b. Eklampsia
Terapi yang dapat diberikan untuk pasien yang mengalami eklamsia antara lain
adalah pemberian antikonvulsan, kontrol tekanan darah, pemberian cairan.
Pemberian antikonvulsan ini bertujuan untuk menghilangkan kejang yang
dialami oleh pasien dan untuk mencegah kejang tersebut muncul kembali. Ketika
pasien kejang dapat diberikan diazepam 5mg secara iv bolus dan dapat diulangi
sesuai kebutuhan hingga dosis maksimumnya sebesar 20mg. Magnesium sulfat
juga dapat bertindak sebagai antikonvulsan yang bekerja dengan cara memblokir
reseptor N-methyl-D-aspartat di hippocampus. Dalam suatu penelitian yaitu The
Collaborative Eklampsia menunjukkan bahwa seorang wanita yang mengalami
kejang dan diberikan Magnesium Sulfat mengalami penurunan yang signifikan
dibandingkan dengan pasien yang diberikan diazepam atau fenitoin. Apabila
diberikan secara intramskular kemungkinan akan terjadi abses dengan prsentasi
0,5 % kejadian. Rute yang lebih disukai ialah secara intravena. Diberikan loading
dose sebesar 4 mg harus diberikan perlahan di atas 5-10 menit dan diikuti dengan
maintenance infuse 1 g/jam yang dilanjutkan sedikitnya 24 jam setelah kejang
trakhir. Apabila terjadi kejang kembali maka terapi yang dapat diberikan melalui
bolus dengan dosis 2 g.
Kontrol tekanan darah, bertujuan untuk mengurangi resiko pada ibu supaya tidak
terjadi pendarahan cerebral, gagal jantung, infark myocardiac, dan abrupsi
plasenta. Kontrol tekanan darah ini harus dilakukan secara perlahan lahan.
Karena apabila tekanan darahnya langsung drop akan membahayakan ibu dan
janinnya. Tujuan dari terapi ini adalah untuk menurunkan tekanan darah secara
bertahap sebesar 10 mmHg untuk tekanan sistol dan diastole dan tetap menjaga
tekanan sistol tidak boleh lebih dari 125 mmHg (tetapi tidak kurang dari 105
mmHg) serta menjaga tekanan diastole supaya tidak lebih dari 105 mmHg (tetapi
tidak kurang dari 90 mmHg). Obat yang biasanya digunakan dalam terapi ini
adalah labetalol (20 mg secara intravena) dan hydralazine (5 mg secara
intravena). Tetapi kadang keduanya dapat menyebabkan fetal distress, sehingga
alternative yang digunakan adalah nifedipine.
Pemberian cairan, bertujuan untuk mengurangi kemungkinan komplikasi
iatrogenic terutama edema paru, gangguan ventrikel kiri, dan sindrom gangguan
pernafasan. Sehingga berdasarkan has tersebut harus dimonitoring cairan yang
masuk maupun cairan yang keluar (Salha, 1999).
c. HELLP SYNDROM (Hemant, S. et al, 2009)
pemberiannya perlu diperhatikan karena berdasar konsesus dokter spesalis jantung justru
memperberat kerja jantung dimana pada pasien mengalamai fetal distress
DAFTAR PUSTAKA
.
Hemant, Satpathy et al.2009.Review Article HELLP Syndrome.J Obstet Gynecol India vol 59
(1):30-40.
Ho, K. M., dan D. J. Sheridan, 2006, Meta-analysis of Furosemide to Prevent or Treat Acute
Renal Failure, BMJ 2006;333(7565):420
Kasdu. 2003. Operasi Caesar Masalah dan solusinya. Jakarta : Puspa swara
Kraut, J.A dan Madias N E.2010. Metabolic acidosis: pathophysiology, diagnosis and
management.Nat Rev Nephrol : 6(5):274-85.
Lubis, Siska M dan Lubis, Munar. 2006. Asidosis Laktat. Majalah Kedokteran Nusantara
.Volume 39. No. 1.
Mehta, R. L., 2001, Indications for Dialysis in the ICU: Renal Replacement vs Renal Support,
Blood Purif 2001;19(2):227-232.
Rahman, M., F. Shad, dan M. C. Smith, 2012, Acute Kidney Injury: A Guide to Diagnosis and
Management, Am Fam Physician 2012;86(7):631-639.
Salha, Osama .1999. Modern majamenen for Eklampsia. Postgrad Med J 1999;75:7882 The
Fellowship of Postgraduate Medicine, 1999
Smith, M. C., 2004, Acute Renal Failure, pada Resnick MI, Elder JS, Spirnak JP, eds. Clinical
Decisions in Urology 3rd ed, BC Decker, Inc., Ontario.
WHO. 2011. WHO Recomendations for Prevention and Treatment of Pre-eclampsia and
Eclampsia.