Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

OD PTERIGIUM GRADE II, OD KISTA LIMBUS, ODS PRESBIOPI


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Dalam Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian Ilmu Penyakit Mata RST dr.Soedjono Magelang

Disusun Oleh :
Afifatul Hakimah
01.209.5822
Pembimbing :
dr. Dwidjo Pratiknjo, Sp.M
dr. Hari Trilunggono, Sp.M
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2013

BAB I
STATUS PASIEN
I.

IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap
: Ny. S
Umur
: 45 tahun
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Pedagang mainan keliling
Alamat
: Tegalrejo
Tanggal pemeriksaan : 2 September 2013

II.

ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Mata kanan terasa mengganjal
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan mata kanan terasa mengganjal karena
timbul selaput dan ada benjolan di dalam selaput tersebut seperti daging yang
bertambah besar. Keluhan dirasakan sejak 6bulan. Selaput tersebut hanya
terdapat pada mata kanan saja. Selaput tersebut makin hari makin melebar,
awalnya hanya di pojok mata kanan yang dekat dengan hidung kemudian
melebar kearah tengah mata. Sekitar 1 bulan kemudian pasien mengaku mata
kanannya terkena percikan batu kemudian dikucek-kucek dan menjadi merah,
1 bulan kemudian di tempat bekas terkena percikan batu timbul benjolan
kenyal. Saat ini mata pasien tidak merah, dan jika ditekan benjolan tidak
nyeri, hanya terasa mengganjal, serta tidak ada gangguan penglihatan. Pasien
sudah berobat ke puskesmas dan diberikan obat tetes mata tetapi tidak ada
perubahan. Keluhan penglihatan menjadi menurun atau buram disangkal,
melihat sesuatu seperti ganda disangkal. Munculnya selaput pada mata diakui
pasien hanya terdapat pada mata kanannya saja.

Pasien bekerja sebagai penjual mainan anak-anak keliling. Pasien


mengaku pernah menggunakan kaca mata pelindung maupun helm yang
menutupi muka saat naik motor. Riwayat sering terkena angin dan debu
diakui pasien. Mata pasien sering merah dan pedih tetapi dibiarkan saja. 3
tahun yang lalu mata kanan pasien pernah terkena cipratan bensin, tetapi
setelah diobati dapat sembuh seperti semula. Riwayat menggunakan
kacamata disangkal oleh pasien karena pasien buta huruf.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat terpapar sinar matahari terus menerus, angin dan debu
diakui.
Riwayat trauma pada mata diakui (terkena pecahan batu dan
bensin)
Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.
Riwayat memakai kacamata disangkal.
Riwayat penyakit diabetes melitus disangkal.
Riwayat penyakit hipertensi disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada anggota keluarga yang pernah menderita sakit seperti pasien.
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai pedagang mainan keliling. Kesan ekonomi kurang.
III.

PEMERIKSAAN FISIK
A. STATUS GENERALIS
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran
: Composmentis
Tanda Vital
Tekanan Darah
Nadi
Pernapasan
Suhu
Status gizi
: Baik

: 150/100 mmHg
: 80 kali/menit
: 18 kali/menit
: 36,5C

B. STATUS OFTALMOLOGI
Gambar:

OD

OS

OD
6/6

PEMERIKSAAN
Visus

OS
6/6

Gerak bola mata

ADD + 1.50 J6
Bulbus okuli

Gerak bola mata normal,

normal, simbeflaron

simblefaron (-), Enoftalmus

(tidak ditemukan)

(-), Eksoftalmus (-)

Enoftalmus (-),

Strabismus (-)

Eksoftalmus (-)
Strabismus (-),
Edema (-),

Palpebra

Edema (-), hiperemis (-),

hiperemis(-),

blefarospasme (-),

blefarospasme (-),

Lagoftalmus (-), ektropion

Lagoftalmus (tidak

(-), entropion (-)

ditemukan), ektropion
(-), entropion (-)
Edema (-), hiperemi

Konjungtiva

Edema (-), hiperemi (-),

(-), sekret (-), injeksi

sekret (-), injeksi

konjungtiva (-), injeksi

konjungtiva (-), injeksi siliar

siliar (tidak

(-), bangunan patologis

ditemukan)

(tidak ditemukan)

terdapat bangunan
patologis berupa
jaringan ikat
fibrovaskular bentuk
segitiga dari arah nasal
dengan apeks
melewati limbus ke
arah kornea < 2mm
disertai dengan
benjolan kistik pada
limbus berukuran
2mmx2mm, benjolan
tidak nyeri tekan,
tidak hiperemis, batas
tegas dan permukaan
halus
Warna putih dan tidak
ikterik
Bulat, edema (-),
infiltrat (tidak
ditemukan), sikatriks
(-),Terdapat jaringan
fibrovaskuler < 2mm
dan masa kistik di
limbus

Sklera

Warna putih dan

Kornea

tidak ikterik
Bulat, edema (-), infiltrat(-),
sikatriks (-)

Jernih, kedalaman

Camera Oculi

cukup

Anterior

Kripta (+), warna

(COA)
Iris

Jernih, kedalaman cukup

Kripta (+), warna coklat,

coklat, edema (-),

edema (-), sinekia (-), atrofi

sinekia (-), atrofi (-)


Bentuk bulat, letak

(-),
Bentuk bulat, letak sentral,

Pupil

sentral, diameter: 3

diameter: 3mm, isokhor,

mm, isokhor,

refleks pupil langsung/tidak

refleks pupil

langsung +/+

:langsung/tidak
langsung +/+
Jernih
Jernih
Cemerlang +

Lensa
Corpus Vitreum
Fundus Refleks

Jernih
Jernih
Cemerlang +

Papil saraf optik :

Funduskopi

Papil saraf optik : merah

merah muda, batas

muda, batas tegas

tegas

Vasa : AVR 2:3

Vasa : AVR 2:3

Makula Lutea : FR

Makula Lutea : FR

cemerlang

cemerlang

Retina : warna merah

Retina : warna merah-

orange

orange
Normal

IV.

TIO

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Histopatologi
Biopasi jaringan

DIAGNOSA BANDING
I.

OD :

normal

a. OD Pterigium simpleks grade II: dipertahankan karena dari anamnesa


terdapat selaput yang terasa mengganjal pada bagian mata, riwayat
terpapar angin dan debu secara terus menerus serta adanya riwayat lesi
pada konjungtiva. Dan pada pemeriksaan status opthalmologi terdapat
jaringan fibrovaskular yang berbentuk segitiga di celah kelopak daerah
nasal dengan puncak pada kornea < 2mm dari limbus.
b. OD Pterigium simpleks grade III: disingkirkan, karena pada pterigium
grade III pada pemeriksaan status opthalmologi terdapat jaringan
fibrovaskular yang berbentuk segitiga dengan puncak pada kornea > 2mm
dari limbus tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan
cahaya normal.
c. OD Pterigium dupleks: disingkirkan, karena pada pterigium dupleks pada
pemeriksaan status opthalmologi terdapat jaringan fibrovaskular yang
berbentuk segitiga pada celah kelopak di daerah nasal dan temporal
dengan puncak menuju kornea.
d. OD Pseudopterigium: disingkirkan karena tidak didapatkan adanya
riwayat tukak / ulkus kornea kronis dan tidak didapatkan adanya
pembuluh darah baru (pannus) serta pada pseudopterygium selaput pada
conjungtiva dapat dilewati oleh sonde pada daerah limbus.
e. OD Pinguekula: disingkirkan karena pada pinguekula dari pemeriksaan
akan terlihat sebagai bercak berwarna putih kuning ke abu-abuan pada
konjungtiva bulbi.
II.

OD
a. OD Kista Limbus Granulomatosa: dipertahankan, karena pasien mengaku
terdapat benjolan pada matanya sejak 4 bulan yang lalu, setelah
sebelumnya (1 bulan sebelumnya) ada perlukaan pada mata akibat terkena
pecahan batu. Benjolan bertambah besar perlahan-lahan serta tidak terasa
sakit dan nyeri, hanya terasa mengganjal serta tidak mempengaruhi
penglihatan. Dan dari hasil pemeriksaan didapatkan benjolan dengan

konsistensi kistik sebesar 2x2 mm, tidak bertangkai, berwarna putih agak
bening, permukaan halus licin tidak berbenjol-benjol,dan batasnya tegas.
b. OD Kista Dermoid : disingkirkan, karena kista dermoid tumor kongenital
yang berasal dari lapisan mesodermal dan ektodermal. Jaringan tumor inni
terdiri atas jaringan ikat, jaringan lemak, folikel rambut, kelenjar keringat,
dan jaringan kulit. Lokasinya dapat berada pada limbus konjungtiva bulbi
atau tumbuh jauh ke orbita posterior dan menyebabkan ptosis.
c. OD Nevus Konjungtiva: disingkirkan, karena pada nevus konjungtiva
konsistensinya lebih kenyal dan mengandung pigmen melanosit, dan
warnanya cenderung berubah karena pigmentasinya bisa bertambah
ataupun berkurang.
d. Papiloma Konjungtiva : disingkirkan, karena pada papiloma
konsistensinya lunak dan biasanya bertangkai serta permukaannya tidak
rata dan tidak licin. Pada papiloma juga terdapat riwayat terkena HPV dan
biasanya lebih sering kambuh.
III.

ODS :
a. Presbiopi Dipertahankan karena usia pasien yaitu 45 tahun yang
biasanya dikoreksi dengan menggunakan lensa kacamata add S+1.50
b. Hipermetropi Disingkirkan karena pada hipermetropia melihat jarak
jauh dan dekat penglihatan menjadi kabur, merasakan sakit kepala, silau,
melihat ganda, serta mata menjadi lelah dan sakit. Serta dapat dikoreksi
dengan lensa sferis positif dan pada hipermetropi tidak tergantung umur.

VII. DIAGNOSA KERJA


OD Pterygium Grade II
OD Kista Limbus Granulomatosa
ODS Presbiopi

VIII. TERAPI
MEDIKAMENTOSA
Terapi medikamentosa pre operasi
1. Topikal :

Kombinasi antibiotik dan steroid

Inmatrol (dexamethasone, neomycin Sulfate, Polimixyn B Sulfate)


ED 3x sehari 1 tetes OD
2. Oral : Terapi medikamentosa post operasi
1. Topikal :
Gentamycin salep mata 4x sehari OD
2. Oral :
Amoxicilin tab 500mg 3x1
Asam mefenamat tab 500mg 3x1

NONMEDIKAMENTOSA
1. Non operatif :
Tidak diberikan kacamata baca karena pasien buta huruf
2. Operatif
Ekstirpasi pterygium dengan konjungtiva autograft
Bare sclera
Rotational flap
Sliding flap
IX. EDUKASI
o Pasien sebaiknya menggunakan topi dan kacamata apabila sedang bertani
untuk mengurangi paparan terhadap sinar matahari, debu, dan angin yang
merupakan salah satu factor resiko pterygium.

o Menyarankan pasien untuk minum obat teratur dan meneteskan obat tetes
sesuai anjuran yang diberikan dokter
o Pasien disarankan untuk kembali lagi berobat apabila masih terasa gejalagejala perih
o Memotivasi pasien untuk dilakukan ekstirpasi pterygium, terutama pada
mata yang kanan.
o Menjelaskan bahwa penurunan tajam penglihatan yang dialami salah
satunya disebabkan oleh melemahnya otot mata karena usia tua
o Memberitahu kepada pasien untuk menggunakan kacamata untuk
mengurangi pandangannya yang kabur.

IX. PROGNOSIS
Quo Ad Visam :
Quo Ad Sanam :
Quo Ad Functionam:
Quo Ad Kosmetikam:
Quo Ad Vitam:

OCULUS DEXTER (OD) OCULUS SINISTER (OS)


Dubia Ad bonam
Dubia Ad bonam
Dubia Ad bonam
Dubia Ad bonam
Ad bonam
Ad bonam
Dubia Ad bonam
Dubia Ad bonam
Ad bonam
Ad bonam

XI. KOMPLIKASI
1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut

Gangguan penglihatan (astigmatisme)

Mata kemerahan

Iritasi

Gangguan pergerakan bola mata.

Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea

Dry Eye sindrom.

2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:

Infeksi

Ulkus kornea

Graft konjungtiva yang terbuka

Diplopia

Adanya jaringan parut di kornea.

XII. RUJUKAN
Dalam kasus ini tidak dilakukan Rujukan ke Disiplin Ilmu Kedokteran Lainnya,
karena dari pemeriksaan klinis tidak ditemukan kelainan yang berkaitan dengan
Disiplin Ilmu Kedokteran lainnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PTERYGIUM
I.

ANATOMI
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak
bagian belakang. Konjungtiva terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a) Konjungtiva palpebra
o Melekat erat pada tarsus, cukup tebal, permukaan licin
o Fungsinya supaya bola mata dapat bergerak dengan bebas
o Makin ke belakang perlekatan makin tak erat, diisi dengan jaringan
ikat longgar.
b) Konjungtiva bulbi
o Sangat tipis dan transparan, sehingga vasa-vasa pada episklera
nampak dari luar
o Episklera adalah jaringan pengikat longgar antara konjungtiva
bulbi dan capsula tenoni
o Konjungtiva bulbi mereka erat pada kornea dan merupakan salah
satu fiksasi dari kornea
c) Konjungtiva forniks

Batas antara konjungtiva palpeba dan konjungtiva bulbi. Diisi oleh


jaringan ikat longgar dan lemak. Forniks superior terdapat muara

kecil-kecil dari saluran glandula lakrimalis


o Retrotarsal terdapat kelenjar asinotubuler yang menghasilkan
sekret mukus
Kelenjar-kelenjar tersebut adalah :
- Kelenjar wolfring
- Kelenjar kraue
o Sekretnya seperti air mata dan disebut glandula lakrimalis

asesoria. Ia menmbah sekret dari glandula lakrimalis.


o Gunanya sekres mukus ini :
1) Enzym lysozim yang bersifat bakterisida yang menghambat
pertumbuhan bakteri-bakteri baik saprofit maupun yang
patogen
2) Menyapu bersih semua kotoran dari bola mata
3) Sebagai pelicin/lubrikasi
Vaskularisasi berasal dari cabang a. Oftalmika. Arcus palpebra superior
mempercabangkan :
-

A. Konjungtiva posterior
A. Siliaris anterior, berjalan ke depan bersama insertio m.rectus
lateralis, masuk bola mata di limbus kornea, membentuk

kapiler yang beranastomose dengan a. Kongjungtivalis poterior


A. Siliaris posterior longus yang memberi vaskularisasi ke
korpus siliar.

Sedangkan innervasi konjungtiva oleh serabut-serabut sensibel yang berasal


dari n. trigeminus.
Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan
epitel konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat,
superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas
caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata
terdiri atas sel-sel epitel skuamous bertingkat. Sel-sel superfisial mengandung

sel-sel goblet bulat dan oval yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk
mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air
mata prakornea secara merata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat
dibandingkan sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung
pigmen. Lapisan stroma di bagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan adenoid dan
lapisan fibrosa. Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di
beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum
germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi
berumur 2-3 bulan. Hal ini menjelaskan konjungtivitis inklusi pada nenonatus
bersifat papilar bukan folikular dan mengapa kemudian menjadi folikular.
Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada
lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang
konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar
lakrimal aksesorius (kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya
mirip kelenjar lakrimal terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar
krause berada di forniks atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring
terletak di tepi tarsus atas.
II.

DEFINISI
Pterygium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga
yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju

kornea pada daerah

interpalpebra. Pterygium tumbuh berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi.


Asal kata pterygium adalah dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya
sayap.
III.

ETIOLOGI
Pterygium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar
matahari, dan udara yang panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan
diduga merupakan suatu neoplasma, radang, dan degenerasi.
Pterygium diduga merupakan fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet,
pengeringan dan lingkungan dengan angin banyak. Faktor lain yang

menyebabkan pertumbuhan pterygium antara lain uap kimia, asap, debu dan
benda-benda lain yang terbang masuk ke dalam mata. Beberapa studi
menunjukkan adanya predisposisi genetik untuk kondisi ini.
IV.

FAKTOR RESIKO
1. Usia
Prevalensi Pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak
ditemui pada usia dewasa, tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak.
Tan berpendapat Pterygium terbanyak pada usia 2 dekade dua dan tiga. Di
RSUD AA tahun 2003-2005 didapatkan usia terbanyak 31 40 tahun,
yaitu 27,20%.
2. Pekerjaan
Pertumbuhan Pterygium

berhubungan dengan paparan yang sering

dengan sinar UV
3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari Pterygium adalah distribusi
geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei
yang dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di
khatulistiwa memiliki angka kejadian Pterygium yang lebih tinggi. Survei
lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama
kehidupannya pada garis lintang kurang dari 30 memiliki risiko penderita
Pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan 3
4. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.
5. Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara
autosomal dominan
6. Infeksi

Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab


Pterygium
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel
tertentu seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya Pterygium.
V.

PATOFISIOLOGI
Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit ini lebih
sering pada orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena itu
gambaran yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap
faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet),
daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan
lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan
kelainan tear film menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru merupakan
salah satu teori. Tingginya insiden pterygium pada daerah dingin, iklim kering
mendukung teori ini.
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal basal
stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam
jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel
bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen
dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva
terjadi degenerasi elastoik proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan
kemudian menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan
membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai
dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang
terjadi displasia.
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada
permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan
konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran

basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada
Pterygium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterygium
merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell.
Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell
di daerah interpalpebra.
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan
phenotype, pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum
dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal.
Lapisan fibroblast pada bagian pterygiun menunjukkan proliferasi sel yang
berlebihan. Pada fibroblast pterygium menunjukkan matrix metalloproteinase,
dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak,
penyembuhan luka, mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa pterygium
cenderung terus tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi
fibrovaskular dan inflamasi.
VI.

KLASIFIKASI
Berdasarkan Tipenya pterygium dibagi atas 3 :
a) Tipe I : Pterygium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau
menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea.
Stockers line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan
kepala pterygium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami
inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami
keluhan lebih cepat.
b) Tipe II : di sebut juga pterygium tipe primer advanced atau ptrerigium
rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterygium sering
nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4
mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear
film dan menimbulkan astigmat.
c) Tipe III: Pterygium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik.
Merupakan bentuk pterygium yang paling berat. Keterlibatan zona optik
membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai kornea > 4 mm dan
mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren

dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke


forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta
kebutaan
Berdasarkan stadium pterygium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
a) Stadium I : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea
b) Stadium II : jika pterygium sudah melewati limbus dan belum mencapai
pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
c) Stadium III : jika pterygium sudah melebihi stadium II tetapi tidak
melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter
pupil sekitar 3-4 mm).
d) Stadium IV : jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterygium dibagi menjadi 2 yaitu:
a) Pterygium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di
kornea di depan kepala pterygium (disebut cap dari pterygium)
b) Pterygium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi
bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.
Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterygium dan harus
diperiksa dengan slit lamp pterygium dibagi 3 yaitu:
a) T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat
b) T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
c) T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.
VII.

GEJALA KLINIS
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa

keluhan sama sekali (asimptomatik). Bila masih baru, banyak mengandung


pembuluh darah, warnanya menjadi merah, kemudian menjadi membran yang tipis
berwarna putih dan stasioner. Bagian sentral melekat pada kornea dapat tumbuh
memasuki kornea dan menggantikan epitel, juga membran Bowman, dengan

jaringan elastis dan hialin. Pertumbuhan ini mendekati pupil. Biasanya didapat
pada orang-orang yang banyak berhubungan dengan angin dan debu, terutama
pelaut dan petani Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain:

mata sering berair dan tampak merah

merasa seperti ada benda asing

timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium


tersebut, biasanya astigmatisme with the rule ataupun astigmatisme irreguler
sehingga mengganggu penglihatan

pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis
visual sehingga tajam penglihatan menurun.

VIII.

DIAGNOSA
Anamnesis
Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti
mata merah, gatal, mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu
juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja
di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar mathari yang tinggi, serta
dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.1,2, 6
Pemeriksaaan fisik
Pada inspeksi pterygium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular
pada permukaan konjuntiva. Pterygium dapat memberikan gambaran yang
vaskular dan

tebal tetapi ada juga pterygium yang avaskuler dan flat.

Pterygium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke


kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterygium pada daerah temporal. 6
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium
adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa
astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh pterygium.6
d) DIAGNOSA BANDING

Pinguekula
Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang berwarna
kekuningan.

Pseudopterigium
Pterigium umumnya didiagnosis banding dengan pseudopterigium yang
merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea. Pada
pengecekan dengan sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan
kornea.
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang
cacat akibat ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan dari ulkus kornea,
dimana konjungtiva tertarik dan menutupi kornea. Pseudopterigium dapat
ditemukan dimana saja bukan hanya pada fissura palpebra seperti halnya pada
pterigium. Pada pseudopterigium juga dapat diselipkan sonde di bawahnya
sedangkan pada pterigium tidak. Pada pseudopterigium melalui anamnesa
selalu didapatkan riwayat adanya kelainan kornea sebelumnya, seperti ulkus
kornea.

IX.

PENATALAKSANAAN

1. Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang
mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan
steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan
kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau
mengalami kelainan pada kornea.
2.Operatif
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium.
Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium
tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian
superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan
pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan
komplikasi seminimal mngkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan
Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren,
mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.

A. Indikasi Operasi
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita
B. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan

pterigium adalah kekambuhan,

dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik


bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena
tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi
pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih
memilih

untuk

memisahkan

ujung

pterigium

dari

kornea

yang

mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut


yang minimal dan halus dari permukaan kornea.
a. Teknik Bare Sclera
Melibatkan

eksisi

kepala

dan

tubuh

pterygium,

sementara

memungkinkan sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara


24 persen dan 89 persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.
b. Teknik Autograft Konjungtiva
memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi
40 persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan
pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan
dijahit di atas sclera yang telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi

jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya


pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan
penerima,

manipulasi

minimal

jaringan

dan

orientasi

akurat

dari

grafttersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan


menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium dan telah dilaporkan
angka

kekambuhan

sangat

rendah

dengan

teknik

ini.

c. Cangkok Membran Amnion


Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran
amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan
bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat
peradangan dan fibrosis dan epithelialisai.Sayangnya, tingkat kekambuhan
sangat beragam pada studi yang ada, diantara 2,6 persen dan 10,7 persen
untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia.
Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah
pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di
atas sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma
menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan
lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan
episcleral dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan dalam autografts
konjungtiva.
C. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah,
dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam
pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah
jatuh cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi
tersebut.

MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya


untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis
minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini
digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi
pterygium,

dan

penggunaan

obat

tetes

mata

MMC

topikal

setelah

operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya


intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena
menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak
ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk
dari radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis dan pembentukan katarak,
dan ini telah mendorong dokter untuk tidak merekomendasikan terhadap
penggunaannya.
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan
pemberian:
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,
bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian
tappering off sampai 6 minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan
bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam
selama

minggu,

diberikan

bersamaan

Chloramphenicol, dan steroid selama 1 minggu.

dengan

salep

antibiotik

X.

KOMPLIKASI
Komplikasi pterygium meliputi sebagai berikut:6,12
Pra-operatif:
1. Astigmat

Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterygium adalah


astigmat karena pterygium dapat menyebabkan perubahan bentuk
kornea akibat adanya mekanisme penarikan oleh pterygium serta
terdapat pendataran daripada meridian horizontal pada kornea yang
berhubungan dengan adanya astigmat. Mekanisme pendataran itu
sendiri belum jelas. Hal ini diduga akibat tear meniscus antara
puncak kornea dan peninggian pterygium. Astigmat yang ditimbulkan
2.
3.
4.
5.

oleh pterygium adalah astigmat with the rule dan iireguler astigmat.
Kemerahan
Iritasi
Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea
Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi penglihatan
dan menyebabkan diplopia.

Intra-operatif:
Nyeri, iritasi, kemerahan, graft oedema, corneoscleral dellen
(thinning), dan perdarahan subkonjungtival dapat terjadi akibat tindakan
eksisi dengan conjunctival autografting, namun komplikasi ini secara umum
bersifat sementara dan tidak mengancam penglihatan. 12
Pasca-operatif:
Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut:
1. Infeksi, reaksi bahan jahitan, diplopia, jaringan parut, parut kornea, graft
konjungtiva longgar, perforasi mata, perdarahan vitreus dan ablasi retina.
2. Penggunaan mitomycin C post operasi dapat menyebabkan ektasia atau
nekrosis sklera dan kornea
3. Pterygium rekuren.

XI.

PENCEGAHAN

Untuk mencegah terjadinya pterygium yaitu dengan Memperkecil terpaparnya


radiasi UV, angin, debu untuk mengurangi risiko berkembangnya Pterygium
pada individu yang mempunyai resiko tinggi. Jadi sebaiknya untuk para
pekerja lapangan dianjurkan untuk menggunakan kacamata dan topi
pelindung
XIII. PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan
pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterygium
rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau
transplantasi membran amnion.

HIPERMETROPI
I. Definisi
Hipermetropia adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar sejajar yang datang
dari jarak tak terhingga oleh mata dalam keadaan istirahat atau tanpa akomodasi
difokuskan dibelakang retina.

II.Etiologi
1. Hipermetrop aksial
Hipermetrop disebabkan sumbu mata akibat bola mata terlalu pendek atau
(jarak kornea-retina) terlalu pendek.
2. Hipermetrop Refraktif
Terdapat indeks bias yang kurang pada sistem mata
3. Hipermetrop Kurvatur
Kelengkungan kornea atau lensa kurang sehingga bayangan difokuskan
dibelakang retina
III.Klasifikasi
Klasifikasi hipermetropi berdasarkan klinis :
1.

Hipermetropi manifes
Ditentukan dengan lensa sferis positif terbesar yang menghasilkan
visus sebaik-baiknya. Pemeriksaan dilakukan tanpa siklopegi.
Dibedakan menjadi hipetmetropi manifest absolut dan fakultatif,
dimana hipetmetropi manifest absolut merupakan hipetropi yang tak
dapat diatasi dengan akomodasi, sedangkan hipermetropi manifest
fakultatif masih dapat diatasi dengan akomodasi

2.

Hipetmetropi total
Merupakan seluruh derajat hipermetropi yang didapatkan setelah
akomodasi dilenyapkan misalnya setelah pemberian siklopegi

3.

Hipermetropi fakultatif

Kelainan hipermetropi dapat diimbangi dengan akomodasi ataupun


dengan kacamata positif
4.

Hipermetropia absolut
Kelainan refraksi tidak diimbangi dengan akomodasi dan memerlukan
kaca mata positif untuk melihat

5.

Hipermetropi laten
Merupakan selisih antara hipetropi total dan manifes, menunjukkan
kekuatan tonus dari mm.siliaris

IV.Gejala Klinik
Gejala pada hipermetropi dapat dibedakan menjadi berdasarkan gejala
subjektif dan gejala objektif :
Gejala subjektif terdiri dari :

Penglihatan dekat kabur, kecuali pada hipermetrop tinggi atau pada usia
tua, penglihatan jauh juga terganggu

Asthenophia akomodatif dengan gejala sakit sekitar mata, sakit kepala,


konjungtiva merah, lakrimasi, fotofobi ringan, mata terasa panas dan
berat, mengantuk. Gejala biasanya timbul setelah melakukan pekerjaan
dekat seperti menulis, membaca, dan sebagainya

Gejala objektif terdiri dari :

Bilik mata depan dangkal karena akomodasi terus menerus


sehingga menimbulkan hipertrofi otot siliaris yang disertai
terdorongnya iris ke depan

Pupil miosis karena berakomodasi.

Pseudopapilitis (pseudoneuritis) karena hiperemis papil N.II akibat


akomodasi terus menerus sehingga seolah-olah meradan

V. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditemukan antara lain:

Glaukoma sudut tertutup karena sudut bilik mata depan dangkal

Strabismus konvergen (esotrofia) akibat akomodasi terus menerus karena


akomodasi disertai dengan konvergens

VI.Penatalaksanaan
Terapi dilakukan dengan koreksimenggunakan lensa spheris positif terbesar
yang memberikan visus terbaik dan dapat melihat dekat tanpa kelelahan.
Secara umum tidak diperlukan lensa spheris positif pada hipermetropi ringan,
tidak ada astenopia akomodatif, dan tidak ada strabismus.

PRESBIOPIA
A. DEFINISI
Presbiopi merupakan kondisi mata dimana lensa kristalin kehilangan
fleksibilitasnya sehingga membuatnya tidak dapat fokus pada benda yang dekat.
Presbiopi adalah suatu bentuk gangguan refraksi, dimana makin berkurangnya
kemampuan akomodasi mata sesuai dengan makin meningkatnya umur.

Presbiopi merupakan bagian alami dari penuaan mata. Presbiopi ini bukan
merupakan penyakit dan tidak dapat dicegah.
Presbiopi adalah suatu bentuk gangguan refraksi, dimana makin berkurangnya
kemampuan akomodasi mata sesuai dengan makin meningkatnya umur. Daya
akomodasi adalah kemampuan lensa mata untuk mencembung dan memipih.
Biasanya terjadi diatas usia 40 tahun, dan setelah umur itu, umumnya seseorang
akan membutuhkan kaca mata baca untuk mengkoreksi presbiopinya.
II. ETIOLOGI
a) Terjadi gangguan akomodasi lensa pada usia lanjut
b) Kelemahan otot-otot akomodasi
c) Lensa mata menjadi tidak kenyal, atau berkurang elastisitasnya akibat
kekakuan (sklerosis) lensa

III. PATOFISIOLOGI
Pada mekanisme akomodasi yang normal terjadi peningkatan daya refraksi
mata karenaadanya perubahan keseimbangan antara elastisitas matriks lensa
dan kapsul sehingga lensa menjadi cembung. Dengan meningkatnya umur
maka lensa menjadi lebih keras (sklerosis)dan kehilangan elastisitasnya untuk
menjadi cembung. Dengan demikian kemampuan melihat dekat makin
berkurang.
IV. KLASIFIKASI
a. Presbiopi Insipien tahap awal perkembangan presbiopi, dari
anamnesa didapati pasien memerlukan kaca mata untuk membaca
dekat, tapi tidak tampak kelainan bila dilakukan tes, dan pasien
biasanya akan menolak preskripsi kaca mata baca
b. Presbiopi Fungsional Amplitud akomodasi yang semakin menurun
dan akan didapatkan kelainan ketika diperiksa
c. Presbiopi Absolut Peningkatan derajat presbiopi dari presbiopi
fungsional, dimana proses akomodasi sudah tidak terjadi sama sekali
d. Presbiopi Prematur Presbiopia yang terjadi dini sebelum usia 40
tahun dan biasanya berhungan dengan lingkungan, nutrisi, penyakit,
atau obat-obatan
e. Presbiopi Nokturnal Kesulitan untuk membaca jarak dekat pada
kondisi gelap disebabkan oleh peningkatan diameter pupil
V. GEJALA

a. Kesulitan membaca tulisan dengan cetakan huruf yang halus / kecil


b. Setelah membaca, mata menjadi merah, berair, dan sering terasa pedih.
Bisa juga disertai kelelahan mata dan sakit kepala jika membaca terlalu
lama
c. Membaca dengan menjauhkan kertas yang dibaca atau menegakkan
punggungnya karena tulisan tampak kabur pada jarak baca yang biasa (titik
dekat mata makin menjauh)
d. Sukar mengerjakan pekerjaan dengan melihat dekat, terutama di malam
hari
e. Memerlukan sinar yang lebih terang untuk membaca
f. Terganggu secara emosional dan fisik
g. Sulit membedakan warna
V.

VI.

DIAGNOSIS PRESBIOPI
1.Anamnesa gejala-gejala dan tanda-tanda presbiopi
2.Pemeriksaan Oftalmologi
a. Visus Pemeriksaan dasar untuk mengevaluasi presbiopi dengan
menggunakan Snellen Chart
b. Refraksi Periksa mata satu per satu, mulai dengan mata kanan.
Pasien diminta untuk memperhatikan kartu Jaeger dan menentukan
kalimat terkecil yang bisa dibaca pada kartu. Target koreksi pada huruf
sebesar 20/30.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding adalah hipermetropi dan low vision jika hipermetropinya
lebih dari 3 dioptri.

VII.

PENATALAKSANAAN PRESBIOPI
i. Digunakan lensa positif untuk koreksi presbiopi. Tujuan koreksi adalah
untuk mengkompensasi ketidakmampuan mata untuk memfokuskan
objek-objek yang dekat
ii. Kekuatan lensa mata yang berkurang ditambahan dengan lensa positif
sesuai usia dan hasil pemeriksaan subjektif sehingga pasien mampu
membaca tulisan pada kartu Jaeger
iii. Karena jarak baca biasanya 33 cm, maka adisi +3.00 D adalah lensa
positif terkuat yang dapat diberikan pada pasien. Pada kekuatan ini,
mata tidak melakukan akomodasi bila membaca pada jarak 33 cm,
karena tulisan yang dibaca terletak pada titik fokus lensa +3.00 D

Usia
(tah
un)
40
Diantara
45

40-

45-

60
iv.

+ 1.25 D

+1.75 D
+2.00 D

50-

55
Diantara
60

yang

+1.50 D

50
Diantara
55

Positif

+1.00 D

45
Diantara
50

Kekuatan Lensa
dibutuhkan

+2.25 D
+2.50 D

55-

+2.75 D
+3.00 D

Selain kaca mata untuk kelainan presbiopi saja, ada beberapa jenis
lensa lain yang digunakan untuk mengkoreksi berbagai kelainan
refraksi yang ada bersamaan dengan presbiopia. Ini termasuk:
a. Bifokal untuk mengkoreksi penglihatan jauh dan dekat.
Bisa yang mempunyai garis horizontal atau yang progresif
b. Trifokal untuk mengkoreksi penglihatan dekat, sedang, dan
jauh. Bisa yang mempunyai garis horizontal atau yang
progresif
c. Bifokal kontak - untuk mengkoreksi penglihatan jauh dan
dekat. Bagian bawah adalah untuk membaca. Sulit dipasang
dan kurang memuaskan hasil koreksinya
d. Monovision kontak lensa kontak untuk melihat jauh di
mata dominan, dan lensa kontak untuk melihat dekat pada
mata non-dominan. Mata yang dominan umumnya adalah

mata yang digunakan untuk fokus pada kamera untuk


mengambil foto
e. Monovision modified lensa kontak bifokal pada mata nondominan, dan lensa kontak untuk melihat jauh pada mata
dominan. Kedua mata digunakan untuk melihat jauh dan satu
mata digunakan untuk membaca.
f. Pembedahan refraktif seperti keratoplasti konduktif, LASIK,
LASEK, dan keratektomi fotorefraktif

DAFTAR PUSTAKA
1.

Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management
of Pterygium. Opthalmic Pearls.2010

2.

Caldwell, M. Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 October 23]. Available


from : www.eyewiki.aao.org/Pterygium

3.

Riordan, Paul. Dan Witcher, John. Vaughan & Asburys Oftalmologi Umum:
edisi 17. Jakarta : EGC. 2010. Hal 119.

4.

Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. 2006.p.2-7,117.
5.
Laszuarni. Prevalensi Pterygium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis
Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara. 2009.
6.

7.

Jerome P Fisher, Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 October 23]


http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview

Anonymus. Anatomi Konjungtiva. [online] 2009. [ cited 2011 Maret 08].


Available from : http://PPM.pdf.com/info-pterigium-anatomi
8.
Anonymus. Pterigium. [online] 2009. [cited 2011 Maret 08] Available from :
http://www.dokter-online.org/index.php.htm .
9.
Cason, John B., .Amniotic Membrane Transplantation. [online] 2007. [cited
2011
October
23].
Available
from
:
http://eyewiki.aao.org/Amniotic_Membrane_Transplant
10. Lang, Gerhad K. Conjungtiva. In : Ophtalmology A Pocket Textbook Atlas. New
York : Thieme Stutgart. 2000
11. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to
Depositions and Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In:
External Disease and Cornea. San Fransisco : American Academy of
Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366
12. Anonim. Pterygium. [online] 2007. [cited 2011 October 23]. Available from :
http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/963/followup/complications.html

Anda mungkin juga menyukai