Anda di halaman 1dari 7

1.

Manajemen Terapi Penyakit Ginjal Akut


1. Terapi farmakologi
a. AKI
Manajemen yang optimal untuk AKI membutuhkan kolaborasi di antara dokter,
nefrologis, hospitalist, dan subspesialis lain yang berpartisipasi pada perawatan
pasien. Setelah AKI ditegakkan, manajemen terapi merupakan penyokong
primer. Pasien dengan AKI sebaiknya dirawat inap kecuali kondisinya ringan dan
jelas disebabkan dari penyebab yang mudah direversibel. Kunci manajemennya
adalah memastikn perfusi renal yang adekuat dengan pencapaian dan
mempertahankan stabilitas hemodinamik dan mencegah hipovolemisa. Pada
beberapa pasien, pemeriksaan klinis untuk status volume intravaskular dan
pencegahan dari kelebihan volume mungkin sulit, pada kasus dimana
pengukuran tekanan vena pusat di keadaan perawatan intensif dapat bermanfaat
(Rahman, Shad, dan Smith, 2012).
Jika penggantian cairan dibutuhkan karena penipisan volume
intravaskular, larutan isotonik (contohnya normal saline) lebih dibutuhkan
dibandingkan larutan hiperonkotik (contohnya dekstran, pati hidroksietil,
albumin) (Schortgen, dkk., 2001). Tujuan yang diharapkan adalah tekanan ratarata arterial lebih besar dari 65 mmHg, yang mungkin membutuhkan penggunaan
vasopresor pada pasien dengan hipotensi persisten (Brochard, dkk., 2010).
Dopamin dosis renal terkait dengan keluaran yang jelek pada pasien dengan AKI
sudah tidak direkomendasikan lagi (Friedrich, Adhikari, Herridge, dan Beyene,
2005). Fungsi jantung dapat dioptimisasi dengan inotrop positif, atau reduksi
afterload dan preload.
Perhatian pada ketidakseimbangan elektrolit (contohnya hiperkalemia,
hiperfosfatemia, hipernatremia, hipermagnesia, hiponatremia, asidosis
metabolik) sangat penting. Hiperkalemia berat didefinisikan sebagai level kalium
6,5 mEq/L (6,5 mmol/L) atau lebih besar, atau kurang dari 6,5 mEq/L dengan
perubahan elektrokardiografi yang khas pada hiperkalemi (contohnya gelombang
T yang tinggi dan memuncak). Pada hiperkalemia berat, 5 sampai 10 unit insulin
regular dan dekstrosa 50% yang diberikan secara intravena dapat mengubah
kalium keluar dari sirkulasi dan menuju sel. Kalsium glukonat (10 mL dari
larutan 10% diinfus IV selama 5 menit) juga digunakan untuk menstabilkan
membran dan mengurangi resiko aritmia ketika ada perubahan elektrokardiografi
yang menunjukkan hiperkalemia. Pada pasien tanpa bukti elektrokardiografi
hiperkalemia, kalsium glukonat tidak dibutuhkan, tetapi natrium polistiren
sulfonat (Kayexalate) dapat diberikan untuk menurunkan level kalium secara
bertahap, dan loop diuretic dapat digunakan pada pasien yang responsif terhadap
diuretik. Asupan kalium sebaiknya dibatasi (Rahman, Shad, dan Smith, 2012).

Indikasi utama penggunaan diuretik adalah manajemen kelebihan cairan.


Loop diuretic IV, seperti bolus atau infusi berkelanjutan, dapat berguna. Tetapi,
penting diketahui bahwa diuretik tidak memperbaiki morbiditas, mortalitas, atau
keluaran renal, dan sebaiknya tidak digunakan untuk mencegah atau menangani
AKI yang tidak terdapat kelebihan volume (Ho dan Sheridan, 2006).
Semua pengobatan yang dapat mempengaruhi fungsi renal dengan
toksisitas langsung atau dengan mekanisme hemodinaik sebaiknya dihentikan,
jika memungkinkan. Sebagau contoh, metformin sebaiknya tidak diberikan pada
pasien diabetes mellitus yang mengalami AKI. Dosis pada pengobatan sebaiknya
disesuakan untuk penurunan fungsi ginjal. Pencegahan media teriodinasi dan
gadolinium sangat penting, dan jika penggambaran dibutuhkan, studi nonkontras
direkomendasikan (Rahman, Shad, dan Smith, 2012).
Terapi pendukung (seperti antibiotik, pemeliharaan nutrisi adekuat, ventilasi
mekanik, kontrol gilkemi, dan manajemen anemia) sebaiknya dilanjutkan
berdasarkan manajemen standar. Pada pasien dengan glomerolunefritis progresif,
pengobatan dengan steroid, terapi sitotoksik, atau kombinasi dapat
dipertimbangkan, seringali setelah konfirmasi diagnosis biopsi ginjal (Walters,
Willis, dan Craig, 2008). Pada beberapa pasien, konsekuensi metabolik AKI
tidak dapat dikontrol secara adekuat dengan manajemen konservatif, dan terapi
penggantian renal akan dibutuhkan. Indikasi untuk inisiasi terapi tersebut
meliputi hiperkalemi refraktori, kelebihan volume refraktori pada manajemen
medis, perikarditis uremia atau pleuritis, enselopati uremik, asidosis berat, dan
intoksikasi (contohnya etilen glikol, litium) (Mehta, 2001).

Gambar 1. Algoritma untuk diagnosis dan pengobatan AKI (Smith, 2004).

b. Eklampsia

Terapi yang dapat diberikan untuk pasien yang mengalami eklamsia antara lain
adalah pemberian antikonvulsan, kontrol tekanan darah, pemberian cairan.
Pemberian antikonvulsan ini bertujuan untuk menghilangkan kejang yang
dialami oleh pasien dan untuk mencegah kejang tersebut muncul kembali. Ketika
pasien kejang dapat diberikan diazepam 5mg secara iv bolus dan dapat diulangi
sesuai kebutuhan hingga dosis maksimumnya sebesar 20mg. Magnesium sulfat
juga dapat bertindak sebagai antikonvulsan yang bekerja dengan cara memblokir
reseptor N-methyl-D-aspartat di hippocampus. Dalam suatu penelitian yaitu The
Collaborative Eklampsia menunjukkan bahwa seorang wanita yang mengalami
kejang dan diberikan Magnesium Sulfat mengalami penurunan yang signifikan
dibandingkan dengan pasien yang diberikan diazepam atau fenitoin. Apabila
diberikan secara intramskular kemungkinan akan terjadi abses dengan prsentasi
0,5 % kejadian. Rute yang lebih disukai ialah secara intravena. Diberikan loading
dose sebesar 4 mg harus diberikan perlahan di atas 5-10 menit dan diikuti dengan
maintenance infuse 1 g/jam yang dilanjutkan sedikitnya 24 jam setelah kejang
trakhir. Apabila terjadi kejang kembali maka terapi yang dapat diberikan melalui
bolus dengan dosis 2 g.
Kontrol tekanan darah, bertujuan untuk mengurangi resiko pada ibu supaya tidak
terjadi pendarahan cerebral, gagal jantung, infark myocardiac, dan abrupsi
plasenta. Kontrol tekanan darah ini harus dilakukan secara perlahan lahan.
Karena apabila tekanan darahnya langsung drop akan membahayakan ibu dan
janinnya. Tujuan dari terapi ini adalah untuk menurunkan tekanan darah secara
bertahap sebesar 10 mmHg untuk tekanan sistol dan diastole dan tetap menjaga
tekanan sistol tidak boleh lebih dari 125 mmHg (tetapi tidak kurang dari 105
mmHg) serta menjaga tekanan diastole supaya tidak lebih dari 105 mmHg (tetapi
tidak kurang dari 90 mmHg). Obat yang biasanya digunakan dalam terapi ini
adalah labetalol (20 mg secara intravena) dan hydralazine (5 mg secara
intravena). Tetapi kadang keduanya dapat menyebabkan fetal distress, sehingga
alternative yang digunakan adalah nifedipine.
Pemberian cairan, bertujuan untuk mengurangi kemungkinan komplikasi
iatrogenic terutama edema paru, gangguan ventrikel kiri, dan sindrom gangguan
pernafasan. Sehingga berdasarkan has tersebut harus dimonitoring cairan yang
masuk maupun cairan yang keluar (Salha, 1999).
c. HELLP SYNDROM (Hemant, S. et al, 2009)

d. Asidosis Metabolik (Mayasari,Siska, 2006)


a. Natrium Bikarbonat
Pemberian natrium bikarbonat biasanya dibatasi pada pasien dengan asidosis
metabolic yang berat (pH arteri ,7,10 7,15), dengan tujuan untuk
mempertahankan pH di atas 7,15 sampai proses primer dapat teratasi.
NaHCO3 yang dibutuhkan = (bikarbonat yang diinginkan bikarbonat yang
didapat) x 0,4 x berat badan (kg)
b. Dichloroacetate
Dichloroacetate merupakan stimulus yang poten teradap pyruvate
dehidrogenase.
Dichloroacetate dapat meningkatkan pH arteri, suatu studi control
memperlihatkan bahwa efek ini sedikit dan tidak ditemukan perbaikan
hemodinamik pada penderita yang bertahan hidup.
c. Carbicarb
Carbicarp mempunyai kapasitas buffering agent baru yang potensial teradap
asidosis metabolic. Carbicarb merupakan suatu campuran equimocular
natrium bikarbonat dengan natrium karbonat. Carbicarb mempunyai

kapasitas buffer yang mirip dengan natrium bikarbonat tetapi tidak


mengakibatkan produksi CO2. Oleh karena itu, komponen karbonat dari
carbicarb akan mengurangi kecenderungan untuk terjadinya venous
hypercapmia dan asidosis intraseluler. Meskipun demikian, resiko
hipernatremia dan hipervolemia mirip dengan natrium bikarbonat.
2. Terapi non farmakologi
a. AKI dan Metabolik asidosis
Terdapat beberapa langkah untuk mencegah terjadinya Penyakit ginjal akut.
Adanya hidrasi yang adekuat dan pemberian Natrium bermanfaat untuk terapi yag
diberikan. Infus NaCl 0,9% atau dekstrosa5% + 0,45% NaCl. Penggunaan dehidrasi,
dengan pemberian saline dapat memberikan hasil pada penghambatan penyakir ginja
akut. Hindari bahan yang bersifat nefrotoksik, karena dapat mengganggu potensial
dari fungsi nefrotoksik. Contohnya, ampotericin B yang bersifat nefrotoksik. Pasien
dengan memperoleh terapi tersebut, akan menaikkan resiko GGA 30% ( Dipiro,
2008).
b. HELLP Syndrome
Untuk mengurangi resiko adanya pre-eklamsia:

Mengurangi aktivitas fisik


Bed-rest untuk manajemen hipertensi pada kehamilannya
Disarankan istirahat sepenuhnya dirumah sebagai pencegahan primer adanya hipertensi saat
kehamilan
Disfungsi organ maternal dipicu oleh pre-eklamsia yang memberikan masifestasi klinik, juga
meliputi eklamsia dan HELLP sindrom. HELLP sindrom hanya muncul pada 10-20% wanita
dengan pre-eklamsia yang parah, sehingga untuk mencegah semua kemungkinan ini bisa
dilakukan terapi nonfarmakologi. Apabila muncul hipertensi pasca melahirkan, maka pasien
bisa disarankan untuk menerima terapi berupa antihipertensi postpartum. Terapi ini hanya
disarankan untuk pasien dengan HT postpartum yang parah (WHO, 2011).
c. Fetal Distress
Adanya pertumbuhan janin yang tidak normal, bisa disebabkan karena adanya infeksi.
Sehingga dilakukan pencegahan infeksi, karena adanya pemindahan IgG dari ibu yang
terhganggu untuk ditujukan ke bayi.selama kehamilan, nutrisi dan keseimbangan cairan &
elektrolit ibu harus dijaga baik agar fungsi plasenta terjamin. Selain itu obat-obatan yang
dikonsumsi ibu harus betul dan tidak kontraindikasi dengan kehamilan, atau mengawasi
penggunaan sedatif (Santoso, 2010).

pemberiannya perlu diperhatikan karena berdasar konsesus dokter spesalis jantung justru
memperberat kerja jantung dimana pada pasien mengalamai fetal distress

DAFTAR PUSTAKA
.
Hemant, Satpathy et al.2009.Review Article HELLP Syndrome.J Obstet Gynecol India vol 59
(1):30-40.
Ho, K. M., dan D. J. Sheridan, 2006, Meta-analysis of Furosemide to Prevent or Treat Acute
Renal Failure, BMJ 2006;333(7565):420
Kasdu. 2003. Operasi Caesar Masalah dan solusinya. Jakarta : Puspa swara
Kraut, J.A dan Madias N E.2010. Metabolic acidosis: pathophysiology, diagnosis and
management.Nat Rev Nephrol : 6(5):274-85.
Lubis, Siska M dan Lubis, Munar. 2006. Asidosis Laktat. Majalah Kedokteran Nusantara
.Volume 39. No. 1.
Mehta, R. L., 2001, Indications for Dialysis in the ICU: Renal Replacement vs Renal Support,
Blood Purif 2001;19(2):227-232.
Rahman, M., F. Shad, dan M. C. Smith, 2012, Acute Kidney Injury: A Guide to Diagnosis and
Management, Am Fam Physician 2012;86(7):631-639.

Salha, Osama .1999. Modern majamenen for Eklampsia. Postgrad Med J 1999;75:7882 The
Fellowship of Postgraduate Medicine, 1999
Smith, M. C., 2004, Acute Renal Failure, pada Resnick MI, Elder JS, Spirnak JP, eds. Clinical
Decisions in Urology 3rd ed, BC Decker, Inc., Ontario.
WHO. 2011. WHO Recomendations for Prevention and Treatment of Pre-eclampsia and
Eclampsia.

Anda mungkin juga menyukai