Anda di halaman 1dari 128

DIKTAT KULIAH

PERPETAAN (ILMU UKUR TANAH)

OLEH:

Ir. I Made Darma, MT

JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS VETERAN REPUBLIK INDONESIA
MAKASSAR
2011

DAFTAR ISI

BAB I (PENDAHULUAN)

BAB II (SATUAN ARAH DAN PENENTUAN POSISI DALAM ILMU UKUR TANAH)
8
BAB III (ALAT UKUR SUDUT DAN JARAK OPTIS)
13
BAB IV (KERANGKA DASAR PEMETAAN)
43
BAB V (SIPAT DATAR)
52
BAB VI (PENGUKURAN DETAIL)
72
BAB VII (PLOTTING/PENGGAMBARAN)
76
BAB VIII (PERHITUNGAN LUAS DAN VOLUME)
90
CATATAN
127

1.

PENDAHULUAN
1.1.

Perpetaan dan Geodesi

Perpetaan (Ilmu Ukur Tanah) adalah bagian dari ilmu geodesi yang mempelajari
cara-cara pengukuran di permukaan bumi dan di bawah tanah untuk berbagai keperluan
seperti pemetaan dan penentuan posisi relatif pada daerah yang relatif sempit sehingga
unsur kelengkungan permukaan buminya dapat diabaikan.
Sedangkan geodesi mencakup kajian dan pengukuran yang lebih luas, tidak sekadar
pemetaan dan penentuan posisi di darat, namun juga di dasar laut untuk berbagai keperluan,
juga penentuan bentuk dan dimensi bumi baik dengan pengukuran di bumi dan dengan
bantuan pesawat udara, maupun dengan satelit dan sistem informasinya.

1.2.

Proyeksi Peta

Proyeksi peta adalah suatu sistem yang memberikan hubungan antara posisi titik-titik
di permukaan bumi dan di atas peta. Permukaan bumi fisis yang tidak teratur mengakibatkan
hubungan matematis antara posisi di permukaan bumi dan posisi di atas peta sulit
ditentukan. Oleh karena itu diambil pendekatan permukaan bumi fisis yang mudah diurai
secara matematis dan mendekati bentuk bumi yang sebenarnya, yaitu bentuk ellipsoid
dengan ukuran-ukuran yang tertentu. Bentuk ini pun ternyata masih agak sulit diuraikan
secara matematis, sehingga diambil pendekatan kedua yang lebih simpel yaitu bentuk bola,
dengan jari-jari 6.370, 283 km. Namun dengan bantuan komputer, perhitungan-perhitungan
yang pada awalnya dirasa sulit sekarang sudah tidak menjadi masalah lagi, sehingga
perhitungan dapat langsung dilakukan dari bidang elipsoid ke bidang proyeksi.
Posisi titik pada permukaan bumi yang berupa bidang lengkung biasanya dinyatakan
dengan lintang dan bujur (,), sedangkan posisi titik pada peta yang berupa bidang datar
dinyatakan dengan koordinat koartesian (x,y) karena sulit untuk mendatarkan bidang
lengkung tanpa adanya perubahan-perubahan atau distorsi, baik distorsi luas, jarak, bentuk,
maupun arahnya. Bidang proyeksi yang bisa didatarkan antara lain bidang datar itu sendiri,
kerucut dan bidang silinder. Sistem proyeksi yang menggunakan bidang datar sebagai
bidang proyeksi dinamakan proyeksi azimutal, yang menggunakan bidang kerucut
dinamakan proyeksi konik, dan yang menggunakan bidang silinder dinamakan proyeksi
merkator.

Gambar 1.1. Macam-macam bidang proyek dan posisinya terhadap bola bumi
(Sumber : Aryono Prihandito, 1988)
Posisi sumbu bidang proyeksi terhadap sumbu bumi juga bisa bermacam-macam,
yang sejajar atau berimpit dinamakan proyeksi normal, yang miring dengan sudut tertentu
dinamakan proyeksi miring atau obliq, dan yang saling tegak lurus dinamakan proyeksi
transversal. Demikian pula hubungan antara bidang proyeksi dan bola bumi, ada yang
besinggungan atau tangent, ada yang memotong atau secant, ada pula yang tidak
bersinggungan.
Posisi pusat proyeksi juga bermacam-macam, yang berasal dari pusat bumi
dinamakan proyeksi gonomonis, yang berasal dari kulit bumi yang berhadapan dengan
bidang proyeksi dinamakan proyeksi stereografis dan yang pusatnya tak terhitung sehingga
garis-garis proyeksinya sejajar dinamakan proyeksi orthografis. Penggambaran permukaan
bumi yang bersifat lengkung ke bidang proyeksi yang mendatar dapat dilakukan dengan
menggunakan rumus matematis tertentu.

Gambar 1.2. Proyeksi gnomonis, stereografis dan orthografis

Pemilihan system proyeksi dipengaruhi oleh tujuan pemetaan, unsur yang


dipertahankan, lokasi dan bentuk daerah yang dipetakan, tingkat kesulitan perhitungan dan
keterkaitan dengan system pemetaan secara nasional.
Untuk daerah yang relatif sempit (maksimum 30 km x 30 km), permukaan bumi dapat
dianggap sebagai bidang datar, sehingga pemetaan pada daerah tersebut dapat langsung
digambarkan dari hasil pengukurannya, tanpa penggunakan salah satu dari sistem proyeksi
peta tersebut di atas.
1.3.

PERPETAAN DAN JENIS-JENIS PETA

Sebagaimana batas-batas pada bagian terdahulu, perpetaan atau ilmu ukur tanah
dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mengajarkan tentang teknik-teknik pengukuran di
permukaan bumi dan bawah tanah dalam areal yang terbatas untuk keperluan pemetaan
dan lain-lain.
Mengingat areal yang terbatas di sini, maka unsur kelengkungan permukaan bumi
dapat diabaikan sehingga system proyeksinya menggunakan proyeksi orthogonal di mana
sinar-sinar proyektor saling sejajar satu sama lain dan tegak lurus bidang proyeksi.
Sedangkan peta dapat didefinisikan sebagai gambaran dari sebagian permukaan bumi pada
bidang datar dengan skala dan sistem proyeksi tertentu.

Gambar 1.3. Proyeksi orthogonal


Peta dapat digolong-golongkan berdasarkan beberapa hal sebagai berikut.
a. Atas dasar pengukurannya
- Peta teristris
- Peta fotogrametris
- Peta radargrametris
- Peta videografis
- Peta satelit
b. Atas dasar skala peta
- Peta skala kecil (< 1:250.000)
- Peta skala menengah (1:50.000 1:250.000)
- Peta skala besar (1:5000 1:50.000)
- Peta skala sangat besar / peta teknik (>1:5000)
c. Atas dasar isinya
- Peta umum (topografi)
- Peta khusus (tematik)

d. Atas dasar penyajiannya


- Peta garis, adalah peta yang penyajiannya dalam bentuk garis dan symbol-simbol
tertentu.
- Peta foto, adalah peta yang penyajiannya dalam bentuk foto yang telah direktifikasi
sehingga skalanya seragam dan dilengkapi dengan garis kontur.
- Peta digital, adalah peta dalam bentuk data digital, baik dalam bentuk data vector,
raster, atau kombinasi keduanya. Hasil cetakan dari peta digital pada dasarnya
adalah peta garis apabila datanya dalam bentuk vector, ataupun peta foto jika datang
dalam bentuk foto atau citra.
e. Atas dasar hirarkhinya
- Peta manuskrip
- Peta dasar (minut)
- Peta induk
- Peta turunan

1.4.

Skala Peta

Ukuran suatu titik di permukaan bumi tidak mungkin sama besar dengan ukuran titik
tersebut dip peta. Oleh karena itu diperlukan perbandingan antara ukuran dipeta dan
dipermukaan bumi. Perbandingan tersebut disebut skala peta.
Skala peta dapat dinyatakan dalam beberapa cara, antara lain :
a. Angka perbandingan
Misal 1:1.000.000 menyatakan 1 cm atau 1 inchi dipeta sama dengan 1.000.000 cm atau
1.000.000 inchi di permukaan bumi.
b. Perbandingan nilai
Misal 1 inchi untuk 16 mil, 1 cm untuk 1 km
c. Skala bar atau skala garis
Garis ini ditempatkan atau digambarkan dalam peta dan dibagi-bagi dalam interval yang
sama, setiap interval menyatakan besaran panjang yang tertentu. Pada ujung yang lain,
biasanya satu interval dibagi-bagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil dengan tujuan
agar pembaca peta dapat mengukur panjang dalam peta secara lebih teliti. Sebagai
contoh adalah gambar 1.4.

Gambar 1.4. Skala bar atau skala garis


Beberapa skala peta yang umum dipakai di Indonesia dan ekuivalensinya antara lain
sebagai berikut :
Skala peta
1 cm menyatakan
1. km dinyatakan menjadi
1:500

5m

2m

1:1000
1:2000
1:5000
1:10.000
1:20.000
1:25.000
1:50.000
1: 100.000
1: 125.000
1 : 250.000
1: 500.000
1: 1.000.000

1.5.

10 m
20 m
50 m
100 m
200 m
250 m
500 m
1 km
1,25 km
2,5 km
5 km
10 km

1m
0,5 m
20 cm
10 cm
5 cm
4 cm
2 cm
1 cm
8 mm
4 mm
2 mm
1mm

Proses Pemetaan Teristris

Pemetaan teristris adalah proses pemetaan yang pengukurannya langsung dilakukan


di permukaan bumi dengan peralatan tertentu. Teknik pemetaan mengalami perkembangan
sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Dengan perkembangan peralatan ukur
tanah secara elektronis, maka proses pengukuran menjadi semakin cepat dengan tingkat
ketelitian yang tinggi, dan dengan dukungan computer langkah dan proses perhitungan
menjadi semakin mudah dan cepat dan penggambarannya dapat dapat dilakukan secara
otomatis.
Demikian pula, wahana pemetaan tidak hanya dapat dilakukan secara teristris,
namun dapat pula secara fotoframetris radargrametris, videografis, bahkan sudah merambah
pada wahana ruang angkasa dengan teknologi satelit dengna berbagai kelebihannya.
Setiap wahana mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing, sehingga
pemilihannya sangat tergantung dari tujuan pemetaan, tingkat kerincian obyek yang harus
disajikan, serta cakupan wilayah yang akan dipetakan. Adapun proses pemetaan secara
teristris dapat digambarkan seperti Gambar 1.5.

Gambar 1.5. Bagan Pemetaan Teristris

2.

SATUAN, ARAH DAN PENENTUAN POSISI


DALAM ILMU UKUR TANAH
2.1 Satuan-Satuan Sudut
Satuan sudut dalam ilmu ukur tanah lazimnya ada tiga macam, yaitu satuan
sexagesimal, centicimal dan radian.
a. Sexagesimal
Dalam satuan sexagesimal satu lingkaran dibagi menjadi 360 derajat (360o), 1 derajat =
60 menit (60), 1 menit = 60 secon (60).
b. Centicimal
Dalam satuan centicimal satu lingkaran dibagi menjadi 400 grade (400 g), 1 grade = 100
centigrade (100cg), 1 centigrade = 100 miligrade (10ccg),
c. Radian
Dalam satuan radian satuan lingkaran dibagi menjadi 2 radian. Simbol radian
dinyatakan dengan (rho).
Ketiga system satuan tersebut dapat dikonversi satu sama lain karena satu lingkaran
= 360 = 400g = 2 radian. Konversi antara derajat dan grade dan sebaliknya adalah :
1o = 1g, 111
1g = 08, 9

c
1 = 1 , 652
1c = 0, 54
1 = 3cc, 086
1cc = 1,324
Dalam perhitungan kadang-kadang diperlukan jarak busur dari unit lingkaran, yaitu
radian. Transformasi dari sudut ukuran () dalam jarak busur () dan sebaliknya adalah :
o

b
Di sini :

dan = b.
= 180 : 0
= 180 x 60 :
= 180 x 60 x 60 :
o

= 57o,3
= 3437,7
= 206265

= 63g,6620
= 6366c,20
= 636620cc

2.2 Sudut Arah dan Kuadran


Sudut arah dalam perpetaan (Ilmu Ukur Tanah) tidak sama dengan sudut arah dalam
ilmu ukur sudut (gonometri). Dalam perpetaan (ilmu Ukur Tanah), sudut dimulai dari arah
utara (sumbu Y positif) ke arah timur searah putaran jarum jam, sedang dalam ilmu ukur
sudut dimulai dari arah timur (sumbu X positif) berputar berlawanan arah putaran jarum jam.
Demikian pula dengan posisi kuadran.

Gambar 2.1. Sudut arah dan kuadran


Dalam ilmu ukur tanah, sudut arah dinamakan pula sudut jurusan atau azimuth.
Berkaitan dengan peralatan ukur tanah yang menggunakan kompas sebagai penunjuk arah,
dikenal pula azimuth kompas atau azimuth boussole dan ada pula istilah bearing.
Selain sudut arah yang berbeda, letak kuadran juga berbeda, pada ilmu ukur sudut,
urutan kuadran berlawanan arah dengan putaran jarum jam, sedang pada ilmu ukur tanah
urutan kuadran searah putaran jarum jam. Namun rumus-rumus gonometri sepenuhnya
dapat dipakai dalam ilmu ukur tanah.

Kuadran
Sb X
Sb Y
Sin
Cos
Tg

Ilmu Ukur Sudut


I
II
III
+
+
+
+
+
+
+
+

IV
+
+
-

Kuadran
Sb X
Sb Y
Sin
Cos
Tg

Ilmu Ukur Tanah


I
II
III
+
+
+
+
+
+
+
+

IV
+
+
-

2.3. Satuan Jarak


Di Indonesia, sebagai satuan jarak umumnya digunakan metrik atau meter. Namun
demikian, ada pula yang menggunakan satuan lain yaitu feet atau kaki. Sebagai satuan luas
umumnya digunakan meter persegi (m2) atau hektar (hekto are/ha) di mana 1 ha = (100 x
100) m atau = 10.000 m2. Untuk satuan volume tanah dipakai meter kubik (m3), jarang yang
menggunakan feet kubik.
2.4. Prinsip Dasar Penentuan Posisi
Dalam ilmu ukur tanah di mana titik-titik di permukaan bumi dapat dianggap dalam
suatu bidang datar, posisi tiga buah titik yang sebidang (A,B,C) dapat ditentukan dengan
beberapa cara, antara lain secara grafis (dilukis) dan secara numeris (koordinat).

2.4.1
1.

Cara Grafis

Mengukur Jarak-Jaraknya
Di sini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu trilaterasi dan offsetting. Trilaterasi
artinya pengukuran jarak ketiga sisinya. Missal diukur sisi AB, AC, BC. Apabila AB
digambarkan dalam bidang gambar dengan skala tertentu, maka titik C dapat ditentukan
posisinya dari perpotongan busur lingkaran yang dibuat dari titik A dengan jari-jari AC dan
dari titik B dengan jari-jari BC (Gambar 2.2)

Gambar 2.2. Penentuan posisi dengan ukuran semua jarak


Cara ini dapat dibedakan lagi menjadi dua yaitu :
a. Garis dan sudut siku-siku. Apabila diukur jarak AO dan OB pada garis AB dan garis OC
diukur tegak lurus AB, maka posisi titik C dapat digambarkan. Metode ini disebut dengan
offsetting (gambar 2.2 b)
b. Sebuah garis dan kedua sudut alasnya. Apabila diketahui garsi AB, dan diukur kedua
sudut alasnya CAB dan CBA, maka posisi titik C dapat ditentukan dengan cara
mengeplot ukuran sudut CAB di A dan sudut CBA di B dengan busur derajat, dan
perpotongan dari perpanjangan sisi AC adalah posisi titik C.
2.

Mengukur sudut dan Jarak-jaraknya


Cara ini dapat dibagi menjadi dua yaitu :
a. Triangulasi. Apabila garis AB diukur dan sudut-sudut BAC dan ABC diukur dengan
peralatan pengukuran sudut mendatar, maka apabila garis AB digambarkan, posisi C
dapat ditentukan dengan mengeplot sudut BAC dan ABC dengan busur derajat atau sisi
AC dan BC dihitung, kemudian digambarkan dengan trilaterasi (gambar 2.3 a)

10

Gambar 2.3. Penentuan posisi dengan jarak dan sudut


b. Koordinat kutub. Apabila garis AB dan AC serta sudut CAB diukur, maka hasil
pengukuran dapat diplot untuk menentukan posisi C dengan mistar skala untuk jaraknya,
dan busur derajat untuk sudutnya, seperti dalam triangulasi di atas (gambar 2.3 b)
Apabila yang diukur adalah dua jarak/sisi dan sudut yang diapitnya dikenal dengan
metode poligon.
3.4.2. Cara Numeris
Pada cara numeris, posisi suatu titik dinyatakan dalam sistem koordinat. Adapun
prinsip dasar penentuan posisi secara numeris ada tiga cara atau metode yaitu :
1. Dengan sudut jurusan atau azimuth dan jarak
2. Dengan pemotongan ke muka (intersection)
3. Dengan pemotongan ke belakang (resection)
Pada bab ini hanya akan dibahas metode sudut jurusan dan jarak, sedangkan
metode pemotongan ke muka dank e belakang akan dibahas pada bab lain.
Apabila jarak antara titik A dan B diukur (d AB) dan demikian pula sudut jurusan atau
azimuth AB diukur (AB) dan koordinat A diketahui (XA, YA), maka posisi titik B dapat
ditentukan dengan rumus :
XB = XA + dAB sin AB

Gambar 2.4. Penentuan posisi dengan jarak dan sudut jurusan


Demikian pula sebaliknya, apabila dua buah titik A dan B masing-masing diketahui
koordinatnya (XA, YA) dan (XB, YB) maka dari padanya dan ditentukan sudut jurusan dan
jaraknya :

11

(X B X A )
(YB YA )
AB = arc tg
( X X (Y Y ) 2

B
A
B
A
dAB =
Harga arc dapat + (positif) maupun (negatif). Nilai positif bisa berasal dari + / + atau
- / -, demikian pula yang negative bisa berasal dari + /- atau -/+. Oleh karenanya kita harus
jeli menghitungnya, karena kalkulator kadang-kadang tidak menunjukkan arah yang
sebenarnya.

Contoh :
1. arc tg 6/4 = arc tg 1,5 kalkulator akan menghitung = 56o1835,76 Berarti pada
kuadran I, maka azimutnya : = 56o1835,76
2. arc tg 6/-4 = arc tg = 1,5 kalkulator akan menghitung = 56o1835,76
berarti pada kuadran II, maka azimutnya : = 180o - 56o1835,76 = 123o4124,24.
3. arc tg -6/-4 = arc tg + 1,5 kalkulator akan menghitung = 56o1835,76 Tetapi ini berada
pada kuadran III, maka azimutnya : = 180o + 56o1835,76 = 236o183576.
4. arc tg -6 / 4 = arc tg-1,5 kalkulator akan menghitung = - 56o1835,76 Karena berada
pada kuadran IV, maka azimutnya : = 360o - 56o1835,76 = 303o4124,24

12

3. ALAT UKUR SUDUT DAN JARAK OPTIS


3.1. Bagian-Bagian Alat Ukur Teodolit dan Fungsinya
Alat ukur teodolit dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian atas, bagian tengah
dan bagian bawah.
3.1.1. Bagian Atas
1. Teropong
Teropong digunakan untuk membidik atau mengamati benda yang jauh agar terlihat
dekat, jelas dan besar. Teropong teodolit menggunakan prinsip kepler, yaitu terdiri dari lensa
positif sebagai lensa obyektif dan lensa negative sebagai lensa mata atau okuler, yang
bertindak sebagai loupe. Lensa obyektif memberikan bayangan nyata terbalik dan diperkecil.
Bayangan ini digunakan sebagai benda oleh lensa okuler untuk selanjutnya bayangannya
menjadi diperbesar, dekat dan terbalik.
Keterangan :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.

Pembantu visir
Klem sumbu II
Lensa obyektif
Sumbu II
Nivo teropong
Ronsel lensa tenganh
Reflektor sinar
Mikroskopbacaan lingkaran horiz. A
Klem horizontal
Penggerak halus limbus
Skrup penyetel ABC
Plat dasar / tatakan
Kepala statip
Sek. Koreksi nivo alhidade vertical
Nivo alhidade vertikal
Tabungan sinar
Alhidade vertika
Mikroskop pemb. Lingk. Vertical
Ringk pelindung diafragma
Lensa okuler
Mikroskop pemb. Lingk. Horiz. B
Skrup penggerak halus vertical
Skrup koreksi nivo alhidade horiz.
Nivo alhidade horizontal
Skrup penggerak halus alhid. Horiz.
Kaki statip
Penggantung untingunting
Baut instumen

Gambar 3.1. Teodolit Fennel Kassel lama dan bagian-bagiannya.


Rumus umum pembentukan bayangan pada lensa adalah :

13

1 1 1

f b v

.........................................................................................................(3.1)

Dalam hal ini :


f = jarak focus / titik api
b = jarak benda
v = jarak bayangan

Gambar 3.2 Pembentukan bayangan pada teropong


Perbesaran bayangan dinyatakan dengan rumus :

f1
f2

.............................................................................................................(3.2)
Dalam hal ini :
P = perbesaran bayangan
f1 = jarak fokus lensa obyektif
f2 = jarak fokus lensa okuler
Agar benda kelihatan jelas, maka bayangan yang terbentuk oleh lensa obyektif harus
jatuh pada bidang bakar (bidang focus) dari okuler. Karena jarak benda yang diamati
berbeda-beda, maka jarak bayangan pun demikian, sehingga agar bayangan tetap jatuh
pada bidang bakar lensa okuler maka lensa okuler dibuat dalam tabung yang terpisah
dengan tabung obyektif dan dibuat gigi-gigi yang dapat digerakkan dengan skrup pengatur
atau ronsel agar dapat bergerak maju atau mundur. Dengan demikian teropong semacam ini
dapat menjadi panjang atau pendek.
Pada alat yang baru permasalahan tersebut dipecahkan dengan memasang lensa
positif yang dapat digeser maju-mundur di antata obyektif dan okuler (lensa sentra) dan
berlaku pula sebagai lensa pembalik sehingga teropong panjang tetap dan bayangan
menjadi tegak.

Gambar 3.3. Pembentukan bayangan pada teropong tegak.


Keterangan

14

AA
BB
CC
DD
F2

=
=
=
=
=

obyektif yang diamati


bayangan akhir
bayangan dari lensa obyektif
bayangan dari lensa pembalik
fokus ke-2 lensa pembalik

L1
L2
L3
F1
F3

= lensa obyektif
= lensa pembalik
= lensa okuler
= fokus ke-2 lensa obyektif
= fokuw ke-2 lensa okuler

Selanjutnya sentral, teropong juga dilengkapi dengan benang silang pada diafragma
untuk pembidikan dan skrup koreksi diafragma kiri, kanan, atas dan bawah untuk pengaturan
garis bidik.

Gambar 6.6. Teropong sederhana, lensa tengah dan garis bidik

Gambar 6.7. Irisan teropong lengkap dan diafragma


Keterangan gambar :
1. Lensa obyektif
2. Lensa tengah (penjelasan bayangan)
3. Tabungan dalam tempat lensa tengah (2)
4. Ronsel penggerak (3)
5. Skrup penghubung tabung teropong dan tabunga okuler
6. Ring pelindung diafragma
7. Pen pelepas diafragma
8. Diafragma
9. Lensa okuler
10. Skrup klem/koreksi diafragma
11. Skrup koreksi nivo teropong
12. Nivo teropong
13. Engsel nivo teropong
a. Tabung okuler
b, c, d. Skrup koreksi diafragma
Garis bidik adalah garis khayal yang menghubungkan antara titik silang benar silang
pada diafragma dengan sumbu optis lensa obyektif. Diafragma adalah pelat kaca yang
dipasang di depan lensa okuler. Benang silang dan benang stadia (benang atas dan benang
bawah) digrafir pada permukaan kaca (diafragma) ini.

15

2. Lingkaran vertikal
Adalah piringan dari metal atau kaca tempat skala lingkaran. Lingkaran ini berputar
bersama teropong dan dilindugi oleh alhidade vertikal.
3. Sumbu mendatar (sumbu II)
Adalah sumbu perputaran teropong yang disangga oleh dua tiang penyangga kiri dan
kanan. Pada teodolit lama sumbu ini dapat diatur (dikoreksi) agar tegak lurus sumbu vertikal
(sumbu I). sedang pada alat yang baru, pabrik yang memproduksi teodolit sudah membuat
sumbu ini tegak lurus dengan sumbu vertikal.
4. Klem teropong dan penggerak halus
Klem teropong digunakan untuk mematikan gerakan teropong, sedangkan skrup
penggerak halus digunakan untuk gerakan halus. Gerak halus ini berfungsi apabila klem
telah dimatikan.
5. Alhidade vertikal dan nivo
Alhidade vertikal digunakan untuk melindungi piring vertikal dan nivo alhidade vertikal
digunakan untuk mengatur mikroskop pembaca lingkaran vertikal. Pada alat-alat yang baru,
nivo ini sudah tidak ada lagi.
6. Nivo teropong
Nivo teropong digunakan untuk membuat garis bidik mendatar. Pada kebanyakan
teodolit yang baru, nivo teropong sudah tidak ada lagi.
6.1.2. Bagian Tengah
1. Kali penyangga sumbu II (sumbu mendatar)
Pada teodolit yang baru (optis), kaki penyangga sumbu mendatar berisi prisma-prisma
pemantul sinar pembacaan lingkaran horizontal.
2. Alhidade horizontal
Merupakan pemersatu dari kaki penyangga sumbu II dan pelindung lingkaran horizontal.
3. Piringan lingkaran horizontal
Merupakan tempat skala lingkaran horizontal, terbuat dari metal atau kaca. Pada teodolit
repetisi lingkaran ini terpisah dari tribrach dan dapat diatur kedudukannya, sedang pada
teodolit reiterasi menjadi satu dengan tribrach dan posisinya tetap.
4. Klem dan penggerak halus alhidade horizontal
Seperti halnya pada teropong, klem ini dipakai untuk mematikan gerakan sumbu I
(sumbu tegak), dan gerakan hals dilakukan dengan memutar skrup penggerak halus
alhidade horizontal.
5. Klem dan penggerak halus limbus
Klem dan penggerak halus limbus hanya ada pada teodolit repetisi (sumbu ganda),
digunakan untuk mengatur kedudukan piringan horizontal.
6. Nivo (tabung) alhidade horizontal
Nivo alhidade horizontal digunakan untuk membuat sumbu I vertikal secara halus,
setelah dilakukan pendekatan dengan nivo kotak. Kadang-kadang nivo kotak juga
berdekatan dengan nivo tabung, artinya terletak pada alhidade horizontal, namun ada
pula yang berada pada tribrach atau kiap.

16

7. Mikroskop pembacaan lingkaran horizontal


Pada alat yang baru (optical theodolite), mikroskop pembacaan lingkaran horizontal
dijadikan satu dengan pembacaan lingkaran vertikal, dan untuk pembacaan yang lebih
teliti, dilengkapi dengan skrup micrometer.
6.1.3. Bagian Bawah
1. Tribrach
Tribach merupakan tempat tumpuan dari sumbu I.
2. Nivo kotak
Nivo kotak dipakai sebagai penolong dalam pengaturan sumbu I vertikal secara
pendekatan.
3. Skrup penyetel ABC
Terdiri dari tiga buah skrup, digunakan untuk mengatur sumbu I agar vertikal skrup ini
juga disebut leveling screw.

Gambar 6.8. Nivo tabung, nivo kotak dan tribrach atau kiap

Gambar 6.9. Sumbu teodolit repetisi dan reiterasi.


4. Plat dasar
Plat dasar digunakan untuk menyatukan alat dengan statip. Bagian tengah dasar diberi
lubang drat untuk baut insrumen.

17

a,b,c : statip dengan permukaan kepala statip mendatar


d
: permukaan kepala statip sferis
e
: kepala statip dengan sentering tongkat teleskopik
Gambar 6.10. Macam-macam statip dan bentuk permukaan kepalanya.
5. Alat sentering optis (pada alat baru)
Pada alat lamat piranti sentering berupa tempat penggantung tali unting-unting yang
berada pada baut instrument. Beberapa alat buatan kern menggunakan sentering
dengan tongkat teleskopik.
6. Statip
Merupakan piranti untuk mendirikan alat di lapangan yang terdiri dari kepala statip dan
kaki tiga yang dapat distel ketinggiannya. Statip terbuat dari kayu atau dari metal atau
aluminium sehingga lebih ringan. Ketinggian statip dapat diatur, disesuaikan dengan
ketinggian si pengamat dan pemutaran baut statip jaringan terlalu keras agar tidak cepat
rusak. Kepala statip ada yang datar, melengkung (sferis), ada pula yang menyerupai
bonggol (Kern) dengan sambungan alat sentering tongkat teleskopik sekaligus untuk
mengukur tinggi alat.
3.2

SISTEM PEMBACAAN LINGKARAN


Sistem pembacaan lingkaran teodolit ada beberapa macam, antara lain skala garis,
digital dan elektronik. Skala garis dapat dibagi menjadi empat, yaitu :
1. Garis lurus
3. nonius
2. Garis lurus dan skala
4. Mikrometer
Garis lurus dan nonius terdapat pada teodolit dengan ketelitian rendah dimana
bacaan langsung pada skala lingkarannya disebut pula dengan vernier. Skala micrometer
terdapat pada teodolit dengan ketelitian tinggi (teodolit optis).
Pada teodolit lama pembacaan lingkaran horizontal dan vertikalnya masing-masing
ada dua, mikroskop I dan II atau kiri dan kanan. Sedang pada teodolit yang baru, lingkaran
horizontal dan vertikalnya umumnya masing-masing satu. Pada teodolit optis yang piringan

18

horizontal dan vertikalnya terbuat dari kaca atau mika sehingga tembus sinar, system
bacaan lingkarannya biasa dibuat koinsiden, maksudnya bacaan mikroskop I dan II dijadikan
satu. Bahkan antara bacaan horizontal dan vertikal yang masing-masing koinsiden dijadikan
satu dalam piranti mikroskup pembacaan.
3.2.1

Garis Lurus
Pada teodolit dengan ketelitian rendah, umumnya pada alat pembacaan hanya ada
garis-garis pembagian derajat dan puluhan menit saja. Garis pembacaan dinamakan garis
indeks. Garis ini diam tidak berputar bersama skala lingkaran, berada di depan lensa
mikroskop pembacaan. Angka yang menunjukkan banyaknya menit dikira-kira (diestimasi).

6.11. Bacaan Garis Lurus


3.2.2

Garis Lurus dan Skala

Gambar 6.12. Pembacaan system garis lurus dan skala


Pada system ini pembagian terkecil dari piringan pembacaan hanya sampai dalam
derajat. Selain itu masih ada skala lain yang tidak ikut berputar bersama piringan lingkaran
dan angka-angka pembagiannya berlawanan arah dengan angka pembagian lingkaran.
Sebagai garis indeks adalah tasi derajat dari piringan lingkaran.
3.2.3

Nonius (Vernier)
Nonius adalah skala bantu pembacaan, agar diperoleh perkiraan pembacaan yang
relatif lebih teliti dari sebelumnya. Skala nonius tidak ikut berputar bersama lingkaran. Arah
angka dan garis skala nonius searah dengan angka dan garis skala lingkaran. Garis skala
nol dari nonius akan berlaku sebagai garis indeks. Untuk itu perlu dicari lebih dulu besarnya
kesatuan nonius yaitu berapa besar harga satu kolom dari skala nonius. Hal ini dapat dicari
dengan membagi besar harga satu kolom dari skala lingkaran (R) dengan banyaknya kolom
dari nonius (n).
Misal besar harga satu kolom lingkaran (R) = 10 dan banyaknya kolom nonius (n) =
30, maka kesatuan noniusnya adalah :

19

R 10'

20"
n 30
Banyaknya menit dan sekon dicari dengan melihat garis nonius mana yang tepat
berimpit dengan garis skala lingkaran.

Gambar 6.13. Pembacaan dengan nonius.


3.2.4

Mikrometer
Mikrometer sebenarnya berupa sebuah prisma yang dipasang di depan lensa
mikroskop pembacaan. Prisma ini dapat diputar-putar kedudukannya dengan skrup pemutar
(skrup mikrometer) untuk memanipulasi jalannya sinar dari piringan skala.

Gambar 6.14. Pembacaan dengan sistem micrometer


Sedangkan sistem pembacaannya sebenarnya sistem nonius. Apabila prisma
tersebut diputar, maka bayangan skala nonius dan skala lingkaran bergerak berlawanan
arah. Selain itu biasanya kesatuan nonius di sini lebih kecil dibanding dengan system
sebelumnya. Garis indeks pada system pembacaan mikrometer berupa dua buah garis
sejajar dan pembacaan baru bisa dilakukan apabila salah satu garis skala lingkaran telah
masuk di tengah antara dua garis indeks tersebut. Untuk memasukkannya digunakan skrup
mikrometer.

20

3.2.5

Pembacaan Ganda atau Koinsiden


Koinsiden atau pembacaan ganda adalah dua buah pembacaan dari mikroskop I dan
II dalam piringan yang sama, yang dijadikan satu dengan memanipulasi sinar yang masuk
pada piranti pembacaan teodolit. Koinsiden dijelaskan sebagaimana Gambar 6.15 berikut.

Gambar 6.15. Sistem pembacaan koinsiden


Sistem pembacaan ganda ada yang dilengkapi mikrometer dan ada pula yang tidak.
Apabila dilengkapi dengan mikrometer, dengan sendirinya skala atas dan bawah atau kiri
dan kanan harus diimpitkan lebih dulu dengan menggunakan skrup mikrometer ini. Apabila
tidak dilengkapi mikrometer maka sebagai garis indeks untuk pembacaan adalah angka atau
garis derajat yang saling berhadapan dan berselisih 180o, dapat dibaca angka skala atas
atau bawah yang hasilnya berselisih 180o.

Gambar 6.16. Jalan sinar pembacaan koinsiden.

21

Gambar 6.17. Teodolit kompas Wild T0 lama dengan system koinsiden da T0 baru

Gambar 6.18. Teodolit Wild T1 dan T2


3.3. SYARAT PEMAKAIAN DAN CARA PENGATURAN ALAT UKUR TEODOLIT
Apabila alat ukur teodolit akan dipakai untuk pengukuran di lapangan, maka surveyor
terlebih dahulu harus memahami sistem-sistem pembacaan pada alat ukur teodolit yang
digunakan. Tanpa pemahaman system pembacaan, surveyor tidak mungkin dapat mengatur
dan menggunakan alat tersebut untuk pengukuran.
Adapun yang dimaksud dengan syarat pemakaian adalah persyaratan-persyaratan
yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum alat tersebut digunakan untuk pengukuran agar
data yang dihasilkan terbebas dari kesalahan sistematis. Adapun syarat-syaratnya adalah :
1. Sentering
2. Sumbu I (sumbu V-V) harus vertical.
Kedua syarat di atas dinamakan syarat dinamis. Maksudnya, setiap kali alat
dipindahkan ke stasiun yang lain, alat harus diatur kembali agar persyaratan tersebut
terpenuhi. Sedangkan alat ukurnya sendiri (teodolit) harus berada dalam kondisi yang baik,
agar tidak dihinggapi kesalahan sistematis sebagai berikut :

22

1. Sumbu II (sumbu H-H) tegak lurus sumbu I atau mendatar


2. Garis bidik / kolimasi (Z-Z) tegak lurus sumbu II
3. Tidak ada kesalahan indeks vertical atau kesalahan indeks vertika = 0 (ZZ/AA)

Gambar 6.19. Sumbu-sumbu pada teodolit


Keterangan gambar :
HH : sumbu II atau mendatar / sumbu teropong
VV : sumbu I atau sumbu vertikal
AA : garis atah nivo alhodade vertical
ZZ : garis arah nivo teropong
1. Skrup koreksi nivo alhidade vertical
2. Skrup koreksi nivo teropong
4. Garis bidik (Z-Z) sejajar garis arah nivo (N-N) apabila ada nivo teropongnya keempat
syarat tersebut cukup diatur sekali, selanjutnya bersifat tetap atau disebut syarat statis.
6.3.1. Sentering
Yang dimaksud dengan sentering adalah bahwa sumbu I (sumbu vertikal) teodolit
segaris dengan garis gaya berat yang melalui titik tempat berdiri alat (paku atau titik selang
di atas patok di tanah). Sentering dapat dilakukan dengan bantuan salah satu alat di bawah
ini :

Gambar 6.20. Sentering dengan unting-unting dan optis


1. Dengan bantuan unting-unting yang digantung pada baut instrumen di bawah kepala
statip.
2. Dengan bantuan alat sentering optik
3. Dengan bantuan alat sentering tongkat teleskopik
4. Dengan bantuan sentering laser.

23

Gambar 6.21. Sentering dengan laser dan tongkat teleskopi


Alat bantu sentering dipilih berdasar tipe alat yang digunakan. Adapun caranya
adalah sebagai berikut :
1. Buku ketiga klem kaki statip, dirikan statip di atas patok dengan merentangkan ketiga
kaki statip hingga ketiga ujung kaki statip membentuk segitiga sama sisi dengan patok
sebagai pusatnya.
2. Tarik statip bagian atas hingga tinggi kepala statip kira-kira sedikit di bawah dada dan
kepala statip mendatar. Gantung unting-unting pada baut instrument, hingga untingunting tepat berada di atas patok dengan mengatur ketinggian kaki statip. Kokohkan
kedudukan statip dengan menginjak pijakan di ujung bawah statip, kemudian
kencangkan ketiga baut statip.
3. Pasang instrument di atas statip, hubungkan dengan cara memutar baut instrument di
lubang dratnya pada plat dasar instrumen, namun tidak kencang.
4. Perhatikan apakah ujung unting-unting atau tanda silang pada alat sentering optic atau
ujung bawah tongkat teleskopik sudah tepat berada di atas titik pada patok. Bila belum,
geser-geser instrument dengan cara menekan plat dasarnya yang menempel di atas
kepala statip, sedemikian hingga ujung unting-unting atau tanda silang sentering optik
atau ujung bawah tongkat teleskopik tepat di atas tanda titik di atas patok.
5. Kencangkan baut instrument secukupnya (jangan terlalu keras, karena akan menyulitkan
saat melepaskan kembali).
Apabila alat yang berada dalam keadaan tidak sering digunakan untuk mengukur
sudut horizontal, maka sudut hasil pengukurannya akan dihinggapi kesalahan. Pada Gambar
6.22, 0 (sudut ABC) adalah sudut horizontal yang seharusnya diukur. Tetapi karena adanya
kesalahan sentering, maka titik B menjadi B 1. Harga BB1 (=e) adalah kesalahan linier dari
sentering. Kesalahan ini akan menyebabkan kesalahan pengukuran sudut horizontal
sebesar

Gambar 6.22. Kesalahan sudut akibat kesalahan sentering.

24

= 0 = +
Apabila jarak BB1 = e dianggap kecil, maka :

e
l
= 1
e
l
dan = 2

......................................................................................(6.3)
dalam hal ini 11 dan 12 = 50 m dan kesalahan sentering e = 2 mm, maka kesalahan
sudut horizontal yang terjadi adalah :

50 50
= 3438 x 0,002 50 x50

= 0,27504 = 16,5
Contoh di atas menunjukkan bahwa kesalahan sentering sebesar 2 mm akan
mengakibatkan kesalahan sudut yang cukup berarti, terlebih untuk pengukuran yang teliti.
6.3.2. Mengatur Sumbu I Menjadi Vertikal
Apabila sumbu I tidak vertikal seperti Gambar 6.23, missal sumbu I teodolit C miring
membentuk sudut v terhadap garis vertical C. AB adalah arah kemiringan maksimum
lingkaran horizontal. Apabila teropong berputar pada sumbu II dengan sasaran S pada sudut
elevasi h dalam keadaan di mana sumbu I vertikal, maka lintasan teropong adalah CSD
dalam arah sebesar u dari arah kemiringan maksimum, sedang dalam keadaan sumbu I
miring sebesar v akan diperoleh lintasa teropong C SD dalam arah sebesar u dari
kemiringan maksimumnya.

Gambar 6.23. Kesalahan sumbu I dan kesalahan sumbu II.


Dari kedua lintasan tersebut akan diperoleh gambaran segitiga bola SCC dan dari
padanya kesalahan sumbu vertikal dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :
= u u = v sin u cot (90o h) = v sin u tg h..........................................(6.5)
Kesalahan ini tidak dapat dihilangkan dengan merata-rata pengamatan biasa dan
luar biasa. Oleh karenanya, saat pengukuran, sumbu I harus benar-benar vertikal.
Komponen yang digunakan untuk mengatur sumbu I agar vertical adalah nivo kotak, nivo
tabung dan ketiga skrup penyetel ABC (leveling screw). Adapun cara mengaturnya
dijelaskan dalam Gambar 6.24.

25

Gambar 6.24. Mengatur nivo kotak dan nivo tabung


a. Pendekatan dengan bantuan nivo kotak
1. Setelah alat atau instrument sentering, perhatikan posisi gelembung nivo kotak.
2. Misal mula-mula kedudukan gelombang nivo kota pada posisi 1, kemudian bawalah
gelembung pada posisi 2 dengan memutar skrup penyetel A dan B bersama-sama ke
arah luar atau dalam.
3. Kemudian bawalah gelembung pada posisi 3 (tengah) dengan memutar skrup
penyetel C.
b. Penghalusan dengan mengatur gelembung nivo tabung alhidade horizontal
1. Putar teodolit pada sumbu I hingga nivo tabung sejajar dengan skrup penyetel A dan
B (posisi 1). Seimbangkan gelembung nivo dengan memutar skrup penyetel A dan B.
2. Putar teodolit pada sumbu I 180o (nivo pada posisi 2). Apabila gelembung bergeser,
setengah pergeseran ditengahkan dengan skrup penyetel A dan atau B dan setengah
pergeseran sisanya dengan memutar skrup koreksi nivo dengan pen koreksi.
3. Putar teodolit pada sumbu I sebesar 900 (posisi 3). Apabila gelembung tidak di
tengah, tengahkan dengan memutar skrup C.
Cek : putar alat pada sumbu I sembarang. Apabila gelembung seimbang, berarti
sumbu I telah vertical. Tetapi bila gelembung masih belum seimbang, maka ulangi
langkah b hingga pada posisi sembarang, gelembung nivo tabung tetap seimbang.
6.3.3. Mengatur Sumbu II Tegak Lurus Sumbu I
Kesalahan sumbu II yang tidak tegak lurus sumbu I hanya ada pada alat ukur teodolit
tipe lama. Pada alat yang ada di pasaran sekarang, kesalahan tersebut sudah tidak ada
karena pabrik telah membuat sumbu II tegak lurus sumbu I. dengan demikian apabila sumbu
I telah vertical, berarti sumbu II akan mendatar.
Misalkan pada gambar di atas terdapat kesalahan, yaitu sumbu II miring sebesar I,
sumbu menjadi AB. apabila teropong mengarah pada titik S dan diputar pada sumbu II
maka tempat kedudukannya menjadi CSD. Sedang apabila tak ada kesalahan sumbu II
akan menjadi CSD. Dalam segitiga bola SDD, DD = adalah kesalahan sumbu II apabila
sumbu miring sebesar i. dari rumus segitiga bola :

tg h
tg h. th i
o
sin = tg (90 i )

................................................................(6.6)
karena dan h biasanya sangat kecil, maka persamaan di atas menjadi :
= I tg h ..................................................................................................(6.7)
Apabila teropong dibidikkan dalam posisi biasa dan luar biasa, maka tanda
kesalahannya menjadi berbalikan sehingga andaikan hasil bacaan dirata-rata maka
kesalahannya akan menjadi hilang.
6.3.4. Membuat Garis Bidik Tengah Lurus Sumbu II
Kesalahan garis bidik yang tidak tegak lurus sumbu II disebut kesalahan kolimasi.
Pada gambar di bawah, AOB adalah sumbu II, ADBE adalah lingkaran horizontal dan busur
CD adalah tempat kedudukan garis kolimasi yang berputar mengelilingi sumbu II. Apabila
sasaran S dibidik dengan kemiringan kolimasi sebesar sudut maka kedudukan garis
kolimasi menjadi seperti yang tergambar dengan garis putus-putus.

26

Gambar 6.25. Kesalahan Kolimasi


Dengan maksud untuk membidik sasaran S dan alat yang tidak ada kesalahan
kolimasinya, teropong atau garis kolimasi dputar sebesar . Jadi disebut dengan
kesalahan kolimasi. Apabila busur SH adalah busur yang tegak lurus terhadap busur CD,
maka SH = . Apabila sudut elevasi sasaran = h, maka dari rumus segitiga bola :
sin = sin C sin (90o h)..........................................................................(6.8)
sehingga :
sin C = sin sec h ...................................................................................(6.9)
karena C dan h sangat kecil maka kesalahan kolimasi dapat dihitung dengan
persamaan :
= C = sec h ........................................................................................(6.9)
karena C dan h sangat kecil maka kesalahan kolimasi dapat dihitung dengan
persamaan :
= C = sec h .......................................................................................(6.10)
apabila teropong dibuat luar biasa, maka kesalahan kolimasi menjadi dan
karenanya dengan merata-rata pengamatan biasa dan luar biasa, kesalahan ini akan
menjadi hilang. Kesalahan ini dapat dihilangkan dengan prosedur seperti berikut :
1. Setelah alat ukur teodolit disetel di atas statip dan sumbu I telah dibuat vertical, bidikkan
teropong pada posisi biasa ke sebuah titik, baca lingkaran horizontalnya, misal = B.
2. Teropong dibuat luar biasa dan bidikkan kembali pada titik semula dan baca lingkaran
horizontalnya, misal = LB.
3. Hitung besarnya kesalahan kolimasi dengan rumus :
a. Untuk pembagian skala searah jarum jam

B - LB
- 90 o
2
=
....................................................................................(6.11)
b. Untuk pembagian skala berlawanan arah jarum jam

B - LB
- 90 o
2
c. =
....................................................................................(6.12)
Cara koreksi : ditambahkan pada pembacaan sudut terakhir (LB) dengan cara
memutar skrup penggerak halus alhidade horizontal. Akibat penambahan , maka garis bidik
tidak lagi mengarah pada titik sasaran. Kemudian garis bidik diarahkan kembali pada titik
sasaran dengan cara memutar, pembacaan lingkaran vertical tidak tepat pada angka
0o/90o/180o/270o. hal ini disebabkan belum diaturnya nivo alhidade vertical, atau kesalahan
garis bidik pada alat yang tidak mempunyai nivo alhidade vertikal.
Pembagian skala dan posisi angka nol pada piringan vertical pada setiap alat ukur
teodolit tidak selalu sama. Ada yang 1 x 360o, 2 x 180o, 4 x90o, ada yang posisi angka nolnya
di bagian atas, dan ada yang posisi nolnya mendatar. Apabila posisi nol di atas, maka yang

27

terbaca adalah sudut zenith, dan apabila posisi nol mendatar maka yang terbaca adalah
sudut miring atau helling.

Gambar 6.26. Macam-macam pembagian skala lingkaran vertical


Adapun cara mencari kesalahan indeks vertical adalah sebagai berikut :
Misal kesalahan indeks vertikal = p. Teropong dibidikkan pada suatu titik dalam
keadaan biasa (B) dan luar biasa (LB), dan misal sudut miring yang sebenarnya = h, maka
didapat hubungan sebagai berikut :

Bhp
Bh-p
B hp
LB h p
B LB 2p
B LB 2h
B LB
h
2
B LB
p
2
..........................................................................................(6.13)
a. Pada system pembacaan 1 x 360o

B 90 h - p
LB 270o h p
B LB 360o 2 p
2p 360o B LB
Gambar 6.27. Kesalahan indeks pada
lingkaran 1 x 360o

B LB
2
P = 180o ..(6.14)
b. Pada sistem pembacaan 2 x 180o
B=hp
LB = 180o h p
B + LB = 180o 2p
Gambar 6.28. Kesalahan indeks pada
lingkaran 2 x 180o

B LB
2
P = 90 ..(6.15)
o

28

c. Pada sistem pembacaan 4 x 90o

B 90 h
LB 90 o h p
B LB 90 o 2 p
B LB
2 p 45 o
2
..(6.16)
Gambar 6.29. Kesalahan indeks pada
pembagian lingkaran 4 x 90o
Pelaksanaan pencarian harga p (kesalahan indeks vertikal) dikerjakan sebagai
berikut :
- Bidikkan teropong pada posisi biasa pada sebuah titik K, baca lingkaran vertikalnya :
B.
- Buat teropong luar biasa dan bidikkan kembali pada titik K dan baca lingkaran
vertikalnya : LB.
- Lakukan hal seperti tersebut di atas pada titik-titik yang lain dengan sudut miring
yang berbeda-beda.
- Cari harga p (kesalahan indeks vertikal) dan harga rata-ratanya.
Apabila harga kesalahan + (plus) maka koreksinya (minus) dan sebaliknya. Cara
pemberian koreksi pada alat ukur teodolit ada dua kemungkinan :
1. Pada teodolit tanpa nivo alhidade vertikal
Besarnya koreksi p ditambahkan pada pembacaan terakhir dengna memutar skrup
penggerak halus teropong. Akibatnya garis bidik tidak mengarah lagi pada titik sasaran
semula. Kembalikan garis bidik pada titik sasaran semual dengan cara memutar skrup
koreksi diafragma atas dan bawah dengan pengoreksi.
2. Pada teodolit yang dilengkapi denga nivo alhidade vertikal
Di sini ada dua cara, cara pertama yang dikoreksi garis bidiknya seperti halnya pada
teodolit tanpa nivo alhidade vertikal (seperti pada no. 1 di atas). Sedang cara kedua, p
ditambahkan pada pembacaan terakhir dengan menggunakan sekrup penggerak halus
alhidade vertikal. Akibatnya nivo alhidade vertikal menjadi titik seimbang. Seimbangkan
kembali gelombung nivo ini dengan memutar skrup koreksi nivo dengan pen koreksi.
Catatan : pada alat-alat yang baru, kesalahan ini umumnya tidak ada atau kecil sekali,
bahkan dengan perkembangan teknologi yang terakhir, indeks vertikal telah dibuat
otomatis dengan pendulum.
Cara lain untuk mengetahui adanya kesalahan sumbu II yang belum sumbu I, garis
bidik yang belum sumbu II dan kemungkinan kombinasi dari keduanya adalah sebagai
berikut :
1. Stel teodolit m di depan tembok. Setelah sumbu I dibuat vertikal, teropong diatur
mendatar dan diarahkan pada tembok. Beri tanda titik silang benang silang pada tembok
dengan titik S.
2. Gantungkan benang unting-unting setinggi 2 x tinggi alat melalui titik S. pasang mistar
pada lantai di bawah unting-unting setinggi 2 x tinggi alat melalui titik S. pasang mistar
pada lantai di bawah unting-unting, kira-kira unting-unting berada di tengah mistar. Baca
angka yang ditunjuk oleh ujung unting-unting.
3. Matika sumbu I (vertikal), bukan klem sumbu II, putar teropong ke atas setinggi 2 x tinggi
alat dank e bawah sampai ke mistar. Apabila sumbu II telah sumbu I dan garis bidik

29

juga telah sumbu II, bayangan titik silang benang silang akan berjalan pada benang
unting-unting (Gambar 6.30a). Apabila sumbu II belum sumbu I tetapi garis bidik sudah
sumbu II, maka bayangan titik silang benang silang pada tembok akan seperti Gambar
6.30.b. (jarak penyimpangan atas dan bawah sama, namun pada arah sisi yang
bersilangan). Apabila sumbu II telah sumbu I dan garis bidik belum sumbu II, maka
bayangan titik silang benang silang akan kelihatan seperti pada Gambar 6.30.c (besar
penyimpangan di atas dan dibawah sama, dan pada arah sisi benang unting-unting yang
sama pula). Apabila kesalahannya kombinasi, yaitu sumbu II belum sumbu I dan garis
bidik juga belum sumbu II, maka bayangan titik silang benang silang di tembok akan
kelihatan seperti pada Gambar 6.30.d. (besar simpangan di atas dan di bawah tidak
sama dan arahnya pun tidak tentu sama). Simpangan garis bidik terhadap ujung untingunting saat membidik ke bawah dapat dibaca pada mistar, demikian pula saat membidik
ke atas dapat diukur dengan mistar.
4. Hitung besarnya penyimpangan yang terjadi. Untuk kesalahan sumbu II saja sebesar t
(gambar 6.30.b) atau penyimpangan garis bidik saja sebesar u, dapat dibaca pada
mistar. Untuk kesalahan kombinasi, besarnya kesalahan sumbu II adalah :

B LB
2
t=
...........................................................................................(6.17)
untuk penyimpangan garis bidik terhadap sumbu II besar :

k l
t= 2
...............................................................................................(6.18)
5. Untuk koreksi sumbu II yang belum sumbu I (Gambar 6.30.b), bidikkan teropong ke
mistar, klem sumbu I dan II matikan, dan putar skrup koreksi sumbu II hingga garis bidik
mengarah pada ujung unting-unting.
6. Untuk koreksi kesalahan garis bidik yang belum sumbu II saja (Gambar 6.30c) bidikkan
teropong pada mistar, klem sumbu I dan II dimatikan, putar skrup koreksi diafragma kiri
dan kanan hingga titik silang benang silang mengarah pada angka yang berada di ujung
unting-unting.

Gambar 6.30. Pendeteksian kesalahan sumbu II dan garis bidik


7. Untuk kesalahan kombinasi, koreksi garis bidik sebesar u dihilangkan dengan skrup
koreksi diafragma, dan koreksi sumbu II sebesar t dengan koreksi sumbu II

6.3.6. Kesalahan Pabrik


Kesalahan-kesalahan tersebut diatas adalah jenis-jenis kesalahan yang masih bisa
dibetulkan atau dikoreksi, walaupun ada beberapa macam teodolit yang tak dapat dikoreksi

30

dikarenakan bentuk dan konstruksinya yang tertutup. Selain itu masih dimungkinkan adanya
kesalahan lain dari pabrik (kesalahan sistematis) yang tak dapat dikoreksi, namun perlu
untuk diperiksa atau diketahui agar bisa dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam
pemakaiannya nanti. Perlu atau tidak kesalahan tersebut diperhitungkan, diperlukan cara
pengukuran tertentu agar kesalahannya dapat tereleminir atau pengaruhnya dibuat sekecil
mungkin sehingga tidak mempengaruhi ketelitian hasil pengukuran (diabaikan). Adapun jenis
kesalahan tersebut antara lain :
1. Kesalahan dalam pembagian skala lingkaran, misal pembagiannya tidak seragam
2. Kesalahan eksentrisitas
3. Kesalahan diameteral
6.3.6.1. Kesalahan Pembagian Lingkaran
Besar kesalahan ini tergantung dari tingkat kepresisian dan keahlian membagi busur
lingkaran. Kesalahan ini terdiri dari dua komponen, yaitu periodik dan acak atau random.
Kesalahan ini dapat disimak secara laboratorium dengan prosedur yang dinamakan sebagai
Tes Heuvelinks yaitu dengan cara mengukur besar sudut tertentu menggunakan berbagai
bagian dari lingkaran tersebut. Umumnya kesalahan ini relative kecil dan dapat dieleminir
dengan cara mengukur sudut dengan berbagai bagian skala lingkaran horizontal, khususnya
pada alat ukur teodolit tipe repetisi atau yang positif lingkaran horizontalnya dapat diputarputar. Namun cara tersebut hanya terbatas pada pengukuran sudut horizontal, sedangkan
untuk sudut vertikal hal tersebut tidak dimungkinkan.
6.3.6.2. Kesalahan Eksetrisitas
Kesalahan ini serupa dengan kesalahan sentering, terjadi karena sumbu vertikal
(sumbu I) sebagia pusat perputaran tidak tepat berimpit dengan pusat lingkaran horizontal.
Kesalahan ini sering terjadi pada teodolit dengan sumbu ganda (tipe repetisi). Pada Gambar
6.31, misal M adalah titik tengah lingkaran dan N adalah posisi sumbu vertikal, NM = e =
kesalahan eksentrisitas. Missal teodolit mempunyai dua buah mikroskop bacaan lingkaran
horizontal kiri (A) dan kanan (A) (posisi diametral). Di lapangan diukur sudut ANB = tetapi
pada alhidade terbaca sudut AMB = , pada mikroskop lain terbaca . Pada Gambar 6.31
dapat dilihat :
Sudut = busur AB + busur AB = + = ( + )
Dengan kata lain, kalau kit abaca kedua mikroskop dan kita ambil harga rata-ratanya,
maka pengaruh kesalahannya akan menjadi hilang. Demikian pula pada teodolit dengan
system bacaan koinsiden, pengaruh kesalahan ini akan hilang juga. Namun pada teodolit
yang sistem bacaan piringan horizontalnya hanya satu mikroskop, kesalahan ini tak dapat
dihilangkan. Pada teodolit modern kesalahan eksentrisitas ini dapat mencapai 0,007 mm.
apabila diameter lingkaran horizontal 9 cm, maka besar kesalahan sudut ukuran akan
menjadi (rumus 6.9) 30. Kesalahan sebesar itu untuk pengukuran yang teliti tak dapat
diabaikan begitu saja.

31

Keterangan gambar :
A = mikroskop bacaan kanan
A = mikroskop bacaan kiri
N = posisi sumbu vertikal
M = posisi titik tengah lingkaran
NM = e = kesalahan eksentrisitas
= besar sudut di lapangan
= besar sudut hasil pengukuran
B = arah bidikan biasa
B = arah bidikan luar biasa
Gambar 6.31. Kesalahan eksentrisitas
6.3.6.3. Kesalahan Diametral
Kesalahan diametral adalah kesalahan yang terjadi karena garis hubungan antara
mikroskop kiri dan kanan tidak melewati pusat sumbu vertikal. Kesalahan tersebut dapat
dihitung dengan cara-cara tertentu, dan pengaruh dari padanya akan hilang atau tereleminir
dengan cara merata-rata hasil bacaan mikroskop kiri dan kanan pada pengamatan biasa dan
luar biasa.
e = besar eksentrisitas
= kesalahan eksentrisitas
= kesalahan diametral
d = penyimpangan akibat kesalahan
eksentrisitas dan diametral
Gambar 6.23. Kesalahan eksentrisitas dan diametral
6.7. PENGUKURAN SUDUT HORIZONTAL
Sudut horizontal adalah selisih dari dua arah. Sudut horizontal pada suatu titik di
lapangan dapat dibagi dalam sudut tunggal dan sudut yang lebih dari satu sehingga teknik
pengukurannya juga berbeda.
Apabila titik yang akan dibidik tidak dapat langsung dibidik pusat tanda silang atau
pakunya maka dibantu dengan target khusus atau benang unting-unting yang digantungkan
di atas titik tersebut.

32

Gambar 6.36. Macam-macam target untuk pengukuran sudut horizontal


6.7.1. Pengukuran Sudut Tunggal
Pengukuran sudut tunggal ada tiga cara yaitu ;
1. Cara pengukuran tunggal
2. Cara pengukuran seri (rangkap)
3. Cara pengukuran repetisi
4. Cara pengukuran reiterasi
6.7.1.1. Pengukuran tunggal
Misal akan diukur sudut B yang arah-arahnya A dan C. langkah-langkahnya sebagai
berikut :
1. Stel (dirikan) alat ukur teodolit di atas titik B dengan bantuan alat senteringnya.
2. Buat sumbu I vertikal seperti pada subbab 6.3.1. Bidikkan teropong pada target di A
dengan cara mengarahkan teropong pada target. Apabila bidikan telah mendekati target,
matikan klem horizontal dan vertikal dan tepatkan garis bidik pada target dengan
memutar skrup penggerak halusnya. Baca lingkaran horizontalnya, missal R1.

Gambar 6.37. Pengukuran sudut di B dengan target di A dan C


3. Buka kedua klem dan alat diputar pada sumbu I. Bidik target di C dengan cara yang
sama seperti pada langkah 2 di atas. Baca lingkaran horizontalnya, missal R2Maka besarnya sudut B = = R2 R1
Cara di atas biasanya hanya dilakukan untuk pengukuran detil, tidak untuk
pengukuran titik kontrol.
6.7.1.2. Pengukuran Seri
Apabia sudut yang akan diukur akan dipakai untuk menentukan koordinat titik control
dalam pemetaan, cara pengukuran sudut tunggal tidak dibenarkan. Mengapa ? Pengukuran
minimal dilakukan lebih dari satu kali (seri). Cara pengukuran seri ini ada dua macam, yaitu
seri tunggal dan seri rangkap/seri ganda. Untuk seri tunggal, pelaksanaannya seperti
pengukuran sudut tunggal di atas, hanya dilakukan pengukuran ulang, dari langkah 2 dan 3
sesuai dengan banyaknya seri yang akan dilakukan. Sedangkan untuk seri rangkap,
pengukurannya dilakukan dengan posisi teropong biasa dan luar biasa. Adapun caranya
sebagai berikut :
Setelah langkah 3 di atas, teropong diputar balik menjadi kedudukan luar biasa dan
bidikkan kembali pada target di titik C dan baca lingkaran horizontalnya, misal R 2, dan
kemudian dengan cara yang sama bidikkan pada target di titik A dan baca lingkaran
horizontalnya, misal R1.
Besarnya sudut ukur : (B = biasa)
= R2 R1
(LB = luar biasa)
= R1 = R1

33

(B) (LB)
2
=
....................................................................................(6.19)
Pengukuran cara demikian, dinamakan pengukuran satu seri rangkap.
Apabila diperlukan lebih dari satu seri rangkap maka cara tersebut tinggal diulang
saja, tetapi apda seri berikutnya posisi dari skala lingkaran horizontalnya diubah dengan
menambah 90o atau besaran yang lain.
Contoh :
Bacaan Lingk. Bacaan Lingk.
Alat
Arah Bidikan
Besar Sudut
Hor Biasa
Hor Luar biasa
O
A
54o1336
234o1335
36o5521
B
91o0857
271o0858
36o5523
o
o
o
+ 90
A
144 1335
324 1337
36o5522
B
181o0857
1o0858
36o5521

144 O 220'87"
4

= 36o 552175
6.7.1.3. Pengukuran Repetisi
Cara ini hanya dapat dilakukan dengan alat teodolit tipe repetisi atau teodolit yang
mempunyai sumbu vertikal ganda. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut.
1. Stel teodolit di titik B, buat
sumbu I vertikal.
2. Bidik titik A. dengan skrup
klem dan penggerakan halus
limbus, bacaan pada titik A
dapat diatur agar menjadi
nol atau angka yang lain.
Catat pembacaan ini = p
3. Matikan klem limbus dan
buka klem horizontal. Bidik
teropong pada titik C.
setelah tepat, matikan klem
horizontal. Baca q, diperoleh
sudut .
Gambar 6.38. Pengukuran cara
repetisi
4. Bawa pembacaan q ke pembimbing A dengan cara membuka klem limbus. Setelah tepat,
matika klem limbus.
5. Buka klem horozintal, bidikkan teropong pada titik C. Dengan cara ini, akan didapatkan
sudut lagi. Bila ini diulang n kali, akan diperoleh n. kali.
Pada cara ini cukup dicatat pembacaan awal p, pembacaan kedua q dan pembacaan
terakhir r.

r p m.360 o
n
=
...............................................................................(6.20)
Di sini m adalah berapa kali pembacaan melewati 360o atau :

34

rn
o
m = 360 .............................................................................................(6.21)
Contoh :
Alat

Bidikan
(target)

A
C:1x
C:6x

Bacaan
Lingk.
Hor.Pertama
(p)
o
12 1505

Bacaan
Lingk Hor.
Kedua (q)

Bacaan
Lingk Hor.
Terakhir (r)

78o2025

Keterangan

360oterlewati 1x
48o4710

kasar = 78o2025 12o1505 = 66o0520

12 o15' 05 6 x66 o 05'20"


1,...dibulatkan 1
360 o
m=
48o 47' 10 12 o 12 o 15' 05"(1x360 o )
66 o 05' 21"
6
jadi, =
6.7.1.4. Pengukuran Reiterasi
Cara reiterasi sebenarnya mirip dengan repetisi, yaitu setelah mengukur sudut ,
pembacaan q ditambah dengan besaran sudut tertentu, missal 30 o. Pembacaan ini
kemudian dibawah ke A dan klem limbus dimatikan lagi. Selanjutnya klem horizontal dibuka
dan teropong dibidikkan ke C lagi. Pekerjaan pengukuran ini diulang-ulang sampai n kali.

q1 - p1
n
Besarnya sudut =
.............................................................(6.22)
Atau

(q1 - p1 )
n

..........................................................................................(6.23)

Gambar 6.39. Pengukuran sudut cara reiterasi.


Contoh :
Alat

Target

B
C
B = C + 30o
C
B = C + 30o

Bacaan Link.
Horizontal
14o1716
32o1920
62o1930
80o2025
110o2025

Keterangan
q1 = 417o2326
pi = 435o1830
=

35

C
128o2129
72o 04' 16"
o
o
18o 01' 04"
B = C + 30
158 2129
4
C
176o2232
6.7.2. Pengukuran Sudut Banyak
Yang dimaksud pengukuran sudut banyak adalah bahwa pada satu titik harus diukur
lebih dari sebuah sudut. Misal pada Gambar 6.40, pada titik O akan diukur arah A, B, C, D,
E. ada dua cara pengukuran sudut banyak, yaitu metode arah atau Bessel dan metode sudut
atau kombinasi.
6.7.2.1.

Metode Arah
Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
1. Stel instrumen di titik O. dengan teropong dalam posisi biasa (B), bidik berturut-turut A, B,
C, D, E. Baca masing-masing lingkaran horizontalnya.
2. Buat Teropong dalam posisi luar biasa (LB). Bidik berturut-turut titik E, D, C, B, A.

Gambar 6.40. Pengukuran sudut banyak


Rangkaian tersebut dinamakan satu seri. Dan selanjutnya, jika diperlukan, dapat
dilaksanakan seri berikutnya. Untuk seri berikutnya, biasanya posisi lingkaran horizontal
diubah, yaitu ditambah dengan sudut tertentu, misalnya 45o.
Contoh :
Alat

Teropong

Arah Bidikan
(target)

Biasa

A
B
C
D
E
E
D
C
B
A

Luar biasa

Bacaan
lingkaran
Horizontal
14o4628
38o2848
86o5818
124o1410
152o3438
332o 34 40
304o 14 11
266o 58 20
218o 28 50
194o 48 29

Perhitungan

= 23o 42 20
= 48o 29 30
= 37o 15 52
= 28o 20 28
= 23o 42 21
= 48o 29 30
= 37o 15 51
= 28o 20 29

6.7.2.2.

Metode Sudut Atau Kombinasi


Sebenarnya cara ini sama dengan metode arah, hanya saja perhitungannya
dimanipulasi. Dari n buah arah akan didapatkan kombinasi sudut sebesar n (n-1) buah

36

sudut. Meskipun cara ini dipandang tidak ekonomis sehingga kurang disukai, pada
pengukuran dan perhitungan geodesi cara ini kadang-kadang masih digunakan.
6.7.3. Sentering Terpaksa
Pengukuran sudut untuk menentukan posisi titik control horizontal harus dilakukan
dengan teliti. Salah satu hal yang dapat mengurangi ketelitian pengukuran sudut horizontal
adalah kesalahan sentering. Artinya, sumbu vertical teodolit atau target tidak berimpit
dengan titik yang ada di atas patok (dapat berupa paku paying atau tanda silang). Target
pengukuran sudut yang teliti sebagaimana Gambar 6.36 terpasang pada kiap atau tribrach
(Gambar 6.7). pada kiap inilah piranti sentering berada, baik sentering optis maupun
mekanis. Pada pengukuran sudut yang berurutan (misal pengukuran sudut-sudut polygon)
targetnya dua buah, di muka dan di belakang. Misal pada pengukuran sudut di titik 2, target
berada di titik 1 (belakang) dan di titik 3 (depan). Apabila pengukuran sudah akan dilakukan
di titik 3, maka teodolit yang tadinya distel pada titik 2 dilepas dari kiapnya saja (statip dan
kiap masih tetap berdiri). Demikian pula target yang berada di titik 3 hanya dilepas dari
kiapnya saja. Kemudian teodolit yang tak berkiap ini dipasang pada kiap yang masih tegak
berdiri di titik 3, dan statip yang berkiap di titik 2 dipasangi target yang tidak berkiap. Target
dan statip yang semula berada di titik 1 kemudian dipidahkan ke titik 4. Demikian selanjutnya
sehingga teodolit tidak menempati statip yang baru didirikan, tetapi menempati statip bekas
berdiri target yang berada di depannya. Dengan demikian kesalahan pengukuran sudut yang
diakibatkan kesalahan sentering dapat dihindari. Cara ini hanya bias dilakukan untuk teodolit
yang kiap dan targetnya dapat dilepas, serta kiapnya dapat dipakai (compatible) dengan
target dan statipnya.
6.8.

Sistem Stadia
Pengukuran jarak optis dapat dilakukan karena pada teropong (teodolit, sipat datar,
BTM, planet table, dll) dilengkapi dengan garis bidik (benang silang) dan benang stadia yang
diarsir pada diafragma. Bentuk benang silang pada setiap teropong tidak sama, tergantung
dari pabrik pembuatnya. Bentuk-bentuk tersebut antara lain dapat dilihat dalam Gambar
6.41.
Adapun yang dimaksud dengan garis bidik adalah garis khayal yang menghubungkan
titik silang benang silang dengan sumbu optis lensa obyektif teropong. Sebagaimana telah
disebutkan di muka, pengukuran jarak secara optis dapat dilakukan dengan beberapa cara,
antara lain :

Gambar 6.41. Bentuk-bentuk benang silang


Sistem stadia (stadia system)
Sistem tangensial (tangensial system)
Sistem rambu mendatar (substerbar system)
Sistem bayangan rangkap (optical wege system)

6.8.1. Sistem Stadia

37

Pengukuran jarak dengan system stadia dilakukan jika pada teropong terdapat tiga
benang stadia, yaitu benang atas (BA), benang tengah (BT) dan benar bawah (BB). Posisi
teropong pada alat ukur tanah dapat mendatar ataupun miring. Jarak optic pada kedua
posisi teropong dijelaskan dalam uraian di bawah ini.
6.8.1.1. Teropong mendatar
Garis besar jalannya sinar dari benarn silang pada posisi teropong mendatar adalah
sebagai berikut :
Dari gambar di bawah dapat dilihat bahwa d : S = f : i

f
d .S
i
.............................................................................................................(6.24)
f
.S
DAB = c + f + d = c + f + i
..............................................................................(6.25)
c + f adalah konstan, dimisalkan = B

f
i

juga konstan = A (oleh pabrik biasanya dibuat = 100)


maka rumus jarak datar menjadi : DAB = B + A. S................................................(6.26)

Gambar 6.42. Jarak optis pada teropong mendatar


Keterangan gambar :
BA
: bacaan benang atas pada rambu
BT
: bacaan benang tengah pada rambu
BB
: bacaan benang bawah pada rambu
c
: jarak sumbu II lensa obyektif
f
: fokus lensa obyektif
i
: jarak BA-BB pada diafragma
s
: jarak BA-BB pada rambu ukur
d
: jarak dari focus ke rambu ukur
DAB : jarak mendatar dari A ke B.
Catatan :

A disebut konstanta pengali teropong


B disebut konstanta penambah
Karena B umumnya kecil, maka untuk jarak relative jauh B diabaikan, bahkan pada
alat yang baru dibuat B = 0 dengan sistem optis yang tertentu (lensa analaktik). Apabila
tinggi garis bidik diukur misal = t, maka beda tinggi (hAB) adalah = t BT. Apabila ketinggian
titik A diketahui, missal = HA maka tinggi titik B :
HB = HA + hAB = HA + t BT ...................................................................(6.27)
6.8.1.2. Teropong Miring

38

Untuk teropong dengan kemiringan terhadap bidang mendatar yang melalui sumbu
II teropong, maka :
S S* = S cos
D d* = d cos
B B cos

Gambar 6 43. Jarak optis pada teropong miring


Andaikata jarak dari bidang mendatar yang melalui sumbu II sampai BT rambu kita
namakan V (naik / turun), maka:

V
D
tg = AB

V = DAB.tg
= (B cos A.S. cos2 ) tg

sin
= (B cos A.S. cos2 ) cos
= B sin + A.S. cos . sin
= B sin + A. S . sin 2
Karena B sin dianggap kecil atau bahkan nol, maka :
V = A.S. sin 2 ...................................................................................(6.29)
Dari gambar di atas didapat hubungan :
t + V = hAB + BT
hAB = t + V = BT
Sehingga :
HB = HA + t+V-BT.....................................................................................(6.30)
Dengan demikian, selain dapat digunakan untuk mencari jarak datar, teropong juga
dapat digunakan untuk mengukur beda tinggi. Pengukuran jarak datar dan beda tinggi
dengan pembacaan benang stadia pada rambu serta sudut miring teropong disebut dengan
pembacaan benang stadia pada rambu serta sudut miring teropong disebut dengan
takhimetri (tachymetry).
Perlu diingat bahwa sebelum kita mengadakan pengukuran dengan teropong, kita
tahu lebih dulu besar konstante penambah (B) dan konstante pengali (A) dari teropong.
Andaikata A dan B belum diketahui, maka dapt dicari dengan cara sebagai berikut :
Ukur dua penggal garis AB dan BC dalam satu garis lurus dengan pita ukur, misal
masing-masing 10 m, maka jarak AB = 10 m dan AC = 20 m. dirikan dan atur alat ukur di A
dan buat teropong mendatar, serta bidikkan pada rambu di B dan C, kemudian masingmasing dibaca BA dan BB-nya, sehingga didapat S1 dan S2.

39

Dari padanya dapat disusun persamaan :


D1 = B + A . S1
D2 = B + A . S2
Karena D1, D2, S1, S2 ada, maka A dan B bias didapat.

Gambar 6.44. Cara menentukan konstante penambah dan pengali teropong


6.8.2. Sistem Tangensial
Sistem ini dipakai karena teropong tidak mempunyai benang stadia, sehingga rambu
hanya dibaca benang tengahnyas saja. Untuk itu dilakukan pembacaan ke rambu minimal
dua kali dengan sudut miring yang tidak sama. Dari Gambar 6.45 didapat hubungan :
BT1 E = DAB.tg 1
V = DAB . tg 1
BT2 E = DAB.tg 2
hAB = t + V - BT1
S = DAB . (tg 2 - tg1) = DAB . tg 1 + V BT1

S
tg 2 tg1 .................................................................................(6.32)
DAB =
HB = HA + DAB . tg 1 + V VT1................................................................(6.32)

Gambar 6.45. Sistem tangensial


Keterangan gambar :
DAB
: jarak datar AB
T
: tinggi alat
V
: naik/turun
E
: Perpotongan bidang datar melalui sumbu dengan garis
gaya berat melalu B.
BT1,BT2
: pembacaan benang tengah ke rambu
1, 1
: sudut miring teropong
S
: BT2-BT1

40

Dari gambar di atas didapat hubungan :


BT1 - E = DAB . tg 1
V = DAB . tg 1
BT2 - E = DAB . tg 2
hAB t + V - BT1
S
= DAB (tg 2 tg 2)
= DAB tg 1 + V BT1)

S
tg 2 tg1 .......................................................................................(6.33)
DAB =
HB = HA + DAB . tg 1 + V BT1......................................................................(6.34)
6.8.3. Sistem Rambu Mendatar (Substenbar System)
Berbeda dengan sistem sebelumnya, di sini rambu dipasang pada statip khusus
sehingga posisinya mendatar. Selain itu pada tengah rambu diberi alat khusus sehingga
rambu dapat distel tegak lurus terhadap garis hubungan instrument ke tengah rambut,. Serta
target di ujung-ujung rambu dapt diberi sinar sehingga dapat dilakukan pengukuran pada
hari yang gelap dan panjang rambu sudah tertentu (2m).

Gambar 6.46. Sistem rambu mendatar (substenbar)


Pada cara ini yang diukur adalah sudut horizontal dari ujung-ujung rambu. Dari
gambar di atas didapat hubungan :

cot
2 ................................................................................(6.35)
DAB = H = 2
Apabila dibutuhkan tinggi tempat berdiri rambu, maka setelah pengamatan sudut
mendatar, bidik tengah-tengah rambu dan baca sudut miringnya () kemudian ukur tinggi
rambu dan tinggi alat ukurnya.
V = H tg
Apabila tinggi rambu = hr dan tinggi alat ukur = t, maka beda tinggi adalah :
hAB = t V - hr
dan tinggi B adalah :
HB = HA + t V hr ................................................................................(6.36)
6.8.4. Sistem Bayangan Rangkap
Sistem ini sebenarnya hamper sama dengan rambut mendatar, karena di sini rambu
juga dibuat mendatar. Bedanya di sini sudut mendatar diperoleh dengan prisma akhromatis
yang dipasang di depan lensa obyektif sehingga garis bidik akan kelihatan menjadi dua,
yang satu lurus dan yang lain dibiaskan ke samping dengan sudut deviasi () tertentu.

41

Perbedaan bacaan rambu akan menentukan panjang deviasi pada target/rambu (S).
Pembacaan pada rambu dapat teliti, sebab di sini.

Gambar 6.47. Sistem bayangan rangkap


Dilengkapi dengan nonius rambu. Sedang rumus untuk menentukan jarak seperti
jarak optis biasa yaitu :
D = B +A. S
Termasuk dalam ketode pengukuran ini adalah pengukuran jarak menggunakan alat
rangefinder dan teletop

Gambar 6.48. Teletop

42

4. KERANGKA DASAR PEMETAAN


4.1. POLIGON ATAU TRAVERSE
Polygon berasal dari kata poli yang berarti banyak dan gonos yang berarti sudut.
Secara harfiahnya, poligon berarti sudut banyak. Namun arti yang sebenarnya adalah
rangkaian titik-titik secara berurutan, sebagai kerangka dasar pemetaan.
Sebagai kerangka dasar, posisi atau koordinat titik-titik polygon harus diketahui atau
ditentukan secara teliti. Karena akan digunakan sebagai iaktan detil, pengukuran polygon
harus memenuhi kriteria atau persyaratan tertentu.
4.1.1. Macam-Macam Poligon
Poligon ada bermacam-macam. Poligon dibedakan berdasarkan pada kriteria tertentu,
antara lain :
a. Atas dasar titik ikat : terikat sempurna, terikat tidak sempurna, terikat sepihak, bebas
(tanpa ikatan).
b. Atas dasar bentuk terbuka, tertutup, bercabang
c. Atas dasar alat yang digunakan untuk pengukuran : polygon teodolit (poligon sudut) dan
polygon kompas.
d. Atas dasar penyelesaian : polygon hitungan (numerik) dan poligon grafis.
e. Atas dasar tingkat ketelitian : tingkat I, tingkat II, tingkat III, tingkat IV (rendah).
f. Atas dasar hirarkhi dalam pemetaan : polygon utama (induk) dan polygon cabang
(anakan / ray).
4.1.2. Poligon Secara Umum
Rumus umum penentuan koordinat suatu titik, misal titik 2 yang diikat dari titik 1 yang
telah diketahui koordinatnya adalah :
X2 = X1 + d1 2 sin 1-2
Y2 = Y1 + d1 2 cos 1-2................................................................................(8.1)
Titik 1 disebut titik ikat, 1-2 disebut sudut jurusan atau azimuth sisi 1-2, d1-2 adalah
jarak sisi 1-2. Apabila sudut diukur pada titik 2 dan jarak diukur dari titik 2 ke titik 3 maka
koordinat titik 3 dapat dicari. Demikian seterusnya, sehingga unsur yang diukur dalam
poligon adalah jarak dan sudut.

43

Gambar 8.2. Poligon terikat sempurna


Keterangan gambar :
a dan P
: titik ikat awal
B dan Q
: titik ikat akhir
AP
: azimut awal
BQ
: azimut akhir
sudut ukuran A : 1, 2, 3, n, B,
sudut ukuran dA1 : d12, d23, d(n-1)n, dnB,
Sesuai teori kesalahan dalam pengukuran jarak dan sudut, semakin jauh dari titik ikat,
kesalahan akan semakin besar. Oleh karena itu agar kesalahan tersebut tidak merambat,
akhir dari polygon perlu dikontrol, baik berupa kontrol koordinat maupun kontrol jurusannya
(azimutnya). Poligon yang demikian dinamakan polygon terikat sempurna.
Apabila dari data ukuran sudut dan jarak langsung dihitung koordinat titik-titik polygon
dengan titik ikat awal (A) sampai titik B, maka akan didapat koordinat titik B yang tidak sama
dengan koordinat titik ikat B yang diketahui, dikarenakan pengukuran sudut dan jarak
dipengaruhi oleh adanya kesalahan. Oleh karena itu sebelum penghitungan koordinat
dilakukan, dilakukan penelitan sudut-sudut dan jarak-jarak ukuran terlebih dahulu. Untuk
dapat melakukan penelitian kedua unsur tersebut, maka harus diketahui dan ditentukan
lebih dulu syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi oleh suatu poligon.
Telah diketahui bahwa sudut-susut ukuran dipakai untuk mencari sudut jurusan atau
azimut sisi poligon, yang selanjutnya dengan data jarak digunakan untuk mencari koordinat.
Maka akan dicari sudut jurusan atau azimuth semua sisi poligon terlebih dahulu.
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa :
A1
= A1 + A
12
= A1 + 1 180o
= AP + A + 1 - 180o
23
= 12 + 2 180o
= AP A + 1 + 2 360o
34
= 23 + 3 180
= AP A + 2 + 3 540o
4B
= 34 + B 180
= AP A + 2 + 3 + 4 720o
BQ
= 4B + B 180o

44

3B
BQ

=
=
=
=
=

AP A + 2 + 3 + 4 900o
23 + 3 180o
AP 1 + 2 + 3 540o
3B + 4 180o
AP 1 + 2 + 3 + 4 720o

atau :
BQ
= AP + - 4 . 180o
atau secara umum dapat ditulis :
= (akhir - awal) + n . 180o (Syarat I) ......................................................(4.2)
Ruas kiri adalah jumlah sudut-sudut yang diukur, sedang ruas kanan terdiri dari dua
suku, yang pertama adalah selisih jurusan atau azimuth akhir dan awal, dan suku yang
kedua berisi keliput dari 180o. Sudut jurusan awal dan akhir diketahui atau dihitung dari
koordinasi titik-titik awal dan akhir yaitu A, P, dan B, Q :

Xp - XA
Y Y

; BQ arc tg

XQ - XB
Y Y

A
Q
B
AP = arc tg P
...........................................(4.3)
Dengan demikian didapat syarat yang harus dipenuhi oleh sudut-sudut polygon yang
diukur, yakni jumlah sudut-sudut yang diukur harus sama dengan selisih sudut jurusan akhir
dan awal ditambah kelipatan dari 180o, atau :
= (akhir - awal) + n . 180o.......................................................................(4.5)
Dalam kenyataannya karena ukuran sudut-sudut dihinggapi kesalahan, maka :
= (akhir - awal) + n . 180o f................................................................(4.5)
f dinamakan kesalahan penutup sudut. Kesalahan ini dikoreksikan kepada setiap
sudut ukuran dengan prinsip sama rata, atau :
I = f/n (4.6)
Apabila f tidak habis dibagi, maka sisanya diberikan pada sudut-sudut yang
mempunyai mempunyai kaki pendek.

Untuk mendapatkan syarat sisi poligon yang harus dipenuhi, proyeksikan sisi-sisi
poligon tersebut pada sumbu X (menjadi d) dan pada sumbu Y (menjadi d). Dari gambar
dapat dicari :
d1 = d1 sin A1
d1
= d1 cos A1
d2 = d2 sin 12
d2
= d2 cos 12
d3 = d3 sin 23
d3
= d3 cos 23
d4 = d4 sin 34
d4
= d4 cos 34
d5 = d4 sin 4B
d5
= d2 cos 4B
d = d sin
d
= d cos
Seharusnya :
d sin = XB XA dan cos = YB - YA...................................................(8.7)
Ini merupakan syarat II dan III. Dengan perkataan lain, jumlah d sin harus sama
dengan selisih absis titik akhir dan awal poligon. Demikian pula, jumlah d cos harus asma
dengan selisih ordinat titik akhir dan awal poligon.
Dalam kenyataannya :

45

d sin = (Xakhir Xawal) fx


d sin = (Yakhir Yawal) fx......................................................................(4.8)
fx dinamakan kesalahan penutup absis dan fy dinamakan kesalahan penutup ordinat,
sedang kesalahan penutup jarak (linier) poligon:
fl =

fx 2 fy 2

........................................................................................(4.9)
fx
fy
fl
Titik B
Titik B

:
:
:
:
:

kesalahan penutup absis


kesahan penutup ordinat
kesalahan penutup jarak (linier)
Titik ikat akhir
Posisi titik B yang dihitung dari data
ukuran yang masih dihinggapi
kesalahan

Gambar 8.3.
Kesalahan penutup poligon
Kesalahan fx dan fy dikoreksikan pada setiap penambahan absis (d sin ) dan
penambahan ordinat (d cos ) dengan perbandingan lurus dengan jarak-jarak sisi polygon,
atau dapat ditulis :

di
d
. fx dan y i i . fy
d
Xi = d
..............................................................(4.10)
Langkah penghitungan koordinat titik titik polygon secara sistematis adalah sebagai
berikut :
1. Jumlahkan sudut-sudut hasil ukuran. Hitung akhir dan awal dari koordinat titik ikat akhir
dan 2 titik ikat awal (rumus 4.3). dari padanya tentukan f dan kemudian dikoreksikan
pada masing-masing sudut hasil ukuran (rumus 4.6) agar syarat pertama dipenuhi.
2. Atas dasar sudut jurusan (azimut) awal, dengan sudut-sudut polygon yang telah
dikoreksi, hitung sudut jurusan (azimut) dari setiap sisi poligon dengan aturan :
n (n+1) = (n+1)n 180o
Apabila perhitungannya benar, azimut BQ akan sama dengan azimut akhir yang dihitung
dari koordinat titik BQ.
3. Dengan sudut jurusan yang diperoleh dari langkah 2 di atas, hitung d sin dan d cos .
Hitung selisih antara Xakhir dan Xawal serta Yakhir dan Yawal, kemudian hitung fx dan fy serta
koreksikan pada masing-masing d sin dan d cos sebanding dengan jarak-jaraknya
(rumus 4.10).
4. Akhirnya dapat dihitung koordinat titik-titik polygon dari koordinat titik yang ada di
depannya dengan Rumus 4.1.
5. Agar perhitungan dapat dilakukan secara sistematis, dibuat formulir perhitungan seperti
contoh pada akhir bab ini.
4.1.3. Poligon Tertutup

46

Poligon tertutup adalah polygon yang titik awal dan akhirnya menjadi satu. Poligon
semacam ini merupakan poligon yang paling disukai di lapangan karena tidak membutuhkan
titik ikat yang banyak yang memang sulit didapatkan di lapangan, namun hasil ukurannya
cukup terkontrol.
Karena bentuknya tertutup maka akan membentuk segi banyak atau segi n (n =
banyaknya titik poligon). Oleh karenanya syarat-syarat geometris dari poligon tertutup
adalah.

Gambar 8.4. Poligon tertutup


1. Syarat sudut
= (n 2). 180o, apabila sudut dalam .......................................................(4.11)
= (n + 2). 180o, apabila sudut luar ..........................................................(4.12)
2. Syarat absis
d sin = 0
d cos = 0 (8.13)
Adapun prosedur perhitungannya sama dengan prosedur perhitungan pada poligon
terikat sempurna di atas. Pada poligon terikat sepihak, poligon terbuka tanpa ikatan, syaratsyarat geometris tersebut tidak dapat diberlakukan di sini. Hal ini mengakibatkan posisinya
sangat lemah karena tidak adanya kontrol pengukuran dan kontrol perhitungan. Jadi
sebaiknya poligon semacam ini dihindari. Posisi titik-titik poligon yang ditentukan dengan
cara menghitung koordinat-koordinatnya dinamakan penyelesaian secara numeris atau
poligon hitungan.
4.1.4. Poligon Terikat Hanya pada Koordinat Awal dan Akhir
Apabila sebuah poligon terikat pada awal dan akhir, masing-masing pada titik A dan
titik B yang telah diketahui koordinatnya namun tidak diketahui azimutnya, maka kondisi
tersebut dapat diselesaikan dengan dua tahap. Tahap pertama adalah menentukan azimut
awal yang diambil dengan pendekatan atau diukur dengan kompas. Dengan azimut ini dan
dengan titik ikat awal yang telah diketahui koordinatnya, selanjutnya poligon dihitungan
sebagai poligon lepas, sehingga didapat koordinat titik B. dari titik A dan titik B dapat
dihitung azimut AB. Demikian pula, dari titik ikat awal A dan titik akhir B dapat dihitung
azimut AB. Selisih dari keduanya merupakan besar sudut rotasi yang harus diberikan pada
azimut pendekatan.
Pada perhitungan tahap kedua, poligon dihitung kembali dengan azimut awal hasil
rotasi tahap pertama, sebagai poligon terikat sempurna.

47

4.1.5 Poligon Kompas


Pada poligon teodolit sebagaimana paragraph di atas, semua sudutnya dihitung.
Sudut-sudut ini akan dipakai untuk mencari sudut jurusan atau azimut dari sisi-sisi poligon
yang berikutnya.
Namun pada alat ukur sudut yang telah menggunakan kompas, pada setiap arah yang
dibidik akan terbaca sudut jurusannya (azimut kompas). Missal pada gambar di bawah ini
kita memasang alat di titik 1 dan kemudian membidik titik 2, maka kita akan mendapatkan
sudut jurusan 12. Kemudian alat ukur kita pindahkan ke titik 2 dan dari titik ini kita membidik
titik 1 dan 3 sehingga kita mendapatkan dua jurusan sekaligus, yaitu 23 yaitu 21 180o. jadi
kita tidak perlu memasang alat ukur di titik 1.

Gambar 8.9. Poligon Kompas


Demikian selanjutnya, kita tidak perlu memasang alat di titik 3, tapi dari titik 2 langsung
ke titik 4, karena dari titik 4 kita dapat membidik titik 3 untuk mendapatkan sudut jurusan 43
dan daripadanya kita bias menghitung 34. Dengan demikian jika poligon diukur dengan
kompas, alat ukur tidak perlu dipasang di setiap titik poligon, melainkan berselang satu-satu
(lompat kijang), yaitu dari titik 2 pindah ke titik 4, titik 6, titik 8 dan seterusnya.
8.1.6. Poligon Grafis
Apabila suatu poligon telah diketahui sudut-sudutnya, arah arahnya serta jarak sisisisinya, penggambarannya dapat dilakukan dengan lebih dulu menghitung koordinat titik-titik
poligon tersebut, atau dapat pula digambarkan langsung dari data sudut atau jurusan
dengan busur derajat dan dari data jarak dengan mistar skala. Penggambaran poligon yang
terakhir ini dinamakan poligon grafis.
Misal berdasarkan hasil pengukuran sudut, arah dan jarak sisi-sisinya, poligon tertutup
A, B, C, D, E, F, A akan diplot secara berurutan dari A sampai ke A lagi. Pada umumnya titik
A yang terakhir tidak akan berimpit dengan titik A semula, tetapi bergeser ke A.

Gambar 4.10. Poligon grafis

48

Gambar 4.11. Koreksi poligon grafis


Jarak linier dari A-A* dinamakan kesalahan penutup jarak. Arah kesalahannya adalah
dari A ke A*, sehingga arah koreksinya dari A* ke A. di setiap titik poligon hasil plot dibuat
arah sejajar A* - A. besar koreksi di setiap titik poligon sebanding dengan jarak dari titik awal.
Setelah semua posisi titik-titik poligon dikoreksi, semua titik digubungkan kembali secara
berurutan, sehingga didapatkan poligon yang telah dikoreksi.
Pada umumnya poligon grafis adalah poligon yang diukur dengan kompas, sedang
poligon numeris (hitungan) adalah poligon yang diukur dengan teodolit (poligon sudut).
4.1.7. Poligon Simpul
Pada poligon yang dibuat dari tiga buah titik tetap (yang telah tertentu koordinatnya)
atau lebih dan bertemu pada sebuah titik, titik pertemuan dari poligon-poligon tersebut
dinamakan titik simpul atau titik sekutu.

Gambar 4.12. Poligon simpul


Pada Gambar 4.12 di atas, titik S adalah titik simpul poligon AS, BS dan CS,
sedangkan titik A, B dan C adalah titik tetap awal masing-masing poligon dan telah terdapat
pula azimut-azimutnya sebagai azimut pengikat. Apabila setiap poligon dihitung sendirisendiri, maka akan didapat tiga koordinat titik S, yang mungkin harganya berbeda satu sama
lain. Koordinat-koordinat titik S yang berbeda ini perlu diratakan menggunkan ilmu hitung
perataan untuk mendapatkan sebuah koordinat titik simpul S. untuk itu digunakan unsur
berat karena adanya perbedaan ketelitian dari masing-masing poligon tersebut. Perbedaan
ketelitian tersebut, mungkin disebabkan oleh jarak masing-masing poligon yang tidak sama,
atau banyaknya titik sudut poligon. Oleh karenanya perambatan kesalahan pada titik simpul
S dari setiap poligon memberikan pengaruh yang tidak sama pula.

49

Sesuai dengan teori ilmu hitung perataan (tak dibahas disini) langkah perataannya
adalah sebagai berikut :
a. Perataan Azimut
Untuk perataan azimut di titik S, diambil sisi sekutu missal S-11. Azimut sisi S-11
dihitung dari azimut ikatan pada setiap poligon. Missal diperoleh hasil sebagai berikut :
- Dari titik ikat A : S-11 = 134o 22 48 = 134o 22 30 + 18
- Dari titik ikat B : S-11 = 134o 22 40 = 134o 22 30 + 10
- Dari titik ikat C : S-11 = 134o 22 36 = 134o 22 30 + 6
Dari ketiga azimut yang diperoleh, untuk menyederhanakan perhitungan selanjutnya
diambil pendekatannya (134o 22 30) dan sisinya dianggap sebagai pengamatanpengamatan yang akan diratakan. Dengna demikian kita bekerja dengan bilangan-bilangan
yang kecil.
Pada masing-masing poligon dimasukkan faktor berat yang berbanding terbalik
dengan banyaknya titik sudut poligon. Misal banyaknya masing-masing titik sudut poligon
adalah 10, 11 dan 8 buah, dengan demikian perbandingan beratnya adalah : 1/10, 11, 1/8
atau dalam perbandingan serupa adalah 10 : 9,1 : 12,5. Menurut ilmu hitung perataan,
apabila ada sejumlah pengamatan P1, P2, P3 Pn masing-masing dengan berat g1, g2, g3
gn maka pengamatan pukul rata diperoleh dengan rumus:

gp g1P1 g 2 P2 g 3 p3 ........gnpn
g
g1 g 2 g 3 ...........gn

....................................................(4.8)

Sehingga dari azimut-azimut sisi S-10 di atas, hasil pukul ratanya adalah :

(10 x 18) (9,1x10) (12,5 x 6)


134 o 22' 40" , 9
10 9,1 12,5
134o 22 20 +
Setelah hasil tersebut diperoleh, azimut masing-masing poligon koreksi kembali.
Missal poligon A mendapt koreksi sebesar : 134o 22 40, 9 134o 22 48 = -7,1. Koreksi ini
diberikan sama rata kepada masing-masing azimut sisi-sisi poligon dari A ke S. demikian
pula, koreksi sisi-sisi poligon dari B ke S dan dari C ke S dihitung dengan cara yang sama.
b. Perataan Koordinat
Setelah azimut setiap sisi poligon dikoreksi, langkah selanjutnya adalah menghitung
koordinat titik S dari masing-masing poligon. Missal diperoleh data sebagai berikut :
- Dari poligon A-S didapat :
Xs = + 27856,420 m = + 27856,400 m + 0,020 m
Ys = - 12475,826 m = - 12475,800 m + 0,026 m
- Dari poligon B-S didapat :
Xs = + 27856,428 m = + 27856,400 m + 0,020 m
Ys = - 12475,842 m = - 12475,800 m + 0,042 m
- Dari poligon C-S didapat :
Xs = + 27856,438 m = + 27856,400 m + 0,038 m

50

Ys = - 12475,828 m = - 12475,800 m - 0,028 m


Sebagai berat diambil bilangan-bilangan yang berbanding terbalik dengan jumlah jarak
sisi-sisi poligon. Misal jumlah jarak sisi poligonm AS = 1234,50 m, BS = 2643,0 m, CS =
1756, 70 m, maka perbandingan berat dari masing-masing poligon menjadi :

1
1
1
:
:
8,1 : 3,8 : 5,7
1234,5 2643,0 1756,7

maka koordinat titik S ditetapkan sebagai berikut :

(8,1x20) (3,8x28) (5,7x38)


8,1 3,8 5,7
Xs = + 27856,400 +
= + 27856,427 m
(8,1x26) (3,8x42) (5,7x28)
8,1 3,8 5,7
Ys = + 27475,800 +
= + 12475,830 m
Setelah koordinat titik S ditetapkan, maka poligon AS, BS, dan CS sekarang menjadi
poligon terikat sempurna. Selanjutnya masing-masing poligon dihitung berapa kesalahan
penutup absis dan ordinatnya dan kemudian dikoreksi pada masing-masing d sin dan d
cos , yang selanjutnya digunakan untuk menghitung koordinat titik-titik poligon yang
bersangkutan.
4.1.8. Tingkat Ketelitian Pengukuran Poligon
Karena unsur poligon adalah sudut dan jarak, maka tingkat ketelitian pengukuran
poligon didasarkan pada ketelitian pengukuran sudut dan jarak pula. Pada poligon yang
tertutup atau terikat sempurna di mana jumlah sudut hasil pengukuran serta jumlah d sin
dan d cos sudah tertentu maka tingkat ketelitian poligon didasarkan pada besarnya
kesalahan penutup sudut dan jarak. Dengan dasar tersebut ketelitian poligon dibedakan
menjadi :
Kelas ketelitian poligon
Kesalahan penutup sudut
Koreksi masimum persudut
ketelitian penutup pajak

II

2 N
1 1:35.000

10 N 2
1:10.000

III
30 N
1:5.000

IV
3

60 N
6 1:2.000

51

5. SIPAT DATAR
Sipat datar bertujuan menentukan beda tinggi antara titik-titik di atas permukaan bumi
secara teliti. Tinggi suatu obyek di atas permukaan bumi ditentukan dari suatu bidang
referensi, yaitu bidang yang ketinggiannya dianggap nol. Dalam geodesi, bidang ini disebut
bidang geoid, yaitu bidang equipotensial yang berimpit dengan permukaan air laut rata-rata
(mean sea level). Bidang equipotensial juga disebut bidang nivo. Bidang-bidang ini selalu
tegak lurus dengan arah gaya berat di mana saja di permukaan bumi.

Gambar 9.1. Bidang referensi ketinggian


Beda tinggi di atas permukaan bumi dapat ditentukan dengan berbagai cara, antara
lain :
1. Sipat datar (spirit levelling)
2. Takhimetrik (tachymetric levelling)
3. Trigonometri (trigonometri levelling)
4. Barometrik (barometrik levelling)
Urutan tersebut juga merupakan urutan tingkat ketelitian dari cara atau metode
pengukuran beda inggi. Pada bab ini akan dijelaskan metode yang pertama. Metode yang
kedua, yaitu metode takhimetrik, telah dibicarakan pada bab sebelumnya. Sedangkan
metode yang ketiga dan keempat akan dibicarakan pada Bab lain.
Karena sipat datar merupakan metode penentuan beda tinggi yang paling teliti, maka
metode ini biasanya dikerjakan untuk menentukan ketinggian titik-titik kerangka dasar
pemetaan atau pekerjaan-pekerjaan rekayasa yang membutuhkan ketelitian yang tinggi.
5.1. Sipat Datar
Istilah sipat datar di sini berarti konsep penentuan beda tinggi antara dua titik atau
lebih dengan garis bidik mendatar/horizontal yang diarahkan pada rambu-rambu yang berdiri
tegak atau vertikal. Sedangkan alat ukurnya dinamakan penyipat datar atau waterpas.

Gambar 9.2. Prinsip penentuan beda tinggi dengan sipat datar

52

Keterangan gambar :
A dan B
: titik di atas permukaan bumi yang akan diukur beda tingginya
a dan b
: bacaan rambu atau tinggi garis mendatar / garis bidik di titik A dan B
HA dan HB
: ketinggian titik A dan B di atas bidang referensi
hAB
: beda tinggi antara titik A dan B
Beda tinggi antara A dan B dirumuskan sebagai :
(hAB) = a b .......................................................................................................(9.1)
Apabila (a-b) hasilnya positif (plus), maka dari A ke B berarti naik, atau B lebih tinggi
daripada A. Sebaliknya, apabila (a-b) negative (minus), maka dari A ke B turun atau B lebih
rendah daripada A.
Garis bidik adalah garis lurus (khayal) pada teropong. Untuk mendatarkan garis bidik,
dibutuhkan nivo tabung. Dengan demikian, selain teropong dan kelengkapan lain alat ukur
penyipat datar juga dilengkapi dengan nivo tabung untuk membantu mendatarkan garis
bidik. Tidak seperti teodolit, alat ukur penyipat datar hanya dapat diputar pada sumbu I
(sumbu vertikal) saja, tidak mempunyai sumbu II (sumbu horizontal). Untuk mematikan
gerakan pada sumbu I, alat dilengkapi dengan klem sumbu I dan skrup penggerak halus.
Alat ukur penyipat datar ada berbagai tipe, secara garis besar adalah sebagai berikut.

Gambar 5.3. Alat penyipat datar sederhana, tipe semua tetap tanpa skrup ungkit
.
1. Tipe semua tetap
a. Tanpa skrup ungkit (dumty level)
b. Dengan skrup ungkit (tilting level)
2. Tipe otomatis (automatic level)
3. Tipe sinar laser
4. Tipe elektronik

Gambar 5.4. Penyipat datar tipe semua tetap dengan skrup ungkit

53

Alat penyipat datar diproduksi oleh perusahaan yang memproduksi teodolit. Oleh
karenanya merknya juga sama.
Alat penyipat datar dengan skrup ungkit, teropongnya selain dapat digerakkan pada
sumbu vertical (gerakan menggeleng), juga dapat digerakkan sedikit ke atas dan ke bawah
(gerakan mengangguk) secara terbatas dengna menggunakan skrup ungkit. Alat ukur
penyipat datar teliti sebenarnya juga tergolong dalam tipe ini, tetapi nivonya jauh lebih
sensitive (harga sudut nivo kecil) dan dilengkapi dengan plat plan paralel yang dipasang di
depan lensa obyektif untuk mengatur penempatan garis bidik pada rambu ukur. Untuk
melihat apakah nivo berada dalam posisi seimbang atau tidak, dibuat sistem optis tertentu
sedemikian hingga bayangan gelombung nivo dapat dilihat langsung pada teropong secara
koinsiden seperti pada Gambar 5.5. di bawah.
Tipe baru yang sekarang berkembang luas di pasaran adalah tipe otomatis atau
automatic level, maksudnya apabila sumbu I telah vertical atau mendekati vertikal (dengan
kemiringan terbatas) garis bidik akan mendatar secara otomatis. Dalam hal ini, meskipun
setiap pabrik memiliki pemecahan yang berbeda-beda, namun prinsipnya menggunakan
prisma pendulum (gantung) yang akan selalu mencari posisi sesuai arah gaya beratnya.
Dengan demikian, apabila sumbu I sedikit miring, pendulum akan bergerak sesuai arah gaya
berat yang baru, dan garis bidik akan mendatar kembali seperti Gambar 9.6. jadi, alat yang
bertipe otomatis tidak lagi menggunakan nivo tabung untuk mendatarkan garis bidiknya.
Pada alat-alat yang baru, kiap (tribrach) juga dilengkapi dengan pembacaan lingkaran
horizontal, sehingga selain dapat digunakan untuk menentukan beda tinggi, akat juga dapat
digunakan untuk mengukur arahnya, sehingga dalam keadaan terbatas (lapangan relative
datar), alat tersebut dapat dipakai untuk pengukuran detil situasi.

Gambar 5.5 Bayangan gelembung nivo koinsiden


Sebagaimana teodolit, alat penyipat datar juga memerlukan statip untuk dari berdiri di
lapangan, serta rambu ukur untuk pembacaan tinggi garis bidik di titik yang akan diukur beda
tingginya. Rambu ukur juga bermacam-macam ; ada yang terbuat dari kayu, metal, atau
aluminium dan ada pula yang terbuat dari invar untuk pengukuran teliti. Konstruksinya ada
yang dapat dilipat dengan sistem engsel, ada yang dilipat ke dalam atau teleskopik, ada
yang satu batang penuh. Panjang rambu umumnya 3 m, walaupun ada pula yang 4 m
bahkan 5 m. agar dapat berdiri tegak di lapangan, rambu dibantu dengan nivo rambu, dan
juga sepatu rambu serta statip rambu untuk pengukuran teliti.

54

Keterangan gambar:
1. Garis bidik
2. Ronsel lensa tengah
3. Prisma
4. Prisma pendulum
5. Lensa obyektif
6. Lensa okuler
7. Sumbu vertika (I)
8. Skrup
penyetel
(ABC)
9. Plat dasar (tatakan)
10. Lensa sentral/tengah
Gambar 9.6. Penyipat datar otomatis Zeiss Ni-2 dan prisma pendulum
5.2. Syarat-Syarat Pemakaian Alat Ukur Penyipat Datar
Dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat khususnya dalam peralatan ukur
tanah, persyaratan dan cara pemakaian alat ukur menjadi semakin sederhana. Namun
demikian, andaikata kita telah dapat mengatur alat tipe lama atas tipe semua tetap, alat ukur
yang modern akan menjadi lebih mudah lagi digunakan.

Gambar 9.7. Macam-macam rambu peyipat datar. a,c,e adalah rambu invar
Agar dapat digunakan di lapangan, alat ukur penyipat datar harus memenuhi beberapa
syarat tertentu, baik syarat utama yang tak dapat ditawar-tawar lagi maupun syarat
tambahan yang dimaksudkan untuk memperlancar pelaksanaan pengukuran di lapangan.
Adapun syarat-syarat pemakaian alat penyipat datar pada umumnya adalah :
a. Syarat dinamis : sumbu I vertical.
b. Syarat statis
1. Garis bidik teropong sejajar dengan garis arah nivo
2. Garis arah nivo tegak lurus sumbu I (sumbu vertikal)
3. Garis mendatar diafragma tegak lurus sumbu I
Urutan persyaratan statis memang demikian. Namun agar pengaturannya lebih
sistematis dan tidak berulang-ulang, urutan pengaturannya dibalik dari poin 3 ke 1.

55

5.2.1. Mengatur Garis Mendatar Diafragma Tegak Lurus Sumbu I


Pada umumnya garis mendatar (benang silang mendatar) telah dibuat tegak lurus
sumbu I oleh pabrik yang memproduksi alat ukur. Namun untuk mengetahui apakah hal
tersebut masih tetap atau telah berubah, dilakukan percobaan sebagai berikut.

Gambar 9.8. Benang silang belum mendatar


Pasang alat ukur sipat datar di atas statif dan buat sumbu I vertikal dengan mengatur
nivo kotak dengan skrup ABC. Bidikkan teropong pada tembok dan beri tanda di tembok titik
yang berimpit dengan ujung kiri benang silang mendatar. Apabila bayangan titik tetap berada
pada benang silang mendatar, berarti benar silang mendatar telah tegak lurus sumbu I.
sebaliknya apabila benang sumbu I, maka bayangan titik tersebut akan berjalan di luar
benang silang. Cara koreksi, kendorkan semua skrup koreksi diafragma dengan pen koreksi,
kemudian diafragma diputar hingga benang silang horizontal betul-betul mendatar, dan
kencangkan kembali skrup koreksi.
9.2.2. Mengatur Garis Arah Nivo Tegak Lurus Sumbu Bertikal (I)
Pada alat ukur penyipat datar tipe semua tetap tanpa skrup ungkit, syarat ini penting
sekali. Namun pada alat dengan skrup ungkit, syarat ini agak sedikit longgar karena apabila
ada sedikit pergeseran nivo dalam pengukuran, dapat diseimbangkan dengan skrup ungkit
ini. Adapun cara mengatur agar garis arah nivo tegak lurus sumbu I, prosedurnya sama
dengan membuat sumbu I vertikal pada teodolit dengan nivo tabung alhidade horizontal
(subbab 6.3.2.).
Adapun maksud dari persyaratan ini adalah apabila sumbu I telah dibuat vertikal, ke
mana pun teropong diputar, gelembung nivo akan tetap seimbang. Ini berarti garis bidik
selalu mendatar karena garis bidik telah dibuat sejajar dengan garis arah nivo (subbab
5.2.3.).
5.2.3. Membuat Garis Bidik Sejajar Garis Arah Nivo
Pada penyipat datar, yang diperlukan adalah garis bidik mendatar. Masalahnya, kita
tidak dapat mengerti secara langsung apakah garis bidik sudah betul-betul mendatar atau
tidak. Hal ini dapat dibantu dengan nivo tabung. Jika gelembung nivo seimbang, garis arah
nivo pasti mendatar. Dengan demikian jika kita bias membuat garis bidik sejajar dengan
garis arah nivo, maka pada saat nivo seimbang, garis bidik akan mendatar.

56

Untuk mengetahui apakah garis bidik pada suatu alat penyipat datar sudah sejajar
dengan garis arah nivo atau belum dan sekaligus mengoreksinya, dapat dilakukan beberapa
cara, antara lain sebagai berikut.
1. Buat tiga buah penggal garis sama panjang dalam satu garis lurus di lapangan Misal
ditandai dengan titik A, B, C, D masing-masing berjarak 10 m.
2. Dirikan rambu vertikal di A dan C, ukur beda tingginya dengan penyipat datar distel di
atas titik B. saat membidik rambu di A dan C, atur agar gelembung nivo tabung selalu
seimbang atau di tengah. Jika garis bidik belum sejajar garis arah nivo, maka yang
terbaca di rambu A menjadi a1 dan di rambu C menjadi c1. Jika garis bidik sudah sejajar
garis arah nivo (garis bidik mendatar), akan terbaca ao dan co. Beda tinggi antara A dan C
terbaca a1-c1, maka beda tinggi tersebut salah, karena seharusnya adalah a o co. akan
tetapi karena jarak AB BC, maka a1 c1 = ao co-.
3. Pindahkan alat ukur ke titik D sebagaimana langkah (2) di atas. Baca rambu di C dan A
dengan posisi nivo teropong seimbang. Apabila garis bidik telah sejajar garis arah nivo,
maka bacaan rambu di A dan C masing-masing a 3 dan c3, tetapi karena ada kesalahan,
yaitu garis bidik belum sejajar garis arah nivo, maka akan terbaca masing-masing a2 dan
c2. Kesimpulannya adalah apabila a2 c2 tidak sama dengan a1 c1, berarti garis bidik
belum sejajar garis arah nivo. Kesalahan yang terjadi pada rambu A adalah dari a2 a3
dan pada rambu C dari c2 c3, yang besarannya akan kita cari sebagai besaran koreksi.
4. Buat garis pertolongan dari c2 mendatar ke rambu A. Misal pembacaan di rambu A = a 4,
maka pembacaan a4 ini = c2 + (a1 c1). Dengan demikian jarak dari a2 ke a4 = a2 {c2 +
(a1 c1)} missal x, dan dari a4 ke a3 = y.

Gambar 5.9. Membuat garis bidik sejajar dengan garis arah nivo
Segitiga a2 . c2 dan segitiga a2 . a3 . D adalah sebangun, sehingga :
x + y : x = 3 : 2, sehingga
x+y
= 3/2 x
= 3/2 { (a2 - c2) (a1 c1)}
Karena bacaan-bacaan tersebut ada, maka x + y = K dapat dihitung.
5. Pelaksanaan koreksi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
a. Untuk alat tipe semua tetapi tanpa skrup ungkit
Arahkan garis bidik pada angka (a2 K) pada rambu A dengan memutar sikrup koreksi
diafragma atas dan bawah dengan pen koreksi dan gelembung nivo tetap seimbang.
b. Untuk alat tipe semua tetap dengan skrup ungkit
Koreksi untuk alat tipe semua tetap dengan skrup ungkit dapat dilakukan dengan dua
cara :

57

1. Koreksi sama seperti pada tipe tanpa skrup ungkit seperti poin a di atas.
2. Arahkan garis bidik apda angka (a2 K) pada rambu A dengan memutar skrup
ungkit, sehingga gelembung nivo teropong menjadi tidak seimbang, kemudian
diseimbangkan kembali dengan memutar skrup koreksi nivo dengan pen koreksi.
Catatan : pada alat ukur penyipat datar tipe otomatis, kesalahan garis bidik masih
dimungkinkan ada sehingga perlu dicek dan dibetulkan, dan prosedur koreksinya sama
dengan pada alat tipe semua, tetap tanpa skrup ungkit.
5.3. PENGUKURAN BEDA TNIGGI ANTARA DUA BUAH TITIK
Jarak bidik optimum alat penyipat datar berkisar antara 40-60 m, sehingga apabila dua
buah titik yang akan diukur beda tingignya cukup dekat dan relatif datar, maka pengukuran
dapat dilakukan dengan beberapa kemungkinan seperti pada gambar berikut.

Gambar 9.10. Pengukuran beda tinggi antara dua buah titik yang relative dekat
Apabila alat didirikan di antara dua buah rambu, maka antara dua buah rambu
dinamakan slag yang terdiri dari bidikan ke rambu muka dan rambu belakang. Selain garis
bidik atau benarn tengah (BT), pada umumnya teropong dilengkapi dengan benar stadia
yaitu benang atas (BA) dan benang bawah (BB). Selain untuk pengukuran jarak optis,
pembacaan BA dan BB juga untuk control pembacaan benang tengah (BT) di mana
seharusnya pembacaan BT = (BA + BB).
Apabila jarak antara dua buah titik yang akan diukur beda tingginya relatif jauh, maka
dilakukan pengukuran berantai atau sipat datar memanjang. (diferential leveling).
5.4. PENGUKURAN SIPAT DATAR BERANTAI
Jika jarak antartitik control pemetaan relatif jauh, pengukuran beda tinggi dengan
penyipat datar tak dapat dilakukan dengan satu kali berdiri alat. Oleh karena itu antara dua
buah titik control yang berurutan dibuat beberapa slag dengan titik-titik bantu dan
pengukurannya dibuat secara berantai (differential leveling).
Seperti halnya pengukuran jarak dan sudut, pengukuran beda tinggi juga tidak cukup
dilakukan dengan sekali jalan, tetapi dibuat pengukuran pergi-pulang, yang pelaksanaannya
dapat dilakukan dalam satu hari (dinamakan seksi), serta dimulai dan diakhiri pada titik tetap.
Gabungan beberapa seksi dinamakan trayek.

58

Gambar 5.11. Pengukuran sipat datar berantai


Keterangan gambar :
A dan B
: titik tetap yang akan ditentukan beda tingginya
1,2,3,4,.
: titik titik bantu pengukuran
a1,a2,a3
: bacaan rambu belakang
b1,b2,b3 .
: bacaan rambu muka
pada gambar di atas, A dan B adalah titik yang akan ditentukan beda tingginya.
Karena jarak keduanya cukup jauh, maka dibuat beberapa slag. Beda tingginya adalah
kumulatif dari beda tinggi setiap slag, yaitu :
hA1 = a1 b1
h12 = a2 b2
h23 = a3 b3
-------------------------- hAB = h = a ...............................................................................(9.2)
Dalam hal ini : S
a
: jumlah pembacaan rambu belakang
b
: jumlah pembacaan rambu muka
h
: beda tinggi setiap slag
Karena data pembacaan cukup banyak, agar nantinya tidak menimbulkan kesulitan
perhitungan, data ditulis secara sistematis dalam buku ukur atau lembaran formulir
pengukuran seperti contoh pada halaman berikut.
Pembacaan angka pada rambu adalah dalam milimeter, sehingga angka terdiri dari 4
digit tanpa tanda koma. Sebagai missal, untuk menghilangkan kerancuan angka 17 mm
sebaiknya ditulis 0017. Tuliskan garis urut dan sistematis, serta sejelas mungkin. Apabila ada
salah tulis sebaiknya dicoret saja yang salah dan pembetulan ditulis di atasnya atau
disampingnya dengan jelas. Jangan menggunakan alat tulis yang mudah terhapus (misal
pensil 2B), tetapi gunakan pensil yang keras (2H) atau ballpoint.
Selain dengan pengukuran pergi-pulang, pengukuran sipat datar berantai kadangkadang dilakukan dengan dua kali berdiri alat pada setiap pengukuran beda tinggi tiap slag
(double stand). Namun cara ini tidak dianjurkan.
5.5. PENGUKURAN SIPAT DATAR TELITI
Untuk keperluan pengadaan jaringan-jaringan tinggi nasional maupun kerangka kontrol
vertikal/ tinggi pada pemetaan dan pekerjaan rekayasa yang membutuhkan ketelitian yang
tinggi, diperlukan pengukuran sipat datar teliti. Untuk itu diperlukan alat ukur penyipat datar
yang teliti dengan ciri-ciri antara lain :
1. Sensitivitas nivo atau pendulum tinggi (harga sudut nivonya kecil)
2. Perbesaran bayangan teropong lebih besar (20 s/d 30 kali)
3. Dilengkapi dengan plat planparalel

59

4. Menggunakan rambu invar, sepatu rambu dan nivo rambu.


Rambu invar adalah rambu yang garis-garis angkanya dituliskan pada plat invar
(campuran besi dan nikel). Plat ini tahan terhadap perubahan suhu udara karena koefisien
muainya sangat kecil. Pada rambu ini angka rambu terdiri dari dua sisi kanan dan kiri,
sehingga saat pembidikan ke rambu akan didapat dua bacaan kanan dan kiri, sekaligus
dipakai sebagai kontrol pembacaan.

Gambar 5.12. Penyipat datar teliti, plat planparalel dan pembacaan pada rambu invar.
Plat planparalel adalah sebuah prisma datar yang dipasang di depan lensa obyektif
dan dapat diputar-putar pada sumbu mendatar untuk mengatur penempatan garis bidik pada
garis pembagian rambu ukur. Perputaran plat planparalel ini dapat dibaca pada tromol, untuk
mendapatkan bacaan rambu sampai 1/100 mm.
Pada pengukuran sipat datar teliti, bacaan rambu tidak boleh terlalu rendah minimal
0,5 m di atas permukaan tanah. Rambu harus diberi sepatu dan berdiri tegak dengan statip
dan nivo rambu. (Gambar 9.7 dan Gambar 9.16).
5.6. PERATAAN BEDA TINGGI UKURAN SIPAT DATAR
Apabila pengukuran beda tinggi pada satu slag diukur pergi-pulang atau dua kali, akan
didapat beda tinggi pergi (hpg) dan beda tinggi pulang (hpl) yang besarnya tidak selalu
sama. Beda tinggi definitifnya adalah rata-rata dari hpg dan hpl atau secara matematis :

h pg h pt
2
hrata-rata atau (hr) =
...................................................................(9.3)
Pada pengukuran sipat datar berantai, pengukuran setiap seksi juga dilakukan pergi
dan pulang, sehingga pada umumnya tidak menghasilkan angka beda tinggi yang sama.
Selisih dari padanya serta jarak antaranya, akan menentukan apakah ukuran beda tinggi
tersebut diterima atau tidak. Angka atau besaran yang menyatakan bahwa beda pengukuran
pergi dan pulang suatu ukuran diterima atau tidak diterima dinamakan toleransi. Apabila
selisih pengukuran pergi dan pulang lebih kecil atau sama dengan () toleransi, maka
pengukuran tersebut diterima. Sebaliknya apabila lebih besar (>) dari toleransi, akan ditolak
atau tidak diterima, yang berarti pengukuran harus diulangi lagi. Besar toleransi ini
ditentukan oleh tingkat pengukuran sipat datar pergi pulang. (9.8).
Apabila pengukuran pergi-pulang lebih kecil (<) dari toleransi (diterima), maka beda
tinggi definitif antara keduanya adalah rata-rata antara beda tinggi pergi dan pulang,

60

sebagaimana Rumus 9.3 di atas. Selisih hpg atau hpl dikoreksi sebanding dengan jarakjaraknya, atau :

hi

di
x fh
d
.............................................................................................(9.4)

di sini :
hi
di
d
fh

:
:
:
:

koreksi beda tinggi slag ke i


jarak slag ke i
jumlah jarak dalam seksi
kesalahan atau penyimpangan pengukuran.

Apabila pengukuran terdiri dari beberapa seksi dan berbentuk tertutup (loop/sircuit),
maka persyaratan untuk setiap seksi sendiri harus toleransi, demikian pula untuk syarat
pengukuran tertutup juga harus toleransi. Untuk pengukuran yang berbentuk tertutup,
selain syarat di atas, juga ada syarat lain yaitu jumlah beda tinggi rata-rata loop seksi harus
sama dengan nol, atau:
hRS = 0 (9.5)
Apabila tidak sama dengan nol, maka besaran tersebut dinamakan kesalahan penutup
beda tinggi atau fH. Apabila harga fH ini toleransi, maka pengukuran diterima, dan untuk
memenuhi syarat (9.5) maka beda tinggi rata-rata setiap seksi dikoreksi sebesar :

H i

Di
x fH
D
.....................................................................................................(9.6)

di sini :
Hi
Di
D
fH

:
:
:
:

koreksi beda tinggi slag ke I


jarak slag ke i (jarak rata-rata pergi-pulang)
jumlah jarak pengukuran tertutup.
kesalahan penutup tinggi.

Koreksi setiap seksi yang didapat digunakan untuk mengoreksi setiap slag
sebagaimana Rumus 9.4 di atas. Apabila bentuk pengukurannya berupa jaring-jaring dengan
berbagai distribusi titik ikat, maka perataannya menggunakan ilmu hitung perataan (kuadrat
terkecil) maupun metode lain di luar buku ini.
5.7. SUMBER KESALAHAN DAN CARA MENGATASI
Walaupun sebelum pengukuran peralatan telah dikoreksi dan syarat-syarat lain telah
dipenuhi, namun karena hal-hal yang tak terduga sebelumnya, kesalahan-kesalahan yang
lain tetap dapat terjadi, yang menurut sumbernya adalah sebagai berikut :
1. Bersumber dari alat ukur, antara lain :
a. Garis bidik tidka sejajar garis arah nivo
b. Kesalahan titik nol rambu
c. Rambu tidak betul-betul vertikal
d. Penyinaran pada alat tidak merata
2. Bersumber dari sisi pengukur, antara lain :
a. Kurang paham tentang pembacaan rambu
b. Mata cacat atau lelah

61

c. Kondisi fisik yang lemah


d. Pendengaran yang kurang
3. Bersumber dari alam, antara lain :
a. Kelengkungan permukaan bumi
b. Refraksi sinar
c. Undulasi
d. Kondisi tanah tidak stabil
Setiap kesalahan di atas perlu dikaji agar kita dapat menemukan cara menghindarinya.
5.7.1. Kesalahan Garis Bidik Tidak Sejajar Haris Arah Nivo
Akibat kesalahan ini, garis bidik akan menjadi miring: pada pengukuran.

Gambar 9.13. Kesalahan garis bidik tidak sejajar garis arah nivo
Satu slag pembacaan rambu belakang yang seharusnya terbaca ao menjadi a1,
demikian pula pembacaan rambu muka yang seharusnya ao menjadi b1.
Akibatnya, beda tinggi antara A dan B (hAB) yang seharusnya (ao - bo) menjadi (a1
b1). Pergeseran angka pembacaan rambu garis bidik ke belakang = a1 a0, dan untuk rambu
muka = b1 b0. Karena sudut kemiringan garis bidik ke belakang dank e muka sama besar a1
a0 akan sama dengan b1 b0 akan sama dengan b1 b0 apabila jarak alat ukur ke rambu
belakang sama dengan jarak alat ukur ke rambu muka. Dengna kata lain, pengaruh garis
bidik yang tidak sejajar dengan garis arah nivo akan hilang dengan cara membuat jarak alat
ukur ke rambu muka sama dengan jarak alat ukur ke rambu belakang.
Pada pengukuran sipat datar berantai yang merupakan gabungan dari berapa slag,
ketentuan ini juga berlaku atau jumlah jarak ke rambu belakang sama dengan jumlah jarak
ke rambu muka. Artinya, tidak harus jarak sumbu muka sama dengan jarak ke rambu
belakang pada setiap slag. Cara yang terakhir ini tidak berlaku apabila titik-titik akan dihitung
pula ketinggiannya.
9.7.2. Kesalahan Titik Nol Rambu
Kesalahan ini bias terjadi dari pabrik, namun bias pula terjadi karena alas rambu yang
aus dimakan usia atau sebab yang lain. Missal kedua rambu yang dipakai dalam
pengukuran keduanya salah, masing-masing sebesar 2 bertanda positif (misal karena
kesalahan dari pabrik). Akan kita lihat pengaruhnya pada pengukuran berantai, di mana
pada pengukuran berantai biasanya kedudukan rambu akan dibuat berselang-seling, dari
rambu muka pada slag sebelumnya menjadi rambu belakang pada slag berikutnya, demikian
pula sebaliknya.

62

Pada gambar di bawah, beda tinggi pada slag pertama :


Beda tinggi yang sebenarnya antara 1 dan 2 = h12 = a0 b0
Dari pembacaan rambu : h12 = (a0 + 1) - (a0 + 2)
= (a0 + b0) - (1 + 2)

Gambar 9.14. Pengaruh kesalahan titik nol rambu


Beda tinggi antara titik 2 dan 3 :
h23 sebenarnya
= c0 d0
h23 dari pembacaan =c d
= (c0 - 2) - (c0 - 1)
= (c0 d0) - (1 - 2)
Beda tinggi (h) antara titik 1 dan 3 = h12 + h23
h13 yang sebenarnya = (a0 b0) - (c0 - d1)
h13 dari pembacaan rambu
= (a0 b0) - (1 - 2) + (c0 d0) - (1 - 2)
= (a0 b0) - (c0 d0)
Beda tinggi antara titik 3 dan 4 (h34) :
h34 yang sebenarnya
= e0 f0
h34 dari pembacaan rambu = e f
= (e0 + 1) (d0 - 2)
= (e0 + f0) (0 - 2)
Beda tinggi antara titik 1 dan 4 (h14) :
h14 yang sebenarnya
= h12 + h23 + h34
h14 dari pembacaan rambu
= (a0 b0) + (c0 d0) + (e0 f0)
(1 2)
Dengan demikian akan terlihat bahwa untuk beda tinggi satu slag akan muncul + (1
2), untuk dua slag tidak muncul, tiga slag muncul lagi dan untuk empat slag tidak muncul
lagi, demikian seterusnya, kalau ganjil muncul dan kalau genap tidak muncul.
Kesimpulannya, titik nol rambu pengaruhnya akan hilang apabila jumlah slag dibuat genap.
5.7.3. Kesalahan Karena Rambu yang Tidak Betul-Betul Vertikal
Misal rambu kesatu dengan kemiringan 1, rambu kedua dengan kemiringan 2, dan
pembacaan pada masing-masing rambu a dan b. Pada rambu vertikal akan terbaca.

63

Gambar 9.15. Kesalahan karena rambu tidak vertikal

a
b
dan bo
cos 1
cos 2 ..............................................................................(9.7)
ao =
sehingga beda tinggi antara titik 1 dan 2 yang benar : .

a
b

cos s1 cos s 2
ao-bo =

Gambar 9.16. Nivo rambu dan alas rambu


5.7.4. Kesalahan Karena Penyinaran Yang Tidak Merata
Sinar matahari yang jatuh tidak merata pada alat ukur sipat datar akan menyebabkan
panas dan pemuaian pada alat penyipat datar yang tidak merata pula, khususnya nivo
teropong, sehingga pada saat gelembung seimbang, garis arah nivo tidak mendatar dan
garis bidik juga tidak mendatar. Untuk menghindari keadaan semacam ini sebaiknya alat
ukur dipayungi agar tidak langsung terkena sinar matahari.
9.7.5. Kesalahan Karena Kurang Paham Tentang Pembacaan Rambu
Sebelum pengukuran dilakukan, seharusnya para surveyor sudah betul-betul paham
terhadap sisitem pembacaan rambu agar kesalahan jenis ini tidak terjadi Kesalahan ini
biasanya akan menimbulkan blunder atau kesalahan besar. Missal angka 6 dibaca 9, kolom
ke-7 pada rambu dikira kolom ke-2, sehingga misal 1273 dibaca 1223.
Untuk menghindari kesalahan ini, pembacaan dikontrol dengan pembacaan benang
atas (BA) dan benang bawah (BB) di mana BT (BA +BB).
5.7.6. Kesalahan Karena Mata Catat Atau Lelah
Apabila pengamat mempunyai cacat mata (minus atau plus), pada saat mengamati
melalui teropong seharusnya pengamat menggunakan kacamata yang sesuai sehingga tidak
timbul kesalahan pembacaan.

64

Pada umumnya pengamat senang menggunakan satu mata pada saat mengamati dan
mata yang lain dipicingkan. Akibatnya, lama-kelamaan mata akan menjadi lelah
sehinggadaya penglihatannya menjadi berkurang. Demikian pula, perkiraan pembacaannya
menjadi kasar.
Untuk menghindari kesalahan ini sebaiknya mata yang cacat menggunakan kacamata
dan pengamatan dilakukan dengan mata secara bergantian. Mata yang sedang tidak
digunakan untuk membidik tidak perlu dipejamkan atau dipicingkan.
5.7.7. Kesalahan Karena Kondisi Fisik yang Lemah
Apabila pengamat kondisi fisiknya melemah, daya pemisah dari mata dalam membaca
rambu juga akan menjadi kasar atau kurang teliti. Hal ini biasanya terjadi karena lapar atau
haus serta menurunnya kesehatan pengamat. Untuk menghindari keadaan yang demikian,
survetor perlu istirahat di tengah hari, makan teratur dan selalu menjaga kondisi tubuh.
5.7.8. Kesalahan Karena Pendengaran yang berkurang
Pada pengukuran yang dilakukan oleh dua orang di mana seorang sebagai pengamat
dan seorang yang lain sebagai pencatat atau rekorder, pengamat harus membaca rambu
dan didengarkan oleh si pencatat data. Apabila pendengaran pencatat kurang baik, biasa
terjadi yang diucapkan oleh pengamat akan lain dengan didengar oleh pencatat, misal satu
lima satu lima terdengar satu lima lima.
5.7.9. Kesalahan Karena Kelengkungan Permukaan Bumi
Pada awal bab ini telah dikemukakan bahwa bidang nivo adalah bidang lengkung
seperti halnya permukaan bumi, sedang garis bidik adalah mendatar.
Pada Gambar 5.17, alat ukur di A dan berdiri vertical, demikian pula rambu di B. Garis
CA dan EB tegak lurus permukaan bumi kea rah pusat bumi P. Garis CD adalah bidang nivo
yang melalui C dan memotong rambu di D. Garis CE mendatar melalui teropong memonotng
rambu di E. Jarak ED = kesalahan karena kelengkungan permukaan bumi. Karena tinggi
alat dan tinggi pembacaan rambu sangat kecil bila dibandingkan dengna jari-jari bumi ratarata (6.378 km), maka jarak CP dan DP kita namakan R = (R A + RB). Dalam ECP sikusiku di C, terdapat hubungan :
EP2 = CP2 + CE2
Atau
(ED + DP)2 = CP2 + CE2
Atau
( + R)2 = R2 + s2 2 + 2R + R2 = R2 + s2
Karena 2 kecil dan diabaikan, maka :

s2
2 R .................................................................................................................(9.8)

Dari persamaan di atas terlihat bahwa pengaruh kelengkungan permukaan bumi


sebanding dengan kuadrat jarak dua titik yang bersangkutan. Hubungan antara s dan kirakira sebagai berikut :
s : 50 m
100 m
200 m
500 m 1 km
10 km

65

: 0,2 mm

0,78 mm

3,1 mm

1,96 cm

7,85 cm

7,85 m

Gambar 5.17. Kesalahan Karena kelengkungan permukaan bumi dan refraksi


Karena jarak bidik optimum teropong penyipat datar kurang dari 100 m, maka
pengaruh kesalahan untuk pengukuran yang tidak teliti sekali dapat diabaikan dan pengaruh
kesalahan ini dapat dihilangkan dengan membuat jarak rambu muka sama dengan jarak
rambu belakang.
5.7.10. Kesalahan Karena Refraksi Sinar
Permukaan bumi diselimuti dengan lapisan-lapisan udara yang ketebalannya tidak
sama karena suhu dan tekanan yang tidak sama. Hal ini akan mengakibatkan sinar yang
sampai pada teropong dari obyek yang dibidik akan menjadi melengkung ke atas sehingga
yang terbaca menjadi terlalu besar. Oleh karenanya koreksi menjadi minus. Bentuk
koreksinya adalah :

s2
c
2 R ...........................................................................................................(9.9)
Di sini = koefisien rekraksi, dapat diambil rata-rata 0,14.
Umumnya kesalahan refraksi digabungkan dengan kelengkungan bumi menjadi :

s2
= - (1 - ) 2 R ..............................................................................................(9.10)
di sini :
s : jarak alat ukur ke rambu
: koefisien refreakssi
R : jari-jari bumi rata-rata
P : koreksi kelengkungan bumi dan refraksi
Hubungan besaran kesalahan kombinasi antara kelengkungan bumi dan refraksi
dengan jarak alat ukur ke rambu dapat dituliskan sebagai berikut :
s : 10 m 20 m 30 m 40 m 50 m 60 m 70 m 80 m

66

p : 0,02 mm
1,00 mm

0,07 mm

0,15 mm

0,27 mm

0,42 mm

0,60 m m 0,81 mm

5.7.11. Kesalahan Karena Undulasi


Pada tengah hari yang panas antara pukul 11 sampai pukul 14 sering terjadi undulasi,
yaitu udara di permukaan bumi yang bergerak naik karena panas (fatamorgana). Jika rambu
ukur didirikan di tempat yang demikian, maka apabila dibidik dengan teropong akan
kelihatan seolah-olah rambu tersebut bergerak bergelombang, sehingga sukar sekali untuk
menentukan angka mana yang berimpit dengan garis bidik atau benang silang. Sehingga
apabila terjadi undulasi sebaiknya pengukuran dihentikan.
5.7.12. Kesalahan Karena Kondisi Tanah Tidak Stabil
Akibat kondisi tanah tempat berdiri alat atau rambu tidak stabil, maka setelah
pembidikan ke rambu belakang, pengamat pindah posisi untuk mengamat ke rambu muka
ketinggian alat atau statip akan mengalami perubahan sehingga beda tinggi yang didapat
akan mengalami kesalahan.
Apabila kondisi semacam ini di tempat berdiri rambu, maka pada saat rambu dibalik
dari rambu muka menjadi rambu belakang akan mengalami pula perubahan ketinggian.
Adapun cara menghindari kesalahan ini yaitu dengan memilih tempat berdiri alat dan
rambu yang betul-betul stabil dan rambu diberi alas atau sepatu rambu.
5.8. TINGKAT KETELITIAN PENGUKURAN SIPAT DATAR
Ketelitian pengukuran sipat datar dapat ditentukan berdasarkan suatu bilangan yang
menyatakan besarnya kesalahan menengah untuk setiap kilometer sipat datar tunggal, yang
dinyatakan dengan rumus :

h2
D
2n

=
.....................................................................................................(9.11)
di sini : : kesalahan menengah tiap km sipat datar
h : selisih beda tinggi pengukuran pergi pulang
n : jumlah seksi
D : panjang / jarak seksi dalam km
Kesalahan menengah dapat dihitung dari :
a. Selisih antara pengukuran pergi-pulang tiap seksi
b. Selisih antara pengukuran pergi-pulang tiap trayek
c. Kesalahan penutup dari sipat datar keliling
Kesalahan menengah pukul rata pengukuran pergi-pulang dinyatakan dengan
rumus :

m=

2
2 .........................................................................................................(9.12)

67

Untuk sipat datar tingkat pertama m harus <1 mm, dan untuk tingkat yang lain antara
1-3 mm. berdasarkan batas toleransi kesalahan menengah pengukuran pergi-pulang
dinyatakan dengan rumus :

2 2

ms =
......................................................................................................(9.13)
berdasarkan statistika toleransi yang diperbolehkan untuk pengukuran pergi-pulang
adalah 3 ms sehingga dari pernyataan tersebut di atas, tingkat ketelitian pengukuran sipat
datar pergi-pulang dapat dibagi menjadi 5 tingkatan, yaitu :
1. Pengukuran sipat datar tingkat 0 (Zero Order Levelling), yaitu pengukuran sipat dapat
pergi-pulang dimana selisih beda tinggi antara pengukuran pergi-pulang 2 mm D
(D = jarak dalam km)
2. Pengukuran sipat datar tingkat I (1st order leveling) yaitu pengukuran sipat datar pegipulang dimana selisih beda tinggi antara pengukuran pergi pulang 8 mm D (D =
jarak dalam km).
3. Pengukuran sipat datar tingkat II (2nd order leveling) yaitu pengukuran sipat datar pergipulang dimana selisih beda tinggi antara pengukuran pergi-pulang 8 mm D
4. Pengukuran sipat datar tingkat III (3rd order leveling) yaitu pengukurang sipat datar pergipulang dimana selisih beda tinggi antara pengukuran pergi-pulang 12 mm

D .

5. Pengukuran sipat datar tingkat yang lebih rendah dari 12 mm D


Apabila tingkat ketelitian pengukuran sipat datar telah memenuhi syarat yang ditentukan,
maka besarnya kesalahan penutup beda tinggi diratakan pada setiap slag atau seksi
sebanding dengan jarak-jaraknya.
5.11. PENGUKURAN SIPAT DATAR PROFIL
Pada pekerjaan-pekerjaan rekayasa seperti perencanaan jalan raya, jalan kereta api,
saluran irigasi, lapangan udara dll, sangat dibutuhkan bentuk profil atau tampak pada arah
tertentu untuk perencanaan kemiringan sumbu proyek, maupun hitungan volume galian atau
timbunan tanah dan lain-lain.
Pengukuran profil umumnya dibedakan atas profil memanjang searah dengan sumbu
proyek dan profil melintang dengan arah memotong tegaklurus sumbu proyek pada interval
jarak yang tertentu.
Karena profil memanjang variable jarak biasanya lebih besar dari variable tinggi, maka
dalam penggambaran, skala jarak lebih kecil dari skala tinggi, pada umumnya
sepersepuluhnya (1/10). Sedangkan untuk gambar profil melintang umumnya skala jarak dan
tinggi dibuat sama, namun jumlah gambarnya biasanya jauh lebih banyak.
Profil memanjang diukur dengan sipat datar memanjang, sedang profil melintangnya
dibuat untuk menentukan tinggi titik-titik detil dengan pertolongan tinggi garis bidik. Tinggi
garis bidik di titk A adalah tinggi titik tersebut terhadap bidang nivo ditambah dengan
pembacaan benang tengah pada rambu ukur yang didirikan pada titik detil tersebut. Tinggi
titik-titik detil lainnya adalah tinggi garis bidik pada titik A dikurangi dengan pembacaan
rambu pada titik-titik yang bersangkutan.
Tinggi garsi bidik pada titik A adalah : HA + ha
Tinggi titik B : HB = (HA + Ha) - hb

68

Tinggi titik I : HI = (HA + ha) h1 bila ha = tinggi alat ukur


Prinsip hitungan sipat datar profil memanjang dan melintang sama dengan sipat datar
memanjang. Akan tetapi profil memanjang dan melintang sama dengan sipat datar
memanjang. Akan tetapi dalam pengukuran profil, detil-detil yang diukur dipilih sedemikian
hingga dapt mewakili bentuk permukaan tanah yang diukur. Hanya pada profil memanjang,
kadang-kadang interval jarak antar detil sudah ditentukan sebelumnya, misal setiap 10 m, 25
m, 50 m dan yang lain, tergantung macam proyeknya. Dengan diketahuinya ketinggian titik
awal terhadap bidang referensi tertentu, maka ketinggian titik-titik yang lain dapat dicari.
Jarak titik-titik detil pada profil memanjang biasanya diukur langsung dengan pita ukur dan
titik-titiknya (stadium) telah diberi identitas berupa patok kayu beserta nomor-nomornya.

Gambar 5.20. Pengukuran tinggi titik detil dengan pertolongan garis bidik

5.11.1. Pengukuran profil memanjang


Misal dari A ke B akan diukur profil memanjang untuk setiap interval 10 m yaitu titik
1,2,3, . n, B, dan pada setiap titik tersebut akan diukur pula profil melintangnya, seperti
pada gambar 9.21.
Apabila permukaan tanah titik begitu besar beda tingginya, maka alat pertama kali
berdiri bias berada di antara titik 3 dan 4 sebagai rambut awal (belakang) di A dan rambu
muka di titik 6, sedang titik 1,2,3,4,5 diukur sebagai detil dalam slag pertama. Pada slag
kedua, rambu di titik 6 sebagai rambu belakang dan rambu muka di titik 12, titi 7,8,9,10,11
sebagai detil. Namun apabila beda tingginya besar, mungkin satu slag malah hanya antara
dua nomor titik yang berurutan.

Gambar 9.21. Pengukuran profil memanjang


Rambu dibaca secara lengkap, artinya dibaca ketiga benangnya yaitu BA, BT dan BB
nya dan dicatat dalam formulir ukur yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Missal tinggi titik A = 100 m
hA1 = btA-bt1 H1 = 100 + hA1
hA2 = btA-bt2 H2 = 100 + hA2
hA3 = btA-bt3 H3 = 100 + hA3
- -

69

- - hA6 = btA-bt6 H6 = 100 + hA6


Penggambaran profil memanjang :
Setelah data pengukuran dioalah (dihitung) dan ketinggian semua titik stasiun telah
diketahui di atas bidang referensi serta jarak-jaraknya, maka profil memanjang dapat
digambarkan. Bidang referensi terdekat yang dijadikan dasar penggambaran semua titik
ditentukan dahulu, kemudian digambar di atas keras millimeter. Posisi mendatar (sumbu X)
untuk jarak horizontal antar titik dengan skala yang telah ditentukan (misal 1:1000) dan
kearah tegak (sumbu Y) untuk ketinggian dengan skala yang 10x skala horizontal (missal
1:100). Kemudian dari gambar ketinggian titik-titik tersebut dihubungkan secara berurutan
sehingga membentuk garis profil memanjang.
Di bawah garis referensi biasanya dibuat kolom-kolom tertentu yang disesuaikan
dengan kebutuhan dalam perhitungan selanjutnya, seperti contoh pada gambar 9.22
dibawah. Dalam gambar profil inilah kemudian ditentukan ketinggian dan kemiringan sumbu
proyek, sehingga dapat dihitung selisih tinggk antara permukaan tanah asli dan sumbu
proyek di setiap titik stasiun yang merupakan dalamnya penggalian atau tinggi penimbunan
di titik-titik tersebut.
Contoh gambar profil memanjang seperti pada halanan berikut ini

Gambar 5.22. Profil memanjang (dari data pada halaman 192)

5.11.2. Pengukuran Profil Melintang


Arah profil melintang di setiap stasiun umumnya diambil tegak lurus terhadap sumbu
proyek, sebagai dasar ketinggian di setiap profil adalah titik-titik stasiun yang telah diukur
dari profil memanjang. Lebar profil tergantung dari kebutuhan dan tujuan proyek, misal 25 m
arah kanan kiri dari sumbu proyek. Pengukuran detilnya dilakukan seperti pada pengukuran
profil memanjang dan sebagai detil dipilih titik-titik yang dapat mewakili topografi setempat.
Pada daerah yang relative datar, satu profil melintang mungkin dengan satu kali
kedudukan alat. Namun pada daerah yang mempunyai topografi curam atau bergelombang
tidak cukup dengan sekali berdiri alat, mungkin dua kali atau lebih adapun cara hitungan dan
penggambarannya pada prinsipnya sama dengan pengambaran profil memanjang, hanya
skala jarak dan tinggi di sini biasanya diambil sama.
Di atas gambar profil inilah digambarkan tampang atau irisan dari rencana proyek dan
luasan yang terjadi antara permukaan tanah asli dengan tampang proyek merupakan luas

70

tampang galian atau timbunan yang diperlukan atau dibuang dengan mengkombinasikan
antara tampang memanjang dan melintang maka volume dari tubuh tanah yang ditimbun
atau digali dapat dihitung.

Gambar 5.23. Pengukuran profil melintang

Gambar 5.24. Gambar profil melintang

71

6. PENGUKURAN DETAIL
Detail adalah segala obyek yang ada di lapangan, baik yang besifat alamiah seperti
sungai, lembah, bukit, alur, stasiun, selokan, dan batas-batas pemilikan tanah yang aka
dijadikan isi dari peta yang akan dibuat.
. .Pemilihan detil, distribusi dan teknik pengukurannya dalam pemetaan sangat
tergantung dari skala dan tujuan peta itu dibuat. Misal untuk peta kadaster atau pendaftaran
hak atas tanah, yang diperlukan adalah unsur batas-batas pemilikan tanah, sedang beda
tinggi atau topografinya tidak diperlukan. Sedangkan untuk peta teknik, yang diperlukan
adalah unsur-unsur topografi, detil alamiah serta hasil budaya manusia yang konkrit ada di
lapangan.
Penentuan posisi dari titik-titik detil, diikatkan pada titik-titik kerangka pemetaan yang
terdekat yang telah diukur sebelumnya, atau mungkin juga ditentukan dari garis ukur, yang
merupakan sisi-sisi dari kerangka peta ataupun garis yang dibuat khusus untuk itu.
Ada beberapa metode atau cara pengukuran (penentuan posisi) titik detil antara lain :
A. Metode offset
Metode ini dapat dibagi menjadi :
1. Metode siku-siku atau koordinat ortogonal, hanya menentukan posisi planimetris (x,y).
2. Metode mengikat, hanya menentukan posisi planimetris (x,y), dibagi menjadi :
a. Mengikat sembarang
b. Perpanjangan sisi
c. Trilaterasi sederhana
Metode-metode tersebut di atas telah dijelaskan pada Bab 5 dan penggambaran posisi
atau plottingnya dilakukan secara grafis.
B. Metode polar atau koordinat kutub
...Metode ini mengukur posisi tiga dimensi (x, y, z). pada metode ini posisi detil
ditentukan dengan komponen azimuth (sudut arah), jarak, dan beda tinggi dari titik ikat.
Karena detil yang diukur banyak, pengukuran dilakukan dengan teknik yang cepat, yang
disebut takhimetri (tachymetry, tacheo = cepat, metri = pengukuran). Di sini azimut/sudut
diukur dengan alat BTM atau teodolit, jarak diukur secara optis, dan beda tinggi diukur
secara trigonometric. Metode ini dibagi menjadi :
1. Pengukuran dengan azimut
2. Pengukuran dengan sudut
C. Metode Pemotongan (ke muka)
Pada metode ini, jika selain pembacaan lingkaran horizontal dibaca pula sudut
miringnya, maka posisi titik yang dibidik dapat ditentukan dalam tiga dimensi (x, y, z).
6.1. METODE KOORDINAT KUTUB
Metode ini memerlukan peralatan pengukuran sudut di lapangan seperti teodolit atau
BTM serta rambu ukur. Cara ini juga disebut takhimetri, di mana jarak detil ditentukan

72

dengan cara optis, beda tinggi ditentukan dengan bacaan sudut vertical atau sudut miring
dan arah ditentukan dengan sudut horizontal dari sisi polygon tertentu (arah).
6.1.1. Penentuan Arah dengan Azimut
Cara ini menggunakan peralatan yang dapat menunjukkan azimut-kompas seperti
BTM, To atau teodolit offset boussole. Pada detil yang akan ditentukan posisinya didirikan
rambu ukur, kemudian arah bidikan atau azimut dibaca pada kompas dan pada rambu
dibaca BA, BT, BB serta sudut kemiringan teropongnya.
Pada gambar, P adalah titik poligon sebagai kerangka peta, sedangkan a, b, c, d
adalah titik-titik detil. Azimut a, b, c, d dibaca pada alat BTM atau teodolit kompas, masingmasing a, b, c, d,. Jarak ditentukan secara optis dan beda tinggi dihitung dari pembacaan
sudut miring (h) dengan rumus :

Gambar 6.1 Cara koordinat kutub dengan azimut

Jarak mendatar (D) = A.S. cos2 h


Naik / turun (V)
= A.S. sin 2 h......................................................(6.1)
Beda tinggi (h)
= t V BT
Dalam hal ini :
A : Konstante pengali teropong (umumnya = 100)
S : selisih bacaan benang atas (BA) dan benang bawah (BB).
h : bacaan sudut miring teropong.
t : tinggi alat ukur.
Posisi titik detil dihitung dengan rumus :
Xa = Xp + dPa sin Pa
Ya = Yp + dPa cos Pa...................................................................................(6.2)
Za = Zp + hPa
Dalam hal ini :
a : titik detil
P : titik poligon yang telah diketahui koordinatnya
Pa : azimut sisi Pa
Pengambilan detil dipilih dari titik poligon yang terdekat dan mudah. Sketsa dari detil
lapangan perlu dibuat agar penggambarannya menjadi lebih mudah.
Untuk pencatatan data ukuran dibuat formulir takhimetri atau buku ukur seperti
contoh di halaman akhir bab ini. Pada cara ini posisi titik detil (x,y,z) dapat pula dihitung,
dapat pula digambarkan segara grafis.

73

6.1.2

Penentuan Arah dengan Sudut

Cara ini paling banyak digunakan dalam pemetaan topografi atau peta teknis. Pada
prinsipnya sama dengan cara di atas, tetapi karena di sini alat tidak ada kompas atau
boussolenya, maka arah detil ditentukan dengan menambahkan atau mengurangkan azimut
sisi poligon yang diacu dengan sudut mendatar antara sisi poligon dan detil yang diukur (i),
yang diperoleh dari selisih bacaan lingkaran horizontal ke titik acuan (poligon) dan ke titik
detil. Oleh karena pada setiap kedudukan alat ukur, sebelum membidik titik-titik detil terlebih
dahulu membidik salah satu titik poligon di muka atau belakangnya sebagai dasar acuan
untuk menghitung sudut horizontal antara arah titik detil dan arah sisi poligon (i), sekaligus
untuk menentukan azimut titik detil tersebut (Aa = AB a), karena azimut sisi poligon (AB)
telah diketahui dari perhitungan kerangka peta.

Gambar 6.2. Cara Koordinat Kutub dengan sudut


Sedangkan jarak datar dan beda tingginya diperoleh dari bacaan rambu dan sudut
miring (takhimetri) sebagaimana rumus 6.1. di atas. Data ukuran detil dicatat dan dibuatkan
sketsanya dalam formulir atau buku ukur agar sistematis dan tidak terpisah-pisah. Contoh
formulir ukur dapat dilihat pada bagian akhir bab ini.
Alat ukur (teodolit) yang digunakan untuk pengukuran detil umumnya memiliki tingkat
ketelitian yang rendah, tidak seteliti yang digunakan untuk pengukuran kerangka peta
(poligon).
6.2. METODE PEMOTONGAN KE MUKA
Apabila karena sesatu hal orang tidak dapat mendatangi detil yang akan ditentukan
posisinya untuk menempatkan rambu, dari tempat berdiri alat hanya bisa dibidik arah dan
sudut miringnya saja. Oleh karenanya diperlukan pengukuran dari dua tempat berdiri alat
yang telah diketahui posisinya (titik poligon). Cara ini merupakan cara pemotongan ke muka.
Pada gambar 6.3, titik-titik detil a, b, c, d tak dapat didatangi. Namun karena
identitasnya jelas dan bisa dibidik dari titik poligon P dan Q, maka dari titik P dan Q sudut
arah atau azimuth dan sudut miring titik-titik tersebut dapat diukur, sehingga titik detil
tersebut nantinya dapat digambarkan (secar grafis) dengan cara melukis segitiga yang
diketahui basis atau sisi alas dan kedua sudut alasnya (dua dimensi) atau dihitung posisinya
menggunakan rumus segitiga (tiga dimensi). Meski demikian cara ini kurang praktis,
sehingga sebisa mungkin dihindari agar proses pemetaan bisa berjalan cepat.

74

Gambar 6.3. Penentuan posisi detil dengan cara pemotongan ke muka


10.1. REDUKSI TAKHIMETRI
Pada metode takhimetri, jarak titik detil diukur dengan cara optis metode stadia dan
beda tinggi dihitung dengan rumus trigonometric seperti pada rumus 6.1. muka. Oleh karena
itu, penentuan posisi titik detil dengan metode ini memerlukan perhitungan dengan waktu
yang agak lama, terlebih-lebih apabila daerah yang dipetakan cukup luas dan topografinya
bervariasi. Untuk mempercepat perhitungan jarak dan beda tinggi antara titik ikat dan titik
detil, telah dibuat beberapa alat ukur teodolit tipe khusus, yang dapat menghitung langsung
jarak datar dan beda tinggi antara titik stasiun berdiri alat dan titik detil, dengan hanya
membaca rambu dengan sistem reduksi takhimetri.

75

7. PLOTTING (PENGGAMBARAN)
Agar pengukuran dapat diwujudkan dalam bentuk peta, setelah semua data lapangan
dihitung, meliputi perhitungan koordinat (X,Y), titik-titik kerangka pemetaan (poligon),
perhitungan ketinggian titik-titik poligon dari pengukuran sipat datar (Z), sudut arah dan jarak
titik-titik detil serta ketinggiannya (takhimetri), langkah selanjutnya adalah plotting atau
penggambaran. Adapun garis besar langkah-langkahnya adalah :
1. Plotting titik-titik kerangka pemetaan (X,Y,Z) dengan skala yang telah ditentukan
2. Ploting detil (X,Y,Z) atau grafis
3. Penarikan garis-garis kontur
4. Editing
7.1. PLOTTING TITIK-TITIK KERANGKA PEMETAAN
Apabila plotting akan dilakukan pada kertas gambar polos, maka terlebih dahulu dibuat
jala-jala grid setiap 10 cm pada kertas gambar sehingga seluruh permukaan kertas gambar
terpenuhi jala-jala grid. Agar posisi gambar terletak simetris (di tengah) kertas plot, angka
absis dan ordinat maksimum dan minimumnya harus diketahui dan kemudian daripadanya
dicari panjang gambar pada arah sumbu X dan Y, kemudian kita bagi dua. Posisi absis dan
ordinat tengah kertas gambar diberi angka sebesar :
Absis = Harga absis minimum + panjang gambar pada sumbu X
Ordinat = Harga ordinat minimum + panjang gambar pada arah sumbu Y
Contoh :
Harga absis maksimum = + 500 m
Harga absis minimum = - 200 m
Maka :
Panjang gambar pada sumbu X = 500 m + 200 m = 700 m
Setengah panjang gambar = 350 m
Absis pada tengah kertas plot = -200 m + 350 m = + 150 m
Harga ordinat minimum = + 400 m
Harga ordinat maksimum = + 1000 m
Maka :
Panjang gambar pada arah sumbu Y = 1000 m 400 m = 600 m
Setengah panjang gambar pada arah sumbu Y = 300 m
ordinat pada tengah kertas plot = 400 m + 300 m = 700 m
Koordinat pusat kertas plot : X = 150 m dan Y = + 700 m
Selanjutnya posisi setiap titik poligon kita plot sesuai dengan absis dan ordinatnya dan
sesuai dengan skala yang telah ditentukan, dengna mengunakan mistar skala, diukur dari
titik jala grid yang terdekat. Titik-titik hasil plot ini diberi identitas sesuai dengan nomornya di
lapangan dan angka ketinggiannya dituliskan di dekatnya, atau apabila angka ketinggian
tersebut ada komanya, missal 98,60 m, maka titik plot sebagai koma dari angka ketinggian.
Contoh :

4 98.60 maksudnya titik poligon nonomt 4 tingginya 98,60 m.

76

7.2. PLOTTING DETIL


Plotting detil disesuaikan dengan cara perhitungan posisi detil tersebut. Apabila posisi
detil ditentukan secara numeris (X,Y,Z) maka posisi planimetrisnya ditentukan dengan
mengeplot koordinat (X,Y) dan angka ketinggiannya dituliskan.
Apabila posisi detil akan ditentukan dengan cara grafis, alat yang dipakai antara lain
busur derajat, mistar skala atau transverscal, jangka tusuk, dan pensil. Detil-dtil diplot dari
titik kerangka pemetaan (poligon) yang sesuai pada waktu pengukurannya di lapangan.
Sudut arah detil diukur pada kertas plot dengan busur derajat dengan ketelitian 15, jarak
detil ditentukan dengan mistar skala atau transverskal dan jangka tusuk, kemudian
ketinggiannya dituliskan sebagaimana pada plotting kerangka. Apabila arah detil berupa
azimut, maka di titik poligon dibuat arah utara sejajar dengan sumbu Y dari jala grid dan
angka nol busur derajat diimpitkan dengan arah utara tersebut, azimuth detil tinggal diplot
sesuai pembacaan alat ukur pada busur derajat.
Apabila arah detil menggunakan sudut antara detil dan sisi poligon, maka besar sudut
tidak harus dihitung, tetapi dengan cara mengimpitkan angka busur derajat yang sama
dengan angka pembacaan ke titik acuan dalam pengukuran di lapangan, kemudian arah
detil juga disamakan dengan pembacaan pada alat ukur di lapangan. Untuk ini harus
digunakan busur derajat yang berbentuk lingkaran penuh.
Demikianlah hingga semua detil diplot. Unuk detil yang berbentuk bangunan, detil
dihubungkan dari titik-titik yang sesuai, demikian pula untuk bentuk-bentuk detil yang lain.
Dalam melukis detil sangat dibutuhkan sket lapangan agar tidak terjadi salah sambung
antara detil-detil yang seharusnya berhubungan dan yang tidak. Oleh karenanya dalam
formulir ukur diberi kolom sketsa agar para surveyor dapat memberikan gambaran lapangan
sejelas mungkin. Kesulitan sering timbul apabila sketsa lapangan kurang jelas dan yang
memplot bukan si pengukur.
7.3. PENARIKAN GARIS KONTUR
Gambar peta dari plotting detil di atas sebenarnya sudah menunjukkan pengukuran
tiga demensi, di mana dimensi tinggi dinyatakan dengan angka-angka ketinggian. Namun
demikian peta ini masih terlihat acak-acakan dan kurang bisa menggambarkan bentuk
topografi yang sebenarnya. Bentuk penyajian unsur ketinggian yang dapat menggambarkan
topografi medan antara lain adalah garis kontur, yaitu garis-garis yang menghubungkan titiktitik yang sama tinggi. Garis kontur mempunyai beberapa sifat antara lain :
- Tidak berpotongan
- Tidak bercabang
- Tidak bersilang
- Semakin jarang menunjukkan daerah semakin datar
- Semakin rapat menunjukkan daerah semakin curam
- Tidak berhenti di dalam peta.
Di sini ada istilah interval kontur, yaitu selisih tinggi antara dua garis kontur yang
berurutan. Besar interval kontur biasanya tergantung dari kebutuhan atau tujuan peta
tersebut dibuat, namun pada umumnya adalah 1/2000 x skala peta (dalam meter). Misal skala
peta 1:1000, maka besar interval kontur = 1/2000 x 1000 m = 0,5 m.

77

Karena angka ketinggian detil bermacam-macam sedangkan angka ketinggian garis


kontur sudah tertentu, maka perlu dicari tempat-tempat yang mempunyai ketinggian yang
sesuai dengan kelipatan interval kontur dari titik-titik yang terdekat yang telah diketahui
angka ketinggiannya. Untuk itu dikenal beberapa metode penarikan garis kontur antara lain :
1. Metode langsung
2. Metode tak langsung
a. Metode matematis atau interpolasi linier
b. Metode semi matematis
c. Metode grafis
7.3.1. Metode Langsung
Pada metode mangsung titik-titik yang sama tinggi ditentukan di lapangan secara
langsung. Untuk ini diperlukan alat penyipat datar dan rambu ukur serta mungkin patokpatok yang cukup banyak jumlahnya.

Gambar 7.1 Pembuatan garis kontur secara langsung


Misal pada gambar di atas ketinggian titik ikat adalah 94,070 m. alat ukur ditetakkan
pada suatu tempat yang memiliki kapabilitas pengukuran yang baik, kemudian bidik rambu
pada titik ikat, misal terbaca 1630 mm. berarti tinggi garis bidik adalah 95,700 m. apabila
ketinggian garis kontur yang kita butuhkan adalah 94,000 m, maka garis bidik di titik detil
yang tingginya 94,000 m harus terbaca 1700 mm. untuk itu orang yang memegang rambu
harus maju atau mundur sedemikian hingga si pengamat membaca rambu pada angka
tersebut. Pada titik berdiri rambu tersebut kemudian diberi tanda dengan patok, bahwa tinggi
di tempat tersebut adalah 94,000 m. demikian selanjutnya untuk titik yang lain dengan tinggi
yang sama, maupun untuk ketinggian yang lain, sehingga seluruh daerah yang dipetakan
terbentuk garis konturnya. Posisi patok-patok ini kemudian diukur dengan alat teodolit yang
kemudian digambarkan pada kertas plot, kemudian dirangkai dengan titik tinggi lainnya yang
berharga sama.
Dari uraian di atas terlihat bahwa cara ini kurang praktis dan akan membutuhkan
banyak waktu di lapangan. Cara ini biasanya dikerjakan hanya untuk pemetaan dengan alat
planet table.
7.3.2. Metode Tidak Langsung
Pada metode tidak langsung, garis kontur digambar atas dasar ketinggian detil-detil
hasil plotting yang tidak merupakan kelipatan dari interval kontur yang diperlukan, sehingga
diperlukan penentuan posisi (secara numeris/grafis) titik-titik yang mempunyai ketinggian

78

kelipatan dari interval kontur. Untuk itu ada beberapa cara atau metode yang dapat dilakuan
antara lain :
1. Metode Matematis
Cara ini juga disebut dengan interpolasi linier, maksudnya interpolasi yang sebanding
dengan jaraknya. Misal pada gambar di bawah, titik A tingginya 90,70 m dan titik B tingginya
92,50m. jarak antara keduanya dalam gambar 20 cm (AB). Kita akan mencari posisi titik (K)
yang berketinggian 92, 00 m, yang pada gambar menjadi K.

Gambar 7.2. Interpolasi Linier


Beda tinggi antara A dan B = 1,80 m, beda tinggi antara A dan K = (92,00-90,70) m =
1,30 m, sehingga :

20,0x1,3
1,30

14,44cm
x 20 cm 14,50cm
1,8
1,80

Jarak AK =
Perhitungan dengan cara ini memang sangat tepat, tetapi akan memakan banyak
waktu sehingga diperlukan alat hitung atau kalkulator. Namun demikian, pada cara ini juga
masih dibutuhkan banyak kerja. Pada pemetaan secara otomatis di mana garis kontur
digambar menggunakan computer atau software, prinsip interpolasi linier juga digunakan.
2. Metode Semi Matematis
Pada metode ini digunakan sepasang mistar segitiga yang padanya ada angka
pembagian sampai milimeter. Caranya adalah sebagai berikut :
Misal pada kertas plot ketinggian titik A dan B masing-masing 91,20 m dan 98,70 m.
hubungan A dan B dengan garis tipis. Garis 1,2 cm pada mistar pertama diimpitkan dengan
titik A. selanjutnya mistar kedua dipasang tegak lurus pada mistar pertama, dan tepi mistar
kedua tepat pada garis 8,7 cm. orientasikan kedua mistar dengan titik tumpu garis 1,2 cm
pada mistar pertama tetap pada titik A, sedemikian hingga posisi antara kedua mistar tetap,
tetapi tepi mistar kedua menyinggung titik B. usahakan posisi mistar pertama ini tetap diam.
Andaikata yang diperlukan ketinggian 95 m, maka mistar kedua kita geser dalam posisi tetap
tegak lurus mistar pertama sampai tepi mistar kedua berimpit dengan garis 5 cm pada mistar
pertama dan tepi mistar kedua memotong garis AB. Maka titik potong mistar kedua dengan
garis AB tersebut tingginnya 95,0 m. demikian selanjutnya kita bisa memilih tinggi-tinggi yang
lain secara cepat dan praktis.

79

Gambar 7.3. Metode semi matematis


Selain cara di atas, metode ini dapat juga dikerjakan dengan alat interpolasi
radialgraph yang tersebut dari kertas transparan seperti Gambar 7.4.

Gambar 7.4. Interpolasi dengan radialgraph


Misal antara titik A yang tingginya 91, 6 m dan titik B yang tingginya 93,2 m akan
dicari posisi titik dengan tinggi 92,0 m. beda tinggi antara A dan B =1,6 m. Impitkan garis
mendatar radialgraph pada AB. Garis radial antara A dan B diambil 16 kolom, sehingga
setiap kolom berharga beda tinggi 0,1 m. Posisi 92 m terletak pada kolom yang keempat dari
titik A. kemudian titik tersebut ditusuk dengan jangka tusuk hingga membekas pada kertas
gambar.
3. Metode Grafis
Metode ini sebenarnya hanya perkiraan saja, namun karena metode ini memang
lebih cepat, orang biasanya lebih suka menggunakan metode ini. Untuk peta-peta skala
menengah dan kecil di mana ketelitian ketinggian tidak banyak dituntut, cara ini merupakan
pilihan yang dianggap tepat. Namun untuk peta-peta teknik, pemakaian metode ini masih
perlu dipertimbangkan.
Selain titik-titik tinggi sesuai dengan interval kontur ditentukan posisinya, ditarik garis
melalui titik-titik yang mempunyai harga ketinggian sama, sehingga terbentuklah garis-garis
kontur dengan ketinggian-ketinggian yang tertentu. Pada setiap garis kontur diberi angka
ketinggian dan setiap lima buah kontur atau angka kelipatan tertentu garis kontur dibuat
agak tebal.
Untuk menghindari adanya kesalahan morfologi dari garis kontur, distribusi dari detil
ketinggian harus disesuaikan dengan kondisi topografi medan dan skala peta yang akan

80

dibuat. Apabila medan bergelombang, maka untuk medan yang beda tingginya lebih besar
daripada besarnya kontur interval, harus diukur (didetil), namun pada medan yang
kemiringannya seragam (monoton) cukup diukur pada awal dan akhir kemiringan tersebut
walaupun jaraknya cukup jauh.

Gambar 7.5. Pengambilan detil ketinggian


7.4. EDITING
Meskipun detil-detil dan garis-garis kontur telah selesai digambarkan, belum berarti
peta tersebut sudah jadi. Peta masih perlu disempurnakan dengan informasi-informasi lain
yang dianggap perlu, sebagai penjelasan atau sarana komunikasi antara si pembuat peta
dengan si pemakai. Proses ini dinamakan editing. Pekerjaan editing ini meliputi antara lain :
1. Pemberian nama-nama (jalan, desa, bangunan, sungai dll).
2. Pembuatan simbol-simbol untuk detil atau obyek-obyek yang tertentu
3. Keterangan tepi, yang berisi antara lain :
a. Judul peta
b. Skala peta dalam angka dan garis (bar)
c. Arah orientasi (arah utara)
d. Indeks dan nomor lembar
e. Keterangan legenda
f. Keterangan si pembuat dan waktu pembuatannya
g. Kolom pengesahan
Pekerjaan editing ini termasuk di dalamnya adalah desain tampilan peta/lay out yang
diatur sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu kortografis dan sesuai dengan skala dan tujuan
peta itu dibuat. Contoh desain dari tampilan peta disajikan di bawah ini.

Gambar 7.6. Contoh beberapa desain tampil peta/lay out


7.5. SIMBOLISASI
Obyek-obyek yang ada di permukaan bumi tidak semuanya dapat digambarkan
secara utuh pada peta, terlebih-lebih apabila peta dibuat dalam skala menengah sampai
kecil. Oleh karena itu, untuk menginformasikan kepada si pengguna peta, obyek-obyek

81

tersebut digantikan dengan simbol-simbol kartagrafis yang lazim digunakan. Demikian pula
nama-nama unsur geografis yang di lapangan tidak ada, perlu dituliskan pada peta,
sehingga peta menjadi lebih komunikatif. Simbol dalam pemetaan skala besar berikat
penggolongannya antara lain :
A. Simbol batas administrasi
+ + + + + : batas negara
+ - + - + -: batas proponsi
+. + + . +: batas kabupaten
.....
: batas kecamatan
- . - . - . - .: batas desa
. . . . . . . . : batas dusun

B. Simbol vegetasi :
: pohon musiman
: pohon tak terpengarum musim
: pohon berdaun jarum
: tanaman perkebunan
: tanaman perkebunan
: hutan
: padang rumput
: semak-belukar

C. Unsur transportasi
: jalan aspal
: jalan diperkeras tak beraspal
: jalan tanah / tak diperkeras
: jalan setapak
: gorong-gorong
: jalan dalam galian

: jalan kereta api


: jalan lori
: jembatan bamboo / kayu
: jembatan besi / baja
: jembatan konstruksi beton
: jalan dalam timbunan

D. Unsur bangunan
: bangunan non permanen
: bangunan semi permanen
: bangunan permanen lantai satu
: bangunan bertingkat

: pagar hidup
: pagar kawat
: pagar tembok
: pintu gerbang

E. Unsur Hidrografi dan topografi


: Sungai
: Anak sungai
: Saluran irigasi teknis
: saluran drainase permanen
: garis kontur / garis ketinggian

: rawa-rawa
: danau/kolam
: saluran drainase alamiah
: alur air
: pintu air / dam

F. Titik stasiun atau benda tetap lainnya.


a. Titik control pemetaan
: patok beton
: patok besi
: patok beton pralon
: patok kayu

82

b. Lainnya :
: tiang listrik tegangan tinggi
: tiang telpon
: hidran
G. Toponimi
Meliputi :
- Nama unsur geografi : dusun, desa, kecamatan, kabupaten, propinsi (Huruf Times
New Roman)
- Nama unsur hidrografi : sungai, danau, rawa, bendungan, saluran (huruf italic)
- Nama unsur budaya : bangunan-bangunan, nama jalan, obyek wisata (huruf Arial).
- Dan lain-lain
7.6. LANGKAH-LANGKAH PEMETAAN TERISTRIS
Dari uraian bab-bab terdahulu, secara garis besar langkah-langkah pemetaan secara
teristiris adalah sebagai berikut :
1. Persiapan, yang meliputi : peralatan, perlengkapan dan personil.
2. Survei pendahuluan (reconisance survey), maksudnya peninjauan lapangan lebih
dahulu untuk melihat kondisi medan secara menyeluruh, sehingga dari hasil survey
ini akan dapat ditentukan :
a. Teknik pelaksanaan pengukurannya
b. Penentuan posisi titik-titik kerangka peta yang representatif dalam arti
distribusinya merata, intervalnya seragam, aman dari gangguan, mudah didirikan
alat ukur, mempunyai kapbilitas yang baik untuk pengukuran detil, saling terlihat
dengan titik sebelum dan sesudahnya, dll.
3. Survei pengukuran, meliputi :
a. Pengukuran kerangka peta (misal poligon) meliputi : sudut, jarak, beda tinggi.
b. Pengukuran detil (misal dengan takhimetri)
c. Pengukuran khusus (bila diperlukan)
4. Pengolahan data (perhitungan)
a. Perhitungan kerangka peta (X, Y, Z)
b. Perhitungan detil (X, Y, Z) atau cukup sudut arah/azimutnya, jarak datar, dan beda
tinggi dari titik ikat.
5. Plotting atau penggambaran, meliputi :
a. Plotting kerangka peta
b. Plotting detil
c. Konturing atau penarikan garis kontur
d. Editing
7.7. ARTI PENTING GARIS KONTUR
Garis kontur mempunyai arti yang sangat penting bagi perencanaan rekayasan,
karena dari peta kontur dapat direncanakan antara lain :
- Penentuan rute jalan atau saluran irigasi
- Bentuk irigasi atau tampang pada arah yang dikehendaki
- Gambar isometric dari galian / timbunan
- Besar volume galian/timbunan tanah
- Penentuan batas genangan pada waduk dan arah drainase

83

1. Merencanakan arah jalur atau trase dari peta tanches atau peta topografi
Dalam menentukan trase kita perlu mengetahui kemiringan maksimum yang
diperbolehkan, skala peta yang digunakan dan interval garis konturnya. Adapun caranya
sebagai berikut :
Misal kemiringan maksimum yang diperbolehkan 5% atau 1 : 20 (I = 20), skala peta
yang digunakan 1:10.000 (s = 10.000), kontur interval 5 meter (a = 5). Untuk beda tinggi 5 m,
jarak horizontal (d) yang diperlukan = 100 m. pada peta skala 1 : 10.000, jarak 100 m =1 cm,
jarak terpendek dari trase yang melalui dua garis kontur yang berturutan dan 1 cm, atau
dengan rumus matematis dinyatakan :

a xl
d= s
(meter) .............................................................................................(11.1)
Dengan panjangan tersebut (1 cm) kit adapt memilih beberapa alternatif jalur,
selanjutnya dipilih yang paling baik atas dasar dukungan data-data lain seperti data teknis
dan social ekonomi. Contoh mentrase pada peta topografi / peta kontur :

Gambar 7.7. Mantrase pada peta kontur


2. Membuat gambar tampang
Membuat gambar tampang/profil pada arah x-x pada peta kontur. Skala horizontal
sama dengan skala peta, sedangkan skala vertical umumnya 10 x lebih besar. Garis basis
dibuat sejajar dengan X-X dan di setiap perpotongan antara garis X-X dan garis kontur
dibuat garis tegak lurus X-X sebagai arah ketinggian.

Gambar 7.8. Cara membuat gambar tampang dari peta kontur

84

Dari garis basis tingginya diukur sesuai dengan skala yang digunakan, kemudian titiktitik ketinggian ini dihubungkan secara berurutan, sehingga akan terbentuk profil atau
tampang melintang sepanjang X-X yang dimaksud.

Gambar 7.9 Pembuatan gambar dari peta kontur / topografi


3. Gambar isometric rencana galian atau timbunan
Sebelum volume pekerjaan tanah dari peta kontur dihitung, biasanya dibuatkan
gambar isometrik lebih dulu sebagai penolong agar gambarannya menjadi jelas,
sebagaimana dalam contoh berikut ini.
Misal dari peta kontur yang tersaji akan dibuat jalan mendatar dari A ke B dengan
level (ketinggian permukaan) jalan 10 m dan lembar jalar 10 m dengan miring talud 1:1.
Maka di sampingnya dapat dibuat gambar isometric sebagiamana Gambar 7.10.

Gambar 7.10 Gambar isometrik suatu penimbunan pada rencana jalan


Adapun caranya adalah sebagai berikut :
1. Gambarkan permukaan jalan 10 m pada peta kontur
2. Karena miring talud 1:1, maka untuk beda tinggi (jarak vertikal) 1 meter, jarak
horizontalnya juga satu meter. Buat garis-garis sejajar tepi jalan dengan interval 1 meter
(kali skala gambar) sehingga garis-garis tersebut berturut-turut mempunyai tinggi 9,8,7
dst.

85

3. Tentukan perpotongan garis kontur yang berharga sama dengan garis ketinggian yang
sejajar dengan jalan (kanan dan kiri), kemudian hubungan secara bertururutan,
sebagaimana Gambar 7.11.

Gambar 7.11. Teknik penggambaran isometrik


Contoh lain :
1. Misal direncanakan jalan dari A ke B menanjak dengan kemiringan 1:20. Tinggi
permukaan jalan di A = 70 m. penyelesaian isometriknya adalah sebagai berikut (Gambar
7.12).

60
Missal jarak A-B = 60 m, maka ketinggian titik B = 70,00 + 20 m = 73,00 m dan
tinggi A = 70 m menjadi 3 m di bawah level B. apabila miring talud 1:2, maka untuk beda
tinggi 3 m pada jarak korizontal menjadi 6 m, sehingga titik C dan D masing-masing
berjarak 6 m dari tepi jalan di B dan ini dihubungkan masing-masing dengan titik E dan F
yang mempunyai level 70 m. setiap kontur lain dengan interval 1 m sejajar dengan garis
tersebut dengan interval jarak horizontal 2 m.
2. Pada Gambar 11.13, peta kontur dengan interval 2 m dan rencana jalan dari A ke B
ditentukan sebagai berikut :
a. Lebar formasi 6 m
b. Tinggi permukaan jalan (level) di A = 60 m
c. Miring permukaan jalan 1:25 dan A-B
d. Miring talud 1:2

Gambar 7.12 Penggambaran isometrik pada rencana jalan miring


Gambarkan outline pekerjaan tanah yang akan terjadi. Penyelesaiannya seperti pada
Gambar 7.14.

86

Gambar 11.13. Rencana jalan

Gambar 7.14. Pekerjaan tanah pada rencana jalan Gambar 11.13


3. Gambar 7.15 memperlihatkan posisi rencana bangunan dan jalan pengubungnya. Level
bangunan 83,5 m dan jalan 83 m. miring talud halian / timbunan 1:1. Gambarkan
pekerjaan tanahnya.
Penyelesaiannya ada pada Gambar 7.16.

Gambar 7.15. Rencana dasar bangunan dan jalan

87

Gambar 7.16. Rencana pekerjaan tanah (galian dan timbunan)


4. Penentuan areal tangkapan air hujan
Peta kontur atau topografi dapat juga digunakan untuk menentukan daerah
tangkapan air hujan dengan cara mengamati punggung-punggung bukit yang akan
memisahkan aliran air hujan, dan dari padanya dibuatkan garis-garis pemisah aliran ini yang
akhirnya dapat ditentukan areal daerah tangkapan hujan dari sesuatu daerah aliran sungai.

88

Gambar 7.17. Penentu daerah genangan dan tangkapan air hujan


Keterangan :

----------- : batas daerah tangkapan air hujan


: daerah genangan

Apabila akan direncanakan sebuah dan pada aliran sungai, maka dapat diperkirakan
lokasinya yaitu dengan melihat daerah yang tercuram di arah kanan dan kiri aliran sungai
tersebut dengan melihat kerapatan garis kontur yang ada. Apabila rencana ketinggian dan
atau bendungan telah ditetapkan, maka dapat pula ditentukan daerah genangan dan luasnya
serta volume air yang dapat ditampung. Sebagai gambaran dapat diperlihatkan pada
Gambar 7.17 di atas.

89

8. PENENTUAN LUAS DAN VOLUME


Penentuan luas dan volume tanda tanah erat kaitannya dengan rekayasa, seperti
halnya dalam penentuan ganti rugi dalam pembebasan tanah untuk keperluan suatu proyek,
penentuan volume galian dan timbunan, penentuan volume bending dan lain-lain yang erat
kaitannya dengan biaya suatu pekerjaan rekayasa.
Penentuan volume pekerjaan tanah membutuhkan pula data luas dari suatu irisan
atau tampang sehingga sebelum membicarakan penentuan volume tanah akan dibahas
lebih dahulu penentuan luas.
1.1.

PENENTUAN LUAS
Yang dimaksud luas di sini adalah luas yang dihitung dalam peta, yang merupakan
gambaran permukaan bumi dengan proyeksi orthogonal, sehingga selisih tinggi dari batasbatas yang diukur diabaikan. Luas suatu bidang tanah dapat ditentukan dengan salah satu
cara tersebut di bawah ini, tergantung dari data dasar yang tersedia.
1. Penentuan luas cara numeris
Di sini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
a. Dengan memakai koordinat, apabila titik-titik batas tanah diketahui koordinatnya.
b. Dengan ukuran dari batas tanah, jika batas-batas tanah diukur langsung (disebut
juga angka-angka ukur).
2. Penentuan luas secara grafis
Cara ini dilakukan apabila gambar tanah hanya diketahui skalanya saja tanpa
dukungan data lain seperti angka ukur dan lain-lain, serta batas tanah berupa garis-garis
lurus. Untuk itu diperlukan piranti pengukur jarak dalam gambar seperti mistar skala, jangka
tusuk dan sebagainya. Penentuan luas secara grafis dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu :
a. Dengan membagi-bagi gambar tanah menjadi bentuk-bentuk geometris yang sederhana,
sehingga dengan penjangkaan atau pengukuran beberapa sisinya dapat dihitung
luasannya.
b. Dengan mengubah bentuk gambar tanah menjadi bentuk geometri yang lebih sederhana
dengan luas yang sama, sehingga dengan penjangkaan beberapa sisinya dapat dihitung
luasnya. Cara ini disebut pula cara transformasi.
c. Dengan menggunakan mal gril yang terbuat dari kertas transparan, misalnya millimeter
kalkir, sehingga luas tanah akan diukur dihitung dengan kelipatan dari luas jala-jala grid.
3. Penentuan luas secara grafis mekanis
Cara ini dipakai apabila batas-batas gambar tanah dibatasi oleh garis-garis nonlinier
(tidak lurus), yaitu berupa garis-garis lengkung atau kurva. Cara ini menggunakan peralatan
yang disebut planimeter.
1.1.1. Penentuan Luas secara Numeris
A. Penentuan Luas dengan Koordinat
Misal sebidang tanah dibatasi oleh titik-titik A, B, C, D yang diketahui koordinatnya : A
(X1, Y1), B (X2, Y2), C (X3, Y3), D (X4, Y4)

90

Gambar 13.1 Luasan dengan angka koordinat


Luas segi empat ABCD = Luas trapesium A1ABB1 + luas trapesium B1BCC1 - luas trapesium
D1 DCC1 luas trapesium D1 ADD1
= (X2, - X1) (Y2, + Y1) + (X3 - Y2) (Y3 + Y2) (X3 - X4)
(Y3 - Y4) (X4 X1) (Y4 + X1)
Luas ABCD = (X2 - X1) (Y2 + Y1) + (X3 - Y2) (Y3 + Y2)
(X4 X3) (Y4 + Y3) + (X1 Y4) (Y1 + Y4)
Disederhanakan menjadi :
2 Luas ABCD = [(Yn Yn-1) (Xn Xn-1)] ...................................................(13.1)
Apabila gambar diproyeksikan terhadap sumbu Y maka akan menjadi :
2 Luas = [(Yn Yn-1) (Xn Xn-1)]................................................................(13.1)
Kedua rumus di atas dapat disederhanakan menjadi :
2 Luas = [ Xn (Yn-1 - Xn-1)]
= [ Xn (Yn+1 - Xn-1)].......................................................................(13.3)
B. Penentuan Luas dengan Angka-Angka Ukur
Apabila gambar tanah atau persil telah diketahui angka-angka ukurnya, maka untuk
menghitung luasnya digunakan rumus-rumus planimetrik. Namun dalam kenyataannya,
jarang sekali bentuk-bentuk gambar tanah yang dapat langsung dihitung dengan rumus
planimetrik, sehingga bentuk tersebut harus dibagi-bagi menjadi bangun-bangun yang dapat
ditentukan luasnya dengan rumus-rumus planimetrik, kecuali bentuk-bentuk.
- Lingkaran atau bagian daripadanya
- Segitiga
- Bentuk-bentuk di mana absis dan ordinat dari semua titik sudut diketahui berada
dalam satu garis.
1. Lingkaran atau bagian dari padanya
Gambar tanah yang berbentuk bagian dari lingkaran memang agak jarang, kecuali di
beberapa lokasi misal di perpotongan atau tikungan jalan dengan sudut-sudut yang
dibulatkan.

Gambar 13.2. Luas bagian lingkaran

91

Apabila R (jari-jari lingkaran) dan K (panjang tali busur) diketahui atau ditentukan
dengan cara-cara yang lain, besar sudut puncak dapat ditentukan dengan rumus :
1

/2 K
Sin = R
......................................................................(13.5)
Luas sector lingkaran (juring) adalah :

360 o

"
o
x R atau 206265 x R2 ........................................(13.5)

Untuk menghitung luas tembereng (yang diarsir), maka sama dengan luas juring
dikurangi dengan luas segitiga sama kaki ( R2 sin), sehingga menjadi :

"
sin )
206265o
......................................................(13.5)

L = R2
Apabila sudut pusatnya lebih besar dari 215o maka lebih baik dihitung luas dari
seluruh lingkaran, kemudian dikurangi dengan luas jaringan yang sudut pusatnya lebih kecil
dari 180o.
2. Segitiga
Apabila sisa segitiga diketahui jarak-jaraknya, maka rumus yang digunakan adalah
rumus S, yaitu :

s ( s a )( s b)( s c )

Luas =
; 2s = a + b + c .......................................(13.7)
Dalam kasus tertentu rumus S sebaiknya tidak dipakai, yaitu dalam hal :
a. Salah satu sudutnya sangat lancip
b. Salah satu sudutnya sangat tumpul
Apabila menemui bentuk segitiga yang demikian, lebih baik digunakan rumus alas x
tinggi. Sebagai unsur tinggi diambil proyeksi titik sudut ke sisi yang terpendek atau
perpanjangannya, sehingga apabila pengukuran tingginya kurang teliti akan menghasilkan
kesalahan luas yang tidak terlalu besar karena dikalikan dengan sisi yang pendek.
3. Bentuk-bentuk di mana absis dan ordinat titik sudut diketahui hanya terhadap satu
garis.
Sebagai contoh seperti gambar di bawah ini :

Gambar 13.3. Absis dan ordinat titik sudut diketahui hanya terhadap satu garis
I, A, B, C, dan II sebagian dari titik batas suatu bidang tanah. Garis I-II sebagai garis
ukur dan absis dan ordinat titik A, B, C ditentukan dari garis tersebut.

92

Luas bidang tanah yang dibatasi oleh titik-titik sudut tersebut adalah :

IA' X AA' A'B' (AA BB' ) B' C' (BB'-CC' ) C'II x CC'

2
2
2
2
Contoh :

Gambar 13.4
Luas bidang tanah abcdefgh = Luas adg + ab.bb + b c (bb cc) cc .
cd + d. ee + e f (ee + ff) + f hh . Ag.
1.1.2. Penentuan Luas Secara Grafis
Cara ini dilakkan apabila batas-batas bidang tanah yang akan ditentukan luasnya
dalam peta tidak ada angka-angka ukurnya, serta batas-batas tersebut berupa garis-garis
lurus. Di sini dikenal dua cara yaitu :
1. Dengan membagi-bagi gambar asli menjadi beberapa bentuk yang mudah dihitung
dengan rumus-rumus planimetrik
2. Dengan mengubah bentuk gambar asli menjadi bentuk lain yang lebih sederhana
sehingga dengan penjangkaan atau pengukuran beberapa sisi dan dihitung luas
keseluruhan dari bentuk aslinya (transformasi).
1.1.2.1.
Membagi-bagi Gambar
Cara ini dilakukan apabila bentuk gambar yang akan ditentukan luasnya tidak dapat
sekaligus ditentukan dengan rumus planimetris seperti segitiga, empat persegi panjang,
bujur sangkar, jajaran genjang, trapesium, dan lain-lain.

Gambar 13.5. Membagi-bagi bentuk gambar


Apabila akan menggunakan rumus luas segitiga = alas x tinggi, maka perlu
penarikan garis proyeksi (untuk tinggi) ke garis alas dan pengukuran jaraknya dengan mistar
skala atau transverskal dengan jangka tusuk. Misal pada Gambar 14.6 :
Sisa AB kita proyeksikan pada garis basis AC dan proyeksi titik B pada garis AC
adalah titik D, sehingga BD adalah garis tinggi yang akan diukur panjangnya. Karena

93

panjang adalah tetap, maka kesalahan dari tinggi yang diukur tergantung dari penarikan
garis proyeksi dan pengukurannya.
Kesalahan pengukuran atau penjangkaan garis tinggi dapat terjadi dalam tiga
keadaan, tergantung dari sudut A, kecuali keadaan yang bersifat khusus, yaitu :
- Jika sudut A = 90o
h=a
o
- Jika sudut A = 0
h=0
- Jika sudut A = 45o
h=p

Gambar 14.6
Keadaan Pertama
p = h; A = 45o, misal a = 10m. dengan rumus sinus didapat p = 7,07 m. Misal dengan
penjangkaan dalam peta skala 1:500 didapat 7,20 m maka harga p apabila dihitung menjadi

10 2 7,2 2 6,94 m
Hasil penjangkaan proyeksi ini lebih besar 13 cm dan tinggi yang dihitung adalah
lebih kecil bila dianggap kecil dapat diabaikan.
Keadaan Kedua
Sudut A < 45o. jika sudut A semakin kecil, p semakin mendekati A. Misal A 30o dan a
= 10 m, maka akan didapat h = 5 m dan p = 8,66 m (dengan rumus cosinus). Misal dengan
penjangkaan didapat hasil 8,6 m dalam peta skala 1:500, maka dengan hitungan didapat h =
4,76 m, sehingga penjangkaan proyeksi lebih besar 14 cm dan tinggi yang dihitung adalah
23 cm lebih kecil.
Kesimpulan : karena penjangkaan pada garis basis (p) merugikan, penjangkaan lebih
baik dilakukan terhadap tingginya.
Keadaan ketiga
Misal A > 45O. Jika sudut A semakin besar, maka h semakin mendekati a. Misal A =
o
60 dan a = 10 m h = 8,66 m dan p = 5 m. Misal dalam skala peta 1:500 penjangkaan p =
5,15 m, maka h dihitung menjadi 8,57 m. penjangkaan proyeksi 15 cm lebih besar dan tinggi
yang dihitung menjadi lebih kecil 9 cm.
Kesimpulan :
a. Sebagai basis hendaknya dipilih sisi yang terpendek
b. h harus diukur seteliti mungkin sehingga apabila dikalikan dengan setengah basis
hasilnya tidak menimbulkan keraguan.
Ketelitian penentuan luas dengan cara ini secara tidak langsung dipengaruhi oleh :
- ketelitian dari penarikan proyeksi
- ketelitian dari penjangkaan
- skala dari peta atau gambar yang diukur luasnya.
- Besarnya basis
1.1.2.2.
Mengubah Bentuk Gambar Tanah (Transformasi)
Transformasi dimaksudkan untuk mempermudah pengukuran, dilakukan dengan
mengubah bentuk gambar menjadi bentuk yang lebih sederhana dengan luas yang sama,
sehingga tidak perlu banyak penjangkaan dan perhitungan. Ketelitian transformasi
tergantung dari :
- Cara kerja transformasi

94

- Peralatan yang tepat dan baik


- Pemakaian alat dengan benar
Contoh transformasi :
Segi lima ABCDE ditransofmasi menjadi segi empat FCDE dengan cara menarik garis
BF//CA sehingga luas ABC = luas AFC. Selanjutnya segi empat FCDE
ditransformasikan kembali menjadi FCG.
a. Jangan sampai ada perpotongan garis transformasi yang tajam, karena akan
memberikan penjangkaan garis yagn tidak teliti.
b. Apabila akan memperpanjang garis hendaklah dilakukan dengan teliti, karena akan
mempengaruhi letak titik potong.
1.1.3. Penentuan Luas Cara Grafis Mekanis
Cara ini terutama digunakan untuk mengukur luas bangun-bangun yang dibatasi oleh
bukan garis lurus (garis nonlinier) seperti kurva-kurva yang tidak beraturan. Di sini digunakan
alat yang namanya planimeter. Dilihat dari konstruksinya, planimeter dapat dibagi menjadi
tiga macam, yaitu :
1. Planimeter kutub
2. Planimeter cakra kutub
3. Planimeter cakra roda
Bagan dari ketiga macam planimeter tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
A : Tangan penjelajah
D : engse l
L : roda tromol
T : plat lingk. Bacaan putaran tromol
G : kutub / pemberat
Gambar 13.8. Bagan planimeter kutub
S: piringan tumpuan roda tromol
L : roda tromol
d : klem pengatur panjang tangan
pejelajah
e : pegangan
f : jarum perunut
n : nonius pembacaan putaran roda
tromol
Gambar 13. 9. Bagan planimeter cakra kutub

95

Gambar : 13.10 Bagain planimeter cakra roda

Gambar 13.11. Planimeter digital

Gambar 13.12. Pengukuran luas dengan planimeter (kutub luar)


Demikian pula apabila bergerak ke A2 B2, A3 B3, maka luas yang terbentuk
ABB1B2B3A3A2A1A sebagai sebagai luas yang positif. Apabila berputar kembali ke A melalui
A4 maka luas yang terbentuk terakhir ini adalah A3B3B4A3AA4A3 sebagai luas yang negetif.

Gambar 13.13. Prinsip pengukuran luas dengan planimeter

96

Misal luas yang terbentuk oleh ujung tongkat A = La dan ujung B = Lb, maka luas
yang terbentuk adalah Lb La. Bilamana ujung A diam, maka La =0, sehingga luasnya = Lb.
inilah dasar dari planimeter kutub, dimana salah satu ujung tongkatnya diam (sebagai kutub)
dan ujung yang lain bergerak mengukuti batas gambar yang akan diukur luasnya. Piranti
yang digunakan untuk mengikuti batas gambar dinamakan stift tracer (berupa jarum) atau
floating mark apabila ujungnya berupa lensa pembesar.
Skema planimeter kutub.
AB : batang yang dinamakan tangan penjelajah
(fahr arm)
PB : tangan kutub (pool arm)
P : kutub
B : engsel
A : sift atau jarum untuk menjalani batas
gambar
C : tromol ukur yang sumbunya sejajar
dengan tangan penjelajah
Gambar 13.14. Skema planimeter kutub
Posisi C kadang-kadang di C namun tidak akan berpengaruh terhadap teori
perhitungan luas tersebut. Dalam menentukan luas gambar, jarum A digerakkan mengikuti
batas gambar. Akibatnya roda tromol akan berputar dan bergeser (rolling dan sliding).
Gambar 13.15 di bawahi ini menunjukkan jarum yang bergerak dari A ke A, sehingga
pergerakan tangan penjelajah dan tangan kutub melukiskan luasan seperti yang diarsir.
Banyaknya perputaran roda tromol dapat dibaca pada angka perputara tromolnya.

Gambar 13.15. Luas yang dibentuk oleh planimeter


Misal pada saat stift berjlaan dari A sampai A melewati A, tangan penjelajah berputar
sebesar d dan kutub berputar sebesar d. maka luas terbentuk oleh kedua tangan adalah :
dL = Luas PBB + luas B A A + luas BBA AB
= c2 d + a2 d + a.B D .......................................................................(13.7)
B D = C C + CC, di mana CC adalah perputaran linier dari tromol. Perpindahan tromol dari
tempat semula ke C dianggap sebagai pergerakan sliding dan dari sini rolling ke C
sehingga :
B D = b d + d........................................................................................(13.8)
Persamaan (13.8) disubstitusikan ke (13.7) memberikan :
dL = c2 d + a2 d + a.b d + a. d.................................................(13.9)
dalam mengukur luas gambar, kedudukan kutub ada dua kemungkinan, yaitu di luar
di dalam gambar.
Ada rumus
Kutub di luar gambar
Apabila jarum berputar mengelilingi gambar dan kembali ke A lagi, maka :

97

d dan d 0 ...................(13.10)
dL a. d a.
Luas =
....(13.11)

Gambar 13.17. Kutub di luar gambar


Akhir rumus luas untuk kutub di luar gambar :
Luas = a 2. r. U = A. U ...................................................................................(13.12)
A : Konstanta pengali
Luas di sini hanya tergantung dari panjang tangan penjelajah (fahr arm) a saja.
Kutub di dalam gambar
Apabila suatu kutun berada di dalam gambar,

d 2 ,

Maka pada rumus (4),


sehingga
Rumus (4) menjadi :
Luas = 2 ( c2 + a2 + a.b) + a.
= (c2 + a2 + 2. a.b) + a.
= B + A. U ..............................................................................................(13.13)

Gambar 13.17. Kutub dalam gambar


B : konstanta penambah

B
Besaran (c + a + 2 a.b) =
2

adalah kuadrat
Jari-jari, lingkaran dasar, yaitu lingkaran
dengan pusat P dan PC tegak lurus tangan penjelajah
serta terletak dalam bidang tromol C.
(PA)2 = (a + b)2 + (c2 b2)
= a2 + 2ab + b2 + c2 - b2
= a2 + 2ab + c2

B
=
Gambar 13.18. Lingkaran
Sehingga B = luas lingkaran dasar
Pada pengukuran luas dengan kutub dalam, ada kemungkinan luas bangun yang
diukur lebih kecil dari luas lingkaran dasar, sehingga rumus luas tidak menggunakan Rumus
13.13 namun menjadi :
L = B A.U ..........................................................................................(13.14)

98

Gambar 13.19. Luas Lingkaran dasar lebih besar dari luas bangun yang diukur.
Panjang tangan penjelajah (fahr arm) dapat disetel sedemikian rupa sehingga faktor
pengalinya (A) menjadi 1 atau 100. Karena umumnya r = 1 cm maka :
A = a. 2. 1 cm = 1 atau 100, maka

1
A = 2

100
cm = 0,159 cm, atau a = 2

cm = 15,9 cm
Dengan penyetelan a = 15,9 cm, kita mengadakan percobaan perhitungan luas dari
segi empat percobaan ynag luasnya 100 cm 2 misalkan dengan planimeter diperoleh luas
97,6 cm2 maka diadakan perubahan penyetelan lagi.
Karena luas = 2 ra1 U1 = 2 ra2 U2 maka :
a1 : a2 = U2 : U1

97,6
15,9 : a2 = 100 : 97,6 sehingga
a2 = 15,9 x 100
100 87,6
97,6

100
a1 a2 = a = 15,9 x 100 - 15,9 = - 15,9
2,4
x15,9cm
= 200
=0,38 cm
Panjang a harus diperkecil dengan jumlah proses yang sama dengan kekurangan
luas.
Contoh di atas :
Kekurangan luas adalah 2,4 %, maka a harus diperkecil dengan 2,4% x 15,9 cm =
0,38 cm.
Pada planimeter yang baru, pada tangan penjelajah terdapat suatu pembagian mm
dan biasanya juga tidak dibaca jumlah putaran penuh, tetapi 1/100 bagian dari putaran yang
disebut kesatuan norius. Misalkan yang terakhir ini dinyatakan dengan n, maka U = n/100.
Misalkan penyetelan tangan penjelajah dinyatakan dengan e dan jarak dari titik nol
pada pembagian tangan penjelajah terhadap engsel dinyatakan dengan eo, maka :
a = (e e0). mm = (e e0) mm
Jadi,
Luas
= 2 r (e e0) U mm2
= r (e e0) U mm2
Atau
Luas
= (e e0) k n mm2

99


mm
Di mana k = 1000
Gambar 13.20
Kalau luas diukur di atas peta dengan skala 1 : m, maka
L

m2
M2
2
1000
= (e e0) k n
= w n

m2
2
Di mana w = (e e0) k n 1000

= harga dari kesatuan nonius dalam M2


Pada umumnya pabrik telah membuat suatu tabel tentang e dan w bagi tiap-tiap
skala peta, yang terdapat pada kotak-kotak penyimpan dari planimeter tersebut.
Kalau e0 = 3,0; 1 / k = 33,3 dan w ditetapkan, maka e dicari dengan rumus :

w
e = e0 + k

1000 2
m2

...........................................................................(13.15)

Di bawah ini disusun tabel yang dimaksud.


Skala
Penempatan nonius
Harga kesatuan nonius
1:m
Pada tangan penjelajah
(w)
1:1000
336,0
10 M2
1:1250
169,2
12,5 M2
1:2000
169,2
20 M2
1:500
336,0
2,5 M2
1:250
136,2
0,25 M2
Apabila panjang tangan penjelajah diatur sedemikian hingga besaran konstante
pengali A = 100, maka besaran konstante penambah B dapat dicari dengan cara mengukur
luasan yang sudah pasti, misal luas lingkaran dengan jari-kari yang tertentu, kemudian
diukur dengan planimeter dengan kutub dalam sehingga diperoleh banyaknya putaran roda
tromol U. karena L, A dan U sudah tertentu, besaran konstante penambahan B dan
ditentukan dengan rumus (13.13) atau (13.14).
13.1.3.3. Beberapa Pedoman Pemakaian Planimeter Kutub
Menentukan luas tanah dengan planimeter selalu kurang teliti daripada menentukan
luas dari angka-angka ukur. Namun demikian tidak berarti bahwa semua luas harus
ditentukan dari angka-angka ukur. Ada daerah-daerah yang sangat luas di mana penentuan
luas yang sangat teliti tidak diperlukan. Dalam hal ini planimeter dapat dipakai dan harus
dipakai untuk menghemat waktu.
Ketelitian penentuan luas secara grafis mekanis ini dapat dipertinggi dengan jalan :
a. Pengukuran luas dengan planimeter dikerjakan di atas peta yang dikalkir sendiri dan
berskala besar (1:250, 1:500)
b. Mempergunakan planimeter cakra kutub dari pabrik yang terkenal (misal: Coradi) dan
harus ada loupe (kaca pembesar) untuk membaca dan loupe untuk stift.
c. Instrument harus diatur secara tetap (misalnya tiap tahun oleh seorang ahli dibersihkan
dan direvisi).
Planimeter adalah instrument yang sangat peka dan mudah sekali mengalami
gangguan. Kesalahan terutama pada alat ini adalah tidak sejajarnya sumbu tromol ukur

100

dengan tangan penjelajah. Oleh karena itu dibuatlah planimeter kutub kompensasi
(compensating polar planimeter). Ciri dari planimeter kompoensasi adalah tangan
penjelajahnya dapat berputar terus di bawah tangan kutub sehingga kutub kini berada di
bagian yang lain dari tangan penjelajah.
Pengaruh kesalahan sumbu tromol ukur
dapat pula ditiadakan dengan menempatkan
planimeter sedemikian rupa sehingga persil terbagi
dua oleh lingkaran berat, yaitu lingkaran yang dibuat
oleh stift jika tangan kutub tegak luas tangan
penjelajah.
Agar lingkaran berat dapat membagi dua
persil dilakukan cara sebagai berikut :
Titik berat dari persil harus berada pada
lingkaran berat. Oleh karena itu stift ditempatkan
Gambar 13.21. Penempatan
lebih dulu pada titik berat tersebut dan kemudian
planimeter
kutub digeserkan sedemikian hingga tangan
penjelajah tegak lurus tangan kutub.
Syarat-syarat lain yang harus dipenuhi dalam pemakaian planimeter adalah :
a. Dengan mempertimbangkan besarnya gambar yang akan ditentukan luasnya,
hendaknya diambil penyetelan panjang tangan penjelajah sependek mungkin, karena
panjang tangan penjelajah akan berbanding terbalik dengan banyaknya perputaran
tromol. Artinya apabila panjang tangan penjelajah semakin pendek, perputaran tromol
semakin besar (banyak) sehingga ketelitiannya semakin tinggi.
b. Menghindari sliding dari tromol. Artinya stift bergerak tetapi roda tromol tidak berputar.
Hal ini terjadi apabila gerakan dari stift sejajar dengan sumbu tromol. Biasanya sliding
terjadi apabila stift menjalani lingkaran dasar. Oleh karena itu keliling persil hendaknya
sedikit mungkin pada jarak pendek sejajar pada lingkaran dasar. Hal ini dicapai jika kutub
ditempatkan dalam arah memanjang dari persil.
c. Tidak awal dipilih pada batas gambar sedemikian hingga ketidaktepatan titik awal dan
akhir tidak memberikan pengaruh yang besar.

Gambar 13.22. Penempatan planimeter untuk menghindari sliding dari roda tromol
d. Sedapat mungkin diperhitungkan susutan dari kertas gambar, dengan cara sebagai
berikut :
Apabila susutan sepanjang sumbu X = p% dan sepanjang sumbu Y = q%, maka luas
yang diperoleh harus ditambah dengan (p + q)%. Apabila peta yang diukur luasnya
mempunyai jaringan-jaringan grid, maka dianjurkan untuk menentukan luas secara relative,
maksudnya dengan penyetelan tangan penjelajah sembarang, kita ukur luas sebuah jaringjaring grid dan luas persil yang bersangkutan, misal hasinya masing-masing N dan N

101

kesatuan nonius dan jika luas jaring-jaring grid yang sebenarnya = Q, sehingga luas persil =
(N/N). Q.
Hal tersebut di atas juga dilakukan apabila penyetelan tangan penjelajah meragukan,
agar diperoleh hasil yang baik. Selain itu ketelitian perputaran tromol juga dipengaruhi oleh
kualitas kertas peta yang diukur. Hal ini merupakan kelemahan planimeter kutub di mana
roda tromol langsung menempel pada kertas gambar yang akan diukur luasnya. Kelemahan
yang terahir ini dapat ditiadakan apabila menggunakan planimeter cakra kutub.
13.1.3.4. Pemakaian Planimeter Cakra Kutub
Pada planimeter cakra kutub, roda tromol berputar di atas suatu cakra kerja / piringan
yang mempunyai pemukaan yang licin. Cakra kerja ini dikerakkan oleh suatu ronsel, yang
dengan pertolongan roda gigi bergerak di sepanjang keliling dari pelat kutub atau cakra
kutub yang sangat berat.
a. Tromol bergerak di atas suatu cakra yang melekat pada permukaan yang licin, jadi tidak
di atas permukaan gambar yang diukur luasnya, yang biasanya kasar dan kotor.
b. Karena adanya pemindahan putaran dengan pertolongan roda gigi, putaran tromol dapat
10 kali lebih besar, jadi kita membaca satu angka lebih.
Planimeter cakra kutub bukan merupakan planimeter kompensasi, sehingga
diperlukan penempatan kutub yang teliti. Karena kutub sangat berat, penggeseran kutub
untuk mencari kedudukan yang baik dapat menimbulkan kerusakan pada kertas gambar,
sehingga perlu dibuat suatu alat pertolongan yang dinamakan pencari kutub.
Pencari kutub dibuat dari kertas transparan atau kalkir, yang dia tasnya digambarkan
lingkaran-lingkaran batas luar dan dalam serta lingkaran dasar yang dalam hal ini sama
dengan lingkaran berat. Dengan kertas transparan ini kita tentukan lebih dulu letak kutub
sedemikian rupa sehingga terlihat lingkaran dasarnya membagi dua persil. Baru kemudian
pelat kutub kita letakkan pada tempat kedudukan kutub yang telah ditentukan oleh pencari
kutub.

Gambar 13.23. Pencari kutub


Rumus luas pada planimeter cakra ini adalah :
L = A. U (kutub di luar gambar) .................................................(13.16)
L = A. U + B (kutub di dalam gambar)........................................(13.17)
L = B A. U (Kutub dalam, tetapi luas bangun yang diukur kecil dari luas
lingkaran dasar)........................................................................(13.18)
Di mana
U = selisih pembacaan tromol pada akhir dan permulaan pengukuran luas,
atau banyaknya perputaran roda tromol.

102

T1 2
a.c
T
d
2
= 2

A = Konstante pengali
B = Konstante penambah = (a2 + 2ab + c2)
Disini :
a = panjang tangan penjelajah
b = panjang tangan kutub
d = jarak antara titik pusat ronsel sampai titi kengsel dari tangan kutub
sampai tangan penjelajah.
r = jari-jari tromol
t1 = jumlah gigi-gigi dari ronsel
t2 = jumlah gigi-gigi dari cakra kutub

T1 r
.c
T
d
2
konstante A dapat pula ditulis = qA di mana q = 2
Pada planimeter cakra kutub dari Coradi, q kira-kira 0,0066 mm.
13.1.3.5. Ketelitian Penentuan Luas dengan Planimeter
Sumber-sumber kesalahan dalam penentuan luas dengan planimeter adalah :
a. Tidak terpatnya penempatan titik mula dan titik akhir sewaktu plianimeter berputar
keliling.
b. Ketidaktelitian dalam membaca tromol
c. Tidak teraturnya perputaran tromol
d. Ketidakterlitian dalam mengikuti batas persil
Pengaruh kesalahan putaran keliling perseorangan ini hanya ditetapkan berdasarkan
perbandingan-perbandingan dari sejumlah besar pengamatan yang dilakukan oleh berbagai
orang pada berbagai bentuk persil dan dalam keadaan yang berlainan pula (misal :
penyinaran, suhu, landasan dsb). Dari sejumlah pengamatan ini ditentukan kesalahan
menengahnya. Kesalahan menengah menurut ilmu hitung kuadrat terkecil adalah :

(v 2 )
n - 1 ..................................................................(13.19)

Di sini :
= kesalahan menengah atau simpangan baku atau standar devisi
n = banyaknya pengamatan.
13.1.3.6. Perkembangan Alat Planimeter
Alat ukur planimeter sekarang sudah semakin canggih, baik dari segi konstruksi, cara
pemakaian, kapabilitas dan system pembacaan tromol, perhitungan luas, serta tingkat
ketelitiannya. Pada alat planimeter merk Planix buata Tayama Jepang, misalnya, dengan
system pembacaan tromol eketronik atau digital yang dimilikinya, kita dapat memasukkan
skala peta langsung dengan menekan tombol skala sehingga kita dapat memperoleh luas
yang diukur dalam satuan meter persegi (m 2) atau feet persegi (ft2) tergantung dari
kebutuhan kita. Demikian pula dengan planimeter cakra rodanya, kita dapat mengukur
luasan gambar yang panjangnya tak terbatas. Bahkan pada produk yang terakhir telah
dilengkapi dengan printer, sehingga hasil pengukuran luas dapat langsung dicetak (diprint).

103

Gambar 13.24. Digital planimeter


Dalam perencanaan rekayasa, penentuan volume tanah adalah suatu hal yang
sangat lazim. Seperti halnya pada perencanaan fondasi, galian dan timbunan pada rencana
irigasi, jalan raya, jalan kereta api, penanggulan sepanjang aliran sungai, penghitungan
volume tubuh bending dan lain-lain, tanah harus digali dan dibuang ke tempat lain, atau
sebaliknya, harus diambil dari tempat lain untuk ditimbun di lokasi proyek. Semua kegiatan
itu menggali, mengangkut dan menimbun serta memadatkannya membutuhkan biaya yang
cukup besar. Biaya tersebut dapat dirancang apabila perencanaan dapat menghitung lebih
dulu berupa volume tubuh tanah yang dibutuhkan atau yang harus dipindahkan secara tepat.
Pada dasarnya penentuan volume tubuh tanah dan dilakukan dengan salah satu dari
tiga cara atau metode dibawah ini :
1. Dengan tampang melintang (cross-section)
2. Dengan garis kontur
3. Dengan sipat datar dan penggalian (spot level)
13.2.1. Penentuan Volme dengan Tampang Melintang (cross-Sections)
Dalam metode ini, tampang melintang diambil tegak lurus terhadap sumbu proyek
dengan interval jarak tertentu. Metode ini cocok digunakan untuk pekerjaan tanah yang
bersifat memanjang seperti perencanaan jalan raya, jalan kereta api, saluran irigasi,
penanggulangan sungai, dan penggalian pipa.

Gambar 13.25. Bangun dengan tampang-tampang melintang


Volume tubuh tanah antara dua buah tampang yang berurutan dapat dihitung apabila
luas dari tampang-tampang tersebut dapat dihitung. Adapun perhitungan-perhitungan luas
telah diuraikan dalam subbab 13.1, antara lain dengan cara numeris, grafis dan grafis
mekanis dengan alat planimeter.
Luas konstruksi yang bersifat memanjang dengan bentuk tampang yang seragam
dan lebar formasi serta kemiringan sisi galian atau timbunan (talud) yang konstan dapat

104

ditentukan dengan rumus-rumus yang disederhanakan sehingga perhitungannya lebih


mudah dan cepat.
Rumus-rumus perhitungan luas di bawah ini telah disesuaikan dengan kemungkinankemungkinan bentuk tampang yang terjadi, antara lain:
a. Tampang dengan permukaan tanah asli mendatar (one level section)
b. Tampang dengan permukaan tanah asli miring (two level section)
c. Tampang dengan permukaan tanah asli mempunyai dua kemiringan (three level
section).
d. Tampang dengan permukaan tanah asli dalam galian dan timbunan (side hill two
level section)
Notasi-notasi yang digunakan dalam rumus-rumus tersebut adalah :
b
: Lebar formasi
h
: Tinggi timbunan / dalam penggalian
h1, h2
: jarak vertikal dari permukaan formasi sampai perpotongan sisi talud dengan
permukaan tanah asli
w
: jarak mendatar dari sumbu tampang sampai perpotongan sisi talud dengan
permukaan tanah asli.
1:m
: Kemiringan sisi talud (1 = unit tinggi, m = unit jarak mendatar)
1:k
: Kemiringan permukaan tanah asli
1:1
: kemiringan permukaan tanah asli kedua
A
: Luas tampang
13.2.1.1. Tampang dengan Permukaan Tanah Asli Mendatar (One Level Section)

Gambar 13.26. Tampang denga nsatu permukaan


b = Lebar formasi
w = Lebar sisi dari sumbu sampai perpotongan tanah asli dengan sisi timbunan / halian

b
w = 2 + mh.....................................................................................................(13.20)
AC = 2 w = b + 2 mh

b b mh

Luas tampang = A =
A = h (b + mh)...................................................................................................(13.21)
Contoh :
Suatu tampang timbunan apda permukaan tanah asli yang mendatar, tinggi timbunan
3,10 m. Apabila lebar formasi 12.50 m, hitung (a) lebar sisi, dan (b) luas tampang apabila
kemiringan talud 1:2,5 (maksudnya 1 untuk verikal dan 2,5 untuk horizontal).

105

Perhitungan :
B = 12,50 m
m = 2,5
h = 3,10 m
Luas tampang = h (b + mh)
= 3,10 (12,50 + 2,5 x 3,10)
= 62,78 m2

h
mh
Lebar sisi kedua-arahnya sama = 2
= 6,25 + 2,5 x 3,10
= 14,0 m
Pemasangan patok di lapangan (setting out) untuk batas tepi timbunan / galian,
dengan pemasangan patok di A dan C pada jarak 14,0 m dari titik sumbu B normal atau
tegak lurus terhadap sumbu proyek.

13.2.1.2. Tampang dengan Permukaan Tanah Asli Miring (Two Level Section)
Pada kasus ini permukaan tanah asli miring terhadap arah sumbu proyek sehingga
lebar sisi dari titik sumbu menjadi titik sama.

Gambar 13.27. Tampang dengan dua permukaan

w1
Di sini : C1B = k merupakan beda tinggi antara titik B dan C karena kemiringan
tanah asli 1 : k sepanjang jarak w1, demikian pula :

w2
A1B = k
Demikian pula apabila sisi miring berpotongan di G, maka GE akan menjadi beda

b
b
tinggi untuk jarak horizontal sepanjang 2 , sehingga GE = 2m
Karena C1 CG sebangun dengan EFG maka :

CC1 GC1

EF GE

106

w1

b
2

1-

w1

2m

w
b
h 1
2m
k

m
b
mh
k
2

b
k
mh

2
k
m

w1

....................................................................................(13.22)

Demikian pula :

AA1 GC1

DE GE
w1

b
2

2m

w
b
h 2
2m
k

Sehingga :

b
k
mh

k -m
w2 = 2

................................................................................(13.23)
Luas tampang galian atau timbunan adalah ACFDA:
= luas BCG + luas ABG luas DFG

b
b

mh 1 w 2
h - 1 b.

2
2
2m

2m

= w1 2m

b2
b

h
(w

w
)

1
2
4m

= w1 2m
1 b
b2

mh (w 1 w 2 ) -
2m 2
2

=
Beda tinggi antara C dan F :

..............................................................(13.24)

w2
= h + = w1 k

............................................................................................(13.25)
Beda tinggi antara A dan D :

w2
=h- k

.......................................................................................................(13.26)
Dalam pemasangan patok A dan C, lebar sisi dapat diskala dari gambar tampang
dengan hari-hari dan seteliti mungkin atau dengan alat penyipat datar, rambu dan pita ukur
(Gambar 13.28)
Pembacaan pada rambu di A dan B masing-masing H 2 dan H. apabila h kedalam
formasi di bawah B, maka dalam hal tersebut :
h2 + H2 = H + h
atau
h2 = H H2 + h

107

x
tetapi h2 = m
Oleh sebab itu :

x = m (H H2 + h)

b
x
w2 = 2
b
m (H - H 2 h)
w2 = 2
.........................................................(13.27)
b
m (H - H1 h)
Demikian pula : w1 = 2
.................................................................(13.28)
Setelah pengambilan pembacaan rambu di B sebesar H, pemegang rambu
mengambil beberapa kemungkinan posisi (coba-coba) untuk mendapatkan posisi titik A,
setelah didapat kemudian diukur dan dicatat jaraknya dengan pita ukur dari.
B. Pembacaan rambu H2 sekarang diamati dan besaran m (H-H2+h). dihitung.
Harga w2 sekarang dapat dicari berdasarkan persamaan (13.27) dengan

b
menambahkan 2 . Apabila harga sama dengan panjang ukuran dengan pita ukur, berarti
posisi A sudah betul. Apabila belum cocok, maka dicoba lagi atau diulangi lagi oleh si
pemegang rambu, sedemikian hingga besaran ukuran jarak pita dari B ke A sama dengan
hitungan.

Gambar 13.28. Pemasangan patok batas galian / timbunan


Metode ini akan lebih cepat dan praktis dibandingkan cara dengan skala, terlebihlebih apabila surveyor sudah berpengalaman. Hal ini dapat lebih disederhanakan dengan
pemasangan harga tinggi akhir dari formasi dan tinggi garis bidik dari instrument. Perbedaan
tinggi di antara harga tersebut sama dengan (H + h) misalnya = Y, maka :

b
m (Y - H2 )
w2 = 2
........................................................................(13.29)
Papan profil (bouw-plank) kemudian dipasang untuk memiringan 1 : m sedemikian
hingga kemiringan yang sebenarnya dapat direalisasi selama kontruksi (pembangunan).
Untuk penggalian, papan ini dipasang sedikit di luar dari lebar sisinya, sedangkan untuk
penimbunan, dipasang tepat pada pertemuan antara batas penimbunan dengan permukaan
tanah asli.

108

Contoh :
Hitung lebar sisi dan luas tampang suatu timbunan untuk jalan raya apabila diketahui
lebar formasi 12,50 m, kemiringan talud 1:2, tinggi timbunan di sumbu proyek 3,10 m dan
kemiringan tanah asli 1:2 tegak lurus arah sumbu proyek.
Hitungan :
Berdasarkan Gambar 13.25.b:

b
k
mh

k-m
w1 = 2
Di sini : b = 12,50 k = 12 m 2 h = 3,10

12,50
k
2 x3,10

2
k-m
w1 =
= 14,94 meter

12,50
12
2x3,10

2
14
w2 =
= 10,67 meter

Dari persamaan (13.25) :

1 b
b2

m
h
(

1
2
2m 2
2

Luas =
1
12,50 2
12,45 (14,94 10,67)

4
2
=
= 60,18 m2

Contoh :
Pada contoh sebelumnya, apabila pemasangan patok A (Gambar 13.26.b) dengan
penyipat datar, pembacaan rambu di B adalah 3,636 m dan pembacaan rambu di titik A
( coba-coba ) adalah 2,768 m serta pengukuran jarak dengan pita ukur 10,67 m. apakah
posisi tersebut benar ?
Hitungan :
Pembacaan rambu di B = H = 3,636
Pembacaan rambu di titik coba-coba = H2 = 2,68
Atas dasar geometri bentuk timbunan, persamaan (13.27) dan (13.28) perlu kita
modifikasi sehingga menjadi :

b
m (H1 h - H)
w1 = 2
.............................................................................(a)
b
m (H2 h - H)
w2 = 2
.............................................................................(b)
Substitusi pada harga coba-coba pada persamaan (b) :
w2 = 6,625 + 2 (2,746) + 3,10 3,636)
Harga ini sama dengan hasil pengukuran dengan pita ukur sebelumnya, berarti
penempatan patok A dari batas timbunan sudah benar.

109

13.2.1.3. Tampang denga npermukaan Tanah Asli Mempunyai Dua kemiringan (Three
Level Section / Variabel Level)
Pada tampang yang demikian maka kemiringan tanah asli adalah 1:k dan 1:/. Rumus
untuk lebih sisi di sini menjadi :

b
k
mh

2
k

w1 =
b
1
mh

1 m
w2 = 2

..........................................................(13.30)

...........................................................(13.31)
apabila BA menurun dari garis sumbu maka :

b
1
mh

1 m
w2 = 2

...........................................................(13.32)

Gambar 13.29. Tampang dengan tiga permukaan


Luas tampang A

b
h
= w1 2m
w2
b

h (w 1 w 2 )

= 2m

2m

b
- b. 2m

b2
- 2m

1 b
b2

mh ( w1 w2 )
2m 2
2

................................(13.33)

13.2.1.4. Tampang dengan Tanah Asli dalam Galian dan Timbunan (Side Hill Two Level
Section)
Biasaya kemiringan talud penimbunan tidak sama dengan kemiringan talud
penggalian, misal kemiringan talud penimbunan 1 : m dan kemiringan talud penggalian 1 : n.
demikian pula, perpotongan antara bidang formasi dan tanah asli tidak harus berada pada
garis sumbu proyek.
Pada Gambar 13.30, GBA sebangun dengan EBJ.
Dengan demikian :

GB h 2

BE h
GB BE h h 2

BE
h
Akan tetapi GB + BE = w2 dan BE = k.h

110

Gambar 13.30. Tampang dalam galian dan timbunan


Sehingga : w2 = k (h + h2)

b
2 Demikian pula

GD = mh2
= GE DE = w2

Dengan demikian :

w2 b

2 2w2 b
m
2m

h2 =

k b

mh

w2 = k m 2

..........................................................(13.34)
Dengan cara yang sama, lebar sisi yang lain direkduksi dari gambar di atas :

BL EL BE h1

BE
BE
h
Dengan demikian :

EL h1
BE kh
BE h
Sehingga :

EL = w1 = k (h1 h)

b
Akan tetapi FL = nh1 = w1 - 2
Sehingga :

2w1 b
h1 = 2n
2 w1 b
h

2
n

w1 = k

k b

- mh

jadi w2 = k m 2

...........................................................(13.35)

Luas timbunan

- kh

h2 DB = h2 2

111

2 w2 b

2m
=
( b kh) 2
2
( k m)
=

- kh
2

.......................................................(13.36)

Luas galian :

kh

h1 BF = h1 2
2 w2 b b

- kh
2m 2

=
( b kh) 2
2
(
k n)
=
.............................................(13.37)
Apabila tampang timbul berada pada garis sumbu tidak seperti pada Gambar 13.29,
maka rumus di atas perlu dimodifikasi menjadi :

( b kh) 2
2
Luas timbunan = ( k m)
....................................................................(13.38)
2
( b kh)
2
Luas galian = (k n)
...........................................................................913.39)
Pemasangan patok (setting out) pada tampang yang demikian, dengan alat penyipat
datar yang distel di atas titik C seperti pada Gambar 13.28, patok harus dipasang di A sejauh

mh 2

w2 dari sumbu = 2
Apabila Y adalah tinggi garis bidik di atas bidang formasi, maka h 2 harus sama dengan
pembacaan rambu yang didirikan di A, misal H2, minus Y.
Dengan demikian : h2 = H2 Y
Besaran w2 untuk harga pembacaan rambu H2 pada titik atau patok yang akan
dipasang dihitung dengan persamaan :

b
b
mh 2 mh 2 m(h2 Y )
2
w2 = 2
Bandingkan hasil perhitungan menggunakan rumus ini dengan hasil pengukuran
menggunakan pita ukur. Apabila tidak sama, rambu harus dipindah-pindahkan naik atau
turun pada garis profil/tampang sedemikian hingga harga pembacaan rambu untuk
perhitungan w sesuai dengan jarak pengukuran dengan pita ukur.
Apabila garis bidik penyipat datar berada di bawah level bidang formasi, maka Y
harus ditambahkan pada pembacaan rambu di posisi titik coba-coba.
Contoh :
Sebuah rencana jalan dengan lebar formasi 9,50 meter, dengan kemiringan talud 1:1
di daerah penggalian dan 1:3 di daerah penimbunan. Permukaan tanah asli mempunyai
kemiringan 1:5. Apabila kedalaman penggalian di garis sumbu proyek 0,50 meter, hitung
lebar sisi dan luas tampang galian dan timbunannya.
Perhitungan :

112

Dari rumus (13.34), (13.35), (13.36), (13,27) kita dapatkan :

k b

- mh

w2 = k m 2

= 53

(4,75 3 x 0,5)
= 7,88 meter

k b

- mh

w2 = k m 2

= 53

b 2 kh
Luas timbunan =

(4,75 3 x 0,5)
= 6,56 meter
2

( k m)

b 2 kh

( k n)

4,75 5 x0,5 2
53
=
2
= 1,27 m

4,75 5 x0,5 2

53
=
2
= 6,57 m
Permukaan tanah asli dapat diperoleh dari pengukuran profil melintang seperti telah
dijelaskan dalam Bab.11.2 atau dari peta topografi (kontur) seperti pada Bab 10.6. lebar
formulir tergantung dari macam proyek dan kelas-kelasnya (jalan raya, saluran irigasi,
tanggul dll), sedangkan kemiringan talud ditentukan oleh factor kekompakan material
tanahnya.
Untuk perhitungan volume tubuh tanahnya dapat digunakan beberapa rumus, antara
lain :
1. Rumus Tampang Rata-rata (Mean Areas)
Dalam rumus ini volume didapat dengan mengalikan luas rata-rata dari tampang
yang ada dengan jarak antara tampang awal dari akhir. Apabila tampang-tampang tersebut
A1, A2, A3, An-1, An dan jarak antara tampang A1 ke An = L, maka :
Luas galian =

A1 A 2 A 3 ........A n -1 A n
n
Volume = V =

...................................................(13.40

2. Rumus Dua Tampang (End Areas)


Apabila A1 dan A2 adalah luas tampang yang berjarak D, maka volume antara dua
tampang tersebut :

A1 A 2
2
V = D.
.........................................................................................(13.41)
Rumus ini benar sepanjang tampang tengah antara A1 dan A2 merupakan rata-rata
dari keduanya. Seandainya tidak, maka penggunaan rumus tersebut harus dikoreksi (koreksi
prismoida).
Apabila tampang-tampang di sini banyak dan jarak-jarak antar tampang bervariasi
missal D1, D2, D3, dst. maka :

D1 (A1 A 2 ) D 2 (A 2 A 2 ) D3 (A 3 A 4 )

2
2
2
Volume = V =
+..............(13.42)
Rumus ini didasarkan pada rumus trapesium untuk volume.
Contoh :
Sebuah pekerjaan penimbunan dengan kemiringan 1:20 ke arah memanjang
(longitudinal). Tubuh tanah tesebujt dibatasi oleh tiga buah tampang yang masing-masing

113

berjarak 20 meter dan tinggi timbunan pada masing-masing tampang adalah 6,00; 7,60 dan
9,20 meter di atas permukaa tanah asli yang mendatar. Apabila kemiringan talud 1:1 dan
lebar formasi 6,00 meter, hitung volume timbunan tersebut dengan rumus trapezoid.
Perhitungan
Dengan rumus (13.21) :
A = h (b + mh)
A1 = 6,00 (6,00 + 6,00) = 72,00 m2
A2 = 7,60 (6,00 + 7,60) = 103,36 m2
A3 = 9,20 (6,00 + 9,20) = 139,48 m2
Catatan : tampang tengah (A2) tidak sama dengan rata-rata kedua tampang luar A1 dan A3.

20,000
(72,00 2x103,36 139, 84)
2
V=
= 4185,60 m3
Apabila digunakan rumus dua tampang terluar :

40
(72,00 139,84)
V= 2
= 4236,80 m3
3. Rumus Prismoida
Rumus ini adalah rumus yang paling baik di antara rumus-rumus yang lain. Prisma adalah
sebuah bangun yang bidang sisi-sisinya berupa bidang datar, sedang bidang alas dan
atasnya sejajar.
Bentuk rumus prismoida adalah :

D
(A1 4M A 2 )
V= 6
............................................................(13.43)
Di sini :
A1 dan A2 : penapang luar (atas dan bawah)
D
: jarak antara A1 dan A2
M
: luas penampang tengah
Apabila M adalah rata-rata dari A1 dan A2, maka :

D
V= 6

A 4

A1 A 2

A2
2

A1 A 2
2
=Dx
Rumus di atas sama dengan rumus volume dengan dua permukaan (end area), dan
dapat dikembangkan untuk volume piramida, yaitu prisma di mana luas alas berupa bujur
sangkar dan luas atasnya =0, sehingga apabila sisi alas = x, maka :
Luas alas : A = x2

x2 A

4
Luas penampang tengah : M = 4
Luas panampang atas = 0

114

D
A

A1 4 0

V = 6
D
.A
= 3

Gambar 13.31. Piramida dan prisma segitiga


Dengan cara yang sama, volume prisma segitiga dengan panjang a, lebar b dan
tinggi D adalah :

D
4ab

ab1
0

V = 6
Dab
= 2
Rumus Simpson :
Apabila tampang-tampang tersebut banyak, missal A1, A2, A3, A4,.. An, maka dapat
dihitung volume untuk setiap bangun yang dibatasi tiga tampang (sisi) :
V1
V2

2D
(A1 4A 2 A 3 )
= 6
2D
(A 3 4A 4 A 5 )
= 6
, dan seterusnya sehingga :
D
(A1 4A 2 2A 3 4A 4 ... 2 A n - 2 4A n -1 A n )
= 3
................(13.44)

V
Di sini :
n = nomor-nomor ganjil
D = jarak antar dua tampang
Koreksi prismoida :
Perhitungan volume dengan rumus prisma (prismoida) lebih baik bila dibandingkan
dengan rumus end area. Oleh karenanya, apabila hitungan dilakukan dengan metode atau
rumus end area sebaiknya dikoreksi dengan koreksi prismoida atau prismoida correction
untuk mendapatkan hasil yang baik.
Misal D adalah jarak antara dua tampang A1 dan A2 adalah dua tampah ujungujungnya, M adalah tampang tengah, h1 dan h2 adalah beda tinggi antara bidang formasi dan
permukaan tanah asli, dan b adalah lebar formasi. Kemudian dari persamaan (13.21) :
A1 = h1 (b + mh1)
A2 = h2 (b + mh2)
Sehingga :

115

D
2
2
(bh 1 mh1 bh2 mh2
V end area = 2
h1 h2
2
Dengan anggapan hm
(beda tinggi antara bidang formasi tampang tengah
dengna permukaan tanah asli), maka :

h1 h2
h1 h 2

2 bm
2

M=
2

bh1 bh2 bh1 bh2

2
2
2
= 2

Sehingga :

V prismoida

D
=6

D
Vp = 6
D
= 6

bh1 bh2 bh12 bh2 2 mh1h2


2

bh mh2
2
4
4
2

bh1 mh1 4

3bh1 2bh1 3bh2 2bh1 2mh1h1 )

2
2
2mh1h2
2
2
bh1 mh1 bh 2 mh 2

3
3
3

Jadi :

VEA - Vp

D
= 6
D
= 6

mh12 2mh1h 2 mh2

3
3
3

. m (h1 - h2)2...................................................................(13.45)
= koreksi prismoida untuk tampang satu permukaan
Karena besaran (h2 h2)2 selalu positif, maka koreksi selalu dikurangkan terhadap
volume yang dihitung dengan rumus volume dengan dua tampang atau end area formula.
Dengan cara yang sama dapat diperoleh kokresi prismoida untuk tampang dengan
dua permukaan atau two level sections :

D
D
VEA Vp = 6 (A1 + A2) - 6 (A1 + 4M + A2)
D
= 6 (A1 2M + A2)...............................................................(13.46)
D
= 6

k2
.m(h1 h2 )
(k 2 m2 )
..................................................(13.47)

Seperti halnya pada tampang dengan satu permukaan, di sini koreksi prismoida
selalu positif, sehingga k>m. pada tampang dua permukaan di mana sebagian dalam
timbunan dan sebagian lagi dalam galian :

D
k 2 (h1 h2 ) 2
Timbunan KP = 12 (k n)
................................................(13.48)

116

D
k 2 ( h1 h2 ) 2
Galian KP = 12 (k n)
......................................................(13.49)
Contoh :
Dari contoh sebelumnya yang diselesaikan dengan metode end area, hitung kembali
volumenya dengan rumus prismoida.
Perhitungan :
a. Dengan mengambil D = 40 meter

40
(72,00 4.103,36 139,84)
V= 6
= 4168,50 m2
b. Dengan D untuk setiap 20 meter, menggunakan koreksi prismoida

20
(72,00 103,36)
V1 = 3
= 1753,60 m2
KP = (h1 h2)2
= 20 x 1 ( ) (6,00 7,60)2
= 8,53 m3

20
(103,36 139,84)
V2 = 3
= 2432 m2

20
(7,60 - 9,20) 2
KP = 6
= 8,53 m2
Jumlah volume = 4168,5 m3
Ternyata hasil perhitungan volume dengan metode end area dan koreksi prismoida
adalah sama. Hal ini dikarenakan luas penampang tengah sama besar dengan rata-rata
antara dua penampang luasnya.
Contoh :
Suatu penggalian dilakukan pada tanah asli yang mempunyai kemiringan 1:5 Lebar
formasi 8,00 meter, kemiringan talud 1:2. Apabila kedalaman penggalian pada sumbu proyek
di tampang 1,2,3, yang masing-masing berjarak 20 meter adalah 2,50 meter; 3,10 meter dan
4,30 meter, hitung volume tubuh tanah yang dibatasi oleh ketiga tampang tersebut.
Perhitungan :
Dengan rumus (13.13)

1 b
b2

mh
(
w

w
)

2
2m 2
2

A=
Dan dari rumus (13.30) dan (13.31) :
W1 =
W2 =

K
( b2 + mh)( Km
)
( b2 + mh)( KK+m )

Sehingga di dapat : untuk m = 2 dan k = 5

117

Dari hitungan di dapa :

K
K m

5
,
3

K
K +m

5
7

A1 = 40,24 m
A2 = 53,94 m
A3 = 86,50 m
a. Apabila dihitung dengan rumus prismoida :

20
4

V=

(40,24 + 4 x 53,94 + 86,50)

= 2283,30 m
b. Dihitung dengan rumus end area dengan koreksi prismoida :
VEA =

20
2

(40,24 + 2 x 53,94 + 86,50)

= 2346,20 m
Dari rumus 13.45 :
KP =
=

k
D
.
2
6
(k m2)
20
25
.
.2
6
21

. m (h1 h2)

( 2,50 )3,10
[ +(3,204,30) ]

= 14,30 m
Sehingga :
Vp = 2346,20 14,30
= 2331,90 m
Contoh
Sebuah rencana jalan dengan lebar formasi 9,00 meter dan kemiringan talud 1:1
dalam penggalian dan 1:3 dalam timbunan. Permukaan tanah asli mempunyai kemiringan
1:5. Apabila kedalaman penggalian dari dua tampang dalam sumbu proyek yang 20 masingmasing adalah 0,40 meter dan 0,60 meter, hitung volume galian dan timbunan dalam sector
ini.
Perhitungan :
Dari rumus 13.36 dan 13.37:

1
2

Luas tampang timbunan =

1
2

Luas tampang galian =

b
( + kh)
2
(k m)
b
( + kh)
2
(k n)

Pada tampang 1 :

1
2
1
=
2

Luas tampang timbunan =


Luas tampang galian

(4,55 x 0,4)
= 1,56
(53)
(4,55 x 0,4)
= 1,56
(51)

Pada tampang 2 :
Luas tampang timbunan =

1
2

(4,55 x 0,6)
(53)

= 0,56

118

Luas tampang galian

1
2

(4,55 x 0,6)
(51)

= 7,03

Timbunan :
VEA =

20
2

(1,56 + 0,56) = 21,20 m

Dari rumus (11.46) :

20
x 25 x 0,20 = 0,80 m
12 x 2
20
=
x 25 x 0,20 = 0,80 m
12 x 2

KP =

Jadi. Vp = 20,40 m
Galian :
VEA =

20
2

.(5,28 + 7,07) = 123,10 m

Dari rumus 13.49 :

D
k (h1 h2)
12(kn)
20
=
x 25 x 0,20 = 0,4 m
12 x 2

KP =

Jadi, Vp = 122,70 m
Dengan demikian, penggalian lebih besar 102,3 m dari timbunan.
4. Rumus Frustum
Rumus ini berlaku untuk bangun-bangun yang mendekati bentuk kerucut terpancung
di mana luas penampang atas 0,5 dari luas penampang bawah. Adapun bentuk dari rumus
Frustum adalah :
V = 1/3 . t . (A1 + A2 + A 1 . A 2 ) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
(13.50)
Dalam hal ini :
t : tinggi/jarak antara penampang atas dan bawah
A1 : luas penampang atas
A2 : luas penampang bawah.

Gambar 13.32. Frustum


13.2.1.5. Pengukuran Kelengkungan
Sejauh ini kita beranggapan bahwa sumbu proyek lurus dan tampang-tampang
melintang yang ada tegak lurus terhadap garis sumbu. Apabila garis sumbu proyek
melengkung, tampang-tampang tersebut tidak lagi saling sejajar satu sama lain, melainkan

119

akan berbentuk radial, sehingga volumenya akan menjadi lebih kecil dariapda yang bergaris
sumbu lurus. Untuk itu perlu diberikan koreksi kelengkungan seperti yang dijelaskan dalam
teori Pappus.
Teori Pappus menyatakan bahwa volume suatu tampang yang berputar sama
dengan luas tampang tersebut dikalikan dengan jarak yagn ditempuh oleh titik berat dari
tampang yang berputar. Apabila luas tampang-tampang tidak seragak, maka volumenya
dapat dihitung dengan cara sebagaimana yang digambarkan berikut ini:

Gambar 13.33. Tampang dengan jarak titik berat yang tidak sama
Apabila tubuh tanah berbentuk melingkar dan tampang awal dan akhir tidak sama,
maka jarak masing-masing titik beratnya terhadap sumbu adalah = ., dan radius 2
jarak jari-jari lingkaran yang dijalani oleh titik berat menjadi R . Tanda minus digunakan
jika rata-rata pusat gaya berat berada di antara garis sumbu proyek dan pusat lingkaran, dan
tanda positif digunakan jika berada di luar sumbu proyek. Apabila jarak antar tampang = D,
maka sudut pusat yang mengapit = .. sehingga jarak yang ditempuh oleh titik berat
.
Sehingga volume (pendekatan) menjadi :
V = 1/2 (A1 + A2) . D

[ ]
1

........................

(13.51)
Posisi titik berat mungkin berpindah-pindah terhadap garis sumbu, apabila kemiringan
permukaan tanah berubah. Oleh karena itu harga dihitung secara aljabar dari harga 1
dan 2. Sebagai alternatif yang lain, yang dikreksi adalah luas tampangnya, misalnya A1
menjadi A1

[ ]
1

, sehingga setiap tampang setelah dikoreksi menjadi

A 1 1
,
R

A 2 2
dst, dan luas tampang terkoreksi tersebut digunakan dalam rumus
R
prismoida.
Contoh :
Suatu penggalian dengan sumbu proyek melengkung berjari-jari 120 m. permukaan
tanah asli mendatar, memiringan talud 1:1,5; lebar formasi dari 6 m melebar menjadi 9 m
secara kontinu pada jarak 90 m dari awal penggalian. Apabila kedalaman penggalian di
sumbu proyek bertambah secara kontinu dari 2,40 m sampai 5,10 m, hitung volume tanda
yang harus digali.
Penyelesaian :
Berdasarkan Gambar 13.34, luas tampang galian A = 3h. untuk sembarang kedalam
yang diberikan pada sumbu proyek (h)
X=

3
2

H
2

3
4

h meter

120

Oleh karenanya eksentirisitas dari titik berat menjadi 4,5 +

3h
4

dari sumbu

sebelumnya, sehingga dapat dibuat table sebagai berikut :

Gambar 13.34.

Catatan :
Apabila tidak dikoreksi dengan koreksi kelengkungan, volume bangun di atas 1012,5
m3 sehingga akan kelebihan sebesar 6,5%.
13.2.2. Penentuan Volume dengan Garis Kontur
Sebagaimana telah kita ketahui, garis kontur atau tranches pada peta adalah garisgaris yang menghubungkan tempat-tempat yang sama tinggi sehingga bidang yang
terbentuk oleh sebuah garis kontur akan berupa bidang datar. Apabila kita mempunyai peta

121

yang bergaris kontur, maka volumenya dapat dihitung sebagaimana menghitung volume
pada peta yang berpenampang-penampang melintang.
Luas setiap penampang di sini adalah luas yang dibatasi oleh suatu garis kontur,
sedangkan tinggi atau jarak antara penampang adalah besarnya interval garis kontur, yaitu
beda harga antara dua garis kontur yang berurutan.
Karena bangun atau bidang yang dibatasi oleh sebuah garis kontur bentuknya tidak
teratur, maka penentuan luas di sini dikerjakan dengan planimeter. Volumenya dapat dihitung
dengan rumus end area untuk setiap dua buah tampang yang berurutan, rumus prismoida
untuk setiap tiga buah tampang, atau rumus Simpson untuk tampang yang banyak.

Gambar 13.35. Garis kontur pada bukit.


Karena garis kontur digambar dengan interval yang tertentu tergantung dari skala
peta yang dipakai, missal 1 meter, 5 meter, 10 meter, atau 25 meter maka harga kontur yang
lain dapat diinterpolasi dari harga kontur yang telah ada.
Perhitungan volume dengan garis kontur umumnya dilakukan untuk perhitungan
volume yang tidak membutuhkan ketelitian yang tinggi, seperti perkiraan volume air yang
dapat ditampung dalam suatu waduk atau bendungan, volume tubuh bending, volume bahan
tambang dalam suatu bukit. Ketelitian perhitungan volume tergantung pada ketelitian peta
yang digunakan.
Contoh :
Pada peta dengan interval kontur 1 meter di bawah ini (gambar 13.36) akan didirikan
bangun dengan tinggi dasar lantai (level) 32,0 meter. Hitung volume material yang digali
apabila kemiringan talus 1:2.
Perhitungan :
1. Karena kemiringan talud 1:2 maka untuk interval kontur 1 meter jarak horizontalnya
adalah 2 meter.
2. Garis potong antara permukaan tanah asli dan galian seperti yang digambarkan dengan
haris patah-patah. Catatan : teknik penggambarna isometric lihat subbab 11.6. di muka.

122

Gambar 13.26. Perhitungan volume dengan kontur


3. Luas setiap garis kontur yang tertutup dihitung dengan planimeter. Luas kontur 32 meter
adalah bangun A1CD; luas kontur 33 adalah bangun yang dibatasi oleh titik-titik
bernomor 2.2.2.2; luas kontur 34 adalah bangun yang dibatasi oleh titik yang bernomor
3.3.3; dan luas kontur 35 adalah bangun yang dibatasi titik bernomor 4.4.4, sedang luas
kontur 36 =0
4. Misal dengan planimeter luasan-luasan tersebut didapat :

5. Volume dihitung dengan rumus Simpson :

13.1.3. Penentuan Volume dengan sipat datar dan penggalian (Borrow Pit/Spot Level
Metode ini banyak dipakai pada pekerjaan penggalian yang besar dan luas.
Pelaksanaannya di lapangan meliputi pembuatan jarring-jaring grid yang berbentuk bujur
sangkar atau empat persegi panjang dengan panjang sisi yang tertentu, missal 10 meter, 15
meter atau yang lain. Titik-titik grid di lapangan ditandai dengan patok kayu, kemudian
diadakan pengukuran sipat datar untuk mengetahui ketinggian setiap patok.
Apabila penggalian akan dikerjakan hingga pada level yang tertentu, maka selisih
tinggi untuk setiap patok dapat dihitung. Ataupun apabila penggalian dilakukan terlebih
dahulu baru dihitung volume tanah yang telah tergali, maka sesudah penggalian pada patokpatok tersebut diadakan pengukuran sipat datar kembali untuk mengetahui kedalaman
penggalian di setiap patok. Dari selisih-selisih ketinggian tersebut kemudian dihitung
volumenya dengan rumus prisma terpancung dengan alas prisma berupa empat persegi
panjang atau segitiga, sedang tinggi prisma diambil dari rata-rata dalamnya penggalian di
titik-titik grid (patok).
Contoh :
Pada suatu daerah yang dibatasi
dengan titik-titik grid (gambar 13.37)
setelah penggalian diadakan pengukuran
tinggi ulang, beda tinggi seperti dalam

123

contoh di bawah, hitunglah volume tanah


yang tergali tersebut.
Perhitungan :
a. Diasumsikan bangun tersebut dibagi
dalam empat buah empat persegi
panjang yang terpisah dengan luas
alas yang sama dan tinggi setiap
prisma
diambil
rata-rata
dari
ketinggian
keempat
sudutnya.
Karena ketinggian titik sudut ada
yang digunakan lebih dari satu kali,
perhitungan dibuat dalam tabel
berikut :
Gambar 13.37

b. Dengan menganggap prisma segitiga, tinggi prisma adalah rata-rata dari ketiga tinggi
sisinya.

Volume

15,0 x 12,5 111,75


x
2
3

= 3492 m
1.1.4. Diagram Mass-Haul
Pada pekerjaan tanah yang besar dan memanjang seperti halnya perencanaan jalan
kereta api, jalan arteri, saluran irigasi primer, dan lain-lain, peran diagram Mass-Haul sangat
penting dalam perencanaan dan konstruksi.
Diagram Mass adalah suatu lengkungan yang menunjukkan penjumlahan aljabar dari
volume galian dan timbunan, dari stasiun yang tertentu sampai stasiun berikutnya. Pada
diagram ini stasiun ditempatkan pada sumbu absis dan jumlah volume ditempatkan pada

124

ordinat. Skala pada absis sama dengan skala horizontal pada gambar profil memanjang,
skala ordinat disesuaikan dengan volume dalam meter kubik, misal 1 cm untuk 100 m3.
Sebelum menggambar diagram ini, sebaiknya volume galian (+) dan timbunan (-) disusun
dulu dalam suatu tabel.
Sebagian besar meterial (tanah/batuan) volumenya akan bertambah setelah digali,
tetapi akan menyusut setelah digunakan untuk menimbulkan dan dipadatkan. Apabila factor
penyusutan ini diketahui maka ada baiknya hal ini turut dimasukkan dalam diagram Mass
Haul ini.
Biaya penggalian dan angkutan materi ditentukan oleh beberapa factor, di antaranya
jarak angkut. Besarnya biaya unit price dari penggalian dan angkutan telah dihitung dalam
jarak angkut yang telah tertentu, missal 500 meter. Jarak ini dinamakan dengan free haul.
Apabila material harus diangkut melebihi jarak tersebut, maka kelebihan jarak tersebut
dinamakan overhaul. Dengan demikian haul adalah volume x jarak angkut untuk ditimbun.
Hal ini akan sama dengan jumlah volume dari galian x jarak dari pusat harian ke pusat
timbunan.
Diagram di bawah adalah contoh pengeplotan dari data di halaman sebelumnya
untuk jarak 1000 meter. Dalam membuat diagram, ada beberapa hal yang perlu
dikemukakan, antara lain :
a. Kurva naik menunjukkan galian, sehingga volume akumulasi bertambah terus (yaitu J ke
B) dan titik maksimum adalah akhir dari galian (yaitu b,e).
b. Kurva menurun menunjukkan timbunan (yaitu B ke M dan N ke D) dan titik minimum
adalah akhir dari timbunan (yaitu d).
c. Jika sembarang haris horizontal memotong kurva, misal garis lm, maka volume galian
akan sama dengan timbunan. Garis ini dinamakan garis keseimbangan. Apabila kurva
berada di atas garis keseimbangan, material harus dipindahkan ke kanan, seperti pada
LBM dan apabila kurva berada di bawah garis keseimbangan, material harus
dipindahkan ke sebelah kiri, seperti pada RGS.

125

Gambar 13.38. Diagram Mass-Haul


Garis basis juga bias berlaku sebagai garis keseimbangan, namun tidak selalu
dipakai untuk itu. Garis keseimbangan dapat dipilih yang sesuai dan tidak harus
bersambungan untuk seluruh diagram, seperti lm dan np yang terpotong oleh jembatan dan
antara np dan grs yang sama sekali terpisah. Titik yang berada di antara dua garis

126

keseimbangan yang berbeda berarti tidak termasuk dalam keseimbangan, seperti antara K
dan L dan antara P dan Q pada kurva yang naik. Ini berarti kelebihan material dan harus
diambil dan dibuang (waste) sedang apabila menurun berarti kekurangan material yang
harus diambilkan dari tempat lain untuk penimbunannya. Hal ini mungkin malah lebih
ekonomis daripada membuat garis keseimbangan yang lebih panjang, namun menjadi tidak
ekonomis karena angkutannya terlalu jauh.
Dengan pertimbangan di atas, apabila harga free haul telah ditentukan, beberapa
tempat dalam kurva dapat diplot dan jarak ekstra untuk overhaul dapat diperhitungkan. Misal
jarak free haul 500 m, maka antara KMB yang ditandai dengan xy pada kurva Mass-Haul
dan yang lain np, qr menjadi garis keseimbangan yang cukup baik. Bagian luasan kurva
yang dipotong oleh garis keseimbangan yaitu Ibm dinamakan haul di tempat itu sehingga
haul adalah hasil kali volume dan jarak.
Luas free haul adalah uxbyyu dan luas overhaul adalah (ibml-uxbyyu). Jarak overhaul
adalah jarak dari titik berat luasan 1 xu ke titik berat luasan vym (missal-f).
Overhaul volume station = (Ibml-uxbyyu). F meter4
Volume lux dapat dilihat dalam ordinat ux pada kurva, sedangkan volume vym
besarnya dinyatakan dalam ordinat vm. Besarnya over haul inilah yang memerlukan biaya
ekstra.

127

CATATAN

128

Anda mungkin juga menyukai