Anda di halaman 1dari 23

III.5.

Kestabilan Lubang Bukaan Bawah Tanah


Pada penggalian lubang bukaan bawah tanah, terdapat beberapa faktor yang
berpengaruh pada kestabilan lubang bukaan. Keberadaan faktor tersebut harus
dipertimbangkan didalam desain lubang bukaan, mengingat potensi ketidaksabilan
akan dapat mengakibatkan runtuhan/subsidence.
Secara umum faktor yang mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan bawah tanah
adalah sebagai berikut (Hoek & Brown,1980) :
1. Struktur geologi
2. Tegangan insitu massa batuan yang sangat besar
3. Batuan yang mengalami pelapukan (weathering) dan/atau pengembangan
(swelling)
4. Aliran atau tekanan air tanah yang besar.

Mekanisme runtuhan yang terjadi pada lubang bukaan bawah tanah umumnya adalah
runtuhan yang disebabkan oleh adanya struktur geologi (structurally conrolled
failure) dan runtuhan yang diakibatkan oleh tegangan insitu yang bekerja di dalam
massa batuan (stress-controled failure). Runtuhan tentu saja juga dapat disebabkan
oleh kombinasi antara kedua faktor tersebut dan juga faktor lain seperti pelapukan
dan air tanah.

Ketidakstabilan struktural yang terdapat di dalam suatu terowongan berbentuk baji


mempunyai dimensi volume batuan tertentu yang dapat runtuh akibat adanya geseran
sepanjang permukaan. Hal ini sangat diperlukan dalam mengkaji struktur dan faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi ketidakstabilan seperti kohesi serta sudut geser
pada permukaan antar blok batuan.

1
III.6. Perhitungan Angka Keamanan (Safety Factor)
Untuk perhitungan angka keamanan (S.F = Safety Factor) dipakai kriteria Mohr-
Coulomb sebagai berikut :

Gambar III.6. Selubung kekuatan geser batuan berdasarkan


kriteria Mohr-Coulomb.

Angka keamanan (Safety Factor) dihitung berdasarkan rumusan berikut :

σ 1+ σ 3

Angka keamanan = S.F = A/B ¿


c cos ∅+ {( )} 2
sin ∅
………(3.19)
σ 1−σ 3
2
Dimana besaran A dan B adalah seperti yang ditunjukan pada Gambar III.7.

2
Gambar III.7. Besaran A dan B yang dipakai untuk menentukan angka keamanan
berdasarkan kriteria Mohr – Coulomb
III.7. Interaksi Massa Batuan dengan Penyangga
Untuk membatasi perpindahan yang berlebihan sehingga mengakibatkan runtuhnya
lubang bukaan, diberikan penahanan dengan cara penyanggaan. Dengan kata lain,
fungsi penyangga adalah untuk mengontrol perpindahan massa batuan kearah dinding
lubang bukaan dan mencegah terjadinya pelepasan material yang dapat menyebabkan
runtuhnya lubang bukaan tersebut ( Hoek, 1995 ).

III.7.1. Perpindahan Pada Lubang Bukaan Tanpa Penyangga


Perpindahan yang dapat diukur pada massa batuan dimulai pada jarak kira-kira
setengah diameter lubang bukaan di depan permuka kerja (face). Perpindahan akan
bertambah sccara bertahap dan bila permuka kerja lubang bukaan berimpit dengan
titik pengukuran, perpindahan radial mencapai kira-kira sepertiga harga
maksimumnya. Perpindahan mencapai maksimum bila permuka kerja telah maju
sekitar 1.5 kali diameter lubang bukaan di belakang titik pengukuran dan
penyanggaan yang dilakukan oleh permuka kerja sudah fidak efektif lagi (Hoek, 1995
) Kondisi tersebut seperti tampak pada Gambar III.8.

Dinding lubang bukaan

Permuka
D Kerja 0.3 u u

0.5D 1.5D
u = Perpindahan maksimum
Arah penggalian D = Diameter lubang bukaan

3
Gambar III.8 . Besar perpindahan pada lubang bukaan tanpa penyangga
( modifikasi dari Brady and Brown, 1986 )
III.7.2. Karakteristik Deformasi Penyangga
Pemasangan suatu sistem penyangga tidak dapat mencegah runtuhnya batuan di
sekitar lubang bukaan yang mengalami tegangan berlebihan, tetapi penyangga
berperan dominan dalam mengontrol perpindahan lubang bukaan. Dalam satu siklus
penggalian hampir selalu terjadi jarak antara permuka kerja dengan elemen
penyangga terdepan. Jadi deformasi akan terus berlangsung sampai penyangga
bekerja efektif. Perpindahan total awal ini disebut sebagai Uso (Gambar III.9)

Ketika penyangga telah dipasang, dan kontak penuh secara efektif dengan batuan,
penyangga mulai mengalami perpindahan elastik. Perpindahan elastik maksimum
yang dapat ditahan oleh sistim penyangga adalah Usm, dan tekanan penyangga
maksimum Psm ditentukan oleh yield sistim penyangga.

Sejalan dengan kemajuan permuka kerja, sistem penyangga akan terpindahkan secara
elastik dalam reaksinya terhadap penyempitan terowongan. Hal ini tergantung pada
karakteristik sistem penyangga, massa batuan di sekitar lubang bukaan dan besarnya
tegangan insitu. Keseimbangan akan terjadi jika kurva reaksi penyangga memotong
kurva perpindahan massa batuan sebelum kedua kurva tersebut maju terlalu jauh.

4
Tekanan Penyangga, pi

yield sistem penyanggga


Pcr

kesetimbangan Psm

Perpindahan radial kedalam


Uso Usm
Uip
Keterangan :

Uso= perpindahan total awal sebelum disangga


Usm= perpindahan elastik maksimum yang dapat ditahan oleh sistem penyangga
Uip= perpindahan radial kearah dinding lubang bukaan
Pi= tekanan penyangga internal
Pcr= tekanan kritis
Psm= tekanan penyangga maksimum

Gambar III.9. Reaksi sistem penyangga terhadap perpindahan dinding lubang


bukaan ( Brady and Brown, 1986 )

Jika penyangga dipasang sangat terlambat, berarti Uso besar, massa batuan telah
terlanjur mengalami perpindahan yang sedemikian rupa sehingga jika penyangga
tidak kuat ( berarti Psm rendah ), maka yield penyangga dapat terjadi sebelum kurva
perpindahan massa batuan memotong. Pada kedua kasus tersebut, sistem penyangga
menjadi tidak efektif karena kondisi kesetimbangan tidak tercapai.

III.7.3. Hubungan Tekanan Penyangga (pi ) terhadap Perpindahan (ui)


Prinsip dasar dari pemasangan penyangga pada suatu lubang bukaan bawah tanah
adalah bertujuan untuk membantu massa batuan menyangga (to support) dirinya
sendiri. Berikut diberikan analisis hubungan tekanan penyangga terhadap

5
perpindahan, berdasarkan buku "Underground Excavation in Rock" oleh Evert.Hoek
& T.Brown.

Seperti diketahui , penyangga pada umumnya diberikan / dipasang setelah terjadi


pergerakan akibat penggalian pada lubang bukaan bawah tanah , yang dinamakan
pergerakan / perpindahan awal (initial displacement) = uio pada Gambar III.10.

Psmax
Pi

uio

ui

Gambar.III.10. Hubungan antara Pi (radial support pressure) dan ui (total


displacement).
Disini :
Pi = tekanan radial akibat adanya penyangga (radial support pressure)
k = kekakuan dari penyangga (support stiffness)
ui = perpindahan total (total displacement)

dimana :
uie ……………………………………………………………..(3.20)
pi=k .
ri
uie = perpindahan elastis yang merupakan bagian dari perpindahan total ui

6
ri ……………………………………………………...(3.21)
ui=u io + pi .
k
ri = jari-jari terowongan (tunnel radius)

III.8. Pengukuran Konvergen


Dalam aktifitas penggalian suatu lubang bukaan bawah tanah selalu terjadi
perubahan-perubahan tegangan dan regangan. Sampai saat ini perubahan tegangan
masih relatif sulit untuk diukur dibandingkan dengan perubahan perpindahan.

Salah satu metode pengukuran perpindahan pada suatu penggalian lubang bukaan
adalah dengan pengamatan konvergen. Pengamatan ini pada dasarnya mengamati
perpindahan relatif dari dua titik pada dinding lubang bukaan, yaitu dengan cara
mengukur antara dua titik tersebut dari waktu ke waktu sesuai dengan jadwal yang
telah ditentukan.

Besarnya perpindahan (u) merupakan fungsi pengurangan antara jarak pada awal
pengukuran (lo) dengan jarak saat pengukuran selanjutnya (1t), yaitu :

u = lo - lt

dengan : u = Perpindahan dengan ketelitian 0.01 mm


lo = jarak pada saat to
lt = jarak pada saat t

III.8.1. Peralatan dan Instalasi Stasiun Konvergen


Peralatan yang dipergunakan dalam pengukuran konvergen ini terdiri dari peralatan
utama dan tambahan, yaitu :
a. Peralatan utama terdiri dari :
- "Digital tape extensometer" tipe E3 dari Soil Instruments LTD. dengan
kelengkapannya (Gambar III.11)

7
- Baut konvergen jenis yang di semen dengan panjang 35 cm dan diameter 2.5
cm. Setiap stasiun minimal memerlukan 2 baut konvergen untuk pengukuran
perpindahan antara dinding batuan, sedangkan untuk keseluruhan diperlukan 3
buah baut konvergen. Adapun posisi dari baut-baut yang dipasang di batuan
secara umum terlihat pada Gambar III.12.
b. Peralatan tambahan terdiri dari :
- alat ukur
- pita ukur
- alat bor (jack hammer)
- tangga
- lampu dan alat tulis

Gambar III.11. Sketsa alat ukur konvergen

8
Gambar III.12. Sketsa posisi pemasangan baut konvergen

Pengukuran konvergen dilakukan di bukaan Ramp down CGT Gudang handak Level
500. Secara garis besar prosedur instalasi titik pengukuran konvergen adalah sebagai
berikut :

1. Penilaian kondisi geologi dari daerah permuka kerja dan sekitarnya, apakah
layak untuk dilakukan pemasangan titik pengukuran atau tidak
2. Jika secara kondisi geologisnya layak, maka dilakukan penentuan posisi
pemasangan baut konvergen (pemberi tanda). Pemboran pada titik-titik baut
konvergen yang telah ditentukan (diberi tanda) dengan menggunakan alat bor
"Jack Hammer" berdiameter mata bor 42 mm, sedalam lebih kurang 40 cm
dari dinding lubang bukaan.
3. Pemasangan baut batuan dan penutupnya dilakukan dengan cara memasukkan
semen kedalam lubang bor, yang kemudian diikutkan dengan memasukkan
baut sampai pada posisi yang dikehendaki.

Pengukuran konvergen baru dapat dilaksanakan 24 jam setelah pemasangan


baut konvergen selesai. Selama waktu 24 jam menunggu tersebut, perekat semen
yang dicampur dengan bahan "aditif” telah mengeras.

9
III.8.2. Pengukuran Perpindahan Relatif Dua Titik Baut Konvergen

Untuk mengetahui besarnya perpindahan relatif antara dua titik baut


konvergen yang telah terpasang, yaitu dengan melakukan prosedur pengukuran
sebagai berikut :

1. Sebelum dilakukan pengukuran konvergen, dilakukan kalibrasi. Tujuan


dilakukannya kalibrasi ini adalah sebagai koreksi pembacaan pada setiap kali
melakukan pengukuran, yaitu sebelum dan sesudah pengukuran. Melakukan
kalibrasi dilakukan dengan menggunakan rangka (frame) Pembacaan
dilakukan dengan memasang "swivel hook" pada baut yang telah tersedia, dan
kemudian pita pengukuran ditegakkan sedemikian rupa dan pada pita yang
berlubang dihubungkan ke ”tape clip”. Setelah itu pita dikencangkan lagi
dengan ”tape winder”. Untuk memulai pembacaan "Tension indicator" harus
tepat sejajar dengan cara memutar ”barel adjuster”. Untuk pembacaan
dilakukan dengan :
- Menghitung nilai pada lubang yang berada pada pita untuk skala
pembacaan sentimeter,
- menghitung jumlah baris yang berada pada pita, untuk skala pembacaan
milimeter,
2. Membaca "LCD readout", untuk skala 0.01 mm. Setelah pembacaan kalibrasi
kedua "swivel hook" dilepas dari rangka kalibrasi dan kemudian dipasang
pada baut batuan yang tersedia sesuai dengan seksi pengukuran yang
direncanakan seperti Gambar III.14. Pita pengukuran direntangkan dan
kemudian ditegangkan seperti pada saat kalibrasi. Pembacaan jarak antara
kedua baut dilakukan seperti prosedur di atas.

10
Gambar III.13. Sketsa rinci posisi baut konvergen setelah terpasang

3. Dilakukan lagi kalibrasi dari a1at convergencemeter. Jarak yang terhitung


adalah hasil pembacaan pada langkah ke 2 dikurangi dengan rata-rata
pembacaan kalibrasi pada langkah ke 1 dan ke 3.

Baut Konvergen Baut Konvergen

convergencemeter
Pita yang ditegangkan

Gambar III.14. Contoh pengukuran perpindahan dengan alat convergencemeter

11
Apabila hasil pengukuran ke nol menghasilkan jarak l o dan pengukuran ke satu
menghasilkan jarak l1 dan seterusnya, maka besarnya perpindahan antara kedua baut
tersebut adalah :

u1 = lo – l1
u2 = lo – l2
.

un = lo – ln

Sebagai panduan umum pengukuran konvergen untuk tiap-tiap titik pengamatan


dilakukan dengan siklus seperti berikut. Pengukuran ke nol dilakukan 24 jam setelah
pemasangan baut selesai yang berarti mempunyai selang waktu terhadap kegiatan
peledakan sebesar 3 kali gilir kerja, sedangkan pengukuran ke satu dilakukan 18
sampai 24 jam setelah pengukuran ke nol dan untuk pengukuran selanjutnya dengan
selang waktu 14 sampai 24 jam.

III.8.3. Kriteria Evaluasi Data Hasil Pengukuran


Metode yang digunakan untuk analisis perpindahan hasil pengukuran adalah dengan
cara membandingkan hasil perpindahan dengan kriteria perpindahan menurut
Cording (1974), yang meliputi
1. Besarnya perpindahan dengan
a. Perpindahan yang diprediksi dari teori elastisitas
b. Perpindahan yang diukur di daerah yang disangga dengan baik di dalam
lubang bukaan, dibandingkan dengan kondisi batu.
2. Laju perpindahan (rate of displacement ).
3. Kapasitas perpindahan dari sistem penyangga dan dari massa batuan

3.8.3.1. Besarnya Perpindahan

12
Menurut Cording (1974), batuan dikatakan stabil bila perpindahan yang diamati lebih
kecil dibandingkan dengan perpindahan yang didapatkan dari hasil permodelan,
meskipun tidak mudah untuk mendapatkan modulus elastisitas insitu. Pada
umumnya, perpindahan yang diamati justru sering 5 (lima) sampai 10 (sepuluh) kali
lebih besar dari perpindahan elastik. Hal ini disebabkan karena gerakan dan
perlemahan disepanjang kekar lebih besar 3 (tiga) kali perpindahan elastik. Meskipun
demikian, perpindahan yang diukur di dalam lubang bukaan merupakan kriteria yang
terbaik untuk menentukan kestabilan lubang bukaan (Cording, 1974).

3.8.3.2. Laju Perpindahan (Rate of Displacement)


Untuk menganalisis laju perpindahan, cara terbaik adalah dengan membandingkan
laju perpindahan pada kondisi sebelum dan sesudah disangga dengan baik dalam
suatu lubang bukaan yang sama. Menurut Cording (1974), laju perpindahan 0.001
mm per hari menunjukkan kondisi stabil, perpindahan 0.05 mm per hari sudah
termasuk besar dan berbahaya untuk lubang yang besar, sedangkan lebih besar dari
1.0 mm per hari berlebihan dan penyangga harus ditambah.

3.8.3.3. Kapasitas Penyangga


Perpindahan yang terjadi tidak boleh melebihi perpindahan yang menyebabkan sistem
penyangga failure. Shotcrete telah teramati mengalami retak (crack) di dalam lubang
bukaan pada saat pergerakan antar blok batuan melebihi 1.2 dan 2.5 mm. Sedangkan
baut batuan dengan panjang 7 m (pra tegang tetapi tidak di grout) hancur pada saat
perpindahan mendekati 50 mm (Cording, 1974). Sementara itu, dari beberapa peneliti
(Pell, 1974), fully bonded rockbolt dapat mempertahankan beban besar dengan kekar
terbuka sampai 150 mm. Perpindahan juga harus tidak melebihi kapasitas massa
batuan untuk menjaga kekuatan dan coherence nya pada saat kekuatan batuan
disepanjang kekar berkurang dengan permukaan kekar bergeser. Menurut Cording
(1974), di Metro Washington, kisaran besar perpindahan yang menyebabkan failure
diperkirakan antara 20 mm sampai 50 mm.

13
III.9. Analisis Balik
Secara umum analisis balik dapat dinyatakan sebagai : suatu teknik untuk
mengidentifikasi parameter kontrol dari suatu sistem dengan cara melakukan analisis
pada perilaku keluarannya.

Pada masalah-masalah geoteknik, konstanta mekanis (mechanical constant) seperti


modulus elastisitas (Young’s modulus), nisbah Poisson (Poisson’s ratio), kohesi,
sudut geser dalam, keadaan tegangan awal (initial state of stress) dan lain sebagainya
dapat diidentifikasi dari data-data perpindahan (displacement), regangan dan
tegangan yang diukur pada saat/sesudah pembangunan suatu konstruksi.

Analisis balik yang dipakai pada ilmu teknik praktis (engineering practice) dapat
mengidentifikasikan bukan hanya konstanta mekanis tetapi juga model mekanisnya
sendiri.

Pada analisis biasa, model mekanis biasanya diasumsikan atau ditentukan terlebih
dahulu, seperti batuan dapat dimodelkan sebagai : elastik, plastik, elasto-plastik dan
sebagainya kemudian besaran konstanta mekanis dari model tersebut dapat
ditentukan. Setelah semua konstanta mekanis diketahui, kemudian dapat dihitung
perpindahan, regangan dan tegangan yang terjadi.

Pada analisis balik, pertama-tama ditentukan perpindahan, regangan dan tegangan


yang merupakan hasil pengukuran lapangan, kemudian konstanta mekanis dihitung
balik dengan mengasumsikan model mekanisnya.

Hal ini dapat diartikan bahwa dari analisis balik sebetulnya berdasarkan asumsi dari
model mekanis (mechanical models) yang menggambarkan perilaku (behaviour)
batuan. Atau dengan kata lain, pada analisis balik tidak ada hasil yang unik

14
(uniqueness is not guaranteed). Sehingga dalam analisis balik asumsi dari model
mekanis adalah suatu hal yang sangat penting dan dipertimbangkan serta harus lebih
banyak diberikan untuk permodelan batuan jika dibandingkan dengan analisis biasa.

Dengan mempertimbangkan keadaan tersebut diatas, maka dalam analisis balik


model mekanis tidak hanya diasumsikan, tetapi harus ditentukan dari data-data hasil
pengukuran dilapangan.
Dikarenakan keterbatasan program Phase2 2D, maka analisis balik dilakukan disini
adalah melakukan trial and error pada analisis biasa. Sebagai data masukan (input
data) digunakan nilai modulus elastisitas batuan dan hasil keluaran (output) nya
berupa perpindahan (displacement) untuk arah horisontal dan vertikal sesuai
perbandingan hasil pengukuran perpindahan dilapangan.

15
Gambar III.15. Diagram perbedaan antara analisis balik dan analisis biasa

Proses yang dilakukan disini adalah dengan cara merubah-rubah atau mencoba-coba
memasukan modulus elastisitas batuan, sehingga diperoleh nilai perpindahan hasil
eksekusi program Phase2 2D sama dengan perpindahan hasil pengukuran dilapangan.

16
Diagram perbedaan antara analisis balik dan analisis biasa dapat dilihat pada Gambar
III.15.
III.10. Metode Elemen Hingga untuk Rancangan Penyangga dan Kestabilan
Lubang Bukaan.
Analisis tegangan dan deformasi dalam suatu media kontinu yang pada masa lalu
dilaksanakan dengan berbagai cara, pada saat sekarang sering dilakukan dengan
pendekatan stiffness dengan menggunakan teknik finite element. Metode finite
element adalah salah satu metode pendekatan secara numerik yang menggunakan
metode differensial. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui dan menganalisis
tegangan pada suatu struktur. Disebut finite element karena proses
perhitungannya didahului dengan membagi suatu continuum menjadi beberapa
elemen yang lebih kecil dan dikenal sebagai proses diskretisasi. Elemen yang lebih
kecil ini merupakan elemen yang berhingga dan umumnya memiliki bentuk geometri
yang lebih sederhana dibandingkan dengan continuum-nya.

Dengan menggunakan finite element suatu masalah yang mempunyai derajat


kebebasan tak berhingga dapat diubah menjadi suatu masalah dengan derajat
kebebasan tertentu sehingga proses pemecahannya akan lebih sederhana. Meskipun
terapan asalnya ditujukan untuk masalah mekanika benda pejal, penggunaannya telah
menyebar ke berbagai disiplin ilmu lainnya yang menggunakan dasar matematis yang
sama.

III.10.1. Konsep Dasar


Struktur alamiah dan struktur buatan yang digunakan dan dianalisis oleh para insinyur
terdiri dari suatu gabungan dari material yang berbeda, dan dihubungkan satu sama
lain oleh titik- titik. Khususnya bila komponen struktur ini adalah gabungan dari
bagian-bagian yang bebas dan berhubungan satu sama lain. Analisis permasalahan
seperti ini dapat dilakukan dengan mernperhitungkan terlebih dahulu perilaku dari
tiap komponen yang berdiri sendiri kemudian menggabungkan semua komponen

17
sedemikian rupa sehingga keseimbangan gaya dan kompatibilitas perpindahan
dipenuhi untuk setiap titik simpul. Sebagai contoh dari prosedur ini adalah studi dari
suatu batang kontinu dengan metode klasik, yaitu dengan menyelesaikan terlebih
dahulu hubungan momen dan rotasi untuk setiap bagian bebas dari batang, kemudian
dikombinasikan sedemikian rupa sehingga keseimbangan momen dan kompatibilitas
rotasi dipenuhi untuk setiap titik hubungan.

Sementara itu bila ditemui suatu struktur yang terdiri dari banyak komponen,
penyelesaian seperti itu akan menuju ke suatu metode resolusi dari suatu sistem yang
berisi banyak persamaan. Beberapa metode untuk penyelesaian masalah ini antara
lain metode Cross, metode matriks, dan juga metode elemen hingga yang merupakan
pengembangan dari metode matriks seiring dengan perkembangan di bidang
komputer.

III.10.2. Pendekatan Pada Elemen Hingga


Pada prakteknya, Metoda Elemen Hingga tidak dapat dibedakan dengan Metoda Beda
Hingga sehingga kedua metoda ini diperlakukan sama. Dasar dari Metoda Elemen
Hingga adalah pendefmisian daerah masalah di sekitar lubang bukaan, dan membagi
daerah menjadi elemen-elemen yang memiliki ciri tersendiri dan saling berhubungan
seperti yang ditunjukkan pada Gambar III.16.

Hal yang harus dilakukan adalah menentukan besarnya tegangan total dan besarnya
perpindahan yang disebabkan oleh penggalian, sebagai akibat dari pendistribusian
tegangan sampai mencapai keadaan setimbang. Langkah pemecahan yang paling
sering digunakan adalah dengan cara implisit.
Cara implisit adalah dengan mengumpulkan persamaan linier dan menyelesaikannya
dengan menggunakan matriks. Pada material non-linier, penyelesaian dilakukan
dengan memodifikasi koefisien kekakuan (stiffness coefficient) dan / atau
penyesuaian terhadap variabel yang ditentukan (tegangan awal atau regangan awal).

18
(a) (b) (c)
Pyy Pyy
uyk

Pxy Pxy k uyk


uyj
Pxx
Pxx c
uyi uxj
j

i uxi

Gambar III.16. (a) Ilustrasi penampang melintang lubang bukaan yang mengalami
tegangan awal Pxx, Pyy, Pxy (b) Pembatasan daerah masalah dan
menentukan kondisi pada daerah di luar batasan untuk membuat
masalah dalam keadaan stastik. Daerah masalah dibagi mejadi
elemen-elemen segitiga. (c) i, j, k adalah titik ujung dari sebuah
elemen.

III.10.3. Jenis - Jenis Elemen


Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, langkah pertama pada perhitungan
elemen hingga adalah melakukan proses diskretisasi. Elemen hingga hasil diskretisasi
ini dapat dibagi menjadi :
1. Elemen hingga 1 dimensi atau disebut elemen garis
2. Elemen hingga 2 dimensi atau disebut elemen bidang
3. Elemen hingga 3 dimensi berupa suatu elemen yang berbentuk prisma
segienam
Dalam setiap problem, tiap - tiap elemen memiliki sifat - sifat mekaniknya:
1. Elastisitas isotrop : modulus elastisitas dan nisbah Poisson.
2. Elastisitas orthotrop : modulus elastisitas, E1 dan E2.
nisbah Poisson, v1 dan v2

19
Makin kecil ukuran dari elemen akan makin teliti hasil yang didapat, dengan kata lain
ketelitian dari hasil akhir merupakan fungsi dari ukuran elemen - elemen yang
dibentuk.

III.10.4. Dasar - Dasar Metode Kekakuan


Untuk lebih mempermudah pengertiannya, berikut ini akan diberikan suatu contoh
sederhana dari suatu pegas yang dikenakan gaya tarik F (Gambar III.17). Titik m
akan berpindah ke m' dengan besaran perpindahan u. Dengan hipotesa elastis akan
diperoleh hubungan :
……..………………………………………………………(3.22)
F= k . u
di mana
K adalah koefisien dari pegas yang dapat disebut koefisien kekakuan.

k
m m'
F
u

Gambar III.17. Elemen pegas yang dikenai gaya tarik sebesar F

Dalam problem elastisitas dari suatu elemen dari model elemen hingga didapatkan
hubungan :

[F]=[K].[u] ……….………………………………………………..(3.23)

Dimana :

[F] = matriks dari semua gaya yang dikenakan pada model disemua titik-titik

20
Simpul
[K] = matriks kekakuan dari suatu elemen
[u] = matriks perpindahan dari titik-titik simpul

Sebagai contoh disini diberikan suatu elemen yang dimodelkan sebagai 3 buah elemen
pegas yang dihubungkan secara seri dengan gaya yang diberikan pada titik satu dan dua
(Gambar III.18)

k1 u1 k2 u2 K3

1 2

F1 F2

Gambar III.18. Elemen pegas dengan gaya F1 dan F2

Dalam keadaan diam atau setimbang maka :

F1 + F2 = 0, dimana F2 = - F1…………………………………………………(3.24)

Gaya (F) yang bekerja pada kedua titik tersebut jika terjadi perpindahan (u) dapat ditulis
sebagai berikut :

F2 = k (u2 – u1) …………………………………………………………………(3.25)

F1 = k (u1 – u2) …………………………………………………………………(3.26)

Dari persamaan diatas dapat dibuat dalam matriks kekakuan elemen atau pekalian baris
dengan kolom sebagai berikut :
F1 = K . U1 – K .U2

21
F1 K −K u1
[ ][=
F2 −K K
.
u2 ][ ]
Berikut diberikan contoh dua buah elemen pegas yang dihubungkan secara seri, untuk
menentukan gaya yang bekerja berdasarkan Gambar III.19.

u1 k1 u2 k2 u3

1 2 3
F1 F2 F3

Gambar III.19. Elemen pegas dengan gaya F1 , F2 dan F3

Dalam keadaan diam atau setimbang maka :

F1 + F2 + F3 = 0 …………………………...……………………………………(3.27)

Gaya (F) yang bekerja pada titik-titik tersebut jika terjadi perpindahan (u) dapat ditulis
sebagai berikut :

F1 = k1 (u1 – u2) ……………………………………………………………...…(3.28)

F2 = -k1 . u1 + (k1 + k2) u2 – k2 . u3 ………………………………………………(3.29)

F3 = k2 (u3 – u2) ……………………………………………………….…..……(3.30)

Dari persamaan diatas dapat dibuat dalam matriks kekakuan elemen atau pekalian baris
dengan kolom sebagai berikut :

22
F1 k1 −k 1 0 u1

[ ][ 0 −k 2 k2 ][ ]
F2 = −k 1 k 1 +k 2 −k 2 . u2
F3 u3

Hubungan F1 dan F2 dapat ditulis :

F1 K −K u1
[ ][=
F2 −K K
.
u2 ][ ]
Untuk menggambarkan kondisi gaya yang bekerja pada 3 titik simpul dengan F3 = 0 atau
setimbang, maka matriks kekakuan elemen dapat ditulis :

F1 k 1 −k 1 0 u1

[ ][
F2 = −k 1 k 1 0 . u2
0 0 0 0 u3 ][ ]
Jika gaya F1 = 0, maka matriks kekakuan element dapat ditulis :

0 0 0 0 u1

[ ][
F2 = 0 k 2 −k 2 . u2
F3 0 −k 2 k 2 u3 ][ ]
Sehingga untuk menentukan matriks kekakuan global dapat dituliskan sebagai berikut :

k 1 −k 1 0 0 0 0

[ ][
K= −k 1 k 1 0 + 0 k 2 −k 2
0 0 0 0 −k 2 k 2 ]

23

Anda mungkin juga menyukai