Anda di halaman 1dari 65

INFERTILITAS WANITA

Infertilitas secara umum didefinisikan sebagai hubungan seksual tanpa


proteksi selama 1 tahun yang tidak menghasilkan konsepsi. Konsepsi terjadi
dalam 1 tahun pada sekitar 85-90% pasangan muda sehat. Oleh karena itu,
infetilitas terjadi pada sekitar 10-15% pasangan dan merupakan suatu bagian
penting dalam praktik klinis kebanyakan klinisi. Siklus fekundabilitas merupakan
probabilitas terjadinya kehamilan dalam satu siklus (20-25% pada pasangan
normal) dan fekunditas merupakan probabilitas terjadinya kelahiran hidup dalam
satu siklus.
Berkebalikan dengan pengertian umum, insidensi infertilitas secara
keseluruhan belum mengalami perubahan dalam 3 dekade terakhir. Namun,
evaluasi dan penanganan infertilitas telah mengalami perubahan secara dramatis
dalam kurun waktu tersebut. Tiga penemuan penting telah memberikan pengaruh
yang sangat besar dalam perkembangan penanganan infertilitas. Yang pertama
adalah diperkenalkannya metode fertilisasi in vitro (in vitro fertilization, IVF) dan
teknik reproduksi dengan bantuan lainnya (assisted reproductive technologies,
ART). Teknik-teknik ART telah menjadi sarana untuk mempelajari proses-proses
reproduksi dalam cara-cara baru dan revolusioner dan telah memperbaiki
prognosis bagi sejumlah besar pasangan infertil secara bermakna, terutama pada
pasangan-pasangan yang infertilitasnya disebabkan oleh kerusakan berat pada
tuba atau karena faktor pria. Yang kedua, perubahan-perubahan pada karakteristik
demografis masyarakat menyebabkan lebih banyak wanita berusaha untuk hamil
pada usia yang lebih tua pada saat mereka secara biologis sudah kurang subur.
Dan yang ketiga, kombinasi antara perkembangan-perkembangan dalam ART dan
perhatian mengenai berkurangnya fertilitas terkait pertambahan usia telah menarik
perhatian media dan memicu timbulnya kesadaran masyarakat mengenai
infertilitas dan penanganan modern untuk hal tersebut. Sebagai hasilnya adalah
saat ini pasangan infertil lebih tergugah untuk mendapatkan nasihat medis,
evaluasi, dan penanganan untuk infertilitasnya.

Epidemiologi Infertilitas di Amerika Serikat


Sensus Amerika Serikat (AS) pertama dilaksanakan pada tahun 1790. Pada
saat itu, angka kelahiran adalah 55 per 1000 penduduk; angka kelahiran pada
tahun 2001 adalah 14,1 per 1000 penduduk, yang mencerminkan suatu penurunan
hampir 75% dalam 200 tahun terakhir. Angka kelahiran pada tahun 2001 16%
lebih rendah daripada tahun 1990 (16,7 per 1000 penduduk) dan merupakan rekor
angka kelahiran terendah untuk tingkat nasional. Tingkat fertilitas secara
keseluruhan (kelahiran tiap 1000 wanita berusia 15-44 tahun) pada tahun 2001
adalah 65,3; angka ini 8% lebih rendah daripada tahun 1990 (70,9 per 1000
penduduk), 25% lebih rendah daripada tahun 1970 (87,9 per 1000 penduduk), dan
hampir 40% lebih rendah daripada tahun 1950 (106,2 per 1000 penduduk).
Penurunan angka kelahiran dan tingkat fertilitas di AS disebabkan oleh beberapa
faktor:

Minat wanita yang lebih besar untuk mengejar pendidikan yang lebih
tinggi dan karir.

Pernikahan pada usia yang lebih tua dan tingkat perceraian yang lebih
tinggi.

Perbaikan kualitas pelayanan kontrasepsi dan akses ke pelayanan keluarga


berencana.

Masa subur dimulai pada usia yang lebih tua.

Besar keluarga berkurang.

Perlakuan terhadap wanita dan di antara wanita telah mengalami perubahan


dramatis dalam beberapa aspek dalam 30 tahun terakhir. Kesempatan yang
semakin terbuka telah meningkatkan minat wanita untuk mengejar pendidikan
yang lebih tinggi dan karir. Data dari sensus AS menunjukkan bahwa hanya 8,2%
wanita berusia 25 tahun atau lebih pada tahun 1970 menyelesaikan pendidikan di
perguruan tinggi selama 4 tahun atau lebih; pada tahun 2001 angka tersebut telah
berlipat hampir tiga kali (24,3%). Wanita merupakan mayoritas mahasiswa di
perguruan tinggi sejak tahun 1979. Pada tahun-tahun terakhir, 56% dari gelar

sarjana, 57% gelar master, 44% gelar hukum, dan 41% gelar medis dan doktor di
bidang lain diberikan pada wanita. Proporsi wanita AS yang bekerja dan memiliki
anak yang masih bayi terus meningkat, dari 31% pada tahun 1976 menjadi 55%
pada tahun 2000.
Perhatian yang lebih besar pada pendidikan dan karir di antara wanita telah
memicu timbulnya kecenderungan-kecenderungan lain dalam masyarakat modern.
Yang paling menonjol dari kecenderungan-kecenderungan tersebut adalah
pernikahan yang semakin jarang dan dilakukan pada usia yang lebih tua dan
tingkat perceraian yang lebih tinggi. Tingkat pernikahan pertama di AS mencapai
puncak pada masa setelah Perang Dunia II, antara tahun 1945 dan 1947 (143 per
1000 penduduk wanita berusia 15-44 tahun), dan turun sekitar 15% setiap 10
tahun, dan secara keseluruhan telah turun hampir 50% pada 5 dekade sesudahnya.
Usia median untuk pernikahan pertama terus meningkat sejak tahun 1960 dan
mencapai tingkat tertinggi pada tahun 2002 (25,3 tahun). Probabilitas pernikahan
di masa mendatang untuk wanita menurun sejalan dengan pertambahan usia: 84%
pada usia 25 tahun, 72% pada usia 30 tahun, 52% pada usia 35 tahun, dan 41%
pada usia 40 tahun. Jika akhirnya menikah, wanita juga lebih cenderung untuk
bercerai dibandingkan masa lalu. Tingkat perceraian pada wanita di masa
reproduktif meningkat dengan pesat setelah tahun 1960 dan berlipat lebih dari dua
kali pada tahun 1980 (40 per 1000 wanita menikah berusia 15-44 tahun) dan
hanya turun sedikit dalam 20 tahun terakhir. Seorang wanita yang sudah pernah
menikah juga lebih cenderung untuk tidak menikah lagi. Tingkat pernikahan
kedua atau lebih mencapai puncak pada tahun 1968 (166 per 1000 wanita yang
bercerai atau janda berusia 15-44 tahun) saat tingkat perceraian mulai meningkat,
namun sejak itu terus menurun lebih dari sepertiga, sejalan dengan penurunan
tingkat pernikhan pertama.
Generasi baby boom yang dilahirkan setelah Perang Dunia II, dilahirkan pada
tahun 1946-1964, adalah generasi pertama yang mendapatkan akses ke sarana
yang aman dan efektif untuk mengendalikan fertilitas mereka. Berkembangnya
pilihan metode kontrasepsi dan akses ke pelayanan keluarga berencana serta
legalisasi pelayanan aborsi selama 3 dekade terakhir memberikan kontribusi yang

bermakna pada penurunan angka kelahiran dan tingkat fertilitas di AS. Terdapat
efek langsung dan tidak langsung dari berkembangnya pilihan metode kontrasepsi
dan akses ke pelayanan keluarga berencana serta legalisasi pelayanan aborsi. Efek
langsung terjadi melalui penurunan jumlah kehamilan dan kelahiran yang tidak
diinginkan, sedangkan efek tidak langsung terjadi dengan membantu wanita untuk
menghindari terjadinya kehamilan sampai target mereka dalam bidang pendidikan
dan karir tercapai, dan pernikahan dan keluarga menjadi prioritas.
Efek keseluruhan dari seluruh perubahan sosial yang terjadi adalah terjadinya
kecenderungan tertundanya masa subur pada wanita AS. Usia rata-rata untuk
kelahiran hidup pertama terus meningkat, 21,4 tahun pada tahun 1970 dan
mencapai puncak 24,9 tahun pada tahun 2000 (3,5 tahun lebih tua dan 16% lebih
tinggi). Usia rata-rata untuk kelahiran hidup berikutnya juga terus meningkat.
Peningkatan terbesar terjadi untuk usia rata-rata untuk kelahiran hidup kedua (3,6
tahun), dan lebih rendah untuk kelahiran hidup ketiga (2,5 tahun), keempat (1,6
tahun), dan kelima (0,4 tahun). Di antara tahun 1970 dan 2001, tingkat kelahiran
turun pada wanita berusia 15-19 tahun (68,3 vs 45,3 per 1000), 20-24 tahun
(167,8 vs 106,2 per 1000), dan 25-29 tahun (145,1 vs 113,4 per 1000), meningkat
untuk wanita berusia 30-34 tahun (73,3 vs 91,9 per 1000) dan 35-39 tahun (31,7
vs 40,6 per 1000), dan tetap pada wanita berusia 40-44 tahun (8,1 vs 8,1 per
1000). Seperti yang telah diperkirakan, bertambah tuanya usia untuk kelahiran
hidup pertama dan berkurangnya tingkat fertilitas menyebabkan berkurangnya
jumlah kelahiran untuk tiap wanita. Pada puncak baby boom, tingkat fertilitas
keseluruhan di AS (jumlah kelahiraran pada usia 45 tahun) mencapai puncak pada
tahun 1957 sebesar 3,7 kelahiran tiap wanita. Setelah itu, tingkat fertilitas terus
turun dan mencapai tingkat terendah pada tahun 1976 sebesar 1,8 kelahiran tiap
wanita, dan hanya sedikit naik setelahnya (2,1 kelahiran tiap wanita pada tahun
2001).
Fokus pada Fertilitas
Insidensi infertilitas pada wanita berusia 15-44 tahun sedikit naik selama
30 tahun terakhir, mencapai 10,2% pada tahun 1995. Epidemi infeksi menular

seksual yang terus berlangsung, yang banyak di antaranya berkaitan dengan


meningkatnya risiko untuk terjadinya infertilitas, memberikan kontribusi besar
pada peningkatan insidensi infertilitas tersebut; diperkirakan terdapat sekitar 3 juta
kasus baru infeksi klamidia dan 650000 infeksi gonore di AS setiap tahunnya.
Namun, perubahan demografis yang dramatis dalam kurun waktu tersebut tetap
merupakan penyebab utama. Besarnya jumlah wanita yang dilahirkan setelah
baby boom meningkatkan jumlah absolut wanita dengan gangguan fertilitas secara
bermakna (6,7 juta pada tahun 1995). Generasi termuda baby boom saat ini berada
dalam akhir masa reproduksi mereka (usia 35-44 tahun), dan semua akan berusia
45 tahun pada tahun 2009. Sampai saat itu, akan terdapat sejumlah wanita yang
berusaha untuk hamil, sering untuk yang pertama kalinya, saat mereka sudah
berusia lebih tua dan kurang subur. Pada masa lalu, banyak wanita dengan kondisi
tersebut lebih memilih untuk mengadopsi, namun ketersediaan layanan aborsi
legal dan meningkatnya penerimaan masyarakat terhadap konsep orangtua tunggal
telah menyebabkan berkurangnya jumlah bayi yang dapat diadopsi secara
bermakna. Dapat dimengerti bahwa banyak wanita berusia lebih tua masih
berharap mendapatkan bayi namun dalam interval waktu yang lebih singkat
mengingat mereka sudah berada dalam akhir masa reproduksi. Oleh karena itu,
mereka lebih cenderung untuk mencari layanan infertilitas dan cenderung untuk
mendapatkan terapi yang paling agresif yang menawarkan kemungkinan
keberhasilan terbesar.
Pada National Survey of Family Growth terakhir yang dilaksanakan pada
tahun 1995, 9,3 juta wanita berusia 15-44 tahun (15%) belum pernah
mendapatkan pelayanan infertilitas, suatu peningkatan dari 6,6 juta wanita (12%)
pada tahun 1982. Data tersebut menunjukkan bahwa permintaan untuk layanan
infertilitas meningkat selama tahun 1980-an dan awal 1990-an, berkaitan erat
dengan semakin tuanya wanita dari generasi baby boomer dan semakin luasnya
ketersediaan layanan ART. Dibandingkan dengan populasi umum, wanita yang
mencari layanan infertilitas biasanya berusia lebih tua (berusia 35-44 tahun; 43%
vs 36%), belum pernah melahirkan (36% vs 16%), menikah (79% vs 64%), relatif
lebih berpendidikan (61% vs 51%), dan memiliki asuransi kesehatan (83% vs

74%). Di antara mereka yang mendapatkan layanan infertilitas, 35%


menggunakan obat-obatan yang memicu ovulasi dan 1,6% menjalani beberapa
bentuk lain dari ART.
Keberagaman dan ketersediaan layanan infertilitas telah meningkat secara
dramatis dalam 25 tahun terakhir. Para klinisi lebih peka terhadap masalah
infertilitas dan lebih terlatih untuk menilai dan menangani penyebabnya.
Masyarakat juga memiliki kesadaran yang lebih baik mengenai infertilitas dan
terapi modern untuk hal tersebut, sebagian besar disebabkan oleh besarnya
perhatian media terhadap perkembangan ART baru dan kontroversi yang
melingkupinya. Saat infertilitas tampak semakin jelas dan secara sosial semakin
dapat diterima di masyarakat, keengganan pasangan-pasangan infertil untuk
mencari penanganan semakin berkurang.
Penuaan dan Fertilitas Wanita
Efek penuaan pada fertilitas wanita diungkap dengan baik pada hasil
penelitian mengenai fertilitas pada masyarakat alami di mana pasanganpasangannya melakukan reproduksi tanpa pembatasan volunter. Salah satu contoh
klasik adalah masyarakat Hutterites di Amerika Utara. Sekte yang melarang
kontrasepsi tersebut semula berimigrasi dari Swis pada abad ke-16 dan akhirnya
membentuk suatu komunitas di Dakota Selatan pada akhir abad ke-19. Penelitianpenelitian mengenai fertilitas pada populasi Hutterites menunjukkan dengan
meyakinkan bahwa fertilitas menurun sejalan dengan pertambahan usia.
Walaupun tingkat infertilitas pada populasi tersebut hanya 2,4%, 11% wanita
belum pernah melahirkan setelah usia 34 tahun, 33% infertil pada usia 40 tahun,
dan 87% infertil pada usia 45 tahun. Walaupun data tersebut mengungkapkan
dengan jelas efek penuaan pada fertilitas, data dari populasi Hutterites dan data
dari beberapa populasi alami lainnya mungkin tidak mencerminkan potensi
biologis reproduksi yang sesungguhnya karena beberapa alasan: (1) wanita yang
telah memiliki anak pada usia muda mungkin kurang berminat untuk memiliki
anak lagi, (2) frekuensi koitus sering menurun sejalan dengan bertambahnya usia,
yang mencerminkan menurunnya hasrat seksual atau tidak adanya pasangan, (3)

insidensi aborsi subklinis tidak diketahui, dan (4) pengaruh kumulatif dari
penyakit-penyakit atau kondisi-kondisi lain yang berpengaruh negatif pada
fertilitas (seperti infeksi pelvis, leiomioma, dan endometriosis) lebih besar pada
wanita berusia lebih tua.
Data dari penelitian-penelitian pada populasi Hutterites dan populasipopulasi alami lainnya menunjukkan bahwa fertilitas wanita mencapai puncak
pada usia 20 sampai 24 tahun; sedikit menurun sampai usia 30-32 tahun; dan
kemudian turun secara cepat, paling cepat setelah berusia lebih dari 40 tahun.
Secara keseluruhan, tingkat fertilitas 4 sampai 8% lebih rendah pada wanita
berusia 25-29 tahun, 15 sampai 19% lebih rendah pada usia 30-34 tahun, 26
sampai 46% lebih rendah pada wanita berusia 35-39 tahun, dan 95% lebih rendah
pada wanita berusia 40-45 tahun. Variasi pada tingkat fertilitas pada berbagai
populasi alami lebih mencerminkan perbedaan kondisi sosioekonomi pada
tempat dan waktu yang berbeda.
Bukti lain yang berperan dalam menjelaskan efek penuaan terhadap
fertilitas didapatkan dari beberapa penelitian mengenai tingkat konsepsi kumulatif
pada wanita yang berusaha untuk hamil dengan inseminasi buatan dengan sperma
donor. Data dari penelitian-penelitian mengenai inseminasi donor sangat
informatif karena wanita-wanita yang terlibat dalam penelitian-penelitian tersebut
tidak memiliki faktor infertilitas lainnya dan karena waktu inseminasi yang diatur
dengan cermat menghilangkan bias yang disebabkan oleh berkurangnya frekuensi
koitus sejalan dengan pertambahan usia. Pada suatu penelitian di Prancis yang
meneliti lebih dari 2000 wanita yang mendapatkan inseminasi buatan dengan
sperma donor sampai 12 siklus inseminasi didapatkan data bahwa tingkat
konsepsi tertinggi terjadi pada wanita berusia 25 tahun atau kurang (73%) dan 2630 tahun (74%), 16% lebih rendah (62%) pada wanita berusia 31-35 tahun, dan
27% lebih rendah pada wanita yang berusia lebih dari 35 tahun. Suatu penelitian
donor sperma di AS menunjukkan hasil serupa dengan tingkat konsepsi
keseluruhan yang lebih rendah dan jumlah inseminasi untuk tiap konsepsi 2 kali
lebih banyak pada wanita yang berusia lebih dari 35 tahun. Suatu penelitian di
Belanda menunjukkan bahwa probabilitas kelahiran hidup sehat menurun sebesar

3,5% per tahun setelah usia 30 tahun. Pada suatu penelitian berskala besar di
Inggris pada lebih dari 3000 siklus inseminasi donor, didapatkan bahwa tingkat
konsepsi kumulatif setelah 3, 6, dan 12 siklus adalah 20-35% lebih rendah pada
wanita berusia lebih dari 35 tahun (17%, 26%, dan 44%) daripada pada wanita
yang lebih muda (21%, 40%, dan 62%).
Tingkat keberhasilan yang diperoleh dengan ART juga berkurang sejalan
dengan pertambahan usia. Jumlah oosit dan embrio yang dihasilkan lebih sedikit,
fragmentasi embrio lebih sering terjadi, dan tingkat implantasi pada wanita yang
lebih tua lebih rendah daripada wanita yang lebih muda. Walaupun tingkat
kehamilan terus meningkat selama 15 tahun terakhir pada semua kelompok usia
wanita, laporan tahunan mengenai tingkat keberhasilan ART di AS yang
didapatkan dari data registrasi yang dikumpulkan oleh Society for Assisted
Reproductive Technology (SART) dan Center for Disease Control and Prevention
(CDC) sejak tahun 1989 secara konsisten menunjukkan bahwa usia merupakan
satu-satunya faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan ART. Tingkat
kehamilan dan kelahiran hidup untuk tiap siklus ART menggunakan oosit atau
embrio nondonor untuk tiap kelompok usia tidak banyak berbeda untuk wanita
berusia kurang dari 32 tahun, namun kemudian terus turun secara linear sejalan
dengan pertambahan usia. Hasil tersebut tetap sama pada perhitungan tingkat
kehamilan dan kelahiran hidup yang dilakukan berdasarkan tiap siklus ART,
pengambilan osit, maupun implantasi embrio. Secara keseluruhan, pada tahun
2001 tingkat kelahiran hidup untuk tiap embrio yang diimplantasikan adalah
41,1% untuk wanita berusia kurang dari 35 tahun, 35,1% untuk wanita berusia 3537 tahun, 25,4% untuk wanita berusia 38-40 tahun, 14,5% untuk wanita berusia
41-42 tahun, 5,9% untuk wanita berusia 43 tahun, dan 2,9% untuk wanita berusia
44 tahun atau lebih.
Penurunan tingkat kelahiran hidup sejalan dengan pertambahan usia tidak
hanya mencerminkan penurunan fertilitas namun juga peningkatan kegagalan
mempertahankan kehamilan. Seperti halnya fertilitas yang menurun sejalan
dengan pertambahan usia, insidensi aborsi spontan yang terdeteksi secara klinis
meningkat sejalan dengan peningkatan usia. Tingkat aborsi spontan pada siklus

konsepsi alami secara umum rendah dan stabil pada usia kurang dari 30 tahun (715%), sedikit naik pada usia 30-34 tahun (8-21%), kemudian naik dengan cepat
pada usia 35-39 tahun (17-28%) dan pada usia 40 tahun atau lebih (34-52%). Pola
yang sama diamati pada kehamilan yang dihasilkan dari ART. Hasil IVF secara
keseluruhan pada tahun 2000 menunjukkan bahwa tingkat aborsi spontan kurang
dari 20% pada wanita berusia kurang dari 35 tahun, sekitar 35% padaw usia 40
tahun, dan lebih dari 60% pada wanita berusia 44 tahun atau lebih. Penelitianpenelitian longitudinal pada wanita-wanita muda sehat yang mengamati
munculnya hCG pada sampel urin harian menunjukkan bahwa tingkat aborsi
spontan (yang juga meliputi aborsi spontan yang tidak terdeteksi secara klinis)
lebih tinggi secara bermakna. Sampai 60% dari aborsi spontan terjadi pada 12
minggu pertama kehamilan dan 20-40% tidak terdeteksi secara klinis. Belum
diketahui apakah tingkat aborsi spontan lebih tinggi pada wanita yang berusia
lebih tua. Jika hal tersebut benar, maka hubungan antara tingkat aborsi spontan
dan usia akan lebih dramatis. Bahkan jika hal tersebut tidak terjadi, tingkat aborsi
spontan secara keseluruhan (baik yang terdeteksi maupun tidak) pada wanita
berusia lebih dari 40 tahun meningkat sebesar 50%, dan bahkan lebih dari 75%.
Fisiologi Penuaan Reproduksi
Selama kehidupan fetus, sel-sel germinal membelah diri dengan cepat
dengan mitosis dan menghasilkan 6 sampai 7 juta oogonia pada 16-20 minggu
kehamilan. Setelah itu, populasi oogonia akan mengalami berkurang dengan cepat
secara eksponensial karena proses apoptosis yang diatur gen. Pada saat oogonia
berubah menjadi oosit setelah mengalami pembelahan meiotik pertama, jumlah
sel germinal sudah berkurang menjadi 1-2 juta pada saat lahir dan menjadi
300.000 sampai 500.000 pada saat onset pubertas. Selama 35-40 tahun kehidupan
reproduktif hanya 400 sampai 500 oosit akan mengalami ovulasi; sisanya hilang
melalui proses atresia. Selama tahun-tahun reproduktif, tingkat deplesi folikular
relatif konstan dan gradual sampai usia 37-38 tahun (pada saat itu biasanya masih
terdapat sekitar 25000 oosit) dan kemudian meningkat selama 10-15 tahun
sebelum menopause. Pada saat menopause, tersisa kurang dari 1000 oosit.

Karakteristik menstruasi pada wanita yang lebih tua berhubungan dengan


jumlah folikel yang tersisa. Ovarium wanita berusia lebih tua yang masih
mengalami siklus menstruasi teratur mengandung oosit 10 kali lebih banyak
daripada wanita pada masa perimenopause yang memiliki siklus menstruasi yang
tidak teratur dan jarang; folikel sangat jarang ditemukan pada ovarium wanita
postmenopause. Rentang waktu dari hilangnya regularitas menstruasi sampai
terjadinya menopause adalah sekitar 5 tahun, tanpa memperhatikan usia pada saat
regularitas menstruasi hilang.
Secara keseluruhan, pengamatan-pengamatan di atas menunjukkan bahwa
menopause terjadi terjadi saat jumlah folikel yang tersisa kurang dari suatu
ambang kritis (sekitar 1000), tanpa memperhitungkan usia saat ambang kritis
dilampaui. Jika tidak ada penyakit yang menyebabkan kerusakan pada jaringan
ovarium atau yang menyebabkan ovarium harus diangkat, jumlah folikel yang
dimiliki oleh seorang wanita pada saat lahir dan usia pada saat jumlah folikel
berkurang sampai di bawah ambang kritis ditentukan secara genetis. Pada
kebanyakan wanita, peningkatan bermakna tingkat kehilangan folikel dan
penurunan fertilitas dimulai pada usia 37-38 tahun, dan menopause biasanya
terjadi sekitar 13 tahun kemudian (rata-rata terjadi pada usia 51 tahun). Namun,
penelitian-penelitian epidemiologis menunjukkan bahwa 10% wanita pada
populasi umum mengalami menopause pada usia 45 tahun, yang mungkin terjadi
karena mereka dilahirkan dengan jumlah folikel yang lebih sedikit dari
kebanyakan wanita lain dan dengan demikian secara fungsional berkurang pada
usia yang lebih muda. Analisis silsilah keluarga menunjukkan bahwa gambaran
genetis yang serupa dari menopause prematur (pada usia 40-45 tahun) dan
kegagalan ovarium prematur yang menunjukkan kemungkinan pola pewarisan
dominan melalui garis paternal maupun maternal.
Faktor-faktor genetik yang menentukan usia terjadinya menopause
tampaknya juga menentukan usia milestone reproduksi yang terjadi sebelum
menopause. Usia kelahiran terakhir pada populasi dengan fertilitas alami yang
menandai akhir masa subur wanita sangat bervariasi seperti halnya usia saat

10

terjadinya menopause, namun rata-rata terjadi 10 tahun sebelum menopause.


Lebih lanjut lagi, wanita-wanita yang berespon buruk terhadap stimulasi
gonadotropin eksogen memiliki karakteristik siklus menstruasi yang menyerupai
siklus menstruasi pada wanita menjelang menopause dan biasanya mengalami
menopause lebih awal. Pengamatan-pengamatan ini menunjukkan bahwa respon
yang buruk terhadap stimulasi ovarium mencerminkan tahap peralihan dari
peningkatan kecepatan berkurangnya fertilitas dan hilangnya fertilitas secara total.
Pengamatan-pengamatan tersebut juga menunjukkan bahwa pada wanita-wanita
yang mengalami menopause lebih awal, peningkatan kecepatan hilangnya folikel
dan penurunan fertilitas terjadi pada usia yang lebih muda daripada kebanyakan,
sampai beberapa tahun lebih awal dari yang diperkirakan. Sebaliknya, fertilitas
pada wanita yang mengalami menopause pada usia yang lebih tua daripada ratarata tidak engalami penurunan yang signifikan sampai setelah usia 40 tahun.
Saat kecepatan hilangnya folikel mulai meningkat pada akhir tahun-tahun
reproduktif, walaupun belum terjadi perubahan yang bermakna pada regularitas
menstruasi, konsentrasi FSH dalam serum mulai meningkat; sementara
konsentrasi LH tidak berubah. Peningkatan konsentrasi FSH yang tidak disertai
dengan peningkatan konsentrasi LH ini mungkin disebabkan oleh perubahan
sekresi pulsatil GnRH yang dipengaruhi usia atau karena kehilangan folikel
progresif dan berkurangnya umpan balik inhibisi hormon-hormon ovarium
terhadap sekresi FSH hipofisis. Bukti-bukti yang ada lebih mendukung
kemungkinan terakhir. Walaupun berkurangnya frekuensi sekresi pulsatil GnRH
secara preferensial menyebabkan FSH disekresikan pada tingkat yang lebih tinggi
daripada LH, pola frekuensi dan besarnya sekresi pulsatil LH pada wanita muda
dan wanita yang lebih tua adalah serupa, bahkan setelah dilakukan ooforektomi.
Konsentrasi inhibin-B yang menghambat fase folikuler berkurang pada saat atau
setelah konsentrasi FSH mulai meningkat. Pada tahap yang lebih lanjut,
konsentrasi inhibin-A yang menghambat fase luteal juga berkurang. Kedua inhibin
tersebut secara selektif menghambat sekresi FSH dari hipofisis. Oleh karena itu,
konsentrasi FSH meningkat secara progresif sejalan dengan penurunan sekresi
inhibin oleh folikel yang menua berkurang, yang paling jelas diamati pada awal

11

fase folikuler. Berkurangnya produksi inhibin dapat mencerminkan berkurangnya


jumlah folikel, berkurangnya kapasitas fungsional folikel, atau keduanya.
Pengamatan yang menunjukkan bahwa konsentrasi inhibin pada cairan folikel
wanita muda dan wanita yang lebih tua tidak jauh berbeda menunjukkan bahwa
jumlah folikel yang tersisa merupakan faktor penentu utama dari konsentrasi
inhibin yang dihasilkan.
Activin, suatu kelompok hormon peptida ovarium yang merangsang
sekresi FSH hipofisis mungkin juga memainkan peranan. Konsentrasi activin-A
meningkat pada wanita berusia lebih tua yang masih menstruasi, namun tingkat
konsentrasi di mana activin-A mulai berperan dalam peningkatan konsentrasi FSH
belum diketahui dengan pasti. Hormon steroid ovarium tidak memainkan peranan
dalam peningkatan konsentrasi FSH. Konsentrasi estradiol pada fase folikuler
pada wanita yang lebih tua hampir sama dibandingkan pada wanita muda, bahkan
kadang lebih tinggi. Konsentrasi progesteron pada fase luteal wanita yang lebih
tua dan wanita muda juga hampir sama.
Durasi fase folikuler memendek sejalan dengan pertambahan usia dan
peningkatan konsentrasi FSH; konsentrasi LH dan durasi fase luteal tidak
berubah. Siklus menstruasi masih tetap reguler, namun panjang dan variabilitas
tiap siklus berkurang. Peningkatan konsentrasi estradiol terjadi lebih dini pada
saat konsentrasi FSH naik dan durasi fase folikuler berkurang yang menunjukkan
bahwa konsentrasi FSH yang lebih tinggi mempercepat pertumbuhan folikel.
Namun, penelitian-penelitian yang lebih cermat menunjukkan bahwa
peningkatan dini konsentrasi estradiol tidak disebabkan oleh percepatan
perkembangan folikel melainkan karena folikel telah berada pada tahap
perkembangan lanjut pada awal fase folikuler dan seleksi folikel dominan
terjadi lebih awal. Panjang fase folikuler dan siklus secara keseluruhan mencapai
titik nadir pada usia sekitar 42 tahun. Selama 8-10 tahun berikutnya, sebelum
menopause terjadi, rata-rata panjang siklus menstruasi dan variabilitas antar siklus
terus meningkat karena ovulasi semakin jarang terjadi dan semakin tidak teratur.
Maka tidak mengejutkan jika perubahan endokrin terkait usia yang khas akibat
berkurangnya folikel secara progresif terkait dengan berkurangnya volume

12

ovarium yang dapat diukur dan pada jumlah folikel antrum yang diamati dengan
ultrasonografi transvagina pada awal fase folikuler.
Mekanisme Penurunan Fertilitas Wanita yang Terkait Usia
Selain bahwa jumlah folikel ovarium terus turun sejalan dengan
pertambahan usia, dan semakin cepat setelah usia 38 tahun, beberapa pengamatan
menunjukkan bahwa sensitivitas folikel yang menua terhadap rangsangan
gonadotropin juga berkurang secara progresif. Sejalan dengan pertambahan usia
dosis total dan durasi terapi yang dibutuhkan untuk merangsang perkembangan
folikel multipel bertambah. Tingkat kenaikan konsentrasi estradiol dan
konsentrasi puncak yang dicapai menurun, yang mencerminkan respon yang lebih
rendah dari folikel yang dapat berkembang. Namun, jumlah estradiol yang
dihasilkan oleh folikel yang berhasil berkembang sampai matang sebanding
dengan jumlah estradiol yang dihasilkan oleh folikel pada wanita muda. Walaupun
penurunan produksi androgen ovarium yang diinduksi hCG eksogen dapat
ditunjukkan sebelum usia 30 tahun, konsentrasi estradiol dalam sirkulasi tetap
normal selama tahun-tahun reproduksi dan setelahnya, yang mungkin disebabkan
oleh peningkatan kompensatorik akibat peningkatan konsentrasi FSH. Penelitianpenelitian mengenai perkembangan folikuler ovarium dan hormon pada cairan
folikuler preovulatorik pada wanita muda dan wanita yang lebih tua yang masih
mengalami siklus menstruasi regular tidak menunjukkan adanya penurunan fungsi
folikel terkait usia jika pertumbuhan dan perkembangan folikel telah dimulai.
Ukuran dan konsentrasi inhibin dalam folikel preovulatorik pada wanita muda dan
wanita yang lebih tua hampir sama, dan rasio konsentrasi progesteron dan
estrogen/androgen pada cairan folikuler wanita yang lebih tua lebih tinggi
daripada wanita muda.
Ovulasi pada wanita berusia lebih tua yang masih menstruasi sama
teraturnya dengan wanita muda, dan terjadi lebih sering. Kenaikan konsentrasi
FSH tamapknya mampu mengkompensasi berkurangnya sensitivitas folikel
terhadap stimulasi gonadotropin. Folikel preovulatorik pada wanita yang lebih tua
mulai tumbuh lebih awal, namun dengan kecepatan normal dan mencapai ukuran

13

normal; dengan karakteristik cairan folikel yang menunjukkan bahwa folikel


tersebut juga cukup sehat. Dengan demikian, mengapa fertilitas wanita berkurang
sejalan dengan pertambahan usia? Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa
baik penurunan fertilitas wanita yang terkait usia maupun peningkatan risiko
terjadinya aborsi spontan terutama disebabkan oleh berkurangnya jumlah
folikel yang progresif dan tingginya insidensi abnormalitas pada oosit yang
menua.
Berbagai teknik telah digunakan untuk mempelajari komposisi kromosom
oosit manusia selama dekade terakhir. Bukti-bukti yang didapatkan dari analisis
sitogenetik terperinci pada oosit yang gagal berkembang pada IVF menunjukkan
bahwa tingkat kejadian aneuploidi pada oosit meningkat sejalan dengan
pertambahan usia. Aneuploidi oosit terutama disebabkan oleh pemisahan prematur
sister chromatids selama meiosis I (yang menghasilkan satu kromatid sebagai
ganti atau sebagai tambahan terhadap satu atau lebih kromosom utuh) atau oleh
nondisjungsi kromosom selama meiosis II. Prevalensi dari kedua kesalahan
pemisahan kromosom selama meiosis tersebut meningkat secara progresif sejalan
dengan pertambahan usia, namun terbentuknya kromatid tunggal memberikan
kontribusi terbesar pada tingginya prevalensi aneuploidi oosit yang tergantung
usia.
Penurunan prevalensi oosit normal (23,X) yang terkait usia dan
peningkatan proporsi oosit aneuploidi menunjukkan kesamaan dengan penurunan
fertilitas yang terkait usia dan peningkatan insidensi aborsi spontan pada wanita.
Seperti halnya dengan fertilitas, prevalensi oosit euploidi menurun sejalan dengan
pertambahan usia, dengan lambat dan pada tingkat yang sangat rendah pada usia
25 sampai 35 tahun, dan dengan cepat sesudahnya. Sebaliknya, prevalensi oosit
aneuploidi relatif rendah dan hanya sedikit beruba sampai sekitar usia 30 tahun
(sekitar 10%), kemudian mulai meningkat secara progresif, mencapai 30% pada
usia 40 tahun, 50% pada usia 43 tahun, dan praktis 100% setelah usia 45 tahun.
Pengamatan-pengamatan tersebut menawarkan suatu penjelasan yang logis
mengenai peningkatan prevalensi aneuploidi pada aborsi spontan yang terkait
usia. Sementara setidaknya separuh dari semua aborsi spontan yang terdeteksi

14

secara klinis menunjukkan kariotipe yang abnormal dan frekuensi aborsi spontan
dengan kromosom euploidi (normal) dan aneuploidi (abnormal) meningkat sejalan
dengan peningkatan usia maternal, probabilitas bahwa suatu aborsi akan disertai
dengan abnormalitas kromosom meningkat sejalan dengan pertambahan usia, dari
kurang dari 35% pada usia 20 tahun sampai 80% pada wanita berusia lebih dari 42
tahun. Trisomi merupakan abnormalitas kromosom yang paling sering ditemukan,
dan secara insidensi diikuti oleh poliploidi dan monosomi X (45,X).
Penelitian-penelitian mengenai segregasi meiotik menunjukkan bahwa
faktor-faktor predisposisi terhadap nondisjngsi terkait dengan disrupsi pada
pemasangan dan rekombinasi kromosom. Berbagai mekanisme yang dianggap
dapat menjelaskan fenomena tersebut telah diajukan, namun semuanya berkaitan
dengan deteriorisasi terkait usia dari faktor-faktor seluler yang diperlukan dalam
pembentukan dan fungsi spindle normal. Penelitian-penelitian molekuler pada
kohesi dan separasi kromatid menunjukkan adanya cohesins, suatu protein
spesifik yang mempertahankan kohesi antara sister chromatid dan melawan
kekuatan-kekuatan yang dapat memisahkan kohesi tersebut yang diperantarai oleh
mikrotubulus spindle meiotik. Degradasi prematur dan defisiensi cohesins yang
terkait usia dapat menyebabkan terbentuknya struktur kromatid bivalen yang tidak
stabil dan rentan terhadap pemisahan sister chromatid prematur sebelum sister
chromatid tersebut terhubung pada spindle meiotik. Kromosom-kromosom
berukuran lebih kecil lebih rentan terhadap pemisahan kromatid prematur,
mungkin karena kromosom-kromosom tersebut memiliki lebih sedikit kiasma,
padahal kiasma berperan untuk mencegah terjadinya pemisahan kromatid
prematur. Beberapa penelitian lain menggunakan mikroskop konfokal resolusi
tinggi untuk mempelajari spindle meiotik pada oosit manusia mengungkapkan
fakta bahwa abnormalitas pada matriks mikrotubular spindle atau penjajaran
kromosom dalam meiosis II adalah 4 sampai 5 kali lebih sering terjadi pada
wanita yang lebih tua (40-45 tahun) daripada wanita muda (20-25 tahun). Hasilhasil penelitian yang telah dipaparkan di atas dan hasil pengamatan pada kultur
oosit manusia yang diambil dari ovarium yang tidak distimulasi menunjukkan
bahwa kompetensi meiotik oosit menurun seiring dengan pertambahan usia.

15

Secara keseluruhan, bukti-bukti yang terkumpul menunjukkan bahwa


penyebab utama penurunan fekundabilitas tergantung usia dan peningkatan
insidensi aborsi spontan adalah meningkatnya prevalensi aneuploidi pada oosit
yang menua yang disebabkan oleh terganggunya mekanisme regulatorik yang
mengatur pembentukan dan fungsi spindle meiotik.
Penuaan tampaknya tidak memiliki efek negatif yang signifikan pada
uterus. Walaupun prevalensi kelainan patologis jinak pada uterus (leiomioma,
polip endometrial, adenomiosis) meningkat seiring dengan pertambahan usia,
tidak terdapat cukup bukti yang mendukung pengaruh kelainan-kelainan tersebut
pada fertilitas wanita. Pertambahan usia tampaknya juga tidak berefek negatif
pada pertumbuhan maupun fungsi endometrium sebagai respon terhadap stimulasi
steroid. Bukti-bukti terkuat mengenai hal tersebut mungkin berasal dari
pembandingan siklus oosit donor maupun nondonor pada IVF. Beberapa
penelitian terdahulu menunjukkan bahwa tingkat kehamilan dan kelahiran pada
IVF yang berasal dari oosit donor berkurang sejalan dengan pertambahan usia
resipien, namun kesimpulan tersebut tidak didukung oleh data-data terbaru.
Tingkat kelahiran hidup menurun secara progresif sejalan dengan pertambahan
usia maternal untuk oosit nondonor. Berkebalikan dengan hal tersebut, tingkat
kelahiran hidup dari embrio yang berasal dari oosit donor pada tiap siklus IVF
adalah sekitar 43% secara keseluruhan, dan tidak berbeda secara bermakna pada
usia resipien yang berbagai kelompok usia resipien. Tingkat kelahiran hidup dari
tiap siklus IVF dengan oosit donor lebih terkait dengan usia donor daripada usia
resipien. Pada suatu seri kasus besar, tingkat aborsi spontan meningkat dari 14%
pada oosit yang berasal dari donor berusia 20-24 tahun menjadi 44% pada oosit
yang berasal dari donor berusia lebih dari 35 tahun.
Tes Cadangan Ovarium
Selama 15 tahun terakhir, penelitian-penelitan mengenai mekanisme yang
terlibat dalam penuaan reproduksi dan konsekuensi klinisnya telah mendorong
dilakukannya pengukuran cadangan ovarium, yang secara umum dideskripsikan
sebagai ukuran dan kualitas dari folikel ovarium yang masih tersisa. Beberapa

16

metode telah dilaporkan, dan semuanya bertujuan untuk memperkirakan


fekundabilitas di masa mendatang atau untuk menyediakan informasi prognostik
mengenai kemungkinan keberhasilan terapi pada wanita infertil. Penggunaan tes
cadangan ovarium dapat dievaluasi dengan mudah dan efisien dengan menilai
hubungan antara hasil tes dengan karakteristik dan luaran dari siklus IVF. Dengan
mempertimbangkan biaya, logistik, dan risiko yang terkait dengan pelaksanaan
IVF, dan pentingnya informasi prognostik yang akurat bagi pasangan kandidat
IVF, hubungan antara hasil tes cadangan ovarium dan luaran IVF merupakan
metode evaluasi yang relevan secara klinis.
Fertilitas berkurang seiring dengan pertambahan usia dan peningkatan
konsentrasi FSH dalam serum merupakan salah satu indikasi awal penuaan
reproduksi pada wanita, sehingga logis untuk beranggapan bahwa konsentrasi
FSH mungkin memiliki nilai prognostik. Bahkan, pengukuran konsentrasi FSH
serum pada awal fase folikuler (hari ke-3 siklus) merupakan metode yang paling
sederhana dan paling luas digunakan untuk menilai cadangan fungsi ovarium.
Banyak penelitian saat ini telah meneliti hubungan antara konsentrasi FSH pada
hari ke-3 siklus atau rasio FSH/LH dan luaran siklus IVF; semua penelitian
menemukan bahwa hasil pengukuran tersebut berhubungan erat dengan respon
ovarium terhadap stimulasi gonadotropin eksogen dan kemungkinan untuk
berhasil. Seiring dengan peningkatan konsentrasi FSH, konsentrasi puncak
estradiol, jumlah oosit yang akan didapatkan, dan kemungkinan terjadinya
kehamilan atau kelahiran hidup akan terus menurun.
Hubungan terbalik antara konsentrasi FSH pada awal fase folikuler dan
keberhasilan IVF sangat informatif, namun penggunaan klinisnya dihadapkan
pada perlunya penentuan nilai ambang konsentrasi FSH yang dengan jelas
memisahkan antara nilai FSH dengan tingkat keberhasilan IVF yang tinggi
dengan yang rendah. Tugas tersebut sangat sulit dilaksanakan, karena pada saat ini
digunakan

sangat

banyak

metode

pengukuran

konsentrasi

FSH

yang

menggunakan berbagai antibodi dan standar yang berbeda, sehingga nilai FSH
dapat sangat bervariasi pada tiap-tiap laboratorium. Pada tahun-tahun terakhir,
metode pengukuran otomatis yang lebih seragam telah memberikan sebagian

17

pemecahan untuk masalah tersebut. Idealnya, nilai ambang konsentrasi FSH harus
divalidasi secara independen oleh laboratorium yang mengukurnya. Setidaknya,
klinisi harus familiar dengan nilai FSH yang ditetapkan oleh laboratorium yang
mereka pergunakan. Saat ini, pada kebanyakan laboratorium, nilai FSH pada
hari ke-3 siklus di atas 10-15 UI/L dianggap abnormal.
Konsentrasi estradiol pada awal fase folikuler dapat menjadi informasi
tambahan yang bermanfaat untuk menilai cadangan ovarium. Seperti FSH,
konsentrasi estradiol yang tinggi pada hari ke-3 siklus (lebih dari 80 pg/mL) juga
memprediksi tingkat fekundabilitas yang rendah. Peningkatan dini konsentrasi
estradiol menunjukkan perkembangan lanjut folikel dan seleksi dini folikel yang
dominan pada awal siklus pada siklus menstruasi wanita yang lebih tua yang
dipicu oleh meningkatnya konsentrasi FSH. Peningkatan konsentrasi estradiol
prematur juga berpotensi untuk menekan konsentrasi FSH, dan dengan demikian
dapat menyamarkan cadangan ovarium yang sebenarnya telah menurun. Oleh
karena itu, pengukuran konsentrasi FSH dan estradiol serum pada hari ke-3 siklus
dapat mengurangi hasil negatif palsu pada penilaian cadangan ovarium yang
dilakukan dengan pengukuran konsentrasi FSH saja. Jika konsentrasi FSH dan
estradiol meningkat pada hari ke-3 siklus, maka respon ovarium terhadap
stimulasi kemungkinan besar sangat buruk.
Clomiphene citrate challenge test merupakan tes provokatif yang lebih
sensitif untuk menilai cadangan ovarium dengan cara menilai perubahan endokrin
yang terjadi sepanjang siklus pada kondisi basal (konsentrasi FSH dan estradiol
pada hari ke-3 siklus) dan setelah stimulasi (konsentrasi FSH pada hari ke-10
siklus) dengan clomiphene citrate (diberikan pada hari ke-5 sampai 9 siklus
dengan dosis 100 mg/hari). Jika diberikan pada wanita berusia kurang dari 35
tahun dengan siklus menstruasi yang teratur, clomiphene menyebabkan
peningkatan sementara pada konsentrasi gonadotropin; LH biasanya lebih
meningkat daripada FSH. Namun pada wanita dengan cadangan ovarium yang
rendah, pola tersebut dapat terbalik; FSH dapat naik lebih tinggi daripada LH,
kadang-kadang sampai tingkat yang sangat tinggi. Walaupun mekanisme yang
berperan belum sepenuhnya jelas, bukti menunjukkan bahwa jumlah folikel yang

18

lebih sedikit pada wanita yang lebih tua memproduksi lebih sedikit inhibin dan
estradiol, yang menyebabkan berkurangnya umpan balik inhibitorik untuk
pelepasan FSH hipofisis yang diinduksi clomiphene. Clomiphene challenge test
dapat mengidentifikasi wanita yang memiliki cadangan ovarium rendah yang
mungkin tidak terdeteksi bila dinilai hanya berdasarkan konsentrasi basal estradiol
dan FSH pada hari ke-3 siklus. Kemungkinan keberhasilan untuk hamil
berbanding terbalik dengan konsentrasi FSH pada hari ke-3 dan ke-10 siklus.
Yang lebih penting lagi adalah bahwa pada wanita dengan konsentrasi FSH pada
hari ke-3 siklus yang normal, konsentrasi FSH yang tinggi pada hari ke-10 siklus
memiliki nilai prognostik buruk yang sama dengan peningkatan konsentrasi FSH
pada hari ke-3 siklus. Konsentrasi estradiol stimulasi pada hari ke-10 siklus tidak
memiliki nilai prognostik.
Peningkatan konsentrasi FSH pada hari ke-3 siklus dan hasil clomiphene
challenge test yang abnormal secara konsisten berhubungan dengan prognosis
keberhasilan IVF yang buruk (kurang dari 10%), tanpa memperhatikan usia. Hal
ini dan hasil pengamatan lainnya menunjukkan bahwa usia dan hasil tes cadangan
ovarium merupakan prediktor independen untuk luaran IVF, dan dengan demikian
juga untuk fekundabilitas. Prognosis wanita dengan hasil tes cadangan ovarium
yang abnormal secara umum buruk, bahkan jika mereka masih muda.
Sebaliknya, prognosis wanita dengan hasil tes yang normal berkaitan dengan
usia mereka; hasil tes yang normal tidak memperbaiki prognosis terkait usia
yang buruk pada wanita yang lebih tua.
Tes cadangan ovarium secara umum reliabel, namun dapat pula
menyesatkan. Dengan mempertimbangkan bahwa interpretasi didasarkan pada
konsentrasi hormon pada satu siklus dibandingkan dengan konsentrasi ambang
kritis dan bahwa baik konsentrasi basal maupun stimulasi FSH dapat bervariasi
antar siklus, terutama pada wanita yang lebih tua; hasil tes dan interpretasinya
sangat mungkin bervariasi antar siklus. Wanita dengan konsentrasi FSH pada hari
ke-3 siklus yang rendah secara umum menunjukkan lebih sedikit variabilitas antar
siklus daripada wanita dengan konsentrasi FSH yang lebih tinggi. Namun,
konsentrasi FSH basal sebagai respon terhadap stimulasi gonadotropin tidak

19

berbeda pada wanita yang tes serialnya menunjukkan variasi yang besar dengan
hasil yang normal dan abnormal; wanita-wanita tersebut secara umum merespon
buruk terhadap stimulasi, bahkan pada siklus di mana konsentrasi FSH pada hari
ke-3-nya secara komparatif rendah. Oleh karena itu, mengulangi tes pada wanita
dengan hasil tes awal yang abnormal untuk mengidentifikasi siklus yang optimal
untuk memberikan terapi adalah tindakan yang tidak perlu karena tidak mengubah
prognosis, namun perlu dilakukan pada wanita dengan hasil tes yang normal
sebelum terapi yang mahal dan potensial menimbulkan komplikasi dimulai.
Beberapa metode lain untuk mengukur cadangan ovarium telah diteliti dan
meliputi: volume ovarium dan jumlah folikel antrum pada awal fase folikuler,
konsentrasi inhibin-B basal maupun setelah stimulasi dengan clomiphene atau
FSH eksogen, respon (FSH, estradiol, inhibin-B) terhadap stimulasi dengan
GnRH agonis atau human menopausal gonadotropin, dan konsentrasi hormon
anti-Mullerian (AMH) basal maupun setelah stimulasi dengan GnRH agonis atau
gonadotropin. Jumlah folikel antrum yang terlihat dengan ultrasonografi
transvaginal pada akhir siklus menstruasi menunjukkan kapasitas folikel yang
masih tersisa dan berkaitan dengan usia dan respon terhadap stimulasi dengan
gonadotropin; observasi 10 folikel atau lebih sedikit berkaitan dengan
meningkatnya risiko kegagalan siklus. Konsentrasi inhibin-B basal atau setelah
stimulasi yang rendah mengindikasikan cadangan ovarium yang rendah, namun
penelitian-penelitian mengenai nilai prediktifnya telah memunculkan hasil yang
saling bertentangan. Sampai saat ini, tes cadangan ovarium dengan stimulasi
agonis GnRH dan FSH eksogen tidak memberikan informasi yang lebih sensitif
daripada clomiphene challenge test yang lebih mudah dan lebih murah, sementara
data yang didapatkan dari pengukuran konsentrasi AMH masih merupakan data
awal.
Tes cadangan ovarium telah terbukti bermanfaat untuk memprediksi
respon terhadap stimulasi dengan gonadotropin eksogen prognosis keberhasilan
IVF. Data dari beberapa penelitian pada populasi infertil juga menunjukkan bahwa
tes ini dapat digunakan pada aplikasi yang lebih luas. Saat clomiphene challenge
test digunakan sebagai tes skrining untuk wanita infertil pada segala usia,

20

prevalensi hasil tes yang abnormal secara keseluruhan adalah sekitar 10%,
meningkat seiring dengan pertambahan usia, dan secara disproporsional
meningkat sangat tinggi pada wanita dengan infertilitas yang tidak diketahui
penyebabnya; hasil tes yang abnormal berkaitan dengan prognosis yang buruk,
tanpa mempertimbangkan usia, penyebab infertilitas lain yang diketahui,
maupun jenis terapi yang diberikan. Penelitian-penelitian yang cermat pada
wanita yang sebab infertilitasnya tetap tidak diketahu setelah pemeriksaan yang
menyeluruh merupakan bukti langsung yang menunjukkan bahwa penurunan
cadangan ovarium prematur mungkin berperan. Analisis luaran dari pengamatan
yang dilakukan pada wanita infertil setelah menyingkirkan penyakit tuba dan
peritoneum maupun faktor pria menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan
kumulatif turun seiring dengan pertambahan usia pada wanita dengan hasil
clomiphene challenge test normal, dan secara dramatis jauh lebih rendah pada
wanita dengan hasil clomiphene challenge test abnormal, tanpa memperhatikan
usia. Pengamatan-pengamatan tersebut menunjukkan bahwa tes cadangan
ovarium mungkin memiliki kegunaan selain untuk menentukan prognosis pada
wanita yang akan menjalani IVF.
Apakah semua wanita infertil harus menjalani tes cadangan ovarium? Hasil
tes yang abnormal pada wanita muda sangat rendah, kecuali pada mereka
dengan infertilitas yang tidak diketahui penyebabnya bahkan setelah
pemeriksaan yang menyeluruh. Walaupun dapat diargumentasikan bahwa tes
cadangan ovarium perlu dilakukan pada semua wanita infertil, tes tersebut
lebih disarankan untuk wanita yang memenuhi setidaknya satu dari
karakteristik-karakteristik berikut:

Berusia lebih dari 35 tahun.

Dengan

infertilitas

yang

tidak

diketahui

penyebabnya,

tanpa

memperhitungkan usia.

Riwayat menopause dini pada keluarga.

Riwayat tindakan bedah ovarium (kistektomi ovarium, ooforektomi


unilateral), kemoterapi, atau radiasi.

21

Merokok.

Menunjukkan respon yang buruk terhadap stimulasi gonadotropin


eksogen.
Jika diaplikasikan pada populasi dengan risiko tinggi di atas, tes cadangan

ovarium dapat memberikan informasi yang akan mempengaruhi prognosis,


konseling, dan keputusan untuk memberikan terapi. Hasil tes yang jelas
abnormal pada wanita yang berusia lebih tua dapat digunakan untuk
membujuk mereka untuk membatalkan niat mereka mencari terapi yang
agresif, mahal, dan sayangnya hampir pasti sia-sia untuk mereka. Hasil tes
borderline atau sedikit abnormal pada wanita muda seharusnya digunakan
untuk mendorong mereka segera mendapatkan terapi yang agresif sebelum
kesempatan

tertutup.

Tes

cadangan

ovarium

yang

abnormal

dapat

mengidentifikasi wanita muda dengan peningkatan risiko mendapatkan bayi


aneuploidi yang merupakan kandidat untuk tindakan diagnosis prenatal, suatu
tindakan yang tidak akan disarankan jika tidak tersedia informasi mengenai
cadangan ovarium yang abnormal. Folikel pada wanita muda yang akan
mengalami menopause dini sangat mirip dengan folikel yang ditemukan pada
wanita yang lebih tua, dan biasanya tidak sensitif terhadap stimulasi
gonadotropin. Yang menarik adalah terjadinya peningkatan insidensi sindrom
Down

pada

wanita

dengan

peningkatan

konsentrasi

FSH,

tanpa

memperhatikan usia maupun folikel yang berkurang secara alami atau akibat
tindakan bedah. Pengamatan-pengamatan tersebut secara tidak langsung
menunjukkan bahwa prevalensi aneuploidi oosit pada wanita dengan penuaan
reproduktif prematur juga dapat meningkat, seperti halnya pada wanita yang
lebih tua, walaupun oosit mereka belum mencapai tingkat penuaan yang sama.
Selama beberapa tahun terakhir, tes cadangan ovarium telah menjadi alat uji
baru yang penting dan sangat bermanfaat dalam evaluasi wanita infertil.
Namun, hasil tes tersebut harus selalu diinterpretasikan dan diaplikasikan
dengan hati-hati. Tes cadangan ovarium secara umum reliabel, namun tidak
berarti tidak pernah salah. Interpretasi atau aplikasi yang kaku dari hasil tes

22

akan meningkatkan risiko rekomendasi terapi yang tidak tepat atau tidak
direkomendasikannya suatu terapi yang mngkin bermanfaat, dan kedua hal
tersebut harus dihindari. Hasil tes yang abnormal tidak menyingkirkan
kemungkinan untuk hamil. Kecuali untuk yang jelas abnormal, hasil tes
cadangan ovarium yang abnormal sebaiknya tidak digunakan sebagai dasar
untuk tidak memberikan suatu terapi, namun lebih sebagai alat untuk
mendapatkan informasi prognostik untuk memilih tipe terapi yang paling
tepat. Selain itu, walaupun kemungkinan untuk terjadinya kehamilan mungkin
rendah, prediksi yang akurat mengenai siapa yang akan berhasil hamil sangat
sulit dilakukan. Pada dasarnya, tidak peduli bagaimana prognosis keberhasilan
secara statistik, tingkat keberhasilan untuk setiap wanita adalah 0 atau 100%.
Prinsip-prinsip Evaluasi Infertilitas
Sejak awal, evaluasi infertilitas berfokus pada pasangan dan bukan salah
satu dari mereka, tanpa memperhatikan kemampuan reproduksi mereka
sebelumnya. Kedua pasangan harus didorong untuk hadir pada setiap sesi
evaluasi jika memungkinkan. Penting untuk menilai sikap dari kedua
pasangan, dan masing-masing dapat memberikan informasi atau perspektif
yang mungkin tidak dimiliki atau tidak diingat oleh pasangannya. Datang
bersama juga membantu memastikan bahwa kedua pasangan memahami
setiap informasi, pilihan, maupun rekomendasi yang diberikan, dan masingmasing memiliki kesempatan untuk bertanya secara langsung.
Klinisi yang menangani pasangan infertil harus selalu mengingat 4 tujuan
dasar:

Untuk

mengidentifikasi

dan

mengkoreksi

penyebab

spesifik

infertilitas, jika memungkinkan. Dengan evaluasi dan terapi yang


tepat, sebagian besar wanita akan hamil.

Untuk menyediakan informasi yang akurat dan untuk mengklarifikasi


informasi yang tidak tepat dari teman maupun media massa.

Untuk memberikan dukungan emosional selama masa percobaan. Pada


banyak pasangan, ketidakberhasilan untuk membuahi menyebabkan

23

timbulnya perasaan bahwa mereka kehilangan kendali akan bagian


yang sangat penting dan pribadi dari hidup mereka, dan manipulasi
yang dilakukan pada evaluasi infertilitas menambah beban tersebut.
Pasangan infertil sering perlu mengekspresikan pemikiran, perasaan
frustasi, dan ketakutan mereka, dan suatu kelompok seperti RESOLVE
akan membantu memenuhi kebutuhan tersebut. Pertemuan kelompok
dapat membantu pasangan untuk menyadari bahwa masalah yang
mereka hadapi tidak unik dan untuk mempelajari bagaimana pasangan
lain menghadapi masalah tersebut. Bahwa kecemasan yang berlebihan
dapat berefek negatif pada fungsi ovulasi dan frekuensi koitus, tidak
terdapat bukti yang mendukung peran kecemasan sebagai penyebab
maupun pemberat infertilitas.

Untuk memandu pasangan yang tidak berhasil dengan terapi standar


untuk mendapatkan terapi alternatif, seperti ART, penggunaan gamet
donor (oosit atau sperma), dan adopsi, atau membimbing pasangan
yang menolak alternatif tersebut untuk menghentikan usahanya.

Konseling harus dilaksanakan secara berkelanjutan baik pada proses


evaluasi maupun terapi. Konsultasi teratur untuk meninjau ulang dan mengkritisi
hasil yang telah didapatkan dan untuk menentukan rekomendasi sehubungan
dengan evaluasi dan terapi lebih lanjut sangat penting untuk memastikan bahwa
pemikiran dan kebutuhan pasangan secara medis, emosional, dan finansial
terpenuhi pada waktu yang tepat.
Faktor Gaya Hidup dan Lingkungan
Dapat dipahami jika semua pasangan, terutama pasangan yang infertil,
sangat tertarik untuk mempelajari segala hal yang dapat mereka lakukan untuk
meningkatkan kemungkinan untuk hamil. Pilihan gaya hidup dan faktor
lingkungan ternyata memang berpengaruh terhadap fertilitas dan perlu
mendapatkan perhatian dan dibahas jika relevan. Sekitar 62% wanita AS
kelebihan berat badan dan 33% obese. Kelebihan berat badan didefinisikan
sebagai BMI lebih dari 25; mereka yang memiliki BMI lebih dari 30 dianggap

24

obese. Abnormalitas pada sekresi GnRH dan gonadotropin hipofisis relatif sering
ditemukan pada wanita kelebihan berat badan, obese, atau kurus (BMI kurang dari
17). Hubungan antara BMI dan fertilitas pada pria belum pernah diteliti.
Satu dari beberapa hal yang dapat dikendalikan sepenuhnya oleh pasangan
adalah penyalahgunaan zat; merokok adalah yang paling penting. Banyak yang
tidak sepenuhnya sadar akan akibat buruk merokok pada fertilitas dan luaran
kehamilan. Motivasi pasangan untuk memaksimalkan fertilitas mereka merupakan
kesempatan emas untuk memberikan edukasi dan pendekatan untuk berhenti
merokok pada pasangan yang merokok.
Merokok telah diketahui memiliki dampak negatif pada hasil kehamilan,
dan terdapat banyak bukti bahwa merokok menurunkan fertilitas pria maupun
wanita. Prevalensi infertilitas lebih tinggi, fekundabilitas lebih rendah, dan waktu
yang diperlukan untuk konsepsi lebih lama pada wanita yang merokok
dibandingkan wanita yang tidak merokok, dan efek dari merokok pasif hanya
sedikit berbeda daripada merokok aktif. Data yang tersedia menunjukkan bahwa
efek negatif merokok pada fertilitas adalah tergantung dosis. Mekanisme yang
terlibat meliputi peningkatan kecepatan hilangnya folikel, abnormalitas siklus
menstruasi, atau mutagenesis pada gamet atau embrio yang diinduksi oleh toksin
dalam asap rokok. Hubungan kausal antara merokok dan infertilitas wanita belum
dapat dipastikan. Namun, jika data yang diperoleh dari suatu metaanalisis dari 12
penelitian (odd ratio risiko infertilitas pada wanita yang merokok vs tidak
merokok adalah 1,60) diterima dengan asumsi bahwa 25% wanita usia reproduktif
merokok, maka sampai 13% infertilitas wanita mungkin berhubungan dengan
merokok. Maka, pendekatan preventif dan aktif untuk mencegah merokok dan
membantu perokok untuk berhenti penting dalam penanganan infertilitas.
Bentuk lain dari penyalahgunaan zat juga dapat berdampak negatif
terhadap fertilitas. Ganja menghambat sekresi GnRH dan dapat menekan fungsi
reproduksi pria maupun wanita. Pada wanita, penggunaan ganja menimbulkan
gangguan terhadap fungsi ovulasi. Penggunaan kokain dapat mengganggu
spermatogenesis dan berhubungan dengan meningkatnya insidensi penyakit tuba
pada wanita. Konsumsi alkohol berlebihan pada wanita dapat menurunkan

25

fertilitas, sedangkan pada pria berhubungan dengan penurunan kualitas semen dan
impotensi. Konsumsi alkohol moderat juga dapat menurunkan fekundabilitas,
walaupun hasil dari berbagai penelitian saling bertentangan. Konsumsi alkohol
moderat pada pria maupun wanita berhubungan dengan tingkat kehamilan dengan
ART yang rendah. Penelitian gagal memastikan efek negatif konsumsi kafein
dalam jumlah moderat (lebih dari 250 mg/hari, 2 gelas kopi) pada fertilitas,
walaupun konsumsi dalam jumlah yang lebih besar dapat menunda terjadinya
konsepsi atau meningkatkan risiko aborsi spontan.
Paparan lingkungan dan pekerjaan lain yang mungkin berpotensi
merugikan, walaupun jarang, juga dapat ditemukan. Paparan perkloretilen pada
industri dry cleaning, toluene pada percetakan, etilen oksida dan berbagai bahan
pelarut berhubungan dengan berkurangnya fekunditas. Abnormalitas semen
ditemukan pada pria yang terpapar panas atau logam berat. Paparan herbisida atau
fungisida berhubungan dengan penurunan fertilitas wanita, dan paparan pestisda
dan senyawa hidrokarbon terklorinisasi berhubungan dengan peningkatan risiko
aborsi spontan.
Untuk pasangan-pasangan yang berusaha untuk hamil, terdapat bukti kuat
yang mendukung penghentian merokok dan untuk mencapai BMI 20-25.
Rekomendasi untuk membatasi konsumsi alkohol sampai kurang dari 4 gelas
per minggu dan konsumsi kafein kurang dari 250 mg/hari juga masuk akal dan
sesuai dengan bukti-bukti yang ada. Namun, belum ada RCT yang
menunjukkan bahwa modifikasi gaya hidup di atas dapat meningkatkan
fertilitas.
Efisiensi Reproduksi Normal
Pada akhir evaluasi infertilitas dan sebelum terapi dimulai, edukasi
mengenai efisiensi reproduksi normal manusia penting untuk diberikan pada
pasangan infertil. Hanya sedikit yang menyadari bahwa, dibandingkan dengan
mamalia dan bahkan dengan primata, manusia adalah spesies yang tidak terlalu
fertil. Fekunditas pada baboon mencapai 80% jika koitus dilakukan pada kondisi
dan waktu yang tepat, sedangkan efisiensi reproduksi pada pasangan fertil normal

26

rata-rata 20% dan tidak melebihi 35% pada saat waktu koitus diperhitungkan
dengan cermat. Pengertian tersebut sangat penting saat mendiskusikan dan
membandingkan efikasi dari berbagai pilihan terapi, terutama jika dilihat dari
tingkat fekunditas tiap siklus. Saat melakukan hal tersebut, penting bagi pasangan
untuk memahami bahwa tingkat fekunditas yang dihasilkan dengan terapi adalah
20-30% dan bukan 100%.
Jika rata-rata fekunditas adalah 20% untuk setiap siklus, tingkat kehamilan
kumulatif yang diamati pada pasangan fertil normal mudah untuk dipahami. Data
dalam tabel di bawah ini merupakan standar yang telah dipakai sejak tahun 1956
dan telah dikonfirmasikan dengan hasil penelitian yang lebih baru.
Waktu yang diperlukan untuk konsepsi untuk mendapatkan kehamilan
Waktu paparan
% kehamilan
3 bulan
57%
6 bulan
72%
1 tahun
85%
2 tahun
93%
Sperma normal dapat bertahan hidup dalam saluran reproduksi wanita dan
mempertahankan kemampuan untuk membuahi oosit selama paling sedikit 3
sampai 5 hari, namun oosit hanya dapat dibuahi dengan berhasil 12-24 jam setelah
dilepaskan dari ovarium. Maka, pada konsepsi yang berhasil, koitus biasanya
terjadi dalam rentang waktu 6 hari yang berakhir pada saat ovulasi. Perkiraan
waktu puncak fertilitas berbeda-beda tergantung pada metode yang digunakan
untuk memperkirakan saat terjadinya ovulasi. Jika waktu terjadinya ovulasi
ditentukan berdasarkan catatan suhu tubuh basal dan ovulasi diasumsikan terjadi
satu hari sebelum suhu tubuh basal mencapai puncak pertengahan siklus, maka
waktu fertilitas puncak adalah 2 hari sebelum ovulasi. Penelitian yang cermat
menunjukkan bahwa ovulasi biasanya terjadi dalam interval 1 hari dari waktu
yang ditentukan dengan metode suhu tubuh basal. Jika waktu ovulasi ditentukan
dengan mengukur konsentrasi estrogen urin harian, maka probabilitas terjadinya
konsepsi terus naik pada saat mendekati ovulasi dan memuncak satu hari sebelum
dan pada hari terjadinya ovulasi, berkisar antara 10-33%. Jika ekskresi harian LH

27

urin diukur untuk mendeteksi surge LH pada pertengahan siklus yang memicu
ovulasi, pecahnya folikel (ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi
transvaginal), dan mungkin pelepasan ovum, biasanya mengikuti dalam 14-26
jam, dan hampir selalu dalam 48 jam. Tanpa memperhatikan metode yang
digunakan, semua penelitian menunjukkan bahwa fertilitas memuncak segera
sesudah ovulasi, dan kemudian dengan cepat turun sampai nol.
Koitus yang dilakukan pada saat yang tepat merupakan cara meningkatkan
kemungkinan terjadinya kehamilan pada pasangan infertil, walaupun hanya
terdapat sedikit data yang mendukung efektivitasnya. Walaupun terdapat beberapa
tes yang dapat digunakan untuk memperkirakan waktu terjadinya ovulasi, tes
tersebut sebaiknya tidak digunakan untuk menentukan waktu koitus yang tepat,
kecuali untuk beberapa alasan spesifik. Koitus yang terjadwal dapat menambah
beban yang signifikan pada infertilitas. Selain itu, sebagian besar waktu fertilitas
puncak dapat terbuang sia-sia pada saat pasangan menunggu tanda yang tepat.
Untuk sebagian besar pasangan, rekomendasi sederhana untuk melakukan
koitus 2 kali seminggu dapat menghindari timbulnya stres yang tidak perlu dan
memastikan bahwa koitus terjadi dalam rentang fertilitas puncak. Di lain
pihak, koitus yang terjadwal merupakan rekomendasi yang masuk akal untuk
pasangan yang jarang melakukan koitus baik karena pilihan atau karena
kondisi yang tidak memungkinkan.
Indikasi untuk Pemeriksaan
Kapan suatu pemeriksaan atau evaluasi formal harus dimulai? Sebagian
besar pasangan infertil tidak sepenuhnya steril; mereka hanya mengalami
penurunan fertilitas, dan banyak yang akhirnya hamil tanpa terapi. Infertilitas
memiliki tingkat kesembuhan spontan yang bervariasi tergantung pada usia pihak
wanita, durasi, riwayat konsepsi sebelumnya, dan penyebab. Probabilitas untuk
mendapatkan kelahiran hidup tanpa terapi turun dengan bertambahnya usia dan
durasi infertilitas. Secara keseluruhan, kemungkinan untuk berhasil hamil tanpa
terapi turun 5% untuk setiap tahun penambahan usia pihak wanita dan 15-25%
untuk setiap tahun infertilitas. Mayoritas kehamilan spontan muncul dalam 3

28

tahun, dan setelah itu, prognosis keberhasilan untuk hamil tanpa terapi secara
relatif buruk. Pasangan yang sebelumnya pernah mendapatkan kehamilan
memiliki prognosis yang lebih baik daripada pasangan yang belum pernah.
Penyebab infertilitas juga mempengaruhi prognosis terjadinya kehamilan tanpa
terapi, namun tentu saja tidak dapat ditentukan tanpa evaluasi. Seperti yang
diharapkan, infertilitas yang tidak diketahui sebabnya dan disfungsi ovulasi
memiliki prognosis terbaik. Kemungkinan untuk berhasil hamil pada pasangan
dengan faktor pria, penyakit tuba, dan endometriosis sangat bervariasi tergantung
pada tngkat keparahan penyakit; prognosis biasanya bagus untuk oligospermia
ringan, adhesi tuba, dan endometriosis ringan dan biasanya sangat buruk untuk
faktor pria yang berat, obstruksi tuba, dan endometriosis berat.
Edukasi harus diberikan untuk setiap pasangan yang menginginkannya,
tanpa memperhatikan apakah mereka sudah melakukan tindakan aktif untuk
berhasil hamil. Penjelasan mengenai proses reproduksi, bahwa tingkat
fekundabilitas untuk tiap siklus berkisar 20% (jauh lebih rendah daripada
anggapan umum), dan hubungan antara usia dan fertilitas selalu bermanfaat.
Evaluasi harus ditawarkan pada semua pasangan yang tidak berhasil
mendapatkan kehamilan setelah melakukan koitus tanpa pencegahan kehamilan
selama 1 tahun atau lebih, namun infertilitas selama 1 tahun sebaiknya tidak
dijadikan sebagai indikasi untuk memulai evaluasi. Tanpa mempertimbangkan
usia maupun durasi infertilitas, evaluasi harus segera ditawarkan pada wanita yang
telah berusia lebih dari 35 tahun, wanita dengan menstruasi yang ireguler atau
jarang, wanita dengan riwayat infeksi pelvis dan endometriosis, dan pada pria
yang dicurigai memiliki kualitas semen yang buruk, karena tidak ada alasan yang
rasional untuk menunda pada keadaan-keadaan tersebut.
Bahkan pada pasangan yang belum pernah memeriksakan fertilitas mereka
dan tampaknya tidak bermasalah dengan hal tersebut, beberapa pemeriksaan awal
dapat dilakukan jika mereka meminta. Tes untuk memastikan waktu terjadinya
ovulasi dan kualitas semen mudah dilakukan, relatif tidak mahal, noninvasif, dan
dapat mendeteksi dengan cepat beberapa masalah reproduksi yang paling sering
terjadi. Tes awal cadangan ovarium juga dapat dilakukan bila terdapat indikasi,

29

karena hasilnya dapat digunakan sebagai patokan bagaimana dan kapan evaluasi
dan terapi harus dilanjutkan.
Evaluasi Infertilitas Wanita
Setiap evaluasi infertilitas yang dimulai dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang seksama sering dapat mengidentifikasi tanda dan gejala
yang menunjuk pada suatu penyebab spesifik dan membantu memfokuskan
evaluasi pada faktor-faktor yang paling mungkin. Pada wanita, riwayat medis dan
temuan fisik yang bermakna adalah sebagai berikut:
Riwayat medis

Graviditas, paritas, luaran kehamilan, dan komplikasi.

Karakteristik dan durasi siklus menstruasi, onset dan keparahan


dismenore.

Frekuensi koitus, dan disfungsi seksual.

Durasi infertilitas dan hasil dari evaluasi dan terapi yang sudah pernah
dilakukan.

Riwayat pembedahan pada masa lalu, indikasi dan luarannya, dan penyakit
yang diderita pada masa lalu atau saat ini, meliputi infeksi pelvis atau
infeksi menular seksual.

Hasil Paps smear yang abnormal sebelumnya dan terapi yang didapatkan.

Obat-obatan yang sedang diminum dan alergi.

Pekerjaan dan penggunaan tembakau, alkohol, atau obat-obatan lainnya.

Riwayat cacat bawaan, retardasi mental, menopause dini atau kegagalan


reproduksi pada keluarga.

Gejala penyakit tiroid, nyeri pelvis atau abdominal, galaktorea, hirsutisme,


dan dispareunia.

30

Pemeriksaan Fisik

Berat badan dan BMI.

Pembesaran, nodul, maupun nyeri pada tiroid.

Sekresi dari payudara dan karakteristiknya.

Tanda-tanda kelebihan androgen.

Nyeri pelvis atau abdomen, pembesaran organ atau massa.

Abnormalitas, sekresi, atau discharge dari vagina atau serviks.

Massa, nyeri, atau benjolan di cavum Douglas.

Menstruasi yang jarang dan ireguler menunjukkan adanya disfungsi ovulasi.


Terapi yang pernah diterima untuk neoplasia intraepitelial serviks atau observasi
untuk

servisitis

mukopurulen

atau

stenosis

serviks

dapat

membantu

mengidentifikasi wanita dengan masalah pada serviksnya. Riwayat histeroskopi


atau pembedahan uterus rekonstruktif atau menoragia yang baru saja muncul
memicu kecurigaan akan adanya abnormalitas dalam kavum uteri; riwayat
terminasi kehamilan yang tidak mengalami komplikasi pada trimester pertama
atau kedua biasanya tidak berdampak negatif pada fertilitas di masa depan.
Dismenorea yang memberat, munculnya dispareunia yang sebelumnya tidak ada,
atau temuan fisik berupa nyeri atau benjolan di kavum Douglas menunjukkan
adanya endometriosis. Riwayat infeksi pelvis, aborsi septik, ruptur appendiks,
kehamilan ektopik, miomektomi abdominal, atau pembedahan adneksa memicu
kecurigaan terhadap kemungkinan terdapatnya penyakit pada tuba atau
peritoneum.
Tes Skrining
Paps smear direkomendasikan untuk semua wanita yang aktif secara
seksual dan memiliki serviks. Tanggal dan hasil Paps smear terbaru harus dicatat,
dan Paps smear dilakukan lagi bila diperlukan. Golongan darah, faktor Rh, dan
skrining antibodi (pada wanita Rh negatif) jika dianjurkan, bila belum diketahui.

31

The American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) dan American


College of Medical Genetics (ACMG) merekomendasikan tes untuk skrining
fibrosis kistik untuk setiap pasangan yang mencari layanan prekonsepsi atau
layanan infertilitas (tidak hanya untuk mereka yang memiliki riwayat pribadi
maupun

keluarga

untuk fibrosis kistik seperti

yang

direkomendasikan

sebelumnya) dan skrining tersebut harus ditawarkan secara khusus pada pasangan
yang berasal dari kelompok etnik atau ras yang berisiko tinggi untuk mempunyai
mutasi fibrosis kistik (Kaukasia, terutama keturunan Yahudi Ashkenazi).
Pendekatan konkuren (kedua pasangan diperiksa secara bersamaan) maupun
sekuensial (salah satu dari kedua pasangan diperiksa terlebih dahulu, dan
pemeriksaan pada pasangannya baru dilakukan bila tes pertama menunjukkan
karier) dianggap sama efektif.
Semua wanita yang berusaha untuk hamil dengan riwayat infeksi atau
vaksinasi rubella yang tidak diketahui harus diperiksa untuk imunitas terhadap
rubella, dan divaksinasi jika masih seronegatif. Walaupun tidak ada laporan kasus
mengenai terjadinya sindrom rubella kongenital yang disebabkan oleh vaksin,
CDC merekomendasikan agar wanita yang mendapatkan vasksinasi rubella tidak
hamil dalam waktu 3 bulan setelah vaksinasi karena secara teori virus dalam
vaksin dapat berdampak negatif terhadap fetus.
Rekomendasi

skrining

untuk

imunitas

terhadap

varisela

masih

kontroversial. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa skrining antenatal pada


semua wanita hamil tidak efektif dari segi biaya, bahwa skrining harus dibatasi
pada wanita hamil yang dicurigai terpapar varisela, dan bahwa terapi dengan
imunoglobulin varisela-zoster sebaiknya hanya diberikan pada wanita yang masih
seronegatif. Berdasarkan rekomendasi CDC yang menganggap wanita pada usia
subur adalah kelompok yang rentan terhadap infeksi varisela dan seharusnya
mendapat vaksinasi, masuk akal untuk melakukan skrining imunitas terhadap
varisela pada wanita infertil yang berusaha hamil dengan riwayat infeksi yang
tidak jelas dan untuk memberikan vaksinasi pada wanita yang masih seronegatif.
Wanita yang mendapatkan vaksinasi harus dianjurkan untuk tidak hamil dalam
waktu 3 bulan sesudahnya, dengan alasan yang sama seperti pada vaksinasi

32

rubella. Namun, paparan terhadap vaksin varisela yang tidak disengaja selama
kehamilan tampaknya hanya menimbulkan risiko minimal bagi fetus. Bahkan
pada wanita hamil dengan infeksi varisela-zoster, frekuensi terjadinya sindrom
varisela kongenital sangat rendah (0,4%).
Skrining untuk infeksi menular seksual (IMS) direkomendasikan untuk
semua wanita dengan risiko sedang dan tinggi. Pengambilan keputusan untuk
melakukan skrining terhadap IMS sebaiknya berdasarkan rekomendasi dari CDC
yang meliputi skrining pada semua wanita hamil untuk sifilis (rapid plasma
reagin, RPR), hepatitis B (HbsAg), dan klamidia (tes DNA/RNA); skrining pada
wanita berisiko tinggi untuk gonorea (kultur) dan hepatitis C (hepatitis C antibodi,
HCA); dan skrining sukarela untuk HIV tipe 1 pada kunjungan prenatal pertama.
American Society for Reproductive Medicine (ASRM) merekomendasikan skrining
untuk IMS bagi kedua pasangan. Untuk pasangan pria dari wanita yang akan
diinseminasi, ASRm merekomendasikan skrining untuk HIV tipe 1 dan IMS
lainnya, sementara untuk pasangan wanita yang akan diinseminasi ASRM
merekomendasikan pemeriksaan HIV tipe 1 dan skrining menyeluruh terhadap
IMS yang meliputi sifilis, hepatitis B dan C, antibodi CMV, HIV tipe 1 dan 2,
HTLV tipe 1 dan 2, serta klamidia dan gonore. Untuk resipien oosit donor dan
pasangan prianya, ASRM merekomendasikan skrining untuk sifilis, hepatitis B
dan C, CMV, dan HIV tipe 1.
Keputusan untuk melakukan semua tes laboratorium lain yang ditujukan
untuk skrining harus berdasarkan riwayat medis dan pertimbangan klinis.
Penyebab Infertilitas
Sebelum penelusuran formal penyebab infertilitas dimulai, penyebab
utama dan komponen dasar dari evaluasi yang dirancang untuk mengidentifikasi
penyebab infertilitas harus dijelaskan pada pasangan. Penyebab utama infertilitas
meliputi disfungsi ovulasi (15%), patologi tuba dan peritoneum (30-40%), dan
faktor pria (30-40%); patologi uterus jarang ditemukan dan penyebab yang lain
belum dapat dijelaskan. Prevalensi tiap penyebab di atas bervariasi menurut usia.
Disfungsi ovulasi lebih sering terjadi pada pasangan berusia muda daripada yang

33

lebih tua, faktor tuba dan peritoneum memiliki prevalensi yang sama, sementara
faktor pria dan penyebab yang belum dapat dijelaskan lebih sering didapatkan
pada pasangan yang lebih tua. Komposisi dari tiap kelompok infertil juga
bervariasi menurut durasi infertilitas dan tempat mencari layanan (primer,
sekunder, atau tersier). Sebagian besar pasangan yang mencari bantuan telah
berusaha untuk hamil selama lebih dari 2 tahun, sehingga sedikit yang secara
normal subur. Mereka yang datang dengan durasi infertilitas yang lebih panjang
biasanya memiliki masalah yang lebih kompleks dan beragam sehingga lebih
sering dijumpai di layanan tersier. Durasi rata-rata infertilitas pada pasangan yang
ditemui di layanan tersier (42 bulan) dua kali lebih lama daripada pasangan di
layanan primer (21 bulan). Seperti yang dapat diperkirakan, proporsi pasangan
dengan disfungsi ovulasi yang mudah ditangani berkurang dari tingkat layanan
primer ke tersier, sedangkan proporsi pasangan dengan masalah tuba/peritoneum
yang lebih berat dan faktor pria meningkat.
Proses reproduksi manusia sangat kompleks. Namun, untuk tujuan evaluasi,
proses yang kompleks tersebut dapat dipecah ke dalam beberapa komponen dasar
yang penting.

Sperma harus terkumpul pada atau di dekat serviks pada atau sekitar masa
ovulasi, naik sampai ke tuba falopi, dan memiliki kemampuan untuk
membuahi oosit (faktor pria).

Ovulasi oosit matur harus terjadi, dan idealnya terjadi dalam siklus yang
teratur dan dapat diprediksi (faktor ovarium).

Serviks harus dapat menangkap, menyaring, mematangkan, dan kemudian


melepaskan sperma ke dalam uterus dan tuba falopi (faktor serviks).

Tuba falopi harus dapat menangkap oosit yang diovulasikan dan


mentransfer sperma dan embrio dengan efektif (faktor tuba).

Uterus harus dapat menerima implantasi embrio dan mampu menyokong


pertumbuhan dan perkembangan normal (faktor uterus).

34

Evaluasi infertilitas dirancang untuk mengisolasi dan menilai masing-masing


komponen di atas secara terpisah, dan mengidentifikasi abnormalitas yang
mungkin mengganggu atau menghambat konsepsi. Sejauh mana evaluasi
dilaksanakan tergantung pada keinginan pasangan, usia, durasi infertilitas, dan
karakter-karakter unik lain pada riwayat medis dan pemeriksaan fisik.
Beberapa masalah infertilitas yang semula dianggap tidak dapat diatasi
sekarang dapat diatasi dengan terpi modern. IVF dengan efektif memintas
halangan konsepsi yang disebabkan oleh kelainan tuba berat yang tidak dapat
diperbaiki. Saat dikombinasikan dengan intracytoplasmic sperm injection (ICSI),
IVF juga dapat mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh kualitas semen yang
buruk. Pendekatan untuk meningkatkan kepadatan gamet, dan mempertemukan
lebih banyak oosit dan sperma pada tempat dan waktu yang tepat, dapat
meningkatkan tingkat fekundabilitas pada pasangan dengan infertilitas terkait usia
atau dengan penyebab yang belum dapat dijelaskan. IVF menggunakan oosit
donor dari wanita yang lebih muda sangat berhasil saat diterapkan pada wanita
dengan kegagalan ovarium prematur, dan bahkan pada wanita yang sudah tidak
dalam masa reproduktif dan pada wanita tanpa ovarium. Penemuan praktek klinis
berbasis bukti juga berpengaruh. Penerimaan prinsip praktek klinis berbasis bukti
yang semakin luas mendorong timbulnya analisis kritis untuk tes diagnostik
standar dan terapi. Validitas beberapa pemeriksaan infertilitas lama yang
memakan banyak waktu mulai diragukan. Cakupan dan urutan evaluasi infertilitas
modern lebih menekankan pada kontribusi pemeriksaan tersebut untuk
menentukan terapi yang paling efisien daripada menemukan penyebab spesifik.
Faktor Pria: Abnormalitas Kualitas Semen
Faktor pria memiliki kontribusi sampai 30% pada infertilitas sehingga
analisis semen merupakan tahap awal yang tepat dan penting dalam evaluasi
pasangan infertil. Dalam kondisi tidak adanya riwayat abnormalitas genital,
trauma, pembedahan, disfungsi seksual, atau impotensi, pemeriksaan fisik pada
pria dapat ditunda dan jika perlu dilaksanakan setelah didapatkan hasil analisis
semen.

35

Analisis semen yang jelas abnormal merupakan indikasi untuk melakukan


pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan oleh ginekolog yang telah
mendapatkan latihan khusus dan berpengalaman, namun lebih sering dilakukan
oleh urolog atau spesialis lain dalam bidang reproduksi pria. Prosedur diagnostik
invasif pada pasangan wanita sebaiknya ditunda sampai pasangan pria telah
diperiksa secara menyeluruh. Pilihan terapi yang tersedia untuk pasangan infertil
dengan masalah pada faktor pria yang berat terbatas. Jika hasil analisis semen
normal, evaluasi secara alami lebih ditekankan pada pasangan wanita.
Faktor Ovarium: Disfungsi Ovulasi
Secara keseluruhan, disfungsi ovulasi menyumbang 15% dari seluruh
penyebab infertilitas yang dapat diidentifikasi pada pasangan infertil. Disfungsi
ovulasi dapat cukup berat sehingga konsepsi tidak terjadi (anovulasi) atau hanya
sebagai faktor yang menurunkan kemungkinan terjadinya konsepsi (oligoovulasi).
Namun, karena tingkat fekundabilitas untuk tiap siklus hanya 20% bahkan pada
pasangan fertil normal, pembedaan biasanya tidak memiliki kepentingan klinis
bermakna.
Beberapa metode yang berbeda dapat digunakan untuk menentukan kapan
ovulasi terjadi. Baik secara langsung maupun tidak langsung, semua pemeriksaan
didasarkan pada satu atau lebih peristiwa hormonal yang mencerminkan ovulasi
pada siklus menstruasi normal. Masing-masing tes memiliki manfaat klinis, dan
tidak ada satu tes yang jelas lebih baik daripada tes lain. Beberapa tes sangat
sederhana, noninvasif, dan murah sedangkan yang lain lebih sulit, invasif dan
mahal. Akurasi tes untuk memprediksi ovulasi juga bervariasi. Namun tidak ada
tes yang dapat membuktikan bahwa ovulasi benar-benar sedang terjadi. Satusatunya bukti ovulasi yang positif adalah kehamilan. Uji yang paling tepat untuk
digunakan bervariasi, sesuai informasi yang dibutuhkan. Tes untuk mendiagnosis
anovulasi adalah sama, digunakan untuk menilai strategi terapi induksi oculasi.
Riwayat Menstruasi

36

Riwayat menstruasi saja kadang cukup untuk menegakkan diagnosis


anovulasi. Menstruasi pada wanita normal biasanya teratur, dapat diprediksi,
konsisten volume dan durasinya, dan biasanya disertai dengan pola gejala
premenstrual dan menstrual yang mudah dikenali. Sebaliknya menstruasi pada
wanita anovulasi tidak teratur, tidak dapat diprediksi atau tidak sering,
karakteristik aliran berbeda, dan pola molimina tidak konsisten. Wanita dengan
pola menstruasi pertama selalu ovulasi. Wanita dengan pola menstruasi yang
kedua juga dapat beroculasi namun frekuensi dan keteraturannya tidak cukup
untuk efisiensi reproduksi yang normal.
Suhu Badan Basal (SBB)
SBB adalah temperatur badan dalam kondisi basal saat istirahat. SBB
diukur tiap pagi, pada saat bangun dan sebelum bangkit. SBB biasanya diukur
dengan termometer mulut yang terbuat dari gelas oral atau merkuri dengan skala
tertentu, biasanya 96-100 derajat F. Termometer elektrik juga dapat digunakan.
Sebagai tes ovulasi, pencatatan SBB harian didasarkan pada sifat thermogenik
progesteron, jika kadarnya meningkat setelah ovulasi, SBBjuga meningkat.
Efeknya lebih bersifat kualitatif dan mudah dipelajari jika dicatat dalam grafik.
Progesteron sinetik juga dapat meningkatkan SBB.
SBB biasanya rendah dan berfluktuasi antara 97-98 derajat F selama fase
folkular, dan agak lebih tinggi selama fase luteal, dan turun lagi ke baseline
sebelum atau setelah menstruasi terjadi. Pada wanita dengan ovulasi, ada pola
bifasik. Pencatatan SBB yang ideal biasanya bifasik dan menunjukkan siklus
antara 25 dan 35 hari, di mana menstruasi mulai 12 hari atau lebih setelah
temperatur naik. Jika kehamilan terjadi maka onset menstruasi akan tertunda dan
SBB tetap naik, menunjukkan adanya produksi progesteron yang menetap oleh
korpus luteum yang terstimulasi oleh HCG.
SBB juga dapat membantu menentukan waktu ovulasi, namun hubungan
temporal antara kenaikan thermogenik dan ovulasi masih kurang dimengerti. SBB
biasanyaturun pada kadar terendah pada hari sebelum atau hari ovulasi.
Pergeseran thermogenik biasanya terjadi ketika progesteron naik di atas 5ng/ml,

37

1-5 hari setelah LH surge midsiklus dan sampai 4 hari setelah ovulasi. Kenaikan
temperatur bisa mendadak atau nertahap, dan ketika diketahui maka interval
kesuburan sudah dilalui. Jadi interval dengan fertilitas tertinggi pada siklus SBB
berlangsung 7 hari sebelum kenaikan SBB di tengah siklus. Pencatatan sebaiknya
dilakukan secara teratur dan serial. Oleh karena itu waktu koitus sebaiknya
dilakukan berselang seling 7 hari sebelum kenaikan temperatur sampai hari
terakhir sebelum SBB kembali normal.
Keuntungan dari grafik SBB adalah biaya yang rendah, juga dapat
menunjukkan fase folikular yang terlalu panjang atau fase luteal yang pendek.
SBB juga mudah, noninvasif namun kadang membosankan. Untuk beberapa
orang metode ini dapat menyebabkan stres karena gagal pembuahan. Ada
beberapa wanita dengan siklus yang regular namun pola bifasik yang tidak jelas.
Namun demikian SBB masih tetap bermanfaat, hemat dan mudah.
Konsentrasi Serum Progesteron
Metode lain untuk mengetahui ovulasi pada wanita infertil adalah
mengukur serum progesteron. Kadar biasanya rendah <1ng/ml pada fase folikular,
sedikit naik pada hari LH surge (102 ng/ml) dan stabil setelah itu, puncak 7-8 hari
setelah ovulasi dan menurun selama hari-hari sebelum operasi. Kadar >3 ng/ml
menunjukkan terjadinya ovulasi. Pengukuran ini sederhana, reliabel, tidak invasif,
tersedia luas dan murah.
Konsentrasi progesteron sebaiknya diperiksa pada siklus hari 21. Pada
siklus ideal 28 haru di mana ovulasi terjadi pada hari 14, hari 21 akan jatuh pada
fase midluteal, kira-kira 1 minggu setelah ovulasi dan 1 mingggu sebelum onset
menstruasi berikutnya, tepat ketika progesteron mencapai puncak. Namunsiklus
yang normal adalah 25-35 haru dengan fase luteal 13-16 hari. Ovulasi dapat
terjadi pada hari 9 pada siklus 25 hari dan pada hari 22 pada siklus 35 hari. Jika
ovulasi terjadi pada hari ke 9 maka hari 21 akan jatuh 12 hari setelah ovulasi,
setelah konsentrasi progesteron mencapai puncak. Jika ovulasi terjadi pada hari 22
maka hari 21 terjadi sebelum ovulasi ketika kadar progesteron belum meningkat.
Jadi ketika konsentrasi progesteron digunakan untuk menilai ovulasi maka waktu

38

untuk memeriksa tergantung pada panjang siklus menstruasi, kira-kira 1 minggu


sebelum menstruasi berikutnya.
Kadar progesteron serum juga digunakan untuk menguji kualitas fungsi
luteal karena jumlah dan durasi produksi progesteron menunjukkan kapasitas
fungsional korpus luteum. Kadar progesteron serum fase midluteal yag rendah
merupakan kriteria untuk defisiensi atau defek fase luteal, yang merupakan bentuk
disfungsi ovulasi. Belum ada standar kadar progesteron yang menentukan fungsi
luteal yang normal. Kadar yag lebih dari 10 ng/ml merupakan satu standar yang
umum. Namun karena sekresi progesteron bersifat pulsatil maka konsentrasi antar
siklus maupun antar wanita bervariasi. Konsentrasi progesteron berfluktuasi
selama fase luteal tengah dan akhir, sangat berkorelasi dengan pulsasi pelepasan
LH. Sampling saat pagi hari dapat dilakukan karena kadar progestern paling tinggi
dan kurang fluktuatif. Konsentrasi progesteron serum yang diambil secara acak
sulit diinterpretasi dan hanya bermanfaat untuk mengetahui ovulasi.
Ringkasan
Pemeriksaan ovulasi adalah penting di dalam pemeriksaan infertilitas. Oleh
karena metode yang bervariasi dan mempunyai kelebihan dan kekurangan
masing-masing, maka pilihan metode tergantung pada informasi yang dibutuhkan.
Pada wanita dengan oligomenorhea atau amenorhea, tidak dibutuhkan
pemeriksaan formal untuk menegakkan diagnosis disfungsi ovulasi, namun biopsi
endometrium untuk menyingkirkan hiperplasia mungkin penting untuk dilakukan,
tergantung pada durasinya. Jika tujuan pemeriksaan adalah untuk memastikan
fungsi ovulasi seperti pada wanita dengan menstruasi yang teratur maka SBB atau
pengukuran konsentrasi progesteron dengan waktu yang tepat akan mencukupi.
Jika dibutuhkan prediksi ovulasi yang lebih akurat seperti pada pasangan dengan
hubungan yang jarang atau membutuhkan inseminasi dengan waktu yang telapt,
maka pengamatan ekskresi LH urine merupakan pilihan yang plaing sesuai dan
efektif. Pada pasangan yang membutuhkan inseminasi namun LH surge midsiklus
tidak terdeteksi maka perlu dilakukan pemeriksaan USG transvagina serial.
Metode yang dipilih harus dapat memenuhi kebutuhan masing-masing pasien.

39

Faktor Serviks: Abnormalitas Sperma dan Mukus


Serviks dan mukus serviks berperan dalam proses reproduksi. Mukus
serviks

menerima

atau

menangkap

sperma

dari

ejakulat

dan vagina,

menyingkirkan semua konstituen plasma semina dan menyaring sperma yang


abnormal, melakukan proses biokimia dan menjadi reservoir sperma, sehingga
memperpanjang survival dan interval antara senggama dan ovulasi. Mukus ini
memberikan respon terhadap hormon steroid. Estrogen meningkatkan produksi
mukus serviks dan ketika kadar estrigen meningkat dengan pembentukan folikular
yang progresif, mukus menjadi lebih banyak, jernih dan cair serta mudah
dipenetrasi oleh sperna, Progesteron menghambat produksi mukus serviks dan
menyebabkan mukus menjadi opak, viskus dan sulit dipenetrasi.
Uji postcoital atau tes Sims Huhner merupakan metode tradisional untuk
mengidentifikasi faktor infertilitas faktor serviks. Dilakukan pengambilan
spesimen mukus serviks (dengan aspirasi atau forsep polip nasal) sebelum waktu
oculasi dalam waktu beberapa jam setelah koitus (biasanya 2-12 jam). Diakukan
pemeriksaan makro dan mikroskopis untuk mengetahui sifat mukus dan menilai
jumlah dan motilitas sperma yang survive. Karakteristik fisik yang dinilai adalah
volume, pH, kejernihan, selularitas, viskositas (spinnbarkeit), dan salinitas
(ferning). Adanya sperma yang motil memastikan teknik koitus yang effektif dan
sperma yang bertahan hidup (densitas dan motilitas) dan fekundibilitas. Jika ada,
maka hasilnya positif.
Hasil yang negatif biasanya adalah waktu yang tidak tepat. Jika tidak
dilakukan segera sebelum ovulasi maka mukus serviks mungkin masih sedikit dan
kurang terstimulasi estrogen. Jika dilakukan setelah ovulasi maka mukus sedikit.
Biasanya uji postkoitus dilakukan sehari atau dua hari sebelum pergeseran SBB
midsiklus. Penjadwalan tes postkoitus sebelum atau pada haru Lh surge urine
tengah siklus pada siklus sebelumnya atau ketika USG transvagina menunjukkan

40

adanya folikel preovulasi akan membantu menentukan waktu yang sesuai.


Penyebab hasil negatif lain adalah servisitis, trauma glandula endoserviks akibat
terapi neoplasia intraepithelial serviks, terapi antiestrogen. Tidak adanya sperma
motil dalam mukus berkualitas baik adalah teknik koitus yang tidak efektif,
kegagalan ejakulasi, kualitas semen yang buruk dan penggunaan lubrikan koitus
yang bersifat spermisid. Sebaiknya dilakukan uji postkoitis kedua untuk
memastikan.
Faktor Uterus: Kelainan Anatomis dan Fungsional
Kelainan uterus jarang terjadi dan jarang menjadi penyebab infertilitas
namun harus selalu dipertimbangkan. Kelainan anatomis antara lain malformasi
kongenital,

leiomyoma,

adhesi

intrauterine,

polip

endometrium

(masih

diragukan). Kelainan fungsional yang mungkin berperan adalah endometritis


kronis.
Kelainan anatomis dan fungsional ini dapat mempengaruhi outcome
kehamilan. Ada tiga metode dasar untuk mengevaluasi rongga uterus yaitu
histerosalfingografi, USG transvagina standar atau USG transvagina dengan
kontras saline (sonohisterografi) dan histeroskopi. Masing-masing mempunyai
kelebihan dan kekurangan sendiri. HSG merupakan metode tradisional dan masih
banyak dipilih karena dapat menunjukkan patensi tuba. Namun untuk wanita
tanpa resiko penyakit tuba dan status tuba telah diketahui, USG transvagina
merupakan pilihan karena dapat menunjukkan patologi ovarium tanpa radiasi. Jika
gejala

menunjukkan

lesi

anatomis

rongga

uterus

(menorhagia,

bercak

intermenstruasi) atau detil rongga uterus penting diketahui namun status tuba
tidak penting (seperti pada wanita yang membutuhkan UVF karena infertilitas
laki-laki) maka sonohisterografi dapat dipilih. Histeroskopi merupakan metode
definitif namun tidak banyak memberikan kelebihan dibanding sonohisterografi
dan mungkin hanya dilakukan untuk terapi.
Histerosalfingografi
HSG dapat mengidentifikasi ukuran dan bentuk kavitas uterus, mengetahui
anomali perkembangan uterus dan juga myoma submukosa dan adhesi intrauterus

41

yang mempengaruhi reproduksi, namun kurang sensitif untuk polip. Injeksi media
kontras secara perlahan akan memaksimalkan deteksi.
Dalam mendeteksi patologi intrauterine, dibandingkan dengan histeroskopi,
sensitivitas HSG adalah 98% dan spesifisitas 35% dengan PPV 70% dan NPV
8%. Misdiagnosis disebabkan oleh kesulitan membedakan myoma submukosa
dari polip.
USG Transvagina dan Sonohisterografi
USG transvagina merupakan metode lain untuk mengetahui faktor uterus
pada wanita infertil. Transduser modern dengan frekuensi tinggi akan
menghasilkan gambar resolusi tinggi yang memungkinkan identifikasi kelainankelainan yang meskipun kecil namun penting dan mungkin terlewatkan. Probe
endovagina yang dimasukkan ke dalam forniks vagina, beberapa milimeter dari
organ reproduksi internal, akan menghasilkan pencitraan uterus dan ovarium yang
sangat mendetil; namun tuba fallopii yang normal tidak dapat terlihat.
Sonohisterografi yang menggunakan USG transvagina selama atau setelah
dimasukannya saline steril dengan salah satu kateter yang dirancang untuk tujuan
tersebut (disebut juga hidrosonografi dan sonografi infus saline) akan mampu
menggambarkan kontur kavitas dan dapat segera menunjukkan lesi intrauteri yang
kecil sekalipun.
Pada semua fase siklus, pertemuan antara permukaan myometrium dan
endometrium anterior dan posterior biasanya berbatas tegas. Pertemuan antara
kedua lapis endometrium itu sendiri (yang membatasi kavitas uteri) mungkin sulit
untuk segera teridentifikasi di dalam siklus dan selama fase sekresi namun akan
tampak dengan mudah pada fase proliferatif lanjut. Kedua lapisan endometrium
ini secara bersamaan akan membentuk strip endometrium yang mengalami
perubahan dalam ketebalan dan permukaannya selama siklus. Selama fase
proliferatif, endometrium relatif hipoekhoik dan semakin tebal sehingga
menghasilkan triple line yang prominen atau pola trilaminar. Selama fase
sekretoris, endometrium tumbuh sedikit atau tidak sama sekali dan bertambah
ekhodensitasnya, mungkin karena bertambahnya jaringan pembuluh darah
kumparan memberikan semakin banyak permukaan yang reflektif. Perubahan

42

sesuai siklus di dalam parameter aliran darah arteri uterina (kecepatan dan indeks
pulsatilitas) yag diukur dengan USG Doppler warna dan pulsed juga telah
dilaporkan. Namun demikian, variasi diurnal dan perbedaan antara kedua arteri
uterina (ipsilateral atau kontralateral terhadap folikel ovarium diurnal)
mempersulit interpretasi. Beberapa penelitian telah meneliti korelasi antara
ketebalan strip endometrium dan pola atau parameter aliran darah arteri uterina
dengan impantasi atau angka kehamilan pada siklus IVF dengan tujuan untuk
menentukan endometrium yang reseptif, namun data yang ada saat ini masih sulit
untuk disimpulkan dan tidak dapat diterapkan di dalam klinik infertilitas. Selain
itu, hanya ada sedikit data yang menunjukkan bahwa pengukuran seperti itu di
dalam siklus alamiah akan membantu dalam menentukan penyebab infertilitas
yang spesifik atau berkorelasi dengan prognosis. Oleh karena itu, di dalam
pemeriksaan diagnostik terhadap wanita infertil, pemeriksaan USG endometrium
tidak terbukti bermanfaat. Meskipun belum dapat digunakan untuk mengetahui
reseptivitas endometrium, USG transvaginal dapat mengidentifikasi patologi
uterus yang penting pada wanita infertil.
Sebagai identifikasi malformasi kongenital, USG transvagina dua dimensi
standar akan melengkapi HSG dan meningkatkan akurasi diagnostik dalam
membedakan uterus septata dan bikornus dengan mengidentifikasi bentuk kontur
fundus. Uterus septata menunjukkan fundus tunggal menyatu yang sepertinya
lebih besar dari normal dan kadang sedikit konkaf; uterus bikornus mempunyai
dua fundus yang benar-benar terpisah oleh celah di garis tengah dengan
kedalaman bervariasi namun berbatas tegas. Akurasi dari sonohisterografi sendiri
melebihi akurasi HSG, dengan mengidentifikasi kavitas uterus yang ganda dan
bentuk kontur fundus. Unit USG tiga dimensi yang lebih baru menghasilkan
bayangan dengan akurasi diagnostik yang sebanding dengan MRI atau kombinasi
laparoskopi dan histeroskopi (standar emas) namun belum tersedia secara luas.
Hasil-hasil penelitian yang mengevaluasi akurasi USG transvaginal untuk
mendeteksi myoma submukosa dan polip endometrium sebenarnya bervariasi,
namun secara umum baik USG transvaginal dua dimensi dan tiga dimensi lebih
sensitif dibanding HSG, dan baik sonohisterografi dua dimensi maupun tiga

43

dimensi mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang sebanding dengan


histeroskopi. Dengan USG standar, sering ditemukan bertambahnya ketebalan
endometrium fokal secara abnormal atau asimetri dalam ketebalan dua lapisan
endometrium. Sonohisterografi dengan jelas akan mengidentifikasi proyeksi
polipoid ke dalam kavitas yang terisi cairan. Untuk diagnosis adhesi intrauterine,
USG transvagina standar biasanya memiliki spesifisitas yang tinggi namun
sensitivitas yang bervariasi. Akurasi diagnostik dari sonohisterografi sebanding
dengan HSG, dengan sensitivitas yang relatif tinggi (kira-kira 75%) dan
spesifisitas (lebih dari 90%), nilai prediksi positif yang sedang (sekitar 50%) dan
nilai prediksi negatif yang sangat tinggi (di atas 95%). Jika tidak ada kontras
saline,

strip endometrium

yang

menyempit

sebagian

atau

diskontinyu

menunjukkan diagnosis adhesi. Pada penyakit yang ringan, sonohisterografi


biasanya menunjukkan berkas-berkas yang mobil, tipis, menjembatani kavitas
endometrium yang normalnya lentur, dan berkas-berkas yang lebih tebal, lebar
atau tidak ada rongga sama sekali jika penyakitnya berat.
Histeroskopi
Histeroskopi merupakan metode definitif untuk diagnosis dan terapi
patologi intrauterin yang dapat menyebabkan efek samping terhadap fertilitas.
Bedah endoskopik memungkinkan visualisasi ukuran, bentuk dan lokasi patologi
intrauterin secara langsung. Biasanya histeroskopi hanya dilakukan untuk terapi
penyakit yang diidentifikasi oleh metode lain yang kurang invasif. Namun
demikian, generasi terbaru histeroskopi operatif yang mempunyai diameter 2 atau
3 mm saat ini memungkinkan prosedur operatif diagnostik dan minor dapat
dilakukan di klinik. Patologi intrauterin mayor biasanya membutuhkan
histeroskopi operatif yang lebih tradisional dengan menggunakan instrumen
dengan kaliber yang lebih besar dan kemampuan yang lebih luas.
Malformasi Uterus Kongenital
Anomali perkembangan pada uterus telah lama dikaitkan dengan abortus
dan komplikasi obstetrik, namun kemampuan konsepsi biasanya tidak
terpengaruh. Apabila hal ini ditemukan selama pemeriksaan infertilitas, anomali
ini tidak boleh dianggap sebagai penyebab atau sebagai faktor yang penting dalam

44

infertilitas namun lebih sebagai hambatan yang harus dipertimbangkan ketika


memilih berbagai pilihan terapi setelah pemeriksaan selesai. Sebagai contoh,
terapi yang menyebabkan resiko kehamilan multifetal (superovulasi/IUI, IVF)
akan menyebabkan resiko yang lebih tinggi pada wanita dengan malformasi
uterus.
Uterus septata mungkin merupakan satu perkecualian untuk prinsip ini.
Laporan mengenai prevalensi uterus septata bervariasi di antara berbagai populasi
dan metode yang digunakan untuk diagnosis. Data-data yang terkumpul
menunjukkan bahwa prevalensi uterus septata adalah sama pada wanita infertil
dan fertil (sekitar 1%) namun secara signifikan lebih tinggi pada wanita dengan
abortus yang berulang (sekitar 3,5%). Di antara semua abnormalitas uterus
kongenital, uterus septata merupakan kelainan yang paling sering dan paling
sering menyebabkan kegagalan reproduksi dan komplikasi, antara lain abortus
pada trimester pertama dan kedua, kelahiran preterm, malpresentasi fetus,
retardasi

pertumbuhan

intrauterine,

dan

infertilitas.

Mekanisme

yang

menyebabkan masih belum banyak dipahami, tapi yang paling mungkin adalah
suplai darah septal yang buruk, sehingga menyebabkan efisiensi implantasi yang
rendah dan pertumbuhan embryo yang buruk serta inkompetensi serviks relatif.
Meskipun diagnosis uterus septata bukan merupakan indikasi apriori untuk
septoplasty, namun kemampuan reproduksi wanita dengan septum yang tidak
dikoreksi adalah rendah (80% abortus, 10% kelahiran preterm, 10% kelahiran
aterm), dan sebagian besar abortus terjadi pada trimester pertama (sekitar 65%)
dan membaik dengan drastis setelah koreksi dengan operasi (80% kelahiran aterm,
5% kelahiran preterm, 15% abortus). Dulu koreksi operasi untuk uterus septata
membutuhkan metroplasty abdominal, adhesi pascaoperasi yang beresiko
mengganggu fertilitas dan resiko SC untuk semua kehamilan berikutnya.
Metroplasty biasanya hanya dilakukan pada wanita dengan riwayat abortus
berulang di mana manfaatnya melebihi resiko. Kemajuan teknik histeroskopi
operatif yang modern telah mengubah hal ini. Septoplasty saat ini merupakan
prosedur endoskopi rawat jalan yang relatif singkat dan mudah dikerjakan dengan

45

morbiditas yang rendah (tidak ada resiko adhesi pelvis atau keharusan untuk SC)
dan pemulihan yang cepat. Indikasi operasi saat ini lebih bebas.
Pemeriksaan infertilitas yang sistematik akan mampu mengidentifikasi
wanita dengan uterus bersepta yang mempunyai masalah terapi. Dengan tingginya
probabilitas keberhasilan septoplasty histeroskopik dan morbiditas yang rendah,
koreksi operasi preemptif pada uterus bersepta sebaiknya dipertimbangkan,
khususnya pada wanita berusia di atas 35 tahun, wanita dengan infertilitas lama
yang sulit dijelaskan, wanita dengan indikasi lain untuk laparoskopi atau
histeroskopi dan wanita yang membutuhkan IVF atau terapi lain yang
menyebabkan resiko tinggi kehamilan multifetal dan abortus. Resiko relatif dan
manfaat septoplasty histeroskopik harus dibicarakan terlebih dulu, khususnya jika
indikasi untuk operasi tidak begitu jelas.
Leiomyoma Uterus
Bukti yang menunjukkan bahwa myoma uteri menurunkan fertilitas masih
lemah, sebagian besar diperoleh dari penelitian yang membandingkan prevalensi
myoma pada wanita fertil dan infertil atau kemampuan reproduksi wanita dengan
infertilitas sebelum dan sesudah myomektomi. Diduga bahwa myoma dapat
mempengaruhi fertilitas melalui mekanisme oklusi kornu oleh myoma yang
mengenai

atau

menekan

segmen

interstisial

tuba,

kontraktilitas

uterus

disfungsional yang mengganggu transpor ovum atau sperma atau implantasi


embryo, dan aliran darah regional yang buruk sehingga menyebabkan atenuasi
endometrium fokal atau ulserasi. Namun keraguan mengenai apakah myoma
memang menyebabkan gangguan fertilitas telah banyak diajukan, khususnya
dalam penelitian yang membandingkan outcome IVF pada wanita infertil dengan
myoma berbagai ukuran dan lokasi dengan wanita tanpa myoma. Bukti yang ada
menunjukkan bahwa kehamilan dan angka implantasi secara signifikan lebih
rendah pada wanita dengan myoma submukosa namun tidak pada myoma
subserosa atau intramural yang tidak mendesak atau mengganggu kavitas
endometrium, setidaknya jika ukuran rekatif sedang (kurang dari 5-7 cm).
Sejumlah laporan kasus telah menyebutkan hasil yang diperoleh dengan
myomektomi histeroskopik pada wanita infertil dengan dan tanpa gejala

46

menorhagia. Angka kehamilan berkisar antara 30-70% setelah myomektomi


histeroskopi, meskipun banyak wanita menerima terapi lain untuk faktor
infertilitas lain setelah operasi. Wanita yang lebih muda dengan muoma
intracavitas kecil yang tunggal dengan infertilitas yang tidak jelas penyebabnya
biasanya mempunyai prognosis terbaik. Hasil operasi lebih buruk pada wanita
dengan myoma multipel yang besar. Komplikasi myomektomi histeroskopi
relatifsedikit, resiko adhesi intrauterine pascaoperasi akan meningkat jika ukuran,
jumlah, dan luas myoma submukosa menyebar ke intramural.
Myomektomi abdominal untuk pegambilan myoma intramural dan
subserosal untuk mengatasi infertilitas telah banyak diperdebatkan karena
manfaatnya tidak jelas dan beresiko tinggi

(adhesi pascaoperasi dapat

mengurangi fertilitas dan membutuhkan SC). Data dari penelitian outcome IVF
pada wanita dengan dan tanpa myoma menunjukkan bahwa hal ini benar. Hasil
dari dua penelitian yang bertujuan menentukan faktor-faktor yang menentukan
outcome reproduksi setelah myomektomi abdominal juga menunjukkan tidak
adanya manfaat terapeutik dari myomektomi pada wanita infertil dengan myoma
subserosa dan intramural yang asimptomatik. Kedua penelitian menemukan
bahwa angka konsepsi kumulatif selama 2 tahun pascaoperasi terutama terkait
dengan durasi infertilitas dan ada atau tidak adanya faktor infertilitas yang lain,
namun tidak dengan ukuran atau lokasi myoma. Usia dan myoma posterior (resiko
adhesi pelvis dan adneksa lebih tinggi) dikaitkan dengan prognosis yang lebih
buruk dan gejala menorrhagia dikaitkan dengan prognosis yang lebih baik.
Myomektomi laparoskopok mempunyai manfaat yang sama dengan myomektomi
abdominal terbuka untuk wanita infertil dengan myoma subserosa dan intramural,
dengan morbiditas yang lebih rendah (kehilangan darah sedikit, waktu pemulihan,
dan resiko adhesi pascaoperasi lebih sedikit). Laporan kasus menunjukkan bahwa
resiko tinggi untuk komplikasi kehamilan (misalnya ruptur uterus) setelah
myomektomi laparoskopi dan bahwa selalu akan dibutuhkan SC tidaklah
beralasan. Namun bukti yang menunjukkan bahwa myoma subserosa dan
intramural tidak mempengaruhi infertilitas dan outcome reproduksi tidak
terpengaruh oleh terapi juga mengemukakan bahwa keamanan dan efektivitas

47

myomektomi laparoskopi dan abdominal terbuka dan wanita infertil memang


masih dipertanyakan. Jika prosedur tidak terbukti bermanfaat maka teknik ini
sebaiknya tidak dilakukan.
Indikasi intervensi operasi pada wanita infertil dengan myoma masih
diperdebatkan, sama dengan wanita yang menderita malformasi uterus kongenital.
Seperti uterus bersepta, myoma submukosa terkait dengan rendahnya probabilitas
keberhasilan kehamilan dan hampir selalu membutuhkan operasi histeroskopi
yang mempunyai morbiditas rendah dan menghindarkan resiko serta konsekuensi
operasi uterus abdominal, namun indikasinya lebih kuat karena manfaatnya
melebihi resiko. Sepertu uterus bikornus, myoma intramural dan subserosa tidak
banyak berpengaruh terhadap fertilitas dan tidak banyak membutuhkan terapi
operasi. Operasi biasanya tidak diindikasikan karena manfaatnya tidak terbukti
dan resiko serta akibatnya cukup signifikan. Namun myoma uterus lebih banyak
ditemukan daripada anomali uterus. Spektrum manifestasi klinisnya lebih luas dan
pilihan terapi juga lebih banyak.
Penatalaksanaan myoma uteri pada wanita infertil bersifat sangat
individual dan dipertimbangkan resiko, manfaat serta konsekuensinya untuk
berbagai operasi, juga usia, kondisi ovarium, riwayat reproduksi, durasi
infertilitas, faktor infertilitas lain dan terapi yang dibutuhkan, juga lokasi, ukuran
dan jumlah myoma. Jika myoma submukosa kecil dan tunggal, maka manfaat
myomektomi histeroskopi biasanya melebihi resiko. Namun jika besar dan
banyak, maka myomektomi histeroskopi akan membutuhkan keahlian teknis yang
lebih tinggi dan membawa resiko lebih besar, termasuk sterilitas akibat adhesi
intrauterine pascaoperasi. Jika myoma submukosa meluas masuk ke dalam
myometrium, maka pilihan terapi adalah myomektomi histeroskopi subtotal dan
myomektomi abdominal, keamanan myomektomi laparoskopi pada wanita yang
menginginkan anak masih kontroversial dan endoskopi tidak mengurangi resiko
adhesi pelvis atau SC. Jika myoma sedikit berpengaruh terhadap rongga uterus
maka keputusan untuk operasi bervariasi, tergantung pada usia dan durasi
infertilitas, faktor lain dan kerumotan operasi. Jika myoma tidak mendesak atau

48

mengganggu rongga uterus maka operasi myoma ukuran sedang biasanya tidak
diindikasikan jika tidak ada gejala yang membutuhkan terapi

Adhesi Intrauterine (Sindroma Asherman)


Gangguan menstruasi (hipomenorrhea, amenorrhea, dismenorrhea) dan
infertilitas merupakan gejala tersering pada wanita dengan adhesi intrauterine
(sinekia), lainnya adalah abortus berulang dan plasenta akreta. Mekanisme
patofisiologinya melibatkan endometrium yang sedikit mendapatkan vaskularisasi
akibat trauma. Trauma yang menyebabkan rusaknya endometrium dapat
menyebabkan adhesi dan uterus gravid khususnya rentan terhadap trauma. Pada
satu laporan kasus yang besar terhada 1800 wanita dengan adhesi uterus dengan
riwayat yang diketahui, hampir 90% mengalami terminasi kehamilan elektif
(67%), atau kuretasipostpartum (22%). Endometrium khususnya rentan antara
minggu kedua dan keempat postpartum dan resiko akan meningkat jika ada
endometritis. Kuretase untuk evakuasi abortus atau mola hidatidosa atau setelah
SC juga merupakan prosedur beresiko. Adhesi dapat muncil sebagai komplikasi
pascaoperasi setelah myomektomi abdominal atau histeroskopi untuk myoma
submukosa, metroplasty atau septoplasty, atau operasi uterus lain. Inflamasi atau
infeksi kronis, khususnya TB genital juga dapat menyebabkan adhesi, namun ini
jarang di AS. Hal ini perlu dipertimbangkan pada wanita yang baru saja pindah
dari negara dengan prevalensi tinggi.
Insidensiadhesi intrauterine belum jelas namun mungkin semakin
meningkat. Variasi geografis dalam prevalensi mungkin mencerminkan perbedaan
frekuensi aborsi induktif. Resiko adhesi pada terminasi kehamilan elektif lebih
rendah namun prevalensi dan beratnya adhesi dapat meningkat jika kejadiannya
meningkat. Hubungan temporal antara gejala dan pwristiwa, tidak dapat dilewati
sonde uterus dan tes progestin yang negatif pada wanita amenorrhea menunjukkan
diagnosis ini. Jika ada suspek maka perlu dilakukan HSG dan sonohisterograf
untuk memastikan. Metode ini serupa dan mempunyai sensitivits tinggi namun

49

spesifisitas rendah. Histeroskopi lebih akurat untuk menentukan lokasi dan luas
adhesi.
Histeroskopi pada wanita dengan adhesi dapat menunjukkan adanya
berkas adhesi sentral yang membentuk kolom atau jembatan antara dinding
kavitas yang bersebenrangan dengan basis yang lebar dan membagi kavitas uterus
menjadi ruang-ruang iregular yang kecil dengan ukuran dan bentuk yang
bervariasi. Adhesi pada tepi kavitas tampak sebagai tirai yang separuh ditarik
yang menutup kedua orifisium kornu. Tergantung pada komposisinya (mukosa,
fibromuskular, jaringan ikat), adhesi mungkin mempunyai permukaan seperti
endometrium, namun tidak pada adhesi jaringan ikat yang padat. Jika adhesi
mukosa mempunyai ganbaran serupa dengan jaringan normal di sekitarnya dan
mudah lisis, adhesi fibromuskular dan jaringan ikat lebih tebal dan biasanya
pucat, serta harus dipisahkan atau didiseksi secara mekanis. Ada banyak sistem
klasifikasi namun belum banyak yang diterima secara luas atau mempunyai nilai
prognostik. Akibatnya studi outcome sulit diinterpretasi dan dibandingkan.
Histeroskopi juga merupakan metode pilihan untuk terapi adhesi
intrauterine dan aman serta efektif dibanding kuret. Lisis adhesi dapat dilakukan
dengan menggunakan ujung histeroskop dibantu dengan tekanan dari infus atau
media distensi. Jika perlu dapat digunakan instrumen mekanis, eketrooperasi dan
laser dikombinasi dengan histeroskopi untuk melisis adhesi dengan visualisasi
langsung. Hasil terbaik akan diperoleh jika adhesi sentral dilisiskan dulu, bergerak
dari segmen uterus yang lebih rendah menuju fundus dan kemudian ke tepi
kavitas, sehingga secara bertahap mengembalikan kavitas uterus yang normal.
Jika penyakitnya berat dan bentuk anatomis terganggu maka dapat dilakukan USG
transabdominal atau laparoskopi secara bersamaan untuk membantu orientasi dan
mengurangi resiko perforasi.
Ada berbagai terapi adjuvan untuk membantu histeroskopi. Misalnya
misoprostol yang dimasukkan melalui vagina (200ug) untuk melunakkan serviks
sebelum operasi, sehingga mengurangi kebutuhan dilatasi mekanik dan insidensi
operasi.

Berbagai

barier

fisik

seperti

IUD

dan

kateter

balon

dapat

mempertahankan pemisahan antara berbagai lapisan endometrium yang

50

berseberangan selama interval pascaoperasi. Erapi pascaoperasi dengan estrogen


eksogen untuk memicu reepithelialisasi yang cepat dan mengurangi resiko adhesi
rekuren seringkali diusulkan namun belum terbukti efektif Pemberian bariar
adhesi bioresorbsi intrauterine yang sering digunakan dalam operasi reproduksi
pelvis masih diteliti.
Komplikasi adhesiolisis sama dnegan prosedur histeroskopi yang lain dan
masih jarang. Komplikasi akut antara lain perforasi uterus, overload cairan dan
gangguan elektrolit, perdarahan, komplikasi kronis antara lain adhesi rekuren dan
ruptur uterus pada kehamilan berikutnya.
Hasil operasi sebaiknya dievaluasi dengan HSG atau histeroskopi setelah
menstruasi. Jika berat maka mungkin dibutuhkan operasi kedua untuk melisis
adhesi persisten atau rekuren. Lavase tekanan dengan saline normal dengan USG
transvaginal juga dapat dilakukan untuk hidrodiseksi adhesi rekuren yang tidak
padat atau luas. Lisis dengan kateter balom dengan kontrol fluoroskopi dan
anestesi lokal atau sedasi IV juga bisa dilakukan. Menstruasi siklik normal
biasanya kembali pada 70-90% wanita. Keberhasilan pembuahan dan angka
persalinan aterm pascaoperasi berkisar antara 25-70%. Prognosis lebih baik pada
adhesi yang lebih sedikit.
Polip Endometrium
Meskipun myoma submukosa tidak mempengaruhi infertilitas namun
pengaruh polip masih belum jelas. Bukti-bukti dari penelitian kemampuan
reproduksi setelah polipektomi histeroskopi masih lemah. Namun pada satu
penelitian terhadap wanita infertil dengan polip endometrium yang tidak direseksi
(>2cm), outcome IVF pada wanita dengan polipektomi dan yang tidak ternyata
tidak berbeda. Prevalensi polip pada wanita infertil kira-kira 3-5%. Prevalensinya
lebih tinggi pada wanita dengan gejala (perdarahan abnormal) dan mungkin lebih
tinggi lagi pada wanita dengan endometriosis. Polip dapat diidentifikasi dnegan
HSG dan USG transvaginal. Sensitivitas sonohisterografi untuk diagnosis
endopolip endometrium lebih besar dibanding histeroskopi namun hasil positif
palsu cukup banyak, biasanya karena jendalan darah, plug mukus, dan tergoresnya
endometrium normal. Pemeriksaan yang teliti akan dapat mengidentifikasi lesi

51

polip pada wanita infertil, namun sulit dibedakan dengan myoma submukosa
kecuali dengan histeroskopi. Bukti yang ada tidak dapat memastikan terapi untuk
wanita infertil dengan polip endometrium. Namun wanita dengan gejala dapat
diterapi dengan histeroskopi. Histeroskopi juga sebaiknya dilakukan pada wanita
asimtpmatik dengan lesi pilip yang besar atau polip kecil yang tidak dapat
dibedakan. Pada polip yang kecil dan jelas, terapi mungkin tidak perlu dilakukan.
Endometritis Kronis
Endometritis kronis biasanya merupakan penyebab yang jelas dari
kegagalan reproduksi namun sangat jarang. Prevalensi pada wanita infertil tidak
diketahui. Endometritis subklinis kronis relatif banyak ditemukan pada wanita
dengan infeksi traktus genitalia bawah simtomatik, antara lain servisitis dan
vaginosis bakterial yang cukup sering ditemukan. Servisitis mkopurulen banyak
disebabkan oleh chalmydia C. trachomatis dan mycoplasma M. genitalium, dan
keduanya terkait dnegan endometritis kronis yang berperan dalam patofisilogi
infertilitas faktor tuba. Dibutuhkan evaluasi dan terapi lebih lanjut pada wnaita
infertil dengan servisitis klinis, vaginosis bakterial kronik atau rekuren atau gejala
lain yang menunjukkan infeksi pelvis.
Faktor Tuba: Oklusi Tuba dan Adhesi Adneksa
Patologi tuba dan peritoneum merupakan salah satu penyebab utama
infertilitas dan merupakan diagnosis utama pada 30-35% pasangan infertil.
Riwayat PID, abortus septik, apendiks ruptur, operasi tuba atau kehamilan ektopik
menunjukkan kemungkinan rusaknya tuba. PID merupakan penyebab utama
infertlitas tuba dan kehamilan ektopik. Resiko infertilitas meningkat dengan
jumlah dan beratnya infeksi pelvis. Insidensinya adalah 10-12% setelah satu
episode, 23-35% setelah dua episode, 54-75% setelah infeksi pelvis. Infeksi
ascendens yang silent merupakan penyebab paling mungkin, karena wanita
dengan penyakit tuba atau adhesi pelvis seringkali jarang mempunyai riwayat
infeksi. Wanita seperti ini akan mengalami peningkatan antibodi Chlamiydia yang
menunjukkan infeksi sebelumnya. Penyebab infertilitas tuba yang lain adalah
inflamasi akibat endometriosis, inflammatory bowel disease atau trauma operasi.

52

Mekanisme yang menyebabkan infertilitas tuba adalah kelainan anatomis yang


mencehag menyatunya sperma dan ovum. Obstruksi tuba proksimal mmebuat
sperma tidak dapat mencapai tuba fallopii distal tempat fertilisasi. Oklusi tuba
distal menyebabkan ovum tidak dapat ditangkap dari ovarium. Obstruksi tuba
distal mempunyai spektrum dari ringan (aglutinasi fimbria) sampai sedang
(fimosis fimbria) atau berat (obstruksi komplit). Efisiensi penangkapan ovum
berbanding terbalik dengan beratnya penyakit. Kerusakan inflamatif terhadap
arsitektur mukosa tuba internal tidak dapat dideteksi namun dapat mengganggu
fungsi sperma atau transpor embryo.
HSG dan laparoskopi merupakan metode klasik untuk evaluasi patensi
tuba pada wanita infertil dan memberikan informasi yang saling melengkapi. HSG
menggambarkan kavitas uterus dan arsitektur internal lumen tuba. Laparoskopi
memberikan informasi terinci mengenai anatomi pelvis seperti adhesi,
endometriosis dan patologi uterus. HSG dilakukan dalam klinik rawat jalan,
murah, dan mempunyai nilai terapi. Namun seringkali tidak nyaman, nyeri,
menggunakan paparan radiasi dan menimbulkan komplikasi infeksi yang dapat
mengganggu fertilitas. Laparoskopi lebih invasif, membutuhkan anestesi general,
tidak memberikan informasi mnegenai kavitas uterus kecuali jika dilakukan
bersama histeroskopi, dan komplikasi antara lain trauma terhadap usus atau
pembuluh darah. Sonohisterosalfingografi sama dengan HSG yaitu menggunakan
USG dan saline steril dan bukan fluoroskopi dan media kontras teriodinisasi, dan
dapat digunakan untuk menilai tuba. Uji antibodi Chlamydia merupakan metode
yang tidak langsung untuk menilai faktor tuba yang relatf murah dan sedikit
invasif, serta banyak

digunakan untuk skrining wanita infertil

untuk

mengidentifikasi wanita dengan resiko penyakit tuba dan membantu apakah HSG
atau laparoskopi akan memberikan informasi untuk terapi.
Histerosalfingografi (HSG)
HSG paling baik dilakukan selama interval 2-5 hari setelah akhir
menstruasi untuk meminimalisir resiko infeksi, menghindarkan gangguan darah
dan jendalan uterus mencegah dilakukannya HSG dalam siklus konsepsi. Assay
yang paling sensitif sekalipun sulit untuk mengetahui apakah HSG dilakukan

53

dalam fase luteal. HSg tidak membutuhkan persiapan khusus, namun OAINS 30
menit sebelum HSG dapat mengurangi ketidaknyamanan. Komplikasi infeksius
jarang terjadi meskipun pada wanita beresiko tinggi, Terapi antibiotik profilaktik
dapat dilakukan karena adanya resiko infeksi pascaprosedur. Doksiklin 100 mg
dua kali sehari selama 5 hari, diberikan 1-2 hari sebelum HSG sangatlah penting
jika ada suspek penyakit tuba dan khususnya diindikasikan jika HSG
menunjukkan adanya obstruksi tubal distal karena resiko infeksi mencapai 10%.
HSG sebaiknya dihindarkan jika ada PID akut untuk meminimalisir infeksi.
Teknik dasar HSG mudah. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan dengan fluoroskipi
intensifikasi

pencitraan

dengan

radiograf

yang

sedikit.

HSG

biasanya

membutuhkan 20-30 menit waktu fluoroskopi dengna paparan radiasi minimal


dan resiko rendah. Hanya dibutuhkan 3 film dasar (satu film untuk kontur uterus
dan patensi tuba, film pascapemeriksaan untuk mendeteksi area lokulasi kontras).
Film tambahan mungkin diperlukan jika uterus yang menutupi tuba atau kavitas
uterus tampak normal. Kontras dapat dimasukkan dengan kanila akornus logam
atau dengan balon kateter. Balon kateter akan membutuhkan waktu fluorosopi
yang lebih singkat, volume kontras lebih sedikit, lebih sedikit nyeri dan mudah.
Injeksi kontras perlahan-lahan (3-10 mL) akan membantu mengurangi nyeri.
Masih diperdebatkan apakah digunakan media kontras yang larut minyak
atau air. Media yang larut minyak dikatakan terlalu kental sehingga sulit
menunjukkan arsitektur tuba, sulit menyebar dalam pelvis sehingga sulit
mendeteksi adhesi adneksa dan mempunyai resiko yang signifikan (reaksi
granuloma, intravasasi dan emboli). Namun dikatakan bahwa komplikasikomplikasi ini jarang terjadi, bahkan media yang larut minyak dapat
meningkatkan fertilitas dalam beberapa bulan setelah HSG pada wanita dengan
tuba yang paten. Meta analisis dengan 6 RCT dan 6 non RCT menunjukkan
bahwa media yang larut minyak dapat memberikan manfaat terapeutik, di mana
angka kehamilan setelah HSG meningkat. Namun RCT sleanjutnya menunjukkan
tidak adanya perbedaan dalam angka kehamilan antara wanita dengan media larut
air, larut minyak, dan keduanya bisa dipilih.

54

HSG dapat mengidentifikasi patensi tuba bilateral (60-75%) atau oklusi


tuba unilateral (15-25%) atau bilateral (15-25%). Terdapat hasil negatif palsu
(bukan obstruksi sejati) maupun positif palsu (bukan patensi sejati), namun
negatif palsu lebih banyak. Injeksi kontras dapat menyebabkan spasme kornu
(kontraksi uterus yang menutup segmen interstisial sementara dan mencegah
perfusi distal) yang dapat dikira oklusi tuba proksimal. HSG dapat menunjukkan
patensi tuba unilateral dan oklusi proksimal kontralateral. Meskipun pengamatan
menunjukkan obstruksi proksimal unilateral sejati, kateter untuk memasukkan
kontras melalui tempat dengan resistensi rendah merupakan penyebab paling
utama, kadang tuba memang tidak tervisualisasikan. HSG positif palisu dapat
terjadi jika kontras masuk ke dalam hidrosalfing yang terdilatasi lebar dan latit
sehingga menghasilkan gambaran seperti patensi tuba. Adhesi peritubular di
sekeliling tuba yang paten dan normal dapat mensekuestrasi kontras ketika keluar
dari tuba, sehingga menghasilkan lokulasi fokal yang dapat dikira obstruksi distal.
Dibandingkan dengan laparoskopi (baku emas) sebagai uji untuk patensi tuba,
HSG mempunyai sensitivitas sedang (kemampuan mendeteksi patensi tuba jika
tuba terbuka) namun spesifisitas tinggi (akurasi ketika patensi terdeteksi) pada
populasi infertil. Implikasi klinisnya adalah bahwa ketika HSG menemukan
onstruksi, masih ada probabilitas yang besar (sekitar 60%) bahwa tuba sebenarnya
terbuka, namun jika HSG menunjukkan adanya patensi, hanya ada sedikit
kemungkinan bahwa tuba sebenarnya mengalami oklusi (sekitar 5%). Namun ada
variabilitas yang penting dalam interpretasi HSG antara pengamat. Akibatnya jika
dokter bukan orang yang melakukan HSG maka interpretasi harus secermat
mungkin sebelum memberikan terapi. Probabilitas kehamilan tanpa terapi akan
paling baik jika HSG menemukan patensi tuba bilateral, namun lebih rendah jika
tidak ada tuba yang tampak terbuka, dan hanya sedikit lebih rendah jika satu tuba
terbuka. Hal ini harus diingat saat mempertimbangkan laparoskopi.
Laparoskopi
Laparoskopi

biasanya

merupakan

pemeriksaan

definitif

untuk

mengevaluasi faktor tuba. Penjadwalan, penggunaan antibiotik dan resiko


komplikasi infeksi sama dengan HSG. Laparoskopi diagnostik biasanya dilakukan

55

dengan anestesi umum namun biasa juga dengan sedasi umum dan anestesi lokal.
Laparoskopi operatif untuk terapi biasanya membutuhkan anestesi umum.
Inspeksi sistematik dan menyeluruh terhadap pelvis akan dapat menentukan lokasi
dan luas penyakit. Pemeriksaan sebaiknya meliputi uterus, cul de sac anterior dan
posterior, permukaan ovarium dan fossa dan tuba fallopii. Injeksi pewarna biru
melalui kanula yang disambung dengan manipulator serviks atau intrauterin akan
dapat mengevaluasi patensi tuba (khromotubasi). Pewarna karmine indigo lebih
dipilih dibanding metilen biru, yang jarang menyebabkan methemoglobinemia
akut; individu dengan defisiensi G6PD terutama beresiko terhadap komplikasi ini.
Seperti pada HSG, injeksi cairan dengan lambat akan mengurangi insidensi hasil
negatig palsu. Temuan operatif sebaiknya didokumentasikan untuk membantu
konsultasi dan referensi lebih lanjut.
Laparoskpi memberikan tampilan panororamik anatomi reproduksi pelvis
dan tampilan uterus yang diperbesar, termasuk ovarium, tuba dan permukaan
peritoneum. Laparoskopi juga dapat mengidentifikasi penyakit tuba oklusi distal
(aglutinasi fimbria, fimosis), adhesi pelvis atau adneksa dan endometriosis yang
dapat mempengaruhi fertilitas dan tidak dapat diidentfikasi dengan HSG.
Laparoskopi juga memberikan peluang untuk terapi pada saat diagnosis. Lisis
adhesi fokal dan ablasi atau eksisi endometriosis superfisial dapat dilakukan
dengan mudah. Eksisi endometrioma ovarium, lisis adhesi yang padat atau
ekstensif yang mengenai kul de sak atau usus, eksisi atau ablasi endometriosis
yang sangat luas atau dalam dan fimbrioplastu atau salfingoneostomi akan
membutuhkan ketrampilan dan pengalaman yang lebih tinggi.
Meskipun laparoskopi merupakan prediktor fertilitas yang lebih baik dibanding
HSG, namun bukanlah uji yang sempurna untuk diagnosis patologi tuba.
Khormotubasi intraoperatif juga dapat menghaislkan hasil negatif palsu seperti
HSG. Hasil positif palsu pada laparoskopi jarang terjadi namun dapat terjadi pada
kasus di mana tuba fallopii tertutup oleh adhesi. Meskipun obstruksi tuba yang
terdeteksi dengan HSG jarang dikonfirmasikan pada laparoskopi namun patensi
bisa dipastikan. Laparoskopi juga merupakan prediktor kehamilan tanpa terapi
yang lebih baik daripada HSG karena informasinya lebih akurat. Prognosis akan

56

sangat baik jika kedua tuba fallopii paten, namun buruk jika keduanya terblok dan
sedang jika satu tuba saja yang terbuka. Oleh karena banyak obstruksi yang
terdeteksi dengan HSG bukanlah obstruksi sejati, sedangkan semua obstruksi
yang terdeteksi pada laparoskopi adalah obstruksi yang sebenarnya, maka
prognosis akibat oklusi tuba uni dan bilateral pada laparoskopi lebih buruk
daripada HSG.
Sonohisterosalfingografi
Sonohisterografi mempunyai sensitivitas yang lebih tinggi dibnadig HSG
untuk

mendeteksi

patologi

intrauterine.

Modifikasinya

yaitu

sonohisterosalfingografi merupakan sarana untuk mengevaluasi patensi tuba,


seperti HSG. Alat ini mengamati akumulasi cairan di dalam cul de sac sebagai
indikasi patensi tuba. Namun teknik ini tidak memberikan informasi mengenai
anatomi tuba dan tidak menentukan apakah satu atau kedua tuba yag teroklusi.
Suatu media kontras sonografik yang baru mengandung surfaktan yang
menghasilkan gelembung mikro, jika distimulasi dengan USG. Ini meningkatkan
sensitivitas untuk mendeteksi patensi tuba namun pencitraan dua dimensi standar
di

dalam

bidang

sagital

dan

transversal

masih

tidak

cukup

untuk

memvisualisasikan anatomi tuba tiga dimensi.


Kemajuan teknologis di dalam USG telah meningkatkan kemampuan
sonohisterosalfingografi; USG transvagina tiga dimensi telah memberikan sarana
untuk memperoleh pencitraan koronal dan teknik Doppler telah meningkatkan
visualisasi pergerakan cairan melalui tuba fallopii. Namun dengan kemajuankemajuan inipun, tampaknya sonohisterosalfingografi belum dapat menggantikan
HSG. Penelitian yang membandingkan hasil sonohisterosalfingogradi dan HSG
atau laparoskopi telah menghasilkan temuan yang tidak konsisten. Tuba fallopii
masih sulit dicitrakan dengan USG, meskipun dengan USG transvagina tiga
dimensi dan sonohisterosalfingografi mempunyai kekurangan.
Hidrolapararoskopi dan Fertiloskopi Transvagina
Hidrolaparoskopi

transvagina

merupakan

alternatif

lain

untuk

mengevaluasi faktoir tuba pada wanita infertil. Hidrolaparoskopi berasal dari


teknik lama untuk kuldoskopi dan menggunakan infus saline (200 ml) ke dalam

57

pelvis dengan jarum Veres yang dimasukkan melalui forniks bagina posterior
dengan anestesi lokal, diikuti dengan instrumen endoskopi kaliber kecil yang
khusus dirancang (sudut pandang 30 derajat) ke dalam cul de sac. Fertiloskopi
merupakan modifikasi lanjut hidrolaparoskopi yang menggunakan endoskopi
balun intrauterine yang khusus didesain, biasa digunakan untuk histeroskopi dan
khromotubasi, menggunakan endoskopi pelvis untuk menilai patensi tuba dan
melakukan salfingoskopi. Pengalaman awal dengan teknik-teknik ini di Eropa
telah menunjukkan feasibilitas fertiloskopi dan korelasi yang kuat dengan hasil
yang diperoleh dengan laparoskopi. Probe bipolar khusus yang dimasukkan
melalui chanel operasi memungkinkan terapi endometriosis ringan, lisis adhes
minor dan rosedur pengeboran ovarium., namun laparoskopi tradisional
dibutuhkan untuk terapi penyakit yang lebih berat.
Fertiloskopi merupakan alternatif begitu invasif dibandingkan laparoskopi
dan histeroskopi jika tidak ada suspek patlogi. Namun peranannya masih belum
jelas. Patologi intrauterine dan ovarium biasanya dapat dideteksi dengan metode
yang lebih sederhana (USG transvagina, sonohisterografi, HSG). Sebagai tes
patensi tuba, HSG seringkali tidak akurat jika ada obstruksi tuba, namun jarang
tidak akurat jika ada patensi. Pada populasi infrtil, jika HSG menunjukkan
blokade tuba, kemungkinan bahwa laparoskopi akan menunjukkan patensi adalah
62%. Namun jika HSG menunjukkan patensi, probabilitas bahwa laparoskopi
akan menunjukkan obstruksi hanya 6%. Jadi pada wanita dengan USG
transvagina yang abnrmal, maka onohisterografi, atau HSG, fertiloskopi tidak
banyak dipilih, khususnyajika hasilnya normal. Untuk terapi juga tidak banyak
bermanfaat. Pertanyaan yang paling relevan bukanlah apakah fertilosopi dapat
menggantikan laparoskopi tradisional di dalam pemeriksaan wanita infertil
dengan resiko faktor tuba yang rendah, namun apakah dibutuhkan pemeriksaan
endoskop sebelum terapi pada wanita dengan pemeriksaan fisik yang normal,
USG transvagina atau sonohisterografi dan HSG.
Tes Antibodi Chlamydia
Sejumla penelitian menemukan bahwa tes antibodi chlamydia sama
akuratnya dengan HSG atau laparoskopi untuk mendeteksi patologi tuba,

58

termasuk oklusi tuba, hidrosalfing dan adhesi pelvis. Ini tergantung pada
metodologi yang digunakan, misalnya imunofluoresensi, mikroimunfluoresensi,
ELISA, imunoperoksidase namun juga sumber angtigen yang digunakan.
Beberapa metode ada yang sangat spesifik utuk C. trachomatis namun ada yang
tidak. Uji antibodi Chlamydia yang spesifik untuk C. trachomatis merupakan
yang terbaik untuk mendeteksi patologi tuba. Uji antibodi chlamydia yang cepat
dan sangat sensitif namun tidak spesifik adalah yang paling baik untuk skrining,
tidakmembutuhkan banya tenaga.
Nilai prediksi te diagnostik tergantung pada pevalensi dalam populasi. Jika
prevalensi sangat tinggi atau sangat rendah maka uji diagnostik tidak banyak
ermanfat karena outcome tidak mempengaruhi penataaksanaan dan positif palsu
(jika prevalensi sangat rendah) atau negatif palsu (jika prevalensi sangat tinggi)
sering ditemukan. Uji diagnostik sangat bermanfaat jika prevalensi sedang.
Peranan uji antibodi chlamydia di dalam pemeriksaan wanita infertil belum pasti,
namun mungkin bemanfaat sebagai pretest untuk memilih wanita yan embutuhkan
pemerksaan yag lebih dini atau lebih terinci. Jika digunaan sebagai alat skrining,ts
yang positif mungkin menunjukkan adanya kemungkinan faktor tuba yang terkait
dengan riwayat infeksi chlamydia Meskipun laparoskopi berdasar hasil uji
antibodi mungkin tidak perlu dilakukan untuk semua wanita infertil, namun
mungkin akan efektif jika dilakukan pada wanita dengan infertilitas yang tidak
jelas (termasuk HSG normal, mengidentifikasi wanita yang paling mungkin
menderita faktor tuba sebelum memperoleh terapi empiris yang mahal.
Penggunaan tes antibodi membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Operasi Tuba pada Era ART
Untuk wanita dengan infertilitas faktor tuba, pilihan terapi adakah operasi
rekonstruksi dan IVF. Selama dua dekade terakhir, keberhasilan IVF telah
meningkat (10% menjadi 30%)sehingga menjadi pilihan untuk sebagian besar
infertilitas faktor tuba khususnya untuk pasangan dengan faktr infertilitas atau
penakit tuba berat. Namun operasi dapat menjadi pilihan bagi situasi tertentu atau
pasangan dengan pertimbangan keagamaan.

59

Alasan untuk sterilisasi yang paling banyak adalah wanita muda, pasoen
yang tidak mengetahui pilihan kontrasepsi yang lain, perbahan tujuan KB,
pengaruh dari pihak lain dan sterilisasi postpartum atau setelah aborsi. Untuk
wanita yang ingi memperoleh anak lagi, reanastomosis tuba merupakan pilihan
yang baik. HS preoperasi beguna untuk menilai segmen proksimal dan
memastikan jenis sterilisasi Laparoskopi kadang-kadang berguna untuk menilai
feasibilitas teknik operasi jika jenis prosedur belum diketahui dan jika ada suspek
bahwa segmen tuba ada yang rusak atau ada bukti patologi pelvis, .
Prognosis

keberhasilan

kehamilan

setelah

sterilisasi

mikroperasi

dipulihkan berhubungan dengan usia, jenis dan lokasi prosedur, dan panjang tuba
fallopi yang direparasi. Wanita muda, ang menjalani sterilisasi dengan cincin dan
penjepit dan wanita tanpa faktor infertilitas lain mempunyai prognosis terbaik.
Keberhasilan lebih rendah pada wanita tua, sterilisasi kauter dan mempunyai
faktor infertilitas lain. Angka kehamilan kumulatif sama dengan jika kedua tuba
dioperasi, namun waktu konsepsi lebih lama setelah reanastomosis unilateral.
Angka konsepsi biasanya 45-82%. Resiko kehamilan ektopik adalah 1-7% dan
lebih tinggi pada anastomosis ishumus-ampula dibanding setelah isthmus-isthmus.
Di antara semua terapi opersi untuk infertilitas faktor tuba, pemulihan sterilisasi
mempunyai fekundibilitas pascaoperas yang paling tinggi. Prosedur ini mungkin
baik bagi pasangan yang menginginkan lebih dari satu kehailan atau menolak IVF.
Keuntungannya adalah konsepsi alamiah dan menghindari esiko akibat
goadotropin eksogen, sementara kerugiannya adalah resiko kehamilan ektopik,
kebutuhan kontrasepsi dan laparotomi.
Penyakit tubal distal mempunyai spekyrum yang luas, dari lpatan fimbria
adheren sampai fimosis atau obstruksi komplit dengan hidrosalfing. HSG akan
dapat mengidentifikasinya namu tidak dapat mngidentifikasi derajat penyakit
yang rndah jika tuba masih paten. Laparoskopi merupakan alat diagnosis definitif
untuk penakit tuba oklusif dan juga sebagai terapi. Fimbriolisis adalah pemisahan
fimbria, fimbrioplastu adalah koresi fimbria yang fimotik namun paten,
sedangkan neosalpingotomi adalah embukaan kembali tuba yang obstruksi komlit.
Outcome tergantung pada beratnya penyakit. Luas dan sifat adhesi tuba ovarium,

60

ketebalan tuba dan kondisi arsitektur mukosa ampula tuba mempengaruhi


rognosis. Untuk bentuk yang ringan, angka kehamilan dapat mencapai 50%
setelah operasi. Penyakit yang berat menghasilkan angka 10-35% dan resiko
kehamilan ektopik lebih tinggi. Patensi tuba ascaoperasi menunjukkan hsil yang
lebih baik dibandng angka kehamilan karena regenerasi mukosa amban dan
kadang gagal. Sebagian besar kehamilan terjadi setelah 2 tahun pertama. Pada
wania muda dengan penyakit oklusi tuba distal, operasi laparoskopi merupakan
alternatif IVF, namn jika penyakitnya berat atau kehamilan tidak terjadi setelah
tahun pertama, IVF dapat dipilih. Untuk wanita yang lebih tua dengan penyakit
tuba distal berbagai derajat, IVF biasanya merupakan pilihan pertama oleh karena
fekundibilitas siklus setelah operasi tuba distal rendah (1-2%), waktu terbatas dan
IVF lebih efisien dan efektif.
Oleh karena IVF semakin banyak berhasil maka operasi reonstrukti
banyak menurun, namun wanita dengan penyait tuba dista yang beral masih dapat
dioperasi (salfingektomi) karena hidrosalfing yang besar dapat mempengaruhi
outcome IVF. Meta analisis menunjukkan bahwa kecendeungan untuk IVF yang
berhasil pada wanita engan hidrosalfing berkurang sebayak 50%, dan outcome
IVF pada wanitasetelah salfingektomi sama denga wanita tanpa hidrosalfing, dan
bahwa salfingektomi sebaiknya dilakukan sebelum IVF pada wanita dengan
hidrosalfing. Mekanismenya adalah interferens mekanis pada implantasi dan
cairan hidrosalfing yang toksik ada saat pengambilan osit untuk IVF,
salfingostomi.
Oklusi tuba proksimal adalah seitar 1/3 dari semua obsruksi tuba pada
HSG, namun sebagian besar bukan bstruksi sebenarnya (20-40%). Laparoskoi
biasanya perlu untuk menegakkan diagnosis yang akurat dan terapi penyakit
tuboovarii pada 20% wanita. Patofisiologi penyakt tuba proksimal tidak
dimengerti, sebagian besar disebaban infeksi atau nflamasi kroniis, juga plug
mukus dan endometriosis intratuba. Pfibrosis lumen obliteratif merupaan yang
paling seing terjadi, diikuti dengan salpingitis isthmica nodsa, inflamasi kronis
dan endometriosis intratuba. Reseksi tuba segmental mikrooperasi dan
reanastomosis meupakan terapi untuk obstruksi tuba proksimal, angka kehamilan

61

adalah antara 50-60%. Fekundibilitas siklus pascaoperasi adalah seitar 5-6%


namun tergantung paa penyebab. Angka reoklusi cukup tinggi. Kanulasi tuba
proksimal dengan metode yang diarahkan histeroskopi atau fluoroskopi
merupakan plihan, morbiditasnya rendah dan murah, Sistem kateter khusus
membutuhkan training dan engalaman namun memungkinkan diagnosis pastu
ditegakkan dan dapat sebagai trapi. Diagnosis ada oklusi tuba proksimal sejati
sebaiknya ditegakkan untuk menghindarkan operasi atau IVF yang tidak perlu.
Penyakit tuba bipolar menimbulkan obstruksi tuba distal dan proksimal. Angka
keberhslan pada operasi sangat buruk, sehingga IVF merupakan pilihan utama.
Kesimpulan
Oleh karena publikasi yang terbatas pada ahli bedah terbaik, maka serial
kasus operasi juga memberikan estimasi outcome yang terbaik. Namn kemajuan
ART telah meningkatkan outcome IVF sehingga melebihi outcome operasi
rekonstruksi tuba. Terapi operasi untuk infertilitas faktor tuba sekarang sudah
banyak ditinggalkan. Operasi terbuka banyak digantikan dengan laparskopi,
sedangkan ART menggantikan terapi yang rumit. Operasi tuba merupakan pilihan
terapi bagi wanita yang meginginkan kehamilan setelah sterilisasi tuba, untuk
pasien dengan penyakit tuba distal yang ringan, (khususnya yang muda)dan
wanita dengan oklusi tuba proksimal yang nyata. Untuk semua situasi, IVF
merupakan pilihan yang paling masuk akal. Salpingektomi juga merupakan
adjuvan yang bik untuk IVF pada wanita dengan hidrsalfing yang besar,
Infertilitas yang Tidak Diketahui Penyebabnya
Infertilitas yang tidak diketahui penyebabnya ditegakkan jika semua eleen
standar pemeriksaan infertilitas memberikan hasil normal. Insidensinya adalah 1030% di antara populasi infertil. Diagnosis ini setidaknya meliputi analisis semen
yang normal, ovulasi ada, kavitas uterus yang normal dan patensi tuba bilateral.
Pada pasangan dengan infertilitas ini, laparoskopi masih diperdebatkan dan
sebaiknya dilakukan USG transvagina sebagai uji skrining untuk mendeteksi
patologi ovarium (endometrioma) dan uterus (myoma, polip).

62

Terapi untuk Infertilitas yang Tidak Diketahui Penyebabnya


Penyebab infertilitas ini masih tidak diketahui. Aibatnya semua terapi
bersifat empiris dan dirancang untuk menungkatkan densitas gamet, dengan
menghsilkan telur dan serma pada waktu yang tepat. Terapi yang direomendasikan
adalah IUI, stimulasi ovarium (klomifen sitrat, gonadotropin eksogen) untuk
mencapai superovulasi, superoulasi dengan IUI dan ART. Sayangnya belum ada
RCT untuk mengevaluasi hal ini.
Banyak penelitian yang menelaskan hasil terapi kombinasi emiris dengan
gonadotropin dan IUI; fekundibilitas siklus ira-kir 17%. Dengan memperkirakan
bawa fekundibilitas siklus pada pasanga yag tidak diterapi adalah 3%,, 17%
memperkirakan efek terapi yang relatif luas (sekitar 14%), menghasilkan satu
kehamilan tambahan untuk setiap 8 siklus terapi gonadotropin/IUI. Dalam
penelitian lain, efek terapi ini tidak begitu besar (7%), yaitu satu kehamilan
tambahan untuk setiap 15 siklus gonadotropin/IUI. Namun sampai 4 siklus terapi,
angka kumulatif kemhamilan (33%) dengan gonadotropin/IUI secara signifikan
lebih tinggi dibanding gonadotropin saja (19%), IUI saja (18%) dan inseminasi
intraserviks saja (10%). Di atas ambang batas normal, perbedaan dalam jumlah
dan pergerakan sperma yang normal tidak banyak berpengaruh terhadap
keberhasilan siklus terapi stimulasi/IUI. Di bawah ambang batas normal,
fekunditas siklus dan angka kelahiran bayi hidup secara signifikan lebih rendah.
Selain itu, dua inseminasi yang terpisah tidak memberikan keuntungan yang jelas
dibanding IUI tunggal. Fekunditas siklus menurun setelah 3 siklus terapi dengan
gonadotropin/IUI, menunjukkan bahwa pasangan yang gagal konsepsi paling baik
diterapi ART daripada siklus tambahan superovulasi/IUI.
Observasi dalam siklus IUI seringkali menunjukkan penyebab infertilitas
karena prosedur ini mencakup banyak variabel yang tidak diketahui. Sperma dan
oosit akan digabung. Dalam siklus IVF, fertilisasi dan perkembangan embryonik
dini dapat diamati da transfer embryo lansung akan memastikan bahwa ambryo
mencapai kavitas endometrium. Meskipun komposisi kromosom embryo dan
mekanisme yang mnegatur reseptivitas endometrium dan implantasi merupakan

63

faktor yang ada, namun sebenarnya masih banyak yag belum diketahui. ART
banyak dianjurkan sebagai terapi infertilitas yang tidak diketahui. Di antara 18
penelitian IVF atau transfer gamet intrafallopii (GIFT) padapasangan dengan
infertilitas, angka kehamilan rata-rata setelah UVF (20,7%) dan GIFT (27%)
mendekati siklus fekunditas pasangan normal. Angka kelahiran hidu per siklus
untuk pasangan infertil adalah 28%. Di antara pasangan dengan infertilitas yang
tidak jelas, IVF merupakan terapi pilihan untuk beberapa pasangan, namun
merupakan pilihan terakhir pada pasangan lain. Insidensi kegagalan fertilisasi dan
angka kehamilan yang lebih rendah ditemukan pada pasangan yang gagal dengan
terapi gonadotropin.IUI, sehingga mungkin ada faktor lain seperti kelainan
fertilisasi, perkembangan embryo dini atau implantasi.
Efek terapi dari berbagai penatalaksanaan infertilitas yang tidak jelas
adalah kecil, dan terapi mungkin hanya akan mengganggu kehamilan pada
pasangan

yang

telah

hamil.

Dibutuhkan

konsultasi

yang

teliti

dan

mempertimbangkan suai durasi inferilitas, pembuahan sebelumnya dll. Perlu


dilakukan tes ovarian reserve. Telah ada satu RCT yang membandingkan IUI,
gonadotropin stimulasi/IUI, dan IVF pada pasangan dengan infertilitas, penelitian
di Belanda menemukan fekundibilitas siklus p6% pada pasangan dengan IUI, 9%
pada pasangan dengan gonadotropin/IUI dan 13% pada pasangan dengan IVF.
Meskipun hasil pada IVF rendah, namun hasil ini mendukung dilakukannya terapi
konservatif sebelum IVF, khususnya pada pasangan muda dengan durasi
infertilitas yang singkat. Pasangan yang ingin diterapi harus diinformasikan
mengenai biaya, resiko, prognosis dan masalah yang dapat timbul.
Adopsi
Dengan pemeriksaan dan terapi yang sesuai, sebagian besar pasangan
infertil dapat memperoleh kehamula. Namun bagi yang tidak, ART dan adopsi
mungkin merupakan piliha, Adopsi dapat dilakukan dari agen sosial, agen swasta
dan adopsi internasional. Di beberapa negara bagian, adopsi swasta tidak legal,
namun jika legal maka adopsi swasta ini lebih efektif dan cepat. Pada sebagian
besar kasus, ibu biologis biasanya mempunyai kesempatan untuk mnegetahui

64

orangtua yang mengadopsi dan mungkin mengklaim kembali anaknya.


Anonimitas mungkin perlu dipertimbangkan. Orangtua sebaiknya dibantu oleh
orang dengan pengetahuan mengenai hukum adopsi di masing-masing negara.

65

Anda mungkin juga menyukai