Gontar
Gontar
Vol.24 No.1
ABSTRAK
Karsinoma hepatoseluler (KHS) atau hepatoma adalah kanker hati primer yang paling sering
dijumpai dan frekuensinya menunjukkan peningkatan di seluruh dunia. Sebab dari kenaikan insidens
KHS ini adalah karena penyebaran infeksi virus hepatitis di masyarakat. Dua jenis virus penyebab
tunmor ini adalah virus hepatitis B (HBV) dan virus hepatitis C (HCV). Distribusi global dari KHS
berkaitan dengan prevalensi geografis dari karier kronik HBV. Tingkat yang paling tinggi dijumpai
di Asia Tenggara dan sub-Sahara Afrika. Infeksi persisten dari HCV juga penting untuk terjadinya
KHS. Prognosis tumor ini buruk, survival rates-nya hanya di bawah 5 persen saja. Bila dapat
diidentifikasi pada saat dini, tumor ini mungkin masih dapat diobati dengan terapi radikal seperti
reseksi, transplantasi hati, atau ablasi lokal. Tindakan non-bedah yang meliputi di antaranya
kemoembolisasi, injeksi perkutan dan lain-lain teknik dapat diberikan kepada penderita-penderita
sementara menunggu agar tidak terjadi pembesaran tumor. Tindakan non-bedah juga terbukti sedikit
meningkatkan derajat survival.
Kata kunci : Karsinoma hepatoseluler, non-bedah, tatalaksana
35
Siregar
PENDAHULUAN
Karsinoma hepatoseluler (KHS) adalah
salah satu jenis keganasan hati primer yang
paling sering ditemukan dan banyak
menyebabkan kematian. Dari seluruh
keganasan hati, 80-90% adalah KHS. (1) Dua
jenis virus yang dapat dikatakan menjadi
penyebab dari tumor ini adalah virus hepatitis
B (HBV) dan virus hepatitis C (HCV).
Distribusi global dari KHS berkaitan erat
dengan prevalensi geografis dari karier kronik
virus hepatitis B dan hepatitis C yang
mencapai 400 juta di seluruh dunia. (2) KHS
banyak ditemukan di Sub-Sahara Afrika,
Cina, Asia Tenggara, dan Jepang. Laki-laki
lebih banyak daripada wanita dengan
perbandingan 2-3 kali. Di antara mereka yang
mengalami infeksi HBV pada saat lahir, lakilaki diperkirakan memiliki risiko sebesar 50%
terhadap KHS sepanjang hidupnya, sedangkan
untuk wanita sebesar 20%. (2) Di negara-negara
tersebut di atas, derajat infeksi HBV berkisar
antara 10-25% dan menetap melalui transmisi
vertikal dari virus tersebut oleh ibu ke bayinya
atau oleh infeksi dari anak-anak di bawah 10
tahun melalui transmisi horisontal di dalam
keluarga. Dalam keadaan infeksi HBV yang
persisten ini, risiko terjadinya karsinoma
hepatoseluler meningkat 100 kali. (3) Infeksi
persisten dengan hepatitis C juga merupakan
faktor risiko untuk terjadinya KHS. Ada
sekitar 4 juta orang di Amerika Serikat yang
menderita infeksi HCV kronik. Virus ini
seringkali disebarkan secara parenteral pada
orang dewasa dan infeksi kronik terjadi pada
sekitar 80% orang-orang yang terpapar virus
tersebut. ( 4 ) Rute parenteral ini dijumpai
misalnya pada transfusi dan penyalah-gunaan
obat.
Di Amerika Serikat, insidens KHS
meningkat tajam dan hampir mencapai dua
kali dalam waktu 20 tahun terakhir ini. (3)
Peningkatan ini sebagian disebabkan oleh
36
Universa Medicina
Vol.24 No.1
Siregar
Universa Medicina
PENATALAKSANAAN
Banyak faktor memegang peranan dalam
penanganan KHS. Pertama, adanya sirosis
hati dalam berbagai tingkatan yang mengikuti
KHS sedikit banyak mempengaruhi pilihanpilihan pengobatan. ( 1 0 ) F u n g s i h a t i p a d a
penderita-penderita KHS dapat sangat
bervariasi dari normal sampai dekompensasi.
Sirosis dapat dijumpai pada sekitar 90% dari
s e m u a k a s u s K H S . ( 11 ) K e d u a , K H S
menunjukkan perangai biologis yang sangat
bervariasi dari satu daerah dan daerah yang
lain. Misalnya, di daerah pedesaan Afrika
Selatan, KHS mengenai penderita-penderita
dalam usia yang lebih muda dan sering baru
terdiagnosis setelah tahap lanjut dan
mempunyai durasi gejala-gejala yang lebih
singkat dibanding kasus-kasus di Amerika
Utara. (10) Manifestasi klinis pada penderitapenderita ini didominasi oleh gejala-gejala
yang disebabkan oleh tumornya sedangkan di
Amerika Utara gejala-gejala sirosis tampil
secara dominan dalam waktu yang lama. Oleh
karena itu, protokol pengobatan yang
dikembangkan di suatu daerah atau negara
mungkin tidak sesuai dan tidak optimal untuk
daerah lainnya.
Secara umum, tatalaksana bedah
(surgical management) seperti reseksi dan
transplantasi dianggap pengobatan yang ideal
untuk KHS. Kemajuan teknik bedah dan
perawatan perioperatif telah mampu untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat
operasi, bahkan pada penderita-penderita
sirosis. Dengan seleksi yang baik terhadap
penderita-penderita, 5-year survival rate
pasca-reseksi dilaporkan dapat mencapai
sedikitnya 35%. (12) Namun demikian, 70% dari
penderita-penderita ini mengalami rekurensi
setelah reseksi kuratif ini, biasanya antara
18-24 bulan. (12)
Vol.24 No.1
Meskipun
penanganan
terhadap
karsinoma hepatoseluler secara operatif
dianggap ideal, tetapi banyak kesulitan
dijumpai karena penderita-penderita umumnya
datang pada stadium yang sudah lanjut
sehingga tidak dapat dilakukan reseksi dan
transplantasi. Selain itu, biaya operasi yang
mahal, pemberian imunosupresi sepanjang
hidup serta sulitnya mendapatkan donor
transplantasi merupakan suatu kendala yang
besar terutama di negara-negara berkembang.
Oleh karena itu, yang paling baik adalah
melakukan usaha-usaha pencegahan, terutama
pencegahan terhadap penularan virus hepatitis
dan bila telah terjadi infeksi, mencegah
kemungkinan terjadinya sirosis postnecrotic
sehingga dapat dicegah terjadinya karsinoma
hati.
Pengobatan non-bedah
Meskipun pendekatan multidispliner
terhadap KHS dapat meningkatkan hasil
reseksi dan orthotopic liver transplantation,
tetapi kebanyakan penderita tidak memenuhi
persyaratan untuk terapi operasi karena
stadium tumor yang telah lanjut, derajat
sirosis yang berat, atau keduanya. Oleh karena
itu, terapi non-bedah merupakan pilihan untuk
pengobatan penyakit ini. Beberapa alternatif
pengobatan non-bedah karsinoma hati
meliputi:
a.
Siregar
Chemoembolism
Transcatheter arterial chemoembolism
dapat digunakan sebagai terapi lokal (targeted
chemoembolism) atau regional (segmental,
l o b a r c h e m o e m b o l i s m ) t e rg a n t u n g d a r i
ukuran, jumlah dan distribusi lesi.
Kemoembolisme dianggap terapi baku untuk
KHS yang tidak dapat dilakukan reseksi.
Lipoidol diberikan dengan obat kemoterapi
yang kemudian akan terkonsentrasi di dalam
sel tumor tetapi secara aktif dibersihkan dari
sel-sel yang non-maligna. Pada cara ini,
terjadi devaskularisasi terhadap tumor
sehingga menghentikan suplai nutrisi dan
oksigen ke jaringan tumor dan mengakibatkan
terjadinya
nekrosis
tumor
akibat
vasokonstriksi arteri hepatika. Dengan teknik
ini didapatkan respon yang lebih baik
dibandingkan kemoterapi arterial atau
sistemik. Selain lipoidol dapat juga digunakan
gelfoam dan kolagen. Efek samping yang
sering terjadi antara lain adalah demam,
nausea, vomitus, sakit di daerah abdominal.
Kemoembolisasi pada penderita-penderita
dengan karsinoma hepatoseluler yang tidak
dapat direseksi dilaporkan menunjukkan
reduksi dari pertumbuhan tumor tetapi tidak
memberikan peningkatan survival. Efikasi
yang terbatas dari kemoembolisasi pada
penderita KHS dengan tumor yang besar dan
tidak dapat direseksi dapat dijelaskan oleh
adanya sel-sel tumor yang tetap hidup setelah
terapi, terutama dengan adanya invasi
40
Kemoterapi sistemik
Pemberian terapi dengan anti-tumor
ternyata dapat memperpanjang hidup
penderita. Sitostatika yang sering dipakai
sampai saat ini adalah 5-fluoro uracil (5-FU).
Zat ini dapat diberikan secara sistematik atau
secara lokal (intra-arteri). Sitostatika lain
yang sering digunakan adalah adriamisin
(doxorubicin HCl) atau adriblastina. Dosis
yang diberikan adalah 60-70 mg/m 2 luas badan
yang diberikan secara intra-vena setiap 3
minggu sekali atau dapat juga diberikan
dengan dosis 20-25 mg/m 2 luas badan selama
3 hari berturut-turut dan diberikan setiap 3
minggu sekali. Adriamisin sebagai obat
tunggal sangat efektif dengan peningkatan
survival rate sebesar 25% dibandingkan bila
tidak diberi terapi. Penggunaan kombinasi
sisplatin, IFN-2B, adriamisin dan 5-FU yang
diberikan secara sistematik pada penderita
KHS memberikan rerspon yang sangat baik
untuk tumor hati dan ekstrahepatik. Dengan
rejimen seperti ini ternyata 18% penderita
yang awalnya tidak dapat dieseksi dapat
direseksi dan 50% menunjukkan remisi
histologis yang sempurna. Namun demikian,
kombinasi di atas tidak dapat ditoleransi
penderita-penderita sirosis lanjut.
d.
Kemoterapi intra-arterial
(transcatheter arterial chemotherapy)
Pengobatan karsinoma hati dengan
sitostatika ternyata kurang memberikan
manfaat yang diharapkan. Respon parsial
hanya mencapai 25% saja. Pemberian 5-FU
Universa Medicina
Radiasi
Terapi radiasi jarang digunakan sebagai
terapi tunggal dan tidak banyak perannya
sebab karsinoma hati tidak sensitif terhadap
radiasi dan sel-sel hati yang normal sangat
peka terhadap radiasi. Terapi radiasi dengan
menggunakan 50 Gy untuk membunuh sel-sel
kanker hati dapat menyebabkan radiation
induced hepatitis. Dosis yang diberikan
umumnya berkisar antara 30-35 Gy dan
diberikan selama 3-4 minggu. Meskipun
demikian, penderita biasanya meninggal dalam
kurun waktu 6 bulan. karena survival-nya
pendek. Teknik baru yang dengan proton
therapy adalah teknik yang menggunakan
partikel bermuatan positif untuk menghantar
energi membunuh sel-sel tumor dengan cedera
minimal pada jaringan hati yang nonneoplastik. Dengan proton therapy dosis 70-
Vol.24 No.1
Tamofixen
Tamofixen digunakan pada penderitapenderita KHS dengan sirosis lanjut, tetapi
tidak meningkatkan survival. Tamofixen dapat
dikombinasikan dengan etoposide dan
menunjukkan perbaikan serta memberikan
toksisitas rendah dan bermanfaat sebagai
terapi paliatif. Secara in vitro, tamofixen
bermakna meningkatkan efek sitotoksik
doxorubisin pada KHS. Kombinasi antara
tamofixen dengan doxorubisin ternyata tidak
memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan tamofixen tunggal.
g.
Siregar
42