Anda di halaman 1dari 35

TI3003

PRAKTIKUM PERANCANGAN SISTEM TERINTEGRASI II


MODUL 6
Perancangan Sistem Produksi Perakitan

Kelompok 19
1. Dwi Wahyu Setiyani

(13414021)

2. Ananda Dwi Nurhayati (13414046)


3. Diky Rizkianto

(13414069)

4. Irfan Dwi Prasetyo

(13414093)

5. Benedicta Leonie

(13414094)

LABORATORIUM SISTEM PRODUKSI


PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2016

LEMBAR PENGESAHAN
Asisten Laboratorium Sistem Produksi yang bertandatangan di bawah ini
mengesahkan Laporan Praktikum Perancangan Sistem Terintegrasi II Modul 6
Perancangan Sistem Produksi Perakitan Kelompok 19 yang terdiri dari :
1. Dwi Wahyu Setiyani (13414021)
2. Ananda Dwi Nurhayati (13414046)
3. Diky Rizkianto (13414069)
4. Irfan Dwi Prasetyo (13414093)
5. Benedicta Leonie (13414094)
Dan menyetujui untuk dikumpulkan pada :
Hari
: Jumat
Tanggal
: 18 November 2016
Waktu : 12.00 WIB

Bandung, 18 November 2016

Asisten
13413099

LEMBAR ASISTENSI
TERLAMPIR

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR TABEL

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang

PT PPST Manufacturing merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang


produksi, dengan produk yang dihasilkan adalah dongkrak. Dongkrak yang dihasilkan
oleh perusahaan ini terdiri dari 3 model, yaitu Dongkrak A, Dongkrak B, dan Dongkrak
C. Ketiga dongkrak ini dipasarkan pada 3 daerah yang berbeda: Regional 1, Regional
2, dan Regional 3. Dalam pembuatan dongkraknya, PT PPST Manufacturing
menggunakan sistem produksi make to stock.
Belakangan ini diketahui bahwa demand dari Dongkrak A mengalami peningkatan
sebesar 2 kali lipat. Hal itu menyebabkan perusahaan tidak mampu memenuhi
permintaan tersebut sehingga mengalami kerugian akibat lost sales. Setelah dilalukan
penyelidikan , diketahui bahwa penyebab tidak terpenuhinya permintaan dongkrak A
adalah akibat lini perakitan yang masih belum seimbang dan efektif. Selain itu
terdapat juga stasiun kerja yang terlalu banyak menganggur. Oleh karena itu
perusahaan ingin melakukan pengaturan ulang terhadap lini perakitan dongkrak.
Perusahaan berusaha untuk menelusuri kembali data demand hasil forecasting setiap
dongkrak , precedence diagram sistem kerja serta waktu baku dari setiap elemen
kerja. Kemudian dari data-data tersebut perusahaan akan mencari jumlah stasiun
kerja dan kombinasi elemen kerja yang tepat dengan metode line balancing agar
system lini perakitan dapat seimbang dan efektif sehingga pemenuhan dari
permintaan dongkrak A ini dapat tercapai.

1.2

Tujuan Praktikum

Modul 6 PPST 2 2016 memiliki tujuan umum dan tujuan khusus.


1.2.1 Tujuan Umum
1. Memahami dan mampu merancang lintas perakitan
2. Memahami konsep bottleneck dalam lintas perakitan
3. Mampu menganalisis performansi suatu lintas perakitan

1.2.2 Tujuan Khusus


1. Memahami dan mengetahui kegunaan precedence diagram, waktu elemen
kerja dalam perancangan lintas perakitan, dan hasil forecasting demand
2. Mampu menentukan cycle time dan jumlah stasiun kerja minimum
3. Mampu memahami dan menggunakan algoritma heuristik dalam
menyelesaikan masalah lintas perakitan
4. Mengetahui parameter yang digunakan dalam menganalisis performansi
suatu lintas perakitan
5. Mampu mengevaluasi aplikasi hasil perancangan lintas perakitan dengan
perhitungan teoritis

1.3. Flowchart Pengerjaan Laporan

Gambar 1.1 Flowchart Pengerjaan Laporan

BAB II
PENGOLAHAN DATA
2.1 Data Demand (lele)
2.2 Data Waktu Baku Per Elemen (lele)
2.3 Perhitungan Waktu Siklus (nanda)
2.4 Perhitungan Jumlah Stasiun Kerja Minimum (nanda)
2.5 Perhitungan Iterasi Nol dengan Algoritma Penyeimbangan Lintasan
Perakitan
2.5.1 Metode Helgeson Birnie
Metode Helgeson Birnie merupakan salah satu metode line balancing
dengan melakukan pembobotan posisi terhadap setiap elemen kerja penyusun
lintasan produksi berdasarkan precedence diagram. Pada metode ini proses
iterasi dilakukan dengan cara menggabungkan stasiun kerja yang berdekatan
dan feasible dari segi urutan dan cycle time-nya. Berikut adalah tahapan yang
dilakukan dari metode Helgeson Birnie:
1. Hitung bobot posisi setiap elemen kerja berdasarkan precedence diagram.
2. Bobot posisi suatu elemen adalah jumlah waktu elemen-elemen pada
rantai terpanjang yang dimulai oleh elemen tersebut sampai elemen
terakhir. Urutkan elemen-elemen kerja menurut bobot posisi dari besar ke
kecil.
3. Tempatkan elemen kerja dengan bobot terbesar pada stasiun kerja, selama
tidak melanggar precedence constraint dan waktu stasiun tidak melebihi
desired

cycle

time.

Elemen

kerja

yang

telah

ditempatkan

tidak

diperhatikan kembali pada iterasi selanjutnya


4. Ulangi Langkah 3 sampai seluruh elemen ditempatkan.
Berikut adalah table waktu elemen kerja dan gambar precedence diagram pada
praktikum ini:
Elemen
Kerja

Waktu
Elemen

0.00

1.30

2.15

2.63

13.45

22.51

1.23

1.26

19.16

10

3.08

11

5.29

12

23.12

13

21.95

14

1.98

15

2.71

16

20.00

17

15.55

18

1.70

Berdasarkan waktu elemen dan precedence diagram di atas, maka akan


dilakukan pembobotan posisi untuk setiap elemen kerja dengan contoh
perhitungan sebagai berikut:
Bobot posisi elemen kerja 16
= waktu elemen kerja 18 + waktu elemen kerja 17 + waktu elemen kerja
16
= 1.70 + 15.55 + 20.00
= 37.26 detik
Bobot posisi elemen kerja 4
= waktu elemen kerja 18 + waktu elemen kerja 17 + waktu elemen kerja
16 + waktu elemen kerja 15 + waktu elemen kerja 14 + waktu elemen
kerja 4
= 1.70 + 15.55 + 20.00 + 2.71 + 1.98 + 2.63
= 44.58

Bobot posisi elemen kerja 3


= waktu elemen kerja 18 + waktu elemen kerja 17 + waktu elemen kerja
16 + waktu elemen kerja 15 + waktu elemen kerja 14 + waktu elemen
kerja 13 + waktu elemen kerja 12 + waktu elemen kerja 11 + waktu
elemen kerja 10 + waktu elemen kerja 8 + waktu elemen kerja 6 +
waktu elemen kerja 3
= 1.70 + 15.55 + 20.00 + 2.71 + 1.98 + 21.95 + 23.12 + 5.29 + 3.08 +
1.26 + 22.51 + 2.15
= 121.32
Bobot posisi elemen kerja 2
= waktu elemen kerja 18 + waktu elemen kerja 17 + waktu elemen kerja
16 + waktu elemen kerja 15 + waktu elemen kerja 14 + waktu elemen
kerja 13 + waktu elemen kerja 12 + waktu elemen kerja 11 + waktu
elemen kerja 9 + waktu elemen kerja 7 + waktu elemen kerja 5 + waktu
elemen kerja 2
= 1.70 + 15.55 + 20.00 + 2.71 + 1.98 + 21.95 + 23.12 + 5.29 + 19.16 +
1.23 + 13.45 + 1.30
= 127.46
Untuk perhitungan bobot posisi elemen kerja 1 terdapat 3 alternatif perhitungan
yaitu berdasarkan bobot posisi elemen kerja 2.3. dan 4. Dari ketiga alternatif
tersebut dipilih alternatif yang memiliki bobot posisi terbesar yaitu elemen kerja
2 dengan bobot posisi elemen kerja sebessar 127.46. Oleh karena itu bobot posisi
elemen kerja 1
= Bobot posisi elemen kerja 2 + waktu elemen kerja 1
= 127.46 + 0.00
= 127.46
Berikut adalah hasil perhitungan bobot posisi setiap elemen kerja:

PERHITUNGAN BOBOT POSISI

Elemen Kerja

Bobot Posisi

Waktu Elemen

127.46

0.00

127.46

1.30

121.32

2.15

44.58

2.63

126.16

13.45

119.17

22.51

112.71

1.23

96.66

1.26

111.48

19.16

10

95.40

3.08

11

92.32

5.29

12

87.03

23.12

13

63.90

21.95

14

41.95

1.98

15

39.97

2.71

16

37.26

20.00

17

17.25

15.55

18

1.70

1.70

Setelah dilakukan perhitungan bobot posisi setiap elemen kerja, maka akan
diurutkan berdasarkan bobot posisi terbesar hingga terkecil. Berikut adalah hasil
pengurutannya:

URUTAN ELEMEN KERJA BERDASARKAN BOBOT POSISI TERBESAR

Elemen Kerja

Bobot Posisi

Waktu Elemen

127.46

0.00

127.46

1.30

126.16

13.45

121.32

2.15

119.17

22.51

112.71

1.23

111.48

19.16

96.66

1.26

10

95.40

3.08

11

92.32

5.29

12

87.03

23.12

13

63.90

21.95

44.58

2.63

14

41.95

1.98

15

39.97

2.71

16

37.26

20.00

17

17.25

15.55

18

1.70

1.70

Pada subbab sebelumnya telah dilakukan perhitungan terhadap jumlah stasiun


kerja minimum yang akan digunakan yaitu sejumlah 4 stasiun kerja. Setelah itu
elemen-elemen kerja akan ditempatkan pada setiap stasiun kerja dengan
mempertimbangkan bobot posisinya masing-masing. Dalam melakukan
penempatan ini urutan kerja tidak boleh melanggar precedence diagram dan
jumlah waktu setiap stasiun kerja juga tidak boleh melebihi desired cycle timenya. Apabila suatu stasiun memiliki jumlah waktu yang melebihi desired cycle
time, maka elemen terakhir yang masuk stasiun tersebut harus dipindahkan ke
stasiun berikutnya Sebagai contoh pada stasiun 1 berisi elemen kerja 1,2,5,3,6,7
dengan total waktu stasiun sebesar 40.64 detik. Elemen kerja 9 tidak dimasukkan
ke dalam stasiun 1 karena apabila dimasukkan maka akan menghasilkan total
waktu stasiun kerja (59.80 detik) yang melebihi waktu desired cycle time (46.826
detik). Oleh karena itu elemen kerja 9 dimasukkan ke dalam stasiun 2, langkah
tersebut dilanjutkan untuk stasiun kerja selanjutnya. Berikut adalah hasil
penempatan elemen-elemen kerja dengan menggunakan metode Helgeson
Birnie:

Desired cycle
time

Stasiun

46.826

Elemen
Kerja

Waktu
Elemen

0.00

1.30

13.45

2.15

22.51

1.23

Wi

WsWi

(WsWi)^2

40.64

4.43

19.654

19.16

1.26

10

3.08

11

5.29

12

23.12

13

21.95

2.63

14

1.98

15

2.71

16

20.00

17

15.55

18

1.70

Ws

28.80

16.28

264.952

45.07

0.00

0.000

44.58

0.49

0.238

45.07

Setelah didapatkan elemen-elemen apa saja yang terdapat di setiap stasiun,


akan dilakukan beberapa perhitungan performansi lintasan perakitan yang akan
digunakan sebagai kriteria untuk mengukur performansi. Berikut adalah
perhitungannya:
a. Waktu menganggur
n

Waktu menganggur=n . W s W i
i=1
4

Waktu menganggur=4.W s W i
i=1

Waktu menganggur=4 45.07( 40.64+28.80+ 45.07+44.58 )


Waktu menganggur=21.20

b. Keseimbangan waktu senggang


n

n .W s W i
Keseimbangan waktu senggang=

i=1

n.W s

100

Keseimbangan waktu senggang=

21.20
100
4 45.07

Keseimbangan waktu senggang=11.76


c. Efisiensi

Efisiensi stasiun kerja=

Wi
100
Ws

Efisiensi stasiun kerja1=

W1
40.64
100 =
100 =90.16
Ws
45.07

Efisiensi stasiun kerja2=

W2
28.80
100 =
100 =63.89
Ws
45.07

Efisiensi stasiun kerja3=

W3
45.07
100 =
100 =100.00
Ws
45.07

Efisiensi stasiun kerja 4=

W4
44.58
100 =
100 =98.92
Ws
45.07

Wi

Wi

Efisiensi lintasan= i=1


100 = i=1
100
n.W s
4.W s
Efisiensi lintasan=

( 40.64+28.80+ 45.07+44.58 )
100
4 45.07

Efisiensi lintasan=88.24

d. Smoothness Index (SI)

W
W
4

( sW i)2
i=1

( sW i)2=
i=1

SI =
SI = (45.0740.64 )2 +(45.0728.80)2+(45.0745.07)2+(45.0744.58)2

SI =16.877
Keterangan :
n

: Jumlah stasiun kerja

Ws

: Waktu stasiun kerja terbesar (waktu siklus)

Wi

: Waktu sebenarnya pada setiap stasiun kerja

: 1,2,3,.,n

Berikut adalah table hasil perhitungan dari setiap kriteria performansi lintasan
perakitan:
Waktu menganggur

21.20

Keseimbangan waktu
senggang

11.76%

Efisiensi stasiun kerja 1

90.16%

Efisiensi stasiun kerja 2

63.89%

Efisiensi stasiun kerja 3

100.00%

Efisiensi stasiun kerja 4

98.92%

Efisiensi lintasan

88.24%

Smoothness index

16.877

2.5.2 Metode Regional Approach (jupe)


2.5.3 Metode Largest Candidate Rule (dwi)
2.6 Perhitungan Kriteria Performansi pada Line Balancing (diky) ???
2.7 Perhitungan Iterasi Selanjutnya (masing2, disatuin dwi)
Berdasarkan perhitungan kriteria performansi yaitu smoothness index,
didapat bahwa metode Helgeson Birnie merupakan metode yang paling baik
dibandingkan dengan metode lainnya karena memiliki nilai smoothness index
yang paling kecil. Setelah diketahui bahwa metode Helgeson Birnie merupakan
metode terbaik, akan dilanjutkan dengan melakukan beberapa iterasi alternative
untuk mencari solusi yang lebih mendekati optimal (sub optimal). Pada praktikum
ini, kelompok kami melakukan iterasi sebanyak 7 kali.
2.7.3 Perhitungan Iterasi Alternatif 3
Pada alternatif 3 ini dilakukan perubahan terhadap alternatif 0, perubahan
tersebut dilakukan dengan cara mengubah kombinasi elemen-elemen yang
berada di setiap stasiun kerja. Perubahan tersebut meliputi: elemen kerja 6
dipindah dari stasiun kerja 1 ke stasiun kerja 2, elemen kerja 9 dipindah dari
stasiun kerja 2 ke stasiun kerja 1, dan elemen kerja 4 dipindah dari stasiun kerja
4 ke stasiun kerja 2. Sehingga pada alternatif ini, stasiun kerja 1 berisi elemen
(1,2,5,3,7,9), stasiun kerja 2 berisi elemen (6,8,10,11,4), stasiun kerja 3 berisi
elemen (12,13), dan stasiun kerja 4 berisi elemen (14,15,16,17,18). Penempatan
atau penyusunan komposisi elemen kerja ini dirancang sedemikian rupa dengan
mengelompokkan
mendapatkan

elemen-elemen

keseimbangan

kerja

waktu

sehingga

kerja

yang

setiap
sebaik

stasiun

kerja

mungkin

agar

menghasilkan nilai smoothness index yang lebih kecil. Berikut adalah tabel
perbedaan komposisi elemen kerja tiap stasiun kerja antara iterasi 0 dan iterasi
3:
Iterasi 0

Iterasi 3

Stasiun

Elemen Kerja

Stasiun

Elemen Kerja

2
0

10

11

3
3

12
3

13

14

15

0
4

16

17

18

Dengan menggunakan komposisi elemen seperti iterasi 3 dengan metode


Helgeson Birnie di atas, maka didapat hasil perhitungan keseimbangan lintasan
perakitan sebagai berikut:
Desired cycle
time
Stasiu
n

46.826

Elemen
Kerja

Waktu
Elemen

0.00

1.30

13.45

2.15

1.23

19.16

22.51

1.26

Wi

WsWi

(Ws-Wi)^2

37.29

7.78

60.570

34.78

10.30

106.035

10

3.08

11

5.29

2.63

12

23.12

13

21.95

14

1.98

15

2.71

16

20.00

17

15.55

18

1.70

Ws

45.07

0.00

0.000

41.95

3.12

9.724

45.07

Kemudian dilakukan perhitungan terhadap kriteria performansi dengan cara


perhitungan seperti yang telah dilakukan pada subbab sebelumnya. Berikut
adalah hasil perhitungan kriteria performansinya:
Waktu menganggur

21.20

Keseimbangan waktu
senggang

11.76%

Efisiensi stasiun kerja 1

82.73%

Efisiensi stasiun kerja 2

77.15%

Efisiensi stasiun kerja 3

100.00%

Efisiensi stasiun kerja 4

93.08%

Efisiensi lintasan

88.24%

Smoothness index

13.279

2.8 Perhitungan Hasil Simulasi 1 dan 2 (jupe)

BAB III
ANALISIS
3.1

Analisis Penggunaan Kriteria Performansi pada Line Balancing

(diky)
Pada praktikum kali ini proses penentuan lintasan perakitan dilakukan
dengan metode heuristic. Metode ini dilakukan karena untuk menghasilkan solusi
hanya dibutuhkan waktu yang relative lebih singkat. Hanya saja dalam
menggunakan metode ini hasil yang diperoleh merupakan solusi yang mendeketi
optimal (sub-optimal), oleh karena itu perlu dilakukan pengukuran performansi
untuk melihat seberapa baik solusi yang dihasilkan dari metode tersebut. Setelah
dilakukan pengukuran performansi, maka akan ditentukan metode mana yang
akan menghasilkan solusi yang paling mendekati optimal berdasarkan kriteria
performasi yang ada. Terdapat empat kriteria performansi dalam line balanching
yaitu waktu menganggur, keseimbangan waktu senggang (balance
delay), efisiensi, dan smoothness index. Berikut adalah penjelasan dari
masing-masing kriteria performansi:
o

Waktu Menganggur
Waktu menganggur merupakan total waktu dimana seorang operator atau

pekerja tidak melakukan kegiatan apapun atau tidak melakukan kegiatan yang
tidak menambah added value. Waktu menganggur yang tinggi dalam suatu
lintasan perakitan menunjukkan bahwa terjadi ketidakseimbangan yaitu tidak
meratanya pembagian elemen kerja untuk setiap lintasan perakitan yang ada.
Suatu lintasan produksi dikatakan baik apabila waktu menunggunya kecil. Terlalu
tingginya

waktu

menganggur

yang

dialami

oleh

seorang

pekerja

dapat

menimbulkan dampak psikologis bagi pekerja tersebut sehingga lingkungan kerja


dapat menjadi tidak kondusif yang dalam waktu yang berkelanjutan dapat
menyebabkan ongkos manufaktur menjadi lebih tinggi. Oleh karena itu perlu
dilakukan iterasi lebih lanjut dengan menggunakan metode tertentu untuk
menyeimbangkan komposisi elemen kerja di setiap stasiun pada suatu lintasan
produksi agar dihasilkan waktu menganggur yang seminimal mungkin. Input dari
perhitungan waktu menganggur adalah jumlah stasiun, waktu tiap stasiun, dan
waktu siklus (waktu stasiun terbesar). Semakin tinggi nilai waktu menganggur
maka akan semakin buruk pula performansi dari lintasan perakitan tersebut,
begitu juga sebaliknya. Berikut adalah formulasi matematis untuk menghitung
waktu mengganggur:

Waktu menganggur=n . W s W i
i=1

Keterangan :
n

: Jumlah stasiun kerja

Ws

: Waktu stasiun kerja terbesar (waktu siklus)

Wi

: Waktu sebenarnya pada setiap stasiun kerja

: 1,2,3,.,n

Keseimbangan Waktu Senggang


Keseimbangan waktu senggang menunjukkan

persentase

total

waktu

menganggur dari seluruh stasiun kerja. Semakin besar nilai keseimbangan waktu
senggang dari suatu lintasan perakitan, maka akan semakin banyak pula waktu
senggang yang tersedia bagi operator. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi
ketidakseimbangan lintasan perakitan tersebut yang mingindikasikan bahwa
lintasan perakitan tersebut tidak efisien. Oleh karena itu perlu dilakukan iterasi
lebih lanjut dengan menggunakan metode tertentu untuk menyeimbangkan
komposisi elemen kerja di setiap stasiun pada suatu lintasan produksi agar
dihasilkan nilai keseimbangan waktu senggang yang seminimal mungkin. Input
dari perhitungan keseimbangan waktu senggang adalah jumlah stasiun, waktu
tiap stasiun, dan waktu siklus (waktu stasiun terbesar). Semakin tinggi nilai
keseimbangan waktu senggang maka akan semakin buruk pula performansi dari
lintasan perakitan tersebut, begitu juga sebaliknya. Berikut adalah formulasi
matematis untuk menghitung keseimbangan waktu senggang:
n

n .W s W i
Keseimbangan waktu senggang=

i=1

n.W s

100

Keterangan :
n

: Jumlah stasiun kerja

Ws

: Waktu stasiun kerja terbesar (waktu siklus)

Wi

: Waktu sebenarnya pada setiap stasiun kerja

: 1,2,3,.,n

Efisiensi
Efisiensi menujukkan seberapa baik resource yang ada digunakan untuk

menghasilkan suatu produk dalam suatu lintasan produksi (dalam hal ini

resourch berupa waktu kerja dan jumlah pekerja). Kriteria performansi yang
berkaitan dengan efisiensi dapat dibagi menjadi 2 yaitu efisiensi stasiun kerja
dan efisiensi lintasan perakitan. Kedua kriteria performansi tersebut memiliki
prinsip yang sama yaitu semakin besar nilai efisiensi maka akan semakin baik
pula lintasan perakitannya, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu perlu
dilakukan iterasi lebih lanjut dengan menggunakan metode tertentu untuk
menyeimbangkan komposisi elemen kerja di setiap stasiun pada suatu lintasan
produksi agar dihasilkan stasiun kerja dan lintasan perakitan yang lebih efisien.
Input dari perhitungan efisiensi ini adalah jumlah stasiun, waktu tiap stasiun, dan
waktu siklus (waktu stasiun terbesar). Semakin tinggi nilai efisiensi maka akan
semakin baik pula performansi dari lintasan perakitan tersebut, begitu juga
sebaliknya. Berikut adalah formulasi matematis untuk menghitung efisiensi:

Efisiensi stasiun kerja=

Wi
100
Ws
n

Wi

Efisiensi lintasan= i=1


100
n.W s
Keterangan :
n

: Jumlah stasiun kerja

Ws

: Waktu stasiun kerja terbesar (waktu siklus)

Wi

: Waktu sebenarnya pada setiap stasiun kerja

: 1,2,3,.,n

Smoothness Index (SI)


Smoothness Index

merupakan suatu indeks yang menunjukkan tingkat

kelancaran suatu lintasan perakitan dan tingkat waktu menganggur dari suatu
lintasan perakitan. Nilai Smoothness Index

yang kecil menujukkan bahwa

stasiun-stasiun kerja dalam suatu lintasan perakitan tersebut sudah seimbang,


begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu perlu dilakukan iterasi lebih lanjut dengan
menggunakan metode tertentu untuk menyeimbangkan komposisi elemen kerja
di setiap stasiun pada suatu lintasan produksi agar dihasilkan nilai Smoothness
Index yang minimun . Input dari perhitungan Smoothness Index ini adalah jumlah
stasiun, waktu tiap stasiun, dan waktu siklus (waktu stasiun terbesar). Semakin
rendah nilai Smoothness Index maka akan semakin baik pula performansi dari

lintasan perakitan tersebut, begitu juga sebaliknya. Berikut adalah formulasi


matematis untuk menghitung Smoothness Index:

W
n

( sW i)
i=1

SI =
Keterangan :
n

: Jumlah stasiun kerja

Ws

: Waktu stasiun kerja terbesar (waktu siklus)

Wi

: Waktu sebenarnya pada setiap stasiun kerja

: 1,2,3,.,n

3.2 Analisis Prosedur Perhitungan Stasiun untuk Line Balancing


3.2.1 Analisis Perbandingan Antara Heuristik dan Analitik (nanda)
3.2.2 Analisis Hasil Perhitungan dengan Metode Helgeson Birnie
(diky)
Metode Helgeson Birnie merupakan salah satu metode line balancing dengan
melakukan pembobotan posisi terhadap setiap elemen kerja penyusun lintasan
produksi berdasarkan precedence diagram. Pada metode ini proses iterasi
dilakukan dengan cara menggabungkan stasiun kerja yang berdekatan dan
feasible dari segi urutan dan cycle time-nya. Berikut adalah hasil pembobotan
posisi setiap elemen kerja serta precedence diagramnya:

URUTAN ELEMEN KERJA BERDASARKAN


BOBOT POSISI TERBESAR
Elemen
Kerja

Bobot
Posisi

Waktu
Elemen

127.46

0.00

127.46

1.30

126.16

13.45

121.32

2.15

119.17

22.51

112.71

1.23

111.48

19.16

96.66

1.26

10

95.40

3.08

11

92.32

5.29

12

87.03

23.12

13

63.90

21.95

44.58

2.63

14

41.95

1.98

15

39.97

2.71

16

37.26

20.00

17

17.25

15.55

18

1.70

1.70

Pada subbab sebelumnya telah dilakukan perhitungan terhadap jumlah


stasiun kerja minimum yang akan digunakan yaitu sejumlah 4 stasiun kerja.
Setelah itu elemen-elemen kerja akan ditempatkan pada setiap stasiun kerja
dengan mempertimbangkan bobot posisinya masing-masing. Dalam melakukan
penempatan ini urutan kerja tidak boleh melanggar precedence diagram

dan

jumlah waktu setiap stasiun kerja juga tidak boleh melebihi desired cycle timenya. Apabila suatu stasiun memiliki jumlah waktu yang melebihi desired cycle
time, maka elemen terakhir yang masuk stasiun tersebut harus dipindahkan ke
stasiun berikutnya. Sebagai contoh pada stasiun 1 berisi elemen kerja 1,2,5,3,6,7
dengan total waktu stasiun sebesar 40.64 detik. Elemen kerja 9 tidak dimasukkan
ke dalam stasiun 1 karena apabila dimasukkan maka akan menghasilkan total

waktu stasiun kerja (59.80 detik) yang melebihi waktu desired cycle time (46.826
detik). Oleh karena itu elemen kerja 9 dimasukkan ke dalam stasiun 2, langkah
tersebut dilanjutkan untuk stasiun kerja selanjutnya. Berikut adalah hasil
iterasinya:

Desired cycle
time

Stasiun

46.826

Elemen
Kerja

Waktu
Elemen

0.00

1.30

13.45

1
3

2.15

22.51

1.23

19.16

1.26

10

3.08

11

5.29

12

23.12

13

21.95

2.63

14

1.98

15

2.71

16

20.00

17

15.55

18

1.70

Ws

Wi

WsWi

(WsWi)^2

40.64

4.43

19.654

28.80

16.28

264.952

45.07

0.00

0.000

44.58

0.49

0.238

45.07

Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa stasiun kerja dengan waktu
stasiun terbesar adalah stasiun kerja 3 dan stasiun kerja dengan waktu stasiun
kerja terkecil adalah stasiun kerja 2. Hal ini mengindikasikan bahwa masih
terdapat ketidakseimbangan lintasan perakitan dengan menggunakan metode
Helgeson Birnie ini. Hal tersebut dapat menyebabkan ketidak produktifan lintasan
perakitan akibat adanya beberapa stasiun kerja yang menganggur. Berikut
adalah

hasil

perhitungan

kriteria

performansi

lintasan

perakitan

dengan

menggunakan metode Helgeson Birnie:


Waktu menganggur

21.20

Keseimbangan waktu
senggang

11.76%

Efisiensi stasiun kerja 1

90.16%

Efisiensi stasiun kerja 2

63.89%

Efisiensi stasiun kerja 3

100.00%

Efisiensi stasiun kerja 4

98.92%

Efisiensi lintasan

88.24%

Smoothness index

16.877

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa waktu menganggur dalam


lintasan perakitan dengan metode Helgeson Birnie ini sebesar 21.20 detik. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam lintasan perakitan pada dengan metode Helgeson
Birnie ini

terdapat operator menganggur yang tentunya dapat mengganggu

keseimbangan lini perakitan. Nilai keseimbangan waktu senggang sebesar


11.76% menunjukkan masih adanya waktu senggang yang dialami oleh operator
yang dapat menyebabkan lintasan perakitan kurang produktif. Nilai efisiensi
masing-masing stasiun kerja sudah menunjukkan bahwa lintasan perakitan sudah
cukup seimbang yang diperlihatkan oleh nilai efisiensi lintasan yaitu sebesar
88.24%, hanya saja masih terdapat satu stasiun kerja yang masing kurang efisien
yaitu stasiun kerja 2 dengan nilai efisiensi hanya sebesar 63.89%. Dari nilai
smootness index juga diketahui bahwa lintasan perakitan dengan metode ini
sudah cukup baik karena nilai smootness index yang dihasilkan cukup rendah
yaitu sebesar 16.877.

3.2.3 Analisis Hasil Perhitungan dengan Metode Regional Approach


(jupe)
3.2.4 Analisis Hasil Perhitungan dengan Metode Largest Candidate
Rule (dwi)
3.3 Analisis Kondisi Existing Data Simulasi I
3.3.1 Identifikasi Stasiun Bottleneck dan Stasiun Menganggur (lele)
3.3.2 Identifikasi Kriteria Perfomansi Data Simulasi I (diky)
Dalam mengukur kinerja suatu lintasan perakitan digunakan beberapa
kriteria performansi seperti waktu menganggur, keseimbangan waktu senggang,
efisiensi stasiun kerja, efisiensi lintasan, dan smoothness index. Masing-masing
kriteria performansi memiliki maksud serta ukuran performansi yang berbedabeda seperti:
a. Waktu menganggur menunjukkan seberapa besar waktu menganggur
yang dialami oleh pekerja dalam suatu lintasan perakitan, semakin kecil
nilai waktu menganggur maka akan semakin baik performansi lintasan
tersebut begitu juga sebaliknya.
b. Keseimbangan waktu senggang menunjukkan persentase total waktu
menganggur dari seluruh stasiun kerja dalam suatu lintasan perakitan,
semakin tinggi nilai keseimbangan waktu senggang maka akan semakin
buruk pula performansi dari lintasan perakitan tersebut begitu juga
sebaliknya.
c. Efisiensi menujukkan seberapa baik resource yang ada digunakan untuk
menghasilkan suatu produk dalam suatu lintasan produksi (dalam hal ini
resourch berupa waktu kerja dan jumlah pekerja). Semakin tinggi nilai
efisiensi maka akan semakin baik pula performansi dari lintasan perakitan
tersebut begitu juga sebaliknya.
d. Smoothness Index menunjukkan tingkat kelancaran suatu lintasan
perakitan dan tingkat waktu menganggur dari suatu lintasan perakitan.
Semakin rendah nilai Smoothness Index maka akan semakin baik pula
performansi dari lintasan perakitan tersebut, begitu juga sebaliknya.
Berikut adalah hasil ringkasan perhitungan kriteria performansi untuk simulasi 1:
Waktu menganggur

168.55

Keseimbangan waktu
senggang

37.46%

Efisiensi stasiun kerja 1

58.60%

Efisiensi stasiun kerja 2

70.34%

Efisiensi stasiun kerja 3

64.22%

Efisiensi stasiun kerja 4

19.55%

Efisiensi stasiun kerja 5

100.00%

Efisiensi lintasan

62.54%

Smoothness index

91.538

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa waktu menganggur


dalam lintasan perakitan pada simulasi 1 ini sebesar 168.55 detik. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam lintasan perakitan pada simulasi 1

ini

terdapat

operator masih banyak yang menganggur yang tentunya dapat mengganggu


keseimbangan lini perakitan. Dalam kondisi ideal seharusnya pada sebuah
lintasan perakitan, tidak ada pekerja yang menganggur (waktu menganggur = 0
detik). Terlalu tingginya waktu menganggur yang dialami oleh seorang pekerja
dapat

menimbulkan

dampak

psikologis

bagi

pekerja

tersebut

sehingga

lingkungan kerja dapat menjadi tidak kondusif yang dalam waktu yang
berkelanjutan dapat menyebabkan ongkos manufaktur menjadi lebih tinggi. Oleh
karena

itu

perlu

dilakukan

identifikasi

serta

pencarian

solusi

terhadap

permasalahan tersebut untuk menyeimbangkan komposisi elemen kerja di setiap


lintasan produksi agar dihasilkan waktu menganggur seminimal mungkin.
Pada simulasi 1 ini didapat juga nilai keseimbangan waktu senggang
sebesar 37.46%. Hal ini menunjukkan bahwa operator memiliki cukup banyak
waktu senggang yang menyebabkan lintasan perakitan tersebut menjadi kurang
produktif. Semakin rendah nilai keseimbangan waktu senggang maka akan
semakin baik pula performansi dari lintasan perakitan tersebut, begitu juga
sebaliknya. Nilai dari keseimbangan waktu senggang ini juga dipengaruhi oleh
seberapa besar jumlah waktu menganggur dari suatu lintasan perakitan. Oleh
karena itu apabila permasalahan terhadap waktu menganggur dapat diatasi
(waktu menganggur sudah minimal), maka nilai dari keseimbangan waktu
senggang ini juga akan minimal.
Nilai efisienasi stasiun kerja pada simulasi 1 ini
berbeda-beda yaitu efisiensi stasiun kerja 1 sebesar
stasiun kerja 2

memiliki ukuran yang


58.60%,

sebesar 70.34%, efisiensi stasiun kerja 3 sebesar

efisiensi stasiun kerja 4

efisiensi
64.22%,

sebesar 19.55%, efisiensi stasiun kerja 5 sebesar

100%. Berdasarkan nilai tersebut dapat diketahui bahwa keseimbangan lintasan


perakitan masih cukup rendah (dapat dilihat pada nilai efisiensi lintasan yaitu
sebesar 62,54%) dimana terdapat perbedaan yang cukup signifikan terhadap

beban kerja antar stasiun kerja terutama pada stasiun kerja 4 yang menunjukkan
efisiensi yang sangat rendah. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi serta
pencarian solusi terhadap permasalahan tersebut untuk menyeimbangkan
komposisi elemen kerja di setiap lintasan produksi agar dihasilkan nilai efisiensi
setiap stasiun kerja semaksimal mungkin agar dihasilkan nilai efisiensi lintasan
yang maksimal juga yang berarti performansi lintasan semakin baik.
Nilai smoothness index pada simulasi 1 ini sebesar 91.538. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa lintasan perakitan pada simulasi ini masih tidak cukup baik.
Tingkat kelancaran serta tingkat keseimbangan lintasan perakitan juga masih
cukup rendah. Semakin tinggi nilai smoothness index maka semakin tidak baik
pula performansi dari lintasan perakitan tersebut. Oleh karena itu perlu juga
dilakukan identifikasi serta pencarian solusi terhadap permasalahan tersebut
untuk menyeimbangkan komposisi elemen kerja di setiap lintasan produksi agar
dihasilkan nilai smoothness yang seminimal mungkin (performansi lintasan
perakitan semakin baik).

3.4 Analisis Pemilihan Model Algoritma Penyeimbangan Lintasan


Perakitan Terbaik (lele)
3.5 Analisis Pemilihan Iterasi Terbaik (lele)
3.6 Analisis Perbandingan Antara Data Teoretis dengan Data Aktual
Simulasi Dua (jupe)
3.7 Analisis Pengaruh Lintas Perkitan terhadap Produksi (nanda)
3.8 Analisis Penggunaan Assembly Line Balancing pada Kegiatan
Produksi (nanda)
3.9 Analisis Keterkaitan Antar Modul (dwi)

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan (dwi)
4.2 Saran (nanda)
4.2.1 Saran untuk Praktikum
4.2.2 Saran untuk Asisten

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai