Minat wanita yang lebih besar untuk mengejar pendidikan yang lebih
tinggi dan karir.
Pernikahan pada usia yang lebih tua dan tingkat perceraian yang lebih
tinggi.
sarjana, 57% gelar master, 44% gelar hukum, dan 41% gelar medis dan doktor di
bidang lain diberikan pada wanita. Proporsi wanita AS yang bekerja dan memiliki
anak yang masih bayi terus meningkat, dari 31% pada tahun 1976 menjadi 55%
pada tahun 2000.
Perhatian yang lebih besar pada pendidikan dan karir di antara wanita telah
memicu timbulnya kecenderungan-kecenderungan lain dalam masyarakat modern.
Yang paling menonjol dari kecenderungan-kecenderungan tersebut adalah
pernikahan yang semakin jarang dan dilakukan pada usia yang lebih tua dan
tingkat perceraian yang lebih tinggi. Tingkat pernikahan pertama di AS mencapai
puncak pada masa setelah Perang Dunia II, antara tahun 1945 dan 1947 (143 per
1000 penduduk wanita berusia 15-44 tahun), dan turun sekitar 15% setiap 10
tahun, dan secara keseluruhan telah turun hampir 50% pada 5 dekade sesudahnya.
Usia median untuk pernikahan pertama terus meningkat sejak tahun 1960 dan
mencapai tingkat tertinggi pada tahun 2002 (25,3 tahun). Probabilitas pernikahan
di masa mendatang untuk wanita menurun sejalan dengan pertambahan usia: 84%
pada usia 25 tahun, 72% pada usia 30 tahun, 52% pada usia 35 tahun, dan 41%
pada usia 40 tahun. Jika akhirnya menikah, wanita juga lebih cenderung untuk
bercerai dibandingkan masa lalu. Tingkat perceraian pada wanita di masa
reproduktif meningkat dengan pesat setelah tahun 1960 dan berlipat lebih dari dua
kali pada tahun 1980 (40 per 1000 wanita menikah berusia 15-44 tahun) dan
hanya turun sedikit dalam 20 tahun terakhir. Seorang wanita yang sudah pernah
menikah juga lebih cenderung untuk tidak menikah lagi. Tingkat pernikahan
kedua atau lebih mencapai puncak pada tahun 1968 (166 per 1000 wanita yang
bercerai atau janda berusia 15-44 tahun) saat tingkat perceraian mulai meningkat,
namun sejak itu terus menurun lebih dari sepertiga, sejalan dengan penurunan
tingkat pernikhan pertama.
Generasi baby boom yang dilahirkan setelah Perang Dunia II, dilahirkan pada
tahun 1946-1964, adalah generasi pertama yang mendapatkan akses ke sarana
yang aman dan efektif untuk mengendalikan fertilitas mereka. Berkembangnya
pilihan metode kontrasepsi dan akses ke pelayanan keluarga berencana serta
legalisasi pelayanan aborsi selama 3 dekade terakhir memberikan kontribusi yang
bermakna pada penurunan angka kelahiran dan tingkat fertilitas di AS. Terdapat
efek langsung dan tidak langsung dari berkembangnya pilihan metode kontrasepsi
dan akses ke pelayanan keluarga berencana serta legalisasi pelayanan aborsi. Efek
langsung terjadi melalui penurunan jumlah kehamilan dan kelahiran yang tidak
diinginkan, sedangkan efek tidak langsung terjadi dengan membantu wanita untuk
menghindari terjadinya kehamilan sampai target mereka dalam bidang pendidikan
dan karir tercapai, dan pernikahan dan keluarga menjadi prioritas.
Efek keseluruhan dari seluruh perubahan sosial yang terjadi adalah terjadinya
kecenderungan tertundanya masa subur pada wanita AS. Usia rata-rata untuk
kelahiran hidup pertama terus meningkat, 21,4 tahun pada tahun 1970 dan
mencapai puncak 24,9 tahun pada tahun 2000 (3,5 tahun lebih tua dan 16% lebih
tinggi). Usia rata-rata untuk kelahiran hidup berikutnya juga terus meningkat.
Peningkatan terbesar terjadi untuk usia rata-rata untuk kelahiran hidup kedua (3,6
tahun), dan lebih rendah untuk kelahiran hidup ketiga (2,5 tahun), keempat (1,6
tahun), dan kelima (0,4 tahun). Di antara tahun 1970 dan 2001, tingkat kelahiran
turun pada wanita berusia 15-19 tahun (68,3 vs 45,3 per 1000), 20-24 tahun
(167,8 vs 106,2 per 1000), dan 25-29 tahun (145,1 vs 113,4 per 1000), meningkat
untuk wanita berusia 30-34 tahun (73,3 vs 91,9 per 1000) dan 35-39 tahun (31,7
vs 40,6 per 1000), dan tetap pada wanita berusia 40-44 tahun (8,1 vs 8,1 per
1000). Seperti yang telah diperkirakan, bertambah tuanya usia untuk kelahiran
hidup pertama dan berkurangnya tingkat fertilitas menyebabkan berkurangnya
jumlah kelahiran untuk tiap wanita. Pada puncak baby boom, tingkat fertilitas
keseluruhan di AS (jumlah kelahiraran pada usia 45 tahun) mencapai puncak pada
tahun 1957 sebesar 3,7 kelahiran tiap wanita. Setelah itu, tingkat fertilitas terus
turun dan mencapai tingkat terendah pada tahun 1976 sebesar 1,8 kelahiran tiap
wanita, dan hanya sedikit naik setelahnya (2,1 kelahiran tiap wanita pada tahun
2001).
Fokus pada Fertilitas
Insidensi infertilitas pada wanita berusia 15-44 tahun sedikit naik selama
30 tahun terakhir, mencapai 10,2% pada tahun 1995. Epidemi infeksi menular
insidensi aborsi subklinis tidak diketahui, dan (4) pengaruh kumulatif dari
penyakit-penyakit atau kondisi-kondisi lain yang berpengaruh negatif pada
fertilitas (seperti infeksi pelvis, leiomioma, dan endometriosis) lebih besar pada
wanita berusia lebih tua.
Data dari penelitian-penelitian pada populasi Hutterites dan populasipopulasi alami lainnya menunjukkan bahwa fertilitas wanita mencapai puncak
pada usia 20 sampai 24 tahun; sedikit menurun sampai usia 30-32 tahun; dan
kemudian turun secara cepat, paling cepat setelah berusia lebih dari 40 tahun.
Secara keseluruhan, tingkat fertilitas 4 sampai 8% lebih rendah pada wanita
berusia 25-29 tahun, 15 sampai 19% lebih rendah pada usia 30-34 tahun, 26
sampai 46% lebih rendah pada wanita berusia 35-39 tahun, dan 95% lebih rendah
pada wanita berusia 40-45 tahun. Variasi pada tingkat fertilitas pada berbagai
populasi alami lebih mencerminkan perbedaan kondisi sosioekonomi pada
tempat dan waktu yang berbeda.
Bukti lain yang berperan dalam menjelaskan efek penuaan terhadap
fertilitas didapatkan dari beberapa penelitian mengenai tingkat konsepsi kumulatif
pada wanita yang berusaha untuk hamil dengan inseminasi buatan dengan sperma
donor. Data dari penelitian-penelitian mengenai inseminasi donor sangat
informatif karena wanita-wanita yang terlibat dalam penelitian-penelitian tersebut
tidak memiliki faktor infertilitas lainnya dan karena waktu inseminasi yang diatur
dengan cermat menghilangkan bias yang disebabkan oleh berkurangnya frekuensi
koitus sejalan dengan pertambahan usia. Pada suatu penelitian di Prancis yang
meneliti lebih dari 2000 wanita yang mendapatkan inseminasi buatan dengan
sperma donor sampai 12 siklus inseminasi didapatkan data bahwa tingkat
konsepsi tertinggi terjadi pada wanita berusia 25 tahun atau kurang (73%) dan 2630 tahun (74%), 16% lebih rendah (62%) pada wanita berusia 31-35 tahun, dan
27% lebih rendah pada wanita yang berusia lebih dari 35 tahun. Suatu penelitian
donor sperma di AS menunjukkan hasil serupa dengan tingkat konsepsi
keseluruhan yang lebih rendah dan jumlah inseminasi untuk tiap konsepsi 2 kali
lebih banyak pada wanita yang berusia lebih dari 35 tahun. Suatu penelitian di
Belanda menunjukkan bahwa probabilitas kelahiran hidup sehat menurun sebesar
3,5% per tahun setelah usia 30 tahun. Pada suatu penelitian berskala besar di
Inggris pada lebih dari 3000 siklus inseminasi donor, didapatkan bahwa tingkat
konsepsi kumulatif setelah 3, 6, dan 12 siklus adalah 20-35% lebih rendah pada
wanita berusia lebih dari 35 tahun (17%, 26%, dan 44%) daripada pada wanita
yang lebih muda (21%, 40%, dan 62%).
Tingkat keberhasilan yang diperoleh dengan ART juga berkurang sejalan
dengan pertambahan usia. Jumlah oosit dan embrio yang dihasilkan lebih sedikit,
fragmentasi embrio lebih sering terjadi, dan tingkat implantasi pada wanita yang
lebih tua lebih rendah daripada wanita yang lebih muda. Walaupun tingkat
kehamilan terus meningkat selama 15 tahun terakhir pada semua kelompok usia
wanita, laporan tahunan mengenai tingkat keberhasilan ART di AS yang
didapatkan dari data registrasi yang dikumpulkan oleh Society for Assisted
Reproductive Technology (SART) dan Center for Disease Control and Prevention
(CDC) sejak tahun 1989 secara konsisten menunjukkan bahwa usia merupakan
satu-satunya faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan ART. Tingkat
kehamilan dan kelahiran hidup untuk tiap siklus ART menggunakan oosit atau
embrio nondonor untuk tiap kelompok usia tidak banyak berbeda untuk wanita
berusia kurang dari 32 tahun, namun kemudian terus turun secara linear sejalan
dengan pertambahan usia. Hasil tersebut tetap sama pada perhitungan tingkat
kehamilan dan kelahiran hidup yang dilakukan berdasarkan tiap siklus ART,
pengambilan osit, maupun implantasi embrio. Secara keseluruhan, pada tahun
2001 tingkat kelahiran hidup untuk tiap embrio yang diimplantasikan adalah
41,1% untuk wanita berusia kurang dari 35 tahun, 35,1% untuk wanita berusia 3537 tahun, 25,4% untuk wanita berusia 38-40 tahun, 14,5% untuk wanita berusia
41-42 tahun, 5,9% untuk wanita berusia 43 tahun, dan 2,9% untuk wanita berusia
44 tahun atau lebih.
Penurunan tingkat kelahiran hidup sejalan dengan pertambahan usia tidak
hanya mencerminkan penurunan fertilitas namun juga peningkatan kegagalan
mempertahankan kehamilan. Seperti halnya fertilitas yang menurun sejalan
dengan pertambahan usia, insidensi aborsi spontan yang terdeteksi secara klinis
meningkat sejalan dengan peningkatan usia. Tingkat aborsi spontan pada siklus
konsepsi alami secara umum rendah dan stabil pada usia kurang dari 30 tahun (715%), sedikit naik pada usia 30-34 tahun (8-21%), kemudian naik dengan cepat
pada usia 35-39 tahun (17-28%) dan pada usia 40 tahun atau lebih (34-52%). Pola
yang sama diamati pada kehamilan yang dihasilkan dari ART. Hasil IVF secara
keseluruhan pada tahun 2000 menunjukkan bahwa tingkat aborsi spontan kurang
dari 20% pada wanita berusia kurang dari 35 tahun, sekitar 35% padaw usia 40
tahun, dan lebih dari 60% pada wanita berusia 44 tahun atau lebih. Penelitianpenelitian longitudinal pada wanita-wanita muda sehat yang mengamati
munculnya hCG pada sampel urin harian menunjukkan bahwa tingkat aborsi
spontan (yang juga meliputi aborsi spontan yang tidak terdeteksi secara klinis)
lebih tinggi secara bermakna. Sampai 60% dari aborsi spontan terjadi pada 12
minggu pertama kehamilan dan 20-40% tidak terdeteksi secara klinis. Belum
diketahui apakah tingkat aborsi spontan lebih tinggi pada wanita yang berusia
lebih tua. Jika hal tersebut benar, maka hubungan antara tingkat aborsi spontan
dan usia akan lebih dramatis. Bahkan jika hal tersebut tidak terjadi, tingkat aborsi
spontan secara keseluruhan (baik yang terdeteksi maupun tidak) pada wanita
berusia lebih dari 40 tahun meningkat sebesar 50%, dan bahkan lebih dari 75%.
Fisiologi Penuaan Reproduksi
Selama kehidupan fetus, sel-sel germinal membelah diri dengan cepat
dengan mitosis dan menghasilkan 6 sampai 7 juta oogonia pada 16-20 minggu
kehamilan. Setelah itu, populasi oogonia akan mengalami berkurang dengan cepat
secara eksponensial karena proses apoptosis yang diatur gen. Pada saat oogonia
berubah menjadi oosit setelah mengalami pembelahan meiotik pertama, jumlah
sel germinal sudah berkurang menjadi 1-2 juta pada saat lahir dan menjadi
300.000 sampai 500.000 pada saat onset pubertas. Selama 35-40 tahun kehidupan
reproduktif hanya 400 sampai 500 oosit akan mengalami ovulasi; sisanya hilang
melalui proses atresia. Selama tahun-tahun reproduktif, tingkat deplesi folikular
relatif konstan dan gradual sampai usia 37-38 tahun (pada saat itu biasanya masih
terdapat sekitar 25000 oosit) dan kemudian meningkat selama 10-15 tahun
sebelum menopause. Pada saat menopause, tersisa kurang dari 1000 oosit.
10
11
12
ovarium yang dapat diukur dan pada jumlah folikel antrum yang diamati dengan
ultrasonografi transvagina pada awal fase folikuler.
Mekanisme Penurunan Fertilitas Wanita yang Terkait Usia
Selain bahwa jumlah folikel ovarium terus turun sejalan dengan
pertambahan usia, dan semakin cepat setelah usia 38 tahun, beberapa pengamatan
menunjukkan bahwa sensitivitas folikel yang menua terhadap rangsangan
gonadotropin juga berkurang secara progresif. Sejalan dengan pertambahan usia
dosis total dan durasi terapi yang dibutuhkan untuk merangsang perkembangan
folikel multipel bertambah. Tingkat kenaikan konsentrasi estradiol dan
konsentrasi puncak yang dicapai menurun, yang mencerminkan respon yang lebih
rendah dari folikel yang dapat berkembang. Namun, jumlah estradiol yang
dihasilkan oleh folikel yang berhasil berkembang sampai matang sebanding
dengan jumlah estradiol yang dihasilkan oleh folikel pada wanita muda. Walaupun
penurunan produksi androgen ovarium yang diinduksi hCG eksogen dapat
ditunjukkan sebelum usia 30 tahun, konsentrasi estradiol dalam sirkulasi tetap
normal selama tahun-tahun reproduksi dan setelahnya, yang mungkin disebabkan
oleh peningkatan kompensatorik akibat peningkatan konsentrasi FSH. Penelitianpenelitian mengenai perkembangan folikuler ovarium dan hormon pada cairan
folikuler preovulatorik pada wanita muda dan wanita yang lebih tua yang masih
mengalami siklus menstruasi regular tidak menunjukkan adanya penurunan fungsi
folikel terkait usia jika pertumbuhan dan perkembangan folikel telah dimulai.
Ukuran dan konsentrasi inhibin dalam folikel preovulatorik pada wanita muda dan
wanita yang lebih tua hampir sama, dan rasio konsentrasi progesteron dan
estrogen/androgen pada cairan folikuler wanita yang lebih tua lebih tinggi
daripada wanita muda.
Ovulasi pada wanita berusia lebih tua yang masih menstruasi sama
teraturnya dengan wanita muda, dan terjadi lebih sering. Kenaikan konsentrasi
FSH tamapknya mampu mengkompensasi berkurangnya sensitivitas folikel
terhadap stimulasi gonadotropin. Folikel preovulatorik pada wanita yang lebih tua
mulai tumbuh lebih awal, namun dengan kecepatan normal dan mencapai ukuran
13
14
secara klinis menunjukkan kariotipe yang abnormal dan frekuensi aborsi spontan
dengan kromosom euploidi (normal) dan aneuploidi (abnormal) meningkat sejalan
dengan peningkatan usia maternal, probabilitas bahwa suatu aborsi akan disertai
dengan abnormalitas kromosom meningkat sejalan dengan pertambahan usia, dari
kurang dari 35% pada usia 20 tahun sampai 80% pada wanita berusia lebih dari 42
tahun. Trisomi merupakan abnormalitas kromosom yang paling sering ditemukan,
dan secara insidensi diikuti oleh poliploidi dan monosomi X (45,X).
Penelitian-penelitian mengenai segregasi meiotik menunjukkan bahwa
faktor-faktor predisposisi terhadap nondisjngsi terkait dengan disrupsi pada
pemasangan dan rekombinasi kromosom. Berbagai mekanisme yang dianggap
dapat menjelaskan fenomena tersebut telah diajukan, namun semuanya berkaitan
dengan deteriorisasi terkait usia dari faktor-faktor seluler yang diperlukan dalam
pembentukan dan fungsi spindle normal. Penelitian-penelitian molekuler pada
kohesi dan separasi kromatid menunjukkan adanya cohesins, suatu protein
spesifik yang mempertahankan kohesi antara sister chromatid dan melawan
kekuatan-kekuatan yang dapat memisahkan kohesi tersebut yang diperantarai oleh
mikrotubulus spindle meiotik. Degradasi prematur dan defisiensi cohesins yang
terkait usia dapat menyebabkan terbentuknya struktur kromatid bivalen yang tidak
stabil dan rentan terhadap pemisahan sister chromatid prematur sebelum sister
chromatid tersebut terhubung pada spindle meiotik. Kromosom-kromosom
berukuran lebih kecil lebih rentan terhadap pemisahan kromatid prematur,
mungkin karena kromosom-kromosom tersebut memiliki lebih sedikit kiasma,
padahal kiasma berperan untuk mencegah terjadinya pemisahan kromatid
prematur. Beberapa penelitian lain menggunakan mikroskop konfokal resolusi
tinggi untuk mempelajari spindle meiotik pada oosit manusia mengungkapkan
fakta bahwa abnormalitas pada matriks mikrotubular spindle atau penjajaran
kromosom dalam meiosis II adalah 4 sampai 5 kali lebih sering terjadi pada
wanita yang lebih tua (40-45 tahun) daripada wanita muda (20-25 tahun). Hasilhasil penelitian yang telah dipaparkan di atas dan hasil pengamatan pada kultur
oosit manusia yang diambil dari ovarium yang tidak distimulasi menunjukkan
bahwa kompetensi meiotik oosit menurun seiring dengan pertambahan usia.
15
16
sangat
banyak
metode
pengukuran
konsentrasi
FSH
yang
menggunakan berbagai antibodi dan standar yang berbeda, sehingga nilai FSH
dapat sangat bervariasi pada tiap-tiap laboratorium. Pada tahun-tahun terakhir,
metode pengukuran otomatis yang lebih seragam telah memberikan sebagian
17
pemecahan untuk masalah tersebut. Idealnya, nilai ambang konsentrasi FSH harus
divalidasi secara independen oleh laboratorium yang mengukurnya. Setidaknya,
klinisi harus familiar dengan nilai FSH yang ditetapkan oleh laboratorium yang
mereka pergunakan. Saat ini, pada kebanyakan laboratorium, nilai FSH pada
hari ke-3 siklus di atas 10-15 UI/L dianggap abnormal.
Konsentrasi estradiol pada awal fase folikuler dapat menjadi informasi
tambahan yang bermanfaat untuk menilai cadangan ovarium. Seperti FSH,
konsentrasi estradiol yang tinggi pada hari ke-3 siklus (lebih dari 80 pg/mL) juga
memprediksi tingkat fekundabilitas yang rendah. Peningkatan dini konsentrasi
estradiol menunjukkan perkembangan lanjut folikel dan seleksi dini folikel yang
dominan pada awal siklus pada siklus menstruasi wanita yang lebih tua yang
dipicu oleh meningkatnya konsentrasi FSH. Peningkatan konsentrasi estradiol
prematur juga berpotensi untuk menekan konsentrasi FSH, dan dengan demikian
dapat menyamarkan cadangan ovarium yang sebenarnya telah menurun. Oleh
karena itu, pengukuran konsentrasi FSH dan estradiol serum pada hari ke-3 siklus
dapat mengurangi hasil negatif palsu pada penilaian cadangan ovarium yang
dilakukan dengan pengukuran konsentrasi FSH saja. Jika konsentrasi FSH dan
estradiol meningkat pada hari ke-3 siklus, maka respon ovarium terhadap
stimulasi kemungkinan besar sangat buruk.
Clomiphene citrate challenge test merupakan tes provokatif yang lebih
sensitif untuk menilai cadangan ovarium dengan cara menilai perubahan endokrin
yang terjadi sepanjang siklus pada kondisi basal (konsentrasi FSH dan estradiol
pada hari ke-3 siklus) dan setelah stimulasi (konsentrasi FSH pada hari ke-10
siklus) dengan clomiphene citrate (diberikan pada hari ke-5 sampai 9 siklus
dengan dosis 100 mg/hari). Jika diberikan pada wanita berusia kurang dari 35
tahun dengan siklus menstruasi yang teratur, clomiphene menyebabkan
peningkatan sementara pada konsentrasi gonadotropin; LH biasanya lebih
meningkat daripada FSH. Namun pada wanita dengan cadangan ovarium yang
rendah, pola tersebut dapat terbalik; FSH dapat naik lebih tinggi daripada LH,
kadang-kadang sampai tingkat yang sangat tinggi. Walaupun mekanisme yang
berperan belum sepenuhnya jelas, bukti menunjukkan bahwa jumlah folikel yang
18
lebih sedikit pada wanita yang lebih tua memproduksi lebih sedikit inhibin dan
estradiol, yang menyebabkan berkurangnya umpan balik inhibitorik untuk
pelepasan FSH hipofisis yang diinduksi clomiphene. Clomiphene challenge test
dapat mengidentifikasi wanita yang memiliki cadangan ovarium rendah yang
mungkin tidak terdeteksi bila dinilai hanya berdasarkan konsentrasi basal estradiol
dan FSH pada hari ke-3 siklus. Kemungkinan keberhasilan untuk hamil
berbanding terbalik dengan konsentrasi FSH pada hari ke-3 dan ke-10 siklus.
Yang lebih penting lagi adalah bahwa pada wanita dengan konsentrasi FSH pada
hari ke-3 siklus yang normal, konsentrasi FSH yang tinggi pada hari ke-10 siklus
memiliki nilai prognostik buruk yang sama dengan peningkatan konsentrasi FSH
pada hari ke-3 siklus. Konsentrasi estradiol stimulasi pada hari ke-10 siklus tidak
memiliki nilai prognostik.
Peningkatan konsentrasi FSH pada hari ke-3 siklus dan hasil clomiphene
challenge test yang abnormal secara konsisten berhubungan dengan prognosis
keberhasilan IVF yang buruk (kurang dari 10%), tanpa memperhatikan usia. Hal
ini dan hasil pengamatan lainnya menunjukkan bahwa usia dan hasil tes cadangan
ovarium merupakan prediktor independen untuk luaran IVF, dan dengan demikian
juga untuk fekundabilitas. Prognosis wanita dengan hasil tes cadangan ovarium
yang abnormal secara umum buruk, bahkan jika mereka masih muda.
Sebaliknya, prognosis wanita dengan hasil tes yang normal berkaitan dengan
usia mereka; hasil tes yang normal tidak memperbaiki prognosis terkait usia
yang buruk pada wanita yang lebih tua.
Tes cadangan ovarium secara umum reliabel, namun dapat pula
menyesatkan. Dengan mempertimbangkan bahwa interpretasi didasarkan pada
konsentrasi hormon pada satu siklus dibandingkan dengan konsentrasi ambang
kritis dan bahwa baik konsentrasi basal maupun stimulasi FSH dapat bervariasi
antar siklus, terutama pada wanita yang lebih tua; hasil tes dan interpretasinya
sangat mungkin bervariasi antar siklus. Wanita dengan konsentrasi FSH pada hari
ke-3 siklus yang rendah secara umum menunjukkan lebih sedikit variabilitas antar
siklus daripada wanita dengan konsentrasi FSH yang lebih tinggi. Namun,
konsentrasi FSH basal sebagai respon terhadap stimulasi gonadotropin tidak
19
berbeda pada wanita yang tes serialnya menunjukkan variasi yang besar dengan
hasil yang normal dan abnormal; wanita-wanita tersebut secara umum merespon
buruk terhadap stimulasi, bahkan pada siklus di mana konsentrasi FSH pada hari
ke-3-nya secara komparatif rendah. Oleh karena itu, mengulangi tes pada wanita
dengan hasil tes awal yang abnormal untuk mengidentifikasi siklus yang optimal
untuk memberikan terapi adalah tindakan yang tidak perlu karena tidak mengubah
prognosis, namun perlu dilakukan pada wanita dengan hasil tes yang normal
sebelum terapi yang mahal dan potensial menimbulkan komplikasi dimulai.
Beberapa metode lain untuk mengukur cadangan ovarium telah diteliti dan
meliputi: volume ovarium dan jumlah folikel antrum pada awal fase folikuler,
konsentrasi inhibin-B basal maupun setelah stimulasi dengan clomiphene atau
FSH eksogen, respon (FSH, estradiol, inhibin-B) terhadap stimulasi dengan
GnRH agonis atau human menopausal gonadotropin, dan konsentrasi hormon
anti-Mullerian (AMH) basal maupun setelah stimulasi dengan GnRH agonis atau
gonadotropin. Jumlah folikel antrum yang terlihat dengan ultrasonografi
transvaginal pada akhir siklus menstruasi menunjukkan kapasitas folikel yang
masih tersisa dan berkaitan dengan usia dan respon terhadap stimulasi dengan
gonadotropin; observasi 10 folikel atau lebih sedikit berkaitan dengan
meningkatnya risiko kegagalan siklus. Konsentrasi inhibin-B basal atau setelah
stimulasi yang rendah mengindikasikan cadangan ovarium yang rendah, namun
penelitian-penelitian mengenai nilai prediktifnya telah memunculkan hasil yang
saling bertentangan. Sampai saat ini, tes cadangan ovarium dengan stimulasi
agonis GnRH dan FSH eksogen tidak memberikan informasi yang lebih sensitif
daripada clomiphene challenge test yang lebih mudah dan lebih murah, sementara
data yang didapatkan dari pengukuran konsentrasi AMH masih merupakan data
awal.
Tes cadangan ovarium telah terbukti bermanfaat untuk memprediksi
respon terhadap stimulasi dengan gonadotropin eksogen prognosis keberhasilan
IVF. Data dari beberapa penelitian pada populasi infertil juga menunjukkan bahwa
tes ini dapat digunakan pada aplikasi yang lebih luas. Saat clomiphene challenge
test digunakan sebagai tes skrining untuk wanita infertil pada segala usia,
20
prevalensi hasil tes yang abnormal secara keseluruhan adalah sekitar 10%,
meningkat seiring dengan pertambahan usia, dan secara disproporsional
meningkat sangat tinggi pada wanita dengan infertilitas yang tidak diketahui
penyebabnya; hasil tes yang abnormal berkaitan dengan prognosis yang buruk,
tanpa mempertimbangkan usia, penyebab infertilitas lain yang diketahui,
maupun jenis terapi yang diberikan. Penelitian-penelitian yang cermat pada
wanita yang sebab infertilitasnya tetap tidak diketahu setelah pemeriksaan yang
menyeluruh merupakan bukti langsung yang menunjukkan bahwa penurunan
cadangan ovarium prematur mungkin berperan. Analisis luaran dari pengamatan
yang dilakukan pada wanita infertil setelah menyingkirkan penyakit tuba dan
peritoneum maupun faktor pria menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan
kumulatif turun seiring dengan pertambahan usia pada wanita dengan hasil
clomiphene challenge test normal, dan secara dramatis jauh lebih rendah pada
wanita dengan hasil clomiphene challenge test abnormal, tanpa memperhatikan
usia. Pengamatan-pengamatan tersebut menunjukkan bahwa tes cadangan
ovarium mungkin memiliki kegunaan selain untuk menentukan prognosis pada
wanita yang akan menjalani IVF.
Apakah semua wanita infertil harus menjalani tes cadangan ovarium? Hasil
tes yang abnormal pada wanita muda sangat rendah, kecuali pada mereka
dengan infertilitas yang tidak diketahui penyebabnya bahkan setelah
pemeriksaan yang menyeluruh. Walaupun dapat diargumentasikan bahwa tes
cadangan ovarium perlu dilakukan pada semua wanita infertil, tes tersebut
lebih disarankan untuk wanita yang memenuhi setidaknya satu dari
karakteristik-karakteristik berikut:
Dengan
infertilitas
yang
tidak
diketahui
penyebabnya,
tanpa
memperhitungkan usia.
21
Merokok.
tertutup.
Tes
cadangan
ovarium
yang
abnormal
dapat
pada
wanita
dengan
peningkatan
konsentrasi
FSH,
tanpa
memperhatikan usia maupun folikel yang berkurang secara alami atau akibat
tindakan bedah. Pengamatan-pengamatan tersebut secara tidak langsung
menunjukkan bahwa prevalensi aneuploidi oosit pada wanita dengan penuaan
reproduktif prematur juga dapat meningkat, seperti halnya pada wanita yang
lebih tua, walaupun oosit mereka belum mencapai tingkat penuaan yang sama.
Selama beberapa tahun terakhir, tes cadangan ovarium telah menjadi alat uji
baru yang penting dan sangat bermanfaat dalam evaluasi wanita infertil.
Namun, hasil tes tersebut harus selalu diinterpretasikan dan diaplikasikan
dengan hati-hati. Tes cadangan ovarium secara umum reliabel, namun tidak
berarti tidak pernah salah. Interpretasi atau aplikasi yang kaku dari hasil tes
22
akan meningkatkan risiko rekomendasi terapi yang tidak tepat atau tidak
direkomendasikannya suatu terapi yang mngkin bermanfaat, dan kedua hal
tersebut harus dihindari. Hasil tes yang abnormal tidak menyingkirkan
kemungkinan untuk hamil. Kecuali untuk yang jelas abnormal, hasil tes
cadangan ovarium yang abnormal sebaiknya tidak digunakan sebagai dasar
untuk tidak memberikan suatu terapi, namun lebih sebagai alat untuk
mendapatkan informasi prognostik untuk memilih tipe terapi yang paling
tepat. Selain itu, walaupun kemungkinan untuk terjadinya kehamilan mungkin
rendah, prediksi yang akurat mengenai siapa yang akan berhasil hamil sangat
sulit dilakukan. Pada dasarnya, tidak peduli bagaimana prognosis keberhasilan
secara statistik, tingkat keberhasilan untuk setiap wanita adalah 0 atau 100%.
Prinsip-prinsip Evaluasi Infertilitas
Sejak awal, evaluasi infertilitas berfokus pada pasangan dan bukan salah
satu dari mereka, tanpa memperhatikan kemampuan reproduksi mereka
sebelumnya. Kedua pasangan harus didorong untuk hadir pada setiap sesi
evaluasi jika memungkinkan. Penting untuk menilai sikap dari kedua
pasangan, dan masing-masing dapat memberikan informasi atau perspektif
yang mungkin tidak dimiliki atau tidak diingat oleh pasangannya. Datang
bersama juga membantu memastikan bahwa kedua pasangan memahami
setiap informasi, pilihan, maupun rekomendasi yang diberikan, dan masingmasing memiliki kesempatan untuk bertanya secara langsung.
Klinisi yang menangani pasangan infertil harus selalu mengingat 4 tujuan
dasar:
Untuk
mengidentifikasi
dan
mengkoreksi
penyebab
spesifik
23
24
obese. Abnormalitas pada sekresi GnRH dan gonadotropin hipofisis relatif sering
ditemukan pada wanita kelebihan berat badan, obese, atau kurus (BMI kurang dari
17). Hubungan antara BMI dan fertilitas pada pria belum pernah diteliti.
Satu dari beberapa hal yang dapat dikendalikan sepenuhnya oleh pasangan
adalah penyalahgunaan zat; merokok adalah yang paling penting. Banyak yang
tidak sepenuhnya sadar akan akibat buruk merokok pada fertilitas dan luaran
kehamilan. Motivasi pasangan untuk memaksimalkan fertilitas mereka merupakan
kesempatan emas untuk memberikan edukasi dan pendekatan untuk berhenti
merokok pada pasangan yang merokok.
Merokok telah diketahui memiliki dampak negatif pada hasil kehamilan,
dan terdapat banyak bukti bahwa merokok menurunkan fertilitas pria maupun
wanita. Prevalensi infertilitas lebih tinggi, fekundabilitas lebih rendah, dan waktu
yang diperlukan untuk konsepsi lebih lama pada wanita yang merokok
dibandingkan wanita yang tidak merokok, dan efek dari merokok pasif hanya
sedikit berbeda daripada merokok aktif. Data yang tersedia menunjukkan bahwa
efek negatif merokok pada fertilitas adalah tergantung dosis. Mekanisme yang
terlibat meliputi peningkatan kecepatan hilangnya folikel, abnormalitas siklus
menstruasi, atau mutagenesis pada gamet atau embrio yang diinduksi oleh toksin
dalam asap rokok. Hubungan kausal antara merokok dan infertilitas wanita belum
dapat dipastikan. Namun, jika data yang diperoleh dari suatu metaanalisis dari 12
penelitian (odd ratio risiko infertilitas pada wanita yang merokok vs tidak
merokok adalah 1,60) diterima dengan asumsi bahwa 25% wanita usia reproduktif
merokok, maka sampai 13% infertilitas wanita mungkin berhubungan dengan
merokok. Maka, pendekatan preventif dan aktif untuk mencegah merokok dan
membantu perokok untuk berhenti penting dalam penanganan infertilitas.
Bentuk lain dari penyalahgunaan zat juga dapat berdampak negatif
terhadap fertilitas. Ganja menghambat sekresi GnRH dan dapat menekan fungsi
reproduksi pria maupun wanita. Pada wanita, penggunaan ganja menimbulkan
gangguan terhadap fungsi ovulasi. Penggunaan kokain dapat mengganggu
spermatogenesis dan berhubungan dengan meningkatnya insidensi penyakit tuba
pada wanita. Konsumsi alkohol berlebihan pada wanita dapat menurunkan
25
fertilitas, sedangkan pada pria berhubungan dengan penurunan kualitas semen dan
impotensi. Konsumsi alkohol moderat juga dapat menurunkan fekundabilitas,
walaupun hasil dari berbagai penelitian saling bertentangan. Konsumsi alkohol
moderat pada pria maupun wanita berhubungan dengan tingkat kehamilan dengan
ART yang rendah. Penelitian gagal memastikan efek negatif konsumsi kafein
dalam jumlah moderat (lebih dari 250 mg/hari, 2 gelas kopi) pada fertilitas,
walaupun konsumsi dalam jumlah yang lebih besar dapat menunda terjadinya
konsepsi atau meningkatkan risiko aborsi spontan.
Paparan lingkungan dan pekerjaan lain yang mungkin berpotensi
merugikan, walaupun jarang, juga dapat ditemukan. Paparan perkloretilen pada
industri dry cleaning, toluene pada percetakan, etilen oksida dan berbagai bahan
pelarut berhubungan dengan berkurangnya fekunditas. Abnormalitas semen
ditemukan pada pria yang terpapar panas atau logam berat. Paparan herbisida atau
fungisida berhubungan dengan penurunan fertilitas wanita, dan paparan pestisda
dan senyawa hidrokarbon terklorinisasi berhubungan dengan peningkatan risiko
aborsi spontan.
Untuk pasangan-pasangan yang berusaha untuk hamil, terdapat bukti kuat
yang mendukung penghentian merokok dan untuk mencapai BMI 20-25.
Rekomendasi untuk membatasi konsumsi alkohol sampai kurang dari 4 gelas
per minggu dan konsumsi kafein kurang dari 250 mg/hari juga masuk akal dan
sesuai dengan bukti-bukti yang ada. Namun, belum ada RCT yang
menunjukkan bahwa modifikasi gaya hidup di atas dapat meningkatkan
fertilitas.
Efisiensi Reproduksi Normal
Pada akhir evaluasi infertilitas dan sebelum terapi dimulai, edukasi
mengenai efisiensi reproduksi normal manusia penting untuk diberikan pada
pasangan infertil. Hanya sedikit yang menyadari bahwa, dibandingkan dengan
mamalia dan bahkan dengan primata, manusia adalah spesies yang tidak terlalu
fertil. Fekunditas pada baboon mencapai 80% jika koitus dilakukan pada kondisi
dan waktu yang tepat, sedangkan efisiensi reproduksi pada pasangan fertil normal
26
rata-rata 20% dan tidak melebihi 35% pada saat waktu koitus diperhitungkan
dengan cermat. Pengertian tersebut sangat penting saat mendiskusikan dan
membandingkan efikasi dari berbagai pilihan terapi, terutama jika dilihat dari
tingkat fekunditas tiap siklus. Saat melakukan hal tersebut, penting bagi pasangan
untuk memahami bahwa tingkat fekunditas yang dihasilkan dengan terapi adalah
20-30% dan bukan 100%.
Jika rata-rata fekunditas adalah 20% untuk setiap siklus, tingkat kehamilan
kumulatif yang diamati pada pasangan fertil normal mudah untuk dipahami. Data
dalam tabel di bawah ini merupakan standar yang telah dipakai sejak tahun 1956
dan telah dikonfirmasikan dengan hasil penelitian yang lebih baru.
Waktu yang diperlukan untuk konsepsi untuk mendapatkan kehamilan
Waktu paparan
% kehamilan
3 bulan
57%
6 bulan
72%
1 tahun
85%
2 tahun
93%
Sperma normal dapat bertahan hidup dalam saluran reproduksi wanita dan
mempertahankan kemampuan untuk membuahi oosit selama paling sedikit 3
sampai 5 hari, namun oosit hanya dapat dibuahi dengan berhasil 12-24 jam setelah
dilepaskan dari ovarium. Maka, pada konsepsi yang berhasil, koitus biasanya
terjadi dalam rentang waktu 6 hari yang berakhir pada saat ovulasi. Perkiraan
waktu puncak fertilitas berbeda-beda tergantung pada metode yang digunakan
untuk memperkirakan saat terjadinya ovulasi. Jika waktu terjadinya ovulasi
ditentukan berdasarkan catatan suhu tubuh basal dan ovulasi diasumsikan terjadi
satu hari sebelum suhu tubuh basal mencapai puncak pertengahan siklus, maka
waktu fertilitas puncak adalah 2 hari sebelum ovulasi. Penelitian yang cermat
menunjukkan bahwa ovulasi biasanya terjadi dalam interval 1 hari dari waktu
yang ditentukan dengan metode suhu tubuh basal. Jika waktu ovulasi ditentukan
dengan mengukur konsentrasi estrogen urin harian, maka probabilitas terjadinya
konsepsi terus naik pada saat mendekati ovulasi dan memuncak satu hari sebelum
dan pada hari terjadinya ovulasi, berkisar antara 10-33%. Jika ekskresi harian LH
27
urin diukur untuk mendeteksi surge LH pada pertengahan siklus yang memicu
ovulasi, pecahnya folikel (ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi
transvaginal), dan mungkin pelepasan ovum, biasanya mengikuti dalam 14-26
jam, dan hampir selalu dalam 48 jam. Tanpa memperhatikan metode yang
digunakan, semua penelitian menunjukkan bahwa fertilitas memuncak segera
sesudah ovulasi, dan kemudian dengan cepat turun sampai nol.
Koitus yang dilakukan pada saat yang tepat merupakan cara meningkatkan
kemungkinan terjadinya kehamilan pada pasangan infertil, walaupun hanya
terdapat sedikit data yang mendukung efektivitasnya. Walaupun terdapat beberapa
tes yang dapat digunakan untuk memperkirakan waktu terjadinya ovulasi, tes
tersebut sebaiknya tidak digunakan untuk menentukan waktu koitus yang tepat,
kecuali untuk beberapa alasan spesifik. Koitus yang terjadwal dapat menambah
beban yang signifikan pada infertilitas. Selain itu, sebagian besar waktu fertilitas
puncak dapat terbuang sia-sia pada saat pasangan menunggu tanda yang tepat.
Untuk sebagian besar pasangan, rekomendasi sederhana untuk melakukan
koitus 2 kali seminggu dapat menghindari timbulnya stres yang tidak perlu dan
memastikan bahwa koitus terjadi dalam rentang fertilitas puncak. Di lain
pihak, koitus yang terjadwal merupakan rekomendasi yang masuk akal untuk
pasangan yang jarang melakukan koitus baik karena pilihan atau karena
kondisi yang tidak memungkinkan.
Indikasi untuk Pemeriksaan
Kapan suatu pemeriksaan atau evaluasi formal harus dimulai? Sebagian
besar pasangan infertil tidak sepenuhnya steril; mereka hanya mengalami
penurunan fertilitas, dan banyak yang akhirnya hamil tanpa terapi. Infertilitas
memiliki tingkat kesembuhan spontan yang bervariasi tergantung pada usia pihak
wanita, durasi, riwayat konsepsi sebelumnya, dan penyebab. Probabilitas untuk
mendapatkan kelahiran hidup tanpa terapi turun dengan bertambahnya usia dan
durasi infertilitas. Secara keseluruhan, kemungkinan untuk berhasil hamil tanpa
terapi turun 5% untuk setiap tahun penambahan usia pihak wanita dan 15-25%
untuk setiap tahun infertilitas. Mayoritas kehamilan spontan muncul dalam 3
28
tahun, dan setelah itu, prognosis keberhasilan untuk hamil tanpa terapi secara
relatif buruk. Pasangan yang sebelumnya pernah mendapatkan kehamilan
memiliki prognosis yang lebih baik daripada pasangan yang belum pernah.
Penyebab infertilitas juga mempengaruhi prognosis terjadinya kehamilan tanpa
terapi, namun tentu saja tidak dapat ditentukan tanpa evaluasi. Seperti yang
diharapkan, infertilitas yang tidak diketahui sebabnya dan disfungsi ovulasi
memiliki prognosis terbaik. Kemungkinan untuk berhasil hamil pada pasangan
dengan faktor pria, penyakit tuba, dan endometriosis sangat bervariasi tergantung
pada tngkat keparahan penyakit; prognosis biasanya bagus untuk oligospermia
ringan, adhesi tuba, dan endometriosis ringan dan biasanya sangat buruk untuk
faktor pria yang berat, obstruksi tuba, dan endometriosis berat.
Edukasi harus diberikan untuk setiap pasangan yang menginginkannya,
tanpa memperhatikan apakah mereka sudah melakukan tindakan aktif untuk
berhasil hamil. Penjelasan mengenai proses reproduksi, bahwa tingkat
fekundabilitas untuk tiap siklus berkisar 20% (jauh lebih rendah daripada
anggapan umum), dan hubungan antara usia dan fertilitas selalu bermanfaat.
Evaluasi harus ditawarkan pada semua pasangan yang tidak berhasil
mendapatkan kehamilan setelah melakukan koitus tanpa pencegahan kehamilan
selama 1 tahun atau lebih, namun infertilitas selama 1 tahun sebaiknya tidak
dijadikan sebagai indikasi untuk memulai evaluasi. Tanpa mempertimbangkan
usia maupun durasi infertilitas, evaluasi harus segera ditawarkan pada wanita yang
telah berusia lebih dari 35 tahun, wanita dengan menstruasi yang ireguler atau
jarang, wanita dengan riwayat infeksi pelvis dan endometriosis, dan pada pria
yang dicurigai memiliki kualitas semen yang buruk, karena tidak ada alasan yang
rasional untuk menunda pada keadaan-keadaan tersebut.
Bahkan pada pasangan yang belum pernah memeriksakan fertilitas mereka
dan tampaknya tidak bermasalah dengan hal tersebut, beberapa pemeriksaan awal
dapat dilakukan jika mereka meminta. Tes untuk memastikan waktu terjadinya
ovulasi dan kualitas semen mudah dilakukan, relatif tidak mahal, noninvasif, dan
dapat mendeteksi dengan cepat beberapa masalah reproduksi yang paling sering
terjadi. Tes awal cadangan ovarium juga dapat dilakukan bila terdapat indikasi,
29
karena hasilnya dapat digunakan sebagai patokan bagaimana dan kapan evaluasi
dan terapi harus dilanjutkan.
Evaluasi Infertilitas Wanita
Setiap evaluasi infertilitas yang dimulai dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang seksama sering dapat mengidentifikasi tanda dan gejala
yang menunjuk pada suatu penyebab spesifik dan membantu memfokuskan
evaluasi pada faktor-faktor yang paling mungkin. Pada wanita, riwayat medis dan
temuan fisik yang bermakna adalah sebagai berikut:
Riwayat medis
Durasi infertilitas dan hasil dari evaluasi dan terapi yang sudah pernah
dilakukan.
Riwayat pembedahan pada masa lalu, indikasi dan luarannya, dan penyakit
yang diderita pada masa lalu atau saat ini, meliputi infeksi pelvis atau
infeksi menular seksual.
Hasil Paps smear yang abnormal sebelumnya dan terapi yang didapatkan.
30
Pemeriksaan Fisik
servisitis
mukopurulen
atau
stenosis
serviks
dapat
membantu
31
keluarga
yang
direkomendasikan
sebelumnya) dan skrining tersebut harus ditawarkan secara khusus pada pasangan
yang berasal dari kelompok etnik atau ras yang berisiko tinggi untuk mempunyai
mutasi fibrosis kistik (Kaukasia, terutama keturunan Yahudi Ashkenazi).
Pendekatan konkuren (kedua pasangan diperiksa secara bersamaan) maupun
sekuensial (salah satu dari kedua pasangan diperiksa terlebih dahulu, dan
pemeriksaan pada pasangannya baru dilakukan bila tes pertama menunjukkan
karier) dianggap sama efektif.
Semua wanita yang berusaha untuk hamil dengan riwayat infeksi atau
vaksinasi rubella yang tidak diketahui harus diperiksa untuk imunitas terhadap
rubella, dan divaksinasi jika masih seronegatif. Walaupun tidak ada laporan kasus
mengenai terjadinya sindrom rubella kongenital yang disebabkan oleh vaksin,
CDC merekomendasikan agar wanita yang mendapatkan vasksinasi rubella tidak
hamil dalam waktu 3 bulan setelah vaksinasi karena secara teori virus dalam
vaksin dapat berdampak negatif terhadap fetus.
Rekomendasi
skrining
untuk
imunitas
terhadap
varisela
masih
32
rubella. Namun, paparan terhadap vaksin varisela yang tidak disengaja selama
kehamilan tampaknya hanya menimbulkan risiko minimal bagi fetus. Bahkan
pada wanita hamil dengan infeksi varisela-zoster, frekuensi terjadinya sindrom
varisela kongenital sangat rendah (0,4%).
Skrining untuk infeksi menular seksual (IMS) direkomendasikan untuk
semua wanita dengan risiko sedang dan tinggi. Pengambilan keputusan untuk
melakukan skrining terhadap IMS sebaiknya berdasarkan rekomendasi dari CDC
yang meliputi skrining pada semua wanita hamil untuk sifilis (rapid plasma
reagin, RPR), hepatitis B (HbsAg), dan klamidia (tes DNA/RNA); skrining pada
wanita berisiko tinggi untuk gonorea (kultur) dan hepatitis C (hepatitis C antibodi,
HCA); dan skrining sukarela untuk HIV tipe 1 pada kunjungan prenatal pertama.
American Society for Reproductive Medicine (ASRM) merekomendasikan skrining
untuk IMS bagi kedua pasangan. Untuk pasangan pria dari wanita yang akan
diinseminasi, ASRm merekomendasikan skrining untuk HIV tipe 1 dan IMS
lainnya, sementara untuk pasangan wanita yang akan diinseminasi ASRM
merekomendasikan pemeriksaan HIV tipe 1 dan skrining menyeluruh terhadap
IMS yang meliputi sifilis, hepatitis B dan C, antibodi CMV, HIV tipe 1 dan 2,
HTLV tipe 1 dan 2, serta klamidia dan gonore. Untuk resipien oosit donor dan
pasangan prianya, ASRM merekomendasikan skrining untuk sifilis, hepatitis B
dan C, CMV, dan HIV tipe 1.
Keputusan untuk melakukan semua tes laboratorium lain yang ditujukan
untuk skrining harus berdasarkan riwayat medis dan pertimbangan klinis.
Penyebab Infertilitas
Sebelum penelusuran formal penyebab infertilitas dimulai, penyebab
utama dan komponen dasar dari evaluasi yang dirancang untuk mengidentifikasi
penyebab infertilitas harus dijelaskan pada pasangan. Penyebab utama infertilitas
meliputi disfungsi ovulasi (15%), patologi tuba dan peritoneum (30-40%), dan
faktor pria (30-40%); patologi uterus jarang ditemukan dan penyebab yang lain
belum dapat dijelaskan. Prevalensi tiap penyebab di atas bervariasi menurut usia.
Disfungsi ovulasi lebih sering terjadi pada pasangan berusia muda daripada yang
33
lebih tua, faktor tuba dan peritoneum memiliki prevalensi yang sama, sementara
faktor pria dan penyebab yang belum dapat dijelaskan lebih sering didapatkan
pada pasangan yang lebih tua. Komposisi dari tiap kelompok infertil juga
bervariasi menurut durasi infertilitas dan tempat mencari layanan (primer,
sekunder, atau tersier). Sebagian besar pasangan yang mencari bantuan telah
berusaha untuk hamil selama lebih dari 2 tahun, sehingga sedikit yang secara
normal subur. Mereka yang datang dengan durasi infertilitas yang lebih panjang
biasanya memiliki masalah yang lebih kompleks dan beragam sehingga lebih
sering dijumpai di layanan tersier. Durasi rata-rata infertilitas pada pasangan yang
ditemui di layanan tersier (42 bulan) dua kali lebih lama daripada pasangan di
layanan primer (21 bulan). Seperti yang dapat diperkirakan, proporsi pasangan
dengan disfungsi ovulasi yang mudah ditangani berkurang dari tingkat layanan
primer ke tersier, sedangkan proporsi pasangan dengan masalah tuba/peritoneum
yang lebih berat dan faktor pria meningkat.
Proses reproduksi manusia sangat kompleks. Namun, untuk tujuan evaluasi,
proses yang kompleks tersebut dapat dipecah ke dalam beberapa komponen dasar
yang penting.
Sperma harus terkumpul pada atau di dekat serviks pada atau sekitar masa
ovulasi, naik sampai ke tuba falopi, dan memiliki kemampuan untuk
membuahi oosit (faktor pria).
Ovulasi oosit matur harus terjadi, dan idealnya terjadi dalam siklus yang
teratur dan dapat diprediksi (faktor ovarium).
34
35
36
37
1-5 hari setelah LH surge midsiklus dan sampai 4 hari setelah ovulasi. Kenaikan
temperatur bisa mendadak atau nertahap, dan ketika diketahui maka interval
kesuburan sudah dilalui. Jadi interval dengan fertilitas tertinggi pada siklus SBB
berlangsung 7 hari sebelum kenaikan SBB di tengah siklus. Pencatatan sebaiknya
dilakukan secara teratur dan serial. Oleh karena itu waktu koitus sebaiknya
dilakukan berselang seling 7 hari sebelum kenaikan temperatur sampai hari
terakhir sebelum SBB kembali normal.
Keuntungan dari grafik SBB adalah biaya yang rendah, juga dapat
menunjukkan fase folikular yang terlalu panjang atau fase luteal yang pendek.
SBB juga mudah, noninvasif namun kadang membosankan. Untuk beberapa
orang metode ini dapat menyebabkan stres karena gagal pembuahan. Ada
beberapa wanita dengan siklus yang regular namun pola bifasik yang tidak jelas.
Namun demikian SBB masih tetap bermanfaat, hemat dan mudah.
Konsentrasi Serum Progesteron
Metode lain untuk mengetahui ovulasi pada wanita infertil adalah
mengukur serum progesteron. Kadar biasanya rendah <1ng/ml pada fase folikular,
sedikit naik pada hari LH surge (102 ng/ml) dan stabil setelah itu, puncak 7-8 hari
setelah ovulasi dan menurun selama hari-hari sebelum operasi. Kadar >3 ng/ml
menunjukkan terjadinya ovulasi. Pengukuran ini sederhana, reliabel, tidak invasif,
tersedia luas dan murah.
Konsentrasi progesteron sebaiknya diperiksa pada siklus hari 21. Pada
siklus ideal 28 haru di mana ovulasi terjadi pada hari 14, hari 21 akan jatuh pada
fase midluteal, kira-kira 1 minggu setelah ovulasi dan 1 mingggu sebelum onset
menstruasi berikutnya, tepat ketika progesteron mencapai puncak. Namunsiklus
yang normal adalah 25-35 haru dengan fase luteal 13-16 hari. Ovulasi dapat
terjadi pada hari 9 pada siklus 25 hari dan pada hari 22 pada siklus 35 hari. Jika
ovulasi terjadi pada hari ke 9 maka hari 21 akan jatuh 12 hari setelah ovulasi,
setelah konsentrasi progesteron mencapai puncak. Jika ovulasi terjadi pada hari 22
maka hari 21 terjadi sebelum ovulasi ketika kadar progesteron belum meningkat.
Jadi ketika konsentrasi progesteron digunakan untuk menilai ovulasi maka waktu
38
39
menerima
atau
menangkap
sperma
dari
ejakulat
dan vagina,
40
leiomyoma,
adhesi
intrauterine,
polip
endometrium
(masih
menunjukkan
lesi
anatomis
rongga
uterus
(menorhagia,
bercak
intermenstruasi) atau detil rongga uterus penting diketahui namun status tuba
tidak penting (seperti pada wanita yang membutuhkan UVF karena infertilitas
laki-laki) maka sonohisterografi dapat dipilih. Histeroskopi merupakan metode
definitif namun tidak banyak memberikan kelebihan dibanding sonohisterografi
dan mungkin hanya dilakukan untuk terapi.
Histerosalfingografi
HSG dapat mengidentifikasi ukuran dan bentuk kavitas uterus, mengetahui
anomali perkembangan uterus dan juga myoma submukosa dan adhesi intrauterus
41
yang mempengaruhi reproduksi, namun kurang sensitif untuk polip. Injeksi media
kontras secara perlahan akan memaksimalkan deteksi.
Dalam mendeteksi patologi intrauterine, dibandingkan dengan histeroskopi,
sensitivitas HSG adalah 98% dan spesifisitas 35% dengan PPV 70% dan NPV
8%. Misdiagnosis disebabkan oleh kesulitan membedakan myoma submukosa
dari polip.
USG Transvagina dan Sonohisterografi
USG transvagina merupakan metode lain untuk mengetahui faktor uterus
pada wanita infertil. Transduser modern dengan frekuensi tinggi akan
menghasilkan gambar resolusi tinggi yang memungkinkan identifikasi kelainankelainan yang meskipun kecil namun penting dan mungkin terlewatkan. Probe
endovagina yang dimasukkan ke dalam forniks vagina, beberapa milimeter dari
organ reproduksi internal, akan menghasilkan pencitraan uterus dan ovarium yang
sangat mendetil; namun tuba fallopii yang normal tidak dapat terlihat.
Sonohisterografi yang menggunakan USG transvagina selama atau setelah
dimasukannya saline steril dengan salah satu kateter yang dirancang untuk tujuan
tersebut (disebut juga hidrosonografi dan sonografi infus saline) akan mampu
menggambarkan kontur kavitas dan dapat segera menunjukkan lesi intrauteri yang
kecil sekalipun.
Pada semua fase siklus, pertemuan antara permukaan myometrium dan
endometrium anterior dan posterior biasanya berbatas tegas. Pertemuan antara
kedua lapis endometrium itu sendiri (yang membatasi kavitas uteri) mungkin sulit
untuk segera teridentifikasi di dalam siklus dan selama fase sekresi namun akan
tampak dengan mudah pada fase proliferatif lanjut. Kedua lapisan endometrium
ini secara bersamaan akan membentuk strip endometrium yang mengalami
perubahan dalam ketebalan dan permukaannya selama siklus. Selama fase
proliferatif, endometrium relatif hipoekhoik dan semakin tebal sehingga
menghasilkan triple line yang prominen atau pola trilaminar. Selama fase
sekretoris, endometrium tumbuh sedikit atau tidak sama sekali dan bertambah
ekhodensitasnya, mungkin karena bertambahnya jaringan pembuluh darah
kumparan memberikan semakin banyak permukaan yang reflektif. Perubahan
42
sesuai siklus di dalam parameter aliran darah arteri uterina (kecepatan dan indeks
pulsatilitas) yag diukur dengan USG Doppler warna dan pulsed juga telah
dilaporkan. Namun demikian, variasi diurnal dan perbedaan antara kedua arteri
uterina (ipsilateral atau kontralateral terhadap folikel ovarium diurnal)
mempersulit interpretasi. Beberapa penelitian telah meneliti korelasi antara
ketebalan strip endometrium dan pola atau parameter aliran darah arteri uterina
dengan impantasi atau angka kehamilan pada siklus IVF dengan tujuan untuk
menentukan endometrium yang reseptif, namun data yang ada saat ini masih sulit
untuk disimpulkan dan tidak dapat diterapkan di dalam klinik infertilitas. Selain
itu, hanya ada sedikit data yang menunjukkan bahwa pengukuran seperti itu di
dalam siklus alamiah akan membantu dalam menentukan penyebab infertilitas
yang spesifik atau berkorelasi dengan prognosis. Oleh karena itu, di dalam
pemeriksaan diagnostik terhadap wanita infertil, pemeriksaan USG endometrium
tidak terbukti bermanfaat. Meskipun belum dapat digunakan untuk mengetahui
reseptivitas endometrium, USG transvaginal dapat mengidentifikasi patologi
uterus yang penting pada wanita infertil.
Sebagai identifikasi malformasi kongenital, USG transvagina dua dimensi
standar akan melengkapi HSG dan meningkatkan akurasi diagnostik dalam
membedakan uterus septata dan bikornus dengan mengidentifikasi bentuk kontur
fundus. Uterus septata menunjukkan fundus tunggal menyatu yang sepertinya
lebih besar dari normal dan kadang sedikit konkaf; uterus bikornus mempunyai
dua fundus yang benar-benar terpisah oleh celah di garis tengah dengan
kedalaman bervariasi namun berbatas tegas. Akurasi dari sonohisterografi sendiri
melebihi akurasi HSG, dengan mengidentifikasi kavitas uterus yang ganda dan
bentuk kontur fundus. Unit USG tiga dimensi yang lebih baru menghasilkan
bayangan dengan akurasi diagnostik yang sebanding dengan MRI atau kombinasi
laparoskopi dan histeroskopi (standar emas) namun belum tersedia secara luas.
Hasil-hasil penelitian yang mengevaluasi akurasi USG transvaginal untuk
mendeteksi myoma submukosa dan polip endometrium sebenarnya bervariasi,
namun secara umum baik USG transvaginal dua dimensi dan tiga dimensi lebih
sensitif dibanding HSG, dan baik sonohisterografi dua dimensi maupun tiga
43
strip endometrium
yang
menyempit
sebagian
atau
diskontinyu
44
pertumbuhan
intrauterine,
dan
infertilitas.
Mekanisme
yang
menyebabkan masih belum banyak dipahami, tapi yang paling mungkin adalah
suplai darah septal yang buruk, sehingga menyebabkan efisiensi implantasi yang
rendah dan pertumbuhan embryo yang buruk serta inkompetensi serviks relatif.
Meskipun diagnosis uterus septata bukan merupakan indikasi apriori untuk
septoplasty, namun kemampuan reproduksi wanita dengan septum yang tidak
dikoreksi adalah rendah (80% abortus, 10% kelahiran preterm, 10% kelahiran
aterm), dan sebagian besar abortus terjadi pada trimester pertama (sekitar 65%)
dan membaik dengan drastis setelah koreksi dengan operasi (80% kelahiran aterm,
5% kelahiran preterm, 15% abortus). Dulu koreksi operasi untuk uterus septata
membutuhkan metroplasty abdominal, adhesi pascaoperasi yang beresiko
mengganggu fertilitas dan resiko SC untuk semua kehamilan berikutnya.
Metroplasty biasanya hanya dilakukan pada wanita dengan riwayat abortus
berulang di mana manfaatnya melebihi resiko. Kemajuan teknik histeroskopi
operatif yang modern telah mengubah hal ini. Septoplasty saat ini merupakan
prosedur endoskopi rawat jalan yang relatif singkat dan mudah dikerjakan dengan
45
morbiditas yang rendah (tidak ada resiko adhesi pelvis atau keharusan untuk SC)
dan pemulihan yang cepat. Indikasi operasi saat ini lebih bebas.
Pemeriksaan infertilitas yang sistematik akan mampu mengidentifikasi
wanita dengan uterus bersepta yang mempunyai masalah terapi. Dengan tingginya
probabilitas keberhasilan septoplasty histeroskopik dan morbiditas yang rendah,
koreksi operasi preemptif pada uterus bersepta sebaiknya dipertimbangkan,
khususnya pada wanita berusia di atas 35 tahun, wanita dengan infertilitas lama
yang sulit dijelaskan, wanita dengan indikasi lain untuk laparoskopi atau
histeroskopi dan wanita yang membutuhkan IVF atau terapi lain yang
menyebabkan resiko tinggi kehamilan multifetal dan abortus. Resiko relatif dan
manfaat septoplasty histeroskopik harus dibicarakan terlebih dulu, khususnya jika
indikasi untuk operasi tidak begitu jelas.
Leiomyoma Uterus
Bukti yang menunjukkan bahwa myoma uteri menurunkan fertilitas masih
lemah, sebagian besar diperoleh dari penelitian yang membandingkan prevalensi
myoma pada wanita fertil dan infertil atau kemampuan reproduksi wanita dengan
infertilitas sebelum dan sesudah myomektomi. Diduga bahwa myoma dapat
mempengaruhi fertilitas melalui mekanisme oklusi kornu oleh myoma yang
mengenai
atau
menekan
segmen
interstisial
tuba,
kontraktilitas
uterus
46
mengurangi fertilitas dan membutuhkan SC). Data dari penelitian outcome IVF
pada wanita dengan dan tanpa myoma menunjukkan bahwa hal ini benar. Hasil
dari dua penelitian yang bertujuan menentukan faktor-faktor yang menentukan
outcome reproduksi setelah myomektomi abdominal juga menunjukkan tidak
adanya manfaat terapeutik dari myomektomi pada wanita infertil dengan myoma
subserosa dan intramural yang asimptomatik. Kedua penelitian menemukan
bahwa angka konsepsi kumulatif selama 2 tahun pascaoperasi terutama terkait
dengan durasi infertilitas dan ada atau tidak adanya faktor infertilitas yang lain,
namun tidak dengan ukuran atau lokasi myoma. Usia dan myoma posterior (resiko
adhesi pelvis dan adneksa lebih tinggi) dikaitkan dengan prognosis yang lebih
buruk dan gejala menorrhagia dikaitkan dengan prognosis yang lebih baik.
Myomektomi laparoskopok mempunyai manfaat yang sama dengan myomektomi
abdominal terbuka untuk wanita infertil dengan myoma subserosa dan intramural,
dengan morbiditas yang lebih rendah (kehilangan darah sedikit, waktu pemulihan,
dan resiko adhesi pascaoperasi lebih sedikit). Laporan kasus menunjukkan bahwa
resiko tinggi untuk komplikasi kehamilan (misalnya ruptur uterus) setelah
myomektomi laparoskopi dan bahwa selalu akan dibutuhkan SC tidaklah
beralasan. Namun bukti yang menunjukkan bahwa myoma subserosa dan
intramural tidak mempengaruhi infertilitas dan outcome reproduksi tidak
terpengaruh oleh terapi juga mengemukakan bahwa keamanan dan efektivitas
47
48
mengganggu rongga uterus maka operasi myoma ukuran sedang biasanya tidak
diindikasikan jika tidak ada gejala yang membutuhkan terapi
49
spesifisitas rendah. Histeroskopi lebih akurat untuk menentukan lokasi dan luas
adhesi.
Histeroskopi pada wanita dengan adhesi dapat menunjukkan adanya
berkas adhesi sentral yang membentuk kolom atau jembatan antara dinding
kavitas yang bersebenrangan dengan basis yang lebar dan membagi kavitas uterus
menjadi ruang-ruang iregular yang kecil dengan ukuran dan bentuk yang
bervariasi. Adhesi pada tepi kavitas tampak sebagai tirai yang separuh ditarik
yang menutup kedua orifisium kornu. Tergantung pada komposisinya (mukosa,
fibromuskular, jaringan ikat), adhesi mungkin mempunyai permukaan seperti
endometrium, namun tidak pada adhesi jaringan ikat yang padat. Jika adhesi
mukosa mempunyai ganbaran serupa dengan jaringan normal di sekitarnya dan
mudah lisis, adhesi fibromuskular dan jaringan ikat lebih tebal dan biasanya
pucat, serta harus dipisahkan atau didiseksi secara mekanis. Ada banyak sistem
klasifikasi namun belum banyak yang diterima secara luas atau mempunyai nilai
prognostik. Akibatnya studi outcome sulit diinterpretasi dan dibandingkan.
Histeroskopi juga merupakan metode pilihan untuk terapi adhesi
intrauterine dan aman serta efektif dibanding kuret. Lisis adhesi dapat dilakukan
dengan menggunakan ujung histeroskop dibantu dengan tekanan dari infus atau
media distensi. Jika perlu dapat digunakan instrumen mekanis, eketrooperasi dan
laser dikombinasi dengan histeroskopi untuk melisis adhesi dengan visualisasi
langsung. Hasil terbaik akan diperoleh jika adhesi sentral dilisiskan dulu, bergerak
dari segmen uterus yang lebih rendah menuju fundus dan kemudian ke tepi
kavitas, sehingga secara bertahap mengembalikan kavitas uterus yang normal.
Jika penyakitnya berat dan bentuk anatomis terganggu maka dapat dilakukan USG
transabdominal atau laparoskopi secara bersamaan untuk membantu orientasi dan
mengurangi resiko perforasi.
Ada berbagai terapi adjuvan untuk membantu histeroskopi. Misalnya
misoprostol yang dimasukkan melalui vagina (200ug) untuk melunakkan serviks
sebelum operasi, sehingga mengurangi kebutuhan dilatasi mekanik dan insidensi
operasi.
Berbagai
barier
fisik
seperti
IUD
dan
kateter
balon
dapat
50
51
polip pada wanita infertil, namun sulit dibedakan dengan myoma submukosa
kecuali dengan histeroskopi. Bukti yang ada tidak dapat memastikan terapi untuk
wanita infertil dengan polip endometrium. Namun wanita dengan gejala dapat
diterapi dengan histeroskopi. Histeroskopi juga sebaiknya dilakukan pada wanita
asimtpmatik dengan lesi pilip yang besar atau polip kecil yang tidak dapat
dibedakan. Pada polip yang kecil dan jelas, terapi mungkin tidak perlu dilakukan.
Endometritis Kronis
Endometritis kronis biasanya merupakan penyebab yang jelas dari
kegagalan reproduksi namun sangat jarang. Prevalensi pada wanita infertil tidak
diketahui. Endometritis subklinis kronis relatif banyak ditemukan pada wanita
dengan infeksi traktus genitalia bawah simtomatik, antara lain servisitis dan
vaginosis bakterial yang cukup sering ditemukan. Servisitis mkopurulen banyak
disebabkan oleh chalmydia C. trachomatis dan mycoplasma M. genitalium, dan
keduanya terkait dnegan endometritis kronis yang berperan dalam patofisilogi
infertilitas faktor tuba. Dibutuhkan evaluasi dan terapi lebih lanjut pada wnaita
infertil dengan servisitis klinis, vaginosis bakterial kronik atau rekuren atau gejala
lain yang menunjukkan infeksi pelvis.
Faktor Tuba: Oklusi Tuba dan Adhesi Adneksa
Patologi tuba dan peritoneum merupakan salah satu penyebab utama
infertilitas dan merupakan diagnosis utama pada 30-35% pasangan infertil.
Riwayat PID, abortus septik, apendiks ruptur, operasi tuba atau kehamilan ektopik
menunjukkan kemungkinan rusaknya tuba. PID merupakan penyebab utama
infertlitas tuba dan kehamilan ektopik. Resiko infertilitas meningkat dengan
jumlah dan beratnya infeksi pelvis. Insidensinya adalah 10-12% setelah satu
episode, 23-35% setelah dua episode, 54-75% setelah infeksi pelvis. Infeksi
ascendens yang silent merupakan penyebab paling mungkin, karena wanita
dengan penyakit tuba atau adhesi pelvis seringkali jarang mempunyai riwayat
infeksi. Wanita seperti ini akan mengalami peningkatan antibodi Chlamiydia yang
menunjukkan infeksi sebelumnya. Penyebab infertilitas tuba yang lain adalah
inflamasi akibat endometriosis, inflammatory bowel disease atau trauma operasi.
52
untuk
mengidentifikasi wanita dengan resiko penyakit tuba dan membantu apakah HSG
atau laparoskopi akan memberikan informasi untuk terapi.
Histerosalfingografi (HSG)
HSG paling baik dilakukan selama interval 2-5 hari setelah akhir
menstruasi untuk meminimalisir resiko infeksi, menghindarkan gangguan darah
dan jendalan uterus mencegah dilakukannya HSG dalam siklus konsepsi. Assay
yang paling sensitif sekalipun sulit untuk mengetahui apakah HSG dilakukan
53
dalam fase luteal. HSg tidak membutuhkan persiapan khusus, namun OAINS 30
menit sebelum HSG dapat mengurangi ketidaknyamanan. Komplikasi infeksius
jarang terjadi meskipun pada wanita beresiko tinggi, Terapi antibiotik profilaktik
dapat dilakukan karena adanya resiko infeksi pascaprosedur. Doksiklin 100 mg
dua kali sehari selama 5 hari, diberikan 1-2 hari sebelum HSG sangatlah penting
jika ada suspek penyakit tuba dan khususnya diindikasikan jika HSG
menunjukkan adanya obstruksi tubal distal karena resiko infeksi mencapai 10%.
HSG sebaiknya dihindarkan jika ada PID akut untuk meminimalisir infeksi.
Teknik dasar HSG mudah. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan dengan fluoroskipi
intensifikasi
pencitraan
dengan
radiograf
yang
sedikit.
HSG
biasanya
54
biasanya
merupakan
pemeriksaan
definitif
untuk
55
dengan anestesi umum namun biasa juga dengan sedasi umum dan anestesi lokal.
Laparoskopi operatif untuk terapi biasanya membutuhkan anestesi umum.
Inspeksi sistematik dan menyeluruh terhadap pelvis akan dapat menentukan lokasi
dan luas penyakit. Pemeriksaan sebaiknya meliputi uterus, cul de sac anterior dan
posterior, permukaan ovarium dan fossa dan tuba fallopii. Injeksi pewarna biru
melalui kanula yang disambung dengan manipulator serviks atau intrauterin akan
dapat mengevaluasi patensi tuba (khromotubasi). Pewarna karmine indigo lebih
dipilih dibanding metilen biru, yang jarang menyebabkan methemoglobinemia
akut; individu dengan defisiensi G6PD terutama beresiko terhadap komplikasi ini.
Seperti pada HSG, injeksi cairan dengan lambat akan mengurangi insidensi hasil
negatig palsu. Temuan operatif sebaiknya didokumentasikan untuk membantu
konsultasi dan referensi lebih lanjut.
Laparoskpi memberikan tampilan panororamik anatomi reproduksi pelvis
dan tampilan uterus yang diperbesar, termasuk ovarium, tuba dan permukaan
peritoneum. Laparoskopi juga dapat mengidentifikasi penyakit tuba oklusi distal
(aglutinasi fimbria, fimosis), adhesi pelvis atau adneksa dan endometriosis yang
dapat mempengaruhi fertilitas dan tidak dapat diidentfikasi dengan HSG.
Laparoskopi juga memberikan peluang untuk terapi pada saat diagnosis. Lisis
adhesi fokal dan ablasi atau eksisi endometriosis superfisial dapat dilakukan
dengan mudah. Eksisi endometrioma ovarium, lisis adhesi yang padat atau
ekstensif yang mengenai kul de sak atau usus, eksisi atau ablasi endometriosis
yang sangat luas atau dalam dan fimbrioplastu atau salfingoneostomi akan
membutuhkan ketrampilan dan pengalaman yang lebih tinggi.
Meskipun laparoskopi merupakan prediktor fertilitas yang lebih baik dibanding
HSG, namun bukanlah uji yang sempurna untuk diagnosis patologi tuba.
Khormotubasi intraoperatif juga dapat menghaislkan hasil negatif palsu seperti
HSG. Hasil positif palsu pada laparoskopi jarang terjadi namun dapat terjadi pada
kasus di mana tuba fallopii tertutup oleh adhesi. Meskipun obstruksi tuba yang
terdeteksi dengan HSG jarang dikonfirmasikan pada laparoskopi namun patensi
bisa dipastikan. Laparoskopi juga merupakan prediktor kehamilan tanpa terapi
yang lebih baik daripada HSG karena informasinya lebih akurat. Prognosis akan
56
sangat baik jika kedua tuba fallopii paten, namun buruk jika keduanya terblok dan
sedang jika satu tuba saja yang terbuka. Oleh karena banyak obstruksi yang
terdeteksi dengan HSG bukanlah obstruksi sejati, sedangkan semua obstruksi
yang terdeteksi pada laparoskopi adalah obstruksi yang sebenarnya, maka
prognosis akibat oklusi tuba uni dan bilateral pada laparoskopi lebih buruk
daripada HSG.
Sonohisterosalfingografi
Sonohisterografi mempunyai sensitivitas yang lebih tinggi dibnadig HSG
untuk
mendeteksi
patologi
intrauterine.
Modifikasinya
yaitu
dalam
bidang
sagital
dan
transversal
masih
tidak
cukup
untuk
transvagina
merupakan
alternatif
lain
untuk
57
pelvis dengan jarum Veres yang dimasukkan melalui forniks bagina posterior
dengan anestesi lokal, diikuti dengan instrumen endoskopi kaliber kecil yang
khusus dirancang (sudut pandang 30 derajat) ke dalam cul de sac. Fertiloskopi
merupakan modifikasi lanjut hidrolaparoskopi yang menggunakan endoskopi
balun intrauterine yang khusus didesain, biasa digunakan untuk histeroskopi dan
khromotubasi, menggunakan endoskopi pelvis untuk menilai patensi tuba dan
melakukan salfingoskopi. Pengalaman awal dengan teknik-teknik ini di Eropa
telah menunjukkan feasibilitas fertiloskopi dan korelasi yang kuat dengan hasil
yang diperoleh dengan laparoskopi. Probe bipolar khusus yang dimasukkan
melalui chanel operasi memungkinkan terapi endometriosis ringan, lisis adhes
minor dan rosedur pengeboran ovarium., namun laparoskopi tradisional
dibutuhkan untuk terapi penyakit yang lebih berat.
Fertiloskopi merupakan alternatif begitu invasif dibandingkan laparoskopi
dan histeroskopi jika tidak ada suspek patlogi. Namun peranannya masih belum
jelas. Patologi intrauterine dan ovarium biasanya dapat dideteksi dengan metode
yang lebih sederhana (USG transvagina, sonohisterografi, HSG). Sebagai tes
patensi tuba, HSG seringkali tidak akurat jika ada obstruksi tuba, namun jarang
tidak akurat jika ada patensi. Pada populasi infrtil, jika HSG menunjukkan
blokade tuba, kemungkinan bahwa laparoskopi akan menunjukkan patensi adalah
62%. Namun jika HSG menunjukkan patensi, probabilitas bahwa laparoskopi
akan menunjukkan obstruksi hanya 6%. Jadi pada wanita dengan USG
transvagina yang abnrmal, maka onohisterografi, atau HSG, fertiloskopi tidak
banyak dipilih, khususnyajika hasilnya normal. Untuk terapi juga tidak banyak
bermanfaat. Pertanyaan yang paling relevan bukanlah apakah fertilosopi dapat
menggantikan laparoskopi tradisional di dalam pemeriksaan wanita infertil
dengan resiko faktor tuba yang rendah, namun apakah dibutuhkan pemeriksaan
endoskop sebelum terapi pada wanita dengan pemeriksaan fisik yang normal,
USG transvagina atau sonohisterografi dan HSG.
Tes Antibodi Chlamydia
Sejumla penelitian menemukan bahwa tes antibodi chlamydia sama
akuratnya dengan HSG atau laparoskopi untuk mendeteksi patologi tuba,
58
termasuk oklusi tuba, hidrosalfing dan adhesi pelvis. Ini tergantung pada
metodologi yang digunakan, misalnya imunofluoresensi, mikroimunfluoresensi,
ELISA, imunoperoksidase namun juga sumber angtigen yang digunakan.
Beberapa metode ada yang sangat spesifik utuk C. trachomatis namun ada yang
tidak. Uji antibodi Chlamydia yang spesifik untuk C. trachomatis merupakan
yang terbaik untuk mendeteksi patologi tuba. Uji antibodi chlamydia yang cepat
dan sangat sensitif namun tidak spesifik adalah yang paling baik untuk skrining,
tidakmembutuhkan banya tenaga.
Nilai prediksi te diagnostik tergantung pada pevalensi dalam populasi. Jika
prevalensi sangat tinggi atau sangat rendah maka uji diagnostik tidak banyak
ermanfat karena outcome tidak mempengaruhi penataaksanaan dan positif palsu
(jika prevalensi sangat rendah) atau negatif palsu (jika prevalensi sangat tinggi)
sering ditemukan. Uji diagnostik sangat bermanfaat jika prevalensi sedang.
Peranan uji antibodi chlamydia di dalam pemeriksaan wanita infertil belum pasti,
namun mungkin bemanfaat sebagai pretest untuk memilih wanita yan embutuhkan
pemerksaan yag lebih dini atau lebih terinci. Jika digunaan sebagai alat skrining,ts
yang positif mungkin menunjukkan adanya kemungkinan faktor tuba yang terkait
dengan riwayat infeksi chlamydia Meskipun laparoskopi berdasar hasil uji
antibodi mungkin tidak perlu dilakukan untuk semua wanita infertil, namun
mungkin akan efektif jika dilakukan pada wanita dengan infertilitas yang tidak
jelas (termasuk HSG normal, mengidentifikasi wanita yang paling mungkin
menderita faktor tuba sebelum memperoleh terapi empiris yang mahal.
Penggunaan tes antibodi membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Operasi Tuba pada Era ART
Untuk wanita dengan infertilitas faktor tuba, pilihan terapi adakah operasi
rekonstruksi dan IVF. Selama dua dekade terakhir, keberhasilan IVF telah
meningkat (10% menjadi 30%)sehingga menjadi pilihan untuk sebagian besar
infertilitas faktor tuba khususnya untuk pasangan dengan faktr infertilitas atau
penakit tuba berat. Namun operasi dapat menjadi pilihan bagi situasi tertentu atau
pasangan dengan pertimbangan keagamaan.
59
Alasan untuk sterilisasi yang paling banyak adalah wanita muda, pasoen
yang tidak mengetahui pilihan kontrasepsi yang lain, perbahan tujuan KB,
pengaruh dari pihak lain dan sterilisasi postpartum atau setelah aborsi. Untuk
wanita yang ingi memperoleh anak lagi, reanastomosis tuba merupakan pilihan
yang baik. HS preoperasi beguna untuk menilai segmen proksimal dan
memastikan jenis sterilisasi Laparoskopi kadang-kadang berguna untuk menilai
feasibilitas teknik operasi jika jenis prosedur belum diketahui dan jika ada suspek
bahwa segmen tuba ada yang rusak atau ada bukti patologi pelvis, .
Prognosis
keberhasilan
kehamilan
setelah
sterilisasi
mikroperasi
dipulihkan berhubungan dengan usia, jenis dan lokasi prosedur, dan panjang tuba
fallopi yang direparasi. Wanita muda, ang menjalani sterilisasi dengan cincin dan
penjepit dan wanita tanpa faktor infertilitas lain mempunyai prognosis terbaik.
Keberhasilan lebih rendah pada wanita tua, sterilisasi kauter dan mempunyai
faktor infertilitas lain. Angka kehamilan kumulatif sama dengan jika kedua tuba
dioperasi, namun waktu konsepsi lebih lama setelah reanastomosis unilateral.
Angka konsepsi biasanya 45-82%. Resiko kehamilan ektopik adalah 1-7% dan
lebih tinggi pada anastomosis ishumus-ampula dibanding setelah isthmus-isthmus.
Di antara semua terapi opersi untuk infertilitas faktor tuba, pemulihan sterilisasi
mempunyai fekundibilitas pascaoperas yang paling tinggi. Prosedur ini mungkin
baik bagi pasangan yang menginginkan lebih dari satu kehailan atau menolak IVF.
Keuntungannya adalah konsepsi alamiah dan menghindari esiko akibat
goadotropin eksogen, sementara kerugiannya adalah resiko kehamilan ektopik,
kebutuhan kontrasepsi dan laparotomi.
Penyakit tubal distal mempunyai spekyrum yang luas, dari lpatan fimbria
adheren sampai fimosis atau obstruksi komplit dengan hidrosalfing. HSG akan
dapat mengidentifikasinya namu tidak dapat mngidentifikasi derajat penyakit
yang rndah jika tuba masih paten. Laparoskopi merupakan alat diagnosis definitif
untuk penakit tuba oklusif dan juga sebagai terapi. Fimbriolisis adalah pemisahan
fimbria, fimbrioplastu adalah koresi fimbria yang fimotik namun paten,
sedangkan neosalpingotomi adalah embukaan kembali tuba yang obstruksi komlit.
Outcome tergantung pada beratnya penyakit. Luas dan sifat adhesi tuba ovarium,
60
61
62
63
faktor yang ada, namun sebenarnya masih banyak yag belum diketahui. ART
banyak dianjurkan sebagai terapi infertilitas yang tidak diketahui. Di antara 18
penelitian IVF atau transfer gamet intrafallopii (GIFT) padapasangan dengan
infertilitas, angka kehamilan rata-rata setelah UVF (20,7%) dan GIFT (27%)
mendekati siklus fekunditas pasangan normal. Angka kelahiran hidu per siklus
untuk pasangan infertil adalah 28%. Di antara pasangan dengan infertilitas yang
tidak jelas, IVF merupakan terapi pilihan untuk beberapa pasangan, namun
merupakan pilihan terakhir pada pasangan lain. Insidensi kegagalan fertilisasi dan
angka kehamilan yang lebih rendah ditemukan pada pasangan yang gagal dengan
terapi gonadotropin.IUI, sehingga mungkin ada faktor lain seperti kelainan
fertilisasi, perkembangan embryo dini atau implantasi.
Efek terapi dari berbagai penatalaksanaan infertilitas yang tidak jelas
adalah kecil, dan terapi mungkin hanya akan mengganggu kehamilan pada
pasangan
yang
telah
hamil.
Dibutuhkan
konsultasi
yang
teliti
dan
64
65