Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING

BLOK CARDIOVASCULAR
PBL KASUS 1

Tutor :
dr. Tisna Sendy
Kelompok 9
Ahmad agus Faisal G1A012018

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014

I.

PENDAHULUAN

A. Skenario
Informasi 1
Ny. Aming 48 tahun datang ke poliklinik penyakit Dalam RSMS dengan
keluhan leher terasa tegang. Penderita mengaku keluhan sering terjadi sejak
bertahun-tahun lalu dan sering hilang timbul tetapi tidak pernah di bawa kedokte
rkarena takut biaya yang mahal. Keluhan berkurang ketika beristirahat tetapi
muncul dan memberat saat bekerja di sawah. Ny.Aming juga mengeluhkan
terkadang kepala terasa nyut-nyut-an, tidak nyaman, dan badan cepat lelah
sehingga sulit tidur. Sekarang penderita memiliki kartu BPJS sehingga penderita
berani memeriksakan dirinya ke RS.
Ny. Aming merupakan seorang petani dengan 4 orang anak, suaminya
sudah meninggal dunia.Penderita menyangkal pernah menderita tekanan darah
tinggi dan menyangkal mengalami kencing manis ataupun riwayat penyakit ginjal,
namun mengatakan bahwa ayahnya adalah penderita tekanan darah tinggi.
Ny.Aming mengaku pernah di tensi oleh perawat tetangga rumahnya tetapi lupa
hasilnya hanya ingat bahwa dia disuruh mengurangi makan gesek.
Informasi 2
Pemeriksaan fisik :
Keadaanumum
Suhu
Respirasi
Nadi
Tekanan darah
Kepala
JVP
Thoraks

: Tampak sakit ringan/ compos mentis


:
: 20 kali/menit
: 88 kali/menit
: 1. 170/90 mmHg
2. (30 menit berikutnya) 170/90 mmHg
: Dalam batas normal
: 5 2 cm
: Inspeksi : ictus cordis tak tampak
: Palpasi : teraba ictus cordis di SIC V linea midclavicula
sinistra
: Perkusi : Batas jantung
Kanan atas : SIC 2 linea parasternal dextra

Kanan bawah : SIC 4 linea parasternal dextra


Kiri atas : SIC 2 linea parasternal sinistra

Abdomen
Pemeriksaan fisik
lain

Kiri bawah : SIC 5 linea midclavicula sinistra


: Auskultasi : S1 S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
: Dalam batas normal
: Dalam batas normal

Informasi 3
X foto thorax

: Jantung CTR < 50%, kesan normal, paru dbn

EKG

: Normal sinus rhytm

Informasi 4
Diagnosis

: Hipertensi stage II (essential hypertension)

Penatalaksanaan : Non medikamentosa :


1. Batasi konsumsi garam
2. Helthy lifestyle
Medikamentosa
1. Amplomide (1 x 5 mg)
2. Captopril (3 x 12,5 mg)
Prognosis

: Advitam
Adfungsionam

: dubia ad bonam

Adsanation

: dubia ad bonam

II.
A.

: ad bonam

PEMBAHASAN

Klarifikasi Istilah

1. Leher tegang
2. Kepala nyut-nyutan
B.

Batasan Masalah
1.

2.

Identitas Pasien
a.

Nama

: Ny. Aming

b.

Usia

: 48 tahun

c.

Pekerjaan

: petani

Riwayat Penyakit Sekarang


a.

Keluhan utama

: leher tegang

b.

Onset

: bertahun tahun

c.

Durasi

:-

d.

Kualitas

: nyeri leher

e.

Lokasi

: leher

f.

Faktor pemberat

: bekerja di sawah

g.

Faktor peringan

: istirahat

h.

Keluhan lain

: badan cepat lelah, sulit tidur, kepala nyutnyutan

3.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pernah ditensi oleh perawat tetangganya, namun lupa akan
hasilnya. Perawat hanya mengingatkan pasien untuk mengurangai
makan gesek atau ikan asin.

4.

Riwayat Penyakit Keluarga


Ayah dari pasien merupakan penderita darah tinggi.

5.

Riwayat Sosial Ekonomi


Keluhan sudah lama ada namun tidak berani berobat karena takut
akan biaya, dan sekarang sudah memiliki asuransi BPJS. Pasien
diketahui mengkonsumsi ikan asin.

6.

Anamnesis Tambahan
a.
b.
c.
d.

Apakah sering berkeringat dan dada berdebar?


Apakah pernah mengalami mimisan? Jika ya, sering atau tidak?
Apakah sebelumnya minum kopi? Merokok?
Bagaimana kebiasaan makanya? Sering makan makanan

berkolesterol tinggi atau tidak?


e. Apakah sebelum pemeriksaan minum obat tertentu? Jika iya, apa?
3

f. Apakah ada gangguan penglihatan?


g. Apakah ada keluhan pada tempat lain seperti nyeri pada daerah
belakang perut?
h. Apakah mengalami kencing dimalam hari lebih dari 2x dalam satu

7.

8.

malam?
i. Apakah nafsu makan meningkat dan sering merasa lapar?
Rencana Pemeriksaan Fisik
a. Kondisi umum dan kesadaran umum
b. Vital sign
c. BMI
d. Head to toe assessment
e. Pemeriksaan fisik torak
Rencana Pemeriksaan Penunjang
a. Darah rutin
b. HDL, LDL, trigliserida
c. Kolesterol total
d. Pemeriksaan urin
e. Glukosa darah
f. EKG
g. Kreatinin dan ureum
h. Foto thorax

C. Analisis Masalah
1. Bagaimana Anatomy sistem terkait?
2. bagaimana Fisiologi sistem terkait?
3. Bagaimana interpretasi pemeriksaan hasil pemeriksaan?
4. Apa saja diagnosis differentialnya?
5. Apadiagnosis pasti dari kasus diatas?
6. Apa definisi, etiologi dan klasifikasinya?
7. Bagaimana mekanisme pengaturan tekanan darah yang normal?
8. Bagaimana pathogenesis dari penyakit tersebut?
9. Bagaimana patofisiologi dari keluhan yang ada?
10. Jelaskan kegawatan hypertensi !
11. Bagaimana komplikasi hypertensi?
12. Bagaimana tatalaksana hypertensi yang terbaru?
13. Bagaimana tindakan dokter bila menerima pasien hypertensi?
14. bagaimana prognosis dan edukasi yang tepat terhadap pasien?
D. Pembahasan Masalah
1. Anatomy Sistem Cardiovascular

Jantung merupakan organ yang berfungsi sebagai pompa darah tubuh


yang berada di dalam rongga mediastinum.Lapisan pembungkus jantung
disebut perikardium, terdiri dari perikardium parietal (luar) dan perikardium
visceral (dalam). Dinding jantung terdiri dari 3 lapisanyaitu epikardium,
myokardium, dan endokardium. Rangka jantung terbuat dari cincin-cincin
fibrosa yang mengelilingi ostium atrioventrikulare, ostium pulmonalis, serta
ostium aorta. Rangka ini berfungsi untuk menyokong basis cupis valva
sehingga mencegah peregangan atau inkompeten pada valva, menyediakan
tempat lekat untuk otot-otot jantung, pemisah antara antara dinding otot
atrium dan ventriculus, dan sebagai dasar pemutusan hubungan elektrisitas
antara atrium dan ventriculus (Snell, 2012).
Di jantung terdapat empat ruang utama yaitu atrium dextrum, atrium
sinistrum, ventrikulus sinister, dan ventrikulus dexter. Atrium dextrum
terdiri atas rongga utama dan auricula, dipisahkan oleh sulcus terminalis
yang pada permukaan dalamnya berbentuk rigi disebut crista terminalis,
posterior rigi licin, anterior rigi kasar karena serabut otot musculi pectinati.
Muara pada atrium dextrum adalah muara dari pembuluh vena cava
superior, vena cava inferior, sinus coronarius. Pada atrium dextrum ini juga
terdapat sisa embriologis dari foramen ovale yaitu fossa ovalis dan anulus
ovalis (Snell, 2012).
Atrium sinistrum kurang lebih memiliki struktur yang sama seperti
atrium dextrum, namun pada atrium sinstrum tidak ada sisa peninggalan
embriologis. Pembuluh yang bermuara pada atrium sinistrum adalah empat
vena pulmonalis (dua vena pulmonalis dexter dan dua vena pulmonalis
sinister). Ventriculus dexter berbentuk kresentrik atau seperti bulan sabit. Di
dalamnya terdapat musculi papillaris & chordae tendineae. Ventrikulus
memiliki struktur dinding lebih tebal dibandingkan atrium.Ventriculus
sinister berbentuk sirkular pada penampan melintang. Berisi struktur yang
sama seperti ventrikulus dexter namun jumlahnya berbeda. Dinding
ventrikulus sinister tiga kali lebih tebal dari ventrikulus dexter, dan tekanan
darahnya enam kali lebih besar dari ventrikulus dexter (Snell, 2012).

Jantung memiliki dua buah sekat. Sekat yang memisahkanatrium dexter


dan atrium sinister disebutseptum interatriale. Sekat yang kedua adalah
septum interventriculare, sekat ini memisahkan ventriculus dexter dan
ventriculus sinister. Pada permukaan jantung posisi septum diidentifikasi
sebagai sulcus interventricularis anterior et posterior. Jantung juga memiliki
empat buah katup yang berfungsi secara aktif yaitu valva tricuspidalis
terdapat pada SIC IV bagian kanan sternum, valva bicuspidalis terletak pada
SIC IV bagian kiri sternum, valva trunci pulmonalisterletak pada belakang
C-3 medial yang berhubungan dengan sternum, dan valva aorta yang
terletak di SIC III bagian kiri sternum (Snell,2012).
Cabang-cabang pembuluh utama jantung adalah aorta dan truncus
pulmonalis. Aorta terbagi menjadi tiga bagian yaitu aorta ascendens, arcus
aorta, dan aorta descendens. Aorta ascendens akan memperdarahi seluruh
arteri yang terdapat di jantung, berfungsi sebagai suplai utama jantung.
Arkus aorta akan memperdarahi kepala, leher, dan juga seluruh ekstremitas
superior tubuh. Aorta descendens akan memperdarahi seluruh arteri yang
berada di ruang toraks, abdomen, pelvis, dan juga ektremitas inferior tubuh.
Truncus pulmonalis bercabang menjadi dua yaitu arteri pulmonalis dexter
(masuk ke radix pulmo dexter) dan arteri pulmonalis sinister (masuk ke
radix pulmo sinister). Aliran darah balik dari tubuh bagian atas akan
dialirkan ke dalam vena cava superior dan aliran darah balik dari tubuh
bagian bawah akan dialirkan ke dalam vena cava inferior (Snell, 2012).

Gambar 1. Jantung manusia (Yokochi, 2011)


2. Fisiologi Sistem Cardiovascular
Setiap hari, sekitar 10 liter (5 liter) darah dalam tubuh. bepergian
sejauh 60.000 mil (96.560 kilometer) melalui pembuluh darah yang
bercabang-cabang, pembuluh darah ini menghubungkan sel-sel organ dan
bagian tubuh. Membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan dan membawa
CO2 dari jaringan ke paru-paru (Sherwood, 2011).
Secara umum, sistem cardiovascular mempunyai fungsi sebagai berikut
(Sherwood,2011):
a. Alat transportasi O2, CO2, hormon, zat-zat makanan, sisa
metabolisme ke dan dari jaringan tubuh.
b. Pengatur keseimbangan cairan.

Dalam melaksanakan fungsinya, system kardiovaskular memiliki dua


siklus, yakni siklus pulmonum dan siklus sistemik (Martini, 2012).
a. Pulmonary circuit
Darah yang kembali dari sirkulasi sistemik masuk ke atrium
kanan lewat 2 vena cava, yaitu vena cava superior dan vena cava
inferior. Darah yang ke atrium kanan ini berisi co2 karena berasal
dari jaringan. Darah yang terdeoksigenasi parsial ini mengalir dari
atrium kanan ke ventrikel kanan, lalu dipompa ke arteri pulmonalis
(ke sirkulasi paru) di paru darah kehilangan co2 dan diganti dengan
O2. Lalu kembali lagi ke atrium kiri lewat vena pulmonalis. Lalu
mengalir lagi ke ventrikel kiri yang akan memompa darah ke seluruh
tubuh kecuali paru lewat arteri sistemik (Sherwood, 2011).

Gambar 1. Sirkulasi Pulmunale


b.

Sirkulasi sistemik
Darah kaya akan O2 akan dikeluarkan melalui aorta,ke aorta
ascendens yang nantinya akan bercabang ke arteri coronaria dextra
dan sinistra,untuk memberikan nutrisi pada jantung. Ke arcus aorta
yang nantinya terbagi 3 cabang yaitu truncus brachiochepalica yang
akan bercabang lagi menjadi a.subclavia dextra yang bercabang lagi
menjadi a.vertebralis dextra dan truncus thyrocervicalis dextra dan
a.carotis communis dextra yang nanti akan bercabang menjadi
8

a.carotis eksterna dextra dan arteri carotis interna dextra. Lalu 2


cabang lagi yaitu a.subclavia sinistra dan carotis communis sinistra.
Ke 3 cabang ini nantinya akan memperdarahi a.basilaris,a.thyroidea,
a.facialis, a.maxillaris, a.temporalis superficialis (Sherwood, 2011).
Dari aorta descendens pars thoracica yang nantinya terbagi 2
pars, pars parietalis dan pars visceralis. Lalu akan ke aorta
descendens pars abdominalis lewat diaphragm hiatus aorta. Nantinya
akan memperdarahi seluruh tubuh bagian bawah dan kembali lagi ke
jantung untuk siklus jantung yang selanjutnya (Martini,2012).

Gambar 2. Sirkulasi sistemik (Martini, 2012)


Selain menggunakan kontraksi otot jantung, dalam melaksanakan
kerjanya, ada bagian yang sangat sedikit namun sangat penting, yakni
sistem penghantar khusus berupa jaringan otoritmis yang mampu

menginduksi kontraktilitas otot jantung. Adapun jenis jaringan otoritmis


tersebut adalah (Sherwood, 2011) :
a. SA node (pace maker), di dinding atrium kanan disekitar muara vena
cava superior; 70-80x/mnt. Setelah memulai aktivitas kelistrikanya,
maka aliran listrik akan dihantarkan ke seluruh dinding atrium dekstra
dan sinistra, untuk memulai kontraksi atrium, lalu baru diantarkan
menuju AV node.
b. AV node, di dasar atrium ka dkt sekat atrium-ventrikel; 40-60x/mnt.
Fungsinya adalah menghantarkan aliran listrik dari SA node menuju
bundel his yang nantinya akan mengkontraksikan ventrikel. Namun,
yang paling penting adalah fungsinya untuk menahan aliran listrik
sehingga, menghasilkan fungsi jantung yang optimal. Hal tersebut
berakibat pada kontraksi ventrikel terjadi setelah atrium benar benar
mengisi darahnya ke ventrikel.
c. Berkas his, berkas dr AV node masuk ke septum interventrikel.
Menghantarkan aliran listrik menuju serat purkinje.
d. Serat purkinje, serat yg menyebar ke miokard ventrikel dan
menghasilkan kontraksi ventrikel untuk memompa darah keluar
jantung.

Gambar 3. Sistem kelistrikan jantung

10

Peristiwa mekanik jantung (siklus jantung) kontraksi, relaksasi, &


perubahan aliran darah mll jantung; terjadi akibat perubahan ritmis dari
aktivitas kelistrikan jantung (Sherwood, 2011).
Berikut adalah fase siklus jantung:
a. Phase 1 - Atrial Contraction
b. Phase 2 - Isovolumetric Contraction
c.
d.
e.
f.
g.

Phase 3 - Rapid Ejection


Phase 4 - Reduced Ejection
Phase 5 - Isovolumetric Relaxation
Phase 6 - Rapid Filling
Phase 7 - Reduced Filling

Gambar 4. Siklus Jantung (Martini,2012)


3. Interpretasi hasil pemeriksaan
Uji

yang

dianjurkanuntukevaluasi

lab

pasiendenganhipertensi

(Speicher, 1994):
a. Pemeriksaan darah lengkap; bila ditemukan protein urin, eritrosit,
dan leukosit dapat mengacu pada adanya penyakit ginjal.
b. Gula darah puasa: membantu mendeteksi DM (factor risiko lain
yang penting untuk penyakit jantung iskemik). Rentang nilai
rujukan untuk glukosa puasa adalah 60-115 mg/100ml.
c. Nitrogen urea serum (SUN) dan kreatinin serum; pemeriksaan ini
merupakan pelengkap untuk pendeteksi kerusakan organ ginjal
dan petunjuk untuk penyakit ginjal primer. Bila nilainya
11

meningkat, dapat merupakan tanda adanya sindroma Cushing atau


feokromositoma. Kadar SUN di atas 44 mg/100 ml menunjukkan
adanya penyakit ginjal. Sementara kadar normal kreatinin serum
dibedakan menurut jenis kelamin, 1,3 mg/100 ml untuk laki-laki
dan 1,0 mg/100 ml untuk perempuan.
d. Kalium serum; kadar yang menurun merupakan petunjuk adanya
gangguan adrenokortikal dan menjadi sasaran untuk pemantauan
terapi obat (penggunaan diuretic thiazid). Kadar yang meningkat
dapat merupakan petunjuk pada pasien dengan gagal ginjal berat.
e. Asamurat serum; kadar yang meningkat dianggap sebagai facto
risiko minor dan ditemukan pada sekitar 25% populasi hipertensi
yang tidak diobati.
f. Urinalisis: untuk menentukan adanya kelainan pada ginjal
ataupun penghitungan kadar hasil metabolit yang diekskresikan
tubuh yang berguna untuk mendeteksi kemungkinan sejumlah
penyakit.
g. Elektrokardiogram, mendeteksi adanya kelainan pada kelistrikan
jantung, hypertrophy otot jantung dan lain sebainya yang dapat
muncul sebagai respon kompensasi dari hypertensi.
4. Differential diagnosis
a. Hypercolesterolemia
Kolesterol di dalam tubuh dibawa oleh lipoprotein. Lipoprotein ini
selalu dimetabolisme secara terus menerus di dalam tubuh. Namun
metabolisme lipoprotein ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
berasal dari uar tubuh seperti polahidup dan pola makan. Kadar lioprotein
yang tinggi juga akan meningkatkan jumlah kolesterol di dalamdarah.
Untuk mengetahui kadar lipoprotein dan kolesterol di dalam tubuh, kita
bisa melakukan pemeriksaan kolesterol total. Kadar kolesterol total
normal di dalam tubuh adalah kurang dari 200 mg/dL. Kadar kolesterol
yang

berlebihan

dapatmemicuaterosklerosis,

stroke,

kegagalanfungsiginjal, kerusakanpenglihatan, danpenyakitjantungcoroner


(Rader, 2012).

12

Gejala-gejala yang timbul pada pasien hiperkolesterolemia


diantaranya rasa berat di tengkuk hingga rasa pegal di pundak. Sebagian
besar orang merasakan berat di kepala dan pegal-pegal sebagai gejala
awal. Gejala ini muncul akibat kurangnya oksigen. Pasien juga sering
sakit kepala, karena kolesterol tinggi di dalam darah memicu terjadinya
penimbunan

plak-plak

sehingga

terbentuk

aterosklerosis.

Arteri

menyempit, aliran darah ke kepala dan otak berkurang. Beberapa pasien


hiperkolesterolemia merasa cepat mengantuk, hal ini bisa disebabkan
oleh kurangnya asupan oksigen ke otak. Selain itu gejala yang paling
sering timbul diantara pasien hiperkolesterolemia adalah kesemutan, hal
ini bisa terjadi karena kadar kolesterol tinggi menyebabkan aliran darah
menjadi kental (Rader, 2012).
b. Feokromositoma
Feokromositoma adalah tumor penghasil katekolamin. Tumor ini
dapat terbentuk di medulla adrenal ataupun di luar adrenal. 10% dari
tumor ini berasal dari sel neuroektoderm di ganglion parasimpatis.
Hipertensi arteri adalah gejala paling nyata. Tumor ini dapat
disembuhkan dengan pembedahan, oleh karena itu harus ditegakkan
secara akurat di tahap awal penyakit untuk mencegah komplikasi dari
hipertensi berat (Sacher, 2004).
Gambaran klinis feokromositoma berupa (Sacher, 2004):
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Hipertensi
Kadang terjadi hipotensi postural
Nyeri kepala
Takikardia
Penurunan berat badan
Demam
Hipermetabolisme
Palpitasi
Pucat

Diagnosis Feokromositoma dapat ditetapkan dengan menentukan


kadar zat metabolit katekolamin, yaitu metanefrin dalam urin yang
nilainya >2,2 g/mg kreatinin. Tes ini mempunyai sensivitas diagnostik
100% dan spesifitas diagnostik 98% untuk feokromositoma. Kemudian
bila positif, dapat dilakukan pengukuran VMA urin untuk lebih
mengonfirmasi. Sensivitas diagnostic dengantes VMA urin adalah 96%
13

dan spesifitas diagnostiknya 100%. Kedua uji ini dinyatakan dalam


perbandingan dengan kreatinin. Orang normal memiliki nilai rata-rata
urin 0.42 g metanefrin/mg kreatinin dan nilai rata-rata urin 1,4 g
VMA/mg kreatinin (Speicher, 1994).
Setelah dilakukan tes laboratorium, dan kecurigaan yang mengarah
ke diagnosis feokromositoma semakin meningkat, maka perlu dilakukan
lokalisasi untuk menemukan letak tumor. Lokalisasi dapat dilakukan
dengan CT-scanning, scanning

131

I-metaiodobenzilguanidin (131I-MIBG),

arteriografiselektif, dan pengambilan contoh vena selektif. CT-scanning


merupakan teknik paling tepat untuk menentukan tumor yang berada di
glandula adrenal, sementara scanning131I-MIBG merupakan teknik yang
paling tepat untuk menentukan tumor ektopik (Sabiston, 1991).
Tabel kadar normal katekolamin dan metabolitnya (Sacher, 2004).
Dopamin
Epinefrin
Plasma

Ekskresi Urine/24 jam

Telentang
Berdiri
Norepinefrin
Telentang
Berdiri
Epinefrin
Norepinefrin
Dopamine
Asamhomovanilat
Asamvanilimandelat
Metanefrin
Normetanefrin

< 30 pg/ml
<110 pg/ml
<140 pg/ml
70-750 pg/ml
200-1700 pg/ml
<120 g
15-18 g
65-400 g
<15 mg
1,0-6,5 mg
<0,4 mg
0,9 mg

c. Hyperthyroid
Anamnesis
Berat badan turun walaupun nafsu makan meningkat, berdebar debar,
lekas lelah, sering defekasi, gangguan menstruasi (hipomenorea), rasa
dada sesak, sering gelisah, tidak tahan hawa panas, keringat berlebih
(Kusrini, et.al, 2010).
Pemeriksaan Fisik (Kusrini, et.al, 2010)

14

a. Tanda vital: , tensi sistolik naik diastolik turun, suhu tubuh meningkat,
takikardia
b. Inspeksi: hiperhidrosis, tremor halus jari tangan, onycholysis,
eksoftalmus, kelenjar tiroid membesar
c. Palpasi (Pemeriksaan kelenjar tiroid): membesar difus atau noduler
d. Auskultasi: bising kelenjar tiroid (bruit) +/e. Pemeriksaan mata
a) Retraksi kelopak mata
b) Periorbital puffnes
c) Lakrimasi
d) Kemosis (pembengkakan konjungtiva)
e) Proptosis (eksoftalmus)
f) Ulserasi kornea
g) Ophtalmoplegi (paralisis otot mata)
h) Penglihatan kabur
Skor Wayne

Tabel 1. Skoring menurut Wayne (Kusrini, et.al, 2010).


Klinis dianggap ada hipertiroid bila skor 20 atau lebih. Bila kurang 10,
dianggap tidak ada hipertiroidi klinis dan 10 19 meragukan.
Skor New Castle

15

Tabel 2. Skoring menurut New Castle (Kusrini, et.al, 2010).


Klinis dianggap ada hipertiroid bila skor 40-80 atau lebih. Bila kurang
dari 24-39, dianggap meragukan atau tidak ada hipertiroid.
Pemeriksaan Laboratorium
Untuk konfirmasi atau eksklusi hipertiroid (Kusrini, et.al, 2010). :
a. T4 total
b. Free thyroxine index (FTI, T7)
c. T3 total
d. TSH
Pada kasus ini, diagnosis hipertiroid dapat disingkirkan karena hasil
anamnesis dan pemeriksaan fisik keseluruhan tidak mengarah pada
hipertiroidisme.

5. Diagnosis pasti
Hypertensi esensial grade 2
6. Definisi diagnosis, etiologi dan klasifikasi

16

Hipertensi didefinisikan oleh Joint National Commitee on Detection,


Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC) sebagai tekanan
yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg dan diklasifikasikan sesuai derajat
keparahannya, mempunyai rentang dari tekanan darah (TD) normal tinggi
sampai

hipertensi

maligna.

Keadaan

ini

dikategorikan

sebagai

primer/esensial (hampir 95 % dari semua kasus) atau sekunder, terjadi


sebagai akibat dari kondisi patologi yang dapat dikenali, sering kali dapat
diperbaiki (Mansjoer, A. 1999).
Hipertensi merupakan keadaan ketika tekanan darah sistolik lebih dari
120 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 80 mmHg. Hipertensi sering
menyebabkan perubahan pada pembuluh darah yang dapat mengakibatkan
semakin tingginya tekanan darah (Arif Muttaqin, 2009).
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana
tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya di atas 90
mmHg. Pada populasi manula, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan
sistolik di atas 160 mmHg dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipertensi adalah meningkatnya
tekanan sistolik sedikitnya 140 mmHg dan diastolik sedikitnya 90 mmHg
(Bruner dan Suddarth, 2001).

Tabel 2. Definisi dan Klasifikasi Hipertensi menurut JNC VIII


Etiologi
Berdasarkan penyebabnya :
1. Hipertensi Esensial/Idiopatik

17

Faktor yg mempengaruhi: Genetik, lingkungan, hiperaktivitas

susunan

saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dlm ekskresi Na dan Ca


intraseluler, obesitas, alkohol, rokok, polisitemia
2. Hipertensi Sekunder/Renal
Penyebab spesifik: Penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi
vaskular

renal,

hiperaldosteronisme

primer,

sindrom

Cushing,

feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan dg


kehamilan (Mansjoer, A. 1999).
7. Mekanisme pengaturan tekanan darah normal
Pengaturan tekanan darah normal merupakan salah satu fungsi
fisiologis yang sangat penting. Hal ini terkait dengan berbagai faktor yang
dapat mempengaruhi tekanan darah (Sherwood, 2011).

Tekanan darah merupakan hasil kali anatara kardiak output dan


resistensi oerifer total. Sehingg, apapun yang menyebabkan peningkatan
keduanya maka akan meningkatkan tekanan darah (Sherwood, 2011) Pafa
saat tekanan daruh, perfusi jringan akan menurun juga, sehingga darah yang
ke justra glomerlolas untukmenhasilkan renin, renin berfungsin mengubabh
angiotensinogen menjadi angiotensn I, angiotensin II akan diubah menjadi
angiotensin II oleh ACE. Angiotensin ini yang nantinya berperan dalam
vasokonstriksi dan peningkatan produksi aldosterone. Sedang adosterone
merupakan hormone yang berperan dalam retensi Na, yang otomatis akan
meretensi H2O. Selain itu, respon baroreseptor juga penting. Pada saat
tekanan turun maka baroreseptor mengirimkan sinyal informasi ke otak dan
18

diteruskan sebagai efektor bisa dengan kerja simpatis yang bisa


meningkatkan cardiac output (Sherwood, 2011).

8. Patogensis Hypertensi

Gambar. Patogenesis HT (Kumar, 2006)


Kondisi hipertensi adalah dimana tekanan darah mengalami
peningkatan yang cukup berarti dan dalam waktu yang lama (minimal tiga
kali pengukuran). Hal ini menjadi dasar pemikiran patogenesis pada
hypertensi. Yang jelas, pada kondisi hipertensi terdapat kelainan dalam
19

mekanisme pengaturan baroreseptor, sistem RAA, dan respon terhadap kerja


simpatis. Menurut Bristow, 1969, telah terjadi resistensi pada baroreseptor
sehingga pengawasan terhadap tekanan yang ada gagal.
Pada kondisi hypertensi esential, terjadi suatu kondisi dimana
etiologis dari penyakit tidak bisa ditentukan atau idiopathic. Hal ini memicu
spekulasi ada beberapa gen yang berperan, ternyata memang dicurigai ada
yakni gen pengaturan ACE, reseptor AT, dan gen lain tentang pengaturan
tekanan darah. Selain itu ditambah dengan faktor lingkungan dimana gaya
hidup menjadi faktor penentu yang utama. Diet tinggi Na semakin
memperparah

terjadinya

hypertensi.

Sehingga,

terjadi

retensi

Na,

vasokonstriksi, dan juga peningkatan cardiac output, dan inilah perpaduan


yang komplit untuk membuat suatu kondisi hypertensi (Kumar, 2006).
9. Patofisiologi
Mengenai

patofisiologi

hipertensi

masih

banyak

terdapat

ketidakpastian. Sebagian kecil pasien (2% - 5%) menderita penyakit ginjal


atau adrenal sebagai penyebab meningkatnya tekanan darah. Pada sisanya
tidak dijumpai penyebabnya dan keadaan ini disebut hipertensi esensial
(Lumbantobing, 2008).
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini
bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan
keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan
abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls
yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada
titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang
serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan
dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah
(Corwin,2001).
Mempertahankan tekanan darah yang normal bergantung kepada
keseimbangan antara curah jantung dan tahanan vaskular perifer. Sebagian
terbesar pasien dengan hipertensi esensial mempunyai curah jantung yang
normal, namun tahanan perifernya meningkat. Tahanan perifer ditentukan

20

bukan oleh arteri yang besar atau kapiler, melainkan oleh arteriola kecil,
yang dindingnya mengandung sel otot polos. Kontraksi sel otot polos diduga
berkaitan

dengan

peningkatan

konsentrasi

kalsium

intraseluler

(Lumbantobing, 2008).
Kontriksi otot polos berlangsung lama diduga menginduksi perubahan
sruktural dengan penebalan dinding pembuluh darah arteriola, mungkin
dimediasi oleh angiotensin, dan dapat mengakibatkan peningkatan tahanan
perifer yang irreversible. Pada hipertensi yang sangat dini, tahanan perifer
tidak meningkat dan peningkatan tekanan darah disebabkan oleh
meningkatnya curah jantung, yang berkaitan dengan overaktivitas simpatis.
Peningkatan tahanan peifer yang terjadi kemungkinan merupakan
kompensasi untuk mencegah agar peningkatan tekanan tidak disebarluaskan
ke jaringan pembuluh darah kapiler, yang akan dapat mengganggu
homeostasis sel secara substansial (Lumbantobing, 2008).
Beberapa mekanisme fisiologis terlibat dalam mempertahankan tekanan
darah yang normal, dan gangguan pada mekanisme ini dapat menyebabkan
terjadinya hipertensi esensial. Faktor yang telah banyak diteliti ialah :
asupan garam, obesitas, resistensi terhadap insulin, sistem renin-angiotensin
dan sistem saraf simpatis (Lumbantobing, 2008).
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi
respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan
hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui
dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi (Corwin,2001)
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang
pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga
terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula
adrenal mengsekresi epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks
adrenal mengsekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapt memperkuat
respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan
penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin
merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi
angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang

21

sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi


natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume
intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetus keadaan hipertensi
(Corwin, 2001).
Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah
perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada
lanjut usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas
jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah,
yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang
pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang
kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh
jantung (volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curah jantung dan
peningkatan tahanan perifer (Corwin,2001).
10. Kegawatan hypertensi
a. Definisi dan klasifikasi krisis hipertensi
Krisis hipertensi ditandai dengan peningkatan akut tekanan darah
sistolik > 180/120 mmHg. JNC 7 membagi krisis hipertensi berdasarkan
ada atau tidaknya bukti kerusakan organ sasaran yang progresif
(hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi). Bukti kerusakan organ
sasaran yang dimaksud antara lain ensefalopati hipertensif, infark
miokard akut, gagal jantung kiri disertai edema paru, diseksi aneurisma
aorta, dan eklamsia. Klasifikasi ini berdampak pada tata laksana pasien.
Upaya penurunan tekanan darah pada kasus hipertensi emergensi harus
dilakukan segera (< 1 jam) sedangkan pada kasus hipertensi urgensi
dapat dilakukan dalam beberapa kurun waktu beberapa jam hingga
beberapa hari (Chobanian et. al., 2007).
Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan
prioritas pengobatan, sebagai berikut (Chobanian et. al., 2007):
1) Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik >
120 mmHg, disertai kerusakan berat dari organ sasaran yag
disebabkan oleh satu atau lebih penyakit/kondisi akut (tabel a).
Keterlambatan pengobatan akan menyebebabkan timbulnya

22

kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam satu


sampai beberapa jam. Penderita perlu dirawat di ruangan
intensive care unit atau (ICU).
2) Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan
dengan tanpa kerusakan/komplikasi minimum dari organ
sasaran. TD harus diturunkan dalam 24 jam sampai batas yang
aman memerlukan terapi parenteral (tabel b) .
Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara
lain (Atlee J. L., Sinaga G., Gullo A.,Vincent L., 2007):
1) Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan
TD > 200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan
yang efektif (triple drug) pada penderita dan kepatuhan pasien.
2) Hipetensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg
disertai dengan kelainan funduskopi KW III. Bila tidak diobati
dapat berlanjut ke fase maligna.
3) Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD
Diastolik > 120 130 mmHg dan kelainan funduskopi KW IV
disertai papil edema, peniggian tekanan intrakranial kerusakan
yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian
bila penderita tidak mendapat pengobatan. Hipertensi maligna,
biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi essensial
ataupun sekunder dan jarang terjadi pada penderita yang
sebelumnya mempunyai TD normal.
4) Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai
dengan keluhan sakit kepala yang sangat, perubahan kesadaran
dan keadaan ini dapat menjadi reversible bila TD diturunkan.

Tabel a . Hipertensi emergensi (darurat)


23

TD Diastolik > 120 mmHg disertai dengan satu atau lebih kondisi akut.
1. Pendarahan

intra

pranial,

ombotik

CVA atau

pendarahan

subarakhnoid.
2. Hipertensi ensefalopati.
3. Aorta diseksi akut.
4. Oedema paru akut.
5. Eklampsi.
6. Feokromositoma.
7. Funduskopi KW III atau IV.
8. Insufisiensi ginjal akut.
9. Infark miokard akut, angina unstable.
10. Sindroma kelebihan Katekholamin yang lain :
a. Sindrome withdrawal obat anti hipertensi.
b. Cedera kepala.
c. Luka bakar.
d. Interaksi obat.
(Chobanian et. al., 2007)
Tabel b . Hipertensi urgensi (mendesak)
1. Hipertensi berat dengan TD Diastolik > 120 mmHg, tetapi dengan
minimal atau tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai
keadaan pada tabel I.
2. KW I atau II pada funduskopi.
3. Hipertensi post operasi.
4. Hipertensi tak terkontrol / tanpa diobati pada perioperatif.
(Chobanian et. al., 2007)
Tingginya TD yang dapat menyebabkan kerusakan organ sasaran
tidak hanya dari tingkatan TD aktual, tapi juga dari tingginya TD
sebelumnya, cepatnya kenaikan TD, bangsa, seks dan usia penderita.
Penderita hipertensi kronis dapat mentoleransi kenaikan TD yang lebih
tinggi dibanding dengan normotensi; sebagai contoh

pada penderita

hipertensi kronis, jarang terjadi hipertensi ensefalopati, gangguan ginjal


dan kardiovaskular dan kejadian ini dijumpai bila TD Diastolik > 140
mmHg. Sebaliknya pada penderita normotensi ataupun pada penderita
hipertensi baru dengan penghentian obat yang tiba-tiba, dapat timbul
hipertensi ensefalopati demikian juga pada eklampsi, hipertensi
24

ensefalopati dapat timbul walaupun TD 160/110 mmHg (Chobanian et.


al., 2007).
b. Pengobatan krisis hipertensi
1) Pemakaian obat-obat untuk krisis hipertensi
Obat anti hipertensi oral atau parenteral yang digunakan pada
krisis hipertensi tergantung dari apakah pasien dengan hipertensi
emergensi atau urgensi. Jika hipertensi emergensi dan disertai dengan
kerusakan organ sasaran maka penderita dirawat diruangan intensive
care unit, ( ICU ) dan diberi salah satu dari obat anti hipertensi
intravena ( IV ) (Varon J., Marik P. E., 2008).
Tabel c . Obat-obat untuk krisis hipertensi (Varon J., Marik P. E., 2008).
Nama Obat
Sodium

Onset

Dosis
1 2 dosis 1 6

Efek Samping
Mual, muntah,

ug / kg / menit

keringat, foto

Onset of action 2

5 100 ug /

sensitif, hipotensi.
Sakit kepala, mual,

5 menit,

menit, secara

muntah, hipotensi.

duration of action

infus i. V

3 5 menit
Onset of action 1

Dosis permulaan :

Hipotensi dan

2 menit, efek

50 mg bolus,

shock, mual,

puncak pada 3

dapat diulang

muntah, distensi

5 menit, duration

dengan 25 75

abdomen,

of action 4 12

mg setiap 5 menit

hiperuricemia,

jam

sampai TD yang

aritmia, dll.

Onset of action :

diinginkan.
10 20 mg i.v

Refleks takhikardi,

oral 0,5 1 jam,

bolus : 10 40

meningkatkan

i.v : 10 20

mg i.m

stroke volume dan

Cepat

Nitroprusside
Nitroglycerini

Diazolxide

Hydralazine

Phentolamine
( regitine )

menit duration of

cardiac out put,

action : 6 12

eksaserbasi angina,

jam.
Onset of action

Dosis 5 20 mg

11 2 menit,

secar i.v bolus

MCI akut dll.


-

25

Trimethaphan
camsylate

duration of action

atau i.m.

3 10 menit.
Onset of action :

1 4 mg / menit

Opstipasi, ileus,

1 5 menit.

secara infus i.v.

retensia urine,

Duration of

respiratori arrest,

action : 10 menit.

glaukoma,
hipotensi, mulut

Labetalol

Onset of action 5

20 80 mg secara

kering.
Hipotensi

10 menit

i.v. bolus setiap

orthostatik,

10 menit ; 2 mg /

somnolen, hoyong,

menit secara infus

sakit kepala,

i.v

bradikardi, dll.
Juga tersedia dalam
bentuk oral dengan
onset of action 2
jam, duration of
action 10 jam dan
efek samping
hipotensi, respons
unpredictable dan
komplikasi lebih

Methyldopa :

Onset of action :

250 500 mg

sering dijumpai.
Coombs test ( + )

30 60 menit,

secara infus i.v / 6

demam, gangguan

duration of action

jam.

gastrointestino,

kira-kira 12 jam.
Clonidine :

with drawal

Onset of action 5

0,15 mg i.v pelan-

sindrome dll.
Rasa ngantuk,

10 menit dan

pelan dalam 10 cc

sedasi, hoyong,

mencapai

dekstrose 5% atau

mulut kering, rasa

maksimal setelah

i.m.150 ug dalam

sakit pada parotis.

1 jam atau

100 cc dekstrose

26

beberapa jam.

dengan titrasi
dosis.

2) Penaggulangan hipertensi emergensi


Bila diagnosa hipertensi emergensi telah ditegakkan
maka TD perlu segera diturunkan. Langkah-langkah yang
perlu diambil adalah (Varon J., Marik P. E., 2008):
a) Rawat di ICU, pasang femoral intraarterial line dan
pulmonari arterial catether (bila ada indikasi ).
Untuk menentukan fungsi kardiopulmonair dan
status volume intravaskuler.
b) Anamnesis singkat dan pemeriksaan fisik.
i.
Tentukan penyebab krisis hipertensi
ii.
Singkirkan penyakit lain yang menyerupai
krisis hipertensi
iii.
Tentukan adanya kerusakan organ sasaran
c) Tentukan TD yang diinginkan didasari dari lamanya
tingginya TD sebelumnya, cepatnya kenaikan dan
keparahan hipertensi, masalah klinis yang menyertai
dan usia pasien.
i.
penurunan TD diastolik tidak kurang dari
100 mmHg, TD sistolik tidak kurang dari
160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari
120 mmHg selama 48 jam pertama, kecuali
pada krisis hipertensi tertentu ( misal :
disecting aortic aneurysm ). Penurunan TD
tidak lebih dari 25% dari MAP ataupun TD
ii.

yang didapat.
Penurunan TD secara akut ke TD normal /
subnormal pada awal pengobatan dapat
menyebabkan berkurangnya perfusike ke
otak, jantung dan ginjal dan hal ini harus
dihindari pada beberapa hari permulaan,

27

kecuali pada keadaan tertentu, misal :


dissecting anneurysma aorta.
TD secara bertahap diusahakan mencapai

iii.

normal dalam satu atau dua minggu.

3) Penanggulangan hipertensi urgensi


Penderita

dengan

hipertensi

urgensi

tidak

memerlukan rawat inap di rumah sakit. Sebaiknya penderita


ditempatkan diruangan yang tenang, tidak terang dan TD
diukur kembali dalam 30 menit. Bila TD tetap masih sangat
meningkat, maka dapat dimulai pengobatan. Umumnya
digunakan

obat-obat

oral

anti

hipertensi

dalam

menggulangi hipertensi urgensi ini dan hasilnya cukup


memuaskan (Chobanian et. al., 2007).
Tabel d. Obat-obat oral anti hipertensi yang digunakan (Varon J., Marik P.
E., 2008).
Nama Obat
Nifedipine

Onset
Sublingual (onset 5-

Dosis
-

Efek Samping
Sakit kepala,

10 menit). Buccal

takhikardi,

(onset 5 10 menit),

hipotensi, flushing,

oral (onset 15-20

hoyong.

menit), duration 5
15 menit secara
Clondine

sublingual/buccal).
Pemberian secara

0,1-0,2

Sedasi,mulut

oral dengan onset 30 mg,dijutkan

kering.Hindari

60 menit.

0,05mg-0,1 mg

pemakaian pada 2nd

Duration of Action

setiap jam s/d

degree atau 3rd

8-12 jam.

0,7mg.

degree, heart
block,
brakardi,sick sinus

28

syndrome.Over
dosis dapat diobati
Captopril

Dosis 25mg dan

dengan tolazoline.
Angio neurotik

dapat diulang

oedema, rash,

setiap 30 menit

gagal ginjal akut

sesuai kebutuhan.

pada penderita
bilateral renal

Prazosin

1-2mg dan

arteri sinosis.
First dosyncope,

diulang perjam

hiponsi orthostatik,

bila perlu.

palpitasi, takhikaro
sakit kepala.

Dengan pemberian Nifedipine ataupun Clonidine oral


dicapai penurunan MAP sebanyak 20 % ataupun TD<120 mmHg.
Demikian juga Captopril, Prazosin terutama digunakan pada penderita
hipertensi urgensi akibat dari peningkatan katekholamine (Varon J.,
Marik P. E., 2008)
.

Perlu diingat bahwa pemberian obat anti hipertensi oral/sublingual

dapat menyebabkan penurunan TD yang cepat dan berlebihan bahkan


sampai kebatas hipotensi (walaupun hal ini jarang sekali terjadi)
(Varon J., Marik P. E., 2008).
Dikenal adanya first dose effect dari Prozosin. Dilaporkan
bahwa reaksi hipotensi akibat pemberian oral Nifedifine dapat
menyebabkan timbulnya infark miokard dan stroke (Varon J., Marik P.
E., 2008).
Dengan pengaturan titrasi dosis Nifedipine ataupun Clonidin
biasanya TD dapat diturunkan bertahap dan mencapai batas aman dari
MAP (Varon J., Marik P. E., 2008).
Penderita yang telah mendapat pengobatan anti hipertensi
cenderung lebih sensitif terhadap penambahan terapi. Untuk penderita
ini dan pada penderita dengan riwayat penyakit cerebrovaskular dan

29

koroner,

juga pada pasien umur tua dan pasien dengan volume

depletion maka dosis obat Nifedipine dan Clonidine harus dikurangi.


Seluruh penderita diobservasi paling sedikit selama 6 jam setelah TD
turun untuk mengetahui efek terapi dan juga kemungkinan timbulnya
orthotatis. Bila ID penderita yang obati tidak berkurang maka
sebaiknya penderita dirawat dirumah sakit (Varon J., Marik P. E.,
2008).

11. Komplikasi hypertensi

Hipertensi merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya penyakit


jantung, gagal jantung kongesif, stroke, gangguan penglihatan dan penyakit
ginjal. Tekanan darah yang tinggi umumnya meningkatkan resiko terjadinya
komplikasi tersebut. Hipertensi yang tidak diobati akan mempengaruhi
semua sistem organ dan akhirnya memperpendek harapan hidup sebesar 1020 tahun (Smith,2007).
30

Mortalitas pada pasien hipertensi lebih cepat apabila penyakitnya tidak


terkontrol dan telah menimbulkan komplikasi ke beberapa organ vital.
Sebab kematian yang sering terjadi adalah penyakit jantung dengan atau
tanpa disertai stroke dan gagal ginjal (Smith, 2007).
Dengan pendekatan sistem organ dapat diketahui komplikasi yang
mungkin terjadi akibat hipertensi. Komplikasi yang terjadi pada hipertensi
ringan dan sedang mengenai mata, ginjal, jantung dan otak. Pada mata
berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan sampai dengan kebutaan.
Gagal jantung merupakan kelainan yang sering ditemukan pada hipertensi
berat selain kelainan koroner dan miokard. Pada otak sering terjadi
perdarahan yang disebabkan oleh pecahnya mikroaneurisma yang dapat
mengakibakan kematian. Kelainan lain yang dapat terjadi adalah proses
tromboemboli dan serangan iskemia otak sementara (Transient Ischemic
Attack/TIA). Gagal ginjal sering dijumpai sebagai komplikasi hipertensi
yang lama dan pada proses akut seperti pada hipertensi maligna. Risiko
penyakit kardiovaskuler pada pasien hipertensi ditentukan tidak hanya
tingginya tekanan darah tetapi juga telah atau belum adanya kerusakan
organ target serta faktor risiko lain seperti merokok, dislipidemia dan
diabetes melitus. (Tekanan darah sistolik melebihi 140 mmHg pada individu
berusia lebih dari 50 tahun, merupakan faktor resiko kardiovaskular yang
penting. Selain itu dimulai dari tekanan darah 115/75 mmHg, kenaikan
setiap 20/10 mmHg meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler sebanyak
dua kali (Sobel, 2009).
12. Tatalaksana hypertensi
Target Tekanan Darah
Menurut Joint National Commission (JNC) 7, rekomendasi target
tekanan darah yang harus dicapai adalah < 140/90 mmHg dan target tekanan
darah untuk pasien penyakit ginjal kronik dan diabetes adalah 130/80
mmHg. American Heart Association (AHA) merekomendasikan target
tekanan darah yang harus dicapai, yaitu 140/90 mmHg, 130/80 mmHg
untuk pasien dengan penyakit ginjal kronik, penyakit arteri kronik atau
ekuivalen penyakit arteri kronik, dan 120/80 mmHg untuk pasien dengan

31

gagal jantung. Sedangkan menurut National Kidney Foundation (NKF),


target tekanan darah yang harus dicapai adalah 130/80 mmHg untuk pasien
dengan penyakit ginjal kronik dan diabetes, dan < 125/75 mmHg untuk
pasien dengan > 1 g proteinuria (Cohen, 2008).
Algoritme Penanganan Hipertensi
Algoritme penanganan hipertensi menurut JNC 8 (2013), dijelaskan
pada skema dibawah ini:

(sumber : JAMA, 2013)


Modifikasi Gaya Hidup

32

Pelaksanaan gaya hidup yang positif mempengaruhi tekanan darah


memiliki implikasi baik untuk pencegahan dan pengobatan hipertensi.
Promosi kesehatan modifikasi gaya hidup direkomendasikan untuk individu
dengan pra-hipertensi dan sebagai tambahan terhadap terapi obat pada
individu hipertensi. Intervensi ini untuk risiko penyakit jantung secara
keseluruhan. Meskipun dampak intervensi gaya hidup pada tekanan darah
akan lebih terlihat pada orang dengan hipertensi, dalam percobaan jangka
pendek, penurunan berat badan dan pengurangan NaCl diet juga telah
ditunjukkan untuk mencegah perkembangan hipertensi. Pada penderita
hipertensi, bahkan jika intervensi tersebut tidak menghasilkan penurunan
tekanan darah yang cukup untuk menghindari terapi obat, jumlah obat atau
dosis yang dibutuhkan untuk mengontrol tekanan darah dapat dikurangi.
Modifikasi diet yang efektif menurunkan tekanan darah adalah mengurangi
berat badan, mengurangi asupan NaCl, meningkatkan asupan kalium,
mengurangi konsumsi alkohol, dan pola diet yang sehat secara keseluruhan
(Kotchen, 2008).
Mencegah dan mengatasi obesitas sangat penting untuk menurunkan
tekanan darah dan risiko penyakit kardiovaskular. Rata-rata penurunan
tekanan darah 6,3/3,1 mmHg diobseravsi setelah penurunan berat badan
sebanyak 9,2 kg. Berolah raga teratur selama 30 menit seperti berjalan, 6-7
perhari dalam seminggu, dapat menurunkan tekanan darah. Ada variabilitas
individu dalam hal sensitivitas tekanan darah terhadap NaCl, dan
variabilitas ini mungkin memiliki dasar genetik. Berdasarkan hasil metaanalisis, menurunkan tekanan darah dengan membatasi asupan setiap hari
untuk 4,4-7,4 g NaCl (75-125 meq) menyebabkan penurunan tekanan darah
3.7-4.9/0.9-2.9 mmHg pada hipertensi dan penurunan lebih rendah pada
orang darah normal. Konsumsi alkohol pada orang yang mengkonsumsi tiga
atau lebih minuman per hari (minuman standar berisi ~ 14 g etanol)
berhubungan dengan tekanan darah tinggi, dan penurunan konsumsi alkohol
dikaitkan dengan penurunan tekanan darah. Begitu pula dengan DASH
(Dietary Approaches to Stop Hypertension) meliputi diet kaya akan buah-

33

buahan, sayuran, dan makanan rendah lemak efektif dalam menurunkan


tekanan darah (Kotchen, 2008).
Terapi Farmakologi
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi
yang dianjurkan oleh JNC 8 adalah (Dunitz, 2001) :
a. Diuretika, terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosteron
Antagonist
b. Beta Blocker (BB)
c. Calcium Chanel Blocker atau Calcium antagonist (CCB)
d. Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACEI)
e.

Angiotensin

II

Receptor

Blocker

atau

Areceptor

antagonist/blocker (ARB)
Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara
bertahap, dan target tekanan darah tercapai secara progresif dalam beberapa
minggu. Dianjurkan untuk menggunakan obat antihipertensi dengan masa
kerja panjang atau yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian
sekali sehari. Pilihan apakah memulai terapi dengan satu jenis obat
antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung pada tekanan darah awal
dan ada tidaknya komplikasi. Jika terapi dimulai dengan satu jenis obat dan
dalam dosis rendah, dan kemudian tekanan darah belum mencapai target,
maka langkah selanjutnya adalah meningkatkan dosis obat tersebut, atau
berpindah ke antihipertensif lain dengan dosis rendah. Efek samping
umumnya bisa dihindari dengan menggunakan dosis rendah, baik tunggal
maupun kombinasi. Sebagian besar pasien memerlukan kombinasi obat
antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah, tetapi terapi kombinasi
dapat meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien
karena jumlah obat yang harus diminum bertambah (Yogiantoro, 2006).
A. Diuretik
Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida
sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler.Akibatnya

34

terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme


tersebut, beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga
menambah efek hipotensinya. Efek ini diduga akibat penurunan natrium
diruang interstisial dan didalam sel otot polos pembuluh darah yang
selanjutnya menghambat influks kalsium (Dunitz, 2001).
1. Golongan Tiazid

Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan tiazid antara lain


hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid dan diuretik lain yang
memiliki gugus aryl-sulfonamida (indapamid dan klortalidon). Obat
golongan ini bekerja dengan menghambat transport bersama Na-Cl di
tubulus distal ginjal, sehingga ekskresi Nadan Clmeningkat (Benowitz,
1998).
Yang termasuk kedalam golongan Tiazid adalah (Benowitz, 1998) :
a. Hidroklorotiazid (HCT), merupakan prototype golongan tiazid
dan dianjurkan untuk sebagian besar kasus hipertensi ringan dan
sedang dan dalam kombinasi dengan berbagai hipertensi lain.
b. Indapamid, memiliki kelebihan karena masih efektif pada pasien
gangguan fungsi ginjal, bersifat netral pada metabolisme lemak
dan efektif meregresi hipertrofi ventrikel.
Sampai sekarang tiazid merupakan obat utama dalam terapi
hipertensi. Berbagai penelitian besar membuktikan bahwa diuretik
terbukti paling efektif dalam menurunkan risiko kardiovaskular (Dunitz,
2001).
2. Diuretik Kuat ( Loop Diuretics, Ceiling Diuretics)

Diuretik kuat bekerja dengan cara menghambat kotransport Na, K,


Cldan menghambat resorpsi air dan elektrolit. Termasuk dalam golongan
diuretik kuat antara lain furosemid, bumetanid, dan asam etakrinat
(Dunitz, 2001).
3. Diuretik Hemat Kalium

Amilorid, triamteren, dan spironolakton merupakan diuretik lemah.


Penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan diuretik lain untuk
mencegah hipokalemia. Efek samping yang sering dijumpai akibat
35

penggunaan obat golongan diuretik ini seperti demam, sakit tenggorokan,


rasa lelah, keram otot, dan pusing. Beberapa individu juga mengeluhkan
adanya ruam pada kulit, dan detak jantung yang abnormal. Efek samping
obat golongan diuretik terhadap rongga mulut sendiri yaitu dapat
menyebabkan xerostomia, reaksi likenoid, hilangnya pengecapan
(dysgeusia), angioedema dan eritema multiforme (Dunitz, 2001).
B. Penghambat Adrenoreseptor Beta (-blocker)
-blocker digunakan sebagai obat tahap pertama pada hipertensi
ringan sampai sedang terutama pada pasien dengan penyakit jantung
koroner (khususnya sesudah infark miokard akut). -blocker lebih efektif
pada pasien muda dan kurang efektif pada pasien usia lanjut (Benowitz,
1998).
Beberapa jenis -blocker (Benowitz, 1998) :
1.

Kardioselektif
Yang termasuk jenis kardioselektif seperti acetabutol, atenolol,
betaxolol, bisoprolol, metaprolol biasa, dan metaprolol lepas
hambat.

2.

Nonselektif
Yang termasuk jenis non selektif yaitu nadolol, cartelol, labetalol,
penbutolol, timolol, propanolol, dan pindolol.

Obat golongan -blocker dapat menyebabkan efek samping berupa


hipotensi ortostatik, retensi cairan pada tubuh, bradikardia, blokade AV,
hambatan nodus SA dan menurunkan kekuatan kontraksi miokard. Oleh
karena itu obat golongan ini dikontraindikasikan pada keadaan bradikardia.
Efek sentral berupa depresi dan halusinasi dapat terjadi pada pemakaian
obat jenis labetalol dan karvedilol. Efek samping obat golongan -blocker
terhadap rongga mulut yaitu xerostomia, angioedema, ulser, dysgeusia dan
reaksi likenoid (Benowitz, 1998).
C. Calcium Channel Blockers (Antagonis Kalsium)
Calcium Channel Blockers menghambat influks kalsium pada otot
polos pembuluh darah dan miokard. Calcium channel blockers dibagi
kedalam dua golongan (Benowitz, 1998) :

36

1.

Hidropiridin
Nifedipine, nikardipin, isradipine, felodipine dan amlodipine termasuk
dalam golongan ini. Bekerja dengan cara menurunkan resistensi perifer
tanpa penurunan fungsi jantung yang berarti dan relatif aman dalam
kombinasi dengan -blocker.

2.

Non-Hidropiridin
Verapamil dan diltiazem termasuk dalam golongan ini.
Efek samping akibat penggunaan obat golongan antagonis kalsium

adalah hipotensi, iskemia miokard, sakit kepala, muka merah yang terjadi
karena vasodilatasi arteri meningeal, edema perifer dan gagal ginjal
kongestif. Sementara efek sampingnya pada rongga mulut yaitu terjadinya
pembesaran gingiva (gingival enlargement), xerostomia, dysgeusia, ulser,
angioedema, dan reaksi likenoid (Benowitz, 1998).
Penghambat Angiotensin-Converting Enzyme (ACE- Inhibitor)
Kaptopril merupakan ACE-inhibitor yang pertama ditemukan dan
banyak digunakan di klinik untuk pengobatan hipertensi dan gagal jantung
(Benowitz, 1998).
Secara umum ACE-inhibitor dibedakan atas dua kelompok (Benowitz,
1998) :
1. Yang bekerja langsung, contohnya kaptopril dan lisinopril
2. Prodrug, contohnya enalapril, kuinapril, perindopril, ramipril,
silazapril, benazapril, dan fosinopril.
ACE-inhibitor efektif untuk hipertensi ringan, sedang, maupun berat.
Bahkan beberapa diantaranya dapat digunakan pada krisis hipertensi seperti
kaptopril dan enalaprilat. Obat ini efektif pada sekitar 70% pasien.
Kombinasi dengan diuretik memberikan efek sinergetik (sekitar 85% pasien
tekanan darahnya terkendali dengan kombinasi ini), sedangkan efek
hipokalemia dapat dicegah (Dunitz, 2001).
Efek samping pada tubuh yang dapat akibat penggunaan obat
golongan ini adalah hipotensi, batuk kering, dan hiperkalemia. Hipotensi
dapat terjadi pada awal pemberian ACE-inhibitor, terutama pada hipertensi
dengan aktivitas rennin yang tinggi. Batuk kering merupakan efek samping

37

yang paling sering terjadi dengan insidens 5-20%, lebih sering pada wanita
dan lebih sering terjadi pada malam hari. Sedangkan hiperkalemia terjadi
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau pada pasien yang juga
mendapat diuretic hemat kalium, atau -blocker. Sedangkan efek
sampingnya pada rongga mulut berupa angioedema, ulser, hilangnya
pengecapan, xerostomia, dan reaksi likenoid (Dunitz, 2001).
Antagonis Reseptor Angiotensin II (Angiotensin receptor blocker, ARBs)
Golongan ini merupakan alternatif bagi pasien yang tidak toleran
terhadap ACE-inhibitor. Walaupun ARBs menimbulkan efek yang mirip
dengan pemberian ACE-inhibitor, tetapi karena tidak mempengaruhi
metabolisme bradikinin, maka obat ini dilaporkan tidak memiliki efek
samping batuk kering dan angioedema seperti yang sering terjadi dengan
ACE-inhibitor. Yang termasuk golongan ARBs, contohnya candesartan,
losartan, valsartan, irbesartan, dan telmisartan. Hipotensi dan Hiperkalemia
ada dilaporka sebagai efek samping akibat pemakaian obat golongan ini.
Sementara itu, manifestasinya di rongga mulut berupa xerostomia dan
angioedema (Dunitz, 2001).
13. Tindakan dokter dalam penanganan hypertensi
Modifikasi gaya hidup yang sehat oleh semua pasien hipertensi
merupakan suatu cara pencegahan tekanan darah tinggi dan merupakan
bagian

yang

tidak

terabaikan

dalam

penanganan

pasien tersebut

(Kaplan,2001).
Berikut ini adalah perubahan gaya hidup yang dapat menurunkan tekanan
darah:
a. Perubahan gaya hidup yang dapat menurunkan tekanan darah salah
satunya dengan cara menurunkan berat badan, yaitu sekitar 5 - 20
mmHg/ 10 kg penurunan BB (Kaplan,2001).
b. Melakukan pola diet berdasarkan DASH dengan Mengkonsumsi
makanan yang kaya dengan buah-buahan, sayuran, produk makanan
yang rendah lemak, dengan kadar lemak total dan saturasi yang
rendah. Dapat menurunkan sekitar 8 14 mmHg (Kaplan,2001).

38

c. Olahraga aerobic yang tidak terlalu berat 4 9 mmHg


(Kaplan,2001).
d. Mengurangi pemakaian garam sampai kurang dari2,3 gram natrium
atau 6 gram natrium klorida setiap harinya. 2 - 8 mmHg
(Kaplan,2001).
e. Membatasi penggunaan alkohol. Dengan membatasi konsumsi
alkohol tidak lebih dari 2 gelas ( 1 oz atau 30 ml ethanol; misalnya
24 oz bir, 10 oz anggur, atau 3 0z 80 whiski) per-hari pada sebagian
besar laki-laki dan tidak lebih dari 1 gelas per-hari pada wanita dan
laki-laki yang lebih kurus. 2 - 4 mmHg (Kaplan,2001).
Perubahan gaya hidup tidak hanya dilakukan untuk kategori

pre-

hipertensi. Namun juga pada kategori tingkat lanjut seperti hipertensi stage
1 dan 2 Hal ini karena hipertensi merupakan penyakit degeneratif yang
muncul akibat perilaku gaya hidup yang salah (Kaplan,2001).
2. Terapi obat
Jika seseorang telah melakukan perubahan gaya hidup namun tekanan
darahnya tetap tidak sesuai dengan tekanan darah target. (<140/90mmHg;
atau <130/80mmHg pada pasien dengan diabetes, dan gagal ginjal kronik).
Maka

sudah

seharusnya

untuk

dipertimbangkan

pemberian

terapi

farmakologi (Kaplan,2001).
Pengkategoriannya adalah (Kaplan,2001):
hipertensi stage 1
(140-159/90-99 mmHg) tanpa penyakit penyerta, berikan obat tunggal
diuretik jenis tiazide dengan dosis awal yang paling rendah sampai dosis
maksimal tidak ada perubahan pertimbangkan kombinasi obat
antihipertensi kelas lainnya seperti ACEI, BB, ARB, CCB, & Aldo ANT
hipertensi stage 2
(>160/100 mmHg) tanpa penyakit penyerta, berikan dua obat kombinasi
sebagai obat awal diuretik jenis tiazide sbg obat dasar + obat
antihipertensi kelas lain.
pasien hipertensi dengan penyakit penyerta.

39

Untuk penanganannya tergantung pada jenis penyakit penyerta yang


diderita. Berikut tabel.

Jika setelah semua hal diatas telah dilakukan dan tekanan darah pasien
belum kunjung juga mencapai target, maka perlu dipertimbangkan untuk
merujuk pada spesialis. Berikut dibawah ini adalah tabel algoritme dari apa
yang telah kita bahas sebelumnya.
14. Prognosis dan Edukasi Pasien
Prognosis pada penderita hipertensi bergantung pada (Madhur, 2014):
1. Jika hipertensi ringan sampai sedang dibiarkan tanpa penanganan,
30% penderita akan menderita penyakit aterosklerosis dan 50%
penderita akan menderita kerusakan organ target kompliaksi pada
waktu 8-10 tahun setelah diagnosis hipertensi.
2. Stratifikasi risiko kardiovaskuler (rendah, sedang, tinggi, atau sangat
tinggi). Kematian akibat penyakit jantung iskemik atau stroke
meningkat secara progresif saat tekanan darah meningkat. Setiap 20
mmHg tekanan sistol atau setiap 10 mmHg tekanan diastole
meningkat pada penderita hipertensi, maka mortalitas untuk penyakit
jantung iskemik dan stroke naik menjadi dua kali lipat.

40

3. Kerusakan organ target. Morbiditas dan mortalitas hipertensi


emergensi bergantung pada seberapa parah kerusakan organ dan
derajat hipertensi.
4. Kondisi klinis dan respon pada pengobatan. Pada hipertensi
terkontrol dan pengobatan yang berespon baik, 10 year survival
rate dapat mencapai 70%.
Edukasi pada pasien hipertensi dan keluarganya (Weber, et.al , 2013):
1. Edukasi faktor risiko dari hipertensi
a. Merokok
b. Obesitas
c. Kurang aktivitas fisik
d. Dislipidemia
e. Diabetes mellitus
f. Mikroalbuminuria atau LFG < 60 ml/mnt
g. Umur (pria>55 tahun; wanita>65 tahun)
h. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung kardiovaskular
prematur (pria<55 tahun; wanita<65 tahun)
2. Edukasi komplikasi yang dapat menyertai hipertensi
a. Jantung
a) Hipertrofi ventrikel kiri
b) Angina atau infark miokardiumm
c) Gagal jantung
b. Otak : stroke atau transient ischemic attack
c. Penyakit ginjal kronis
d. Penyakit arteri perifer
e. Retinopati
3. Modifikasi gaya hidup
a. Menghilangkan stres
b. Penatalaksanaan diet
a) Restriksi natrium
b) Restriksi kalori (pada penderita dengan kelebihan BB)
c) Restriksi asupan kolestrol
41

c. Olah raga teratur


d. Kendalikan berat badan (jika perlu)
e. Kendalikan faktor risiko
Modifikasi Gaya Hidup pada Pengendalian Hipertensi
Reduksi berat badan

Mencapai dan menjaga agar BMI <25


kg/m2

Reduksi konsumsi garam

<6 g NaCl/hari

harian
Penyesuaian diet sesuai

Diet kaya buah, sayur, dan produk

ketentuan

Dietary

susu rendah lemak, serta mengurangi

Stop

konsumsi lemak jenuh dan lemak total

Approaches

to

Hypertension
Pengendalian
alkohol

konsumsi

Untuk

penderita

mengonsumsi

yang

alkoholl,

biasa

konsumsi

alkohol bagi pria tidak boleh melebihi


2 gelas/ hari, bagi wanita tidak boleh
melebihi 1 gelas/hari
Aktivitas fisik

Aktivitas aerobik rutin, seperti jalan


cepat 30 menit/hari

Tabel 1. Modifikasi gaya hidup pada pengendalian hipertensi (Longo, et.al,


2012).

4. Edukasi cara pengukuran tekanan darah mandiri


5. Edukasi untuk visit untuk follow-up & monitoring

42

III. KESIMPULAN
1. Hypertensi adalah penyakit yang umum dimasyarakat yang sebenarnya
harus diwaspadai
2. Hypertensi menurut etiologynya dapat dibagi menjadi dua, yakni primer dan
sekunder
3. Dalam mengenali pasien hypertensi harus memahami sign and symptoms
dengan baik
4. Tatalaksana terbaru menurut JNC 8 merupakan hal yang harus diperhatikan
5. Penatalaksanaan farmakologis harus diselaraskan dengan tatalaksana
edukatif
6. Perlu diperhatikan kondisi pasien terkait komplikasi dan pengobatan serta
perlu dilakuakn evaluasi yang berkala.

43

IV.

DAFTAR PUSTAKA

Benowitz, Neal L, MD. 1998. Obat obat Anti Hipertensi. In :Katzung, Bertam
G. eds. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi keempat. Jakarta: EGC. 158
181.
Bruner dan Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8 vol.2.
Jakarta: EGC.
Cohen, L.D., Townsend, R.R. 2008. In the Clinic Hypertension. Available from:
www.annals.org/intheclinic/. [Accesed 15 April 2014].
Corwin, E. J. (2001). Patofisiologi. Jakarta: EGC
Dunitz, Martin. 2001. Treatment of Hypertension in General Practice. United
Kingdom: Blackwell Science Inc
James, PA, dkk. 2013. 2014 Evidence-Based Guideline for the Management of
High Blood Pressure in Adults: Report From the Panel Members
Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8). JAMA.
doi:10.1001/jama.2013.284427
Kaplan, N.M. (2001). Treatment of Hypertension in General Practice.
Departement of Internal Medicine University of Texas, USA. P : 49-51.
Kotchen, T.A. 2008. Hypertensive Vascular Disease. In: Fauci, A.S., et al, ed.
Harrisons Principles of Internal Medicine. United States of America: Mc
Graw Hill, 1549.
Kusrini, Ina dan Suryati Kumorowulan. 2010. Nilai Diagnostik Indeks Wayne dan
Indeks New Castle untuk Penapisan Kasus Hipertiroid. Balai Penelitian

44

dan Pengembangan GAKI: Kementerian Kesehatan RI. Available at:


https://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/BPK/article/download/2110
/1176 (Diakses pada 13 April 2014).
Longo, Dan L., Dennis L. Kasper, J. Larry Jameson, Anthony S. Fauci, Stephen L.
Hauser, dan Joseph Loscalzo. 2012. Harrisons Principle of Internal
Medicine, 18th Edition. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Lumbantobing, 2008, Tekanan Darah Tinggi, FKUI, Jakarta
Madhur, Meena S. 2014. Hypertension. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/241381-overview#aw2aab6b2b6aa
(Diakses pada 13 April 2014).
Mansjoer, A. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
Martini FH, Nath JL, et al. 2012. Fundamental of Anatomy and Physiology 9th
Edition. Boston: Benjamin Cummings.
Muttaqin, Arif. 2009. Asuhan Keperawatan Dengan Pasien Gangguan
Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika.
Rader, Daniel J; Hobbs, Helen H. 2012. Harrisons Principles of Internal
Medicine Volume 2 Edisi 18 Disorders of Lipoprotein Metabolism. Mc Graw
Hill: USA.
Sabiston, David C. 1991. Buku Ajar Bedah. Jakarta:
PenerbitBukuKedokteranEGC.
Sabiston, David C. 1991. Buku Ajar Bedah. Jakarta:
PenerbitBukuKedokteranEGC.
Sacher, Ronald A. dan McPherson, Richard A. 2004. Tinjauan Klinis Hasil
Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta: PenerbitBukuKedokteran EGC.
Sacher, Ronald A. dan McPherson, Richard A.
2004.TinjauanKlinisHasilPemeriksaan, Laboratorium. Jakarta:
PenerbitBukuKedokteran EGC.
Sherwood,lauralee.2011.fisiologi manusia: dari sel ke system, edisi 6.
Jakarta:EGC
Smith T. 2007 Tekanan Darah Tinggi. Jakarta ecg
Snell, Richard S. 2012. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC.

45

Sobel, B. J. M. D. and George L. Bakris, M . D . FACP. 2009 . Pedoman KLinis


diagnosa dan Terapi Hipertensi. Penerbit Hipokrates.
Speicher, Carl E. danSmith, Jack W. Jr. 1994.PemilihanUjiLaboratorium yang
Efektif: Choosing Effective Laboratory Tests. Jakarta:
PenerbitBukuKedokteranEGC.
Speicher, Carl E. danSmith, Jack W. Jr. 1994.PemilihanUjiLaboratorium yang
Efektif: Choosing Effective Laboratory Tests. Jakarta:
PenerbitBukuKedokteranEGC.
Weber, Michael A., Ernesto L. Schiffrin, William B. White, Samuel Mann, Lars
H. Lindholm, John G. Kenerson, et.al . 2013. Clinical Practice Guidelines
for the Management of Hypertension in the Community. The Journal of
Clinical Hypertension; Official Journal of the American Society of
Hypertension,

Inc.

Available

at:

http://www.ash-

us.org/documents/ASH_ISH-Guidelines_2013.pdf (Diakses pada 10 April


2014).
Yogiantoro Mohammad, 2006. Hipertensi Esensial. In: Sudoyo, Aru.w., ed. Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI, 599-603.
Kumar, Cotran. 2006. Basic Pathology. USA : Elsevier

46

Anda mungkin juga menyukai