Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Line Balancing
Line Balancing merupakan penyeimbangan penugasan elemen-elemen
tugas dari suatu assembly line ke work stations untuk meminimumkan banyaknya
work station dan meminimumkan total idle time pada semua stasiun untuk tingkat
output tertentu, yang dalam penyeimbangan tugas ini, kebutuhan waktu per
unit produk yang di spesifikasikan untuk setiap tugas dan hubungan sekuensial
harus dipertimbangkan (Vincent, 2004).
Menurut Heizer, (2016), Lini perakitan yang seimbang memiliki
keunggulan dari utilisasi karyawan dan fasilitas yang tinggi dan kesamaan beban
kerja antar-karyawan. Beberapa kontrak dari serikat pekerja mensyaratkan bahwa
beban kerja harus sama atau hampir sama di antara pekerja yang sama. Istilah
yang paling sering digunakan untuk menerangkan proses ini adalah
penyeimbangan lini perakitan.
Definisi lain dari line balancing yaitu sekelompok orang atau mesin yang
melakukan tugas-tugas sekuensial dalam merakit suatu produk yang diberikan
kepada masing-masing sumber daya secara seimbang dalam setiap lintasan
produksi, sehingga dicapai efisiensi kerja yang tinggi di setiap stasiun kerja.
(Nasution, 2008).
Keseimbangan lintasan berhubungan erat dengan produksi masal.
Sejumlah pekerjaan perakitan dikelompokkan ke dalam pusat-pusat kerja, untuk
selanjutnya disebut stasiun kerja. Waktu yang diijinkan untuk menyelesaikan
elemen pekerjaan tersebut ditentukan oleh kecepatan lintas perakitan. Semua
stasiun kerja sedapat mungkin harus memiliki waktu siklus yang sama. Bila
stasiun kerja memiliki waktu siklus dibawah waktu idealnya, maka stasiun kerja
tersebut memiliki waktu menganggur. Tujuan akhir dari keseimbangan lintasan

5
6

adalah untuk meminimasi waktu menganggur ditiap stasiun kerja, sehingga


dicapai efisiensi kerja yang tinggi pada stasiun kerja (Nasution, 2003).
Adapun contoh line balancing terdapat pada Gambar 2.1 sebagai berikut, (Baroto,
2002):

Gambar 2.1 Contoh Line Balancing

Manajemen industri dalam menyelesaikan masalah Line Balancing harus


mengetahui tentang metode kerja, peralatan-peralatan, mesin-mesin, dan personil
yang digunakan dalam proses kerja. Data yang diperlukan adalah informasi
tentang waktu yang dibutuhkan untuk setiap assembly line dan precedence
relationship. Di antara aktivitas-aktivitas yang merupakan susunan dan urutan
dari berbagai tugas yang perlu dilakukan, manajemen industri perlu menetapkan
tingkat produksi per hari yang disesuaikan dengan tingkat permintaan total,
kemudian membaginya ke dalam waktu produktif yang tersedia per hari. Hasil ini
adalah cycle time, yang merupakan waktu dari produk yang tersedia pada setiap
stasiun kerja (work station).

2.1.1.1 Tujuan Line Balancing


Tujuan pokok dari menggunakan metode Line Balancing ini adalah untuk
mengurangi atau meminimalkan waktu menganggur pada lintasan yang dilalui
benda kerja, dimana output lintasan ditentukan oleh operasi yang paling lambat.
Dalam upaya untuk menyeimbangkan lintasan produksi maka tujuan utama yang
ingin dicapai adalah untuk mendapatkan tingkat efesiensi yang tinggi disetiap
stasiun kerja dan berusaha untuk memenuhi produksi yang telah ditetap an.
Sehingga diupayakan untuk mengurangi perbedaan waktu operasi antara stasiun
kerja dan memperkecil idle time (Afifuddin, 2019). Dalam upaya untuk
7

menyeimbangkan lintasan produksi maka tujuan utama yang ingin dicapai adalah
untuk mendapatkan tingkat efisiensi yang tinggi disetiap stasiun kerja dan
berusaha untuk memenuhi produksi yang telah ditetapkan. Sehingga diupayakan
untuk mengurangi perbedaan waktu operasi antara stasiun kerja dan memperkecil
idle time .
Persyaratan umum yang harus digunakan dalam suatu keseimbangan
lintasan produksi adalah dengan meminimumkan waktu menganggur (idle time)
dan meminimumkan pula keseimbangan waktu senggang (balance delay).
Sedangkan tujuan dari lintasan produksi yang seimbang adalah sebagai berikut:
1. Menyeimbangkan beban kerja yang dialokasikan pada setiap work station
sehingga setiap work station selesai pada waktu yang seimbang dan
mencegah terjadinya bottleneck. Bottleneck adalah suatu operasi yang
membatasi output dan frekuensi produksi.
2. Menjaga agar pelintasan perakitan tetap lancer.
3. Meningkatkan efisiensi atau produktifitas.

2.1.1.2 Pemecahan Masalah Line Balancing


Dua permasalahan penting dalam penyeimbangan lini, yaitu
penyeimbangan antara stasiun kerja (work station) dan menjaga kelangsungan
produksi di dalam lini perakitan. Adapun tanda-tanda ketidakseimbangan pada
suatu lintasan produksi, yaitu (Baroto, 2002):
1. Stasiun kerja yang sibuk dan waktu menganggur yang mencolok.
2. Adanya produk setengah jadi pada beberapa stasiun kerja.
Terdapat 10 langkah pemecahan masalah Line Balancing, yaitu sebagai
berikut (Vincent, 2004),
1. Mengidentifikasi tugas-tugas individual atau aktivitas yang akan
dilakukan.
2. Menentukan waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan setiap tugas
itu.
3. Menetapkan precedence constraints, jika ada yang berkaitan dengan
setiaptugas.
8

4. Menentukan output dari assembly line yang dibutuhkan.


5. Menentukan waktu total yang tersedia untuk memproduksi output.
6. Menghitung cycle time yang dibutuhkan, misalnya waktu diantara
penyelesaian produk yang dibutuhkan untuk penyelesaian output yang
diinginkan dalam batas toleransi dari waktu (batas waktu yang
diizinkan).
7. Memberikan tugas-tugas pada pekerja atau mesin.
8. Menetapkan minimum banyaknya stasiun kerja (work stations) yang
dibutuhkan untuk memproduksi output yang diinginkan.
9. Menilai efektivitas dan efisiensi dari solusi.
10. Mencari terobosan-terobosan untuk untuk perbaikan proses terus-
menerus (continuous process improvement ).

2.1.1.3 Metode-metode Line Balancing


Metode-metode yang dapat digunakan untuk pemecahan masalah dalam
line balancing, yaitu (Carcano, 2014):
1. Metode Heuristik
Metode yang berdasarkan pengalaman, intuisi atau aturan-aturan empiris
untuk memeproleh solusi yang lebih baik daipada solusi yang telah dicapai
sebelumnya.
a. Ranked Positional Weight/Hegelson & Birnie
Metode ini biasanya lebih dikenal dengan Ranked Positional Weight
sistem. Langkah pertama yang dilakukan adalah membuat diagram
precedence & matriks precedence. Kemudian hitung bobot posisi
untuk setiap elemen yang diperolehdari penjumlahan waktu pengerjaan
elemen tersebut. Penugasan eleen-elemen terhadap stasiun kerja
mengikuti lsngksh-langkah berikut:
1. Hitung bobot posisi setiap elemen kerja. Bobot posisi suatu elemen
adalah jumlah waktu elemen-eleen pada rantai terpanjang mulai
elemen tersebut sampai elemen terakhir. Bobot (RPW) = waktu
proses tersebut + waktu proses operasi-operasi berikutnya
9

2. Urutkan elemen-elemen menurut obot posisi dari yang tebesar ke


terkecil, elemen yang mempunyai bobot paling tinggi ditempatkan
pada stasiun I.
3. Hitung waktu siklus.
4. Tempatkan elemen kerja dengan bobot terbesar pada stasiun kerja
sepanjang tidak melanggar hubungan precedence dan waktu stasiun
tidak melebihi waktu siklus
5. Kemudian pilih elemen dengan bobot terbesar berikutnya dan
dilakukan pemeriksaan terhadap:
a. Presedence, hanya elemen yang semuanya pendahulunya sudah
ditempatkan boleh bergabung.
b. Waktu elemen pengerjaan di elemen tersebut harus lebih kecil
atau sama dengan waktu stasiun yang masih tersedia.
6. Ulangi langkah 4 sampai seluruh elemen ditempatkan.
7. Setelah membentuk suatu stasiun kerja yang terdiri dari elemen-
elemen kerjanya, maka tentukan nilai efisiensi, balance delay, dan
smoothness indexnya.
b. Killbridge & Waste/Region Approach
Metode ini dikembangkan oleh Bedworth untuk mengatasi kekurangan
bobot posisi. Pada prinsipnya metode ini berusaha membebankan
terlebih dahulu pada operasi yang memiliki tanggung jawab
keterdahuluan yang besar. Langkah-langkah penyelesaian dengan
menggunakan metode pendekatan wilayah sebagai berikut:
1. Menghitung waktu siklus yang diinginkan, waktu siklus adalah
waktu yang diinginkan atau waktu operasi terbesar jika waktu
operasi terbesar itu lebih dari waktu siklus yang diinginkan.
2. Membagi jaringan kerja kedalam wilayah-wilayah dari kiri ke
kanan Gambar ulang jaringan kerja, tempatkan seluruh pekerjaan
didaerah paling ujung sedapat-dapatnya.
3. Dalam setiap wilayah, urutkan pekerjaan mulai dari waktu operasi
terbesar sampai waktu operasi terkecil.
10

4. Membebankan pekerjaan dengan urutan waktu sebagai berikut:


a. Daerah paling kiri terlebih dahulu.
b. Untuk antar wilayah, pekerjaan dengan waktu operasi terbesar
dibebankan pertama kali.
c. Pada akhir tiap pembebanan stasiun kerja, tentukan apakah
utilitas waktu tersebut telah dapat diterima.
c. Large Candidate Rule
Prinsip dasar dari metode ini adalah menggabungkan proses-proses
atas dasar pengurutan operasi dari waktu proses terbesar hingga
elemen dengan waktu operasi terkecil. Sebelum dilakuakn
penggabungan, harus ditentukan dahulu berapa waktu siklus yang akan
dipakai. Waktu siklus ini akan dijadikan pembatas dalam
penggabungan operasi dalam satu stasiun kerja. Berikut tahap-tahap
dari metode Largest Candidate Rules:
1. Pilih elemen yang akan ditugaskan pada stasiun pertama yang
memenuhi persyaratan precedence dan tidak menyebabkan julah
total Tek pada stasiun tersebut melebihi Ts.
2. Jika tidak ada elemen lain yang dapat ditugaskan tanpa meleihi Ts,
maka lanjutkan ke stasiun berikutnya.
3. Ulangi lngkah 1 & 2 untuk stasiun lainnya sampai seluruh elemen
selesai ditugaskan.
4. Tentukan nilai dari Line Efficiency, Balance Delay & Smoothness
Index.
d. Moodie-Young
Dalam metode moodie young terdapat 2 fase yang harus dilakukan
untuk mencari keseimbangan lintasan, yaitu (Ginting, 2007):
1. Fase pertama adalah membuat pengelompokkan stasiun kerja.
Elemen kerja ditempatkan pada stasiun kerja dengan aturan, bila
terdapat duaelemen kerja yang bisa dipilih maka elemen kerja yang
mempunyai waktu yang lebih besar ditempatkan yang pertama.
Pada fase ini pula, precedence diagram dibuat matriks P dan F,
11

yang menggambarkan elemen kerja pendahulu (P) dan elemen


kerja yang mengikuti (F) untuk semua elemen kerja yang ada.
pendahulu (P) dan elemen kerja yang mengikuti (F) untuk semua
elemen kerja yang ada.
2. Pada fase kedua dilakukan redistribusi elemen kerja ke setiap
stasiun kerja hasil dari fase pertama. Langkah-langkah yang
dilakukan pada fase 2 ini adalah:
a. Identifikasi waktu stasiun kerja terbesar dan waktu stasiun
kerja terkecil.
b. Tentukan GOAL
c. Identifikasi sebuah elemen kerja yang terdapat dalam stasiun
kerja dengan waktu paling maksimum, yang mempunyai
waktu yang lebih kecil dari pada GOAL, yang elemen kerja
tersebut bila dipindah ke stasiun kerja yang paling minimum
tidak melanggar precedence diagram.
d. Pindahkan elemen kerja tersebut.
e. Ulangi evaluasi sampai tidak ada lagi elemen kerja yang
dapat dipindah.
f. Metode analis atau Matematis
2. Metode penggambaran dunia nyata memlalui symbol-simol matematis
berupa persamaan dan pertidaksamaan (Branch and Bound Method).
3. Metode Simulasi
Metode yang meniru tingkah laku system dengan mempelajari interaksi
komponen-komponennya. Karena tidak eerlukan fungsi-fungsi matematis secara
eksplisist untuk merelasikan variable-variabel sistem, maka model-model simulasi
ini tidak dapat diselesaikan secara matematis.
a. CALB (Computer Line Balancig or Computer Aided Line Balancing).
b. ALPACA (Assembly Line Balancing and Control Activity)
c. COMSAL (Computer Method or Saumming Operation for Assemble)
12

2.1.1.4 Istilah-Istilah Dalam Line Balancing


Sebelum membahas mengenai operasional dari metode-metode dalam line
balancing, perlu dipahami dulu beberapa istilah yang lazim digunakan dalam line
balancing (Baroto, 2002).
1. Presedence diagram merupakan gambaran secara grafis dari urutan
operasi kerja serta ketergantungan pada operasi kerja lainnya yang
tujuannya untuk memudahkan pengontrolan dan perencanaan kegiatan
yang terkait di dalamnya.
Adapun tanda-tanda yang dipakai sebagai berikut:
a. Simbol lingkaran dengan huruf atau nomor di dalamnya untuk
mempermudah identifikasi dari suatu proses operasi.
b. Tanda panah menunjukkan ketergantungan dan urutan proses operasi.
Dalam hal ini, operasi yang berada pada pangkal panah berarti
mendahului operasi yang ada pada ujung panah.
c. Angka diatas simbol lingkaran adalah waktu standar yang diperlukan
untuk menyelesaikan setiap operasi.
2. Assembly product adalah produk yang melewati urutan work station (WS)
diaman setiap WS memberikan proses tertentu hingga selesai menjadi
produk akhir pada proses perakitan akhir.
a. Work elemen (Elemen kerja/operasi/task) adalah bagian dari seluruh
proses perakitan yang dilakukan.
b. Waktu Operasi (Ti) adalah waktu standar untuk menyelesaikan suatu
operasi, waktu baku yang didalamnya sudah mencakup actor
penyesuaian dan kelonggaran.
3. Work Station (WS) adalah tempat pada lini perakitan dimana proses
perakitan dilakukan. Setekah menentukan interval waktu siklus maka
jumlah stasiun kerja efisien dapat ditetapkan dengan rumus berikut:
i
Kmin = ......................................................................................... Pers 2.1

Dimana:
Ti = Waktu Operasi pada task
CT = Waktu siklus
13

N = Banyaknya task
Kmin = Banyaknya stasiun kerja minimal
4. Cycle time/waktu siklus (CT) merupakan waktu yang diperlukan untuk
membuat 1 unit produk per satu stasiun. Apabila waktu produksi dan
target produksi telah ditentukan, maka waktu siklus dapat diketahui dari
hasil bagi waktu produksi dan target produksi. Dalam mendesain
keseimbangan lini perakitan untuk sejumlah produksi tertentu, waktu
siklus harus sama dengan atau lebih besar dari waktu operasi terbesaryang
merupakan penyebab terjadinya bottleneck (kemacetan) dan waktu siklus
yangjuga harus sama ata lbih kecil darijam kerja efektif per hari dibagi
dengan jumlah produk si per hari yang secara otomatis dinyatakan sebagai
berikut:
Timaks ≤ ≤ ............................................................................... Pers 2.2

Dimana:
Timaks = Waktu operasi terbesar pada lintasan
CT = Waktu Siklus
P = Jam kerja efektif per hari
Q = Jumlah produksi per hari
5. Station Time (ST) adalah jumlah waktu dari elemen kerja/task yang
dilakukan pada suatu stasiun kerja yang sama.
6. Idle time adalah selisih (perbedaan) antara CT dikurangi dengan STI.
7. Balance Delay (BD) sering disebut balance loss, adalah ukuran dari
ketidaakefisienan lintasan yang dihasilkan dari waktu menganggur
sebenarnya yang disebabkan oleh pengalokasian yang kurang sempurna di
antara stasiun-stasiun kerja. Balance delay dinyatakan dalam persentase.
Balance delay dapat dirumuskan sebagai berikut:
k i
BD = ............................................................... pers 2.3
k

Dimana:
k = Banyaknya stasiun kerja (WS)
CT = Waktu Siklus
14

STi = Stastion time Ws ke-1


8. Line Efficiency (LE) adalah rasio dari total waktu di stasiun kerja tehadap
keterkaitan antara waktu siklus dengan julah stasiun kerja (dinyatakan
dalam prsentase).

LE = ........................................................................ Pers 2.4

Dimana:
k = Banyaknya stasiun kerja (WS)
CT = Waktu Siklus
STi = Stastion time Ws ke-1
9. Smoothness Index (SI) adalh suatu indeks yang menunjukkan kelancaran
relative dari suatu keseimbangan lini perakitan. Suatu smoothness index
dikatakan sempurna apabila nlainya sama dengan nol atau disebut juga
perfect balance.

SI = √ ( - i)2 ............................................................................................................ Pers 2.5

Dimana:
CT = Waktu Siklus
STi = Stastion time Ws ke-1

2.1.1.5 Teknik Line Balancing


Untuk penyeimbangan lintasan perakitan ada beberapa teori yang
dikemukakan para ahli yang meneliti bidang ini. Metode ini secara garis besar
dibagi dalam dua bagian, yaitu (Ginting, 2007):
1. Pendekatan analitis
2. Pendekatan Heuristik
Pada awalnya teori-teori line balancing dikembangkan dengan
pendekatan matematis/ analitis yang akan memberikan solusi optimal, tapi
lambat laun akhirnya para peneliti menyadari bahwa pendekatan secara
matematis tidak ekonomis. Memang semua problem dapat dipecahkan secara
matematis, tetapi usaha yang dilakukan untuk perhitungan terlalu besar. Sudah
banyak alternatif baru, tetapi tidak ada yang dapat mengurangi jumlah
15

perhitungan pada tingkat yang dapat diterima.


Batasan heuristik menyatakan pendekatan trial dan eror dan teknik ini
memberikan hasil yang secara matematis belum optimal tetapi cukup mudah
memakainya. Pendekatan heuristik merupakan suatu cara yang praktis, mudah
dimengerti dan mudah diterapkan. Yang termasuk dalam metode analitis
adalah:
1. Metode 0-1 (zero one).
2. Metode Helgeson dan Birnie.
Sedangkan yang termasuk dalam metode heuristik adalah:
a. Metode Kilbridge dan Wester (Region Approach)
b. Metode Integer.
c. Metode Moodie Young

2.1.2 Pengukuran Waktu Kerja


Pengukuran kerja adalah suatu aktivitas untuk menentukan waktu yang
dibutuhkan oleh seorang operator yang memiliki skill rata-rata dan terlatih baik
dalam melaksanakan sebuah kegiatan kerja dalam kondisi dan tempo kerja yang
normal. Tujuan pokok dari aktivitas ini, berkaitan erat dengan usaha menetapkan
waktu standar. Secara historis dijumpai dua macam pendekatan didalam
menentukan waktu standar ini, yaitu pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up)
dan pendekatan dari atas ke bawah (top-down). Pendekatan bottom-up dimulai
dengan mengukur waktu dasar (basic time) dari suatu elemen kerja, kemudian
menyesuaikannya dengan tempo kerja (rating performance) dan
menambahkannya dengan kelonggaran-kelonggaran waktu, (allowances time)
seperti halnya kelonggaran waktu untuk melepas lelah, kebutuhan personal, dan
antisipasi terhadap delays. Pendekatan dari atas kebawah (top-down) banyak
digunakan dalam berbagai kontrak dengan para pekerja, dimana waktu standar
adalah waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja dengan kualifikasi tertentu
untuk melakukan suatu pekerjaan yang bekerja dalam kondisi biasa, digunakan
untuk menentukan besarnya jumlah insentif yang harus dibayar pada pekerja
diatas upah dasarnya. Apapun definisi yang digunakan, pendekatan yang dipakai
16

untuk menghitung waktu standar biasanya adalah pendekatan bottom-up. Untuk


menjelaskan prosedur penentuan waktu standar dengan pendekatan bottom-up
maka terlebih dulu perlu dipahami beberapa definisi sebagai berikut (Purnomo,
2004):
1. Waktu siklus adalah waktu yang dibutuhkan oleh elemen kegiatan pada
saat mulai kerja sampai selesai.
2. Waktu normal adalah menunjukan bahwa seorang operator yang
berkualifikasi baik dalam menyelesaikan pekerjaannya pada kecepatan
tempo kerja yang normal.
3. Waktu standar adalah waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja
yang memiliki tingkat kemampuan rata-rata untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan.
4. Rating factor adalah aktivitas menilai atau mengevaluasi kecepatan
kerja operator pada saat bekerja.
5. Kelonggaran adalah suatu faktor koreksi yang hurus diberikan pada
waktu kerja operator.
6. Tingkat ketelitian dan tingkat kenyakinan adalah pencerminan tingkat
kepastian yang diinginkan oleh pengukur setelah memutuskan tidak
akan melakukan pengukuran dalam jumlah yang banyak.
7. Tingkat ketelitian menunjukan penyimpangan maksimum hasil
pengukuran dari waktu penyelesaian sebenarnya.
Tingkat keyakinan menunjukan besarnya kenyakinan pengukur akan
ketelitian data waktu yang telah diamati dan dikumpulkan. Penelitian dan analisa
kerja pada dasarnya akan memusatkan perhatiannya pada bagaimana suatu
kegiatan akan bisa diselesaikan secara efisien. Untuk menghitung waktu standar
penyelesaian suatu kegiatan, maka diperlukan aktivitas pengukuran kerja.
Pengukuran waktu kerja akan menghasilkan waktu atau output
standard yang mana hal tersebut kemudian bermanfaat untuk:
a. Man power planning.
b. Estimasi biaya-biaya untuk upah pekerja.
c. Penjadwalan produksi dan penganggaran.
17

d. Perencanaan sistem pemberian bonus dan insentif bagi pekerja yang


berprestasi.
e. Indikasi output yang mampu dihasilkan oleh seorang pekerja.
Waktu standar secara definitif dinyatakan sebagai waktu yang dibutuhkan
oleh seorang pekerja yang memiliki tingkat kemampuan rata-rata untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan. Waktu standar tersebut sudah mencakup
kelonggaran waktu yang diberikan dengan memperhatikan situasi dan kondisi
yang harus diselesaikan. Berikut ini adalah perhitungan waktu siklus, waktu
normal dan waktu standar. Waktu siklus dihitung dengan merata-ratakan
waktu yang diamati pada masing-masing elemen:
i
̅ ........................................................................................................ Pers 2.6

Waktu normal diperoleh dengan mempertimbangkan rating factor operator.


Rumus:
WN = WS x RF .......................................................................................... Pers. 2.7
Waktu standar/waktu baku diperoleh dengan mempertimbangkan allowance
operator.

WB = ....................................................................... Pers 2.8


- llo n

Keterangan:
WN = Waktu Normal
WB = Waktu Baku

2.1.2.1 Pengukuran Waktu Secara Langsung


Metode pengukuran waktu seacra langsung adalah pencatatan waktu yang
diperlukan oleh operator serta mengamati secara langsung pekerjaan yang
dilakukan oleh operator dalam melakukan pekerjaannya dengan elemen-elemen
kerja yang telah dibagi kedalam beberapa bagian secara detail dengan syarat
masih bisa diamati dan diukur (Wardiani, 2013). Hasil pengamatan dan
pengukuran waktu secara langsung biasanya berupa waktu baku atau distribusi
waktu operator dalam melakukan pekerjaan atau aktivitas tertentu.
18

2.1.2.2 Pengukuran Waktu Secara Tidak Langsung


Pengukuran waktu tidak langsung adalah cara pengukuran waktu yang
dilakukan tanpa harus berada di tempat pekerjaan yang akan diamati. Untuk
menentukan waktu standar dari suatu operasi, kita harus membagi operasi
menjadi elemen-elemen kegiatan. Pengukuran waktu dilakukan dengan melihat
atau membaca tabel yang tersedia dari elemen gerakan (Hoover, 2006).

2.1.2.3 Pengukuran Waktu Jam Henti


Pengukuran waktu jam henti adalah pekerjaan mengamati pekerja dan
mencatat waktu kerjanya baik setiap elemen ataupun siklus dengan menggunakan
alat yang telah disiapkan. Sesuai dengan namanya, maka pengukuran waktu ini
menggunakan jam henti (stop watch) sebagai alat utamanya. Cara ini tampaknya
merupakan cara yang paling banyak digunakan (Gasperzs, 2001).
Tahapan dalam melakukan pengukuran waktu adalah sebagai berikut:
1. Penetapan Tujuan Pengukuran
Dalam melakukan pengukuran waktu kerja, tujuan pengukuran harus
ditetapkan terlebih dahulu dan untuk apa hasil pengukuran digunakan.
Dalam penentuan tujuan tersebut, dibutuhkan adanya tingkat kepercayaan
dan tingkat ketelitian yang digunakan dalam pengukuran jam henti.
2. Melakukan Penelitian Pendahuluan
Dalam penelitian pendahuluan yang harus dilakukan adalah mengamati
dan mengidentifikasi kondisi kerja dan metode kerja. Dalam penelitian ini
perlu dianalisis hasil pengukuran waktu kerja, apakah masih ada kondisi
yang tidak optimal, jika perlu dilakukan perbaikan kondisi kerja dan cara
kerja yang baik.
3. Memilih Operator
Operator yang akan melakukan pekerjaan harus dipilih yang memenuhi
beberapa persyaratan agar pengukuran dapat berjalan baik, dan dapat
diandalkan hasilnya. Syarat tersebut yang dibutuhkan berkemampuan
normal dan dapat bekerja sama menjalankan prosedur kerja yang baik.
4. Melatih Operator
19

Operator harus dilatih terlebih dahulu agar terbiasa dengan kondisi dan
cara yang telah ditetapkan dan telah dibakukan untuk menyelesaikan
pekerjaan secara wajar.
5. Menguraikan Pekerjaan Atas Beberapa Elemen Pekerjaan
Pekerjaan dibagi menjadi beberapa elemen pekerjaan yang merupakan
gerakan bagian dari pekerjaan yang bersangkutan. Pengukuran waktu
dilakukan atas elemen pekerjaan.
Ada beberapa pedoman yang harus diperhatikan dalam melakukan
pemisahan menjadi beberapa elemen pekerjaan yaitu:
a. Uraikan pekerjaan tersebut, tetapi harus dapat diamati oleh alat
ukur dan dapat dicatat dengan menggunakan jam henti.
b. Jangan sampai ada elemen yang tertinggal karena jumlah waktu
elemen kerja tersebut merupakan siklus penyelesaian suatu
pekerjaan.
c. Antara elemen satu dengan elemen yang lain pemisahannya harus
jelas. Hal ini dilakukan agar tidak timbul keraguan dalam
menentukan kapan berakhirnya atau mulainya suatu pekerjaan.
6. Menyiapkan Alat Pengukuran
Alat yang digunakan melakukan pengukuran waktu baku tersebut yaitu:
a. Jam henti (stopwatch)
b. Lembar pengamatan
c. Pena atau pensil
d. Papan pengamatan

2.1.2.4 Uji Keseragaman Data dan Uji Kecukupan Data


1. Uji Keseragaman Data
Pengujian keseragaman data dilakukan untuk mengetahui apakah data
yang kita peroleh menyebar seragam atau tidak. Rumus untuk menghitung
keseragaman data adalah sebagai berikut (Wignjosoebroto, 2008):
a. Menentukan Simpangan Waktu Baku.
20

-
√ ..................................................................................... Pers 2.9
n-

b. Menentukan batas kontrol atas (BKA) dan batas kontrol bawah (BKB)
BKA = ̅ ...................................................................... Pers 2.10
BKB = ̅ - ...................................................................... Pers 2.11
Keterangan:
̅ = Waktu rata-rata
= Simpangan baku
BKA = Batas Kontrol Atas
BKB = Batas Kontrol Bawah
K = Tingkat kepercayaan (95%)
2. Uji Kecukupan Data
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh dari
pengamatan mencukupi untuk dilakukan perhitungan. Rumus uji kecukupan data
adalah sebagai berikut (Wignojosoebroto, 2008):

√ ( )
N′ = ........................................................................... Pers 2.12

Keterangan:
N’ = Banyaknya pengamatan
N = Jumlah pengamatan
k = tingkat kepercayaan (95% = 2)
s = Precision (tingkat ketelitian 5% = 0,05)
x = waktu pengukuran
Apabila ’ < N, maka jumlah data pengamatan sudah mencukupi dan
apabila ’ > N, maka jumlah data pengamatan belum mencukupi.

2.1.3 Penyesuaian dan Kelonggaran


Setelah pengukuran berlangsung, pengukur harus mengamati kewajaran
kerja yang ditunjukkan operator. Ketidakwajaran dapat saja terjadi misalnya
bekerja tanpa kesungguhan, sangat cepat seolah-olah diburu waktu, atau karena
menjumpai kesulitan-kesulitan seperti kondisi ruangan yang buruk. Penyebab
21

seperti diatas mempengaruhi kecepatan kerja yang berakibat terlalu singkat atau
terlalu panjangnya waktu penyelesaian. Hal ini jelas tidak diinginkan karena
waktu baku yang dicari adalah waktu yang diperoleh dari kondisi dan cara kerja
baku yang diselesaikan secara wajar (Sutalaksana, 2005).
1. Konsep tentang bekerja wajar
Ketidakwajaran pekerja harus diwajarkan untuk mendapatkan waktu
normal. Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana yang disebut wajar
itu. Dengan standar apa pengukur menilai wajar tidaknya kerja seorang
operator. Biasanya, melalui pengamatan pengukur dapat melihat cara
kerja operator. Dalam kehidupan sehari-hari pun hal ini sering bisa
dirasakan, yaitu bila suatu waktu melihat seorang yang sedang bekerja.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, dapat menyatakan bahwa orang
tersebut bekerja dengan lambat atau sangat cepat. Ketepatan pengukur
akan lebih teliti apabila dia telah cukup berpengalaman bagi jenis
pekerjaan yang sedang diukur. Semakin berpengalaman seseorang
pengukur, indera yang dimiliki akan semakin peka melakukan
penyesuaian. Untuk memudahkan pemilihan konsep wajar, seorang
pengukur dapat mempelajari cara kerja seorang operator yang dianggap
normal yaitu jika seorang operator yang dianggap berpengalaman, bekerja
tanpa usaha-usaha yang berlebihan sepanjang hari kerja, menguasai cara
kerja yang ditetapkan dan menunjukkan kesungguhan dalam menjalankan
pekerjaannya. Ada empat faktor yang menyebabkan kewajaran atau
ketidakwajaran dalam bekerja, yaitu keterampilan, usaha, kondisi kerja,
dan konsistensi. Walaupun usaha- usaha membakukan konsep bekerja
wajar telah dilakukan, namun penyesuaian tetap tampak sebagai hal yang
subjektif.

2. Cara menentukan faktor penyesuaian


Cara Westinghouse (Westinghouse Factors) mengarahkan penilaian pada 4
faktor yang dianggap menentukan kewajaran atau ketidakwajaran dalam
bekerja yaitu keterampilan, usaha, kondisi kerja, dan konsistensi. Setiap
faktor terbagi dalam kelas-kelas dengan nilainya masing-masing.
22

Keterampilan atau skill didefenisikan sebagai kemampuan mengikuti cara


kerja yang ditetapkan. Latihan dapat meningkatkan keterampilan, tetapi
hanya sampai ke tingkat tertentu saja, tingkat yang merupakan
kemampuan maksimal yang dapat diberikan pekerja yang bersangkutan.
Keterampilan juga dapat menurun, yaitu bila terlampau lama tidak
menangani pekerjaan tersebut. Atau karena sebab-sebab lain seperti
karena kesehatan yang terganggu, rasa fatique yang berlebihan, pengaruh
lingkungan sosial dan sebagainya. Faktor lain yang harus diperhatikan
adalah konsistensi atau consistency. Faktor ini perlu diperhatikan karena
pada setiap pengukuran waktu angka-angka yang dicatat tidak pernah
semuanya sama, waktu penyelesaian yang ditunjukkan pekerja selalu
berubah-ubah dari siklus ke siklus lainnya, dari jam ke jam, bahkan dari
hari ke hari. Selama ini masih dalam batas kewajaran, masalah tidak
timbul tetapi jika variabilitisnya tinggi maka hal tersebut harus
diperhatikan. Sebagaimana halnya faktor- faktor lain, konsistensi juga
dibagi enam kelas yaitu perfect, excellent, good, average, fair dan poor.
Westinghouse factors dilihat pada Tabel 2.1
23

Tabel 2.1 Westinghouse Factor


Faktor Kelas Lambang Penyesuaian
Keterampilan Superskill A1 + 0,15
Excellent A2 + 0,13
Good B1 + 0,11
B2 + 0,08
Average C1 + 0,06
C2 + 0,03
Fair D 0,00
E1 - 0,05
Poor E2 - 0,10
F1 - 0,16
Usaha Excessive F2 - 0,22
Excellent A1 + 0,13
A2 + 0,12
Good B1 + 0,1
B2 + 0,08
Average C1 + 0,05
C2 + 0,02
Fair D 0,00
E1 - 0,04
E2 - 0,08
Poor F1 - 0,12
F2 - 0,17
Kondisi Kerja Ideal A + 0,06
Excellent B + 0,04
Good C + 0,02
Average D 0,00
Fair E - 0,03
Poor F - 0,07
Konsistensi Perfect A + 0,04
Excellent B + 0,03
Good C + 0,01
Average D 0
Fair E - 0,02
Poor F - 0,04
Sumber : Sutalaksana, (2005)
3. Kelonggaran (Allowance)
Kelonggaran (allowance) diberikan kepada tiga hal yaitu untuk kebutuhan
pribadi, menghilangkan kelelahan dan hambatan yang tidak dapat dihindarkan.
Ketiganya merupakan hal yang secara nyata dibutuhkan oleh pekerja selama
pengamatan karenanya setelah mendapatkan waktu normal perlu ditambahkan
kelonggaran. Dalam menghitung besarnya allowance, keadaan yang dianggap
24

wajar diambil harga allowance=100 %. Sedangkan bila terjadi penyimpangan dari


keadaan ini, allowance harus ditambah dengan faktor-faktor berpengaruh terhadap
kegiatan kerja yang dilakukan. Kelonggaran diberikan untuk tiga hal, yaitu
(Sutalaksana, 2005):
a. Kelonggaran untuk kebutuhan pribadi (personal)
Yang termasuk didalam kebutuhan pribadi adalah hal-hal sepeti
minum sekedarnya untuk menghilangkan rasa haus, ke kamar kecil,
berbicara dengan teman untuk menghilangkan ketegangan ataupun
kejenuhan dalam bekerja.
b. Kelonggaran untuk menghilangkan rasa fatique
Fatique merupakan hal yang akan terjadi pada diri seseorang
sebagai akibat dari melakukan suatu pekerjaan.
c. Kelonggaran untuk hambatan-hambatan tidak terhindarkan (delay)
Hambatan-hambatan tidak terhindarkan terjadi karena berada diluar
kekuasaan/ kendali pekerja
2.1.4 Metode Killbridge & Western (Region Approach)
Metode ini dikembangkan oleh Bedworth untuk mengatasi kekurangan
bobot posisi. Pada prinsipnya metode ini berusaha membebankan terlebih dahulu
pada operasi yang memiliki tanggung jawab keterdahuluan yang besar. Metode ini
membantu meminimalkan waktu siklus total dalam produksi dengan
menyeimbangkan aliran kerja di sepanjang garis produksi. Langkah-langkah
penyelesaian dengan menggunakan metode pendekatan wilayah sebagai berikut:
1. Menghitung waktu siklus yang diinginkan, waktu siklus adalah waktu
yang diinginkan atau waktu operasi terbesar jika waktu operasi
terbesar itu lebih dari waktu siklus yang diinginkan.
2. Membagi jaringan kerja kedalam wilayah-wilayah dari kiri ke kanan
Gambar ulang jaringan kerja, tempatkan seluruh pekerjaan didaerah
paling ujung sedapat-dapatnya.
3. Dalam setiap wilayah, urutkan pekerjaan mulai dari waktu operasi
terbesar sampai waktu operasi terkecil.
4. Membebankan pekerjaan dengan urutan waktu sebagai berikut:
25

a. Daerah paling kiri terlebih dahulu.


b. Untuk antar wilayah, pekerjaan dengan waktu operasi terbesar
dibebankan pertama kali.
5. Pada akhir tiap pembebanan stasiun kerja, tentukan apakah utilitas
waktu tersebut telah dapat diterima.

2.2 Penelitian Terdahulu


Dalam penelitian ini ada beberapa penelitian terdahulu sebagai acuan
untuk menyelesaikan penelitian ini:
1. Riton dan Hendra, (2022), P n liti n y ng b rjudul “ n lisis
keseimbangan lintasan lini produksi tepung kelapa dengan metode ranked
positional weight dan region approach”. P . YZ Gorontalo merupakan
suatu perusahaan di bidang industri tepung kelapa (Dessiccated Coconut),
minyak kelapa (oil coconut) dan santan kelapa. Dalam menjalankan
kegiatan operasionalnya sebagai perusahaan industri tepung kelapa,
perusahaan mengalami peningkatan kapasitas produksi dari tahun ke
tahun. Oleh karena itu perusahaan harus memenuhi target jumlah produksi
yaitu 300 ton perharinya, tetapi perusahaan hanya mampu memproduksi
250 ton perhari. Dengan kendala penumpukan bahan baku (bottleneck).
Istilah bottleneck digunakan untuk menggambarkan keadaan dimana
stasiun kerja yang memilki kapasitas lebih kecil dari kebutuhan produksi
ini dapat menyebabkan lintasan produksi menjadi tidak seimbang dan jika
dibiarkan akan menyebabkan penurunan hasil produksi tepung kelapa.
Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui jumlah stasiun kerja yang
dibutuhkan agar mendapat kesimbangan lini produksi yang optimal di PT.
XYZ Grorontalo dan menghitung presentasi lini produksi yang efisien.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah stasiun kerja di lini
produksi optimal pada lini produksi tepung kelapa adalah 2 stasiun kerja
dari stasiun kerja sebelumnya sebanyak 4 stasiun kerja, dan peningkatan
line efficiency yang didapat dari penyeimbangan lini yang dibentuk
menggunaan metode Ranked positional weight dan metode region
26

approach mengalami peningkatan menjadi 81% dan penurunan balance


delay sebesar 19% ini dari kondisi awal line efficiency 40.50% dan
balance delay 59.90%.
2. Rachmad, (2019), P n liti n ini b rjudul “P r n n n k s imb ng n
lintasan produksi guna efisiensi kin rj di P . r n rb gun M l ng”.
PT. Sarana Serbaguna Malang memproduksi berupa martset (flap) ban
dalam motor dalam menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk dapat
bersaing secara baik di pasaran, baik dilingkup domestik maupun
internasional. Agar dapat bersaing dan unggul, maka salah satu solusi yang
harus dilakukan oleh perusahaan adalah menerapkan praktek pengolahan
operasi perusahaan dengan baik. Dengan proses pembuatan yang
dilakukan manusia dengan dibantu mesin. Dalam aliran produksi tersebut
dilihat adanya suatu lintasan produksi pada operasi kerja dalam stasiun
kerja tidak seimang karena adanya beberapa stasiun kerja yang tidak
seimbang karena adanya beberapa stasiun kerja yang mengalami
penumpukkan (bottleneck) material dibeberapa stasiun kerja sehingga
menimbulkan keterlambatan pada lintasan produksi guna mengurangi
penumpukkan material agar sesuai dengan target produksi. Tujuan dari
penelitian ini adalah menentukan jumlah stasiun kerja yang ideal dan
emnentukan metode yang sesuai untuk mendapatkan perbaikan lintasan
produksi dengan memilih metode RPW dan RA. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dengan memilih metode region approach maka
didapatkan stasiun kerja ideal yaitu 5 stasiun kerja dengan waktu siklus
383,103 menit serta balance delay 23% dengan efficiency 77% dengan
output produksi 27 unit/bln dari yang semula di dapat 6 stasiun kerja
dengan waktu siklus 756,194 menit serta balance delay 3,53% dengan
efficiency 96,47% dengan output 14 unit/bln.
3. Wahyu dan Ade, (2019), P n liti n ini b rjudul “ n lisi k s imb ng n
lint s n di P . ibuni ngi Gunung tri ”. l h s tu p ngol h n
swasta di jawa barat adalah PT. Cibuniwangi Gunung Satria yang terletak
di kabupaten tasikmalaya jawa barat. Dalam tahapan proses produksi teh
27

di perusahaan ini digunakan beberapa esin dengan kapasitas dan waktu


operasi yang berbeda sehingga mengakibatkan terjadinya ketidak
seimbangan lintasan produksi. Lintasan produksi yang tidak seimbang
akan menyebabkan performansi keseimbangan lintasan menjadi kurang
baik. Hal ini dapat menimbulkan penumpukan bahan setengah jadi
(bottleneck). Ketidakseimbangan pembagian beban kerja dari operator
juga menyebabkan perbedaan waktu penyelesaian operasi tiap staisun
kerja sehingga nilai efisiensi produksi pun menjadi rendah. Penelitian ini
bertujuan untuk memperoleh suatu lintasan produksi lebih baik daripada
kondisi saat ini. Metode ini diharapakan mampu memberikan solusi
sebagai alternatif untuk meningkatkan efsiiensi lintasan produksi, sehingga
produksi akan lebih efsiien, efektif dan produktif. Hasil dari penelitian ni
menunjukkan bahwa performansi keseimbangan lintasan yang dilakukan
pada kondisi awal perusahaan diperoleh efisiensi lintasan sebesar 65%
balance delay sebesar 45%, idle time sebesar 476,43 menit, dan smoothing
index sebesar 175,57. Untuk memperbaiki masalah maka digunakan
metode RPW,LCR dan RA. Semua metode yang digunakan menunjukkan
adanya peningkatan performansi efisiensi lintasan menjadi 78,58%,
balance delay sebesar 21,42%, idle time 158,79 menit, dan smoothing
index juga turun menjadi 68,33.
4. Meldia, Ilham dan Luthfi, (2020), P n liti n ini b rjudul “ n lisis lin
b l n ing untuk m ningk tk n fisi nsi lint s n produksi p r kit n”. FFF
perabot adalah salah satu industry yang bergerak di bidang produksi
barang barang furnitur rumah tangga. Salah satu produk perusahaan ini
adalah lemari, meja, kursi, dan jendela. Proses produksi ini dilakukan
dengan berdasarkan pemesanan atau make to order. Terkait dengan proses
produksi perakitan yang dilakukan FFF perabot, permasalahan yang sering
terjadi adalah waktu operasi yang terlalu lama pada stasiun kerja yang ada
pada proses erakitan kursi makan. Masalah tersebut mengakibatkan
ketidakseimbangan pada lintasan prooduksi pada lintasan perakitan kursi
makan, sehingga waktu pada produski perakitan kursi makan menjadi
28

alma dan kadang target produski perakitan untuk suatu permintaan kadang
tidak tercapai.Tujuan penelitian ini adalah membandingkan efektivitas
yang dapat dicapai pada keseimbangan lintasan produksi menggunakan
metode Region approach dan ranked positional weight. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa efisiensi lintasan awal adalah 68% dan setelah
dilkaukan penerapan metode region approach dan ranked positional
weight maka didapatkan efisiensi lintasan 91% dengan metode region
approach dan 90% dengan metode ranked positional weight.
5. Maria, Helmi dan Fransiskus, (2020), P n liti n ini b rjudul “M tod
region approach untuk keseimbangan lint s n”. t siun k rj y ng
memerlukan waktu operasi yang lama dapat mengganggu kerja dari
stasiun kerja ynag lain, karena proses selanjutnya baru dapat berjalan
setelah proses stasiun kerja tersebut selesai, sehingga terjadilah waktu
menunggua. Lamanya waktu penyelesaian pekerjaan pada stasiun kerja
akan mempengaruhi keseimbangan lintasan produksi menjadi kurang
lancer dan kurang efisien. Berdasarkan kondisi tersebut dapat diatasi
dengan menyeimbangkan lintasan produksi agar efisiensi kerja dan waktu
kelancaran proses produksi yang diinginkan tercapai. Dalam penelitian ini
digunakan metode region approach untuk keseimbangan lintasan produksi
terhadap waktu menunggu (balance delay), efisiensi lintasan, dan waktu
kelancaran proses produksi (smoothing index). Keseimbangan diperlukan
untuk merencanakan dan mengendalikan suatu proses produksi sehingga
dapat berjalan dengan lancer dan penyelesaian produk tepat pada
waktunya, memaksimalkan efisiensi kerja dan meminimalkan
ketidakseimbangan beban kerja antar stasiun kerja yang ada. Metode
region approach dapat mengelompokkan operasi kerja ke dalam wilayah
sehingga memudahkan pengurutan operai kerja berdasarkan priositas
operasi kerja dan operasi kerja yang memiliki waktu operasi kerja terbesar
dikerjakan terlebih dahulu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penerapan metode region approach pada percetakan Koran diperoleh
jumlah stasiun kerja sebanyak 3 stasiun kerja yang pada kondisi awal
29

sebanyak 6 stasiun kerja, serta penurunan balance delay dari 66% menjadi
32%, sementara efisiensi lintasan meningkat dari 33% menjadi 67% dan
smoothing index dari 222,40 menit menjadi 87,20 menit.

Anda mungkin juga menyukai