dipengaruhi oleh tipe batuan, porositas, ukuran partikel, dan kandungan air. Modulus
elastisitas akan lebih besar nilainya apabila diukur tegak lurus perlapisan daripada diukur sejajar
arah perlapisan (Jumikis, 1979).
Modulus elastisitas dihitung dari perbandingan antara tegangan aksial dengan regangan aksial.
Modul elastisitas dapat ditentukan berdasarkan persamaan :
=
a
Keterangan:
.
Terdapat tiga cara yang dapat digunakan untuk menentukan nilai modulus elastisitas yaitu :
1. Tangent Youngs Modulus, yaitu perbandingan antara tegangan aksial dengan regangan
aksial yang dihitung pada persentase tetap dari nilai kuat tekan. Umumnya diambil 50%
dari nilai kuat tekan uniaksial.
2. Average Youngs Modulus, yaitu perbandingan antara tegangan aksial dengan regangan
aksial yang dihitung pada bagian linier dari kurva tegangan- tegangan.
4
3. Secant Youngs Modulus, yaitu perbandingan antara tegangan aksial dengan regangan
aksial yang dihitung dengan membuat garis lurus dari tegangan nol ke suatu titik pada
kurva regangan-tegangan pada persentase yang tetap dari nilai kuat tekan. Umumnya
diambil 50% dari nilai kuat tekan uniaksial.
3. Nisbah Poisson ( Poisson Ratio )
Nisbah Poisson didefinisikan sebagai perbandingan negatif antara regangan lateral dan regangan
aksial. Nisbah Poisson menunjukkan adanya pemanjangan ke arah lateral (lateral expansion)
akibat adanya tegangan dalam arah aksial. Sifat mekanik ini dapat ditentukan dengan
persamaan:
V = l
a
Keterangan:
V = Nisbah Poisson
l = regangan lateral (%)
a= regangan aksial (%)
Pada uji kuat tekan uniaksial terdapat tipe pecah suatu contoh batuan pada saat runtuh.
Tipe pecah contoh batuan bergantung pada tingkat ketahanan contoh batuan dan kualitas
permukaan contoh batuan yang bersentuhan langsung dengan permukaan alat penekan saat
pembebanan. Kramadibrata (1991) mengatakan bahwa uji kuat tekan uniaksial menghasilkan
tujuh tipe pecah, yaitu :
a. Cataclasis
b. Belahan arah aksial (axial splitting)
c. Hancuran kerucut (cone runtuh)
d. Hancuran geser (homogeneous shear)
e. Hancuran geser dari sudut ke sudut (homogeneous shear corner to corner)
f. Kombinasi belahan aksial dan geser (combination axial dan local shear)
g. Serpihan mengulit bawang dan menekuk (splintery union-leaves and buckling)
5
Cepat rambat gelombang ultrasonik yang merambat di dalam batuan dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu: ukuran butir dan bobot isi, porositas dan kandungan air, temperature
kehadiran bidang lemah.
Ukuran butir dan bobot isi
Batuan yang memiliki ukuran butir halus atau kecil memiliki cepat rambat gelombang
lebih besar daripada batuan dengan ukuran butir kasar atau besar. Hal ini disebabkan karena
batuan berbutir kasar akan memberikan ruang kosong antar butir lebih besar dibandingkan
batuan berbutir halus. Ruang kosong inilah yang menyebabkan cepat rambat gelombang
menurun karena tidak ada media perambatannya. Sama halnya dengan ukuran butir, batuan
berbutir halus memiliki bobot isi yang lebih padat dibandingkan batuan berbutir kasar. Karena
kerapatan antar butir yang tinggi dan sedikitnya ruang kosong yang dimiliki batuan. Oleh karena
itu, batuan yang memiliki bobot isi tinggi memiliki cepat rambat gelombang yang tinggi.
1. Porositas dan kandungan air
Porositas merupakan banyaknya rongga dalam suatu batuan terhadap volume keseluruhan. Jadi
semakin tinggi nilai porositas akan menunjukan semakin banyak rongga atau ruang kosong di
dalam batuan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi porositas maka cepat rambat
gelombang akan semakin kecil. Kandungan air dalam batuan yang cenderung berpori akan
merubah kecepatan rambat gelombang di dalam batuan tersebut. Pada nilai porositas tertentu,
kecepatan rambat gelombang akan bertambah besar karena terjadinya peningkatan
derajatkejenuhan air. Hal ini terjadi karena kecepatan rambat gelombang di dalam air jauh lebih
besar dari di udara.
2.Temperatur
Kecepatan rambat gelombang ultrasonik juga diperngaruhi. Temperatur tinggipada saat
pengujian akan menurunkan cepat rambat gelombang yang merambatmelalui contoh batuan.
gelombang ultrasonik. Dengan demikian, kehadiran bidang lemah akan menurunkan cepat
rambat gelombang yang merambat melalui batuan.
Pengujian Point Load ( Point Load Test )
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kekuatan ( strength ) dari percontoh batu secara tidak
langsung dilapangan. Percontoh batuan dapat berbentuk silinder.
Peralatan yang digunakan mudah dibawa-bawa, tidak begitu besar dan cukup ringan. Pengujian
cepat, sehingga dapat diketahui kekuatan datuan dilapangan, sebelum pengujian dilaboratorium
dilakukan.
Dari pengujian ini didapat :
Is = P
D2
Dimana : Is = Point load strength index ( Index Franklin )
P = Beban maksimum sampai percontoh pecah
D = Jarak antara dua konus penekan
Hubungan antara index franklin (Is) dengan kuat tekan ( t) menurut BIENIAWSKI sebagai
berikut:
c = 18 23 Is untuk diameter percontoh = 50 mm. Jika Is = 1 MPa maka index tersebut tidak
lagi mempunyai arti sehingga disarankan untuk menggunakan pengujian lain dalam penentuan
kekuatan ( strength ) batuan.
Uji triaxial
Tujuan utama uji triaksial adalah untuk menentukan kekuatan batuan pada kondisi
pembebanan triaksial melalui persamaan kriteria keruntuhan. Kriteria keruntuhan yang sering
digunakan dalam pengolahan data uji triaksial adalah criteria Mohr-Coulomb. Hasil pengujian
triaksial kemudian diplot kedalam kurva Mohr-Coulomb sehingga dapat ditentukan parameterparameter kekuatan batuan sebagai berikut:
Kohesi (C)
Pada pengujian triaksial, contoh batuan dimasukkan kedalam sel triaksial, diberi tekanan
pemampatan (3), dan dibebani secara aksial (1), sampai runtuh. Pada uji ini, tegangan
menengah dianggap sama dengan tekanan pemampatan (3= 1).
Alat uji triaksial yang digunakan merupakan merujuk pada alat triaksial yang dikembangkan
oleh Von Karman pada tahun 1911 Di dalam apparatus ini, tekanan fluida berfungsi sebagai
tekanan pemampatan (3 ) yang diberikan kepada contoh batuan. Fluida dialirkan dengan
menggunakan pompa hidraulik dan dijaga agar selalu konstan. Pada mulanya, beban aksial
merupakan instrumen utama yang mengendalikan uji ini. Namun dengan perkembangan
teknologi masa kini sudah memungkinkan untuk mengendalikan uji ini melalui kontrol beban
atau deformasi yang dialami contoh batuan, bahkan dengan menggunakan katup servo, regangan
aksial dan tekanan pori dapat juga diatur besarnya. Untuk penelitian ini, digunakan mesin tekan
Control seri 85060715 CAT C25/B tanpa katup servo.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Uji Triaksial
1. Tekanan pemampatan
Tekanan pemampatan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi dalam uji triaksial.
Besarnya tegangan aksial pada saat contoh batuan runtuh saat pengujian triaksial selalu lebih
besar daripada tegangan aksial saat contoh batuan runtuh pada pengujian kuat tekan uniaksial.
Hal ini disebabkan karena adanya penekanan (pemampatan) dari arah lateral dari sekeliling
contoh batuan pada uji triaksial. Berbeda pada pengujian kuat tekan uniaksial, tekanan
pemampatannya adalah nol (zero confining pressure), sehingga tegangan aksial batuan lebih
kecil. Berdasarkan penelitian Von Karman (1911) pada batuan marbel Carrara dapat dilihat
dengan adanya tekanan pemampatan pada contoh batuan mengakibatkan kenaikan tekanan
aksial dan bersifat lebih ductile. menunjukkan semakin tingginya tegangan puncak (peak) jika
tekanan pemampatannya semakin besar.
2. Tekanan pori
Dari penelitian Schwartz pada tahun 1964 yang mempelajari tentang tekanan pori pada
uji triaksial terhadap batuan sandstone (). Dapat disimpulkan bahwa naiknya tekanan pori akan
menurunkan kekuatan batuan.
3. Temperatur
Secara umum, kenaikan temperatur menghasilkan penurunan kuat tekan batuan dan
membuat batuan semakin ductile. kurva tegangan diferensial (deviatoric stress, 3-1) regangan
aksial untuk batuan granit pada tekanan pemampatan 500 MPa dan pada temperatur yang
berbeda-beda. Pada temperatur kamar, sifat batuan adalah brittle, tetapi pada temperatur 800 0C
batuan hampir seluruhnya ductile. Efek temperatur terhadap tegangan diferensial saat runtuh
untuk setiap tipe batuan adalah berbeda. Pada penelitian ini, pengaruh temperature diabaikan.
4. Laju deformasi
Kenaikan laju deformasi secara umum akan menaikkan kuat tekan batuan. Hal ini
terbukti dari penelitian-peneliatian terdahulu. Pada tahun 1961, Serdengecti dan Boozer
melakukan penelitian tentang pengaruh kenaikan laju deformasi pada uji triaksial. Dari
penelitian mereka pada batuan limestone dan gabbro solenhofen,
4. Bentuk dan Dimensi contoh batuan
Bentuk contoh batuan pengujian triaksial sama seperti uji kuat tekan uniaxial bentuk
silinder.Semakin bertambahnya ukuran contoh batuan, kemungkinan tiap contoh batuan
dipengaruhi oleh bidang lemah akan semakin besar. Oleh karena itu, semakin besar contoh
batuan yang akan diuji, kekuatan contoh batuan tersebut akan berkurang.Variasi perbandingan
panjang terhadap diameter contoh batuan ( /d) diketahui akan mempengaruhi kekuatan contoh
batuan. Kekuatan contoh batuan akan menurun seiring dengan menaiknya perbandingan panjang
terhadap diameter contoh batuan ( /d). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Mogi
pada tahun 1962. Menurut ISRM (1972) untuk contoh batuan pada uji triaksial dan kuat tekan
uniaksial, perbandingan antara tinggi dan diameter contoh silinder yang umum digunakan adalah
2 sampai 2,5 dengan area permukaan pembebanan yang datar, halus dan paralel tegak lurus
terhadap sumbu aksis contoh batuan.
5. Tipe Deformasi Batuan pada Uji Triaksial
Secara garis besar tipe deformasi yang terjadi saat contoh batuan runtuh dapat dibedakan
menjadi dua tipe, yaitu brittle fracture dan ductile fracture. Serdengecti dan Boozer
menyebutkan bahwa brittle fracture terjadi pada tekanan pemampatan yang rendah, temperatur
yang rendah dan laju deformasi yang besar. Sebaliknya, ductile fracture lebih sering terjadi pada
tekanan pemampatan yang tinggi, temperatur yang tinggi dan laju deformasi yang rendah
(Vutukuri, Lama & Saluja, 1974).Griggs & Handin (1960) menjelaskan deformasi makroskopik
yang dialamibatuan pada tekanan pemampatan yang tinggi dalam uji triaksial. Mereka
mendapatilima tipe deformasi yang terjadi yang dialami contoh batuan saat diberi tekanan
10
pemampatan yang tinggi dalam uji triaksial tersebut Tipe 1 menunjukkan deformasi brittle yang
ditandai oleh bentuk runtuh atau pecah yang berupa splitting. Splitting dianggap sebagai rekahan
yang sejajar terhadap arah gaya tekan aksial yang mengindikasikan lepasnya ikatan antarbutir
dalam contoh batuan karena tarikan.
Tipe 2 masih menunjukkan deformasi brittle, sudah terlihat adanya deformasi plastis
sebelum contoh batuan runtuh (seiring dengan naiknya tekanan pemampatan). Belahan yang
berbentuk kerucut dengan arah aksial menunjukkan terjadinya tegangan kompresif, sedangkan
belahan kerucut akan memiliki arah lateral ketika terjadi tegangan tarik.
Tipe 3 sudah mulai menunjukkan transisi dari brittle ke ductile. Penambahan tekanan
pemampatan menyebabkan contoh batuan runtuh in shear. Shear runtuh terjadi ketika butiran
yang terikat berpindah sepanjang bidang geser. Proses ini terjadi secara perlahan dari tarikan
(tension) dan berakhir dengan geseran (shear).
Karena tekanan pemampatan semakin naik, contoh batuan mulai terdeformasi secara
ductile (laju deformasi semakin menurun) dan contoh batuan sudah mulai bersifat plastis (tipe
4). Apabila tekanan pemampatan dinaikkan kembali, contoh batuan akan bersifat sangat plastis
dan akan sukar untuk mendapatkan kekuatan puncaknya (tipe 5).
Mengenal dan menafsirkan tentang asal-usul dan mekanisme pembentukan suatu struktur
geologi akan menjadi lebih mudah apabila kita memahami prinsip-prinsip dasar mekanika
batuan, yaitu tentang konsep gaya (force), tegasan (stress), tarikan (strain) dan faktor-faktor
lainnya yang mempengaruhi karakter suatu materi/bahan.
Gaya (Force)
1. Gaya merupakan suatu vektor yang dapat merubah gerak dan arah pergerakan suatu
benda.
2. Gaya dapat bekerja secara seimbang terhadap suatu benda (seperti gaya gravitasi dan
elektromagnetik) atau bekerja hanya pada bagian tertentu dari suatu benda (misalnya
gaya-gaya yang bekerja di sepanjang suatu sesar di permukaan bumi).
3. Gaya gravitasi merupakan gaya utama yang bekerja terhadap semua obyek/materi yang
ada di sekeliling kita.
4. Besaran (magnitud) suatu gaya gravitasi adalah berbanding lurus dengan jumlah materi
yang ada, akan tetapi magnitud gaya di permukaan tidak tergantung pada luas kawasan
yang terlibat.
11
5. Satu gaya dapat diurai menjadi 2 komponen gaya yang bekerja dengan arah tertentu,
dimana diagonalnya mewakili jumlah gaya tersebut.
6. Gaya yang bekerja diatas permukaan dapat dibagi menjadi 2 komponen yaitu: satu tegak
lurus dengan bidang permukaan dan satu lagi searah dengan permukaan.
7. Pada kondisi 3-dimensi, setiap komponen gaya dapat dibagi lagi menjadi dua komponen
membentuk sudut tegak lurus antara satu dengan lainnya. Setiap gaya, dapat dipisahkan
menjadi tiga komponen gaya, yaitu komponen gaya X, Y dan Z.
Tekanan Litostatik
1. Tekanan yang terjadi pada suatu benda yang berada di dalam air dikenal sebagai tekanan
hidrostatik. Tekanan hidrostatik yang dialami oleh suatu benda yang berada di dalam air
adalah berbanding lurus dengan berat volume air yang bergerak ke atas atau volume air
yang dipindahkannya.
2. Sebagaimana tekanan hidrostatik suatu benda yang berada di dalam air, maka batuan
yang terdapat di dalam bumi juga mendapat tekanan yang sama seperti benda yang
berada dalam air, akan tetapi tekanannya jauh lebih besar ketimbang benda yang ada di
dalam air, dan hal ini disebabkan karena batuan yang berada di dalam bumi mendapat
tekanan yang sangat besar yang dikenal dengan tekanan litostatik. Tekanan litostatik ini
menekan kesegala arah dan akan meningkat ke arah dalam bumi.
Tegasan (Stress forces)
1. Tegasan adalah gaya yang bekerja pada suatu luasan permukaan dari suatu benda.
Tegasan juga dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi yang terjadi pada batuan sebagai
respon dari gaya-gaya yang berasal dari luar.
2. Tegasan dapat didefinisikan sebagai gaya yang bekerja pada luasan suatu permukaan
benda dibagi dengan luas permukaan benda tersebut: Tegasan (P)= Daya (F) / luas (A).
3. Tegasan yang bekerja pada salah satu permukaan yang mempunyai komponen tegasan
prinsipal atau tegasan utama, yaitu terdiri daripada 3 komponen, yaitu: P, Q dan R.
4. Tegasan pembeda adalah perbedaan antara tegasan maksimal (P) dan tegasan minimal
(R). Sekiranya perbedaan gaya telah melampaui kekuatan batuan maka retakan/rekahan
akan terjadi pada batuan tersebut.
5. Kekuatan suatu batuan sangat tergantung pada besarnya tegasan yang diperlukan untuk
menghasilkan retakan/rekahan.
12
1. Tegasan tensional (tegasan extensional) adalah tegasan yang dapat mengakibatkan batuan
mengalami peregangan atau mengencang.
2. Tegasan kompresional adalah tegasan yang dapat mengakibatkan batuan mengalami
penekanan.
3. Tegasan geser adalah tegasan yang dapat berakibat pada tergesernya dan berpindahnya
batuan.
Hubungan antara gaya tarikan dan gaya tegasan yang terjadi pada proses deformasi batuan.
1. Deformasi yang bersifat elastis (Elastic Deformation) terjadi apabila sifat gaya tariknya
dapat berbalik (reversible).
2. Deformasi yang bersifat lentur (Ductile Deformation) terjadi apabila sifat gaya tariknya
tidak dapat kembali lagi (irreversible).
3. Retakan / rekahan (Fracture) terjadi apabila sifat gaya tariknya yang tidak kembali lagi
ketika batuan pecah/retak.
Ketika batuan terdeformasi maka batuan mengalami tarikan. Gaya tarikan akan merubah
bentuk, ukuran, atau volume dari suatu batuan. Tahapan deformasi terjadi ketika suatu batuan
mengalami peningkatan gaya tegasan yang melampaui 3 tahapan pada deformasi batuan.
Kita dapat membagi material menjadi 2 (dua) kelas didasarkan atas sifat perilaku dari material
ketika dikenakan gaya tegasan padanya, yaitu :
1. Material yang bersifat retas (brittle material), yaitu apabila sebagian kecil atau sebagian
besar bersifat elastis tetapi hanya sebagian kecil bersifat lentur sebelum material tersebut
retak/pecah (gambar 4-3 kiri).
2. Material yang bersifat lentur (ductile material) jika sebagian kecil bersifat elastis dan
sebagian besar bersifat lentur sebelum terjadi peretakan / fracture (gambar 4-3 kanan).
Bagaimana suatu batuan / material akan bereaksi tergantung pada beberapa faktor, antara lain
adalah:
1. Temperatur Pada temperatur tinggi molekul molekul dan ikatannya dapat meregang
dan berpindah, sehingga batuan/material akan lebih bereaksi pada kelenturan dan pada
temperatur, material akan bersifat retas.
2. Tekanan bebas pada material yang terkena tekanan bebas yang besar akan sifat untuk
retak menjadi berkurang dikarenakan tekanan disekelilingnya cenderung untuk
14
menghalangi terbentuknya retakan. Pada material yang tertekan yang rendah akan
menjadi bersifat retas dan cenderung menjadi retak.
3. Kecepatan tarikan Pada material yang tertarik secara cepat cenderung akan retak. Pada
material yang tertarik secara lambat maka akan cukup waktu bagi setiap atom dalam
material berpindah dan oleh karena itu maka material akan berperilaku / bersifat lentur.
4. Komposisi Beberapa mineral, seperti Kuarsa, Olivine, dan Feldspar bersifat sangat
retas. Mineral lainnya, seperti mineral lempung, mica, dan kalsit bersifat lentur. Hal
tersebut berhubungan dengan tipe ikatan kimianya yang terikat satu dan lainnya. Jadi,
komposisi mineral yang ada dalam batuan akan menjadi suatu faktor dalam menentukan
tingkah laku dari batuan. Aspek lainnya adalah hadir tidaknya air. Air kelihatannya
berperan dalam memperlemah ikatan kimia dan mengitari butiran mineral sehingga dapat
menyebabkan pergeseran. Dengan demikian batuan yang bersifat basah cenderung akan
bersifat lentur, sedangkan batuan yang kering akan cenderung bersifat retas.
Perbedaan sifat fisik dan sifat mekanik batuan :
Sifat fisik batuan adalah penentuan sifat batuan yang dimana pengujiannya tanpa
merusak batuan (non destructive test).
Contohnya :
- Bobot isi (bobot isi asli, bobot isi kereing dan bobot isi jenuh)
- Porositas
- Asorpsi
- Void ratio
- Spesific gravity
Sifat mekanik batuan adalah suatu penentuan sifat yang pengujiannya merusak
batuan (destructive test) sehingga percontohan batuan menjadi hancur.
Contohnya :
- Kuat tekan (c ) untuk menentukan batas elastisitas,
- Kuat tarik
- Point load test untuk mengetahui kekuatan
- Pengujian triaksial
- Punch shear test untuk penentuan kuat geser
- Direct box shear strength test untuk penentuan kohesi, sudut geser dalam, kuat geser
garis, garis coulomb shear strength.
- Ultra sonic Velocity test untuk mendapat nilai cepat rambat gelombang sekunder.
15
BAB II
KLASIFIKASI MEKANIKA BATUAN
konstruksi baja dan menetapkan sebagai sistem yang digunakan untuk perkuatan tunnel. 50
tahun yang lalu ditekankan bagaimana mengklasifikasikan ini adalah sesuai dengan tujuan di
mana batuan untuk dibangun bangunan dibuat lengkung baja sebagai penguat terowongan,
kalsifikasi ini bukanlah constuction modern tetapi menyangkut massa batuan dimana pada
bagian atas dan samping tunnel. batuan yang dikendurkan di dalam tunnel akan cenderung]
untuk pindah ke arah terowongan itu. pergerakan ini akan terjadi gesekan sepanjang batasanbatasan tunnel baik samping dan dan dari atas gesek ini umumnya berasal dari permukaan
tanah ke material sebelah menyebelah
terjadi pada karakteristik dari batuan berkumpul pada bagian atas dimensi terowongan H, dan B
Sambungan yang di pasang bersama-sama tunnel menahan tekanan vertivcal adan tidak
memerlukan perkuatan batuan dari samping kedua kondisi ini jarang dijumpai
Blocky dan batuan paling buruk fragmen secara kimiawi tetap utuh yang (mana)
seluruhnya terpisah dengan yang lain dalam mendukung tunnel tersebut perlu perkuatan dari
samping
16
Batuan yang dihancurkan Tetapi tetap utuh mempunyai fragmen sekecil pasir yang
tersementasi kembali membentuk batuan dibawah permukaan air
Kondisi Batuan
1. keras dan utuh
2. stratifield [sulit/keras]
atau schistose
3. bersendi sedang
Kekuatan batuan
0-0,5 B
Keterangan
Jika terjadi spalling maka
diperlukan lapisan
sebagian besar gaya
digunakan untuk melawan
beban dari atas
0- 0,25 B
(masive)
4. blok Sedang dan paling
buruk
0,25 B- 0,35(B+H)
tidak ada
( 0,35-1.10)(B+H
paling buruk
6. dihancurkan akibat
6 1,1(B+H
tekanan
1,1-2.1 ( B+H)
kedalaman
8 squezing batuan
( 2.1-4.5)(b+H)
rangkaian lingkar
digunakan mendukung
terowongan
17
Sangat
Baik sekali
Baik
Sedang
Jelek
RQD (%)
81 - 100
61 80
41 -60
21 - 40
21
Pelapukan
Tidak lapuk
Sedikit lapuk
Lapuk
Sangat
Lapuk
100 250
lapuk
25 50
total
> 250
sedang
50 -100 mm
>2m
0,6 2 m
0,1 mm
< 0,1 mm
kelas
Kuat batuan
utuh (mpa)
Spasi kekar
Renggangan
kekar
Kemenerusan
kekar
Aliran air
tanah per 10
m terowongan
Orientasi
jurus dan
kemiringan
Tak
menerus
< 60
mm
mm
0,1 1 mm
1 5 mm
> 5 mm
Menerus
Menerus
Meneru
tanpa
dengan
dengan
pengisi
pengisi
Sedang
mengisi
Besar
25 125
> 125
Tidak ada
Tidak ada
Kecil < 25
(kering)
(kering)
1/mat
Menguntungk
Sedang
Sangat
menguntung
kan
an
< 25
60 200
0,2 0,6 m
Tak menerus
jelek
1/mat
Tidak
menguntung
kan
1/mat
Sangat
tidak
mengunt
ungkan
RQD
Spasi rekahan
Kondisi rekahan
Kekuatan batuan utuh seperti indeks kekuatan point load dan uniaxial
Air tanah seperti aliran/10 m, panjang terewongan, tegangan pori dengan tegangan
utama maxmum dan keadaan umum.
1 Kekuatan
indeks kekuatan
>10 MPa
4-10 MPa
2-4MPa
1-2 MPa
point load
uniaxial
15
12
2 RQd
3. Klasifikasi Norwegian Geotechnical institute (NGI), menurut Borton
Ada 6 parameter yang dipakai untuk menghitung harga kualitas batuan (Q), seperti pada
persaman :
Q =
RQD
Jn
Jr
Ja
Jw
SRF
Dimana :
RQD = Rock quality designation
Nilai 0 25
= sangat jelek
25 50
= jelek
50 75
= sedang
75 90
= baik
19
Jr
Ja
Jw
20
1.
DENSITY BATUAN
Density batuan adalah perbandingan antara berat (gram) dengan volume (cc),
atau dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut :
Density
Berat (Gram)
Volume (cc)
KEKUATAN BATUAN
Kekuatan batuan adalah daya tahan batuan dari gangguan atau bila dikenai gaya
dan tekanan. Karena setiap batuan mempunyai kekuatan yang berbeda-beda maka sangat
penting untuk kita ketahui dalam merencanakan peledakan.
kekuatan besar sebaiknya menggunakan bahan peledak dengan daya ledak yang besar
juga untuk menghasilkan bongkahan yang maksimal, sebaliknya jika batuan yang akan
diledakkan mempunyai kekuatan yang kecil maka dapat menggunakan bahan peledak
dengan daya ledak kecil pula sesuai dengan kebutuhan.
3.
STRUKTUR BATUAN
Struktur batuan yang dimaksud adalah bentuk-bentuk dari perlapisan batuan yang
terbentuk akibat adanya gaya-gaya endogen yang bekerja padanya berupa adanya
perlapisan, retakan, rekahan, perlipatanserta rongga-rongga yang terdapat pada batuan.
Struktur batuan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi peledakan,
misalnya pada batuan berlapis dengan kohesi terbatas dapat bergeser sehingga
menyebabkan patahnya bahan peledak. Batuan yang mempunyai banyak retakan, secara
umum memerlukan energi peledakan yang relative lebih sedikit untuk mendapatkan
fragmentasi yang baik, namun banyaknya rekahan serta rongga-rongga pada batuan
menyebabkan terjadinya fly rock (batuan melayang), ledakan udara (airblast) serta
getaran yang hebat.
4.
21
sebagian atau seluruhnya berbentuk gas dan disertai panas dan bertekanan yang sangat
tinggi.
Jenis bahan peledak secara garis besar (berdasarkan sumber energinya) dapat
diklasifikasikan menjadi tiga golongan (J.J Manon, 1976), yaitu:
1. Bahan peledak mekanis (mechanical explosives)
2. Bahan peledak kimia (chemical explosives)
3. Bahan peledak nuklir (nuclear explosives)
Namun juga yang membedakan jenis bahan peledak berdasarkan lapangan
penggunaannya, yaitu:
-
b.
pemakaian bahan peledak harus disesuaikan dengan kondisi batuan yang akan diledakkan.
Hal ini juga akan berkaitan dengan biaya yang digunakan, karena jenis bahan peledak High
Explosive akan lebih mahal jika dibanding dengan jenis bahan peledak Low Explosive.
Misalnya untuk batuan yang keras dengan batuan yang lunak; jenis bahan peledak
yang digunakan akan berbeda, yakni untuk batuan yang lebih keras akan menggunakan
bahan peledak jenis High Explosive, sedangkan untuk batuan lunak bisa hanya dengan
menggunakan bahan peledak Low Explosive dengan biaya yang lebih rendah dari pada
menggunakan bahan peledak jenis High Explosive yang akan lebih mahal. Selain itu, untuk
batuan lunak jika menggunakan bahan peledak jenis High Explosive, akan menyebabkan
terjadinya fly rock (batuan melayang).
22
BAB III
DISTRIBUSI TEGANGAN DI SEKITAR TEROWONGAN
tanah atau
II.
= tegangan mula-mula
pg
sederhana,
terowongan berbentuk bulat analisis tegangannya dapat didekati dengan analisis tegangan
bidang yang terjadi pada model pelat berlubang. Gambar 1 menyajikan pelat yang mengalami
tarik meratanya S dalam arah .. Apabila sebuah lubang kecil dibuat di tengah pelat, maka
distribusi tegangan di tengah lubang akan berubah, tetapi perubahan diabaikan pada jarak yang
cukup besar bila dibandingkan dengan jari-jari lubang a.
Tinjaulah bagian pelat di dalam lingkaran konsentris berjari-jari b yang jauh lebih besar bila
dibandingkan dengan a. Tegangan pada jari-jari b secara efektif sama seperti pada pelat tanpa
lubang dan demikian diberikan oleh
(r) r=b = S cos2 = ...
S (1 + cos 2 )
1
(r) r=b = -
S sin 2
(a)
24
Gaya ini bekerja disekeliling luar cincin yang mempunyai jari-jari dalam dan luar r = a dan r =
b, menghasilkan distribusi
Gambar 1
MODEL PELAT BERLUBANG
tegangan didalam cincin, yang bisa dianggap terdiri dari dua bagian. Yang pertama akibat
komponen tetap gaya normal S. Bagian lainnya terdiri dari gaya normal S sin 2, bersamasama dengan gaya geser - S sin 2,
(b)
2s
r2
+
r2
r2
1
+
r2
(c)
=0
Selanjutnya didapatkan persamaan diferensial biasa untuk menentukan f(r) sebagai berikut :
d2
+
dr2
d 2f
+
r
dr
df
+
r2
dr2
4f
+
dr
25
r2
= 0
(d)
(e)
r2
Dengan demikian fungsi tegangan adalah:
1
=
Ar2 + Br4 + C
+D
(f)
r2
dimana r adalah tegangan normal yang bekerja dalam arah radial, adalah tegangan
normal yang bekerja dalam arah tangensial, sedangkan r adalah tegangan geser yang bekerja
pada bidang yang normalnya searah dengan arah radial dan arah geserannya searah dengan arah
tangensial.
2.2.
jenis pembebanan tegangan perlu dibedakan, yaitu dengan melihat tegangan mula-mula pada
arah vertikal (Sv) dan pada arah horizontal (Sh) yang bekerja.
Berhubung tegangan mula-mula dalam hal ini hanya berupa tegangan gravitasi saja, maka
keberadaan Sh disini dapat dijelaskan dengan menggunakan kaidah Hooke dimana telah bekerja
tegangan vertikal, akan tetapi tidak memungkinkan terjadinya perpindahan ke arah lateral
(horizontal). Maka besar Sh dapat diperoleh dari :
Sh = ( P / 1 P ) Sv
26
Sv
Sr
SA = mSI
3
1
2
-1
Stress
Concentration
GAMBAR 2
DISTRIBUSI TEGANGAN PADA SUMBU SIMETRI
Pada gambar 2 diperlihatkan distribusi tegangan yang bekerja pada bagian samping dan
atas terowongan. Besarnya tegangan yang bekerja dalam hal ini dinyatakan dengan besaran
27
pemusatan tegangan (stress concentration), yang didefinisikan sebagai hasil bagi antara tegangan
yang terjadi (setelah dibuat terowongan) dengan tegangan mula-mulanya (dalam hal ini Sv).
Terlihat bahwa tegangan tangensial () memberikan angka yang jauh lebih besar
dibandingkan dengan jenis / komponen tegangan
Gambar 3
DISTRIBUSI TEGANGAN DI SEKITAR TEROWONGAN BULAT
lainnya, oleh karena itu dalam pemakaian praktis besaran ini sangat diperlukan untuk
perancangan kestabilan bukaan. Harus diingat bahwa gambar 12 baru memperlihatkan distribusi
tegangan yang terjadi pada arah sumbu horisontal dan vertikal penampang lintang terowongan
bulat. Untuk distribusi tegangan sepanjang kontur lingkaran terowongan , dengan mengambil
asumsi bahwa model analisis dalam hal ini adalah axi-simetri (simetrical revolution), maka
hasilnya diperlihatkan pada gambar 3.
28
Dari persamaan komponen tegangan di sekitar terowongan (b), distribusi tegangan pada gambar
3 dapat dijelaskan dengan mengambil besaran r = a, dan besaran Sh yang sesuai ( m = 0, atau
1), dan terlihat bahwa tegangan tangensial tidak lagi konstan pada kontur lingkaran.
Untuk m = 0, maka persamaan komponen tegangan tangensial dapat disederhanakan menjadi :
= Sv (1 - 2 cos 2) (c)
terlihat bahwa :
= - Sv
untuk = 0
untuk = /6
Sv
untuk = /4
= 2 Sv
untuk = /3
= 3 Sv
untuk = /2
(d)
Untuk Sh dan Sv tidak sama dengan nol, maka tegangan tangensial pada kontur lingkaran :
= 3Sh - Sv untuk = 0
= 2Sh
untuk = /6
= Sv + Sh untuk = /4
= 2Sv
untuk = /3
= 3Sv - Sh untuk = /2
Dapat dilihat bahwa semua tarikan (tensile) tangensial akan hilang jika Sh mencapai harga Sv/3
dan untuk Sv = Sh semua = 2 Sv.
2.3. Distribusi Tegangan untuk Terowongan tidak Bulat
Jika penampang lintang terowongan tidak berlaku lingkaran, atau dengan kata lain
konturnya tidak isotrop, maka tegangan kritis di sekitar lubang bukaan diperlihatkan berturutturut untuk bentuk elip, oval dan segi empat dengan sudut-sudut membulat seperti pada lampiran
A, B dan C.
Prinsip dasar penentuannya hampir analog dengan pada terowongan dengan bentuk
bulat, akan tetapi untuk bentuk-bentuk yang semakin kompleks seperti oval dan segi empat
29
dengan sudut-sudut membulat, dimana penyelesaian matematisnya juga semakin rumit maka
penyelesaiannya dibantu dengan cara eksperimental misalnya dengan metoda fotoelastis.
Pada bentuk kontur yang tidak isotrop ini selain besaran-besaran seperti pada bentuk
lingkaran, juga ditambahkan besaran ukuran sumbu panjang dan sumbu pendeknya, dalam hal
ini ditunjukkan dengan besaran tinggi bukaan (Ho) dan lebar bukaan (Wo). Gambar 14
memperlihatkan distribusi tegangan pada sumbu simetri untuk terowongan berbentuk elips.
dengan penyangga pasif tetapi pemasangannya harus sesegera mungkin sesudah tiap kemajuan
penggalian.
II.
TEORI PENYANGGAAN
Tujuan utama mendesain penyangga pada lubang bukaan di bawah tanah adalah untuk
membantu massa batuan menyangga dirinya sendiri. Gambar 3.2 adalah contoh sebuah
terowongan yang digali secara full face dengan pemboran dan peledakan, menggunakan
penyangga besi (steel set support) yang dipasang sesudah mucking horisontal dan vertikal insitu stress dianggap sama = PO.
Pada tahap 1, tunnel face belum mencapai seksi x - x. Massa batuan yang berada pada
bagian dimana terowongan akan dibuat dalam keadaan seimbang dengan massa batuan
disekelilingnya. Tekanan yang diberikan oleh penyangga pada profil yang akan digali sama
dengan in-situ stress PO
Pada tahap 2, tunnel face sudah melewati seksi x - x dan tekanan penyangga pi, yang
sebelumnya diberikan oleh batuan yang berada di dalam tunnel, turun menjadi O.Bagaimanapun
juga, terowongan tidak akan runtuh karena deformasi u dibatasi oleh muka terowongan (tunnel
face) dengan pengendalian yang cukup baik. Jika pengendalian u oleh face tidak ada, tekanan
penyangga pi yang diberikan oleh titik B dan C pada yang dibutuhkan untuk membatasi u adalah
sama.
Tekanan penyangga pi yang dibutuhkan untuk membatasi u pada atap (roof) adalah lebih besar
dari yang dibutuhkan untuk membatasi u pada dinding (side wall) karena berat dari daerah batu
lepas (zone of loosened rock) di atas tunnel harus ditambahkan untuk menghitung tekanan
penyangga yang dibutuhkan untuk membatasi stress yang menyebabkan displacement pada atap.
Pada tahap 3, terowongan sudah selesai di- mucking dan steel set sudah dipasang
dekat dengan face. Pada keadaan ini, penyangga belum terbebani seperti ditunjukkan oleh titik
D karena tidak ada deformasi yang terjadi pada terowongan. Jika batuan mempunyai sifat
deformasi yang tidak tergantung pada waktu, maka deformasi radial terowongan masih
ditunjukkan oleh titik B dan C. Pada tahap 4, tunnel face maju kira-kira 1,5 kali diameter dari
seksi x - x dan pengendalian deformasi di dekat face sudah berkurang sekali. Oleh karena itu
deformasi radial selanjutnya dari dinding dan atap dinyatakan oleh kurva CEG dan BFH pada
Gambar 3.2. Deformasi radial atau convergence dari tunnel menyebabkan penyangga terbebani.
Tekanan penyangga pi yang tersedia dari steel set bertambah dengan deformasi radial
terowongan seperti digambarkan oleh garis DEF.
Pada tahap 5, tunnel face maju jauh dari seksi x - x sehingga tidak ada lagi
pengendalian untuk massa batuan pada seksi x - x. Jika tidak ada penyangga-penyangga yang
dipasang, maka deformasi radial pada terowongan bertambah seperti digambarkan oleh kurva
31
EG dan FH pada Gambar 3.2Untuk dinding, tekanan yang dibutuhkan untuk membatasi turun
menjadi O pada titik G dan dalam hal ini dinding akan stabil jika tidak ada lagi gaya yang dapat
menyebabkan deformasi.
Dipihak lain, penyangga yang dibutuhkan untuk membatasi deformasi pada atap turun
sampai minimum dan akan mulai naik. Ini karena displacement ke bawah atap dari daerah lepas
di dalam atap menyebabkan tambahan batuan yang menjadi lepas dan berat dari tambahan
batuan lepas, ditambahkanuntuktekanan penyangga yang dibutuhkan.Pada contoh di atas, atap
akan runtuh jika tidak ada penyangga yang di pasang didalam terowongan. Pada Gambar 3.2
dibagian bawah, kurva reaksi penyangga untuk steel set berpotongan dengan kurva Load
deformasi untuk dinding dan atap terowongan pada titik E dan F. Pada titik-titik ini tekanan
penyangga yang dibutuhkan untuk membatasi deformasi pada dinding dan atap adalah tepat
seimbang dengan tekanan penyangga yang tersedia dari steel set dan terowongan serta sistem
penyangga adalah dalam keseimbangan yang stabil.
III. PENYANGGA PADA PEMBUATAN TEROWONGAN DENGAN CARA
KLASIK DAN DENGAN CARA NATM
Tunneling dengan cara klasik :
Pemasangan penyangga sementara (temporary support) membutuhkan waktu lama
32
.Kurva Load Deformation Massa Batuan Dan Sistem Penyangga Menurut Daeman ( Hoee dan
Brown ). Kontak antara penyangga sementara dan batuan tidak kontinu. Penyangga sementara
membutuhkan tempat dan dapat mengurangi penampang terowongan sampai 30%. Karena
pemasangan penyangga atap (permanent support) lama maka batuan disekitar terowongan
kehilangan tegangan dan mengalami deformasi yang besar akan terjadi overbreak. Gambar 3.4
menunjukkan penyangga untuk metoda klassik.
Kurva Intrinsik Untuk Metoda Klasik
Kurva intrinsik dan karakteristik batuan sebelum penggalian. Kurva intrinsik ini berubah
secara tidak menguntungkan dari segi kestabilan selama
penggalian
dan
sesudah
lubang
bukaan terbentuk. Kurva ini menjadi kurva 1 (kurva 1 jika penggalian secara mekanis, kurva 1
jika menggunakan bahan
peledak).
Disini tidak diperhatikan cara operasi dan rencana penggalian yang merupakan
faktor penting
juga.
Jika terjadi kehilangan tegangan, maka kekuatan batuan turun secara drastis (kurva 2 atau 3)
sehingga dengan mudah kekuatan batuan dapat dilampaui oleh
tegangan
yang
bekerja
(digambarkan oleh lingkaran Mohr).Fenomena ini dapat menyebabkan gangguan pada massa
33
batuan (seperti perilaku batuan menjadi plastik, deformasi yang besar, terjadi kehancuran dan
retakan batuan setempat, dll).Menurut Prof. Muller (1964) pengembangan volumik sekitar 2
sampai 3% dapat menyebabkan menurunnya kekuatan batuan sampai 80 - 90%.
Pada NATM degradasi batuan tidak akan terjadi karena :
1.
2.
menjadi kurva 2.
Keuntungan ini ada hubungannya dengan terisinya ... dan bagian kosong pada batuan oleh
semen, sehingga blok-blok batu saling terikat satu sama lain.
Lapisan semen hasil shotcrete menimbulkan tekanan confining (radial) yang
dinyatakan
dengan lingkaran Mohr dari tegangan yang bergerak ke sebelah kanan sehingga menjauhi kurva
intrinsik (gambar kurva intrinsik untuk NATM).
Tekanan confining pi merupakan aksi bersama antara rock bolt dan deformasi batuan
yang ditahan oleh semen hasil shotcrete.Tekanan confining pi kecil sekali tetapi memainkan
peranan penting untuk kestabilan, terutama untuk batuan yang retak-retak. Massa batuan yang
sebenarnya adalah diskontinu, sering tidak isotrop dan homogen, mempunyai perilaku mekanik
yang sangat kompleks, berbeda dengan perilaku massa batuan yang homogen, kontinu dan
34
isotrop.Oleh karena itu untuk batuan yang banyak mengandung rekahan tidak dapat
digambarkan hanya dengan satu kurva intrinsik.Karakteristik mekanik sangat erat hubungannya
dengan struktur dan cara pembebanannya (orientasi dari tensor tegangan terhadap struktur).
Akibatnya kestabilan tergantung juga pada struktur dan keadaan confining pada suatu
daerah yang diselidiki. Struktur (crack) mempunyai pengaruh lebih besar jika keadaan tegangan
mendekati kondisi uniaxial. Untuk menghilangkan peranan dari crack yang merugikan maka kita
harus menjauhi keadaan tegangan uniaxial.
35
seperti
jika
PENGUKURAN CONVERGENCE
Pengukuran convergence adalah mengukur perubahan jarak dari dua titik pengukuran
yang dipasang di dalam terowongan (lihat Gambar 4.1). Jarak yang diukur dapat berupa jarak
antara ; atap dan lantai, atap dan dinding, dinding dan lantai serta dinding dan dinding . Jarak
maksimum yang diukur dibatasi sampai 25 meter. Titik pengukuran adalah baut (bolt) yang
ditanam di dalam batuan tetapi tidak begitu dalam. Alat yang digunakan untuk pengukuran
convergece disebut convergence meter. Pengamatan dapat dilakukan setiap saat yang
dikehendaki asalkan kontinu agar interpretasi dari hasil pengukuran dapat dilakukan dengan
36
baik. Gambar 4.2 memperlihatkan hasil pengukuran convergence. Bila hasil pengukuran
memperlihatkan kecenderungan naik yang besar antara pergerakan batuan terhadap waktu, maka
harus segera dilakukan tindakan misalnya perbaikan atau penambahan penyangga.
III. PENGUKURAN DENGAN BOREHOLE EXTENSOMETER
Extensometer di dalam lubang bor dapat digunakan untuk mengukur perpindahan total
dari dinding batuan, yang diakibatkan oleh penggalian dengan suatu titik acuan di dalam massa
batuan yang tidak dipengaruhi oleh penggalian atau untuk mengukur perpindahan relatif antara
titik-titik pengukuran di dalam massa batuan sepanjang lubang bor. Bila hasil pengukuran
memperlihatkan kecenderungan naiknya gerakan batuan terhadap waktu, maka harus segera
dilakukan tindakan untuk menghentikan gerakan tersebut misalnya menambah penyangga.
IV. STASIUN PENGAMATAN
Program pemantauan di dalam terowongan biasanya menyangkut dua jenis stasiun
pengukuran, yaitu stasiun pengukuran convergence dan stasiun pengukuran extensometer di
dalam lubang bor. Jika kedua stasiun ini dipasang pada sebuah terowongan maka disebut stasiun
lengkap. Gambar 4.3 memperlihatkan sebuah stasiun lengkap yang terdiri dari beberapa
extensometer di dalam lubang bor dan titik-titik pengukuran convergence. Stasiun pengukuran
ini harus digambarkan secara jelas terhadap kondisi geologi. Gambar 4.4 dan 4.5
memperlihatkan data-data hasil pemantauan berupa pengukuran convergence dan pengukuran
extensometer di dalam lubang
Stolar
37
C
t1
pasang penyannga
t2
C = D0 D1o
C = D1 D2
t2
t1
t2
t3 t4
Pengukuran Converage
38
SOAL-SOAL
1. Untuk Mengetahui kekuatan batuan dilokasi penambangan pada kedalaman 250
m dari permukaan tanah, maka dilakukan uji Triaxial di laboratorium.
Hasil pengujian Triaxial adalah sebagai berikut :
1 (kg/cm2)
2 (kg/cm2)
11
14
20
25
30
34
38
39
a. Tegangan normal (n) dan tegangan geser (nt) di titik A pada lapisan
batubara di kedalaman 150 m dari permukaan tanah
b. Gambarkan lingkaran Mohr pada kertas grafik dengan skala yang benar
dan beri arti dari titik-titik yang membentuk lingkaran Mohr.
c. Hitung Mayor Principal Strees dan Minor Principal Strees pada (b).
3. Klasifikasi Bienawski pada suatu terowongan dengan jari-jari 4 m. Dari hasil
pemboran diperoleh core dengan diameter 10 cm. dari hasil pengujian
laboratorium diperoleh gaya maksimal (F) = 150 KN Hasil Core yang diperoleh
pada kedalaman 2 m yaitu : 10 cm, 9 cm, 21 cm, 20 cm, 22 cm, 8 cm, 7 cm, 25
cm, 30 cm, 15 cm, 5 cm, 4 cm, 6 cm,8,5 cm, kondisi air tanahnya Dripping.
Spasi rekahan rata-rata 45 mm, kondisi bidang discontinue Slickensided dan
orientasi strike tegak lurus sumbu terowongan dengan dip 40 0 550
a. Berapa Aktive Span terowongan tersebut.
b. berapa Stand Up Time agar para pekerja bisa dengan aman bekerja di front
penggalian.
c. Hitung kohesi dan sudut gesek dalam
JAWABAN
b). Faktor keamanan
- Lingkaran I
= 3
F.K =
a
b
3
2,55
b
= 2,55
=
= 1,17
- Lingkaran II
40
= 3,6
F.K =
a
b
3,6
2,8
b
= 2,5
=
= 1,28
- Lingkaran III
= 4,5
= 4
F.K =
a
b
4,5
4
= 1,125
Karena FK > 1, maka dalam keadaan aman
- Lingkaran IV
= 5,2
= 5
F.K =
a
b
5,2
5
= 1,04
Karena FK > 1, maka dalam keadaan aman
- Lingkaran V
= 5,9
F.K =
a
b
41
5,9
5,9
b
= 5,9
=
= 1
- Lingkaran VI
= 6,6
F.K =
a
b
6,6
6,8
b
= 6,8
=
= 0,97
- Lingkaran VII
= 7,3
F.K =
a
b
7,3
7,3
b
= 7,3
=
= 1
Dik :
2,65 ton/m3
0,3
250 m
v =
.........?
h =
.........?
Dit :
Peny:
42
v = . H
= 2,65 ton/m3 . 250 m
= 662,5 ton/m2
= 66,25 kg/cm2
h = y .
1
0,3
1 0,3
= 66,25 kg/cm2 .
=
28,39 kg/cm2
2. Dik :
350
2,5 ton/m3
0,25
Dit
H =
150 m
xy =
7,5 kg/cm2
: a. n = .........?
nt
= .........?
.........?
min = .........?
Peny:
v
= y = . H
= 2,5 ton/m3 . 150 m
= 375 ton/m2
= 37,5 kg/cm2
= x = y .
43
0,25
1 0,25
= 37,5 kg/cm2 .
= 12,5 kg/cm2
x y
a).
n =
x y
2
cos 2 xy Sin 2
x y
2
nt =
Sin 2 xy Cos 2
12,5 37,5
Sin 2(35 0 ) 7,5Cos2(35 0 )
2
25
Sin 2(35 0 ) 7,5Cos 2(35 0 )
2
= ( -12,5 ) ( 0,93 )
- 7,5 ( 0,342 )
= -14,185 kg/cm2
x y
c).
max =
1 / 2 ( x y ) 2 4( xy )
2
12,5 37,5
1 / 2 (12,5 37,5) 2 4(7,5) 2
2
40
1 / 2 (25) 2 225
2
625 225
=
20 + 1/2
20 + 14,58
44
34,58 kg/cm2
x y
min =
1 / 2 ( x y ) 2 4( xy )
2
12,5 37,5
1 / 2 (12,5 37,5) 2 4(7,5) 2
2
40
1 / 2 (25) 2 225
2
625 225
=
20 - 1/2
= 20 - 14,58
=
5,42 kg/cm2
: a.
b. Stand Up = ?
c.
C dan = ..?
Peny:
RQD
Panjang Core 10 cm
100%
Total Kedalaman
10 21 20 22 25 30 15
100%
190,5
=
143
100%
190,5
=
=
75 %
Pembobotan
45
15.000 Mpa
15
75 % RQD
17
45 mm
Menetes ( Driping )
Slickensided
Orientasi Kekar
0
______+
Total
49
Sehingga kelas massa batuan berada pada kelas III yaitu antara 60 41
atau Sedang, maka :
a. Active Span Terowongan
5m
b. Stand Up Time
= 1 Minggu
c. -
kohesi
25 35
46
b. Gambarkan lingkaran Mohr pada kertas grafik dengan skala yang benar,
terangkan dan beri contoh arti dari titik-titik yang membentuk lingkaran
Mohr. Hitung Mayor Principal Strees dan Minor Principal Strees
c. Dari lingkaran Mohr yang dibuat pada (b). Tentukan tegangan noramal ( n )
dan tegangan geser ( nt ) pada titik N dilapisan batubara yang membuat
sudut 500 terdapat bidang horizontal pada kedalaman 140 m.
JAWAB
1. Beberapa defenisi Modulus Young
a. Tangent Youngs Modulus Et
Diukur pada tingkat tegangan = 50% c
Et =
Eav =
Es =
Mx=
0
2
2
2
2
47
2
2
2
2
dxdzdy
=0
yz
2
yz
2
zy
2
2 yz
2
zy
2
= 0
2 zy
2
= 0
yz - zy = 0
yz
My
2
2
2
2
= 0
2
2
2
2
dxdzdy
= 0
xy
2
xy
2
yx
2 xy
2
yx
2
= 0
2 yx
2
= 0
xy yx = 0
xy
z
48
= yx
= zy
2
2
2
2
= 0
2
2
2
2
dxdzdy
= 0
zx zx xz xz
2
2
2
2
2 zx 2 xz
2
2
= 0
= 0
zx - xz
zx = xz
3). Dik :
30
2,60 ton/m3
0,30
Dit
H =
140 m
xy =
8,5 b kg/cm2
: a. n = .........?
nt
= .........?
30
n dan nt = ....?
Peny:
v
= y = . H
= 2,60 ton/m3 . 150 m
= 364 ton/m2
49
= 0
= 36,4 kg/cm2
= x = y .
1
0,25
1 0,25
= 36,4 kg/cm2 .
= 15,6 kg/cm2
x y
a).
n =
=
=
x y
2
cos 2 xy Sin 2
= 26 - 5,2 + 7,531
= 28,331 kg/cm2
x y
2
nt =
Sin 2 xy Cos 2
15,6 36,4
Sin 2(30 0 ) 8,5Cos 2(30 0 )
2
20,8
Sin 2(35 0 ) 8,5Cos 2(35 0 )
2
x y
b).
max
1 / 2 ( x y ) 2 4( xy )
2
15,6 36,4
1 / 2 (15,6 36,4) 2 4(8,5) 2
2
50
52
1 / 2 (20,8) 2 4(72,25)
2
432,64 289
=
26 + 1/2
26 + 13,43
39,43 kg/cm2
x y
2
min =
1 / 2 ( x y ) 2 4( xy )
2
15,6 36,4
1 / 2 (15,6 36,4) 2 4(8,5) 2
2
52
1 / 2 (20,8) 2 4(72,25)
2
432,64 289
=
26 - 1/2
= 26 - 13,43
=
c).
12,57 kg/cm2
H = 140 m
= 500
v
= y = . H
= 2,60 ton/m3 . 150 m
= 364 ton/m2
= 36,4 kg/cm2
= x = y .
1
0,25
1 0,25
= 36,4 kg/cm2 .
51
= 15,6 kg/cm2
x y
2
n =
=
=
x y
2
cos 2 xy Sin 2
= 26 + 1,76 + 8,33
= 36,09 kg/cm2
x y
2
nt =
Sin 2 xy Cos 2
15,6 36,4
Sin 2(50 0 ) 8,5Cos 2(50 0 )
2
20,8
Sin 2(50 0 ) 8,5Cos 2(50 0 )
2
D= 4 m
H= 150 m
= 2,45 ton/m3
= 0,3
Dit
.........?
r =
.........?
. D
52
. 4m
2m
200 cm
v =
. H
367,5 ton/m2
36,75 kg/cm2
h =
K . v
. v
0,3
1 0,3
. 36,75 kg/cm2
=
=
15,73 kg/cm2
00
v h
2
r =
=
=
R2 v h
2
r 2
1 3
R4
R2
Cos 2
4
r4
r 2
36,75 15,73
200 2 36,75 15,73
200 4
200 2
1
2
2
200 2
200 4
200 2
3 h - v
53
Cos 2(0)
3 (15,73) 36,75
47,19 36,75
10,44 kg/cm2
= 300
=
2 h
2 (15,73)
47,19 kg/cm2
= 450
=
h + v
15,73 + 36,75
52,48 kg/cm2
= 900
=
3v - h
3 (36,75) - 15,73
110,25 - 15,73
94,52 kg/cm2
h v
2
r =
1 3
R4
R2
2
r4
r2
Sin 2
15,73 36,75
(200) 4
(200) 2
1 3
2
2
(200) 4
(200) 2
21,02
1 3(1) 2(1) (0)
2
0 kg/cm2
= 300
54
Sin 2(0 0 )
h v
2
1 3
r =
=
=
R4
R2
2
r4
r2
Sin 2
15,73 36,75
(200) 4
(200) 2
1 3
2
2
(200) 4
(200) 2
Sin 2(30 0 )
21,02
1 3(1) 2(1) (0,866)
2
-10,51 (-4) ( 0,866)
36,40 kg/cm2
= 450
h v
2
1 3
r =
=
=
R4
R2
2
r4
r2
Sin 2
15,73 36,75
(200) 4
(200) 2
1 3
2
2
(200) 4
(200) 2
Sin 2(45 0 )
21,02
1 3(1) 2(1) (1)
2
-10,51 (-4)
42,28 kg/cm2
= 900
h v
2
r =
1 3
R4
R2
2 2
r4
r
Sin 2
15,73 36,75
(200) 4
(200) 2
1 3
2
2
(200) 4
(200) 2
21,02
1 3(1) 2(1) (0)
2
55
Sin 2(90 0 )
0 kg/cm2
56