Analisis Dampak Kebijakan 1422852872 PDF
Analisis Dampak Kebijakan 1422852872 PDF
Tambang dan Mineral merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan
(non renewable) yang dikuasai oleh negara dan pemanfaatanya digunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, pengelolaan tambang dan
mineral harus memberi nilai tambah bagi perekonomian nasional.
Tujuan kajian singkat ini adalah untuk mengetahui seberapa besar dampak
kehilangan ekspor pertambangan Indonesia atas diterapkan kebijakan pelarangan
i
ekspor raw material tambang dan mineral yang rencananya akan ditetapkan awal
tahun 2014.
Disadari bahwa kajian ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
diharapkan sumbangan pemikiran dari para pembaca sebagai bahan
penyempurnaan. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak, yang secara langsung dan tidak langsung telah membantu penyelesaian
kajian ini. Semoga laporan hasil Analisis Dampak Kebijakan Pelarangan Ekspor Raw
Material Tambang dan Mineral ini bermanfaat.
Tim Pengkaji
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR v
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan dan Output Kajian 2
1.3 Ruang Lingkup Kajian 3
1.4 Metodologi Kajian 3
BAB II POTENDI DAN KEBIJAKAN 4
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
Keadaan Beberapa Sumber Daya dan Cadangan Tambang dan
Tabel 2. 1 Mineral di Indonesia Tahun 2011 7
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2. 1 Ekspor Non Migas Berdasarkan Sektor Periode Januari Agustus 21
2013
Gambar 2. 2 Perkembangan Ekspor Bijih Alumunium dan Nikel Tahun 2008 - 22
2013
Gambar 3. 1 Rekapitulasi Progres Pembangunan Smelter 28
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tambang dan Mineral merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan (non
renewable) yang dikuasai oleh negara dan pemanfaatanya digunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, pengelolaan tambang dan mineral harus
memberi nilai tambah bagi perekonomian nasional. Untuk mencapai hal dimaksud,
pengelolaan pertambangan mineral harus berazazkan kepada manfaat, keadilan dan
keseimbangan serta keberpihakan kepada kepentingan bangsa dan negara.
Dalam rangka pengendalian ekspor bijih mieral dan mendorong industry hilir,
pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 23 tahun 2010 yang telah
diubah dengan PP No 24 tahun 2012 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan
Mineral dan Batubara. Selanjutnya dikeluarkan beberapa peraturan terkait seperti
Peraturan Menteri ESDM No. 7 Tahun 2012 yang kemudian disempurnakan dengan
1
Permen ESDM No 11 tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui
kegiatan Pengelolaan dan Pemurnian Mineral (smelter), dimana materi pokok yang
terkandung didalamnya menyebutkan bahwa perusahaan pertambangan dapat melakukan
ekspor bijih (ores) mineral ke luar negeri sebelum tahun 2004 apabila telah mendapatkan
rekomendasi dari Menteri ESDM. Peraturan terkait lainya yang telah diterbitkan dalam
rangka menunjang pelaksanaan UU Minerba tersebut, adalah Permendag No 29 tahun
2012 tentang ketentuan ekspor produk pertambangan dan Permenkeu No. 75 Tahun 2012
tentang Penetapan Barang yang dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
2
1.3. Ruang Lingkup Kajian
Agar dapat mencapai hasil yang sesuai maksud dan tujuan yang diharapkan, maka
ruang lingkup yang dikaji dalam analisis ini dibatasi sebagai berikut:
1. Ruang lingkup kajian ini adalah hanya membahas mengenai dampak akibat diberlakukan
kebijakan pelarangan ekspor atas komoditi Tambang dan Mineral dalam bentuk bijih (raw
material atau ore).
2. Daerah Survei dalam kajian ini dibatatasi hanya di Propinsi Banten mengingat lokasi
beberapa industri pengolahan tambang dan mineral ada di wilayah tersebut, seperti PT.
Krakatau Posco, PT. Indo Ferro, PT. Century Metalindo dan lain-lainya.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dan
kuantitatif, yaitu penelitian yang didasarkan atas data sekunder, jurnal, artikel dan literatur
yang berhubungan dengan permasalahan penelitian melalui transaksi antar sektor baik
dalam bentuk input maupun output dalam proses produksi dapat terlihat kontribusi,
dampak pengganda dan tingkat keterkaitan hubungan antara sektor pertambangan dengan
sektor ekonomi lainnya. Analisis yang digunakan pada kajian ini adalah analisis deskriptif
dengan tujuan untuk memaparkan hasil temuan berupa data dan informasi baik yang
sifatnya kualitatif maupun kuantitatif.
3
BAB II
4
logam langka lainnya, berilium, korundum, zirkon, kristal kuasa, kriolit, fluorspar, barit,
yodium, brom, klhor, belerang.
3. Bahan galian non strategis dan non vital, disebut pula sebagai bahan galian golongan C.
Terdiri dari : nitral, nitrit, fosfat, garam batu (halit), asbes, talk, mika, grafit,magnesit,
yarosit, leusit, tawas (alum), oker, batu permata, batu setengah permata, pasir kuarsa,
kaolin, feldspar, gipsum, bentonit, tanah diatomea, tanah serap (fuller earth), batu
apung, trass, obsidian, marmer, batu tulis, batu kapur, dolomit, kalsit, granit, andesit,
basalt, trakhit, tanah liat, pasir, sepanjang tidak mengandung unsur-unsur mineral
golongan A maupun golongan B dalam skala yang berarti dari segi ekonomi
pertambangan.
Penggolongan bahan galian di atas tidak terlepas dari Undang-Undang Pokok
Pertambangan 1967 yang menegaskan bahwa penggolongan bahan galian didasarkan pada
peranannya yang berbeda terhadap bangsa dan negara. Golongan A adalah mineral yang
sangat penting bagi perekonomian negara karena mendatangkan devisa yang relatif besar.
Golongan B adalah mineral yang menyangkut hajat hidup orang banyak, sedangkan
golongan C adalah mineral yang diperlukan untuk bahan industri atau bangunan.
Saat ini kegiatan pertambangan yang lebih dikenal adalah pertambangan untuk
komoditas mineral logam antara lain: emas, tembaga, nikel, bauksit dan batubara. Selain
komoditas mineral utama dan batubara ini, komoditas batuan memiliki peran yang sama
pentingnya terutama dalam memberikan dukungan material untuk pembangunan
infrastruktur antara lain: pendirian sarana infrastruktur jalan, pembangunan perumahan,
dan gedung perkantoran. Terminologi bahan galian golongan C yang sebelumnya diatur
dalam UU No 11 Tahun 1967 telah diubah berdasarkan UU No 4 Tahun 2009, menjadi
batuan, sehingga penggunaan istilah bahan galian golongan C sudah tidak tepat lagi dan
diganti menjadi batuan.
Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha
pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai
peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan
ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan.
5
Sementara itu, berdasarkan kriteria komoditas tambang mineral yang dapat
ditingkatkan nilai tambahnya dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu
mineral logam, mineral bukan logam dan batuan. Uraian masing-masing jenis komoditas
tambang mineral tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kelompok mineral logam merupakan jenis komoditas tambang mineral logam antara
lain berupa bijih: tembaga, emas, perak, timah, timbal dan seng, kromium,
molibdenum, platinum group metal, bauksit, bijih besai, pasir besi, nikel, kobalt,
mangan dan antimon.
2. Kelompok mineral bukan logam terdiri dari berbagai jenis komoditi tambang mineral
bukan logam yang meliputi: kalsit (batu kapur/gamping), feldspar, kaolin, bentonit,
zeolit, silica, zircon dan Intan.
3. Adapun kelompok batuan merupakan jenis komoditas tambang batuan, antara lain:
Toseki, Marmer, Onik, Perlit, Slate (batu sabak), Granit, Granodiorit, Gabro, Peridotit,
Basalt, Opal, Kalsedon, Chert (rijang), Jasper, Krisoprase, Garnet, Giok, Agat dan
Topas.
6
Tabel 2.1. Keadaan Beberapa Sumber daya dan Cadangan Tambang dan Mineral di
Indonesia Tahun 2011 (dalam juta ton bijih)
No Komoditas Sumber Daya Cadangan
1. Tembaga 4.925 4.161
2. Bauksit 551 180
3. Nikel 2.633 577
4. Pasir Besi 1.649 5
5. Besi Laterit 1.462 106
6. Besi Primer 563 30
7. Besi Sedimen 18 -
8. Mangan 11 4
9. Emas Alluvial 1.455 17
10. Emas Primer 5.386 4.231
11. Perak 3.406 4.104
12. Seng 577 7
13. Timah 354 0,7
14. Timbal 363 1,6
Sumber: Badan Geologi, Kementerian ESDM
7
beroperasi pada tahun 2014. Dari ke 15 perusahaan tersebut, terdapat diantaranya 6
perusahaan yang sudah mempersiapkan diri dengan progres fasilitas pengolahan dan
pemurnian tambang dan mineral mencapai 100% untuk beroperasi pada tahun 2014. Dari
ke 6 (enam) perusahaan tambang tersebut, antara lain PT. Delta Prima Steel dan PT.
Meratur Jaya Iron Steel dengan hasil produksinya berupa Sponge Iron, PT. Indo Ferro
dengan hasil produksi berupa Pig Iron, PT. Batutua Tembaga Raya dengan hasil
pengolahanya berupa Cupper Chatode, PT. Indotama Ferro Allays dan PT. Century
Metalindo dengan hasil pengolahan berupa Silica Manganese. Sementara itu, ke 9
perusahaan lainya progress fasilitas kesiapan pengolahan dan pemurnian untuk beroperasi
pada tahun 2014 masih dibawah 75%. Mengenai rincian fasilitas pengolahan dan
pemurnian dari ke 15 perusahaan yang akan beroperasi pada tahun 2014 dapat dilihat
pada taberl berikut:
Tabel 2.3. Fasilitas Pengolahan Dan Pemurnian Yang Beroperasi Pada Tahun 2014
Lokasi
Target
Komoditas
No Nama Perusahaan Kab/Kota Provinsi Progres Investasi (US$) Produk Kapasitas Penyelesaian
Proyek
1 PT. Gebe Centra Nickel Nikel Gebe Maluku 30 300.000.000 FeNi 300.000 Jan-14
2 PT. Bintang Delapan Mineral Nikel Morowali Sulteng 35 316.030.000 FeNi 300.000 Awal 2014
3 PT. Elit Kharisma Utama Nikel Konawe Sultra 35 160.000.000 FeNi 110.000 Agu-13
Akhir 2013 (trial
4 PT. Kembar Emas Sultra Nikel Konawe Utara Sultra 30 15.000.000 NPI 48.000
Mini Smelter)
Halmahera
5 PT. Arga Morini Indah Nikel Malut 6 FeNi
Selatan 325.000.000 50.000 2014
6 PT. Delta Prima Steel Besi Tanah Laut Kalsel 100 5.000.000 Sponge iron 100.000
7 PT. Meratus Jaya Iron Steel Besi Batu Licin Kalsel 100 65.000.000 Sponge Iron 315.000
November 2013
8 PT. Krakatau Posco Besi Cilegon Banten 70 7.000.000.000 Billet 240.000 (feeding ore ke
KS Posco)
9 PT. Yiwan Mining Besi Batu Licin Kalsel 10 250.000.000 Pig Iron 1.000.000 Oktober 2014
10 PT. Indoferro Besi Cilegon Banten 100 160.250.000 Pig Iron 500.000
187 ton bullion
Timbal dan Pb/bulan, 312
11 PT. Lumbung Mineral Sentosa Bogor Jawa Barat 30 11.077.778 Bullion Lead Akhir 2014
Seng ton
bullion/bulan
14 PT. Indotama Ferro Alloys Mangan Purwakarta Jawa Barat 100 - Silika Manganese
15 PT. Century Metalindo Mangan Cikande Banten 100 - Silika Manganese
Sumber: Badan Geologi, Kementerian ESDM
8
Dalam tiga tahun terakhir setelah UU No. 4 Tahun 2009 diterbitkan, secara nasional
ada beberapa jenis bijih tambang dan mineral yang realisasinya mengalami peningkatan
secara besar-besaran, diantaranya ekspor bijih nikel meningkat sebesar 800%, bijih besi
meningkat 700%, dan bijih bauksit meningkat 500%. Dalam rangka pengendalian ekspor
bijih mineral dan mendorong industri hilir, maka pemerintah mengeluarkan beberapa
peraturan terkait diantaranya, Peraturan Menteri ESDM No 7 Tahun 2012 sebagaimana
diubah dengan PerMen No. 11 tahun 2012, Peraturan Menteri Perdagangan No 29 tahun
2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan dan Peraturan Menteri Keuangan
No. 75 tahun 2012 mengenai Penetapan Harga Ekspor Untuk Penghitungan Bea Keluar.
Pemerintah mengharuskan bea keluar bagi 14 mineral tambang diantaranya tembaga,
emas, perak, timah, timbel, kromium, molibdenum, platinum, bauksit, bijih besi, pasir besi,
nikel, mangan, dan antimon dengan range bea keluar yang akan dipungut bervariasi mulai
dari 20% hingga 50% bergantung pada jenis mineral.
Peraturan Menteri ESDM No 7 Tahun 2012 diterbitkan dalam rangka untuk
mengamankan terlaksananya amanat Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, khususnya terkait dengan kewajiban pengolahan dan
pemurnian mineral di dalam negeri paling lambat tanggal 12 Januari 2014. Kemudian
Permen 07 Tahun 2012 tersebut diubah berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral RI No. 11 Tahun 2012 tertanggal 16 Mei 2012 yang menyebutkan bahwa
perusahaan pertambangan dapat melakukan ekspor bijih atau ore mineral dalam hal ini
nikel ke luar negeri sebelum tahun 2014 apabila telah mendapatkan rekomendasi dari
Menteri ESDM c.q Direktur Jenderal.
1. Status IUP Operasi Produksi dan IPR clear and clean dalam arti bahwa setiap perusahaan
pertambangan wajib memiliki IUP Operasi Produksi yang telah disetujui.
2. Perusahaan pertambangan harus melunasi kewajiban pembayaran keuangan kepada
negara.
9
3. Perusahaan pertambangan wajib menyampaikan rencana kerja dan atau kerja sama
dalam pengelolaan dan atau pemurnian mineral di dalam negeri.
4. Perusahaan pertambangan wajib menandatangani pakta integritas.
Ada dua hal yang memungkinkan Indonesia dapat berkembang menjadi negara
industri maju. Pertama; Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan mineral
terlengkap di dunia, walaupun bukan aktor utama dunia dalam keseluruhan raw
material, namun Indonesia memiliki hampir sebagian besar sumber mineral penting. Kedua,
Indonesia memiliki sumber energi yang relatif besar dan beragam jenisnya, mulai dari
minyak bumi, gas, batubara dan sumber-sumber energi terbaharukan lainnya.
Namun demikian, hingga saat ini Indonesia belum dapat mengembangkan industrinya
dengan baik, dikarenakan hasil tambang mineral yang diekploitasi di perut bumi Indonesia
masih di ekspor dalam bentuk raw material dengan nilai tambah yang sangat rendah. Di
satu sisi memang dalam hal raw material dan perdagangan komoditas, Indonesia
memegang posisi kunci. Tapi sebagian besar perusahaan tambang telah mengikat kontrak
penjualan hasil tambang dengan negara-negara maju, sehingga Indonesia tidak dapat
mengendalikan harga komoditas tambangnya.
Berikut ini akan disajikan secara deskriptif posisi Indonesia dalam peta investasi dan
perdagangan komoditas hasil tambang di dunia. Data-data ini diambil dari berbagai
sumber untuk memberi gambaran kepada publik dan pengambil kebijakan agar eksploitasi
hasil tambang di masa datang ditempatkan sebagai bagian dari strategi pembangunan
kedaulatan nasional dan kesejahteraan rakyat. Banyak perbedaan opini diantara para ahli
pertambangan di dunia untuk menyimpulkan pertambangan mana sesungguhnya yang
terbesar di dunia, dimana ada pendapat yang menyatakan bahwa yang terbesar adalah
Muruntau Gold Mine di Uzbekistan. Akan tetapi ada pendapat lain yang menyatakan
10
bahwa yang terbesar adalah tambang Grasberg di Indonesia. Dari berbagai pendapat,
sebagian besar pendapat menyatakan bahwa yang terbesar adalah Gresberg. Keberadaan
tambang Grasberg di Papua menunjukkan bahwa Indonesia memiliki segalanya tentang
tambang. Negara ini memegang posisi penting dalam hal produksi dan perdagangan
sumber-sumber mineral di dunia. Dengan demikian situasi ekonomi dan politik Indonesia
akan menentukan peta pertarungan ekonomi pada tingkat global. Berikut uraian adanya ke
10 tambang terbesar di dunia:
11
Tambang ini terletak di Argentina, memproduksi 1,12 juta ons emas pada tahun 2011.
Tambang ini dimiliki oleh Barrick Gold.
8. Lagunas Norte Gold Mine.
Tambang ini terletak di sebelah utara Peru, menghasilkan 808.000 ons emas pada tahun
2011. Tambang ini dimiliki oleh Barrick Gold.
9. Lihir Gold Mine.
Tambang yang terletak di Papua New Guineau, menghasilkan rata-rata 790.974 ons
emas dalam setahun. Tambang ini dimiliki oleh Newcrest Mining Ltd, produsen emas
terbesar di Australia.
10. Super Pit/Kalgoorlie.
Tambang yang terletak di Australia Barat, menghasilkan 788.000 ons pada tahun 2011.
Tambang ini 50% dimiliki oleh Barrick Gold dan 50% dimiliki olehNewmont Mining.
Adapun data lainnya menyebutkan bahwa dalam hal produksi tembaga, pada tahun
2009, Indonesia merupakan negara produsen tembaga kelima terbesar di dunia dengan
produksi sebesar 950.000 ton. Urutan pertamanya adalah Chili, dengan produksi sebanyak
5.320.000 ton, yang membuat Chili jauh memimpin dibandingkan negara lainnya. Tempat
kedua adalah Amerika Serikat, dengan output 1.310.000 ton. Tambang tembaga terkenal di
AS, adalah Bingham Canyon Mine, juga dikenal sebagai tambang tembaga Kennecott,
berada di barat daya Salt Lake City, Utah, Amerika Serikat. Tambang ini dimiliki oleh Rio
Tinto Group.
12
Selanjutnya Peru berada di urutan ketiga, dengan menghasilkan 1.260.000 ton.
Produsen terbesar keempat adalah Cina, dengan produksi 960.000 ton. Setelah Indonesia
di urutan kelima, urutan keenam diduduki oleh Australia dengan diproduksi 900.000 ton.
Tambang tembaga terbesar di Australia adalah The Olympic Dam, terletak sekitar 550 km
baratlaut dari Adelaide. Produsen peringkat ketujuh adalah Rusia, yang memproduksi
750.000 ton, dan di tempat kedelapan adalah Zambia, yang memproduksi 655.000 ton.
Kemudian Kanada ditempat kesembilan, dengan 580, 000 ton dan kesepuluh adalah
Polandia dengan produksi 440.000 ton tembaga.
Sementara dalam hal produksi perak, Indonesia masuk dalam 20 besar negara
produsen perak terbesar di dunis. Dalam lima besar terdapat Mexico, Peru, China, Australia
dan Chili. Indonesia sendiri berada dalam urutan ke 17. Salah satu penyebab Indonesia
berada di urutan 17, dikarenakan Indonesia mengekspor dalam bentuk bahan mentah
sumber daya emas dan tembaganya, sedangkan perak termasuk berada di dalam sumber
daya emas dan tembaga tersebut. Oleh karena itulah, Indonesia tidak diketahui dengan
jelas seberapa besar hasil peraknya.
Indonesia pada tahun 2008 berada pada urutan ke lima dalam hal perusahaan
tambang bauksit terbesar di dunia. pada urutan pertama adalah Australia, diikuti
oleh Brasil, China dan India. Saat ini Indonesia masih terus melakukan ekspor bahan
mentah bauksit ke China, meskipun di Indonesia terdapat pabrik peleburan (smelter) PT
Indonesia Asahan Alumunium (INALUM) yang merupakan terbesar di Asia Tenggara.
Namun kepemilikan sahamnya Indonesia hanya sebesar 41.12%, sedangkan Japanese
consortium Nippon Asahan Aluminium Co. Ltd mencapai 58.88%.
Dalam hal produksi nikel, Indonesia merupakan produsen terbesar setelah Rusia.
Negara produsen nikel terbesar di dunia adalah: Rusia, Indonesia, Philipina, Kanada,
Australia, New Caledonia, China, Cuba, Colombia. Perusahaan yang memimpin produksi
nikel adalah Norilsk (Russia), diikuti oleh Vale Inco Ltd. (Brazil and Canada) dan the BHP
Billiton Group (Australia and United Kingdom). PT Aneka Tambang Tbk. (Indonesia) pada
13
urutan ke empat, yang produksinya untuk pengiriman langsung ke Chinese Nickel Pig Iron
Industry. Selanjutnya produsen terbesar lainnya adalah Eramet Group (Perancis), Jinchuan
Non-ferrous Metals Corp. (JNMC) (China), and Xstrata plc (Swiss).
Tabel 2.4. Sepuluh Produsen Terbesar Nikel Olahan Pada Tahun 2010
Produksi
No Negara
(metric ton)
1 China 318.0
2 Russia 265.0
3 Japan 160.0
4 Canada 105.0
5 Australia 101.0
6 Norway 92.0
7 Colombia 49.0
8 Finland 47.0
9 New Caledonia 40.0
10 South Afrika 36.0
Sumber: Bloomberg
Selanjutnya terkait dengan produksi bauksit, Indonesia merupakan salah satu negara
produsen bauksit terbesar di dunia. Berdasarkan data 2007: peringkat pertama adalah 1.
Australia dengan produksi 62,428; urutan 2. China 30,000; 3. Brazil 22,100; 4. India
19,221; 5. Guinea 18,000; 6. Jamaica 14,568; 7. Russian Federation 6,400; 8. Venezuela
5,900; 9. Suriname 4,900; 10. Kazakhstan 4,800; 11. Greece 2,220; 12. Guyana 1,600.
Indonesia berada pada urutan ketiga belas dengan produksi 1,251; 14. Sierra Leone 1,168;
15. Ghana 840; 16. Bosnia and Herzegovina 800; 17. Turkey 780; 18. Montenegro 650; 19.
Hungary 546.4; 20. Dominican Republic 500. (Sumber: United States Geological Survey
(USGS) Minerals Resources Program).
14
Meskipun demikian, Indonesia belum masuk dalam kategori 10 besar negara dengan
produksi alumunium terbesar dunia. Hal ini disebabkan bauksit yang merupakan bahan
baku aluminium masih dialokasikan untuk pasar ekspor, dimana alumunium tersebut
secara jelas merupakan bahan baku penting untuk pembangunan industri di negara-negara
maju.
Saat ini peringkat produsen utama alumunium di dunia adalah Canada, Amerika
Serikat, Argentina, Brazil, Venezuela, France, Germany, Norway, Netherlands, Spain,
Russian Federation, Ukraine, Slovenia, Bahrain, India, Indonesia, Turkey, United Arab
Emirates, China, Japan, South Korea, Australia, Egypt, Cameroon, Mozambique, Ghana,
Nigeria and South Africa. Sementara itu, satu-satunya perusahaan alumunium di Indonesia
adalah PT Indonesia Asahan Aluminium (INALUM) yang juga merupakan satu-satunya
smelter di Asia Tenggara. Perusahaan ini merupakan joint venture company antara
Indonesia (41.12%) and Japanese consortium Nippon Asahan Aluminium Co. Ltd (58.88%),
dengan kapasitas 225.000 tons. Adapun sebagian besar hasil produksinya yang berupa
alumunium ditujukan untuk ekspor (60% ) bagi kepentingan industri jepang.
2.4. Pemasaran
Dalam Usaha penambangan bahan galian industri, pemasaran merupakan masalah
yang lebih sulit dari pada penambangannya. Permasalahan yang dihadapi oleh sebagian
pelaku usaha bahan galian dalam menjual hasil tambangnya tanpa melalui proses
pengolahan pada umumnya hanya soal angkutan. Sementara itu, bagi usaha penggalian
pasir dan batu untuk dapat memasarkan hasil galiannya kepada penjual bahan bangunan,
tidak begitu banyak pemasalahan yang dihadapi asalkan lokasi usahanya berdekatan
dengan si pembeli. Kelangsungan usaha bahan galian industri sangat ditentukan oleh lokasi
dan biaya angkutan mengingat produk yang harus dipasarkan selain berat juga besar
volumenya, akan tetapi harga satuannya juga relatif rendah.
Untuk batu gamping sebelum siap dijual melalui jalur pemasaran yang relatif panjang,
penggalian batu gamping dapat dilakukan dengan cara sederhana dan semua orang dapat
melakukannya dan hasilnya dapat langsung dijual kepada pihak pabrik pembakaran kapur.
Ditempat inilah batugamping akan diolah dengan proses melalui pembakaran yang
dilakukan dengan menggunakan tungku.
Contoh lain pada pengusahaan kaolin, proses penambangan sangat relatif sederhana.
Proses penambangan kaolin dilakukan melalui tahap pencucian dan pengendapan, setelah
itu dipanggang untuk dikeringkan yang kemudian dilakukan penggilingan. Produk dari
proses ini berupa tepung kaolin yang dapat dipasarkan sebagai filler kepabrik cat, pabrik
keramaik, dengan persyaratan yang tidak tinggi.
Kaolin juga diproses secara lebih canggih antara lain melalui proses flotasi, filtering
dan bleaching untuk menghasilkan produk berupa bubuk kaolin berbutir sangat halus,
bertekstur seragam, sangat murni, bersih dari kotoran dan mengkilap, memiliki sifat high
18
gloss dan brightness serta tidak mudah bereaksi. Bubuk kaolin berkualitas tinggi dengan
istilah papercoating, digunakan sebagai bahan kosmetik dan lain-lain.
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa meningkatkan produk bahan
galian industri diperlukan proses pengolahan dengan kecermatan tinggi yang pada akhirnya
dapat meningkatkan multiguna dari bahan galian tersebut sehingga pemasarannyapun
menjadi lebih luas. Kecermatan kerja diperlukan dalam semua tahap kegiatan sehingga
diperoleh banyak bahan galian yang berguna dan sedikit endapan pengotornya sehingga
hasil yang didapatkan lebih maksimal yang sesuai dengan hasil pesanan konsumen.
Dengan adanya UU Minerba, semua jenis bijih/barang tambang dan mineral harus
diolah dan dimurnikan terlebih dahulu untuk mendapatkan nilai tambah baru kemudian
boleh di ekspor. Pada Pasal 102 UU minerba, Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan
nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan,
pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara. Kewajiban ini baru
direncanakan berlaku pada 2014. Melihat kebijakan pelarangan tersebut, baru akan
diberlakukan pada tahun 2014, sebagian para pelaku usaha telah menaikkan produksi dan
eskpor secara besar-besaran. Hal ini dilakukan, karena pada umumnya para pelaku usaha
berpendapat bahwa untuk mendirikan pabrik pengolahan dan pemurnian dibidang
tambang dan mineral diperlukan biaya cukup tinggi, sehingga kesempatan pada masa
transisi ini tampak dimanfaatkan oleh para pelaku usaha untuk memproduksi dan
mengekpor secara besar-besaran karena dirasa biaya produksi masih relative murah.
Sebagaimana telah diketahui bersama , bahwa pasar raw material tambang dan mineral
sebagian besar adalah untuk ekspor, akan tetapi ada juga yang dipasarkan di dalam negeri
bahkan untuk memenuhi kebutuhan akan bahan baku lebih lanjut sebagai industry didalam
negeri juga melakukan impor meskipun sebenarnya raw material awal berasal dari dalam
negeri juga.
19
2.4.1 Pasar Dalam Negeri
Dengan adanya UU Minerba ini, bisa menjamin kewajiban pasar domestik (domestic
market obligation/DMO), artinya adanya jaminan bahwa produk setengah jadi tersebut
dijamin oleh pasar di dalam negeri. Selama tahun 2011, pemasaran barang tambang
mineral di dalam negeri hanya meliputi persentase yang sedikit sekali jika dibandingkan
dengan persentase yang diekspor. Misalnya saja pada bijih besi, 100% produksi
disalurkan untuk ekspor sebagaimana terlihat pada tabel berikut.
20
tiga bulan mendatang karena pada awal 2014, ekspor produk mentah pertambangan
dilarang berdasarkan UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba.
a. Ekspor
3.6 2.30
Jan-Ags 2013
Pertanian
3.5 Jan-Ags 2012 2.48
21
tambang dan mineral yang cukup signifikan. Sebagai contoh rata-rata volume
ekspor pada bijih aluminium dan nikel telah meningkat di atas 20%.
USD Juta Bijih Alumunium dan Konsentratnya Ribu Ton USD Juta Bijih Nickel dan Konsentratnya Ribu Ton
50.000,0 1.000,0 50.000,0 1.750,0
1.428,0 1.489,1
773,2
40.000,0 800,0 40.000,0 1.400,0
626,0
558,8 30.000,0 824,1 1.050,0
30.000,0 479,0 600,0
718,0
377,3
20.000,0 400,0 20.000,0 524,3 532,4 700,0
216,3 249,7
277,6
10.000,0 200,0 10.000,0 350,0
16.791,4 14.720,3 27.410,4 40.643,9 29.506,6 20.494,2 23.968,8 10.592,2 10.437,1 17.566,0 40.792,2 48.449,4 23.186,6 28.824,0
- - - -
2012 2013 2012 2013
2008 2009 2010 2011 2012 Jan-Jun 2008 2009 2010 2011 2012 Jan-Jun
b. Impor
Selama ini, impor produk tambang dan mineral Indonesia merupakan olahan
tambang dimana sebenarnya sumber daya alam di Indonesia memiliki semua bahan
baku tambang tersebut. Misalnya saja impor alumina sebagai bahan dasar
aluminium. Secara material, negeri ini harus memiliki industri dasar yang kuat
sebagai industri pendukung yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku
atau penolong atau barang setengah jadi atau yang menghasilkan energi bagi
keperluan industri di dalam negeri. Apalagi hilirisasasi industri yang diarahkan
menghendaki tercapainyai tujuan strategis, antara lain mengurangi ketergantungan
impor dan penguatan struktur industri di dalam negeri. Secara ideal progam
hilirisasi industri hanya akan terwujud dalam jangka panjang bilamana pemerintah
dapat mengembangkan kebijakannya dalam dua area besar, yaitu kebijakan
pengembangan industri dasar sebagai industri pendukung dan kebijakan industri
hilir itu sendiri.
22
Dari sisi nilai impor produk pertambangan, telah terjadi penurunan nilai dari impor
mineral logam, namun impor mineral bukan logam dan batuan masih mengalami
peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih membutuhkan hasil
olahan mineral yang bahan bakunya telah dimiliki sejak lama. Realisasi impor
produk pertambangan dalam periode tahun 2008 2012 dapat dilihat pada table
2.6 berikut:
Tindak lanjut dari UU Minerba kemungkinan besar akan memberikan peluang bagi
pengusaha untuk mengimpor bahan mentah mineral jika ketersediaan smelter telah
mencukupi di Indonesia. Hal ini disebabkan, pasokan bahan mentah kepada smelter
harus tetap terjaga dan berlanjut agar nilai produksinya tidak terhenti dan tetap
ekonomis. Pasalnya smelter memerlukan raw material yang tidak sedikit dan
produksinya didalam pabrik tidak bisa terhenti. Jika smelter telah terbangun di
dalam negeri, Indonesia akan menjadi pasar yang bagus untuk negara-negara
penghasil tambang mineral sehingga Indonesia tidak perlu lagi mengimpor barang
tambang olahan dari negara lain.
23
BAB III
Di Indonesia, industri pertambangan mineral logam dikuasai oleh investor asing dan
BUMN seperti PT Freeport Indonesia, PT Newmont Nusa Tenggara, PT Inco Tbk, PT Koba
Tin, PT Timah Tbk, PT Aneka Tambang Tbk, serta perusahaan swasta. Perusahaan-
perusahaan tersebut didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia
dalam bentuk badan hukum Indonesia. Dalam dokumen kontrak karya pertambangan,
perusahaan pertambangan asing juga diwajibkan melepaskan saham kepemilikan.
Akibat perbedaan kondisi geologi, terjadi perbedaan potensi endapan mineral yang
menimbulkan perdagangan antar bangsa/wilayah. Contoh, endapan timah terkonsentrasi
sepanjang jalur yang meliputi wilayah RRC, Vietnam, Thailand, Malaysia, menerus hingga
kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka-Belitung. Ladang minyak bumi raksasa dengan
cadangan yang melebihi 1 miliar barel terkonsentrasi di Saudi Arabia, Irak, Kuwait, Iran,
Rusia, RRC dan AS. Sedangkan Indonesia hanya memiliki satu lapangan minyak bumi
raksasa di Minas. Cadangan mineralisasi emas, krom, tembaga, kadmium, nikel, mangan
dan sebagainya terkonsentrasi di Afrika Selatan. Endapan kokas terkonsentrasi di Jerman,
Polandia, Rusia, AS, dan Afrika Selatan. Hal ini terjadi karena daerah tersebut terletak di
lempeng kontinen yang menyebabkan batubara mendapatkan tekanan, proses geologi
berulang-ulang dan berumur jutaan tahun. Endapan emas epitermal dengan cadangan
kecilkecil dan berkadar tinggi terkonsentrasi sepanjang jalur gunung api di kawasan Filipina,
Indonesia, dan Jepang. Potensi emas aluvial terbesar ditemukan di Afrika Selatan yang
berumur pra-Kambrium dan membentuk endapan konglomerat.
Kondisi geologi Indonesia berbeda antara kawasan Barat dan Kawasan Timur. Kondisi
geologi kawasan barat dicirikan dengan mineralisasi timah putih, mineralisasi Pb-Zn, dan
porfiri Cu-Mo/Au. Sedangkan dikawasan timur dicirikan oleh nikel, kobalt, dan porfiri CuAu.
Akibat negatif dari konsentrasi geologis, timbul konflik/peperangan. Perang Jerman-
24
Perancis (1760-1767), memperebutkan wilayah endapan batubara di wilayah Saarland,
dimana batubara sangat diperlukan untuk menggerakkan industri di kedua negara setelah
revolusi industri. Jepang dan Amerika Serikat memperebutkan ladang minyak dalam Perang
Dunia II (1939-1945), di Asia Tenggara. Pendudukan Uni Sovyet di Afganistan (1979)
dimaksudkan untuk kepentingan pembangunan jaringan pipa minyak ke tepi Samudera
India. Perang Peru-Ekuador (Januari 1996) untuk merebut endapan emas di perbatasan.
Ketegangan di Laut Cina Selatan, disebabkan potensi endapan minyak dan gasbumi di
Kepulauan Spratley. Ketegangan Indonesia-Malaysia akibat penemuan endapan minyak
bumi di Ambalat. Bila diperhatikan sejarah umat manusia, konsentrasi endapan mineral,
batubara dan minyak telah menimbulkan penjajahan, terutama setelah revolusi industri.
Akibat dari perbedaan konsentrasi geologi ini, menimbulkan perdagangan, investasi,
dan industri pengolahan mineral. Pada tahun 1989, perdagangan komoditas mineral
seluruh dunia mencapai US $ 141,894 miliar, dan meningkat tajam pada tahun 2006
mencapai US $ 637.410 miliar. Pada tahun 1998, nilai ekspor mineral Indonesia mencapai
US $ 1,8 miliar, meningkat menjadi US $ 11,6 miliar pada tahun 2009 (Kompas 28
Desember 2009).
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
adalah bom waktu untuk Indonesia. UU ini mengatur penghiliran hasil tambang mineral
dan batubara dan melarang ekspor bahan mentah tahun 2014. UU ini mengamanahkan
pembangunan smelter sehingga produksi tambang dalam negeri dapat diproses sebelum
diekspor. Tujuan UU Minerba sangatlah mulia: agar Indonesia bisa merasakan nilai tambah
dari produk- produk tambang, mendongkrak produk domestik bruto, dan menyerap tenaga
kerja.
Berbeda dengan harapan awal, pasca-penetapan UU ini eksploitasi pertambangan
justru melonjak tajam. Pemilik tambang berlomba menambang sebanyak-banyaknya
sebelum dilarang. Akibatnya, produksi sejumlah komoditas tambang melonjak. Contohnya
produksi bauksit tahun 2009 sebanyak 783.000 mt, tahun 2011 menjadi 17.634.000 mt,
atau melonjak 2.150 persen. Hal serupa terjadi pada komoditas ore nikel, di mana produksi
pada 2009 hanya 5.802.000 wmt, tapi tahun 2011 sudah 15.973.000, atau meningkat 175
25
persen (Kementerian ESDM, 2012). Untuk lebih jelasnya mengenai perkembangan
beberapa produksi barang tambang dan mineral dalam periode tahun 1996-2011 dapat
dilihat pada table berikkut.
Tabel 3.1. Produksi Barang Tambang dan Mineral, 1996-2011
Konsentrat Konsentrat
Batu Bara Bauksit Nikel Emas Perak Granit Pasir Besi
Tin Tembaga
Tahun
(ton) (ton) (ton) (kg) (kg) (ton) (ton) (tonmetrik) (tonmetrik)
1996 50,332,047 841,976 3,426,867 83,564 255,404 4,827,058 425,101 52,304 1,758,910
1997 55,982,040 808,749 2,829,936 86,928 249,392 8,824,088 516,403 54,521 1,817,880
1998 58,504,660 1,055,647 2,736,640 123,862 383,191 9,662,649 509,978 53,960 2,640,040
1999 62,108,239 1,116,323 2,798,449 127,768 361,377 8,720,155 502,198 49,708 2,645,180
2000 67,105,675 1,150,776 2,434,585 109,612 310,430 5,941,370 420,418 56,360 3,270,335
2001 71,072,961 1,237,006 2,473,825 148,528 333,561 3,976,274 440,648 69,494 2,418,110
2002 105,539,301 1,283,485 2,120,582 140,246 281,903 3,975,434 190,946 88,142 2,851,190
2003 113,525,813 1,262,705 2,499,728 138,475 272,050 3,938,915 245,911 74,316 3,238,306
2004 128,479,707 1,331,519 2,105,957 86,855 255,053 4,035,040 79,635 73,080 2,812,664
2005 149,665,233 1,441,899 3,790,896 142,894 326,993 4,302,849 87,940 78,404 3,553,808
2006 162,294,657 2,117,630 3,869,883 138,992 270,624 4,514,654 84,954 79,100 817,796
2007 188,663,068 1,251,147 7,112,870 117,854 268,967 1,793,440 84,371 64,127 796,899
2008 178,930,188 1,152,322 6,571,764 64,390 226,051 2,050,000 4,455,259 79,210 655,046
2009 228,806,887 935,211 5,819,565 140,488 359,451 na 4,561,059 56,602 973,347
2010 325,325,793 2,200,000 9,475,362 119,726 335,040 2,172,080 8,975,507 97,796 993,152
2011 415,765,068 24,714,940 12,482,829 68,220 227,173 3,316,813 11,814,544 89,600 1,472,238
Sumber: BPS
Pelaksanaan kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah sudah di depan mata, tetapi
Indonesia masih belum memiliki smelter memadai untuk mengimbangi produksi tambang.
Tercatat setidaknya ada tiga komoditas yang akan defisit smelter pada tahun 2014, yaitu
tembaga, bauksit, dan nikel. Produksi bauksit nasional pada 2011 mencapai 17,6 juta ton
(Kementerian ESDM, 2012). Saat ini, Indonesia belum memiliki smelter bauksit. Rencana
pembangunan sejumlah smelter bauksit, hingga 2014, hanya mampu menampung 7,1 juta
ton. Gap antara produksi tambang dan kapasitas smelter 10,5 juta ton, dengan asumsi
semua pembangunan smelter lancar .
Komoditas nikel mengalami hal serupa. Pertambangan nikel Indonesia menghasilkan
15,9 juta ton nikel tahun 2011. Smelter nikel eksisting Indonesia memiliki kapasitas 9,03
juta ton. Sampai dengan tahun 2014, diperkirakan akan ada tambahan sejumlah smelter
26
baru, dengan kapasitas total 4,15 juta ton. Gap antara produksi tambang dan smelter pada
tahun 2014 mencapai 2,72 juta ton.
Untuk komoditas tembaga, produksi tembaga nasional tahun 2011 mencapai 20,2
juta ton, sedangkan smelter tembaga yang eksisting hanya mampu menampung 1 juta ton
(Kementerian ESDM, 2012). Adapun rencana pembangunan sejumlah smelter tembaga
hingga 2014 hanya menambah kapasitas smelter menjadi 1,2 juta ton. Setidaknya akan ada
18 juta ton tembaga yang tidak dapat diolah.
28
Kedua, tata ruang. Investasi sering terkendala ketidakjelasan tata ruang. Masih ada
tumpang tindih antara peta kehutanan, peta pertambangan, dan rencana tata ruang
wilayah. Tumpang tindih ini, misalnya dengan kawasan lain, menjadi penyebab
ketidakpastian. Ketiga, ketersediaan infrastruktur. Smelter membutuhkan infrastruktur
penunjang seperti listrik untuk menjalankan pabrik, jalan untuk mengangkut bahan mentah
dan hasil olahan, dan pelabuhan untuk mendistribusikan hasil produksi smelter. Kebutuhan
infrastruktur tersebut gagal disediakan pemerintah. Masih banyak jalan rusak, pelabuhan
yang tidak efisien, dan sulitnya mendapatkan akses listrik.
Infrastruktur listrik di daerah yang memiliki potensi tambang sering memiliki rasio
elektrifikasi rendah, seperti Sumatera Selatan sebesar 72,71 persen, Kalimantan Tengah 67
persen, Kalimantan Selatan 75 persen, dan Papua 29,25 persen. Smelter biasanya akan
dibangun dekat dengan sumber tambang agar dapat menekan biaya transportasi. Dengan
tingkat elektrifikasi rendah, investor akan berpikir dua kali sebelum membangun industri
smelter.
Selain dampak-dampak di atas, beberapa pelaku usaha pertambangan juga
memperkirakan bahwa proyek smelter ini akan selesai pada tahun 2017. Potensi
penerimaan negara dari sektor pertambangan yang hilang diperkirakan mencapai 7-8 miliar
dollar AS, dan sekitar 30.000 orang akan kehilangan pekerjaan. Dana yang hilang tersebut
sebenarnya dapat membangun pabrik Sponge Iron (Sponge Iron adalah produk dari
pengolahan pasir besi maupun bijih besi) sebanyak 2000 unit dengan asumsi pembangunan
pabrik dengan kapasitas 100 ton/hari berkisar Rp 40 milyar dengan lama pembangunan
sekitar 6 bulan per pabrik. Jika seluruh pabrik didistribusikan ke seluruh provinsi di
Indonesia, maka setiap provinsi akan memiliki 60 unit pabrik pengolahan.
Kedua, jumlah tenaga kerja yang hilang akibat berhentinya sektor pertambangan
sebanyak 30.000 orang di seluruh Indonesia. Dengan dibangunnya 2000 unit pabrik
tersebut, maka akan diperlukan tenaga kerja langsung maupun tidak langsung sebanyak
100 orang/pabrik. Maka untuk keseluruhan akan dibutuhkan tenaga kerja sebanyak
200.000 orang, defisit 170.000 orang tenaga kerja.
29
Ketiga, dengan adanya 2000 unit pabrik tersebut dengan kapasitas 100
ton/hari/pabrik maka total akan dihasilkan sponge iron sebanyak 70 juta ton per tahun,
sebanyak 10 juta ton untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri dengan harga berkisar
400 dollar AS/ton, sisanya sebanyak 60 juta ton bisa diekspor ke luar negeri karena sudah
memenuhi syarat Peraturan Menteri ESDM dengan asumsi harga 400 dollar AS/ton maka
akan didapat devisa sebesar 24 miliar dollar AS (Rp 240 Trilyun).
30
Bantalan tersebut dapat berupa jaminan sosial dan pelatihan bagi karyawan yang terkena
PHK.
Pilihan yang akan diambil sangat bergantung pada kepemimpinan dan integritas DPR
dan pemerintah. Penghiliran merupakan proyek besar bangsa Indonesia, yang sayangnya
masih dikerjakan setengah hati.
Pemerintah masih setengah hati dalam menyediakan regulasi dan infrastruktur yang
menunjang investor dalam membangun smelter. Sektor swasta masih setengah hati
mengambil risiko dan sedikit berkorban untuk membangun smelter. Proyek sebesar ini
sudah selayaknya dilaksanakan dengan sepenuh hati sehingga seluruh masyarakat
Indonesia dapat merasakan dampak positif dari penghiliran ini.
31
tambang mereka. Bila perusahaan tutup dan banyak karyawan yang di PHK, maka APBD
daerah tersebut akan berkurang.
Kebijakan ini tentu saja mempunyai manfaat atau keuntungan sendiri. Penambahan
nilai jual mineral tentu saja akan kita dapatkan. Contohnya seperti ini, harga nikel mentah
setingkat 2000 dollar AS per ton. Setelah jadi ferro nikel, harganya jadi 17.000 dollar AS per
ton sesuai LME. Meningkat pesat atau hampir sembilan kali lipat dari harga normal. Tentu
saja keuntungannya akan lebih banyak lagi daripada kita hanya menjual raw material saja.
Menambah tenaga kerja yang diserap dan peningkatan mutu sumberdaya manusia
adalah manfaat sekundernya. Hal ini akan tercapai bila banyak pabrik pengolahan dan
pemurnian mineral didirikan. Tentu saja banyak pekerja yang akan diserap dan
membutuhkan tenaga ahli-tenaga ahli untuk menangani masalah-masalah dalam industri
ini. Selain dua manfaat diatas, manfaat yang akan timbul lagi adalah terkontrolnya ekspor
mineral. Tidak ada penjualan barang mentah ke luar negeri, atau tidak adanya penjualan
tanah air kita begitu saja.
Dengan adanya kebijakan penerapan Bea Keluar (BK) ekspor, maka dalam jangka
pendek penjualan ore secara besar-besaran dapat ditekan sehingga berimplikasi terhadap
perlambatan ekspor mineral tambang. Dari hasil perhitungan, pada tahun 2014,
diproyeksikan ekspor total mineral dan tambang akan mengalami penurunan, namun akan
meningkat pada tahun 2018 dan 2019. Hal ini disebabkan kesiapan perusahaan-perusahaan
tambang dalam membangun smelter dalam upaya mengolah hasil ore tambang mineral.
Estimasi pengurangan ekspor akibat dari diterapkannya kebijakan pelarangan ekspor raw
material mineral tambang :
32
Tabel 3.2. Estimasi Ekspor Tambang Mineral
Ada beberapa skenario estimasi ekspor tambang dan mineral yaitu pertama skenario
tanpa kewajiban hilirisasi sesuai UU No. 4 Tahun 2009 atau dengan kata lain ekspor ores
tetap dilakukan dengan pertumbuhan ekspor seperti tahun 2008-2012 sebesar 10% per
tahun maka estimasi ekspor ores akan terus bertambah tiap tahun dan tidak akan ada
ekspor olahan. Pada skenario kedua (skenario pesimis) yaitu ekspor dengan kewajiban
hilirisasi sesuai UU No. 4 Tahun 2009 dan pertumbuhan ekspor olahan sebesar 10% per
tahun, apabila perusahaan yang mengajukan ijin smelter dapat beroperasi, maka di tahun
2014 ekspor ores akan berkurang sebesar USD 7,13 miliar dan pengurangan tersebut
semakin membesar tiap tahun. Dengan kata lain, ekspor olahan mineral akan bertambah
sebesar USD 1,57 miliar pada tahun 2014 dan akan terus meningkat sebesar USD 2,31
miliar pada tahun 2018. Sementara dengan skenario ketiga (skenario optimis) yaitu ekspor
dengan kewajiban hilirisasi sesuai UU No. 4 Tahun 2009 dan pertumbuhan ekspor olahan
sebesar 25% per tahun, maka akan meningkatkan ekspor mineral tambang olahan
mencapai USD 1,97 miliar di tahun 2014 dan akan terus bertambah sebesar USD 9,84 miliar
33
di tahun 2018. Sehingga kehilangan ekspor akibat kebijakan pelarangan ekspor raw mineral
tambang mencapai USD 0,59 miliar di tahun 2018. Diharapkan perusahaan smelter
tambang akan berkembang lebih baik dengan peningkatan kapasitas 25% per tahun,
sehingga kehilangan ekspor raw mineral tambang dapat ditutupi pada tahun 2019 pada
opsi optimis.
Terkait dengan kebijakan pelarangan ekspor raw material tambang dan mineral
sebagaimana tertuang didalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara yang akan berlaku efektif bulan Januari 2014, perusahaan ini telah
menyatakan kesiapanya untuk menyongsong pelaksanaan kebijakan dimaksud. `
34
produksi perusahaan ini mencapai 1 Juta ton dan realisasinya berkisar 500.000 ton.
Dalam menghadapi pelaksanaan kebijakan pelarangan ekspor raw material sebagaimana
tertuang di dalam UU No . 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
yang akan dilaksanakan pada bulana Januari 2014, perusahaan ini telah menyatakan
kesipanya (100%) dan sangat optimis dengan harapan pelksanaan kebijakan tersebut
jangan sampai ditunda-tunda lagi.
Hasil produksi yang berupa Nikel Pig Iron sebesar 50% diperuntukan untuk memenuhi
kebutuhan industry dalam negeri dan 50% lagi adalah untuk di ekspordengan tujuan
India dan Taiwan.
3. PT.Century Metalindo
PT. Century Metalindo yang berdiri pada tahun 2009 ini berstatus sebagai perusahaan
status PMA dengan jumlah tenaga kerjanya sebanyak 200 orang. Produk yang dihasilkan
adalah berupa Silika Mangan dengan bahan bakunya berupa batu mangan, batu silika
dan kapur yang didatangkan dari Sumatera, Nusa Tenggara Timur dan sebagian dari
Jawa Timur. Kapasitas produksi Silika Mangan dari perusahaan ini mencapai 2500 ton
per bulan. Hasil produksi dari perusahaan ini sebesar 50% di jual ke pabrik baja Krakatau
Stel dan 50% nya lagi di ekspor ke Jepang.
Berkaitan dengan akan diberlakukan pelarangan ekspor raw material tambang dan
mineral sebagaimana tertuang didalam UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara yang akan dilaksanakan pada bulan Januari 2014, perusahaan ini
telah menyatakan kesiapanya dan memberi masukan agar pelaksanaan kebijakan ini
jangan sampai ditunda lagi hanya karena adanya lobi-lobi perusahaan yang tidak
bertanggung jawab. Bahkan perusahaan menyatakan kesiapanya sebagai konsultan bagi
perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang mineral tambang yang akan
membangun sebuah smelter (pengolahan dan pemurnian) mineral tambang.
35
4. Disperindag Banten
Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh salah satu pejabat di Disperindag Banten
terkait akan diterapkanya pelarangan ekspor raw material tambang dan mineral
sebagaimana tertuang didalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara pada bulan Januari 2014, dimana jumlah perusahaan yang bergerak
dibidang pengolahan tambang dan mineral di wilayah propinsi Banten sekitar 6
perusahaan. Dari ke 6 perusahaan tersebut, sampai saat ini sebagian besar (67%) telah
melakukan pembangunan fisik smelter dan sisanya (33%) dalam taraf penyelesaian akhir
pembangunan smelter hingga bulan Desember 2013 dan menyatakan kesiapanya untuk
dioperasikan pada bulan Januari 2014
5. Kesimpulan:
Berdasarkan hasil wawancara dilapangan terhadap beberapa perusahaan yang bergerak
dibidang tambang dan mineral (PT. Krakatau Posco, PT. Indo Ferro dan PT.Century
Metalindo) diwilayah Propinsi Banten terkait dengan akan diberlakukan kebijakan
pelarangan ekspor raw material tambang dan mineral pada bulan Januari 2014
sebagaimana tertuang didalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, dapat digaris bawahi bahwa sebagian besar
perusahaan-perusahaan pengolahan dan pemurnian tambang dan mineral telah
menyatakan kesiapanya untuk menyongsong pelaksanaan kebijakan tersebut di tahun
2014. Diharapkan pelaksanaan kebijakan tersebut, jangan sampai ditunda-tunda lagi
hanya karena memperhatikan lobi-lobi dari para pemilik perusahaan tambang dan
mineral yang tidak bertanggung jawab, bahkan perlu pemberian sanksi bagi perusahaan
yang melanggar aturan seperti pencabutan Ijin Usaha Pertambanganya
36
BAB IV
PENUTUP
4.1. Simpulan
1. Dengan skenario pertama, apabila ke 9 perusahaan yang mengajukan ijin smelter dapat
beroperasi di tahun 2014, maka ekspor ores atau raw material akan terus meningkat
tiap tahun sebesar USD 7,13 miliar di tahun 2014 dan dapat menjadi USD 10,44 miliar
pada tahun 2018. Selain itu, tidak akan ada ekspor untuk olahan mineral.
2. Dengan skenario pesimis, ke 9 perusahaan yang mengajukan ijin smelter diasumsikan
beroperasi tahun 2014, maka akan meningkatkan ekspor olahan mineral tambang USD
1,57 miliar (kapasitas 10%), sehingga kehilangan ekspor akibat kebijakan pelarangan
ekspor raw mineral tambang USD 5,55 miliar.
3. Dengan skenario optimis, ke 9 perusahaan yang mengajukan ijin smelter dapat
beroperasi di tahun 2014 dengan kapasitas 25% (USD 1,97 miliar), sehingga kehilangan
ekspor akibat kebijakan pelarangan ekspor raw mineral tambang USD 5,16 miliar.
Dengan asumsi terjadi peningkatan kapasitas 25% per tahun, maka kehilangan ekspor
raw mineral tambang dapat ditutupi pada tahun 2019 (optimis).
4.2 Rekomendasi
1. Untuk meningkatkan nilai tambah produk tambang dan mineral dalam rangka
peningkatan ekspor, perlu adanya kebijakan terpadu berupa SK bersama antar
Kementerian teknis terkait guna menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi investor,
mendorong ketersediaan energi untuk dapat memenuhi kebutuhan industri khususnya
bagi industry pengolahan dan pemurnian tambang dan mineral serta menyiapkan
infrastruktur yang memadahi.
2. Perlu dukungan fasilitas yaitu kemudahan perizinan dan insentif berupa pajak bagi
pelaku usaha Smelter untuk dapat segera menyelesaikan progres kesiapan
pembangunan pengolahan dan pemurnian tambang dan mineral.
37
DAFTAR PUSTAKA
Gocht, WR., Zantop,H., Eggert, RG., 1988, International Mineral Economic, Mineral Exploration,
Mine Valuation, Mineral Markets, International Mineral Policies, Springer Verlag Berlin
Heidelberg.
http : //www. Smelting.co.id, 2009, PT Smelting Gresik Copper Smelter and Refinary.
Katili, J.A., 1979, Peranan pemerintah dalam manajemen sumber mineral, Majalah Survei dan
Pemetaan No. 13/IV/1979.
Sarno Harjanto, 1996, Potensi dan prospek beberepa jenis bahan galian industri di Indonesia,
Direktorat Sumber Daya Mineral Bandung.
US Geological Survey, 2008, Mineral Commodity Summaries 2008, United Government Printing
Washington Van Leeuwen, T.M., 1994, 25 Years of minerals exploration and discovery in
Indonesia, Journal of Geochemical Exploration, Volume 50-NOS.1-3 March 1994, Elsevier.
38