Anda di halaman 1dari 20

1

KEPITING
I. PENDAHULUAN
a.

Latar Belakang
Wilayah pesisir Indonesia memiliki berbagai macam tipologi habitat serta

keanekaragaman biota yang tinggi. Kanekaragaman hayati tersebut merupakan


sumber kehidupan yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan atau
perdagangan, sehingga keberadaannya sangat rawan terhadap kepunahan akibat
aktifitas kehidupan dan pembangunan. Beberapa bentuk ancaman kelestarian
keanekaragaman hayati antara lain karena pencemaran, eksploitasi sumber daya
alam untuk perdagangan, penebangan hutan dan sebagainya.
Salah satu bentuk ekosistem pesisir Indonesia adalah ekosistem hutan
mangrove. Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem yang unik merupakan
sumberdaya alam yang sangat potensial, mendukung hidupnya keanekaragaman
flora dan fauna. Komunitas terestris akuatik yang ada di dalamnya secara
langsung atau tidak langsung berperan penting bagi kelangsungan hidup manusia
baik dari segi ekonomi, sosial maupun lingkungan (ekologi). Tetapi ekosistem ini
sangat mudah dipengaruhi oleh ekosistem yang ada di sekitarnya serta sulit untuk
dipulihkan kembali jika terjadi degradasi.
Ekosistem pesisir memiliki bermacam-macam fungsi, antara lain fungsi
fisik, biologis dan sosial ekonomis. Fungsi biologis yang dimiliki kawasan pesisir
antara lain sebagai daerah asuhan (nursery grund), daerah mencari makan
(feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) dari berbagai biota
laut, tempat bersarangnya burung, habitat alami bagi berbagai jenis biota, sumber
plasma nutfah (Rahmawaty, 2006).
Diantara sekian banyak fungsi tersebut, fungsi ekosistem pesisir yang
terpenting adalah sebagai daerah asuhan, mencari makan dan daerah pemijahan
bagi ikan, udang, kepiting, moluska serta vertebrata lainnya. Daerah ini terbentuk
secara alamiah yang membuat suasana yang aman dan nyaman bagi hewan-

hewan tersebut bertelur, mencari makan dan membesarkan anak sebelum kembali
ke laut menjelang fase dewasa (MacKinnon, et al., 2000).
Seluruh fauna yang hidup di dalam ekositem pesisir mempunyai peranan
yang penting dalam menjaga keseimbangan ekologi. Sekian banyak fauna yang
hidup terdapat beberapa spesies kunci (keystone species) yang memegang peranan
yang sangat penting. Salah satu spesies tersebut adalah kepiting yang hidup di
dalam ekosistem pesisir. Kepiting diusulkan sebagai keystone species di kawasan
pesisir karena setiap aktivitasnya mempunyai pengaruh utama pada berbagai
proses paras ekosistem. Peran kepiting di dalam ekosistem diantaranya
mengkonversi nutrien dan mempertinggi mineralisasi, meningkatkan distribusi
oksigen di dalam tanah, membantu daur hidup karbon, serta tempat penyedia
makanan alami bagi berbagai jenis biota perairan (Prianto, 2007).
b.

Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengenal kepiting dari berbagai aspek, baik

morfologi, daur hidup, habitatnya maupun metode sampling yang digunakan


dalam penelitian.

II.

MORFOLOGI DAN ANATOMI KEPITING

Kepiting adalah binatang crustacea berkaki sepuluh, yang biasanya


mempunyai "ekor" yang sangat pendek (bahasa Yunani: brachy = pendek, ura =
ekor), atau yang perutnya sama sekali tersembunyi di bawah thorax. Hewan ini
dikelompokkan ke dalam Phylum Athropoda, Sub Phylum Crustacea, Kelas
Malacostraca, Ordo Decapoda, Suborder Pleocyemata dan Infraorder Brachyura.
Tubuh kepiting umumnya ditutupi dengan exoskeleton (kerangka luar) yang
sangat keras, dan dipersenjatai dengan sepasang capit. Kepiting hidup di air laut,
air tawar dan darat dengan ukuran yang beraneka ragam, dari pea crab, yang
lebarnya hanya beberapa milimeter, hingga kepiting laba-laba Jepang, dengan
rentangan kaki hingga 4 m (Anonim, 2008).
Menurut Prianto (2007), walaupun kepiting mempunyai bentuk dan ukuran
yang beragam tetapi seluruhnya mempunyai kesamaan pada bentuk tubuh.
Seluruh kepiting mempunyai chelipeds dan empat pasang kaki jalan (Gambar 1
dan 2). Pada bagian kaki juga dilengkapi dengan kuku dan sepasang penjepit,
chelipeds terletak di depan kaki pertama dan setiap jenis kepiting memiliki
struktur chelipeds yang berbeda-beda. Chelipeds dapat digunakan untuk
memegang dan membawa makanan, menggali, membuka kulit kerang dan juga
sebagai senjata dalam menghadapi musuh. Di samping itu, tubuh kepiting juga
ditutupi dengan Carapace. Carapace merupakan kulit yang keras atau dengan
istilah lain exoskeleton (kulit luar) berfungsi untuk melindungi organ dalam
bagian kepala, badan dan insang.
Kepiting sejati mempunyai lima pasang kaki; sepasang kaki yang pertama
dimodifikasi menjadi sepasang capit dan tidak digunakan untuk bergerak. Di
hampir semua jenis kepiting, kecuali beberapa saja (misalnya, Raninoida),
perutnya terlipat di bawah cephalothorax. Bagian mulut kepiting ditutupi oleh
maxilliped yang rata, dan bagian depan dari carapace tidak membentuk sebuah
rostrum yang panjang. Insang kepiting terbentuk dari pelat-pelat yang pipih
(phyllobranchiate), mirip dengan insang udang, namun dengan struktur yang
berbeda. Insang yang terdapat di dalam tubuh berfungsi untuk mengambil oksigen

biasanya sulit dilihat dari luar. Insang terdiri dari struktur yang lunak terletak di
bagian bawah carapace. Sedangkan mata menonjol keluar berada di bagain depan
carapace.

Gambar 1. Tubuh bagian dorsal kepiting dewasa (Sumber: Quinitio & Parado,
2003).

Gambar 2. Tubuh bagian ventral kepiting dewasa (Sumber: www.portofpeninsula.org,


1997).

Berdasarkan anatomi tubuh bagian dalam, mulut kepiting terbuka dan terletak
pada bagian bawah tubuh. Beberapa bagian yang terdapat di sekitar mulut berfungsi
dalam memegang makanan dan juga memompakan air dari mulut ke insang.
Kepiting memiliki rangka luar yang keras sehingga mulutnya tidak dapat dibuka
lebar. Hal ini menyebabkan kepiting lebih banyak menggunakan sapit dalam
memperoleh makanan. Makanan yang diperoleh dihancurkan dengan menggunakan
sapit, kemudian baru dimakan (Shimek, 2008). Anatomi tubuh kepiting bagian
dalam dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Anatomi tubuh bagian dalam dari kepiting dewasa (Sumber: Shimek,
2008).
Kepiting bakau ukurannya bisa mencapai lebih dari 20 cm. Sapit pada jantan
dewasa lebih panjang dari pada sapit betina. Kepiting yang bisa berenang ini
terdapat hampir di seluruh perairan pantai Indonesia, terutama di daerah
mangrove, di daerah tambak air payau, muara sungai, tetapi jarang ditemukan di
pulau-pulau karang (Nontji, 2002). Disamping morfologi sapit, kepiting jantan
dan betina dapat dibedakan juga berdasarkan ukuran abdomen, dimana abdomen
jantan lebih sempit dari pada abdomen betina (Gambar 4).

Gambar 4. Perbedaan morfologi kepiting jantan dan betina (Sumber:


www.environment.gov.au, 2007).
Irmawati (2005) melaporkan bahwa, kepiting bakau dapat diidentifikasi
dengan mengamati ciri-ciri meristik dan morfometril serta pola warna dengan
mengacu pada kunci identifikasi Keenan, Carpenter dan Niem (l998). Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa berdasarkan warna, bentuk duri pada frontal
dan jumlah duri pada karpus, teridentifkasi 3 spesies kepiting bakau di kawasan
Mangrove Sungai Keera Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan, yaitu Scylla olivacea,
Scylla serrata dan Scylla paramamosain dimana Scylla olivacea adalah jenis yang
dominan, yaitu 92% dari total sampel. Terdapat perbedaan karakter meristik yang
dimiliki oleh ketiga spesies kepiting bakau yang ditemukan di kawasan mangrove
tersebut.
Sebagian besar kepiting yang hidup di mangrove memperlihatkan adaptasi
morfologis saat bernafas ketika berada di darat. Ukuran insang kepiting
berkorelasi dengan habitat dan aktivitas metabolik. Spesies intertidal di daerah
temperate umumnya telah mereduksi luas insang dibanding dengan spesies
akuatik. Gejala ini terjadi pada spesies kepiting mangrove Ocypode dan Uca
yang mempunyai beberapa filamen insang dibanding kerabat dekatnya di spesies
akuatik. Filamen insang mengeras sebagai pemelihara bentuk, orientasi

dan

fungsi tubuh bila kepiting keluar dari air. Celah insang menjadi vaskular dan dapat

berfungsi sebagai paru-paru. Kepiting ini memompa udara melalui udara yang
tertahan di dalam celah insang yang harus diperbaharui secara teratur dengan
sering masuk ke dalam air (Hutching, dan Saenger, 2001 dalam Prianto, 2007).
Menurut Prianto (2007) bahwa, bagian tubuh kepiting juga dilengkapi bulu
dan rambut sebagai indera penerima. Bulu-bulu terdapat hampir di seluruh tubuh
tetapi sebagian besar bergerombol pada kaki jalan. Untuk menemukan
makanannya kepiting menggunakan rangsangan bahan kimia yang dihasilkan oleh
organ tubuh. Antena memiliki indera penciuman yang mampu merangsang
kepiting untuk mencari makan. Ketika alat pendeteksi pada kaki melakukan
kontak langsung dengan makanan, chelipeds dengan cepat menjepit makanan
tersebut dan langsung dimasukkan ke dalam mulut. Mulut kepiting juga memiliki
alat penerima sinyal yang sangat sensitif untuk mendeteksi bahan-bahan kimia.
Kepiting mengandalkan kombinasi organ perasa untuk menemukan makanan,
pasangan dan menyelamatkan diri dari predator.
Kepiting memiliki sepasang mata yang terdiri dari beberapa ribu unit optik.
Matanya terletak pada tangkai, dimana mata ini dapat dimasukkan ke dalam
rongga pada carapace ketika dirinya terancam. Kadang-kadang kepiting dapat
mendengar dan menghasilkan berbagai suara. Hal yang menarik pada berbagai
spesies ketika masa kawin, sang jantan mengeluarkan suara yang keras dengan
menggunaklan chelipeds-nya atau menggetarkan kaki jalannya untuk menarik
perhatian sang betina. Setiap spesies memiliki suara yang khas, hal ini digunakan
untuk menarik sang betina atau untuk menakut-nakuti pejantan lainnya

III. DAUR HIDUP KEPITING


Seperti hewan air lainnya reproduksi kepiting terjadi di luar tubuh, hanya
saja sebagian kepiting meletakkan telur-telurnya pada tubuh sang betina. Kepiting
betina biasanya segera melepaskan telur sesaat setelah kawin, tetapi sang betina
memiliki kemampuan untuk menyimpan sperma sang jantan hingga beberapa
bulan lamanya. Telur yang akan dibuahi selanjutnya dimasukkan pada tempat
(bagian tubuh) penyimpanan sperma. Setelah telur dibuahi telur-telur ini akan
ditempatkan pada bagian bawah perut (abdomen). Jumlah telur yang dibawa
tergantung pada ukuran kepiting. Beberapa spesies dapat membawa puluhan
hingga ribuan telur ketika terjadi pemijahan. Telur ini akan menetas setelah
beberapa hari kemudian menjadi larva (individu baru) yang dikenal dengan
zoea. Ketika melepaskan zoea ke perairan, sang induk menggerak-gerakkan
perutnya untuk membantu zoea agar dapat dengan mudah lepas dari abdomen.
Larva kepiting selanjutnya hidup sebagai plankton dan melakukan moulting
beberapa kali hingga mencapai ukuran tertentu agar dapat tinggal di dasar perairan
sebagai hewan dasar (Prianto, 2007). Daur hidup kepiting dapat dilihat pada
Gambar 5.
Daur hidup kepiting meliputi telur, larva (zoea dan megalopa), post larva
atau juvenil, anakan dan dewasa (Gambar 5 dan 8). Perkembangan embrio dalam
telur mengalami 9 fase (Juwana, 2004). Larva yang baru ditetaskan (tahap zoea)
bentuknya lebih mirip udang dari pada kepiting (Gambar 6). Di kepala terdapat
semacam tanduk yang memanjang, matanya besar dan di ujung kaki-kakinya
terdapat rambut-rambut. Tahap zoae ini juga terdiri dari 4 tingkat untuk kemudian
berubah ke tahap megalopa dengan bentuk yang lain lagi (Gambar 6 dan 7). Larva
kepiting berenang dan terbawa arus serta hidup sebagai plankton (Nontji, 2002).
Beberapa

hasil

penelitian

menyebutkan

bahwa

larva

kepiting

hanya

mengkonsumsi fitoplankton beberapa saat setelah menetas dan segera setelah itu
lebih cenderung memilih zooplankton sebagai makanannya (Umar, 2002).
Keberadaan larva kepiting di perairan dapat menentukan kualitas perairan

tersebut, karena larva kepiting sangat sensitif terhadap perubahan kualitas perairan
(Sara, dkk., 2006).

Gambar 5. Daur hidup kepiting (Sumber: httpwww.nio.org.gif, 2008).

Gambar 6. Skema bagian-bagian tubuh larva kepiting (zoea dan megalopa)


(Sumber: Davey, 2000).

10

Gambar 7. Perkembangan larva kepiting (Sumber: Anonim, 2007).

Gambar 8. Siklus hidup rajuangan dan Scylla sp. (Sumber: Juwana, 2004).

11

IV. HABITAT DAN PENYEBARAN KEPITING


Kepiting merupakan fauna yang habitat dan penyebarannya terdapat di air
tawar, payau dan laut. Jenis-jenisnya sangat beragam dan dapat hidup di berbagai
kolom di setiap perairan. Sebagaian besar kepiting yang kita kenal banyak hidup
di perairan payau terutama di dalam ekosistem mangrove. Beberapa jenis yang
hidup dalam ekosistem ini adalah Hermit Crab, Uca sp, Mud Lobster dan kepiting
bakau. Sebagian besar kepiting merupakan fauna yang aktif mencari makan di
malam hari (nocturnal) (Prianto, 2007).
Kepiting pada fase larva (zoea dan megalopa) hidup di dalam air sebagai
plankton. Kepiting mulai kehidupan di darat setelah memasuki fase juvenil dan
dewasa seiring dengan pembentukan carapace. Ilustrasi ini dapat dilihat pada
Gambar 9, dimana yang menjadi contoh pada gambar tersebut adalah kepiting
kelapa. Sedangkan habitat dan penyebaran kepiting (dalam contoh kepiting merah
Cancer magister) di estuary dan zona intertidal terlihat pada Gambar 10.
Kepiting dan rajungan tergolong dalam satu suku (familia) yakni Portunidae
dan seksi (sectio) Brachyura. Cukup banyak jenis yang termasuk dalam suku ini.
Dr. kasim

Moosa

yang

banyak

menggeluti

taksonomi

kelompok

ini

mengemukakan bahwa di Indo-Pasifik Barat saja diperkirakan ada 234 jenis, dan
di Indonesia ada 124 jenis. Di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu diperkirakan
ada 46 jenis. Tetapi dari sekian jenis ini, hanya ada beberapa saja yang banyak
dikenal orang karena biasa dimakan, dan tentu saja berukuran agak besar. Jenis
yang tubuhnya berukuran kurang dari 6 cm tidak lazim dimakan karena terlalu
kecil dan hampir tidak mempunyai daging yang berarti. Beberapa jenis yang dapat
dimakan ternyata juga dapat menimbulkan keracunan (Nontji, 2002).
Menurut Prianto (2007), bahwa di seluruh dunia terdapat lebih dari 1000
spesies kepiting yang dikelompokkan

ke dalam 50 famili. Sebagian besar

kepiting hidup di laut, tersebar di seluruh lautan mulai dari zona supratidal hingga
di dasar laut yang paling dalam. Sebagian jenis kepiting ada yang hidup di air
tawar. Keanekaragaman kepiting yang paling tinggi ada di daerah tropis dan di
selatan Australia, disini lebih dari 100 jenis kepiting telah diidentifikasi.

12

Konsentrasi maksimum kepiting terjadi pada malam hari pada saat air
pasang. Kebanyakan kepiting memanjat akar mangrove dan pohon untuk mencari
makan. Pada saat siang hari, waktu pasang terendah kebanyakan kepiting tinggal
di dalam lubang untuk berlindung dari serangan burung dan predator lainnya.
Beberapa spesies seperti Sesarma erythrodactyla dan Paragrapsus laevis pada
saat air surut, turun ke bawah untuk berasosiasi dengan telur-telur ikan.
Kepiting mangrove seperti Scylla serrata (Mud Crab) merupakan hewan
yang hidup di wilayah estuaria dengan didukung oleh vegetasi mangrove. Hewan
ini merupakan hewan omnivora dan kanibal, memakan kepiting lainnya, kerang
dan bangkai ikan. Kepiting ini dapat tumbuh sampai ukuran 25 cm atau dengan
berat mencapai 2 kg, dimana kepiting betina ukurannya lebih besar dari yang
jantan (DPI & F, 2003).

Gambar 9. Tahap-tahap morfologi dan perkembangan kepiting kelapa (Birgus


latro) dan habitat yang ditempatinya (Sumber: Hsieh, 2004).
Selain kepiting atau rajungan, masih banyak jenis lainnya dari seksi
Brachyura yang mempunyai ciri-ciri bentuk, sifat-sifat hidup dan lingkungan yang
berbeda-beda. Di daerah pasang surut dengan hamparan pasir yang luas di daerah-

13

daerah tertentu dapat ditemukan kepiting Myctyris, nama Inggrisnya adalah


soldier crab sedangkan disini sering diberi julukan tentara Jepang. Di pantai
dekat Merauke, jika air sedang surut, mereka bisa terlihat bergerak kian kemari di
atas pasir, serentak dalam gerombolan besar yang terdiri dari ratusan atau ribuan
individu, dengan penuh kewaspadaan. Dengan sedikit saja gangguan, misalnya
dengan langkah seseorang yang mendekat, maka tiba-tiba saja mereka akan
lenyap seketika secara serempak, memasuki lubang perlindungan. Baru setelah
situasi dianggap aman, mereka akan ke luar lagi beramai-ramai hilir mudik di atas
pasir (Nontji, 2002).

Gambar 10. Siklus hidup, habitat dan penyebaran kepiting merah (Cancer
magister) di wilayah estuaria dan zona intertidal (Sumber:
www.shim.bc.ca, 2008).

14

V.

KEPITING SEBAGAI KEYSTONE SPECIES

Spesies kunci (keystone species) adalah suatu spesies yang menentukan


kelulushidupan sejumlah spesies lain. Dengan kata lain spesies kunci adalah
spesies yang keberadaannya menyumbangkan suatu keragaman hidup dan
kepunahannya secara konsekuen menimbulkan kepunahan bentuk kehidupan lain
(Power & Mills, 1995 dalam Prianto, 2007).
Secara tindak langsung melalui pola tingkah laku dan kebiasaannya,
kepiting telah memberikan manfaat yang besar terhadap keberlangsungan proses
biologi di dalam ekosistem pesisir, seperti hutan mangrove. Menurut Prianto
(2007), beberapa peran kepiting di dalam ekosistem pesisir, adalah sebagai
berikut:
1.

konversi nutrien dan mempertinggi mineralisasi; Kepiting berfungsi


menghancurkan dan mencabik-cabik daun/serasah menjadi lebih kecil
(ukuran

detritus)

sehingga

mikrofauna

dapat

dengan

mudah

menguraikannya. Hal ini menjadikan adanya interaksi lintas permukaan,


yaitu antara daun yang gugur akan berfungsi sebagai serasah (produsen),
kepiting sebagai konsumen dan detrivor, mikroba sebagai pengurai;
2.

meningkatkan distribusi oksigen dalam tanah; Lubang yang dibangun


berbagai jenis kepiting mempunyai beberapa fungsi diantaranya sebagai
tempat perlindungan dari predator, tempat berkembang biak dan bantuan
dalam mencari makan. Disamping itu, lubang-lubang tersebut berfungsi
untuk komunikasi antar vegetasi misalnya mangrove, yaitu dengan
melewatkan oksigen yang masuk ke substrat yang lebih dalam sehingga
dapat memperbaiki kondisi anoksik;

3.

membantu daur hidup karbon; Dalam daur hidup karbon, unsur karbon
bergerak masuk dan keluar melewati organisme. Kepiting dalam hal ini
sangat penting dalam konversi nutrien dan mineralisasi yang merupakan
jalur biogeokimia karbon, selain dalam proses respirasinya;

4.

penyedia makanan alami; Dalam siklus hidupnya kepiting menghasilkan


ratusan bahkan pada beberapa spesies dapat menghasilkan ribuan larva

15

dalam satu kali pemijahan. Larva-larva ini merupakan sumber makanan bagi
biota-biota perairan, seperti ikan. Larva kepiting bersifat neuston yang
berarti melayang-layang dalam tubuh perairan, sehingga merupakan
makanan bagi ikan-ikan karnivora.

16

VI. METODE SAMPLING KEPITING


Wilayah pesisir merupakan wilayah yang unik karena ditemukan berbagai
ekosistem mulai dari daerah pasang surut, estuaria, hutan mangrove, terumbu
karang, padang lamun dan rumput laut. Kepiting merupakan biota khas yang
hidup di wilayah pesisir terutama di hutan mangrove dan pantai berpasir.
Larva kepiting yang hidup di wilayah perairan tergolong dalam kelompok
plankton. Plankton umumnya berukuran kecil, jumlahnya di perairan relatif sangat
tidak padat. Oleh karena itu, pengambilan sampel plankton harus dilakukan
dengan alat yang dapat menyaring air sedemikian rupa sehingga plankton yang
tersaring cukup jumlahnya untuk dianalisis. Untuk keperluan ini alat khusus yang
biasa digunakan adalah jaring plankton (plankton net). Setiap mata jaring yang
digunakan ukurannya (mesh size) harus berbeda, tergantung dari plankton yang
akan dikumpulkan, apakah itu fitoplankton atau zooplankton. Jika yang
diinginkan fitoplankton, maka ukuran mata jaring harus kecil, demikian
sebaliknya untuk zooplankton (Fachrul, 2007).
Menurut Sara, dkk. (2006) bahwa, sampling larva kepiting (Scylla spp.) di
perairan dilakukan dengan menggunakan alat miller net high speed yang
dimodifikasi. Spesifikasi alat tersebut yaitu, mata jaring berukuran 300 m,
diameter mulut jaring 20 cm, panjang jaring 100 cm dan panjang lengan
(pegangan) 100 cm. Alat sampling ini digunakan dengan cara diayunkan dari atas
ke bawah permukaan air terus-menerus selama 10-20 menit dengan kecepatan
yang sama. Sampel larva kepiting yang diperoleh difiksasi dengan larutan
formalin 4%.
Sedangkan menurut Fachrul (2007), untuk sampling zooplankton yang
berukuran besar, seperti larva kepiting, dapat digunakan jaring dengan diameter
mulut jaring 0,45 m, panjang 2,10 m dan ukuran mata jaring 0,50 mm. Selain itu
juga sampling plankton dapat dilakukan dengan menyaring air sebanyak 100 liter
dari lokasi sampling, dengan menggunakan water sampler 10 liter atau

17

penyaringan dapat pula dilakukan dengan menggunakan ember ukuran 5 liter


sebanyak 20 kali penyaringan.
Air yang terkumpul kemudian disaring dengan plankton net dimana jaring
plankton tersebut telah dilengkapi dengan tabung pengumpul plankton yang
mempunyai ukuran 25 ml. Selanjutnya sampel plankton yang terjebak ditampung
dalam tabung pengumpul plankton dan diawetkan dengan lugol atau formalin 4%
yang telah dinetralkan dengan boraks atau alkohol 70% dan diberi label.
Pencacahan zooplankton dilakukan dilaboratorium dengan menggunakan kaca
pembesar atau mikroskop dan dihitung berdasarkan jumlah individu yang terlihat.
Sampling juvenil dan kepiting dewasa biasanya dilakukan dengan
menggunakan perangkap dengan model yang beraneka ragam. Menurut DPI & F
(2005), perangkap kepiting yang digunakan dalam pengambilan sampel berupa
pot yang disebar di beberapa lokasi sampling. Tiap-tiap pot diberi nomor yang
berbeda-beda sesuai titik sampel untuk memudahkan dalam identifikasi lokasi.
Selain itu juga sampling kepiting dewasa dapat dilakukan dengan menggunakan
perangkap yang terbuat dari kawat atau jaring dimana biasanya di dalam
perangkap tersebut diberikan umpan dengan jenis dan jumlah yang sama.
Berbagai model perangkap kepiting dapat dilihat pada Gambar 11.

18

Gambar 11. Berbagai bentuk perangkap kepiting (Sumber: http://www.fao.org,


2008)
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Pengamatan Aspek Biologi Rajungan dalam Menunjang
Teknik Perbenihannya, (Online), (http://www.utkampus.net, diakses 1 Mei
2008)
---------. 2008. Kepiting, (Online), (http://mangrove.unila.ac.id, diakses 21 April
2008).
Davey, K. 2000. Decapod Crabs Reproduction and Development, (Online),
(http://www.mesa.edu.au, diakses 1 Mei 2008).
DPI & F. 2003. Fish Guide. Saltwater, Freshwater and Noxious Species, (Online),
The Great Outdoors Publications, Brisbane, (www2.dpi.qld.gov.au,
diakses 13 Mei 2008).
DPI & F. 2005. Fisheries Long Term Monitoring Program Sampling Protocol
Mud Crab: (2000 2005), (Online), Department of Primary Industries and
Fisheries, (http://www2.dpi.qld.gov.au, diakses 14 Mei 2008).
Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.
Hsieh, H.L. 2004. Towards Wetland Restoration for the "Wetland Three
Musketeers, A Horseshoe Crab, A Fiddler Crab, and A Coconut Crab,
(Online), Research Center for Biodiversity, Academia Sinica, Taipei,
(biodiv.sinica.edu.tw, diakses 14 Mei 2008).
Irmawati. 2005. Keanekaragaman Jenis Kepiting Bakau Scylla sp Di Kawasan
Mangrove Sungai Keera Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan, Lembaga
Penelitian UNHAS, (Online), (http://www.unhas.ac.id, diakses 30 April
2008).
Juwana, S. 2004. Penelitian Budi Daya Rajungan dan Kepiting: Pengalaman
Laboratorium dan lapangan, Prosiding Simposium Interaksi Daratan dan
Lautan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
MacKinnon, K., Hatta, G., Halim, H. & Mangalik, A. 2000. Ekologi Kalimantan.
Prenhallindo. Jakarta.
Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.

19

Prianto, E. 2007. Peran Kepiting Sebagai Spesies Kunci (Keystone Spesies) pada
Ekosistem Mangrove. Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia IV.
Balai Riset Perikanan Perairan Umum. Banyuasin.
Quinitio, E.T. & Parado, E.F.D. 2003. Biology and Hatchery of the Mud Crabs
Scylla spp. Aquaculture Extension Manual, (Online), No. 34, SEAFDEC
Aquaculture Department, Iloilo, Philippines (rfdp.seafdec.org.ph, diakses
15 Mei 2008).
Rahmawaty. 2006. Upaya Pelestarian Mangrove Berdasarkan Pendekatan
Masyarakat (Online), Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara,
Medan, (http://library usu.ac.id, diakses 2 April 2008).
Sara, L. dkk. 2006. Abundance and Distribution Patterns of Scylla spp. Larvae in
the Lawele Bay, Southeast Sulawesi, Indonesia, Asian Fisheries Science,
(Online), Vol. 19; 331-347, (www.asianfisheriessociety.org, diakses 1 Mei
2008).
Shimek, R.L. 2008. Crabs, (Online), (www.reefkeeping.com, diakses 15 Mei
2008).
Umar, N.A. 2002. Hubungan antara Kelimpahan Fitoplankton dan Zooplankton
(Kopepoda) dengan Larva Kepiting di Perairan Teluk Siddo Kabupaten
Barru Sulawesi Selatan, (Online), IPB.
www.environment.gov.au. 2007. Red Crabs Gecarcoidea natalis (Pocock, 1888),
(Online), (diakses 15 Mei 2008).
www.fao.org. 2008. Trap Crab, (Online), (diakses 15 Mei 2006).
www.nio.org.gif. 2008. Crab Life Cycle, (Online), (diakses 15 Mei 2006).
www.portofpeninsula.org. 1997. Crab. Washington State Department of Fish &
Wildlife, (Online), (diakses 15 Mei 2008).
www.shim.bc.ca. 2008. Red Rock Crab, (Online), (diakses 15 Mei 2008).

20

Anda mungkin juga menyukai