Anda di halaman 1dari 24

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.
Dengan mengucapkan Alhamdulillahirabbilalamin, kami menyampaikan
puji syukur kehadirat Tuhan Semesta Alam, Allah Subhanahu wa taala Yang telah
memberikan kami ilmu dan kesempatan untuk menyusun makalah diskusi klinik
ini.
Kami berharap bahwa kesimpulan yang kami susun ini dapat bermanfaat
bagi orang yang membacanya. Semoga karya ini juga dapat menjadi referensi
dalam penyusunan makalah lainnya. Mohon maaf apabila ada kesalahankesalahan tata bahasa, salah tafsir ataupun salah ketik, sesungguhnya kami telah
berusaha sebaik mungkin untuk menyusun karya ilmiah ini hingga mendekati
sempurna.
Sekali lagi, kami ucapkan terima kasih kepada para pembaca karya kami
ini, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dalam memperbaiki karya kami di
kesempatan selanjutnya
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Banjarmasin, Oktober 2016

Tim Penyusun

DAFTAR ISI
Kata Pengantar.............................................................................................1
Daftar Isi......................................................................................................2
BAB I Pendahuluan
1.1. Latar Belakang......................................................................................3
1.2. Tujuan Penulisan...................................................................................3
1.3. Metode Penulisan....................................................................................

BAB II Pembahasan
2.1. Definisi Kista........................................................................................4
2.2. Etiologi dan Patogenesis Kista..............................................................4
2.3. Klasifikasi Kista....................................................................................5
2.4. Gambaran Kista....................................................................................9
2.5. Tatalaksana Kista....10
BAB III Penutup
3.1. Kesimpulan.........................................................................................24
Daftar Pustaka............................................................................................25

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu kelainan dalam mulut yang sering ditemukan dalam praktik bedah
mulut adalah kista. Kista merupakan suatu rongga patologis yang berisi cairan
atau semi cairan, tidak disebabkan oleh akumulasi pus. Kista bisa dibatasi oleh
epitel, atau tidak dan dapat menyebabkan pembesaran intraoral dan ekstraoral
yang secara klinis dapat menyerupai tumor jinak.

Kista sudah ditemukan sejak 4500 tahun sebelum masehi. Pada awal abad
pertama, Aulus Cornelius Celsus adalah orang pertama yang meneliti tentang
kista, dan dilanjutkan oleh Pierre Fauchard (1690 1762) dan John Hunter (1729
1793) yang menyatakan bahwa perkembangan diagnosis dan perawatan kista
terjadi pada tahun 1850.
Kista rahang dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan dugaan dinding asal
epitelnya, yakni

Kista Odontogenik dan Kista Nonodontogenik. Kista

Odontogenik ini dapat dibagi lagi menjadi tipe Developmental dan Inflammatory.
Yang termasuk Inflammatory cyst adalah: radicular cyst, residual cyst dan
paradental cyst, sedangkan Yang termasuk developmental cyst adalah: gingival
cyst of newborn, gingival cyst of adult, odontogenic glandular cyst, dentigerous
cyst, orthokeratinized odontogenic cyst, eruption cyst, lateral periodontal cyst,
calcifying odontogenic cyst dan odontogenic keratocyst.

1.2. Tujuan Penulisan


1.

Menjelaskan definisi kista.

2.

Menjelaskan etiologi kista.

3.

Menjelaskan klasifikasi kista pada rongga mulut.rongga mulut.

4.

Menjelaskan gambaran klinis dan radiografi kista

5.

Menjelaskan tatalaksana kista rongga mulut.

1.3. Metode Penulisan


1.

Metode Literatur

Penyusun melakukan metode literature dengan berpedoman pada buku-buku


kedokteran dan buku-buku kesehatan lainnya yang relevan dengan topik.
2.

MetodeTeknologi
Penyusun mengambil sebagian bahan dari internet dengan sumber yang valid.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Kista adalah rongga patologis yang berisi cairan, dibatasi oleh lapisan epitel
dan jaringan ikat. Kista dapat menyebabkan pembesaran intraoral atau ekstraoral
yang secara klinis dapat menyerupai tumor jinak. Kista banyak didapatkan pada
regio oral dan maksilofasial karena adanya sisa epitel odontogenik.

2.2 Etiologi dan Patogenesis Kista


Pada umumnya, sebagian besar kista odontogen terjadi akibat adanya
proliferasi dari sisa epitel pada saat perkembangan gigi. Epitel yang berperan pada
proses terjadinya kista odontogen adalah sebagai berikut : Epithelial rests of
Malassez, reduced enamel epithelium, dan glands of Serres. Epithelial rests of
Malassez merupakan epitel yang terbentuk akibat dari proses fragmentasi dari
epithelial root sheath of Hertwig pada saat proses odontogenesis, epitel ini
berperan pada proses pembentukan kista radikular, kista residual, dan kista
paradental. Reduced enamel epithelium merupakan epitel yang berasal dari
enamel organ dan menyelubungi mahkota gigi yang tidak erupsi, epitel ini
berperan pada pembentukan kista dentigerous dan kista erupsi. Glands of Serres
merupakan epitel yang tersisa setelah proses disolusi dari dental lamina, epitel ini
berperan pada pertumbuhan odontogenic keratocyst, kista lateral, dan kista pada
gingiva.
Meskipun patogenesis dari kista-kista ini masih belum banyak dimengerti,
namun kista-kista tersebut dibagi ke dalam dua kelompok besar berdasarkan
dugaan asal dinding epitelnya :
1. Kista Odontogenik.
Dinding epitelnya berasal dari sisa-sisa epitel organ pembentuk gigi.
Berdasarkan etiologinya, kista ini dapat dibagi lagi menjadi tipe
developmental dan inflammatory.
2. Kista Nonodontogenik.
Dinding kista berasal dari sumber-sumber selain organ pembentuk gigi.

Kelompok ini meliputi lesi-lesi yang sebelumnya diklasifikasikan sebagai


kista fissural yang dianggap berasal dari epitel yang merupakan pembatas
prosesus embrionik pada saat penutupan dan pembentukan wajah. Sebab
keraguan ditemukan pada konsep pembentukan kantung epithelium selama
fusi proses fasial dan asal lesi-lesi tersebut.

2.3 Klasifikasi Kista


Klasifikasi Kista Rahang (WHO, 1992)
1. Developmental
a. Odontogenik
1) Kista Gingival pada Bayi (Epstein s Pearls)
2) Odontogenic Keratosis (Kista Primordial)
3) Kista Dentigerous (Kista Folikular)
4) Kista Erupsi
5) Kista Lateral Periodontal
6) Kista Gingival pada Dewasa
7) Kista Glandular Odontogenic ; Kista Sialo-Odontogenik
b. Nonodontogenik
1) Kista Duktus Nasopalatine (Kanal Insisiv)
2) Kista Nasolabial (Nasoalveolar)
2. Inflammatory
a. Kista Radikular (Apikal dan Lateral)
b. Kista Residual
c. Paradental (Inflammatory Collateral, Mandibular Infected Buccal)
6

2.3.1. Kista Odontogen


Merupakan kista yang dinding epitelnya berasal dari proliferasi sisa-sisa
epitel odontogenik yaitu epithelial rest of Malassez, gland of Serres, dan reduced
enamel epithelium. Berdasarkan etiologinya, kista odontogen diklasifikasikan
menjadi inflammatory cyst dan developmental cyst.
2.3.2. Kista Nonodontogenik
1.

Kista Duktus Nasopalatina / Nasopalatine Duct Cyst


Kista duktus nasopalatina merupakan kista dengan dinding epitel dan

termasuk kista non-odontogenik. Kista ini biasa berada di dalam atau dekat
dengan kanal insisivus sehingga kista ini disebut juga dengan istilah kista kanal
insisivus. Perkembangan kista duktus nasopalatinus biasanya diduga berkaitan
dengan proliferasi sisa-sisa epitel dari saluran nasopalatinus embrionik yang
berpasangan dalam kanal insisivus. Kanal ini secara sekunder membentuk fusi
pada premaksila dengan prosesus palatal bagian kiri dan kanan. Ada beberapa
teori yang menyatakan bahwa trauma ataupun infeksi bakteri dapat
merangsang sisa-sisa duktus nasopalatinus berproliferasi.
Gambaran terlihatnya kista ini biasanya adalah pembengkakan pada garis
tengah palatum, garis tengah sisi labial alveolar ridge dan pada beberapa kasus
dapat timbul fluktuasi antara pembengkakan labial dan palatal. pada kista
dengan fluktuasi yang terjadi di bawah papilla palatinal, dijumpai fluktuasi
dengan warna kebiruan yang terbentuk akibat tekanan. Karakteristik lain yaitu
terjadi pembengkakan simetris pada region anterior dan garis tengah palatal.
Pertumbuhannya lambat dan tanpa tanda-tanda mencurigakan dari pasien. Pada
sejumlah kasus, pembengkakan disertai dengan nyeri dan secret, tetapi kadang-

kadang secret merupakan satu-satunya keluhan dan pada beberapa kasus


gejalanya hanya rasa nyeri, dapat juga kombinasi pembengkakan, secret dan
rasa nyeri. secret yang terjadi adalah mukoid, pasien menggambarkan adanya
rasa asin, bisa terjadi purulen dan pasien mengeluh bau busuk. Pergeseran gigi
juga sering terlihat.
Pada gambaran radiografi, biasanya sulit membedakan antara kista kecil
dan foramen insisivum. Sedangkan kista yang lebih besar biasanya mudah
terlihat. Menurut Ropper-Hall, gambaran fossa insisivum yang memperlihatkan
bayangan dengan lebar kurang dari 6mm bisa dianggap normal, asal pasien
tidak mempunyai gejala lain. beberapa kista tampak berbentuk jantung karena
selama perluasannya dibatasi oleh septum nasi atau karena spina nasalisnya
bertumpang tindih pada daerah radiolusen, juga dijumpai kista yang bilateral.

A
B
Gambar 2.1 (A. Gambaran klinis kista duktus nasoplatina; B. Gambaran
Radiografi kista duktus nasopalatina)
2. Kista Nasolabial / Nasolabial Cyst
Kista nasolabial merupakan suatu kista epitelial non odontogenik yang
bermanifestasi sebagai massa kistik pada setengah lateral lantai vestibulum
nasi di dasar ala nasi. Kista ini sangat jarang ditemukan, biasanya bersifat
unilateral dan sering terdapat pada wanita dibanding laki-laki pada dekade

keempat dan kelima. Diagnosis dapat ditegakan dengan gejala klinik dan
pemeriksaan histopatologi. Sangat jarang terjadi, biasanya tumbuh terbatas
hanya di jaringan lunak di daerah vestibulum anterior maksila, di bawah ala
nasii (dasar hidung).
Patogenesis terbentuknya kista nasolabial, diterangkan oleh 3 teori yaitu
(1) kista terbentuk secara embriogenik akibat kegagalan penyatuan sel pada
daerah maksilla, dinding medial dan lateral nasal, (2) kista terbentuk secara
embriogenik dari sisa duktus nasolakrimal yang terperangkap, (3) kista
terbentuk secara embriogenik dari sel endodermal duktus nasolakrimal. Bila
terjadi trauma pada daerah sekitarnya, akan membentuk kista.
Gejala klinik dari kista nasolabial umumnya asimtomatis. Kista tumbuh
lambat dan memperlihatkan pembengkakan pada daerah sekitar bibir. Kista
keluar dari lipatan nasolabial dan mengangkat ala nasi sehingga merubah
bentuk nostril kemudian menyebabkan pembengkakan pada dasar hidung.
Dalam rongga mulut, kista membentuk tonjolan pada sulkus labialis. Pada
pemeriksaan bimanual, kista teraba fluktuatif. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan meraba pembengkakan pada dasar hidung dan sulkus labialis. Bila
kista terinfeksi, dapat ditemukan sekret di dalam hidung. Kista juga dapat
menyebabkan rasa tidak nyaman saat menggunakan gigi, obstruksi nafas dan
asimetri pada wajah. Nyeri hanya dirasakan bila kista terinfeksi. Meskipun
kista tidak menginvasi ke tulang, pada beberapa kasus dilaporkan terdapatnya
destruksi pada apek gigi di sekitar kista.

Diagnosis kista nasolabial ini ditegakan dengan gejala klinik dan


pemeriksaan histopatologi. Meskipun kista dapat dipalpasi secara bimanual,
gambaran kista yang lebih jelas dapat dilihat dari pemeriksaan tomografi
komputer. Selain tomografi komputer, magnetic resonance imaging (MRI)
juga merupakan modalitas yang penting dalam mendeteksi kelainan pada
jaringan lunak karena kemampuannya dalam membuat gambaran jaringan
lunak dengan resolusi yang sangat baik. Diagnosis banding dari kista
nasolabial ini meliputi abses pada periapikal, kista odontogenik, furunkel dan
kista inklusi epidermal.
Pada gambaran radiogrfis terlihat adanya peningkatan gambaran
radiolusen pada poliferasi alveolar di bawah apical gigi insisivus. Gambar
radioluen ini berasal dari tekanan pada permukaan labial maksila yang daoat
terlihat pada pandangan longitudinal. Jika tekanan meluas ke margin lateral
pada celah tulang anterior hidung. Resorpsi akan terjadi pada bagia yang
rendah dari nasal notch.

A
B
Gambar 2.2 (A. Gambaran klinis kista nasolabial; B. Gambaran Radiografi
kista nasolabial)
2.3.3. Inflammatory cyst
10

Kista

beradang

merupakan

jenis

kista

odontogen

yang

proses

patogenesisnya berhubungan dengan keradangan jaringan periapikal yang akan


memicu terbentuknya suatu massa kista. Kista beradang digolongkan menjadi 3
jenis yaitu: Kista radikular, kista residual, dan kista paradental.
1.

Kista Radikular
Kista radikular adalah kista yang terjadi akibat dari proses keradangan.

Dinding epitel dari kista radikular berasal dari proliferasi sel epitel Malassez yang
berada di ligamen periodontal. Pada saat proses odontogenesis berlangsung,
eksternal dan internal dental epithelium akan bergabung untuk membentuk
cervical loop. Gabungan dari eksternal dan internal dental epithelium disebut
sebagai Hertwigs epithelial root sheath yang berfungsi untuk mengontrol formasi
pembentukan akar. Setelah proses pembentukan akar selesai, Hertwigs epithelial
root sheath akan mengalami proses disintegrasi menjadi jaring- jaring epitel di
ligamen periodontal yang dinamakan sel epitel Malassez.
2.

Kista Residual
Merupakan kista yang ditemukan pada regio yang tidak bergigi dengan

riwayat ekstraksi akibat tidak terambilnya granuloma atau kista radikular secara
sempurna pada saat dilakukan enukleasi.
Kista residual bersifat asimptomatis dengan proses pembesaran secara
perlahan-lahan yang tidak disadari oleh penderita sehingga kista residual sering
ditemukan secara tidak sengaja pada saat dilakukan pemeriksaan radiologis rutin.
Kista residual bisa menggangu ketepatan pemasangan dari gigi tiruan, karena
adanya penebalan yang progresif pada epithelial lining dari kista.

11

2.3.4. Developmental Cyst


Kista developmental bukan merupakan kista yang terjadi akibat dari suatu
proses keradangan, namun merupakan perkembangan dari sisa epitel odontogenik.
1.

Odontogenic Keratocyst
Odontogenic keratocyst merupakan kista berasal dari proliferasi dental

lamina atau sisa epitel pertumbuhan yang terdapat pada rahang. Odontogenic
keratocyst sering menyebabkan pembengkakan di daerah fasial atau lingual dari
tulang rahang, dan terlihat menonjol. Gejala klinis lainnya adalah parestesi pada
bibir, gigi tanggal, dan nyeri
2.

KistaDentigerous
Kista dentigerous merupakan kista yang terbentuk di sekitar mahkota gigi

dan melekat pada cemento-enamel junction gigi yang tidak erupsi. Kista
dentigerous juga disebut sebagai kista folikular sebab merupakan hasil
pembesaran folikel, berasal dari akumulasi cairan antara reduced enamel
epithelium dan enamel gigi. Kista dentigerous bersifat asimtomatik, namun
ukuran dari kista dentigerous bisa menjadi sangat besar (10-15cm) sehingga bisa
menyebabkan adanya asimetris wajah pada penderita. Gambaran radiografis
menunjukkan bahwa kista dentigerous memiliki korteks yang berbatas jelas
dengan outline berbentuk kurva atau sirkuler dan melekat pada cemento-enamel
junction.
3.

Kista Lateral Periodontal


Kista lateral periodontal merupakan jenis kista yang tumbuh dari sisa epitel

dental lamina yang tertinggal di daerah tulang regio interradicular crestal atau di

12

daerah tulang setinggi setengah panjang akar. Kista lateral periodontal bersifat
asimptomatik, tidak tampak secara klinis, sehingga sering ditemukan secara tidak
sengaja pada pemeriksaan radiologis rutin. Secara radiografis, kista lateral
periodontal menunjukkan gambaran radiolusen unilokular berbentuk bulat atau
oval di daerah interdental.
4.

Kista Erupsi
Kista erupsi terbentuk dalam gusi di atas mahkota gigi yang akan erupsi

karena terjadi akumulasi cairan jaringan atau darah di dalam suatu ruang folikular
yang membesar di sekitar mahkota gigi. Kista erupsi tampak sebagai
pembengkakan gusi yang lunak, translusen, dan bila terisi darah akan berwarna
biru keunguan. Kista erupsi menunjukkan gambaran radiolusen tipis di bagian
koronal gigi yang akan erupsi.
2.3.5 Kista Jaringan Lunak
1. Mucocele
Mukokel merupakan lesi mukosa oral yang terbentuk akibat rupturnya
duktus glandula saliva minor dan penumpukan mucin pada sekeliling jaringan
lunak. Umumnya sering diakibatkan oleh trauma lokal atau mekanik. Mukokel
merupakan kista benigna, tetapi dikatakan bukan kista yang sesungguhnya, karena
tidak memiliki epithelial lining pada gambaran histopatologisnya. Lokasinya
bervariasi, bibir bawah merupakan bagian yang paling sering terkena mukokel,
yaitu lebih dari 60% dari seluruh kasus yang ada. Umumnya terletak di bagian
lateral mengarah ke midline. Beberapa kasus ditemui pada mukosa bukal dan
ventral lidah, dan jarang terjadi pada bibir atas. Banyak literatur yang menyebut
mukokel sebagai mucous cyst. Kebanyakan kasus melaporkan insidensi tertinggi
mukokel adalah usia muda tetapi hingga saat ini belum ada studi khusus pada usia
yang spesifik.

13

Gambar 2.3 Mukokel


2. Ranula
Ranula adalah istilah yang digunakan untuk menyebut mukokel yang
letaknya di dasar mulut. Kata ranula yang digunakan berasal dari bahasa latin
RANA yang berarti katak, karena pembengkakannya menyerupai bentuk
tenggorokan bagian bawah dari katak. Merupakan pembengkakan dasar mulut
yang berhubungan dan melibatkan glandula sublingualis, dapat juga melibatkan
glandula salivari minor. Ukuran ranula dapat membesar, dan apabila tidak segera
diatasi akan memberikan dampak yang buruk, karena pembengkakannya dapat
mengganggu fungsi bicara, mengunyah, menelan, dan bernafas.
Etiologinya tidak diketahui namun diduga ranula terjadi akibat trauma,
obstruksi kelenjar saliva, dan aneurisma duktus glandula saliva. Post traumatic
ranula terjadi akibat trauma pada glandula sublingual atau submandibula yang
menyebabkan ekstravasasi mukus, sehingga terbentuk pseudokista. Ranula juga
dikatakan berkaitan dengan penyakit kelenjar saliva dan anomali kongenital
dimana duktus saliva tidak terbuka.
Sama halnya dengan mukokel, gambaran klinis ranula merupakan massa lunak
yang berfluktusi dan berwarna translusen kebiruan, yang membedakannya dengan
mukokel adalah letaknya di dasar mulut atau bagian bawah lidah. Apabila
dipalpasi, massa ini tidak akan berubah warna menjadi pucat. Jika massa ini
terletak agak jauh ke dasar mulut, maka massa ini tidak lagi berwarna kebiruan

14

melainkan berwarna normal seperti mukosa mulut yang sehat. Diameternya mulai
dari 1 sampai dengan beberapa sentimeter. Ranula tidak diikuti rasa sakit. Keluhan
yang paling sering diungkapkan pasien adalah mulutnya terasa penuh dan lidah
terangkat ke atas. Apabila tidak segera diatasi akan terus mengganggu fungsi
bicara, mengunyah, menelan, dan bernafas. Ranula yang berukuran besar akan
menekan duktus glandula saliva dan menyebabkan aliran saliva menjadi
terganggu. Akibatnya muncul gejala obstruksi glandula saliva seperti sakit saat
makan atau sakit pada saat glandula saliva terangsang untuk mengeluarkan saliva
dan akhirnya kelenjar saliva membengkak.

Gambar 2.4 Ranula


2.4 Gambaran Kista
Kista dapat menetap bertahun-tahun tanpa disertai gejala. Mayoritas kista
berukuran kecil, tidak menyebabkan pembesaran permukaan jaringan. Biasanya
terlihat hanya pada saat pemeriksaan gigi rutin dan pemeriksaan radiografik atau
ketika lesi terkena infeksi sekunder atau telah mencapai ukuran di mana terjadi
pembesaran atau asimetri yang terlihat jelas secara klinis. Saat tidak ada infeksi,
secara klinis pembesarannya minimal dan berbatas jelas. Kista yang terinfeksi
menyebabkan rasa sakit dan peka terhadap sentuhan dan semua tanda klasik
infeksi akut dapat terlihat. Pada beberapa kasus yang sangat jarang terjadi, adanya
infeksi dalam kista yang membesar dengan posisi dekat dengan batang saraf dapat

15

menyebabkan perubahan sensasi pada distribusi saraf tersebut. Pembesaran kista


dapat menjadi asimetri wajah, pergeseran gigi dan perubahan oklusi, hilangnya
gigi yang berhubungan atau gigi tetangga, serta pergeseran gigi tiruan. Pada
mandibula, fraktur patologis dapat terjadi saat lesi kista telah menyebabkan
resorpsi sebagian besar tulang.
Kista yang terletak di dekat permukaan, telah meluas ke dalam jaringan lunak,
sering terlihat berwarna kebiruan dan membran mukosa yang menutupi sangat
tipis. Pada keadaan

di

mana telah terjadi


ekspansi
meluas,

tulang
ada

penipisan tulang penutup di atas kista, yang pada palpasi, terasa lunak atau
bercelah. Kista superfisial memiliki karakteristik fluktuan.
Kista dilihat dari gambar radiografik sering menunjukkan lapisan tipis
radioopak yang mengelilingi radiolusensi yang membulat. Namun dapat terjadi
kalsifikasi distrofik pada kista yang sudah lama berkembang, sehingga
menyebabkan gambaran kista tidak sepenuhnya radiolusensi pada struktur
internalnya. Beberapa batas kista dapat terlihat jelas dan terkortikasi dengan baik,
tetapi dalam beberapa kasus infeksi, batas menjadi lebih menyebar atau tidak
jelas. Adanya proses kortikasi yang terlihat di radiografik, merupakan hasil dari
kemampuan tulang di sekitarnya untuk membentuk tulang baru lebih cepat
dibandingkan proses resorpsinya, hal inilah yang terjadi
selama ekspansi lesi. Kista dapat berbentuk unilokular dan

16

multilokular. Multiklokular terjadi karena pada beberapa kista memiliki pembatas


yang berupa dinding tulang.
Gambar 2.1 Kista radicular
Gambar 2.2 Kista

Dentigerous

Gambar 2.3 Kista Erupsi

Gambar 2.4 Kista Residual

17

Gambar 2.5 Odontogenic Keratocyst


Gambar 2.6 Kista Lateral Periodontal
2.5

Tatalaksana Kista
Dua teknik pembedahan digunakan
dalam praktik klinis pengangkatan kista,
yaitu enukleasi dan marsupialisasi

(Fragiskos, 2007)
1. Enukleasi
Teknik ini melibatkan pengangkatan kantung
kista seutuhnya dan penyembuhan luka dengan
primary intention. Teknik ini merupakan metode yang paling sering digunakan
dalam perawatan kista dan diindikasikan pada semua kasus kista, yang dapat
diangkat tanpa merusak struktur anatomis atau gigi di sekitarnya.
Prosedur bedah perawatan kista dengan nukleasi terdiri dari tahapan
berikut :
1.
2.
3.
4.

Flap mukoperiosteal dibuat


Mengurangi tulang dan eksposur bagian kista
Enukleasi kantung kista
Debridement dan suturing luka

Setelah dilakukan radiografi untuk menentukan lokasi dan ukuran pasti lesi,
flap trapezoidal dibuat, dengan lebar yang mampu memberikan akses dan
visualisasi yang cukup terhadap daerah bedah (gambar 12.1-12.4).

18

Selanjutnya, tulang yang menutupi lesi dievaluasi, di mana tulang bisa jadi
tetap normal, telah menipis, atau sudah hancur. Pada tulang normal, bur round
digunakan untuk menghilangkan bagian plate kortikal bukal yang menutupi
kista, dan tergantung luasnya, rongeur juga dapat digunakan untuk
memperbesar jendela osseus yang dibuat (gambar 12.5, 12.6).
Jendela osseus harus cukup besar sehingga semua kavitas kista dapat diakses
dan diangkat tanpa kesulitan yang berarti.
Apabila tulang telah menipis atau perforasi, tulang dihilangkan menggunakan
rongeur, hingga mencapai tulang kompak. Kuret digunakan untuk enukleasi
kista ukuran kecil, sementara untuk kista yang lebih besar, ujung lebar dari
elevator periosteal biasanya lebih dipilih, yang diletakkan di dalam kavitas dan
ditekan pelan di antara dinding kista dan tulang, sementara kista dijepit secara
berhati-hari menggunakan forcep (gambar 12.7).
Setelah pengangkatan kista, kuret digunakan untuk menginspeksi kavitas
apakah terdapat sisa kista, dan diikuti oleh irigasi salin yang banyak setera
suturing (gambar 12.8-12.10).

19

20

21

2. Marsupialisasi
Metode ini biasanya digunakan untuk mengangkat kista berukuran
besar dan telah mengganggu struktur anatomis di sekitarnya. Metode ini
dilakukan dengan membuat jendela bedah pada bagian yang tepat di atas lesi.
Pembuatan jendela bedah dimulai dengan membuat insisi sirkular, pada
mukoperiosteum, dan tulang di bawahnya (yang biasanya telah perforasi),
serta dinding kantung kista yang terlibat (gambar 12.19-12.23). Setelah
prosedur ini, isi kista dikeluarkan, dan suture interrupted dilakukan di sekitar
kista, dengan menjahit mukoperiosteum dan dinding kista menjadi satu
(gambar 12.24).
Setelah itu kavitas kista diirigasi menggunakan larutan salin dan dipack
menggunakan gauze iodoform (gambar 12.25, 12.26), yang akan dilepas
seminggu kemudian bersama suture. Selama periode tsb, margin luka akan
telah sembuh, sehingga membentuk komunikasi permanen. Irigasi kavitas
kista dilakukan beberapa kali sehari, untuk menjaganya dari debris makanan
dan mencegah infeksi potensial. Penyembuhan luka menggunakan teknik ini
adalah melalui secondary intention dan epitel kista akan berubah menjadi
mukosa oral.

22

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kista adalah Kista adalah rongga patologis yang berisi cairan, dibatasi oleh
lapisan epitel dan jaringan ikat, yang dapat menyebabkan pembesaran ekstraoral
dan intraoral menyerupai tumor jinak. Kista diklasifikasikan menjadi 2, yaitu
odontogen dan non odontogen. Kista odontogen disubklasifikasikan menjadi 2 jenis
yaitu inflammatory cyst dan developmental cyst. Kista biasanya berukuran kecil,

terlihat hanya pada saat pemeriksaan gigi rutin dan pemeriksaan radiografik atau
ketika lesi terkena infeksi sekunder atau telah mencapai ukuran di mana terjadi
pembesaran atau asimetri yang terlihat jelas secara klinis. Kista yang terletak di
dekat permukaan, telah meluas ke dalam jaringan lunak, sering terlihat berwarna
kebiruan dan membran mukosa yang menutupi sangat tipis. Kista superfisial
memiliki karakteristik fluktuan. Kista dilihat dari gambar radiografik sering
menunjukkan lapisan tipis radioopak yang mengelilingi radiolusensi yang
membulat. Namun dapat terjadi kalsifikasi distrofik pada kista yang sudah lama
berkembang,

sehingga

menyebabkan

gambaran

kista

tidak

sepenuhnya

radiolusensi pada struktur internalnya. Adapun pembedahan yang digunakan


dalam praktik klinis pengangkatan kista, yaitu enukleasi dan marsupialisasi.
Teknik enukleasi melibatkan pengangkatan kantung kista seutuhnya dan
penyembuhan luka dengan primary intention. Sedangkan teknik marsupialisasi
biasanya digunakan untuk mengangkat kista berukuran besar dan telah
mengganggu struktur anatomis di sekitarnya.

23

DAFTAR PUSTAKA
Adappa Deepthi, et al. Residual Cyst: A Case Report. International Journal of
Advanced Health Science. Vol 1. August 2014
Azhar S, Goereti M, Soetji P. Enukleasi Kista Dentigerous pada Coronoid
Mandibula Sinistra di Bawah Anastesi Umum. MKGK 2015; 1(2): 99-103.
Budiman Bestari J, Triana Wahyu, Kista Nasolabial: Laporan Kasus. Bagian
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. RS.Dr.M.Djamil
Padang. 2011

Danudiningrat CP. Kista Odontogen dan Nonodontogen. Surabaya : Airlangga


University Press, 2006: 14-24, 32-34
Fragiskos FD (ed). Oral Surgery. Springer : Berlin. 2007
SiraitT,RahayuS,SibaraniM,etal.Kista Radikular Multipel pada
Maksila. Majalah Kedokteran FK UKI 2010; 4(27): 161-166

24

Anda mungkin juga menyukai