Anda di halaman 1dari 5

TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit Embun Bulu pada Cucurbitaceae


Penyakit embun bulu pada Cucurbitaceae disebabkan oleh patogen
Pseudoperonospora cubensis (Rostow). P. cubensis termasuk ke dalam kingdom
Chromista, filum Oomycota, kelas Oomycetes, ordo Peronosporales, famili
Peronosporaceae (Volgmayr 2008). Patogen tersebut merupakan parasit obigat
yang hanya mampu bertahan pada inang yang masih hidup. Umur spora dari
P. cubensis sangat pendek, tidak melebihi 48 jam dan dalam banyak kasus tidak
lebih dari beberapa jam setelah terlepas dari sporangiofor (Lebeda & Cohen
2010).
Gejala Penyakit Embun Bulu
Menurut Semangun (1989), gejala yang ditimbulkan oleh penyakit embun
bulu adalah pada permukaan atas daun terdapat bercak-bercak kuning agak
bersudut karena dibatasi tulang daun. Pada cuaca lembab pada permukaan bawah
daun terdapat kumpulan spora dan tangkai spora menyerupai bulu berwarna
keunguan. Gejala lanjut dari penyakit ini dapat mengakibatkan daun menjadi
busuk, mengering, dan mati.
Pada beberapa Cucurbitaceae, gejala yang tampak akibat P. cubensis
berbentuk tidak teratur, bercak lesio berwarna kuning dan dibatasi tulang daun.
sedangkan di melon dan semangka, bercak tidak dibatasi oleh urat daun dan lebih
melingkar dan tidak teratur (Lebeda & Cohen 2010). Ukuran bercak primer
bervariasi antara 3 mm-10 mm. Selama berkembang, bercak menyatu dan
membentuk bercak yang lebih besar, dan mungkin akhirnya menutupi seluruh
permukaan daun. Ketika konsentrasi inokulum tinggi dan inang dalam keadaan
rentan, gejala dapat berupa bercak yang tidak teratur, khlorosis, bahkan lesio
nekrosis (Lebeda & Cohen 2010). Gejala pertama muncul 3-4 hari setelah
inokulasi pada kerapatan spora 103 spora/cm2 daun (Cohen & Eyal 1977 dalam
Lebeda & Cohen 2010).

4
Epidemiologi dan Penyebaran Patogen Embun Bulu
Patogen P. cubensis merupakan parasit obligat yang dapat hidup hanya
dengan adanya tanaman inang. Daerah yang ditanami tanaman mentimun
sepanjang tahun dapat menjadi sumber inokulum utama penyakit embun bulu.
Patogen dipancarkan oleh angin, hujan, dan adanya kontak dengan pekerja
maupun alat-alat yang digunakan (CABI 2005 dalam Prabowo 2009).
Lamanya masa inkubasi dari penetrasi sampai gejala eksternal terlihat
yaitu 4-12 hari. Masa inkubasi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, banyaknya
inokulum virulen, dan resistensi/kerentanan tanaman inang (Lebeda &
Widrlechner 2003). Pada tahap awal proses infeksi, suhu yang paling sesuai
adalah 25C-30C di siang hari dan 10C-15C pada malam hari (Palti & Cohen
1980 dalam Lebeda 2010).
Kelembaban yang rendah dan kondisi permukaan daun yang kering
optimal untuk penyebaran spora dari patogen embun bulu. Sementara suhu dan
cahaya kurang mempengaruhi proses penyebaran spora (Cohen 1981 dalam
Lebeda 2010). Menurut Lebeda (2010), media penyebaran spora P. cubensis yang
paling utama adalah melalui angin, dimana spora dapat menyebar dalam jarak
yang jauh. Faktor penyebaran yang lain adalah melalui percikan air.
Pengendalian Penyakit Embun Bulu
Pengendalian penyakit embun bulu sering dilakukan untuk mencegah
patogen P. cubensis muncul dan berkembang sehingga tidak menimbulkan
kerugian ekonomi. Shtienberg et al. (2010) dalam Lebeda (2010) menyatakan
bahwa Phytophthora infestans pada tomat dan P. cubensis pada mentimun dapat
dikendalikan dengan menggunakan mulsa plastik. Hal tersebut kemungkinan
dipengaruhi oleh keadaan suhu siang dan malam yang tidak sesuai untuk sporulasi
dan perkembangan P. cubensis setelah penggunaan mulsa.
Secara kimia, pengendalian patogen embun bulu pernah dilakukan
dengan aplikasi formulasi tembaga (Cu) dan fungisida berbahan aktif
dithiocarbamat (Lebeda 2010). Fungisida tersebut mencegah perkecambahan dan
produksi spora patogen. Akan tetapi, cara tersebut efektif jika aplikasi dilakukan
sebelum terjadinya infeksi. Selain itu, resiko terjadinya resistensi patogen
terhadap fungisida sangat besar. Menurut Lebeda (2010), resistensi pertama

5
terhadap phenilamides terjadi di Israel pada tahun 1979, hanya dua tahun setelah
pengenalan metalaxyl untuk pengendalian P. cubensis.
Beberapa pengendalian penyakit embun bulu secara botani pernah
dilakukan oleh para peneliti. Sebagai contoh penggunaan ekstrak daun kering
Inula viscosa yang terbukti efektif terhadap beberapa cendawan patogen,
termasuk cendawan penyabab penyakit embun bulu P. cubensis (Wang et al. 2004
dalam Lebeda 2010). Ekstrak ini bersifat anticendawan dan menghambat
perkecambahan spora. Selain itu, menurut Portz et al. (2008) dalam Lebeda
(2010), zat allicin volatil antimikroba (diallylthiosulphinate) dari bawang putih
(Allium sativum), pada konsentrasi 50-1000 gml-1, mengurangi keparahan dari
P. cubensis pada mentimun sekitar 50%-100%. Pengendalian secara botani
sebagai salah satu bagian dari pengendalian hama terpadu (PHT) merupakan salah
satu upaya dalam mengurangi penggunaan pestisida, sehingga dapat digunakan
secara berkelanjutan dan ramah lingkungan (Lebeda & Cohen 2010).
Pengendalian hayati adalah semua kondisi atau praktik yang berpengaruh
terhadap penurunan daya tahan atau kegiatan patogen tanaman melalui interaksi
dengan agensia organisme hidup lainnya (selain manusia), yang menghasilkan
penurunan keberadaan penyakit yang disebabkan oleh patogen (Soesanto 2008).
Menurut Umesha et al. (1998), bakteri rhizosfer Pseudomonas fluorescens
teruji mampu menekan penyakit embun bulu pada Pennisetum glaucum (pearl
millet) dengan perlakuan benih. Perlakuan benih juga mampu meningkatkan
kemampuan berkecambah dan dapat mencegah terjadinya sporulasi patogen
penyebab penyakit embun bulu pada Pennisetum glaucum yang disebabkan oleh
Sclerospora graminicola Sacc.
Beberapa penelitian telah dilakukan tentang pengendalian penyakit embun
bulu menggunakan PGPR. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan
Niranjan et al. (2003) yang menunjukkan bahwa perlakuan bakteri Bacillus
pumilus INR7 dapat melindungi tanaman Pennisetum glaucum dari penyakit
embun bulu hingga 57%, diikuti perlakuan bakteri B. pumilus SE34 dan B. subtilis
GBO3, dengan tingkat penekanan masing-masing 50% dan 43%. Dalam bentuk
formulasi tepung, PGPR Bacillus pumilus INR7 mampu menekan hingga 67%,

6
Bacillus pumilus SE34 menekan hingga 58%, diikuti bakteri B. subtilis GB03
sebesar 56%.
Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR)
Menurut Fernando et al. (2005) dalam Khalimi & Wirya (2009), adanya
dampak negatif dari pestisida maka dibutuhkan teknologi baru untuk
meningkatkan

produksi

pertanian

yang

lebih

aman.

Teknologi

yang

memungkinkan untuk dikembangkan dan relatif aman adalah pemanfaatan plant


growth promoting rhizobacteria (PGPR). PGPR adalah bakteri pengoloni akar
yang memberikan efek menguntungkan terhadap pertumbuhan tanaman. PGPR
merupakan rhizobakteri pemacu pertumbuhan tanaman. Bakteri tersebut mampu
mengkoloni perakaran tanaman dengan baik, sehingga akar dapat menyerap
sekresi mikroba yang bermanfaat bagi pertumbuhan akar dan mempengaruhi
invasi patogen (Soesanto 2008).
Secara umum, mekanisme PGPR dalam meningkatkan pertumbuhan
tanaman adalah (1) biostimulan, PGPR mampu menghasilkan atau mengubah
konsentrasi hormon tanaman seperti asam indolasetat, asam giberelin, sitokinin,
dan etilen atau prekursornya (1-aminosiklopropena-1-karboksilat deaminase) di
dalam tanaman, tidak bersimbiotik dalam fiksasi N2, melarutkan fosfat mineral,
memengaruhi pembintilan atau menguasai bintil akar; (2) bioprotektan, PGPR
memberi efek antagonis terhadap patogen tanaman melalui beberapa cara yaitu
produksi antibiotik, siderofore, enzim kitinase, parasitisme, kompetisi sumber
nutrisi dan relung ekologi, menginduksi ketahanan tanaman secara sistemik
(Khalimi & Wirya 2009).
Menurut Kloepper (1991) pengaruh PGPR terhadap tanaman secara umum
yaitu sebagai pemacu pertumbuhan tanaman. Kelompok Pseudomonas sp.
menghasilkan pengkelat Ca2+ yang berguna sebagai pengendalian biologi dan bagi
pertumbuhan tanaman. Beberapa strain PGPR memacu pertumbuhan tanaman
secara langsung dengan memproduksi metabolit yang merangsang pertumbuhan
tanaman sendiri dari mikroflora tanah.
Beberapa PGPR dapat digunakan sebagai agens biokontrol untuk menekan
atau mencegah serangan patogen. PGPR dapat memproduksi berbagai macam zat
kimia yang mampu membatasi serangan patogen ke tanaman secara tidak

7
langsung. Zat kimia tersebut adalah siderofor, IAA (Indole acetic acid), antibiotik,
molekul-molekul kecil, dan berbagai macam enzim (Glick & Pasternak 2003).
Bacillus dan Pseudomonas sebagai kelompok PGPR merupakan genus yang
paling banyak diteliti dan berpotensi tinggi sebagai agens pengendali penyakit
tanaman. Keduanya dilaporkan mampu menekan patogen secara langsung dengan
mengeluarkan senyawa antibiotik dan induksi ketahanan sistemik pada tanaman
(Wardanah

2007).

Selain

itu,

bakteri

Pseudomonas

fluorescens

dapat

memproduksi IAA (indole acetic acid) yang merupakan senyawa pemacu


pertumbuhan tanaman (Dey et al. 2004).

Anda mungkin juga menyukai