Makala H
Makala H
Disusun Oleh :
Aditya Kurniawan
135150401111065
135150401111068
Afif Nandya S.
135150401111071
M. Agusalim Hariadi
135150407111007
Fahrudin Wahabi
135150407111024
KATA PENGANTAR 3
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.2
Rumusan Masalah 5
1.3
BAB II PEMBAHASAN
11
3.1 Kesimpulan
11
11
13
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Dampak Perpanjangan Kontrak Freeport Terhadap
Ekonomi dan Lingkungan Indonesia ini dengan baik meskipun banyak
kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak Munif
Effendi selaku Dosen mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai dampak yang ditimbulkan dari
pengaruh berdirinya perusahaan asing Freeport bagi Indonesia khususnya di
lingkup ekonomi dan lingkungan. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan
makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pengelolaan sumberdaya alam merupakan salah suatu tugas besar negara ini,
tentunya harus dilakukan dalam rangka mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan. Karena kita sebagai bangsa haruslah memikirkan generasi
mendatang/anak cucu kita untuk mendapatkan kehidupan yang layak atau
bahkan lebih baik guna tetap terjaganya eksistensi bangsa ini. Dengan demikian
tujuan dalam pengelolaan sumberdaya alam haruslah untuk mensejahterakan
rakyat Indonesia dan bukan untuk masyarakat tertentu atau bahkan pemodal
asing.
Kalau kita lihat kondisi pertambangan emas dan tembaga di Papua disinyalir
bahwa kegiatan tersebut telah menguntungkan pihak asing (PT. Freeport),
sementara rakyatnya masih berada dalam kondisi terbelakang, dan bahkan
pemerintah Indonesia pun hanya sedikit mendapatkan feedback dari
pengusahaan tambang ini.
Sungguh ironis, kemerdekaan yang telah dikumandangkan pada tahun 1945
tidak serta merta membuat seluruh rakyat Indonesia menjadi sejahtera,
Pancasila dan UUD 1945 terkadang menjadi simbol formalitas negara yang
implementasinya sangat sulit terealisasi dan bahkan beberapa peraturan dan
kebijakan pemerintah pun seringkali bertolak belakang dengan falsafah dan UUD
Negara yang kita cintai ini. Begitulah kondisi di Tanah Papua, yang menjadi
sumber dari kekayaan alam Indonesia khususnya tambang emas dan tembaga,
sudah hampir sekitar 45 tahun sumber daya dieksploitasi bagi kepentingan asing
dan beberapa elit masyarakat maupun pejabat negeri ini. Padahal masyarakat
papua merupakan bagian dari entitas bangsa, yang mempunyai hak yang sama
dengan masyarakat lainnya di berbagai penjuru tanah air untuk mendapatkan
kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera sebagai bukti dari pemerataan
pembangunan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kebijakan dalam pembangunan haruslah bertujuan untuk mencapai
kemakmuran rakyat yang adil dan sejahtera sebagaimana tercantum dalam
pasal 33 UUD Negara ini. Pemerintah harus mampu mensejahterakan seluruh
warga negara, jangan berpihak kepada segelintir masyarakat saja apalagi
dengan mengorbankan masyarakat lainnya, terlebih-lebih kalau berpihak pada
kepentingan asing, hal ini merupakan kebijakan yang menciderai hati nurani
rakyat. Pemerintah dipilih oleh rakyat, begitu juga dengan anggota legislatif,
seharusnya mempunyai keinginan untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
Seringkali terdengar kabar bahwa anggota DPR lebih mementingkan
kepentingannya daripada memikirkan kepentingan rakyat, studi banding ke luar
negeri, pembangunan fasilitas kantor yang serba mewah, semua itu membuat
tersentak hati kita sebagai masyarakat, kenapa wakil kita di DPR seringkali
memboros-boroskan keuangan Negara, sementara rakyatnya diberbagai penjuru
tanah air masih banyak yang belum memiliki tempat tinggal bahkan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-haripun mereka tidak mampu. Kebijakan
pemerintah pun terkadang pro terhadap elit masyarakat tertentu dengan
dikemas oleh berbagai alasan untuk menyelematkan perekonomian negara,
namun kebijakan itu terkadang bertujuan untuk melindungi kepentingan
mengamankan kekuasaan. Begitu juga dengan berbagai program di seluruh
1.2
Rumusan Masalah
1.3
Tujuan
Manfaat
BAB II
PEMBAHASAN
Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc., atau FreeportNYSE: FCX adalah salah satu
produsen terbesar emas di dunia. Perusahaan Amerika ini memiliki beberapa
anak perusahaan termasuk PT Freeport Indonesia, PT Irja Eastern Minerals and
Atlantic Copper, S.A.
Perusahaan Amerika Freeport Sulphur yang bermarkas di New Orleans adalah
perusahaan asing pertama yang memperoleh ijin usaha dari pemerintah
Indonesia pada tahun 1967, setelah kejatuhan Presiden Soekarno oleh Presiden
Soeharto, dimana pertama kali ditandatanggani perjanjian kontrak karya antara
rezim Orde Baru dengan Freeport, perusahan pertambangan emas milik AS itu
hanya menguasai Gunug emas Ersberg saja. Namun pada tahun 1991 lalu ,
pemerintah Indonesia dengan PT Freeport bukan membuat perjanjian untuk
memperpanjang masa kontrak karya selama 30 tahun yang berawal sejak tahun
1967 dan berakhir pada tahun 1997 untuk mengeksplorasi emas seluas 30 kmdi
Gunung Ersberg, tetapi perjanjian kontrak karya baru untuk mengeksplorasi
emas di Gunung Grasberg, dekat Ersberg.
Total limbah batuan yang dihasilkan PT. Freeport Indonesia mencapai 1.4 milyar
ton. Masih ditambah lagi, buangan limbah tambang (tailing) ke sungai Ajkwa
sebesar 536 juta ton. Total limbah batuan dan tailing PT Freeport mencapai
hampir 2 milyar ton lebih. Prediksi buangan tailing dan limbah batuan hasil
pengerukan cadangan terbukti hingga 10 tahun ke depan adalah 2.7 milyar ton.
Sehingga untuk keseluruhan produksi di wilayah cadangan terbukti, PT FI akan
membuang lebih dari 5 milyar ton limbah batuan dan tailing. Untuk
menghasilkan 1 gram emas di Grasberg, yang merupakan wilayah paling
produktif, dihasilkan kurang lebih 1.73 ton limbah batuan dan 650 kg tailing. Bisa
dibayangkan, jika Grasberg mampu menghasilkan 234 kg emas setiap hari, maka
akan dihasilkan kurang lebih 15 ribu ton tailing per hari. Jika dihitung dalam
waktu satu tahun mencapai lebih dari 55 juta ton tailing dari satu lokasi saja.
Limbah batuan akan disimpan pada ketinggian 4200 m di sekitar Grassberg.
Total ketinggian limbah batuan akan mencapai lebih dari 200 meter pada tahun
2025. Sementara limbah tambang secara sengaja dan terbuka akan dibuang ke
Sungai Ajkwa yang dengan tegas disebutkan sebagai wilayah penempatan tailing
sebelum mengalir ke laut Arafura.
Berdasarkan analisis citra LANDSAT TM tahun 2002 yang dilakukan oleh tim
WALHI, limbah tambang (tailing) Freeport tersebar seluas 35,000 ha lebih di DAS
Ajkwa. Limbah tambang masih menyebar seluas 85,000 hektar di wilayah muara
laut, yang jika keduanya dijumlahkan setara dengan Jabodetabek. Total sebaran
tailing bahkan lebih luas dari pada luas area Blok A (Grasberg) yang saat ini
sedang berproduksi. Peningkatan produksi selama 5 tahun hingga 250,000 ton
bijih perhari dapat diduga memperluas sebaran tailing, baik di sungai maupun
muara sungai.
Sedimentasi di muara Sungai Tipoeka (EM 270), Ajkwa (EM 430), dan Minajerwi
(EM 264) telah meningkat dengan sangat siginifikan. Tekmira (2003) mendeteksi
luas sebaran tailing meningkat 3 (tiga) kali. Akibat dari meningkatnya tailing
maka secara fisik(hidrologi), biologi dan kimia kondisi sungai mengalami
perubahan sangat mencolok. Salah satunya adalah pendangkalan sungai-sungai
akibat sedimentasi yang akan memutuskan mata rantai kehidupan bagi
ekosistem termasuk makluk hidup di dalamnya. Ketua tim peneliti Ferdinand SD
mengatakan tujuan penelitian terhadap ketiga sungai itu adalah untuk
menganalisa permasalahan lingkungan di wilayah muara tiga sungai dari sisi
peraturan perundang-undangan lingkungan hidup dan kebijakan pembangunan
daerah. Serta mengetahui kajian dampak lingkungan dari aspek geologi muara
sungai Tipuka, Ajika dan Minajerwi. Selain itu juga untuk mengetahui kualitas air
dan kondisi biota muara sungai Tipoeka, Ajikwa dan Minajerwi di Kabupaten
Mimika yang luasnya sekitar 21.522,77 KM persegi dengan kepadatan penduduk
rata-rata 4 jiwa/km persegi.
Di muara sungai dan pantai Mimika yang sebagian besar termasuk daerah kerja
PT. FI bermukim sekitar 3000 penduduk yang umumnya penduduk lokal dari
Suku Kamoro dan Sempan. Mata pencaharian mereka sebagai peramu, petani
dan nelayan. Dengan mata pencaharian seperti ini, masyarakat Komoro memiliki
filosofi Sampan, Sungai dan Sagu. Jika sungai sebagai tempat mencari bagi
orang Komoro ini mulai terganggu keseimbangannya, maka bisa dipastikan,
sekitar 3000 penduduk Kamoro akan mengalami masalah dalam kehidupan
mereka.
Pemerintah Indonesia sendiri pada 1997 telah menyetujui dokumen Amdal PT. FI
untuk produksi 300.000 ton bijih per hari. Dalam dokumen ini disebutkan
dampak aktual dan potensial dari pengelolaan tailing terutama kandungan
tembaga. Telah diantisipasi bahwa akan ada pengaruh biologis pada biota
tertentu di kawasan estuaries dengan adanya peningkatan produksi bijih
tambang menuju 300.000
Indonesia dirugikan, karena selama ini negara mendapat bagian yang sangat
kecil dibandingkan dengan yang diperoleh PT Freeport. Tercatat, dari tahun 2005
- September 2010, total penjualan PTFI sebesar US$ 28.816 juta atau Rp 259,34
triliun; laba kotornya US$ 16.607 juta atau Rp 150,033 triliun. Bandingkan
dengan royalti yang dibayarkan kepada Indonesia hanya sebesar US$ 732 juta
atau Rp 6,588 triliun.
Jika dihitung dari tahun 1992 (setelah KK II) kontribusi PTFI mencapai US$ 10,4
milyar (royalti sebesar US$ 1,1 milyar dan dividen sebesar US$ 1 milyar).
Artinya, total dividen dan royalti mencapai sekitar Rp 18 triliun (selama 18
tahun). Dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2009, pemerintah
-sebagai pemegang 9,36 % saham PTFI- mendapat deviden dari PTFI sebesar Rp
2 triliun. Itu artinya pada tahun 2009 itu Freeport McMoran sebagai pemegang
90,64% saham PTFI mendapat deviden sekitar Rp 20 Triliun. Sementara, potensi
yang masih ada di tambang Freeport sendiri masih lebih dari Rp 600 triliun.
Uang ratusan trilyun itu, seandainya dikembalikan kepada rakyat sebagai
pemiliknya yang sejati dan dikelola negara dengan baik, tentu akan bisa
menyelesaikan banyak persoalan rakyat. Dengan uang itu berapa juta anak
putus sekolah bisa sekolah kembali?Berapa juta rakyat kelaparan bisa mendapat
makanan yang layak? Berapa juta rakyat yang tidak bisa berobat karena biaya
yang mahal akan bisa mendapat pelayanan kesehatan yang baik?
Namun, potensi itu hilang begitu saja karena diserahkan kepada asing.Sangat
tepat pernyataan yang mengatakan kekayaan alam kita sebenarnya lebih dari
cukup untuk menyejahterakan rakyat, tapi negara yang salah urus telah
membuat rakyat kita miskin. Kekayaan alam kita sebenarnya cukup untuk
rakyat, tapi tidak akan pernah cukup bagi penguasa dan pengusaha yang rakus
dan tamak!
Para petinggi Freeport juga mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan
yang besarnya mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika,
Papua. Keuntungan Freeport tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi
warga sekitar. Keberadaan Freeport tidak banyak berkontribusi bagi masyarakat
Papua, bahkan pembangunan di Papua dinilai gagal.Kegagalan pembangunan di
Papua dapat dilihat dari buruknya angka kesejahteraan manusia di Kabupaten
Mimika. Penduduk Kabupaten Mimika,lokasi di mana Freeport berada, terdiri dari
35% penduduk asli dan 65% pendatang. Pada tahun 2002, BPS mencatat sekitar
41 persen penduduk Papua dalam kondisi miskin, dengan komposisi 60%
penduduk asli dan sisanya pendatang. Pada tahun 2005, Kemiskinan rakyat di
Provinsi Papua, yang mencapai 80,07% atau 1,5 juta penduduk. Pemiskinan terus
berlangsung di wilayah Mimika. Kesejahteraan penduduk Papua tak secara
otomatis terkerek naik dengan kehadiran Freeport yang ada di wilayah mereka
tinggal. Di wilayah operasi Freeport, sebagian besar penduduk asli berada di
bawah garis kemiskinan dan terpaksa hidup mengais emas yang tersisa dari
limbah Freeport. Selain permasalahan kesenjangan ekonomi, aktivitas
pertambangan Freeport juga merusak lingkungan secara masif serta
menimbulkan pelanggaran HAM.
3.1 Kesimpulan
Indonesia dirugikan, karena selama ini negara mendapat bagian yang sangat
kecil dibandingkan dengan yang diperoleh PT Freeport. Tercatat, dari tahun 2005
- September 2010, total penjualan PTFI sebesar US$ 28.816 juta atau Rp 259,34
triliun; laba kotornya US$ 16.607 juta atau Rp 150,033 triliun. Bandingkan
dengan royalti yang dibayarkan kepada Indonesia hanya sebesar US$ 732 juta
atau Rp 6,588 triliun.
3.3 Lampiran
Gb.5 Emas hasil dari bumi Indonesia yang dimiliki oleh Amerika
Gb.8 Kartun parodi atas keadaan yang terjadi dengan PT. Freeport
Gb.9 Kartun parodi atas keadaan yang terjadi dengan PT. Freeport
DAFTAR PUSTAKA
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/11/22/kebobrokan-freeportpencemaran-lingkungan-pelanggaran-ham-perusaan-emas-terbesar-di-indonesia510902.html
http://km.itb.ac.id/site/kasus-freeport-bagaimana-nasib-papua/
http://www.slideshare.net/rikaardhana/freeport-38075992
http://www.bangazul.com/kerusakan-lingkungan-freeport-2/