Kamu itu memiliki bakat akting. Sudah, kamu ikut drama saja. Dan bu Yasmin, cari saja
pengganti Nadien, saya pikir Derval tak akan keberatan ujar Kepsek. Bu yasmine Cuma
mengangguk-angguk khidmat. Lha, aku? Cuma bisa bengong dengan hati tak terima. Aku
digantiin? Sama siapa? Toh, padahal aku udah jadi The Best Partner-nya Derval. Arrrhhgg!!
Aku gak pernah rela kalau posisi sebagai partner Derval diganti. Aku terlanjur nyaman, suka,
dan memang bener-bener seneeeeng kalau bisa berada di samping Derval. Meski beberapa
orang gak setuju kalau aku partner terbaik derval. Aku memang jelek untuk bisa bersanding
dengan Derval yang tampan berotak bak Einstein. Tapi otakku bisa menyaingi kejeniusan
nya.
Dan sekarang, aku ikut Drama?! ... aku bisa berubah haluan dalam bidang bakat. Tidak!
Mungkin aku bisa saja berakting jelek dan akhirnya klub drama memprotes kehadiranku.
Dan, tadaaa! ... aku keluar!. Terdengar mudah.
***
Aku berakting seolah-olah mati karena menusuk perutku dengan konde palsu yang di dalam
cerita sih itu adalah konde pemberian Sang Romgah, raja yang berdarah iblis. Memiliki
kaitan dengan dedemit, hantu dll. Konde itu diberikan sebagai arti pinangan darinya
kepadaku. Aku telah diserahkan oelh masyarakat setempat sebagai tumbal untuk sang
Romgah, yang diperankan Zio. Kurasa dia terlalu tampan untuk diberi peran sebagai Raja
berdarah iblis, namun sebagai pelipur. Saat aku mati, dalam cerita itu dia berubah menjadi
suci karena mencintai dengan tulus dan ... akhirnya topeng yang menutupi wajahnya terbuka.
Terlihat matanya yang hitam menatapku lekat, aku tergolek lemas di pangkuannya. Ia hanya
mampu menangis... akting yang bagus Zio! Sial!
Yak! Bagus!!!,... Nice Acting! puji Ifa. Aku baru tau, ternyata kau memang berbakat
Nadien!
Bagus! Aku takkan pernah keluar dari klub ini. Disisi lain, aku melihat Zio hanya tersenyum
geli dengan tingkahku atas pujian Ifa.
Waaaaah! Derval!, coba lihat. Nadien tadi keren banget! terdengar suara Fidya.
Disampingnya, Derval mengangguk setuju. Mereka berdua menghampiriku.
IH, aku ngiri. Kalian bisa berduaan deket begitu pas adegan terakhir kata Fidya sambil
melirik kearah disampingku, Zio.
Kenapa? cemburu? timpal Zio seraya tersenyum menggoda. Fidya cemberut dengan
manjanya, dan memukul Zio pelan. Ah, sial! Aku harus pergi ...
Eh, nadien, aku gak nyangka ternyata kamu jago akting ya? Suara Derval terdengar lembut.
Aku merasa akan meleleh. Namun buru-buru aku jawab dengan senyum malu-malu. Aku
dapat merasakan tatapan Zio yang tajam, mungkin didalam hati ia berkata setengah meledek
Ciee .. seneng ya, dipuji gebetan!
***
Wuuiiih, capek sekali. Ini adalah hari terakhir aku dan klub drama berlatih untuk persiapan
lomba esok lusa. Dan , besok adalah hari tenang.
Aku menenggak habis air mineral yang Zio berikan. Tiba-tiba mataku menangkap sosok yang
membuat jantungku berdetak cepat. Siapa lagi kalau bukan Derval!
Nadien. Emh.. ia mendekatiku. Mencoba menyusun kata-kata. Mungkinkah ia ...
Maaf ya. Saat pentas nanti, aku tak dapat melihatmu. Lomba CCC di berlangsung secara
bersamaan dengan pentas drama wajahnya terlihat kecewa.
Akhirnya aku dan Fidya memutuskan melihat kalian saat latihan wajahku langsung
merona. Jadi, selama ini mereka menonton aku dan klub Drama berlatih? Kenapa aku tak
sadar?
Waaah, emh. Sebenarnya itu sudah cukup. Lagipula, pentas Drama tidaklah terlalu penting.
Yang penting, kau dan Fidya berusaha untuk menjadi juara ucapku.
Terima kasih kau mau mendukungku. Aku juga berharap pentasnya sukses! Sekali lagi,
sebagai temanmu aku meminta maaf ia ternyesum kemudian pergi.
Aku tertegun. Ia hanya menganggapku teman? Tidakkah lebih?
***
Ini adalah hari dimana aku berakting didepan banyak peserta drama lainnya, dihadpan para
juri dan para audience. Aku gelisah bukan karena nervous, tapi mengkhawatirkan lomba
CCC. Apakah fidya sanggup membantu Derval?
Sudahlah, doakan saja semoga Derval-mu itu menjalani lomba dengan lancar ujar Zio
seakan-akan tau isi hatiku. Mengapa semudah itu dia langsung memahamiku?
Dibelakang pangggung, aku telah selesai didandani. Dan Bimbi datang bersama Dira. Mereka
heboh sekali, apalagi melihat dandanan Zio.
OMG! ... Dien, dia tuh ganteng banget meski dikasih baju yang mistik sekalipun! komentar
Bimbi saat Zio lewat dihadapan kami bertiga.
Dan kamu!, ya ampun ... Putri dari mana nih? Aduh, cantiknya ...jadi pengen ikut Drama
deh! Dira tak kalah heboh saat melihat penampilanku. Yang kuakui 180 derajat berbeda dari
biasanya.
Dan saatnya pentas!
***
Saat menunggu hasil pengumuman pemenang, banyak yang melirik kearahku dan Zio.
Mereka berbisik-bisik.
kampungan deh, liatin kita sambil bisik-bisik aku berkomentar sambil memakan roti.
Disampingku, Zio hanya duduk santai seraya tersenyum.
Nadien ..
ya ..?
Derval-mu itu berhasil jadi juara satu, aku rasa doa mu terkabul aku terbelalak! Dan
spontan memeluknya saking senangnya. Ah, aku bahagia sekali. Aku tertawa senang, sambil
diselingi cekikikan dan kata Hore!
Setelah sadar, aku meminta maaf. Tak sopan memeluk orang. Setidaknya itu kesimpulanku.
Tinggal dag-dig-dug menunggu hasil Drama.
***
Waaaaa! Kita berhasil aku berteriak girang senang rasanya menjadi pemeran utama wanita
dan menang dalma perlombaan untuk pertama kalinya.
Ini keren! Zio ujarku. Ia hanya tersenyum penuh misteri.
Ayoo.. foto dulu! Nadien, Zio! Kalian berdua pegang Pialanya oke?perintah pak Kepsek
yang kurasa terlslu senang. Aku dan zio mengangguk.
Zio merangkulku sedangkan tanganku memegang piala, sambil tersenyum puas.
Cahaya Blitz dari kamera yang silau menjepret setiap pose dari para anggota Drama. Saat
sibuk berpose, aku melihat Derval dan Fidya memegang sebuah Tropi. Kebahagiaan
terpancar di raut keduanya. Sebuah perasaan iri, melihat mereka bangga memamerkan piala
itu.
Nah.. apa bapak bilang. Kamu memang berbakat Pak kepala sekolah tersenyum kepadaku.
Malu juga, aku sendiri tak menyadari bakatku yang lain.
***
Berkat kemenangan sekolahku atas dua perlombaan sekaligus. Pihak sekolah merayakannya
dengan menggelar pesta. Wuuiih .. selain itu, sekolah juga mengundang Band dari sekolah
untuk tampil. Acaranya benar-benar menarik. Ini bukanlah pesta hura-hura. Tapi pesta
perayaan yang melibatkan banyak klub sekolah. Serta berbagai ekskul yang unjuk kebolehan.
Yang asyiknya lagi, tak seperti pesta biasa, semua para murid yang diundang ke sekolah harus
mengenakan pakaian tradisional. Haha .. terbayang sudah wajah-wajah elite yang
menggunakan pakaian yang tak terlalu mewah.
Malam harinya aku pergi mengenakan kebaya berwarna biru muda. Bisa dibilang, aku ini
tamu kehormatan. Karena telah menjadi pahlawan sekolah .. hehe
Sesampainya di sana, aku di sambut oleh paparazzi dari bagian majalah sekolah. aku merasa
seperti artis.
Kakiku melangkah, mendekati seseorang yang ku kenal. Ia sedang asyik memakan jajanan
pasar yang disediakan.
Hooy! ia terlonjak kaget. Diakhiri dengan terbatuk-batuk. Ia mendecak.
Kamu kemana saja? aku hanya terkekeh. Ia menghela napas.
Ini saat yang tepat untuk menunjukkan perasaanku pada Derval Zio terbelalak.
Em, kamu yakin? ia terlihat ragu.
***
"aku terlalu berharap selama ini" ujarku."Terlalu keras kepala! dasar bodoh!" air mataku
mengalir deras.
"Sudahlah .." Zio menyodorkan tisu.
"Emh .. aku tak tau kau menyukai derval selama ini" Bimbi menunduk.
aku hanya menerawang, kosong. Zio terdiam, duduk di bangku dekat ranjangku.
***
Ah .. terima kasih Zio! hebat sekali dia.. menghiburku dengan berbagai cara. setelah
seminggu sejak kejadian itu, aku sudah kembali! menjadi Nadien. haha ..
hmm, aku berjanji untuk terus mengenang masa ku bersama Derval.
***
9 tahun kemudian...
ahhh ... aku mendapat sebuah surat undangan untuk menghadiri acara reunian sekolah. Ada
sebuah acara pementasan Drama.. pikiranku kembali melayang.. teringat masa lalu.
***
Tepuk tangan yang meriah. Membahana setelah pementasan Drama selesai. Pemeran utama
laki-lakinya mirip orang yang ku kenal.. siapa ya?
ah sudahlah, lebih baik aku berkeliling. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku.
"Nadien!" pekiknya. aku menoleh .. itu ..
"Ifa!" aku tertawa. ia sangat berbeda. kami pun berbincang-bincang.
"Eh, haha .. tau gak, yang jadi pemeran utama laki-laki tadi itu adiknya Zio" aku terbelalak.
pantas saja mirip.
"Lihat itu.." Ifa menunjuk seseorang. itu sepertinya Derval dan ..
"Katanya Derval Akan menikah dengan Fidya bulan depan. Langgeng ya, dari SMA sampai
sekarang masih tetep" kekecewaan yang dulu sempat tumbuh, kini terasa lagi.
"Weeiiss .. Nadien ya!" Seseorang memanggil namaku.
"Waa ! Zio!!" aku memekik girang. Setelah lulus, ia pindah ke luar kota. tak ada kabar. tapi
sekarang aku bertemu lagi dengannya.
ia kemudian mengoceh, mengenang masa saat kami bermain Drama.. ya, drama.. tempatku
menemukan hal baru ..
Cinta ini tumbuh begitu saja saat aku bersamamu. meski kau terlihat terpaksa.. lama-lama kau
menikmatinya. begitupun denganku. inilah isi hatiku .. Nadien. aku mencintaimu lewat drama
yang kita ikuti.
Potongan
Suara sirine mengaum amat memilukan, amat menyayat hati. Ambulans yang
membawa jenazah istriku perlahan mulai bergerak meninggalkan rumah kami.
Segenap kerabat, tetangga serta sahabat kami tampak hadir mengantarkannya
hingga ke pemakaman. Mereka tampak larut dalam kedukaan yang mendalam.
Saat ambulans sudah sampai di gerbang pemakaman, aku melangkah lungkrah,
nyaris pingsan, seolah belum begitu kuat mengangkat beban berat yang kini
tengah menghimpitku. Ayahku serta ayah mertuaku memapahku menuju tempat
peristirahatan terakhir wanita yang dua tahun terakhir mengisi hari-hariku.
Prosesi pemakaman berjalan khusyu dan khidmat. Lantunan adzan dan iqomat
memecahkan hening yang mengapung, memekak haru semua pelayat yang
hadir, seolah mengingatkan bahwa kematian adalah sebuah keniscayaan.
Kematian menjadi pengingat bahwa suatu saat prosesi seperti ini akan menimpa
siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Tinggal bagaimana kita mempersiapkan
diri kita dengan bekal yang cukup untuk menghadap-Nya.
Aku masih terpaut dalam lantunan dzikirku, mencoba menguatkan hati yang kini
remuk-redam. Hilir-mudik sahabat-sahabat kami menyalamiku serta menepuk-
nepuk pundakku, seolah ingin memberi kekuatan padaku. Tatapan mataku masih
nanar, antara sadar dan tidak.
hujan deras yang mengguyur sepanjang malam hingga siang tadi sudah mulai
mereda, menyisakan gerimis yang masih renyai. Sekilas kutatap nun jauh ke
ujung cakrawala. Matahari perlahan mulai menepi, pertanda senja mulai
menyingsing. Diantara gerimis kecil itu, tampak sebuah pelangi terlukis
sempurna dilatari langit kemuning. Pelangi itu membentuk lengkung indah bak
pintu gerbang setengah jadi. Sungguh mampu merenyuhkan jiwa-jiwa yang rindu
untuk kembali, kembali ke haribaan-Nya. Aku masih menengadah beberapa saat
ke langit. Ah, benar-benar pelangi di ujung senja yang sangat cantik! Bisikku
dengan air mata yang kembali berlinang.
Sudahlah Nak, kita pulang yuk? Kau harus kuat, anakmu kini hanya bertumpu
padamu. bisik ibuku parau.
Aku tak sanggup menjawab apa-apa selain hanya bisa mengangguk lemah. Kini,
aku merasa separuh jiwaku telah hilang, ikut terkubur bersama jasad istriku. Kini
takkan ada lagi senyum manisnya menghiasi hari-hariku, takkan ada lagi suara
manjanya yang membuat letihku hilang tiada berbekas. Takkan ada lagi dia yang
mengingatkanku untuk sholat diawal waktu, takkan ada pula dia yang tak pernah
lupa mencium tanganku seusai sholat, ya takkan ada lagi. Vania kini telah pergi
meninggalkanku untuk selama-lamanya.
Vania, jika esok pagi, ketika aku bangun, tak lagi kutemukan senyum manismu
menyapa seperti biasa, semoga bisa kutemukan senyum itu meski hanya dalam
mimpiku, semoga kini kau sudah bahagia disisi-Nya. Ucapku lirih sambil kuusap
airmataku, mencoba bangkit dari sisi pusaranya.
*TAMAT*
SETETES EMBUN DI HATI SYAHDU PART. II
Cerpen Karya Ulzahrah Syiefaa Khozin
Kutuliskan kisah sedihku pada buku Diaryku. Aku menangis bersama curahan hatiku atas apa
yang sedang kurasakan saat ini.
Du, boleh Mba masuk? tanya Mba Maula dari balik pintu.
Buru-buru kusimpan buku Diaryku. Kuseka air mataku bersih-bersih. Aku tak ingin Mba
Maula mendapatiku menangis lagi.
Masuk saja Mba, nggak Syahdu kunci kok.
Aku diam saja. Melihat responku yang terkesan datar-datar saja, Mba Maula kelihatan
semakin penasaran.
Du, Mba perhatikan kok akhir-akhir ini kamu dengan Tita tak seakrab dulu, ada apa?
Aku enggan menjawab. Aku pura-pura asyik membaca buku. Membolak-balik halaman demi
halaman agar tampak serius.
Apa ini ada kaitannya dengan Aal? ia menatapku penuh tanya.
Aku tercekat mendengarnya, terlintas olehku perkataan Mas Aal beberapa waktu yang lalu
bahwa ia berjanji akan menyediakan satu kursi untukku. Benarkah ia sangat mengharapkan
kehadiranku?
***
Tidak seperti biasanya, kulihat Tita tampak murung dan lebih banyak diam selama rapat.
Padahal biasanya dia paling aktif dan banyak mengeluarkan ide-ide cemerlang yang biasanya
langsung di Amini dan didukung sepenuhnya oleh Mas Fikra, sang ketua organisasi.
Seusai rapat, tatkala aku sedang berkemas, Mas Fikra mendekatiku. Dia mengatakan bahwa
Tita terlihat sangat sedih, dia memintaku untuk membantu mencari tahu masalahnya.
Ketika aku keluar, kulihat Tita tengah duduk sendiri dengan muka tertunduk. Aku mencoba
untuk duduk disampingnya.
Ta, kenapa sedih? sapaku memecah kesunyian.
Aku kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku Mba. Ucapnya sambil terisak.
Aku tercekat mendengar perkataannya. Hatiku teriris, ternyata Tita lah sosok gadis yang
pernah diceritakan Mas Aal padaku. Dengan hati hancur kuberikan senyumku yang termanis
untuk Tita.
Aku akan membantu mencarinya untukmu.
Sungguh? Tita seperti tak percaya.
Ya.
Tita memelukku haru. Dia menangis di bahuku. Akupun menangis. Aku menangis karena
merasa bahwa selama ini aku telah bersuudzon padanya. Aku menganggap bahwa selama ini
Tita mencoba merebut Mas Aal dariku. Padahal kenyataannya Tita lah yang lebih dulu
mendapatkan hatinya. Dan sejak saat itu aku berusaha untuk melupakan Mas Aal, demi Tita,
sahabatku.
***
Malam kian larut, percikan gerimis yang turun dari tadi sore belum juga reda. Sementara itu,
suara katak tergengar saling bersahutan membentuk irama melodi yang khas. Aku Masih
terpaku diatas sajadahku, mencoba mencurahkan isi hatiku kepada Dzat yang memiliki
kerajaan hati. Dan aku menemukan kedamaian disana.
Sekarang aku sudah benar-benar mengikhlaskannya, kutitipkan dia kepada-Mu karena Aku
yakin Engkau Maha Tahu apa yang terbaik buat hambamu ini. Jika kelak dia memanglah
untukku, Engkau pasti akan mempertemukan kita di saat yang tepat. Namun, jika dia
bukanlah untukku, akupun akan berusaha untuk berbesar hati menerima takdirku. Aku yakin,
jika aku selalu mempercantik akhlakku, kelak Engkau pun akan mempertemukanku dengan
seseorang yang sealim, sebaik, sekharismatik dan seindah senyumnya. Amiinn....
***
Ketika keluar dari gedung wisuda, Mas Aal langsung disambut oleh keluarga dan banyak
sahabat-sahabatnya yang menungguinya. Kulihat Tita juga ada disitu, dengan seikat bunga
mawar putih di genggamannya. Kuurungkan niatku untuk menemuinya. Kuputuskan untuk
memberinya ucapan selamat via sms. Dia membalas sms-ku dan mengucapkan terimakasih
kepadaku.
Satu bulan kemudian Mas Iqbal dan Mas Aal berangkat ke Mesir untuk melanjutkan studi
nya. Mba Maula ikut mengantarkannya sampai ke bandara. Sebenarnya Mba Maula
mengajakku juga, namun aku menolaknya dengan alasan aku sedang banyak tugas kuliah.
Sepertinya Mba Maula pun memahamiku. Sepulang dari bandara, Mba Maula mengatakan
bahwa Mas Aal menanyakanku.
***
Sesampainya dikamar, Tita langsung mengeluarkan buku-buku yang ada didalam tas nya,
memastikan kalau semua bukunya tidak basah karena terkena gerimis dijalan. Tiba-tiba saja
tanpa disadarinya, sebuah foto terjatuh dari salah satu bukunya. Disaat yang bersamaan, Bi
Nah masuk dengan membawa nampan berisi teh anget dan makanan kecil. Bi Nah
menyangka kalau foto itu milikku.
Hmm....Mba Syahdu pasti tadi lupa naruh fotonya Mas Aal. Ujar bi Nah sambil memungut
foto itu.
Fotonya siapa Bi? Tanya Tita terkejut.
Fotonya Mas Aal. Jawab Bi Nah sambil memperlihatkan foto itu pada Tita.
Lho? Bi Nah kenal sama laki-laki yang ada dalam foto ini?
Ya iyalah Mba, ini kan Mas Aal. Dulu itu Mas Aal sering kesini, waktu masih sama-sama
kuliah bareng Mba Maula. Dia itu orangnya baik, ramah, alim pula. Ya wajar saja jika Mba
Syahdu suka sama dia.
Mba Syahdu suka sama Mas Aal??
Iya, sudah sejak lama Mba Syahdu kan suka sama Mas Aal. Sampai-sampai Mba Syahdu
menangis semalaman ketika Mas Aal berangkat melanjutkan studinya ke luar negeri. Hingga
kini Mba Syahdu juga tak pernah lupa untuk mendoakannya setiap sehabis sholat. Papar Bi
Nah tanpa beban.
Sontak Tita langsung memasukkan kembali semua buku-bukunya kedalam tas. Dia
mengurungkan kembali niatnya untuk menginap.
Lho? Mba Tita mau kemana? tanya Bi Nah keheranan melihat Tita tiba-tiba saja berkemas.
Bi, sepertinya saya nggak jadi menginap malam ini, saya ada acara lain.
Walah, tapi kan Mba Syahdu nya belum pulang, lagian diluar hujannya cukup deras, apa
nggak sebaiknya nunggu reda dulu aja Mba?
Nggak apa-apa Bi, saya bawa jas hujan. Sampaikan saja pada Mba Syahdu kalau saya
kesini Jawabnya sambil sibuk memasukkan buku-bukunya.
Iya, tapi diminum dulu teh nya, mumpung masih anget Mba?
Lain kali saja Bi, saya agak terburu-buru. Ucapnya sambil berpamitan.
***
Keesokan harinya aku menghampiri Tita yang sedang duduk di meja kerjanya.
Ta, kemarin ada yang tertinggal dikamarku. Ucapku sambil menyerahkan foto itu padanya.
Ambil saja, bukankah kau juga membutuhkannya? jawabnya tanpa menoleh kearahku.
Ta, kamu kenapa?
Kamu yang kenapa? balasnya dengan nada lebih tinggi.
Aku terdiam.
Aku sungguh tak pernah menyangka kalau ternyata Mba Syahdu diam-diam menusukku dari
belakang.
Ta, aku minta maaf, tapi aku tak pernah bermaksud menghianati persahabatan kita, kau
hanya salah paham.
Alaa....sudah jelas-jelas Mba Syahdu diam-diam suka kan sama Mas Aal, padahal Mba
Syahdu tau betul kalau aku mencintainya.
Ta, dengarkan dulu penjelasanku, memang benar aku pernah menyukainya. Tapi itu dulu,
jauh sebelum aku mengenalmu, jauh sebelum kita bersahabat, dan semenjak aku tahu bahwa
kau mencintainya lebih dulu, aku memutuskan untuk membunuh rasa ini.
Owh ya?? Haruskah aku sepenuhnya mempercayai kata-kata itu? Sementara kau hingga kini
masih saja mendoakannya? Itu artinya kau masih mengharapkannya. Jangan terlalu munafik
Mba.
Ta, apa ada yang salah jika aku mencintai seseorang, dan senantiasa mendoakan yang
terbaik untuknya, tanpa berharap lebih. Hanya ingin agar dia selalu ada dalam lindungan-
Nya? ucapku dengan mata berkaca-kaca.
Terserah lah. Yang jelas aku sudah tidak nyaman lagi bekerja-sama denganmu Mba. Hanya
ada satu pilihan, aku atau Mba Syahdu yang keluar dari organisasi ini. jawabnya sambil
berlalu meninggalkanku yang terisak di ruangan itu.
***
Kabar tentang keributanku dan Tita dengan cepat menyebar luas dan membuat heboh rekan-
rekan organisasi kami. Mereka beramai-ramai membuat spekulasi negatif tentangku. Ada
yang secara terang-terangan menyindirku, ada pula yang memberikan tatapan menghakimi
kearahku. Aku hanya bisa pasrah dan berusaha untuk tabah menerima kenyataan ini, aku
sama sekali tak diberi kesempatan untuk membela diri karena hampir semua sahabat-sahabat
yang dulu dekat denganku kini mulai menjauhiku. Hanya Mas Fikra yang masih setia
memberi dukungan kepadaku.
Du, aku tahu kau tak sejahat yang teman-teman katakan tentangmu. Aku percaya padamu
sepenuhnya. Ujarnya padaku.
Mungkin memang lebih baik jika aku keluar dari organisasi ini Mas. Toh mereka juga sudah
tidak mau berkomunikasi lagi denganku. Jawabku tertunduk.
Kau hanya perlu sedikit bersabar. Aku yakin pasti semua ini akan berlalu.
Semoga saja, aku pulang dulu. Kataku sambil berpamitan padanya.
Hati-hati dijalan. Jawabnya sambil melepas kepergianku.
Disaat-saat seperti ini, aku tiba-tiba merindukan Mba Maula. Sejak kepergiannya
melanjutkan S2 nya di Australia, aku seolah kehilangan teman curhat. Semua beban aku
pendam sendiri. Sahabat-sahabatku yang lain seperti Hanny, Airin dan Ratih lebih memilih
untuk berdiri dibelakang Tita.
Semakin hari kondisi kesehatanku menurun. Aku panas tinggi hingga membuat orang-orang
rumah panik. Abi dan Ummiku memutuskan untuk membawaku ke rumah sakit. Pada
akhirnya kudapati diriku tergolek lemas dengan selang infus yang menempel ditangan kiriku.
***
Aku membuka mata perlahan, menatap langit-langit dan ruangan yang bewarna putih. Aku
menyadari bahwa kini aku sedang berada dirumah sakit. Ada Abi dan Ummi disebelah
kananku. Mereka masih tampak cemas. Kulihat Ummi berkali-kali menyapu air matanya.
Aku mencoba untuk tersenyum kearah mereka, kutunjukkan pada mereka bahwa aku baik-
baik saja.
Mi, jangan menangis. Ucapku lirih.
Kami sedih melihatmu begini Nak. Ummi memegang jemariku erat.
Syahdu baik-baik saja.
Banyak-banyaklah istirahat, jangan terlalu banyak pikiran. Imbuh Abi sambil membetulkan
letak selimutku.
Aku mencoba untuk tidur, tapi hanya mata ini yang terpejam. Jiwaku terus terjaga.
***
Sejak sakit, aku sholat diatas pembaringan. Setiap usai sholat, aku tak kuasa lagi
membendung air mataku. Aku berdoa agar Alloh membukakan mata hati sahabat-sahabatku.
Maafkan aku, Tita.....
Aku menoleh, samar-samar kulihat Mas Fikra tersenyum kearahku, lalu disebelahnya ada
Hanny, Airin, Ratih dan disebelahnya lagi.....Tita?? aku terkesiap, seolah tak percaya dengan
apa yang baru saja kulihat. Kugosok-gosok lagi mataku, sekedar ingin memastikan bahwa
aku tidak sedang berhalusinasi. Namun, sosok itu tetap tak berubah. Ya memang itu Tita.
Kulihat Tita menatapku dengan sorotan mata yang teduh. Tatapan yang sering kulihat ketika
kami masih menjadi sahabat. Aku sama sekali tak melihat aura kebencian yang akhir-akhir ini
ia tunjukkan padaku. Alhamdulillah, Alloh telah menunjukkan ke Maha Kuasaan-Nya. Dia
telah mencairkan ego yang selama ini membeku dalam hati Tita.
Maafkan sikapku selama ini Mba. Isaknya sambil memelukku.
Aku juga minta maaf Ta, aku yang salah. Jawabku parau.
Tita yang Egois, selama ini Mba Syahdu menyembunyikan perasaannya demi keutuhan
persahabatan kita. Itu pasti tak mudah, dan Mba Syahdu pasti sangat terluka. Tapi, Tita malah
membuat Mba Syahdu semakin terluka dengan keegoisan Tita.
Saling memaafkan saja, itu lebih baik bukan? imbuh Mas Fikra sambil tersenyum.
Kita mulai dari awal lagi.
Ya, kita mulai dari awal lagi, sahabatku. Jawabku penuh haru.
Hari berganti minggu, minggu pun berganti bulan dan bulan berganti tahun. Sejak
keberangkatan Mas Aal ke Mesir tiga tahun yang lalu, kami tak pernah lagi bertemu. Akupun
tak pernah tahu apakah disana dia masih sempat mengingatku ataukah tidak. Yang jelas,
doaku tak pernah terputus untuk mendoakan yang terbaik untuknya. Hingga akhirnya kami
dipertemukan kembali dalam acara pesta pernikahan Mba Maula dan Mas Iqbal. Ia tak
banyak berubah, masih sama seperti dulu.
Jelas sekali kulihat ia tersenyum kearahku. Aku tersenyum, jeda waktu dimana ia tak pernah
muncul lagi didepanku, senyumnya membuat asa ku yang gersang kini mulai hidup kembali.
Dalam hati bersemilah harapan, semoga Alloh kelak mempertemukan kami dipelaminan itu,
mengikat janji untuk berbagi dalam suka dan duka, mendidik anak-anak kami hingga menjadi
ulama besar.
Mereka tampak serasi ya? ucapnya membuyarkan lamunanku.
Ya, serasi sekali. Jawabku tanpa berani menatapnya.
Du, maukah kau menikah denganku? ucapnya mengejutkanku. Ia menatapku.
Aku kehilangan kata-kata. Lidah ini terasa kelu untuk menjawab pertanyaannya.
Du, aku sudah menyelesaikan kuliahku, aku juga sudah bekerja. Aku ingin menepati janjiku
dahulu bahwa aku akan menjemputmu. Imbuhnya dengan penuh kesungguhan.
Aku tidak bisa. Jawabku menggeleng pelan sambil menahan air mata yang hampir tumpah.
Mengapa Syahdu? Apakah sudah ada sosok lain yang mengisi hatimu?
Hari ini aku datang berbagi doa untuk sahabatku. Semoga kau bahagia. Memoriku
berselancar, kuingat nostalgia saat kita sama-sama merentas mimpi dan membangun asa.
Meski persahabatan kita banyak diurai tangis dan tawa, namun didalamnya aku mengerti arti
sahabat yang sesungguhnya, sebuah ikatan yang sangat berharga untuk dipertahankan.
Terimakasih telah menjadi sahabat terbaikku, Tita. Kulihat kau tampak begitu bahagia dengan
pestamu. Semoga kau dan Mas Fikra bisa membangun keluarga sakinah, mawaddah dan
warahmah seperti yang kau impi-impikan sejak dulu.
Aku tak datang sendirian, aku ditemani Mas Aal yang kini telah menjadi suamiku, serta si
Alif kecil yang ada dalam gendongannya. Semoga pertemuan selanjutnya kutemukan kau
dan Mas Fikra serta si jagoan kecilmu yang semakin memperlengkap kebahagiaan kalian.
Amiin.
*TAMAT*
KENANGAN PERAHU SENJA
Karya Sinta
Ombak berkejaran meraih pantai nyaris menyentuh pesisir. Tiada lelah tiada kesah. Ribut
bergemuruh sepanjang hari tanpa henti. Datang lalu pergi dan begitu seterusnya. Tak berlalu
pun tak berganti.
Bongkahan kayu menyatu dan terapung berselimutkan langit senja. Senja terindah! Dua
onggok kayu beradu dalam air tuk melaju. Menatap fatamorgana nan remang di balik air.
Tya, kamu beneran mau pindah ke kota? Tanyaku datar dengan wajah sendu. Rasanya aku
tak rela harus kehilangan sahabatku.
Iya. Besok pagi aku berangkat. Tolong, jangan sedih kayak gitu! Aku kan gak pergi
selamanya. Kalo ada waktu luang aku pasti balik karena aku punya sahabat di sini. Tuturnya
sambil tersenyum untuk mencoba menghiburku. Aku melonjak memelukknya dengan erat
seakan tidak rela untuk melepaskannya pergi.
Hari silih berganti hinga merangkai bulan yang terus merajut tahun. Tya tak kunjung datang.
Entah apa yang ia lakukan sekarang. Apa dia sedang merindukanku? Atau mungkin
merencanakan hari untuk menemuiku?
Kini aku berada di tengah-tengah keramaian kota. Tempat yang ramai dan terasa asing.
Mengantarkan saudaraku dengan harapan bisa bertemu dengan Tya.
DUUGGGGG!!!! Sebuah benda jatuh mengenai kepalaku yang sedang menunduk ingin
mengambil sesuatu. Aawww.... Pekikku. Ternyata sebuah makanan kaleng yang jatuh.
Aduuhhh..., maaf, maafin gue! Gue gak sengaja tadi. Beneran deh. Aduuhhhh.... Ucapnya
panik.
Aku yang sakit kok dia yang aduh-aduh sih? Pikirku. Aku pun berdiri sambil mengelus
bagian kepala yang terkena kaleng itu. Untung saja keadaan di swalayan cukup sepi hingga
tidak menjadi pusat perhatian.
Astaga...! Kaget sungguh kaget ketika aku melihat perempuan itu adalah Tya, sahabatku.
Tya? Kamu Tya kan? Wah, kamu udah berubah. Tambah cantik aja kamu, Tya. Selorohku
histeris melihat perubahannya yang tampak modern.
I.., iya gue Tya. Loe siapa? Kok kenal gue? Tanyanya dengan raut kebingungan.
Duuaaarrrrr! Seperti sambaran petir yang tengah menerjang. Tak menyangka, tak percaya,
dan tak diduga. Dalam kurun waktu yang singkat dia melupakanku, sahabatnya. Mungkinkah
dia hanya berpura-pura?
Kok diem? Aduh, masih sakit ya? Sorry deh sorry....
Kamu? Kamu beneran gak ingat aku? Aku Lina. Ujarku lesu. Organku terasa membeku,
urat nadi erat menyatu, dan hati begitu pilu.
Lina? Lina..?? Lina siapa ya? Tanyanya lagi. Tiba-tiba ponselnya berdering dan ia segera
membukanya. Ya udah, gue pergi dulu. Soal tadi, sekali lagi gue minta maaf. Bye...
Pamitnya dan akhirnya beranjak meninggalkanku begitu saja.
Kamu pergi? Pergi gitu aja? Kamu bener-bener berubah. Kamu bukan Tya yang kukenal dulu.
Kehidupan di kota merubahmu sedemikian hingga. Merubahmu menjadi diri yang lain. Diri
yang tak mengenalku dan kukenal.
*****
Malam tak bertemankan bulan dan bintang. Hanya berselimutkan awan mendung. Gulita
mengingatkan waktu silam yang kini kelam. Siapa yang salah? Tak ada yang salah. Tidak
aku, tidak dia, dan tidak juga waktu. Keadaan? Tak ada yang bisa menyalahkan. Kini hanya
tinggal kenangan.
Kamu gak tidur, Lina? Besok pagi kan kamu balik ke kampung. Tanya Rasty, sepupuku
yang telah berdiri di sampingku.
Aku belum ngantuk. Kamu tidur aja. Pintaku. Oh iya, apa suatu hari nanti kamu juga akan
berubah seiring berjalannya waktu? Tanyaku tiba-tiba.
Rasty pun duduk di sebelahku. Kamu kenapa, Hen? Ada masalah? Aku menggeleng. Tapi
aku yakin dia dapat membaca raut wajahku. Pasti terjadi sesuatu. Ayo, cerita!
Aku menarik nafas panjang lalu menghelanya dengan panjang juga. Tya. Aku tadi ketemu
dia. Hanya saja...
Hanya saja?
Dia bukan Tya yang kukenal dulu. Dia sudah seperti orang lain. Aku pun terdiam sesaat.
Ah udah lah, maaf ganggu waktumu yang seharusnya sudah tidur. Ujarku sambil tersenyum
kecil.
Aku hanya belum ngantuk. Aku masih ingin duduk bersama sunyinya malam. Rumah-rumah
mewah yang tertutup dan gelap, jalan yang sepi, dan lampu jalan yang remang. Seperti
beberapa kalimat dalam sebuah lagi. Langit selalu gelap. Semua orang akan berpisah. Siapa
pun tak akan dapat menemani orang lain selamanya.
Ok, gue tunggu besok pagi. Terdengar perbincangan beberapa gadis di persimpangan.
Gadis-gadis kota! Ucapku dalam hati.
Sip.., bye. Mobil pun melaju meninggalkan seorang gadis di persimpangan yang jaraknya
hanya hitungan meter dari tempatku bersantai.
Gadis itu berjalan nyaris melewatiku, sedang aku sendiri hanya menunduk tidak ambil pusing
siapa gadis itu. Hingga dia menghentikan langkahnya dan berjalan mendekatiku. Loe yang
tadi siang itu kan? Siapa nama loe? Sorry, gue lupa. Sapanya. Aku menengadahkan kepala
dan akhirnya aku menyadari jika gadis itu adalah Tya.
Lina. Namaku Lina. Ucapku dingin sambil berdiri. Dalam hitungan bulan kamu sudah
lupain aku. Dan dalam hitungan jam kamu lupain namaku. Mungkin setelah ini dalam kurun
waktu dekat, kamu benar-benar lupa semuanya. Ucapku semakin dingin.
Sewot amat loe. Gue baik-baik nyapa malah jawabnya gitu. Tau gini gue kagak nyapa loe.
Ujarnya kesal. Ya udah lah gue cabut dulu. Gue malas debat apalagi malam-malam gini.
Lanjutnya kemudian beranjak.
Kamu bener-bener berubah, Tya. Selorohku setengah menjerit. Dia pun berhenti dan
membalikkan tubuhnya menghadapku. Aku kecewa. Kamu bukan Tya yang dulu. Aku rindu
seorang Tya. Di mana Tya yang dulu? Kenapa kamu biarin dia berubah menjadi orang lain?
Ucapku menahan isak tangis.
Dia belum menjawab melainkan mendekatiku. Tya yang dulu? Gue gak tau Tya yang dulu.
Mungkin dia udah pergi. Dan gue gak kenal ama loe. Loe salah orang. Tuturnya.
Aku gak mungkin salah. Kamu Tya dan kamu sahabatku. Kamu kenapa tega lupain aku?
Kenapa kamu lupain janji kamu? Tiap senja kita selalu mendayung perahu dan menikmatinya
sambil bercanda. Kenapa kamu buang itu semua dari ingatanmu, Tya? Kenapa? Ujarku
menahan tangis sambil mengguncang lengannya berharap dia hanya pura-pura.
Lepasin! Sentaknya menepis tanganku. Ya, gue emang Tya dan Tya yang dulu udah pergi.
Dia udah lupain semua kenangan itu. Hidup ini terlalu indah untuk memandang masa lalu.
Gak ada waktu mengingat masa lalu karena kita hidup di masa kini. Paham loe? Amarahnya
membuncah.
Aku sadar. Akhirnya aku tau jika dia memang sengaja melupakannya. Dia melupakan semua
kenangan yang terajut indah karena hidupnya yang sekarang. Wajar atau kejam kah?
Anggap kita gak pernah ketemu! Gue udah berubah dan bukan yang dulu loe kenal. Lupain
soal kenangan senja atau perahu atau apa pun itu. Selamat malam. Ujarnya lalu beranjak
tanpa ingin mendengar apa yang akan aku katakan.
Gak ada waktu mengingat masa lalu karena kita hidup di masa kini? Kalimat yang
memilukan. Ibarat dinding-dinding kerinduan yang terkoyak belati berasa perih. Mulut
membisu dan air mata yang berbicara.
Kamu jahat, Tya! Apa salahku sampe kamu kayak gitu?
*****
Senja baru yang tidak biasa. Kini hanya aku sendiri bersama sejuknya udara tuk hempaskan
rindu yang tak perlu. Senja itu, perahu itu, gemericik air itu, dan lampu remang itu hanyalah
sisa-sisa kenangan. Yah, hanya sebait kenangan perahu senja. Tak ada yang berarti lagi.
Hei, kamu! Panggil seseorang dari belakang yang menghentikan renunganku. Aku menoleh
dan kudapati seorang gadis yang belum pernah terlihat di kampung ini sebelumnya. Ya,
kamu! Kamu ngapain ngelamun sendiri? Ucapnya seraya berjalan menghampiriku.
Aku? Emm.., emang kenapa? Kamu siapa? Tanyaku sambil memerhatikannya mengatur
posisi duduk di sebelahku.
Kenalin nama aku, Andin. Nama kamu siapa? Tanyanya balik sambil mengulurkan
tangannya.
Namaku Lina. Jawabku sambil menjabat tangannya. Kamu warga baru? Aku gak pernah
liat kamu sebelumnya.
Dia menghela nafas. Kalau gak pernah liat sebelumnya ya berarti aku warga baru. Pake
tanya segala. Lagian kamu ngapain sore-sore gini nongkrong sendirian di sini? Gak takut apa
kalo napa-napa? Gerutunya seakan-akan sudah kenal dekat.
Kuamati dia dari ujung rambut sampai ujung kaki dan aku yakin dia anak kota. Mulai dari
model rambutnya, pakaiannya, dan wajahnya. Kamu.., dari kota kan? Tebakku.
Kalau iya kenapa, kalau nggak kenapa? Tanyanya menatapku sambil tersenyum. Aku tidak
menjawab. Mau kota kek, desa kek, kampung kek, pelosok sekalian kek, menurutku sama
aja. Lanjutnya santai. Eh kayaknya enak kali ya kalau dayung perahu sekarang ini? Pasti
tenang dan terasa damai. Gimana menurutmu? Tanyannya meminta pendapatku sambil
tersenyum ceria menatap air pantai menari-nari di bawah senja.
Kamu mau naik perahu? Aku bisa nemenin kamu. Berada di tengah-tengah sana rasanya
indah sekali. Timpalku lalu menunjuk tengah laut.
Berdua doang? Kamu berani? Tanyanya ragu. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum
kecil. Wah.., ayo deh kalo gitu. Oh iya, kamu mau gak jadi sahabatku? Aku baru di sini dan
kamu orang pertama yang aku kenal. Ujarnya menawarkan persahabatan padaku.
Sahabat? Boleh. Jawabku singkat.
Ya udah yuuukkk! Ajaknya tidak sabar seraya menarik tanganku menuju perahu.
Mungkin inilah maksud dari ucapan pepatah Ketika seorang sahabat meninggalkanmu,
biarlah karena Tuhan akan memberimu yang lebih baik. Jika demikian hendaknya, maka
inilah awal aku merangkai kisah perahu senja yang baru bersama orang baru dan
meninggalkan yang telah lalu bersama kenangan senja itu
MENGAYH RIDHO DI KOTA KUDA
Karya Dini Andriani
Ya Allah...tak terasa waktu menuntunku menjadi sosok yang rajin ibadah dan takut dengan
tata tertib. Kota ini menjadikan saksi untukku, untuk perubahan yang indah, Terimakasihku
padamu Ya Allah, atas anugerah yang Kau limpahkan padaku.namun,aku bukanlah orang
yang sempurna.aku juga tak luput dari dosa dan kesalahan. Aku selalu senantiasa berdoa
mengharapkan keridhoan atas ibadah yang aku laksanakan. Janjiku saat ini adalah aku akan
selalu beristiqomah dengan perubahanperubahan yang begitu membuatku sadar akan
pentingnya sebuah agama. Aku diajarkan oleh salahsatu guruku bahwa, Ilmu tanpa agama
itu tidak ada apa-apanya. Otomatis aku belajar juga harus disertai dengan pengokoh yang
kuat. Pengokoh itu adalah ibadahku terhadap Allah Swt.
Di setiap hari yang aku lewati tidak lepas dari suatu kepercayaan. Sosok dari kepercayaanku
adalah Al-Quran yang senantiasa selalu membuat hatiku tenang ketika apa pun terjadi setelah
aku membacanya. Al-Quran yang membimbingku untuk selalu berada di jalan dengan
memenuhi anjuran yang di anjurkan oleh Allah. Keridhoan serta keikhlasan yang aku
tanamkan dalam hati untuk menuntut ilmu ini hanya karena aku ingin membebaskan orang
tuaku dari siksa api neraka.
Dalam sujudku, aku selalu berdoa, Ya allah....lindungilah orang tuaku, jagalah mereka di
mana pun mereka berada. Terangilah setiap jalan dan kehidupan yang mereka lakukan. Ya
allah... jadikanlah aku anak yang sholehah, anak yang berbakti kepada kedua orang tuaku.
Jangan kau bebankan aku untuk kehidupan mereka. Mereka telah mengasihiku selama aku di
buaian sampai aku dewasa seperti sekarang ini.
Terkadang, jika aku teringat akan keluargaku, aku selalu menangis. Hehehe.
Maklumlah, namanya juga baru pertama kali merasakan hidup di pesantren. Insyaallah,
dengan niatku, aku akan menuntut imu sebaik mungkin dan semampu yang aku bisa. Aku
telah berusaha dan usaha yang aku lakukan aku serahkan kembali kepada Allah Yang Maha
Pencipta.
Menuntut ilmu itu ternyata indah jika kita menggunakan dan melaksanakannya dengan
prosedur yang baik. Ilmu itu untuk diamalkan kawan, bukan untuk di sombongkan. Apalagi
sampai digunakan untuk hal-hal yang tidak berguna dan mencelakakan diri kita sendiri. Itu
merupakan sebuah kelaknatan. Allah memberi ilmu, namun, kita mempergunakannya untuk
hal negatif. Berarti, kita telah menyiapkan satu tempat di neraka. Tapi, berbeda lagi dengan
orang yang mengamalkan ilmu, berarti dia telah menyiapkan satu tempat di surga.
Ya Allah...kapan ya, aku bisa menjadi orang yang bener-bener taat pada agama. Sedangkan,
terkadang kalau aku lagi benci terhadap seseorang, aku suka menggunjing orang tersebut.
Masya Allah, aku belum bisa menjadi orang yang benar-benar diharapakan. Masih banyak
yang perlu aku perbaiki, termasuk perilaku yang aku lakukan.
Khemmm... nuansa indah dari pondok itu adalah kebersamaan. Walaupun terkadang banyak
percekcokan di antara kita, tetapi kawan tak bisa jadi lawan. Kapan ya? Aku bisa mempunyai
sesuatu yang benar-benar buat aku menjadi penghuni surganya Allah? Terus, apa bisa kalo
misalnya aku meminta hak aku terhadap orang tuaku? Boleh gak sih, aku meminta keadilan
terhadap Allah tentang kehidupan yang aku jalani?
Banyak sekali hal yang selalu aku pertanyakan. Namun, aku tidak pernah berani untuk
menyakan hal tersebut. Untuk berusaha ridho dan ikhlas saja,aku membutuhkan cara sendiri.
Aku orangnya tidak mudah menerima yang memang bertentangan dengan apa yang aku
rasakan. Terlebih lagi, apa yang ada di hadapan aku adalah sesuatu yang tak pernah aku
sukai.
Pondok pesantren Al-Multazam... be celean, be smart, Allahu Akbar. Pesantren ini benar-
benar beda dari yang lainnya dengan fasilitas yang lengkap. Namun, anak-anaknya yang
kurang lengkap. Kurang lengkap dalam ibadah. Sepertinya jarang sekali aku dapat melihat
kawan-kawanku masuk ke dalam mesjid. Tapi, ya... mau bagaimana lagi, diajak juga pasti
selalu, Duluan aja,nanti aku nyusul. Padahal nyusulnya itu kapan coba. Tapi, ya terserah
mereka juga sih, aku juga merasa kalau aku belum sepenuhnya menjadi orang yang
taat.terkadang,aku juga jika kemalasan sudah melanda,aku sulit banget yang namanya
mengikuti peraturan.
Always get your spirit for now. Walau kadang-kadang bolong,tapi yang penting niatnya saja
tidak bolong. Iya enggak? Dalam syair Talim Mutaalim yang aku pelajari bersama
guruku,Innamaa amalu binniat (sesungguhnya,ilmu itu tergantung pada niatnya).
Otomatis, jika niat kita baik, namun orang-orang tidak menerima kita, ya...jangan terlalu
dipikirkan. Karena belum tentu juga mereka lebih baik daripada kita.
Innallahha maasshoobiriin (sesungguhnya Allah beserta dengan orang-orang yang sabar.)
Orang sabar bukan berarti selalu menrima kekalahan. Tetapi, bersiap untuk menjadi seorang
pemenang dalam Akidah Islam. Aku sih, termasuk orang yang penyabar setelah aku
dimasukan ke pondok. Bukan riya ataupun sombong, tetapi memang itu kenyataannya kok.
Ingatlah, Ridho allah tergantung pada keridhoan orang tua, dan murka Allah tergantung pada
murkanya orang tua, Itu yang selalu aku ingat. Makanya, aku berusaha menjadi anak yang
taat, sholehah dan istiqomah dalam hal kebaikan.
Kebaikan itu gampang kok, asalkan di sertai dengan niat yang ikhlas karena Allah. Selama
kita masih hidup, selama kita masih di berikan kesempatan, mengapa tidak? Kebaikan itu,
pahala dan nilainya begitu sangat besar. Berbeda dengan kita hanya selalu berbuat keburukan.
Hidup juga tak akan tenang, senang, dan tenteram. Hidup itu hanya sekali. Jadi, dari sekarang
apa salahnya untuk kita merubah diri kita dengan mengayuh keridhoan Allah.
PERTIMBANGAN
Apalah artinya pendidikan jikalau semua telah tersedia. Presiden, Menteri, Gubernur,
Bupati, Camat, DPR, Guru, Dokter, ABRI, bahkan yang menuju bulanpun telah ada.
Terserah bagaimana tanggapanmu dan siapa saja yang mendengarkan ucapanku, lalu serta-
merta kau bersama pendengar lainnya memberikan sebuah penilaian tentang apa yang aku
ucapkan. Aku jauh berbeda denganmu, pikiranku taksejernih pikiranmu, kecerdasan
imajinasiku pastinya juga taksepertimu. Begitulah caraku memandang, agar tak menyusahkan
orang tua, membanting tulang. Tak perlu kupikirkan mereka semua natinya akan pensiun, dan
segera diganti dengan generasi baru. Tak perlu aku berangan-angan terlalu jauh, yang
nantinya akan menghantarkanku pada kegilaan. Pada dasarnya ayahku juga mengatakan,
kalaupun mereka pensiun, bukan akulah orang yang akan menjadi pengganti mereka.
Sebab aku bukan putra seorang pengusaha dan pejabat negara. Aku hanya putra seorang
nelaya, dan bukan nelayan sukses. Aku hanya putra nelayan yang memiliki ekonomi keluarga
yang serba bersyukur. Begitulah Wira menghadang ajakan Irwan untuk yang kedua kalinya,
agar ia melanjutkan pendidikannya diperguruan tinggi.
Pertimbangan
Irwan terpukau meninggalkan sahabatnya yang begitu luar biasa cerdas, bijaksana, mandiri,
yang pasti dimatanya Wira tampak begitu sempurna. Meski tak ada manusia yang
sempurna. Mungkin ketidaksempurnaan Wira hanya pada nasibnya, yang menghidupi
keluarganya dengan menjadi nelayan bersama ayahnya.
Kapal ini semakin mempercepat lajunya, aingin laut seakan mengajak kapal ini berdansa
bersama ombak-ombak yang mulai memperbanyak keturunannya, derik tubuh kapal
terdengar semakin keras seperti akan pecah, hingga kecoak-kecoak keluar dari sarangnya.
Semua tak dihiraukan Irwan, sebab ia tengah terlena dan terpukau. Walaupun sahabatnya tak
lagi berkata-kata dihadapannya, tetap saja kata-kata sebelumnya menghantuinya.
Mengapa harus aku? Mengapa harus mereka? Pertanyaan-pertanyaan yang selalu
bergelut diotak kecil Irwan. Sementara aku takpernah memanfaatkan semua kesempatan yang
ada, sebagaimana ini merupakan tanggungjawab, begitu juga mereka, yang tampak sebagian
besar sama sepertiku. Adapun di tempatku mahasiswa yang menggali ilmu seperti Wira,
mungkin mereka yang beruntung atau mereka yang telah dibantu untuk mencapai cita-
citanya.
Tetapi semua dapat dihitung dengan jari. Bahkan jika ada alat penghitung yang lebih sedikit
dari jumlah jari tangan serta jari kaki, pastinya juga bisa menghitung para Wira yang ada di
kampusku. Sunggu semua menjadi pertanyaan yang membumerang pikiran Irwan.
Angin laut mulai mengubah arahnya, sepertinya kapal dan ombak akan semakin bergairah
untuk berdansa. Sebab dari arah timur tampak begitu gelap, badai akan segera merambas
lautan, seluruh penumpang kapal yang duduk disebelah Irwan berhamburan masuk kebadan
kapal, Irwan masih duduk, tak menghiraukan mereka yang berhamburan ke dalam. Beberapa
menit bagian belakang kapal tempat Irwan duduk merenung telah sepi.
Sekarang ia tinggal sendiri, tapi semua tak ia sadari, hingga gemuruh mulai mendegam, hujan
mulai lebat, tempias semakin membasahi punggung kapal tempat Irwan duduk, yang
membuat Irwan tersentak dari keterpukauannya yang telah menjadi lamunan baginya. Irawan
menoleh ke kanan, kiri, belakangnya tak ada lagi orang yang duduk, bahkan para turis yang
sebelumnya asik berbincang-bincang dengan sesamanya juga telah masuk ke badan kapal.
Ia mulai beranjak, menuju ke badan kapal menjaga agar tubuh, tas, serta bekal-bekalnya tidak
dibasahi hujan. Badan kapal terlihat padat, ia terus menerawang di mana akan merebahkan
tubuh. Walau matanya belum mengantuk, namun tubuhnya terasa begitu letih menyandangi
tas dan sebuah kardus mie instan yang berisikan bekal. Langkahnya terus melaju dengan
bersandarkan sebelah tangannya ke dinding kapal, untuk mencari tempat istirahat. Tiap kali
melangkah matanya terus menoleh ke lantai memperhatikan penumpang yang tengah tertidur
lelap, agar tak terinjak olehnya.
Berjalan di kapal yang tengah dilanda badai, tetunya sangat menguras tenaga Irawan. Namun
ia tak juga temukan tempat beristirahat, kalaupun ada, hanyalah dijenjang kapal, dan itupun
bukanlah tempat yang nyaman, apalagi suasana lautan yang tengah diterjang badai. Tetapi
begitulah adanya, memang itu pilihan terbaik, dari pada ia terus berdiri, menanti perjanan
kapal yang masih memakan waktu selama tujuh jam.
Dijenjang kapal yang begitu kecil, kira-kira satu meter lebarnya, Irwan duduk bersandar.
Memetik sebatang rokok, dengan perasaan yang tengah gelisah, karena apa yang dikatakan
Wira sahabnya masih saja menghantui pikirannya, sebegitu hebatnya pengaruh ucapan
sahabatku, hingga membuatku gelisah, begitulah pikirannya, yang terus berputar sekilas
ucapan Wira.
Namun ia kembali berfikir, bukan hanya ucapan Wira saja yang mungkin membuat hati ini
dilanda kegelisahan. Tempat ia duduk bersandar, suasana lautan yang tidak bersahabat,
kecoak yang berkeliaran dijenjang kapal, sepertinya juga menjadi permasalahan
kegelisahannya tubuh dan fikirannya, sungguh malang tubuh serta fikiranku kali ini. Begitu
hasil perubahan pikirannya, yang sebelumnya memikirkan penderitaan sahabatnya, berubah
setelah ia merasakan sebuah penderitan yang ia rasakan di kapal.
Karena tubuh yang begitu letih, pikiran yang tengah gundah-gulana, merasakan penderitaan
yang begitu berat baginya duduk dijenjang kapal, Irwanpun merasa terkantuk-kantuk, dan
melipat buku catatan kecilnya yang ia isi selama duduk di jenjang kapal. Lautan mulai
tenang, hari tampaknya telah memasuki waktu subuh, para penumpang tampak terjaga. Irwan
harus segera berpindah, sebab keberadaannya dijenjang akan menggangu para penumpang
berlalu-lalang.
Ia kembali duduk di bangku panjang, di punggung kapal tempat ia duduk sebelumnya, dan di
bangku itulah ia merebahkan tubuhnya. Mungkin karena matahari mulai terbit matanya
kembali nyalang dan kantuknyapun hilang. Hingga ia mencoba untuk kembali duduk dan
menoleh kerah lautan lepas yang tak lagi menampakkan pulau tempat ia tinggal.
Kenapa kamu tidak tidur semalaman? Tiba-tiba seorang wanita manis, laksana bidadari
yang dihantarkan oleh cerahnya mentari pagi, mendekatinya, dan bertanya padanya.
Irwan berfikir apa ini yang dikatakan bidadari, namun kenapa ia singgah dipagi hari, atau
justru ini yang dikatakan ratu dari laut selatan yang singgah ditengah badai semalam. Karena
sosok perempuan itu teramat cantik di mata Irwan, membuatnya hilang akan perasaan gelisah
yang ia hadapi semalaman.
Ka, mu siapa? Kok, kamu tahu? Walau Irwan bergairah kembali, tidak lagi gudah-
gulana, namun Irwan tetap saja gugup.
Saya Maya. Semua orang memang tampak rebah semalaman, bukan berarti tertidur, saya
semalaman memperhatikan kamu yang begitu gelisah di jenjang kapal, dan sepertinya kamu
memiliki banyak beban.
Oh, iya, nama kamu siapa? Perempuan yang bernama maya itu kembali bertanya.
Irwan. Dengan cepat Irwan menjawab. Yang pastinya lebih tenang dan tak lagi gugup.
Rupanya masih ada yang memperhatikanku, ternyata tidak semua yang tidak peduli terhadap
penderitaanku semalam. Lebih spesialnya lagi, yang memperhatikanku yaitu wanita cantik.
Begitulah kata-kata yang terukir dalam benaknya, yang membuat hatinya berbunga-bunga.
Hingga kapal berlabuh, perbincangan Irwan dengan Maya wanita yang baru ia kenal masih
saja berlangsung, dengan canda, dan tawa. Mereka bagaikan sepasang kekasih yang tengah
melepas rindu, yang sekian lama terpendam dalam ruang dan waktu.
Tampaknya sudah lebih dari setengah penumpang kapal yang turun ke pelabuhan. Namun
cerita mereka tak juga usai, sepertinya akan lama jika diteruskan, merekapun mulai beranjak
keluar dari kapal, dan setiap langkah yang mereka jalani masih saja berhiaskan cerita dan
canda. Hingga perbincangan merekapun terbawa diperjalanan sebuah teksi yang melaju
mulus meninggalkan kapal berisikan kardus mie instan dan buku catatan kecil.***
SERAGAM LUSUH
Karya Uum Umayah
Semua orang, tua-muda, tahu dengan panggilan si Didin, dekil dan item. Tapi aku tak
mempermasalahkan hal itu, karena pada kenyataannya aku adalah anak kampung yang dekil
dan item. Siti Kakaku satu-satunya, yang sekarang duduk dibangku sekolah dasar kelas 6 SD.
Kami tinggal di daerah terpencil dalam pedesaan. dan kami terlahir tidak jauh berbeda
sehingga kami dilahirkan dengan jarak yang sangat dekat, sekarang aku kelas 5 SD.
Hanya saja, setiap kali berangkat sekolah di tahun ini tidak sama. Terkadang aku berangkat
sekolah pada pagi hari, terkadang pula siang hari. Begitu pun Kakaku Siti. Sekolahku yang
membuat kami jadi bergonta-ganti jadwal masuk, karena sekolahku sedang mengalami
renovasi akibat badai topan dimalam hari. Namun akan ku ukir semua perjalanan ini menjadi
perjuanganku dimasa mudaku.
Ayo..bangun sit, ini sudah siang. Mau berangkat jam berapa kamu? Ujar Ibu sambil
membereskan baju yang akan dikenakan Kak Siti.
Sementara aku, sedang mengupas Kelapa, untuk membuat serabi yang akan Ibu jual. Din,
jangan lupa juga parutkan Kelapanya ya!. Iya.. Bu. Jawab Didin.
Seragam Lusuh
Waktu menandakan pukul dua belas. Kak siti belum juga pulang. Masalah besar untukku.
Setiap ingin berangkat sekolah, kami selalu tukar baju di warung mang Sayuti. Seragam
lusuh satu-satunya yang kami punya. Dan kami tak mau ketinggalan untuk sekolah.
Aku, berlari tergesa-gesa sambil menenteng sepatu. Aduhh,, Kak Siti di mana nih?. Ujar
Didin dalam hati sambil menatap arah jalan yang biasa dilewati Kak Siti.
Tiba-tiba Siti datang dengan baju yang basah dan kotor dari arah yang biasa ia lewati.
Kakak...??
Didin.. maaf, Kakak telat. Ujar Siti sambil melepaskan bajunya.
Kok Kakak lama sekali pulangnya?
Ya.. Kakak minta maaf, Kakak tadi ada jam tambahan. Din, hari ini, kamu tidak usah
sekolah ya?
Kenapa Kak? Tanya Didin, sambil menunjukan muka yang amat kebingungan.
Soalnya.. bajunya kena air kotor tadi. jawab Siti. Tadi teman Kakak ada yang jail,
akhirnya kena baju ini. Siti menjelaskan kembali.
Baju yang biasa dipakai Didin dan Siti hanya satu-satunya yang kami punya. Kami tak mau
menyusahkan ibu dengan penuh beban. Makanya kami selalu bergantian mengenakan
seragam lusuh ini.
Tidak!, aku mau tetap sekolah Kak. Jawab Didin tegas sambil menunjukan mukanya yang
sedikit sedih.
Tapi, baju ini kotor Din. Nanti kamu dimarahin sama Bu Musri.! sudah, lebih baik kita
pulang kerumah, biar Kakak cuci baju ini!. Cecar Siti.
Gak mau Kak, didin mau sekolah!. Nanti Didin dimarahin Bu Mus Kak, Didin sudah
sering tidak masuk. Didin tetap ngeyel untuk masuk sekolah.
Mmm..ya sudah, kamu pakai baju ini. Sekarang kamu pergi sekolah, cepat nanti kamu
terlambat lagi. Hati-hati yaa..?
Iya, Kak. Didin senang karena ia bisa sekolah, meski bajunya sangat kotor. Setiba
disekolah, Didin hatinya ternganga karena berlari-lari yang mengejar waktu. Dengan bajunya
yang kotor, lusuh, dan sedikit basah karena air kotor tadi. Didin tetap masuk menuju ruang
kelasnya. Didin tak mau telat masuk sekolah, karena setiap ia telat maka Bu Mus tidak akan
mengizinkan masuk. Sudah sering ia terlambat karena menunggu Kak Siti yang belum juga
pulang. Karena baju seragam yang dipakai Kak Siti juga dipakai Didin untuk sekolah.
Malang memang nasib kami, jangankan untuk membeli baju seragam yang baru. Untuk
makan sehari-hari pun kami harus kekurangan. Ibu yang menjadi seorang penjual serabi, tak
setiap hari ia berjualan karena harus kehabisan modal untuk membeli kebutuhan yang lain.
Belum lagi para tetangga yang mengutang serabi Ibu. Ibu tak kuasa menolak, karena Ibu
sangat kasihan melihat tetangganya yang harus kelaparan karena tidak punya uang untuk
membeli makanan.
Didin.. kenapa kamu telat lagi? Dan kenapa baju kamu kotor seperti itu? tanya Bu Mus.
Mm.. maa.. maaf Bu, tadi Didin jatuh dan kepleset di jalan sana. Jawab Didin, dengan
wajah yang amat ketakutan.
Aku sengaja berbohong, karena aku tak mau orang lain tahu dengan baju yang selama ini aku
pakai. Biarkan ini menjadi rahasia aku dan Kak Siti. Aku juga sengaja berbohong pada Bu
Mus. Agar Bu Mus mau percaya padaku dan tidak lagi mengeluarkan aku dari ruang kelas,
karena ulahku yang hampir setiap hari membuat Bu Mus kesal melihatnya. Perjuangan kami
untuk terus sekolah begitu semangat. Hingga aku ingin melanjutkan di perguruan tinggi
setelah aku tamat sekolah.
Sekolah SMP dan SMA sudah kulewati, hanya Kak Siti yang tamat hingga SMP saja. Kami
sebenarnya mendapatkan beasiswa akan tetapi Kak Siti memilih untuk mengurus Ibu dirumah
karena umur Ibu sudah tidak muda lagi.
Bu aku ingin masuk ke perguruan tinggi!. Ujar Didin.
Memangnya kamu dapat uang dari mana Din?. Biaya kuliah itu mahal lho Din.. kamu
mampu membayarnya? Tiba-tiba Siti mencela.
Iya nak.. Ibu sudah tidak mungkin untuk membiayai kalian sekolah. Ibu tak punya apa-apa
lagi nak. Jawab Ibu.
Tapi Bu, Didin ingin tetap kuliah, karena Didin mau meneruskan cita-cita Didin bu!. Tegas
Didin kembali.
Ya sudah.. kamu boleh saja kuliah. Dan kejar cita-citamu itu. tapi ingat.!! jangan kamu
menyusahkan Ibu!. Siti ketus menjelaskan.
Kakak dan Ibu tenang saja, Didin tidak akan menyusahkan kalian. Bu, Didin mohon maaf
kalau selama ini, Didin terlalu banyak menyusahkan Ibu. Dan sekarang Didin akan pergi
dari rumah ini. Aku akan pergi ke Serang untuk kuliah di Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa Bu. Aku mendapatkan Beasiswa di sana
Memangnya kamu siap pergi kesana? tanya Siti kembali
Insya Allah Kak.. aku siap untuk kuliah di sana!. Ujar Didin dengan tegas dan penuh
keyakinan.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba untuk Didin pergi ke Serang, barang-barang dan baju
yang ia butuhkan sudah dikemas rapi di dalam kopor. Setelah shalat subuh Didin berangkat
ke stasiun menunggu kereta api. Namun sebelum itu, Didin menemui kak Siti dan Ibunya
untuk pamitan.
Ibu, Kak Siti, Didin sekarang mau pergi ke Serang. Aku mohon Bu. Izinkan Didin
untuk melangkahkan kaki ini, untuk mengejar apa yang Didin cita-citakan. Didin meminta
izin kepada Ibu dan kakaknya sambil meneteskan air matanya yang membanjiri kedua
pipinya.
Baiklah anakku.. Ibu izinkan kamu pergi ke sana. Kejarlah cita-citamu nak. Semoga
engkau menjadi penerus bangsa yang jujur dan bijaksana.
Terimakasih Ibu.. Didin akan selalu ingat dengan kata-kata Ibu. Didin hanya minta satu
hal sama Ibu, Doakan Didin Bu. Agar aku bisa mewujudkan cita-citaku, untuk menjadi
orang yang bisa menolong rakyat kita dari kemiskinan ini.
Didin senang karena tak disangka ia telah mendapat restu dari Ibunya. Didin selalu
menghormati keputusan yang diucapkan sang Ibu. Didin selalu menganggap Ibu adalah
berlian permata yang dimiliki sepanjang hidupnya.
MIMPI YANG TERBUNUH
Karya Denis Supiantias
Yah..basah
Kenapa Mir ?
Ini bu, sepatu yang Mira jemur kemarin lupa diangkat
Trus gimana ? kamu sekolah ?
Hari ini Mira ngak sekolah bu
Ya sudah, nanti kamu ikut ibu ke kebun saja ya
Iya ibu
Hujan tadi malam mengurungkan niatku untuk pergi ke sekolah. Aku binggung, apakah aku
harus senang atau tidak. Di sekolah hari ini ada mata pelajaran pak Yudi beliau guru yang
paling lucu di sekolah dan disukai siswa. Namun hari ini juga ada pelajaran ibu Aminah
beliau adalah guru yang paling kejam dan galak diantara guru guru yang ada di sekolah.
Kekejaman dan kegalakannya melebihi sang raja hutan karena banyak siswa yang takut
ketika beliau sudah mengajar. Bahkan terkadang sampai ada siswa yang terkencing kencing
karena takut dengan ibu aminah yang galak. Tapi di sisi lain aku harus ikut ibu ke kebun
untuk mencari sayur dan dijual besok ke Malaysia. Beginilah cara hidup di perbatasan harus
bisa memanfaatkan keadaan.
Sudah siap
Iya bu
Ayo!!
Aku hanya menganguk pasrah karena harus membantu ibu hari ini. Ini semua kulakukan
untuk membantu ibu memenuhi kehidupan keluarga. Semenjak kematian ayah dua tahun lalu,
ibu harus berjuang sendiri untuk memenuhi kehidupan keluarga kami. Sementara bang Dika
entah kemana. Setelah ia pergi ke Malaysia dan bekerja di sana ia tidak pernah memberi
kabar kepada kami. Tetapi yang lebih memilukan adalah, mungkin bang Dika tidak tahu
kalau ayah sudah tiada. Ibu adalah satu satunya harapanku sekarang. Hanya ibu yang ada.
Terkadang aku merasa sangat bersalah dan aku merasa sedih melihat ibu hanya menjadi
seorang kuli petani dan penjual sayur. Tapi aku tidak bisa berbuat apa apa. Aku hanya
seorang siswa SD yang masih berumur 12 tahun dan tidak mempunyai keahlian di bidang
apapun. Tapi aku tetap berusaha untuk membantu ibu, walaupun itu hanya mencari sayur.
Besok hari minggu dan itu adalah hari yang tepat untuk berjualan ke Malaysia karena pada
hari tersebut pasar Kuari pasti ramai pengunjung. Dan besok aku harus bangun pagi pagi
sekali karena aku harus mempersiapkan sayur sayur yang akan di bawa ke Malaysia. Kami
sering menjual hasil kebun kami ke Malaysia dan kami dibayar dengan menggunakan uang
ringgit Malaysia. Kami biasanya menjual sayur dengan menapok harga 2 Ringgit perikat.
Namun terkadang jika yang kami jual berupa sayur buah maka kami menjualnya dengan
harga 2-3 ringgit perkilo. Perjalanan menuju Malaysia tidak begitu jauh sekitar dua jam saja.
Itupun ditempuh dengan berjalan kaki ditambah lagi dengan beban sayur yang mencapai
berat berkisar antara 15 20 kilo atau lebih. Tapi itu tidak menjadi masalah buat ibu. Yang
penting dia bisa mendapatkan uang dengan cara yang halal.
Mirbangun. Siapkan sayur yang kamu bawa
E
kamu ikut ibu jualan tidak hari ini
Ikut bu
Ya sudah siap siap sebentar lagi berangkat
Aku masih sangat merasa mengantuk. Kulihat jam di sudut dinding menunjukkan pukul 5
pagi. Berarti pukul 7 pagi ini kami sudah sampai di Malaysia. Mungkin aku anak yang
kurang beruntung yang hidup di perbatasan. Tapi itu bukan merupakan masalah bagiku yang
penting aku harus berjuang untuk tetap hidup dan membantu ibuku tercinta. Aku dan ibupun
segera berangkat menuju Malaysia kami tidak sendirian karena banyak orang hari ini yang
pergi ke Malaysia dengan tujuan yang berbeda beda. Kamipun akhirnya tiba di Malaysia
dan ibu langsung mengajakku pergi ke pasar Tamuk dan kami langsung menawarkan sayur
sayur yang kami pikul dari rumah tadi. Tapi sungguh ironis kami masuk ke Malaysia tidak
menggunakan paspor alias illegal. Mau bagaimana lagi ? uang saja terkadang tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan hidup bagaimana bisa membuat paspor?. Mau menjual sayur ke
kecamatan tidak mungkin karena terlalu jauh di tambah lagi dengan keadaan jalan yang tidak
terawat. Maklum daerah perbatasan seperti desa kami kurang mendapat perhatian dari
pemerintah. Sayurpun sudah habis terjual dan hari ini aku dan ibu mendapatkan uang yang
lumayan untuk orang seukuran ekonomi rendah seperti kami.
Kamu mau beli apa Mir ?
Ngak ada bu, ibu saja yang belanja
Ya sudah ibu belanja ke toko itu dulu ya. Kamu tunggu di sini jangan ke mana mana
Aku hanya menganguk saja. Biasanya setelah berjualan ibu mengajakku pergi kepasar Kuari
tempat kami sering berbelanja. Sebenarnya aku ingin membeli sepatu baru karena sepatuku
sudah sangat lama dan kalau sepatuku basah tidak ada sepatu cadangan. Tapi keinginanku itu
kubiarkan saja. Biarlah, toh sepatu lamaku masih bisa dipakai dan juga aku harus bisa
memikirkan kebutuhan yang harus ibu penuhi.
Ayo Mir, kita pulang ibu sudah selesai belanjanya
Iya bu
Ini.tadi ibu belikan kamu sepatu
Senang !!! sepertinya Tuhan mendengar doaku barusan. Aku memeluk ibu erat erat dan
sesekali kutatap wajahnya dan tak lupa ku berterima kasih padanya. Ku lihat mata ibu
berkaca kaca dan tak lama kemudian tangisnyapun keluar aku mengerti perasaan ibu karena
selama ini ibu tahu bahwa aku selalu ingin membeli sepatu dan baru sekarang ibu bisa
membelikannya untukku. Setelah selesai belanja kamipun segera pulang. Barang barang
belanjaan kami, kami bawa dengan menggunakan ligit atau sengkalang yang tadi kami
gunakan untuk membawa sayur. Jalan Malaysia menuju kampuku masih menggunakan jalan
tikus. Jadi tidak merasa panas dalam perjalanan malah terasa sangat sejuk karena masih
banyak pohon pohon yang rindang dan besar. tiba di rumah aku langsung merebahkan
tubuhku di lantai. Kutatap foto ayah yang ada di dinding aku begitu sedih. Mengapa ayah
begitu cepat pergi? Kalau saja ayah masih hidup, aku dan ibu tidak mungkin seperti ini.
Mira.kamu sudah mandi ?
Belum bu, Mira keletihan jalan seharian
Ya sudah ibu mandi dulu ya, nanti kamu nyusul
Iya bu
Tak ada ledeng, tak ada bak mandi kalau mau mandi tujuan kami hanya sungai. Kalau sudah
senja begini pasti sungainya ramai. Akupun segera menyusul ibu mandi ke sungai dan
membawa sedikit cucian alakadarnya. Seusai mandi kamipun kembali ke rumah. Ibu
langsung ke dapur dengan menggunakan kembannya dan aku langsung pergi ke kamar untuk
berbenah diri dan mengganti bajuku yang basah. Sambil mengganti baju aku sesekali melihat
ke cermin di kamarku melihat mukaku yang tidak begitu cantik. Sambil melihat wajahku di
cermin aku berbicara sendir, menghayal dan merenung. Sambil menghayal aku melihat poster
Ibu Megawati yang bapak belikan untukku ketika beliau masih hidup. Maklum sewaktu kecil
jika di tanya aku ingin jadi apa aku dengan cepat menjawab Presiden. Sampai sekarangpun
aku ingin menjadi presiden. Aku ingin memimpin Negara ini dan aku ingin membangun
Negara ini dengan adil terutama dalam pemerataan pembangunan dan aku akan
mensejahterakan rakyat Indonesia. Pernah sekali aku menyatakan keinginanku kepada ibu.
Tetapi ibu hanya tertunduk lesu dan sedih. Bagaimana tidak? Jangankan untuk menjadikanku
sebagai presiden. Menamatkanku sampai lulus SD entah entah ibu mampu. Mimpiku hilang
seketika aku sadar dengan keadaan ekonomi keluargaku dan aku haru tahu diri bahwa orang
seperti diriku tidak mungkin bisa menjadi presiden. Aku tidak menyangka keinginanku tidak
bisa kucapai hanya karena keadaan ekonomi. Mengapa dunia ini tidak adil? Mengapa hanya
mereka yang mempunyai cukup uang yang bisa menjadi orang berguna? Sementara aku tidak
bisa. Aku menghela nafas panjang dan aku harus yakin bahwa kehidupan ini sudah ditentukan
Oleh Tuhan dan aku harus tetap bersyukur dengan apa yang telah ada sekarang. Lamunanku
berhenti ketika ibu memanggilku untuk makan malam. Kulihat ibu sudah menunggu di dapur
dengan senyumnya yang khas dan keningnya yang sudah mulai keriput. Kamipun mulai
menyantap makanan yang telah di sediakan ibu. Aku hanya bisa merenung dan selalu ingat
dengan apa yang sering diucapkan oleh ayah hidup adalah sebuah anugrah kata kata itu
mempunyai makna yang dalam bagiku. Ibu menyentuh bahuku yang dari tadi sedang asik
melamun dan dia tertawa geli melihat aku yang terkejut. Akupun membalas senyuman ibu
dan melanjutkan makan malam kami.
CUKUP SATU SAJA
Karya Kamal Ridho Al Khudry
Kerang putih ini kugenggam lebih erat. Dingin yang dihasilkan ombak senja kali ini berhasil
dikalahkan oleh kehangatan kerang yang aku genggam. Dengan mesra, pasir kuning khas
pantai yang disapu ombak membisikkan sebuah mantera keajaiban yang mampu membuat
hatiku merinding. Celanaku nyaris basah secara sempurna karena dicium buih pantai yang
kian pasang. Untungnya, bajuku hanya tertetesi percikan muntah laut secara menyebar yang
berguna untuk mengurangi aura kedinginan yang kian mencekam.
Mataku terpejam, seakan menolak cahaya senja yang kian merunduk tunduk kepada titah
Sang Pengawal kehidupan. Kacamataku berembun, rambut basahku yang mulai mengering
terlukai lagi oleh semprotan alami dan kemesraan air laut. Pikiranku melayang tak menentu,
mencari sesuatu yang bisa membuatku tenang dan bahagia tanpa harus memedulikan sekitar.
Ingatanku jatuh ke satu titik pencerahan yang membuat hidupku lebih bermakna.
Aku tak memakai tas, sebagaimana orang lain yang mengenakan tas mahal dan bermerk
hingga memamerkannya kepada teman sebangkunya atau teman sepermainan lainnya. Tas
bututku hanyalah sekantung plastik merah jumbo yang berjasa telah menampung satu buku
dan pinsilku, lengkap dengan karet gelang sebagai penghapusnya. Sebagai alas untuk
menutupi sobekan plastik yang kian membesar, koran-koran yang hendak aku jual sedikit
membantu agar perlengkapan belajar istimewaku tidak jatuh.
Jijik melihat keadaan fisik dan pakaian yang aku kenakan, tak ada satu orang pun teman
sekelasku yang mau berabung dan menyapa diriku. Bahkan, setelah enam tahun aku bertahan
untuk sekolah di sini pun, tak ada seorang guru yang mau bicara dan mengasihaniku. Aku
memang tidak ingin dikasihani. Menurutku, orang yang dikasihani ialah orang yang malas
dan tidak ada gunanya lagi di dunia ini. hanya saja, pikirku, tak ada seorang manusia pun
yang mau berempati melihat keadaanku. Tetapi, walau demikian aku masih patut bersyukur
karena berkat nilai yang aku raih nyaris selalu sempurna, aku tetap bertahan dan bisa belajar
layaknya anak-anak sempurna lainnya.
Aku, orang yang tidak terkenal, namun semua orang mengenalku dengan kekumalan dan
ketidakrapian diriku yang selalu merasa tidak betah jika harus berlama-lama berada di
sekolah. Bukan hanya karena lingkungan sekitar yang selalu mengolok-olok diriku dengan
cacian dan umpatan pedas, tetapi lebih karena pikiranku tidak tenang tentang nasib koran-
koranku kelak jika tidak segera diedarkan di pasar demi mendapatkan satu dua orang
manusia baik yang mau membeli koran busukku.
Sering aku merenung, namun tetap tidak mengeluarkan keluhanku kepada Tuhan. Kupikir,
walau bagaimana pun Tuhan tetap sayang kepadaku dengan memberikan kehidupan walau
hanya sebatas seorang yatim piatu. Aku sendiri tidak mengenal kedua orang tuaku. Tak ada
yang tahu orang tuaku. Menurut tetangga komplek ku, aku ditemukan dalam keadaan
menangis dan tergeletak begitu saja di tengah-tengah kerumunan perumahan megah
tetanggaku. Tak ada yang tahu identitasku. Bahkan, tak ada yang sudi mengambilku sebagai
seorang anak. Mereka hanya membiarkanku tertidur di tempat aku ditemukan dengan hanya
memberikan pelayanan istimewa yang cukup mengganjal perutku, hingga kini. Mungkin itu
sebabnya aku dinamakan Baladungsai.
Dungsai! begitu sapaan mesraku yang pertama kali diikrarkan guru kesenian suatu ketika,
Apa cita-citamu kelak? lanjutnya. Sontak aku berdiri dengan pikiran yang masih dalam
keadaan bingung.
Dokter, Bu! jawabku mantap. Seketika seisi ruangan ramai oleh tertawaan kawan-kawan
sekelas. Mereka mengumpat dan meledekku. Entah berapa banyak umpatan dan ledekkan
mereka yang aku dengar. Yang jelas, telingaku hampir robek mendengar semua hinaan yang
ditujukan khusus kepadaku, si Anak Koran.
Hai Dungsai, kamu tidak pantas menjadi seorang dokter. Lebih bijak kau pilih jalan pintas,
menjadi pengusaha koran atau bunuh diri! Ahahaha sahut Gerhana, sang ketua kelas yang
langsung disusul teriakkan dan komentar dari teman-teman lainnya. Guruku hanya tersenyum
menutupi bibir tebalnya.
Kala itu, jika aku bisa ingin rasanya aku menangis sejadi-jadinya. Mengapa aku dilahirkan
tanpa Bapak dan Ibu? Mengapa aku dilahirkan di tengah-tengah komplek mewah dengan
bangunan rumah dari Koran mentah? Ribuan pertanyaan lainnya terus aku lontarkan kepada
pikiran kalutku. Namun, seketika teriakkan dan umpatan kawan-kawan sekelasku hilang bak
disapu ombak saat seorang siswi melemparkan bukunya ke papan tulis dan berteriak,
Diam!
Mata guruku melotot di balik kacamata bundarnya. Hidung peseknya dimekarkan seakan
menahan marah. Alisnya di angkat dan bibir tebalnya manyun. Wajah hitamnya memerah dan
sontak ia berdiri dan memukul meja sekeras ia mampu.
Nomilae, apa yang kamu lakukan? suaranya menggema memenuhi seisi kelas. Kawan-
kawanku menunduk, tak sanggup melihat wajah guruku yang nyaris sama seperti ibu tiri
Bawang Putih.
Seharusnya saya yang bertanya, apa yang kawan-kawan lakukan? Mengapa mereka
mentertawakan cita-cita sahabat kita? Tak ada salahnya, kan, bila Dungsai mempunyai cita-
cita tinggi seperti kita? entah Nomilae mendapat kekuatan dari mana untuk mengatakan hal
seperti itu.
Kita memang berhak mempunyai cita-cita tinggi. Tetapi, harus sesuai dengan kondisi sosial
kita! sergah guruku membantah argumen Nomilae.
Tapi
Cukup Nomilae! guruku marah besar. Tak mau urusannya menjadi panjang, ia menyeretku
untuk keluar meninggalkan kelas. Tanpa ampun!
Hey Nomilae, tunggu! Aku masih ingin belajar, aku mencoba menahan langkahku dari
seretan Nomilae.
Untuk apa kamu belajar jika lingkungan sekitar tidak mendukungmu? Bukankah selama ini
kau telah belajar banyak hal tanpa guru? Nomilae terus berjalan tanpa melirik ke arahku.
Tidak. Aku sama sekali tidak belajar selain di sekolah, Sanggahku.
Lalu, mengapa kamu pintar? Mengapa cita-citamu ingin menjadi seorang dokter?
Aku hanya sering membaca koran sebelum akhirnya aku jual
Nah, itulah yang membuatmu bisa belajar tanpa seorang guru
Tidak, guruku mengajarkan aku membaca
Lalu, apakah guru yang mengajarkanmu makan? Apakah guru yang mengajarkanmu untuk
terus hidup? Apa kamu hidup atas bantuan guru?
Tidak, aku dibantu oleh Tuhan
Itu dia, guru itu tidak ada bagimu. Kau orang yang sangat luar biasa yang mampu
berinteraksi langsung dengan Tuhan. Jadi, kau tidak membutuhkan sekolah ini. pergilah,
merantaulah, carilah orang yang mampu membawamu mengenal lebih dekat akan
penyelamatmu. Kau akan mendapatkan apa yang kau cita-citakan jika kau pergi dari sini,
kata-kata terakhirnya membingungkanku.
Matahari sudah hampir tenggelam seutuhnya, langit merekah berwarna merah yang tersebar
di lautan angkasa yang luas. Hanya sebentar aku melirik keadaan sekitar. Kacamataku yang
berembun sudah mulai mengering, aku kembali terpejam dan meneruskan perjalanan hidupku
demi mengetahui jati diriku yang sesungguhnya.
Perutku mulai terasa lapar, sudah seharian penuh aku merantau. Masih tetap memakai celana
merah yang kecokelatan. Hanya saja, bajuku kini telah berganti menjadi kaos pemberian
calon anggota dewan yang pasarkan secara gratis ke setiap penduduk desa. Termasuk aku.
Mungkin, kaos tipis yang kebesaran inilah yang merupakan kaos istimewa dan paling
berharga bagiku setelah kemeja putih kebanggaanku. Bukan karena bagusnya baju itu,
melainkan karena memang hanya dua baju itulah yang aku punya.
Perutku sudah tidak bisa diajak untuk negosiasi lagi. Aku sudah sangat nelangsa membawa
perut butut yang terus merintih meminta sumbangan amal kebaikan. Tetapi sungguh, tak ada
satupun barang yang bisa aku makan. Bahkan, di bak-bak tempat sampah pun sudah tidak
tersedia lagi makanan enak yang siap aku santap demi menebus amal kebaikan untuk perut
bututku.
Seiring memuncaknya kemarahan perutku yang sudah tidak dapat menahan lapar, pikiran
jahat rupanya mampu merasukiku dan menundukkan akal sehatku. Terbersit dipikiranku
untuk menyopet makanan seorang perempuan tua yang baru saja keluar dari sebuah
minimarket. Tanpa berpikir panjang, kegilaanku menjadi karena memang perutku terus
memberontak dan memaksaku untuk melakukan hal gila itu.
Aku berlari dengan kecepatan tinggi menuju perempuan itu dan sengaja menabraknya. Selagi
perempuan tua itu menggertu, kurampas plastik yang ia pegang dan kembali bangkit lalu
berlari pergi meninggalkannya yang masih berusaha untuk berdiri. Menyadari barangnya ada
yang hilang, tahulah ia bahwa aku yang mengambilnya. Segera saja ia berteriak sambil
berlari mencoba mengejarku, Maliiiiing! teriaknya.
Sontak orang-orang yang dilewatinya kaget mendengar teriakan itu. Seakan dikomando,
mereka berlari mengejar dan mencoba mengepungku. Aku ketakutan dan berusaha berlari
sekencang yang aku bisa. Dalam hati aku berdoa kepada Tuhan supaya Dia
menyelamatkanku. Sialnya, aku berlari ke arah perumahan penduduk. Semakin banyaklah
orang yang mengejarku hingga membuatku semakin ketakutan. Aku terus berlari, namun
kejaran orang-orang dewasa itu mampu mengalahkanku hingga aku tertangkap. Tanpa ampun
aku dikeroyok habis-habisan. Bajuku koyak, wajahku memar hingga diriku tak sadarkan diri.
Kubuka mata dan melihat ke sekeliling, gelap. Dinginnya udara pantai merasuki diriku. Kali
ini, genggamanku kepada kerang putih ini tak dapat menghilangkan keganasan malam dan
dinginnya yang hampir memuncak. Namun, aku tak menyerah dan tetap duduk pada posisi
semula. Kini, semua pakaianku basah secara sempurna. Rambutku seakan enggan kering dan
basah oleh percikan ombak yang kian membanjiri tepi pantai. Kacamataku yang kering
kembali dihiasi embun, semakin tebal. Kupejamkan kembali mataku di bawah langit malam
ini dan tersadar saat seorang lelaki dengan suara lembut membangunkanku.
De, sapanya pelan sembari menggoyangkan tubuhku yang tengah tertidur di pojok ruangan
yang gelap dan kotor. Aku terjaga dari tidurku, namun mataku masih enggan terbuka.
Kupaksakan untuk membuka mata demi mengetahui siapa sosok lelaki yang menyapaku.
Kamu kenapa bisa berada di tempat ini? tanyanya sejurus kemudian setelah aku terbangun
dan mencoba duduk. Sekujur badanku terasa sangat sakit jika digerakkan. Aku keheranan dan
mengerutkan kening mendengar pertanyaan lelaki itu, Dimana? tanyaku kepadanya. Sedikit
heran, baju kami sama. Berwarna biru tua dan kebesaran. Tak lupa, dengan jelas tertulis
sebuah kata mengerikan yang dicetak tebal dan dengan huruf kapital, TAHANAN.
Aku berada di penjara? tanyaku heran. Lelaki itu mengangguk.
Bagaimana kau bisa berada di tempat ini? nampaknya ia merasa lebih heran melihat
seorang bocah masuk penjara.
Aku menyopet! kataku singkat, sedikit murung.
Kau menyopet? Bagaimana bisa? Kau seorang bocah, katanya seakan menghinaku.
Ya, maka dari itu aku tertangkap
Mengapa kau memilih untuk menyopet?
Aku lapar. Aku tak punya uang untuk membeli makanan. Semua bak sampah tidak
menyediakan makanan. Otakku kalah oleh desakkan perutku yang memberontak ingin
makan
Kasian sekali kau. Memangnya Bapak dan Ibumu kemana?
Aku tak punya orang tua
Lalu kau terlahir dari siapa?
Kata orang, aku terlahir dari alam. Aku ditemukan begitu saja di antara kerumunan rumah
penduduk
Namamu siapa, bocah?
Baladungsai. Panggil saja aku Dungsai
Aku Malik Amrullah
Dialah orang kedua yang mau berinteraksi denganku setelah Nomilae. Orangnya baik, sopan,
tampan pula. Ia adalah seorang dokter, katanya. Tetapi yang aku herankan ialah kenapa ia
berada di penjara? Bukankah tempat dokter itu di Rumah Sakit atau Apotek? Namun dengan
keras kepala, ia tak mau membuka diri kenapa ia bisa dipenjara.
Akhirnya, dari dialah aku belajar banyak hal tentang ilmu kedokteran. Walau hanya
bermodalkan imajinasi, aku merasa cukup mahir melakukan praktik di umurku yang baru saja
menginjak 12 tahun ini. Hingga akhirnya aku bertekad bahwa hanya Malik yang akan
menjadi guruku. Benar apa kata Nomilae, aku tak butuh guru. Cukup satu saja yang aku
jadikan guru sebagai pemilik kepribadianku.
Lantas, istana besi ini menjadi saksi bisu bahwa aku tengah berlayar di gurun kedokteran.
Hingga kini, aku berkelana dan membuat jejak pelayaran sampai aku terbangun di malam
kelam dengan kerang yang tak lagi kugenggam. Selamat menyelam, malam!