Anda di halaman 1dari 28

MODUL 3

MATRIKULASI S2
2015

STANDARDISASI SISTEM KERJA

LABORATORIUM REKAYASA SISTEM KERJA DAN ERGONOMI


PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2015
Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 18

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

a.

Tujuan Praktikum

Melalui praktikum ini, praktikan diharapkan:


1. Mampu memahami berbagai metode pengukuran waktu kerja serta kelebihan dan
kekurangan dari masing-masing metode.
2. Mampu melakukan pengukuran waktu kerja yang mencakup pemilihan elemen-elemen
operasi, pengukuran waktu siklus, pengolahan data hingga menentukan waktu baku untuk
suatu kegiatan perakitan.
3. Mampu melakukan perancangan stasiun kerja permesinan untuk operator berdasarkan
prinsipprinsip ergonomi dan rekayasa sistem kerja.

b.

Dasar teori

Perancangan sistem kerja akan menghasilkan beberapa alternatif rancangan sistem kerja. Dari
beberapa alternatif tersebut harus dipilih alternatif yang terbaik. Sutalaksana et al [2006]
menyatakan bahwa pemilihan alternatif rancangan sistem kerja harus berlandaskan empat kriteria
utama, yaitu:
1) Kriteria waktu
2) Kriteria fisik
3) Kriteria psikis
4) Kriteria sosiologis
Dari keempat kriteria ini, suatu sistem kerja dipandang baik bila memberikan waktu penyelesaian
pekerjaan tercepat, penggunaan tenaga fisik paling ringan, dan memberi dampak psikis dan
sosiologis paling rendah.
Selain itu, faktor manusia (pekerja) pun harus dapat banyak perhatian. Manusia adalah variabel
hidup, dengan berbagai sifat dan kemampuannya memberikan pengaruh yang sangat besar atas
keberhasilan suatu sistem kerja dalam mencapai tujuannya. Oleh karena itu, untuk dapat merancang
suatu sistem kerja yang baik, diperlukan perhatian terhadap kemampuan dan keterbatasan manusia.

1. Pengukuran Waktu Kerja


Pengukuran waktu dilakukan untuk mendapatkan waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja
normal secara wajar untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dalam suatu sistem kerja terbaik. Secara
umum teknik pengukuran waktu terbagi dua, yaitu secara langsung dan tidak langsung.
Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA


1. Langsung
Pengukuran dilakukan langsung di tempat kerja. Terdapat dua metode yaitu:
Metode jam henti (stopwatch)
Pengukuran waktu dengan metode ini digunakan untuk jenis pekerjaan yang
dilakukan berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama. Pada modul ini,
pengukuran dilakukan menggunakan metode jam henti.
Contoh: operator pabrik pada kegiatan perakitan, cenderung memiliki tipe
pekerjaan yang sama/konstan antarwaktu.
Metode sampling
Pengukuran waktu dengan metode ini digunakan untuk jenis pekerjaan yang
memiliki variasi tugas. (Ditentukan dengan jadwal yang random, biasa menggunakan
tabel bilangan random)
Contoh: sekretaris, karena pekerjaan sekretaris bisa bervariasi di banyak waktu.
Kelebihan pengukuran waktu secara langsung yaitu praktis. Pengamat hanya perlu mengukur
waktu. Sedangkan kekurangannya adalah dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk
mengumpulkan banyak data, agar memenuhi tingkat kepercayaan dan keyakinan tertentu.
Selain itu, biaya yang dikeluarkan relatif mahal.
2. Tidak langsung
Perhitungan waktu tanpa berada di tempat kerja. Terdapat dua data yaitu:
Data waktu baku
Berisi data dari waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang
telah diteliti pada waktu yang lalu. Data waktu tersebut berisi elemen-elemen
gerakan baku. Apabila terdapat kegiatan yang memiliki elemen gerakan yang sama
dengan kegiatan yang waktunya sudah ada sebelumnya, maka waktu penyelesaian
pekerjaan tersebut sudah dapat ditentukan. Data ini biasanya digunakan oleh
perusahaan dan terdapat perbedaan antara satu perusahaan dan lainnya.
Data waktu gerakan
Data waktu dari elemen-elemen gerakan baku. Perbedaannya dengan waktu baku
adalah data elemen gerakan sudah terstandarisasi dan siap pakai. Data waktu
gerakan ini biasanya dibuat oleh lembaga-lembaga Eropa. Beberapa metodanya
adalah:

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA


Work Factor (WF)
Maynard Operation Sequence Time (MOST)
Motion Time Measurement (MTM)
Standard Data System (SDS)
Kelebihan perhitungan waktu secara tidak langsung yaitu:
Waktu relatif singkat
Biaya lebih murah
Pengembangan metode dan perancangan produk
Sedangkan kekurangannya adalah:
Data waktu gerakan belum lengkap
Data waktu gerakan harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan kerja
Tabel yang digunakan untuk orang Eropa tidak dapat digunakan di Indonesia (Baru
sedikit penelitian mengenai data waktu baku di Indonesia)
Untuk sistem kerja yang bersifat homogen, repetitif, dan memiliki produk nyata yang
terukur(kuantitatif); pengukuran waktu kerja secara langsung dapat menggunakan metode
jamhenti. Sutalaksana et al [2006] menyatakan secara terperinci langkahlangkah yang harus
dilakukan dalam pengukuranwaktu dengan metoda jamhenti. Salah satu langkah yang penting
dilakukan didalamnya adalah melakukan pemilahan elemen operasi, seperti yang dikembangkan
oleh Gilberth.
Tahapan perhitungan yang dilakukan hingga mendapatkan waktu baku digambarkan dalam Gambar
1.

Gambar 1 Tahapan Perhitungan Waktu Baku

Keterangan: P= faktor penyesuaian


L= faktor kelonggaran

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA


Faktor penyesuaian diperhitungkan jika pengukur berpendapat bahwa operator bekerja dalam
keadaan tidak wajar sehingga hasil perhitungan waktu siklus perlu disesuaikan atau dinormalkan
terlebih dahulu agar mendapatkan waktu siklus rata-rata yang wajar. Sedangkan kelonggaran adalah
waktu yang diberikan kepada operator untuk hal-hal seperti kebutuhan pribadi, menghilangkan
fatigue, dan gangguan-gangguan yang tidak terhindarkan oleh operator.
Pengertian waktu siklus, waktu normal, dan waktu baku adalah sebagai berikut:
Waktu Siklus
Waktu siklus adalah waktu akumulasi dari setiap elemenelemen pekerjaan yang ada di
sebuah stasiun kerja untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.
Waktu Normal
Waktu yang dibutuhkan untuk seorang operator dalam keadaan normal. Definisi keadaan
normal disini adalah operator yang bekerja dengan tidak terlalu cepat (ahli) atau operator
yang tidak pada tahap pembelajaran.
Waktu Baku
Waktu yang dibutuhkan oleh seorang operator untuk menyelesaikan suatu pekerjaan
spesifik dengan mempertimbangkan kondisi internal (kemampuan, keahlian, dll) maupun
eksternal (lingkungan).
Pengolahan waktu baku perakitan berdasarkan data yang diperoleh saat praktikum adalah:
Uji Keseragaman Data
Uji Kecukupan Data
Perhitungan Waktu:
1. Waktu Siklus

Keterangan:

= rata-rata subgrup
Nsubgrup

= banyak subgrup

2. Waktu Normal

Keterangan:

= faktor penyesuaian

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

3. Waktu Baku

Keterangan:

= faktor kelonggaran

2. Perancangan Stasiun Kerja


Dalam merancang stasiun kerja, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
a.

Jenis stasiun kerja


Stasiun kerja dapat dikelompokkan menjadi tiga macam berdasarkan posisi tubuh pada saat
bekerja:
1. Stasiun kerja untuk operator duduk
Stasiun kerja untuk operator duduk sesuai untuk situasi:
Semua objek (material, alat, dll) yang dibutuhkan dalam bekerja dapat diambil
dengan mudah dan berada dalam jangkauan tangan dalam posisi duduk
Pekerjaan tidak membutuhkan gaya/tenaga yang besar
Pekerjaan memerlukan kontrol yang teliti pada bagian kaki dan tangan
Objek yang dipegang tidak lebih dari 15 cm jauhnya dari landasan kerja
Pekerjaan dilakukan dalam waktu yang lama

Gambar 2 Stasiun Kerja Operator Duduk (1)

Sumber: B4D3 Consultant

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Gambar 3 Stasiun Kerja Operator Duduk (2)

Sumber : Barnes, 1963; Squire, 1956

2. Stasiun kerja untuk operator berdiri


Stasiun kerja untuk operator berdiri sesuai untuk situasi:
Tidak tersedia tempat untuk menyangga kaki dan lutut.
Sering dilakukan penangan untuk objek yang berat (lebih dari 4.5 kg).
Sering dilakukan gerakan menjangkau yang terlalu jauh/dekat.
Sering dilakukan pekerjaan dengan aktivitas menekan ke bawah.
Mobilitas untuk bergerak di sekitar stasiun kerja tinggi.

Gambar 4 Stasiun Kerja Operator Berdiri

Sumber : Workplace Health, Safety and Compensation Commission of New Brunswick

Selain itu terdapat beberapa rekomendasi ergonomik tentang ketinggian landasan kerja
posisi berdiri yang didasarkan kepada ketinggian siku berdiri, yaitu sebagai berikut ini:
Untuk pekerjaan yang memerlukan ketelitian tinggi, landasan kerja yang
direkomendasikan adalah 5 10 cm di atas tinggi siku berdiri.
Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA


Untuk pekerjaan yang melibatkan banyak peralatan dan material , tinggi landasan
kerja yang direkomendasikan adalah 10 15 sm di bawah tinggi siku berdiri.
Untuk pekerjaan yang memerlukan penekanan dengan kuat, tinggi landasan kerja
yang direkomendasikan adalah 15 40 cm di bawah tinggi siku berdiri.
3. Stasiun kerja untuk operator duduk berdiri
Desain stasiun kerja sangat ditentukan oleh jenis dan sifat pekerjaan yang dilakukan.Baik
desain stasiun kerja untuk posisi duduk maupun berdiri, keduanya memiliki keuntungan
dan kerugian. Clark (1996) mencoba mengambil keuntungan dari ke kedua posisi
tersebut dan mengombinasikan desain stasiun kerja untuk posisi duduk dan berdiri
menjadi satu desain dengan batasan sebagai berikut:
Pekerjaan dilakukan dengan duduk pada saat tertentu dan dalam posisi berdiri pada
saat yang lainnya. Perubahan posisi kerja dilakukan bergantian;
Pekerja perlu menjangkau sesuatu lebih dari 40 cm ke depan dan atau 15 cm di atas
landasan kerja; dan
Tinggi landasan kerja antara 90-120 cm merupakan ketinggian yang paling tepat dan
baik untuk posisi duduk maupun berdiri.

Gambar 5 Stasiun Kerja Operator Duduk Berdiri

Sumber : Das and Grady, 1983a

b.

Bidang Kajian Ergonomi


Terdapat lima bidang kajian ergonomi, yaitu biomekanika, antropometri, fisiologi,
penginderaan, dan psikologi kerja. Pada modul ini, bidang kajian yang dijelaskan dibatasi
mengenai visual display dan aspek lingkungan fisik.

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA


1. Perancangan Visual Display
a. Tingkat Pemahaman
Tipe kalimat
Broadbent (1977) menyatakan bahwa kalimat yang sederhana dan dalam bentuk aktif,
lebih mudah untuk dipahami.
Kata perintah
Katakata yang digunakan dalam kalimat perintah harus sesuai dengan perintah yang
akan dikerjakan.
Dalam pemasangan visual display, hal-hal yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Display harus dapat dilihat dan dibaca dengan baik oleh siapapun, dari semua sudut
yang dikehendaki, serta pada saat kapanpun (siang atau malam hari).
2. Display tidak boleh menimbulkan perbedaan penafsiran atas artinya.
3. Display hendaknya memiliki warna yang cukup kontras dengan lingkungan
sekelilingnya.
4. Display ditempatkan pada sudut pandang normal.
5. Display tidak terhalangi oleh bendabenda lain.
6. Hindari timbulnya bayangan pada permukaan display yang berasal dari penutupnya
atau dari bagian display yang lain.
7. Hindari distorsi optikal akibat pantulan lampu pada display.

b. Legibilitas
Legibilitas adalah sifat mudah dibaca, yaitu sifat kemudahan untuk membedakan dan
mengenali antara huruf dan angka.
Font Case
Text dapat ditampilkan dalam lowercase (huruf kecil) atau uppercase (huruf kapital).
Poulton (1967) mengatakan bahwa teks dengan lowercase lebih mudah dibaca
daripada teks dengan uppercase seluruhnya. Hal ini disebabkan ketajaman huruf
lowercase lebih tinggi daripada uppercase.
Font Size
Dalam buku Engineering Psychology and Cognitive Ergonomics, menyatakan bahwa
font size memiliki peranan penting dalam ketersampaian informasi dari suatu

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA


tulisan. Perbandingan antara lebar, tebal, dan tinggi huruf menentukan kemampuan
sebuah tulisan atau teks dapat dibaca atau dilihat dengan jelas. Perbandingan antara
lebar dan tinggi huruf yang sering digunakan adalah 3:5, sedangkan untuk tebal dan
tinggi huruf perbandingannya adalah 1:5.

Gambar 6 Lebar, Tebal, dan Tinggi Huruf

Sumber: Heglin,1973.
Selain

itu,

warna

huruf

dan

latar

belakang

(kekontrasan)

juga

mempengaruhikemampuan baca sebuah tulisan.Heglin (1973) menyatakan


beberapa kekontrasan huruf yang baik:
Dengan pencahayaan yang baik, perbandingan tebaltinggi tulisan black on
white adalah 1:6 sampai 1:8, sedangkan untuk white on black adalah
1:8sampai 1:10.
Jika pencahayaan dikurangi, tulisan dengan huruf yang tebal lebih mudah
dibacadaripada tulisan dengan huruf tipis.
Jika kekontrasan tulisan dengan latar belakang rendah, maka huruf yang
sebaiknya

digunakan

adalah

huruf

tipe

boldface

dengan

perbandingantebal/lebar dan tinggi yang rendah (misalnya 1:5).


Untuk tulisan yang terang, perbandingan tebaltinggi huruf yang digunakan
adalah 1:12 sampai 1:20.
Untuk huruf hitam dengan latar belakang yang sangat terang, digunakan
huruf yang sangat tebal.
Font Style
Font Style yang mudah dibaca adalah font style yang cenderung lebih simple, tegas,
dan tidak terlalu banyak ukiran/lekukan(subjektif).
Kontras warna
Kontras warna yang baik dapat mempengaruhi kecepatan membaca. Menurut
Kodak, berikut warna-warna yang sesuai untuk display:

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Tabel 1 Tingkat Kekontrasan Warna

c. Keterbacaan
Keterbacaan adalah kemampuan suatu tulisan mudah untuk dibaca (membedakan antar
kata dan spasi).

Jarak pembacaan
Menurut Berger dalam Sutalaksana (1979), huruf dapat dilihat dari jauh berdasarkan
tebal dan tinggi huruf. Menurut Kodak, ukuran huruf tergantung pada jaraknya:

Tabel 2 Jarak Pembacaan

Layout
Keterbacaan juga penting hubungannya dalam penentuan border dan spacing. Sebagai
contoh: border harus dibuat agak tebal dan diberi spacing.

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi

10

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Spasi antar huruf


Moriarty dan Scheiner (1984) mengatakan bahwa tulisan dengan spasi huruf yang dekat
atau rapat lebih cepat dibaca daripada tulisan dengan spasi huruf biasa.
Spasi antar baris
Wilkins dan NimmoSmith (1987) menyatakan bahwa kejelasan isi sebuah tulisan akan
semakin baik bila spasi antar baris dari tulisan tersebut semakin besar.

2. Lingkungan Fisik
Dalam perancangan sistem kerja, lingkungan fisik di sekitar tempat kerja perlu diperhatikan
karena performansi kerja seseorang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisik
kerjanya. Kondisi lingkungan fisik yang dimaksud adalah:
1. Iklim Kerja
Iklim kerja terdiri dari suhu, kelembaban, kecepatan gerakan udara, serta panas radiasi.
Suhu
Suhu menunjukkan derajat panas benda. Suhu mempengaruhi kualitas kerja seseorang.
Dengan suhu yang nyaman, maka akan tercipta sistem kerja yang baik sehingga dapat
meningkatkan performansi kerja seseorang.
Kelembaban
Kelembaban adalah jumlah air yang terkandung dalam udara yang biasanya dinyatakan
dalam persentase. Semakin panas dan semakin lembab lingkungan, maka semakin banyak
oksigen yang diperlukan, sehingga mempercepat berdetaknya denyut jantung. Oleh
karena itu, dalam suatu lingkungan kerja harus dilakukan penyesuaian temperatur dan
kelembabannya.

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi

11

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA


Kecepatan gerakan udara
Kecepatan gerakan udara berkaitan dengan sirkulasi udara. Untuk menjaga agar udara di
sekitar tempat kerja tetap sehat dalam artian mengandung oksigen yang cukup, udara
harus bersirkulasi dengan baik.
Panas radiasi
Panas radiasi dapat menyebabkan kenaikan suhu pada tempat kerja sehingga dapat
mempercepat kelelahan pekerja.

2. Kebisingan
Kebisingan merupakan bunyi-bunyian yang tidak dikehendaki telinga yang dapat
menyebabkan hal-hal berikut.
Mengganggu konsentrasi
Mengurangi ketenangan kerja
Menyulitkan komunikasi
Merusak pendengaran dalam jangka waktu panjang
Untuk mengetahui kebisingan yang terjadi, terdapat parameter-parameter sebagai berikut.
Durasi
Intensitas
Frekuensi

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) No. 1405 tentang Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri, standar untuk tingkat kebisingan di ruang kerja
adalah maksimal 85 dBA.
Berdasarkan Keputusan Tenaga Kerja Nomor : KEP-51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang
Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja, nilai ambang batas kebisingan adalah sebagai berikut.

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi

12

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Tabel 3 Nilai Ambang Batas Kebisingan

3. Pencahayaan
Pencahayaan merupakan jumlah penyinaran pada suatu bidang kerja. Pencahayaan
mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melihat objek secara jelas, cepat, dan benar.
Kemampuan mata melihat objek secara jelas ditentukan oleh ukuran objek, derajat kontras
antara objek dan sekelilingnya, luminensi, dan lama melihat. Selain itu, letak sumber cahaya
juga mempengaruhi efektivitas mata dalam melihat.
Standar pencahayaan berdasarkan Peraturan Menteri Perburuhan No. 07 Tahun
1964 Tentang Syarat Kesehatan, Kebersihan serta Penerangan Dalam Tempat Kerja
dijelaskan dalam tabel berikut.
Kondisi
Penerangan darurat

Intensitas (lux)
5

Halaman dan jalan perusahaan

20

Pekerjaan membedakan benda kasar

50

Pekerjaan membedakan benda sepintas lalu

100

Pekerjaan membedakan barang kecil agak teliti

200

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi

13

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA


Pekerjaan membedakan yang teliti dari barang kecil dan halus
Pekerjaan membedakan barang halus dengan kontras sedang dan dalam
waktu lama

300
500 - 1000

Pekerjaan membedakan barang sangat halus dengan kontras yang sangat

1000

kurang dan dalam waktu lama


Tabel 4 Standar Pencahayaan

4. Getaran
Getaran adalah gerakan yang teratur dari suatu benda atau media dengan arah
bolak-balik dari kedudukan keseimbangannya. Getaran membutuhkan struktur mekanik
sebagai media transmisi, yaitu mesin, bangunan, tubuh manusia, dll. Getaran dapat
mempengaruhi konsentrasi bekerja dan mempercepat datangnya kelelahan.

Tabel 5 Nilai Ambang Batas Getaran

Sumber : Pusat K3 Kemenakertrans RI


5. Bau-bauan dan debu
Bau-bauan dan debu dapat mempengaruhi konsentrasi kerja, kelainan pernafasan,
dan kepekaan penciuman pekerja.
6. Warna
Warna yang terdapat pada lingkungan kerja, seperti pada dinding, benda kerja,
kemasan produk, dan lain-lain dapat memberikan efek psikologis pekerja (kuning
memberikan efek kesegaran, oranye memberikan efek kehangatan, dsb.)

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi

14

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA


c.

Prinsip-prinsip rekayasa sistem kerja yang perlu diketahui


Beberapa prinsip-prinsip rekayasa sistem kerja lainnya yang perlu diketahui dalam
melakukan perancangan stasiun kerja usulan adalah 5S, pokayoke, dan SMED.
1. 5S
5S merupakan lima kata yang berasal dari bahasa Jepang yang diartikan ke dalam bahasa
Inggris dan diawali dengan huruf S. 5S adalah metode yang digunakan dalam mengatur dan
mengelola ruang kerja (workspace) dan aliran kerja (workflow) yang bertujuan untuk
menghilangkan pemborosan, memperbaiki aliran kerja, dan mengurangi proses yang tidak
diperlukan. Dalam bahasa Indonesia, 5S sering dikenal dengan nama 5R, yaitu:
1.

Seiri = Sorting = Ringkas


Ringkas dalam hal ini berarti dapat memilah mana alat/barang yang dibutuhkan dan
yang tidak dibutuhkan dalam suatu sistem kerja. Memiliki barang yang tidak
dibutuhkan dalam suatu sistem kerja tidak membawa nilai tambah sehingga
sebaiknya disingkirkan.

2.

Seiton = Straighten or Set in Order = Rapi


Setelah meringkas, selanjutnya adalah merapikan atau mengorganisasikan peralatan
di sistem kerja. Merapikan ini dimaksudkan untuk meletakkan dengan peralatan di
tempat yang mudah bagi orang untuk menemukan atau menggunakan
peralatannya.

3.

Seis = Sweeping = Resik


Resik seperti arti katanya yaitu bersih. Resik dalam sistem kerja berarti menjaga
kebersihan di sistem kerja tersebut, seperti menyapu lantai, mencuci peralatan, dan
sebagainya.

4.

Seiketsu = Standardizing = Rawat


Rawat berarti menjaga kondisi peralatan/barang pada sistem kerja tetap ringkas,
rapi, dan resik. Perawatan juga digunakan untuk menjaga kondisi peralatan tetap
baik.

5.

Shitsuke = Sustaining = Rajin


Rajin ini berarti tetap mempertahankan 4S sebelumnya. Kedisiplinan dalam
melaksanakan 4S dapat mengurangi banyak pemborosan.

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi

15

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Gambar 7 Alur Penggunaan 5S


Sumber : http://www.tpfeurope.com

2. Poka Yoke
Poka Yoke dalam bahasa Jepang dari Yokeru berarti untuk menghindaridan Poka berarti
kesalahan karena ketidakhati-hatian. Maka, Poka Yoke berarti alat untuk menghindari
kesalahan. Dalam literatur barat Poka Yoke dikenal sebagai mistake proofing. Dengan Poka
Yoke maka jumlah cacat produk akan berkurang karena mencegah atau mengorek si
kesalahan secepatnya. Poka Yoke terdiri dari 2 kategori, yaitu Prevention dan Detection.

Gambar 8 Gambar USB menyatakan bagian atas kabel untuk mencegah kesalahan

Sumber : http://agilesoftwaredevelopment.com

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi

16

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

3. SMED
SMED atau Single Minute Exchange Dies yaitu suatu metode untuk meminimasi waktu setup
dari satu jenis produk ke produk lainnya. Ada dua jenis setup, yaitu setup internal dan setup
eksternal. Setup internal adalah setup yang dapat dilakukan jika mesin mati atau mesin tidak
beroperasi sedangkan setup eksternal adalah setup yang dapat dilakukan pada keadaan
mesin menyala atau tanpa mematikan mesin. Tahap dalam SMED terdiri dari identifikasi
pekerjaan, identifikasi mana yang merupakan setup internal dan setup eksternal, dan
kemudian merekayasa agar setup internal berkurang sehingga sedemikian sehingga setup
dapat dilakukan dengan mematikan mesin sesedikit mungkin. Hal inilah yang akan
meminimasi waktu setup.

Gambar 9 Prinsip SMED


Sumber : http://eng.ma na gers ervi ces .nl

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi

17

Daftar Pustaka
Eastman Kodak Company. Ergonomic Design for People at Work. (1983). Belmont, California:
Lifetime Learning Publications.
Hirano, Hikayuki. The Complete Guide to Just-in-Time Manufacturing Vol.2 (1990). New York :
CRC Press.
Niebel, B. W., & Freivalds, A. Methods, Standards and Work Design. (1999). New York: McGraw-Hill.
Salvendy, G. Handbook of Human Factors and Ergonomics. (1997). New York: John Wiley &
Sons Inc.
Sutalaksana, Iftikar Z., & Anggawisastra, Ruhana, & Tjakraatmadja, Jann H. Teknik
Perancangan Sistem Kerja. (2006). Bandung: Penerbit ITB.

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi

18

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Flowchart Praktikum

Gambar 7 Flowchart Praktikum

Alat dan Bahan


Sub-assembly dongkrak (disediakan oleh asisten)
Stopwatch (boleh menggunakan hp/jam digital)
Lembar pengamatan
Lima lembar drawing
Tabel penyesuaian Westinghouse
Tabel kelonggaran
Data antropometri (persentil)
Data kondisi lingkungan fisik
Peta Pekerja Mesin (PPM) usulan terbaik
Lampiran dibawa terpisah saat Responsi dan Praktikum

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi

19

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Penulisan Laporan
Laporan dibuat dengan susunan sebagai berikut:
Cover
Lembar Pengesahan
Lembar Asistensi
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan Praktikum
1.3 Flowchart Pengerjaan Laporan
BAB 2 PENGOLAHAN DATA
2.1. Rekapitulasi Data
2.1.1 Data Waktu Perakitan
2.1.2 Data Kondisi Lingkungan Fisik
2.2. Pengujian Data Waktu
2.2.1 Uji Seragam
2.2.2 Uji Cukup
2.3. Proses Perhitungan Waktu Baku
2.4. Desain Stasiun Kerja Existing
2.4.1. Stasiun Kerja Keseluruhan Existing
2.4.2. Stasiun Kerja Satu Mesin Existing
2.5. Desain Perbaikan Stasiun Kerja
2.5.1. Stasiun Kerja Keseluruhan
2.5.2. Stasiun Kerja Satu Mesin
BAB 3 ANALISIS
3.1 Analisis Pemilihan Nilai Faktor Penyesuaian dan Faktor Kelonggaran dalam Perhitungan Waktu
Baku
3.2 Analisis Pemilihan Dimensi Perancangan Stasiun Kerja
3.3 Analisis Rancangan Perbaikan Stasiun Kerja Satu Mesin
3.4 Analisis Rancangan Perbaikan Stasiun Kerja Keseluruhan
3.5 Analisis Penggunaan Waktu Baku di Industri
3.6 Analisis Input dan Output Modul
BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
4.2.1 Saran Untuk Praktikum
4.2.2 Saran Untuk Asisten
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi

20

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA


Format laporan mengikuti ketentuan sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.

Ukuran kertas A4
Margin : kiri 2.5 cm; kanan-atas-bawah 2 cm
Dicetak bolak-balik
Jenis font
Isi laporan : Calibri 10
Judul bab dan sub bab : Cambria 11 Bold
e. Spasi : Multiple 1.2
f. Align: Justified
g. Header
Kiri : Modul 4 Standardisasi Sistem Kerja
Kanan : Nama dan NIM Asisten
h. Footer :
Kiri : NIM Anggota Kelompok (13413xxx 13413xxx dst)
Kanan : Nomor halaman
i. Cover:
nama dan nomor mata kuliah, judul modul, nomor kelompok, nama masing-masing anggota
kelompok, nama laboratorium, logo ITB, prodi, fakultas, dan tahun.

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi

21

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Lampiran
Lampiran 1 - Tabel Penyesuaian Westinghouse
Tabel 1 Penyesuaian Metode Westinghouse yang Sudah Disesuaikan untuk Orang Indonesia

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi

22

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Sumber: Sutalaksana, Iftikar Z., & Anggawisastra, Ruhana, & Tjakraatmadja, Jann H. Teknik Perancangan
Sistem Kerja. (2006). Bandung: Penerbit ITB.

Ciri-ciri setiap kelas antara lain :


Super skill :
1.

Bekerja secara sempurna

2.

Tampak seperti telah terlatih sangat baik

3.

Gerakan-gerakannya halus tetapi sangat cepat sehingga sulit untuk diikuti

4.

Perpindahan dari satu elemen pekerjaan ke elemen lainya tidak terlampau terlihat karena
lancarnya

5.

Tidak terkesan adanya gerakan berpikir dan merencanakan tentang apa yang dikerjaka

Excellent Skill :
1.

Percaya pada diri sendiri

2.

Tampak cocok dengan pekerjaannya

3.

Terlihat terlatih baik

4.

Bekerja dengan teliti sehingga tidak banyak melakukan pengukuran atau pemeriksaan lagi

5.

Gerakan kerja dan urutan dikerjakan tanpa kesalahan


Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi

23

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA


6.

Bekerja cepat tapi halus

7.

Bekerja berirama dan terkoordinasi

Good Skill :
1. Kualitas hasil baik
2. Bekerja lebih cepat dibanding pekerja lainya
3. Dapat memberi petunuk pada pekerja lain
4. Tidak memerlukan banyak pengawasan
5. Tidak ada keragu-raguan
6. Bekerja stabil
7. Gerakan cepat
Average Skill :
1. Gerakan cepat tapi tidak cepat
2. Terlihat adanya pekerjaan perencanaan
3. Bekerja cukup teliti
4. Secara keseluruhan cukup memuaskan
5. Mengkoordinasikan tangan dan pikiran cukup baik
Fair Skill :
1. Tampak terlatih tetapi belum cukup baik
2. Mengenal peralatan dan lingkungan secukupnya
3. Terlihat adanya perencanaan sebelum melakukan gerakan
4. Tidak tampat terlalu yakin akan pekerjaan yang dilakukan
5. Saat tidak fokus, output akan sangat rendah
6. Tidak memiliki kepercayaan diri yang cukup
Poor Skill :
1. Tidak bisa mengkoordinasikan tangan dan pikiran
2. Gerakan kaku
3. Terlihat ketidakyakinan pada urutan gerakan
4. Seperti yang tidak terlatih untuk pekerjaan yang bersangkutan
5. Ragu-ragu dalam melaksanakan gerakan kerja

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi

24

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA


6. Sering melakukan kesalahan

Lampiran 2 Tabel Kelonggaran


Tabel 2 Besarnya Kelonggaran Berdasarkan Faktor-Faktor yang Berpengaruh

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi

25

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Catatan: H. Kelonggaran untuk kebutuhan pribadi bagi Pria ( 0-2.5 %) dan Wanita ( 2-5%).
Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi

26

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Lampiran 3 Lembar Pengamatan


LEMBAR PENGAMATAN

Nama Pengamat

Hari/Tanggal

Jam Pengamatan

Stasiun Pengamatan: Duduk/Berdiri

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi

27

Anda mungkin juga menyukai