Istilah just culture terdiri dari dua kata; just dan culture. Culture dalam bahasa Indonesia
berarti budaya. Kata culture lebih familiar dengan dunia seni dan sastra, dimana culture itu
sendiri mengandung pola pengetahuan manusia, kepercayaan dan perilakunya untuk berpikir
secara simbolis dan sosial. Culture juga memiliki kumpulan aturan tentang sikap, nilai,
tujuan, dan praktik keseharian. Oleh karena itu, culture seharusnya bukan dominasi dunia
seni dan sastra saja. Namun, juga merupakan prinsip dari sebuah sistem yang berjalan
termasuk di dunia kerja. Jika berbicara tentang just culture, maka dalam konteksnya tidak
terlepas dari Safety Culture. Budaya Keselamatan (Safety Culture) adalah istilah yang sering
digunakan untuk menjelaskan bagaimana safety dikelola di tempat kerja dan kadang
mencerminkan perilaku, kepercayaan, persepsi dan nilai-nilai dimana pegawai memiliki andil
dalam menciptakan safety.
Menurut James Reason (1997), ada lima komponen pembentuk safety culture, yakni:
Informed Culture, dimana orang-orang yang mengelola dan mengoperasikan sebuah sistem
manajemen memiliki pengetahuan tentang faktor psikologis, teknis, organisasi dan
lingkungan yang menentukan dan mempengaruhi safety sebagai sistem secara keseluruhan.
1.
Reporting Culture, merupakan iklim di suatu perusahaan dimana pegawai bersedia
untuk melaporkan kesalahan (errors) dan/atau hazard (potensi bahaya yang kemungkinan
dapat menimbulkan insident).
2.
Flexible Culture, merupakan budaya dalam perusahaan dimana setiap individu
pekerjanya dapat mengatur ulang dirinya dalam menghadapi tempo operasional yang tinggi
atau jenis bahaya tertentu yang tidak selalu sama dan terkadang sering bergeser dari bentuk
hierarki konvensional sehingga menuju bentuk yang lebih efisien tanpa birokrasi yang rumit.
3.
Learning Culture, dimana suatu perusahaan harus memiliki kemauan dan
kompetensi untuk memahami dan menarik kesimpulan dari informasi safety dan mau
menerima sebuah perubahan yang besar.
4.
Just culture, merupakan suasana saling menghargai dan mempercayai dimana setiap
orang dianjurkan bahkan diberi penghargaan jika dapat menyediakan informasi penting yang
berkaitan dengan safety, serta mengerti secara jelas batas-batas perilaku yang dapat diterima
dan yang tidak dapat diterima.
Bagaimana Just Culture menilai sebuah ERROR?
Error merupakan sebuah kondisi dimana kejadian tidak sesuai dengan standar perusahaan.
Jika kondisi tersebut terjadi akibat gerak-gerik dan/atau tindakan seseorang maka hal tersebut
dinamakan human error. Ketidak-sengajaan merupakan faktor pembatas antara error dengan
violition (pelanggaran). Violition terjadi jika seseorang mengetahui tentang standar yang
berlaku namun tidak melaksanakannya sebagaimana mestinnya. Sebuah pelanggaran tentu
saja memerlukan tindakan penanganan secara hukum. Munculnya error bisa terjadi bila orang
dan/atau organisasi yang bersangkutan kurang dalam memperoleh pelatihan, training,
maupun pengalaman.
Hazard
Dalam lingkungan keseharian, sering ditemui istilah hazard. Dalam konteks safety, hazard
merupakan sebuah tindakan atau kondisi yang berpotensi menimbulkan resiko baik insiden
maupun kecelakaan yang lebih serius. Sebagai contoh, sebuah kecelakaan terjadi di jalan raya
akibat sebuah sepeda motor mengalami pecah ban dan pengendaranya luka parah. Diketahui
ban pecah akibat tertusuk paku. Paku yang berserakan di tengah jalan disebut hazard, dan
kejadian si pengendara motor mengalami luka parah disebut kecelakaan fatal (accident).
Namun, apabila sepeda motor hanya mengalami pecah ban dan tidak terjadi apa-apa terhadap
si pengendara motor maka kejadian ini disebut dengan incident.
Membahas Just culture lebih dalam
Berdasarkan definisi yang diberikan oleh Reason, dapat dipahami bahwa seseorang just
culture tidak menghukum seseorang akibat tindakan, kelalaian dan/atau keputusan yang telah
dilakukannya akibat kurangnya pengalaman dan pelatihan, namun tidak akan mentolerir
terjadinya sebuah tindakan ceroboh yang mengakibatkan violition bahkan sebuah tindakan
destruktif (menghancurkan). Just Culture menciptakan sebuah lingkungan yang saling
mengerjakan tugas yang menjadi tanggungjawab pribadi, berlomba untuk promosi dan
menjadi yang terbaik, mengejar nilai nilai diri dengan menyembunyikan kesalahan dan
pelanggaran pribadi yang sepertinya tidak berbahaya dan tidak perlu dilaporkan padahal
menyimpan potensi resiko yang sangat besar dan kerugian bagi perusahaan. Pelaporan yang
tidak ditangani dengan baik akan menjadi sia-sia, sehingga just culture akan menuntut tiaptiap orang dalam organisasi untuk bekerjasama menangani setiap kesalahan dan mengatasi
setiap masalah alih-alih menyembunyikan kesalahan dan masalah-masalah tersebut.
1.
Membangun Kepercayaan. Budaya pelaporan melalui just culture akan mengubah
pemikiran konvensional dengan melihat error atau penyimpangan yang terjadi secara positif,
bukan semata sebagai kesalahan individu, tetapi ada keterlibatan pihak-pihak lain secara tidak
langsung secara sistemik, misalnya prosedur dan standardisasi yang tidak jelas, sosialisasi
program kerja dari manajemen yang tidak tersampaikan dengan baik kepada para karyawan
sehingga karyawan tidak mengerti dengan baik apa yang diharapkan darinya, dll. Dalam just
culture, individu yang memberikan informasi yang terkait dengan keamanan dan keselamatan
tidak akan dihukum tetapi akan dihargai dan didorong untuk secara proaktif memberikan
informasi-informasi yang berguna bagi perusahaan. Hal ini akan menambah kepercayaan
karyawan dalam bekerja karena karyawan tidak akan merasa terancam bahkan terlindungi
dan dihargai dengan melaporkan peristiwa atau kejadian yang memiliki potensi resiko yang
besar baik yang melibatkan dirinya maupun yang melibatkan orang karyawan lain atau
bahkan manajemen.
2.
Meningkatkan Efektivas Safety and Operational Management. Just culture akan
meningkatkan pencapaian safety performance sebagai pencapaian perusahaan dan safety
value sebagai nilai dasar yang dianut dalam aktivitas organisasi karena just culture akan
menciptakan pemahaman yang jelas bagi karyawan dalam bekerja dengan menentukan
prosedur dan standardisasi yang baku, target dan program kerja yang tersampaikan dengan
baik kepada seluruh karyawan, sekaligus akibat-akibat yang timbul apabila karyawan
melakukan penyimpangan dan kesalahan.
Jika penelusuran penyimpangan atau kesalahan berujung pada penemuan kesalahan prosedur
atau manajemen, maka revisi dan penyusunan ulang prosedur atau program kerja menjadi
fokus perhatian oleh manajemen. Namun, jika penyimpangan terjadi karena kesalahan
individu,
maka
dapat
dilakukan
penanganan
segera
seperti:
Culture
adalah
Lagu
lama
Blame culture merupakan kebalikan dari peranan just culture dalam sebuah perusahaan.
Blame culture (culture saling menyalahkan) sering sekali terjadi dalam dinamika perusahaan.
Culture seperti ini sering mengakibatkan pertentangan antar berbagai pihak baik pada intra
manajerial, inter department, atasan dengan bawahan, sehingga terkadang sangat sulit
dipertemukan dan mencapai kesepakatan dalam menyelesaikan permasalan yang berlarutlarut. Blame culture adalah lagu lama. Sebagai insan Garuda Indonesia, sungguh tidak
diharapkan lagi untuk tetap membudidayakan dan menyanyikan lagu lama tersebut. ICAO
(International Civil Aviation Organization) mensyaratkan agar just culture diterapkan di
seluruh aspek penyelenggaraan perusahaan anggotanya, sebagaimana yang termuat dalam
ICAO Doc.9859 Safety Management Manual 2nd edition 2008 poin 2.9 Safety Investigation.
Oleh karea itu, Indonesia sebagai anggota ICAO dan Garuda Indonesia sebagai Flight Carrier
dituntut untuk dapat menerapkan just culture di seluruh lini perusahaannya.
Budaya Keselamatan secara singkat dapat diartikan sebagai melakukan hal yang benar
tanpa harus diawasi oleh orang lain. Telah banyak symposium dan seminar diadakan terkait
dengan budaya keselamatan tetapi mengapa jumlah insiden dan kecelakaan masih saja
bertambah banyak, akhirnya muncul pertanyaan bahwa sebenarnya ada atau tidak Budaya
Keselamatan di tempat kerja kita? Insiden dan Kecelakaan seringkali terjadi justru disaat kita
merasa bahwa pekerjaan yang kita lakukann gampang, sepele, bahkan ketika anda merasa
sudah sangat ahli sehingga bekerja seenak hati tanpa prosedur yang seharusnya, saat itulah
tanpa disadari bahaya mengancam Lebih jauh Dr Reason menyatakan Budaya Keselamatan
(Safety Culture) terdiri dari tiga elemen yaitu; 1.Budaya Menginformasikan (Informed
Culture); 2.Budaya Melapor (Reporting Culture) ; dan 3.Budaya Bertindak Adil (Just
Culture). Budaya menginformasikan diartikan sebagai tindakan mengumpulkan dan
menganalisa data/informasi agar keselamatan dapat selalu terjaga, sebagai contoh; Internal &
Eksternal Audit. Budaya Melapor, adalah tindakan melaporkan segala sesuatu yang terkait
dengan masalah keselamatan, insiden dan kecelakaan, pelapor mengetahui dan yakin bahwa
dia tidak akan dikenakan hukuman atau ditertawakan jika melapor. Jika sebagai pimpinan
anda mengharap agar semua karyawan di bawahnya mau memberikan informasi keselamatan,
maka mutlak harus ada kebijakan keselamatan (safety policy) yang ditanda tangani oleh
Pimpinan Tertinggi di tempat kerja anda yang menjamin bahwa seseorang yang dengan niat
baik membeberkan potensi bahaya (hazard) atau insiden keselamatan, maka kerahasiaan
harus tetap terjaga. Dipercaya bahwa dengan tidak adanya budaya menginformasikan dan
budaya melapor, meskipun barangkali tidak/belum terjadi insiden namun dimungkinkan akan
dapat terjadi kecelakaan kalau terus dibiarkan. Budaya Bertindak Adil, sangat penting tetapi
sering di salah artikan. Seseorang akan percaya bahwa segala tindakan yang dilakukan akan
diperhitungkan secara adil, bahwa jika seseorang melakukan hal yang ceroboh dan be-resiko
membahayakan keselamatan akan dikenakan sangsi. Dr. Reason menekankan jangan
dicampur aduk-kan Budaya Bertindak Adil (Just Culture) dengan Kebudayaan Tidak
Menyalahkan (no-blame culture). No-blame culture tidak dapat diartikan sebagai seseorang
yang dengan sengaja (dan berulang-ulang) terlibat perilaku berbahaya yang dapat
meningkatkan resiko insiden / kecelakaan, tidak juga tepat jika diartikan sebagai sesuatu yang
krusial hanya untuk membedakan antara yang bersalah dan yang tidak bersalah. Ketiga
elemen dari budaya keselamatan diatas layaknya seperti gir yang berputar bersama-sama
untuk mendorong menuju budaya keselamatan. Jika satu atau dua elemen hilang, maka
budaya keselamatan yang diinginkan tidak akan tercapai. Jadi, apakah benar-benar ada
budaya keselamatan di tempat kerja anda?
Adapun penjelasan dari tiap-tiap bagian yaitu:
A.
B.
C.
dikenakan oleh seluruh karyawan yang bekerja di ruang Anggrek, sudah sesuai dengan tata
tertib dari RSUD Goeteng Tarunadibrata Purbalingga.
Terdapat emat belas karyawan yang bekerja diruang Anggrek yang terdiri dari 10
orang perawat (termasuk kepala ruang), 1 petugas administrasi, 2 orang Asper dan 1 orang
hygiene servis. Dari 14 orang karyawan yang ada, kesemuanya telah memiliki kedisiplinana
kerja yang baik, melaksanakan tugas sesuai dengan fungsi masing-masing .
D.
E.
Di RSUD
Goeteng Tarunadibrata Purbalingga pelaksanaan jam kerja karyawan dibagi dalam 3 sif
yaitu ; shift pagi jam 07.00 -14.00 WIB, sif sore jam 14.00 21.00 WIB dan sif malam jam
21.00 07.00 WIB. Dalam setiap pergantian shift tersebut dilakukan pelimpahan tugas atau
sering disebut dengan operan jaga, hal ini bertujuan agar tindakan keperawatan dapat
dilakukan secara berkesinambungan dan perkembangan keadaan pasien dapat terpantau
sedini mungkin.
Di ruang Anggrek pelimpahan tugas dilaksanakan di ruang perawat serta di ruang
perawatan atau kamar pasien. Di ruang perawat dilakukan pelimpahan tugas dari perawat
yang telah melaksanakan shif kepada perawat yang akan melaksanankan shift (meeting
morning). Perawat yang telah melaksankan shift menjelaskan mengenai jumlah pasien
diruang perawat dan perkembangan dari masing-masing pasien mulai dari keadaan umum ,
keluhan, tindakan yang telah dilakukan, tindakan yang belum dilakukan dan rencana tindakan
selanjutnya serta hal-hal lain yang menyangkut pasien tersebut. Pelimpahantugas shif tersebut
didokumentasikan pada buku laporan perawat sesuai dengan resep dokter yang
bertanggungjawab. Seteleh itu perawat akan berkeliling ke ruang-ruang kamar pasien dan
diruang kamar pasien perawat yang telah melaksankan tugas shifnya akan memperkenalkan
perawat yang bertugas pada shift berikutnya sehingga diharapakan pasien dapat mengenal
perawat yang akan merawatnya selama satu shif berikutnya
F.
G.
Kerjasama Tim
Seorang perawat yang bekerja dirumah sakit dalam bekerja tidak bisa bekerja
sendirian, akan tetapi memerlukan kerjasama dengan perawat yang lain ataupun dengan
unit yang lain. Di ruang Anggrek semua perawat merasa bahwa mereka adalah bagian dari
suatu tim yang harus selalu bekerja sama. Dari keharmonisan antar karyawan yang telah
terbentuk akan tercipta kerjasama tim yang solid dan tim yang solid akan berpengaruh baik
bagi pelayanaan kesehatan kepada masyarakat (pasien).
H.
tentang
keluhan
atau
masalah
yang
dirasakannya
dan
perawat
kolaborasi dengan dokter maka perawat akan segera melaporkan kepada dokter yang
bertugas.
I.
Koordinasi dengan Unit Lain (Farmasi, Labortorium, Komite Medis , Fisioterapi, Instalasi
Gizi, dll)
Terciptanya tindakan /proses keperawatan yang menyeluruh tidak teerlepas dari
kerjasama dengan unit-unit lain. Kerjasama dengan unit-unit yang lain diperlukan untuk
membantu tercapainya tujuan dari tindakan keperawatan yaitu mengatasi masalah yang
dihadapi pasien. Kerjasama dengan unit-unit yang lain telah dilakukan oleh perawat-perawat
diruang Anggrek terbilang cukup memuaskan.
III.
a) Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa semua kegiatan di ruang Anggrek telah
berjalan sesuai dengan prosedur asuhan keperawatan. Dan dapat dikatan sudah cukup baik.
Mulai dari hubungan intern perawat dalam tim di dalam ruang Anggrek. Hubungan perawat
selaku pemberi pelayanan dengan pasien . Juga kerjasama atau koordinasi dengan unit-unit
lain dalam rumah sakit sudah berjalan dengan baik, tanpa ada kendala yang mengurangi
pelayanan terhadap pasien.
b) Saran
1. Pertahankan kekompakan dan kerjasama tim yang telah terbentuk demi memberikan
pelayanaan yang lebih baik untuk kepuasan pelayanan kesehatan kepada pasien
2. Jangan berpuas diri dari keadaan yang sudah baik. Namun terus menerus meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan terhadap masyarakat tanpa memandang latar belakang, status sosial,
ekonomi maupun politik.