Laporan Kasus Cedera Kepala Ringan
Laporan Kasus Cedera Kepala Ringan
Penyusun :
030.008.146
Pembimbing :
CILEGON 2013
0
PENDAHULUAN
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul atau
tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara. Cedera kepala
merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia
produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas.
Di Indonesia kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000
kasus. Dari jumlah di atas, 10 % penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari
pasien yang sampai di rumah sakit, 80 % dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan, 10%
sebagai cedera kepala sedang, dan 10 % sisanya di kategorikan sebagai cedera kepala berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter
mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita.
1
STATUS PASIEN
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn S
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 50 tahun
Pekerjaan : Pedagang
Pendidikan : Tamat SD
Status : Menikah
Agama : Islam
Alamat : Kampung Kaligandu, Purwakarta
Bangsa : Jawa
Warganegara : Warganegara Indonesia
Tanggal masuk RS : 13 Juni 2013
2. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 14 Juni 2013 pukul 11.15
WIB di bangsal
a. Keluhan Utama :
Nyeri kepala
b. Keluhan Tambahan :
Luka terbuka di belakang kepala, mata buram
2
atau mengelamun, menggunakan narkoba, minum alkohol, maupun
mengkonsumsi obat-obatan seperti obat batuk, obat penenang, obat tidur dan obat
flu. Pasien mengakui tidak mengantuk saat melaksanakan kerja bakti tersebut,
tidak melakukan aktivitas berat yang membuatnya kelelahan atau adanya riwayat
bergadang sehari sebelumnya. Gangguan pendengaran disangkal, penglihatan
dobel disangkal, bicara pelo tidak ada.
3
Kepala : Normosefali, rambut hitam beruban, distribusi merata,
tidak mudah dicabut, tidak ada alopesia, benjolan (-),
Vulnus laceratum post hecting diperban pada regio
parietal dextra, nyeri tekan (-).
Pulsasi Aa. Carotis : Teraba cukup, irama reguler, kanan dan kiri equal
Kelenjar getah bening : Tidak teraba membesar
Columna vertebralis : Lurus di tengah
Mata : Hematoma kacamata (Brill hematom) -/-, hematom
palpebra +/-, oedem palpebra +/-, konjungtiva anemis
-/-, sklera ikterik -/-, ptosis -/-, lagoftalmus -/-, pupil
bulat isokor, refleks cahaya langsung +/+, refleks
cahaya tidak langsung +/+ .
Telinga : Normotia +/+, hematoma retroaurikuler (Battles sign)
-/-, perdarahan -/-, otorea-/-
Hidung : Deviasi septum -/-, perdarahan -/-, rhinorea -/-
Mulut : Lidah kotor (-), perdarahan(-)
Tenggorok : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1.
Gigi : Caries (-), missing (-)
Leher : Bentuk simetris, trakea lurus di tengah, kelenjar getah
bening tidak teraba membesar, tiroid di tengah, JVP 5-2
cm H2O
Pemeriksaan jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V, 1 cm medial dari linea midklavikularis
sinistra
Perkusi :
Batas jantung atas : ICS III garis sternalis kiri
Batas jantung kanan : ICS IV, 1 cm lateral linea sternalis kanan
Batas jantung kiri : ICS VI, 1 cm lateral linea midclavikularis kiri
Auskultasi : BJ 1 BJ 2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pemeriksan paru
Inspeksi : Gerakan nafas simetris statis dan dinamis
Palpasi : Vocal fremitus simetris, krepitasi (-)
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : Datar
4
Palpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba membesar, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Auskultasi : BU (+) normal
Pemeriksaan Ekstremitas :
Ekstemitas atas : akral hangat + / +, edema - / -, bahu kanan sakit dan tidak
dapat digerakkan, krepitasi -/-, deformitas -/-, CRT < 2 detik
Ekstemitas bawah : Ekskoriasi di patella kanan, akral hangat + / +, edema - / -,
krepitasi -/-, deformitas -/-, clubbing finger (-), CRT < 2 detik
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
a. Tanda Rangsang Meningeal
Kaku Kuduk : -
Brudzinski I : -
Brudzinski II : -
Kanan Kiri
Laseque : >70 >70
Laseque menyilang : - -
Kernig : >135 >135
b. N. Kranialis
N.I : Normosmia +/+
N.II :
Acies visus : normal
Campus visus : normal
Tes buta warna : normal
Funduskopi : tidak dilakukan
5
Nasal : normal
Temporal : normal
Atas : normal
Bawah : normal
Temporal bawah : normal
Eksoftalmus : -/-
Nistagmus : -/-
Ptosis : -/-
Pupil
o Bentuk : Bulat / bulat
o Diameter : 3 mm / 3 mm
o Refleks cahaya langsung : +/+
o Refleks cahaya tidak langsung : +/+
o Reaksi akomodasi : normal
o Reaksi konvergensi : normal
N.V
Cabang motorik
o Membuka mulut : Baik
o Menggerakkan rahang : Baik
o Jaw refleks : Baik
Cabang sensorik oftalmikus : Baik/ Baik
Cabang sensorik maksilaris : Baik/ Baik
Cabang sensorik mandibularis : Baik/ Baik
N.VII
Motorik orbitofrontal : Kesan parese (-)
Motorik orbikularis okuli : Kesan parese (-)
Motorik orbikularis oris : Kesan parese (-)
Chovstek : Negatif
Pengecapan lidah
o Manis : Baik
o Asin : Baik
o Asam : Baik
o Pahit : Baik
N.VIII
Vestibular
Vertigo : Negatif
Nistagmus : -/-
6
Cochlear
Test Rinne : +/+ (tuli sensorineural -)
Webber : Tidak ada lateralisasi (tuli konduktif -)
Schwabach : Sama dengan pemeriksa
N.IX ; N.X
Motorik : Baik/baik
Sensorik : Baik/baik
N.XI
Mengangkat bahu : Baik/baik
Menoleh : Baik/baik
N.XII
Pergerakan lidah : Lidah di tengah
Atrofi :-
Fasikulasi :-
Tremor :-
d. Gerakan involunter
Tremor : -/-
Chorea : -/-
Atetose : -/-
Miokloni : -/-
Tics : -/-
Trofik : Eutrofik/Eutrofik
Tonus : Normotonus /Normotonus
Sensorik : Baik
Fungsi otonom
Miksi : Inkontinensia (-)
7
Defekasi : Inkontinensia (-)
Sekresi keringat : Baik
e. Fungsi Luhur
Astereognosia :-
Apraksia :-
Afasia :-
Disgrafia :-
f. Fungsi Otonom
Miksi : baik
Defekasi : baik
Sekresi keringat : baik
g. Refleks fisiologis
Kornea : +/+
Biseps : N/N
Triseps : N/N
Kremaster : tidak dilakukan
Patella : N/N
Tumit : N/N
Fissura ani : tidak dilakukan
h. Refleks patologis
Hofman Trommer : -/-
Babinski : -/-
Oppenheim : -/-
Gordon : -/-
Schaefer : -/-
Chaddock : -/-
i. Keadaan Psikis
Intelegensia : Baik
Tanda regresi :-
8
Demensia :-
4. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal 13 Juni 2013
5. PEMERIKSAAN RADIOLOGIK
Tanggal : 13 Juni 2013
Rontgen Thorax Posterior-Anterior
Thoraks simetris kanan dan kiri
Dinding thoraks tidak ada massa
Tulang klavikula, costae, stenum tampak tidak ada diskontinuitas
Sela iga dalam batas normal dan simetris
Jantung -CTR >50%
-Apeks bergeser ke laterocaudal
Paru -tidak ada infiltrat, kalsifikasi, maupun massa.
-corakan bronkovaskular tidak meningkat
Diafragma bentuk kubah kanan dan kiri
Sinus costo phrenicus lancip kanan dan kiri
Kesan: Cardiomegali.
Pulmo tenang.
Tak tampak fraktur
9
Tampak lesi hiperdens intra sulcy lobus oksipital kiri dan peri falk cerebri
posterior
Tampak lesi hipodens batas tegas pada nukleus lentiformis kiri, lesi hipodens kecil
pada thalamus dan pons
Sistem ventrikel tidak melebar
Sisterna basalis, ambiens, dan quadrigemina baik
Fissura silvii kanan/kiri baik
Struktur garis tengah tidak bergeser
Infratentorial tak tampak lesi pada cerebellum dan daerah CPA
Tak tampak kelainan pada supra dan parasellar
Bulbus okuli, N.Optikus bilateral tak tampak kelainan
Sinus ethmoid dan spenoid cerah
Pneumatisasi sel udara mastoid bilateral baik
Pada bone window : tampak diskontinuitas linear pada os occipital kiri
Kesan:
Sub Arachnoid Hemorrhagic pada regio occipital kiri dan peri falks cerebri
posterior
Suspek fraktur linear pada os occipital kiri
Infark lama pada nukleus lentiformis kiri
Infark lacunar pada thalamus kanan dan pons
6. RESUME
Pasien Tn S, laki-laki 50 tahun, datang dengan keluhan utama nyeri kepala
yang terus menerus setalah jatuh dari tangga dengan posisi kepala belakang
membentur kepala. Nyeri kepala terus menerus. Didapatkan riwayat pingsan selama
1 jam. Riwayat muntah berisi makanan. Terlihat kebingungan setelah tersadar dari
pingsan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
10
occipital kiri dan peri falks cerebri posterior, suspek fraktur linear pada os
occipital kiri, infark lama pada nukleus lentiformis kiri dan infark lacunar pada
thalamus kanan dan pons
7. DIAGNOSIS KERJA
8. PENATALAKSANAAN
Non-medikamentosa
ABCDE
Posisi tidur, bagian kepala ditinggikan sekitar 300
Perawatan luka
Diet biasa: kalori 1800 K/hari
Medikamentosa
IVFD RL 20 tetes/menit
Ceftriakson 1 x 2 gr
Ranitidine 2 x 1 amp
Ketorolac 3 x 1
Vitamin K 3 x 1
Asam Tranexamat 3 x 500 mg
Citikolin 3 x 500 mg
Amlodipin 1 x 10 mg
Parasetamol 3 x 500 mg
9. RENCANA PEMERIKSAAN
Lumbal Pungsi
10. PROGNOSA
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
CEDERA KEPALA
Definisi
11
Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi setelah trauma
kepala ,yang dapat melibatkan kulit kepala ,tulang dan jaringan otak atau kombinasinya
(Standar Pelayanan Medis ,RS Dr.Sardjito). Cedera kepala merupakan salah satu penyebab
kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi
akibat kecelakaan lalu lintas .(Mansjoer Arif ,dkk ,2000)
Pendahuluan
Cedera kepala adalah cedera yang mengenai kepala dan otak, baik yang terjadi secara
langsung maupun tidak langsung. Tulang tengkorak yang tebal dan keras membantu
melindungi otak. Tetapi meskipun memiliki helm alami, otak sangat peka terhadap berbagai
jenis cedera. Otak bisa terluka meskipun tidak terdapat luka yang menembus tengkorak.
Kerusakan otak bisa terjadi pada titik benturan dan pada sisi yang berlawanan. Cedera
percepatan-perlambatan kadang disebut coup contrecoup (bahasa Perancis untuk hit-
counterhit). Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan
saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan
pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat. Perdarahan, pembengkakan dan
penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan
massa di dalam tengkorak. Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka peningkatan
tekanan bisa merusak atau menghancurkan jaringan otak. Karena posisinya di dalam
tengkorak, maka tekanan cenderung mendorong otak ke bawah. Otak sebelah atas bisa
terdorong ke dalam lubang yang menghubungkan otak dengan batang otak, keadaan ini
disebut herniasi.
Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan batang otak melalui lubang di
dasar tengkorak (foramen magnum) ke dalam medula spinalis. Herniasi ini bisa berakibat
fatal karena batang otak mengendalikan fungsi vital (denyut jantung dan pernafasan). Cedera
kepala yang tampaknya ringan kadang bisa menyebabkan kerusakan otak yang hebat. Usia
lanjut dan orang yang mengkonsumsi antikoagulan (obat untuk mencegah pembekuan darah),
sangat peka terhadap terjadinya perdarahan disekeliling otak (hematoma subdural).
Anatomi
12
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang membungkusnya.
Tampak perlindungan tersebut, otak yang lembut akan mudah sekali terkena cedera dan
mengalami kerusakan. Dan begitu rusak, neuron tidak dapat diperbaiki lagi. Tepat diatas
tengkorak terletak galea aponeurotika yaitu jaringan fibrosa, padat, dapat digerakan dengan
bebas, yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal. Diantara kulit dan galea
terdapat lapisan lemak dan lapisan membran dalam yang mengandung pembulu-pembuluh
darah besar yang bila robek, sukar mengadakan vasokontriksi sehingga dapat menyebabkan
kehilangan darah bermakna. Tepat dibawah galea terdapat ruang subaponeurotik yang
mengandung vena emisaria dan diploika, pembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit
sampai ke dalam tengkorak.
Tulang tengkorak terdiri dari dua dinding atau tabula yang dipisahkan oleh tulang
berongga. Dinding luar disebut tabula eksterna dan dinding bagian dalam disebut tabula
interna yang mengandung alur-alur yang berisi arteria meningea anterior, media, dan
posterior. Apabila arteria tersebut terkoyak maka akan tertimbun dalam ruang epidural.
Meningens terdiri dari tiga lapis dari luar ke dalam yaitu dura mater, arakhnoid, dan pia mater.
Dura adalah membran yang liat, semitranlusen, tidak elastis dan melekat erat dengan permukaan
dalam tengkorak.
13
Gambar 2 : Lapisan meningens dan tempat perdarahan.
Fungsinya (1) melindungi otak, (2) menutupi sinus-sinus vena, (3) membentuk
periosteum tabula interna. Bagian tengah dan poterior disuplai oleh a. Meningea media yang
bercabang dari a. Vertebralis dan a. Carotis interna. Arakhnoid adalah membran fibrosa halus
dan elastis, membran ini tidak melakat dengan dura mater, ruangan antara kedua membran
disebut ruang subdural. Vena-vena otak yang melewati ruangan ini hanya mempunyai sedikit
jaringan penyokong sehingga mudah sekali terkena cedera dan robek pada trauma kepala.
Diantara arakhnoid dan pia mater terdapat ruang subarakhnoid yang melebar dan mendalam
pada daerah tertentu dan memungkinkan sirkulasi cairan serebrospinal. Pia mater adalah
membran halus yang memiliki sangat banyak pembuluh darah halus dan merupakan satu-
satunya lapisan meningeal yang masuk ke dalam semua sulkus dan membungkus semua
girus.
Patofisiologi
Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi primer. Lesi primer
ini dapat dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak, jaringan otak, saraf
otak maupun pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di sekitar otak. Pada tulang tengkorak
14
dapat terjadi fraktur linier (70% dari fraktur tengkorak), fraktur impresi maupun perforasi.
Fraktur linier pada daerah temporal dapat merobek atau menimbulkan aneurisma pada arteria
meningea media dan cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat merobek atau
menimbulkan aneurisma a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan
telinga. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapat
menimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebro spinal lewat hidung atau telinga.
Fraktur impresi dapat menyebabkan peningkatan volume dalam tengkorak, hingga
menimbulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara langsung
menyebabkan kerusakan pada meningen dan jaringan otak di bawahnya akibat penekanan.
Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada daerah coup dan
countre coup. Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal sering kali disertai adanya
perdarahan subdural dan intra serebral yang akut. Tekanan dan trauma pada kepala akan
menjalar lewat batang otak kearah kanalis spinalis; karena adanya foramen magnum,
gelombang tekanan ini akan disebarkan ke dalam kanalis spinalis. Akibatnya terjadi gerakan
ke bawah dari batang otak secara mendadak, hingga mengakibatkan kerusakan kerusakan di
batang otak. Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf, kerusakan pada
batang otak, ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan tekanan intrakranial.
Kerusakan pada saraf otak I kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina kribriform di
dasar fosa anterior maupun countre coup dari trauma di daerah oksipital. Pada gangguan yang
ringan dapat sembuh dalam waktu 3 bulan. Dinyatakan bahwa 5% penderita tauma kapitis
menderita gangguan ini. Gangguan pada saraf otak II biasanya akibat trauma di daerah
frontal. Mungkin traumanya hanya ringan saja (terutama pada anak-anak), dan tidak banyak
yang mengalami fraktur di orbita maupun foramen optikum. Dari saraf-saraf penggerak otot
mata, yang sering terkena adalah saraf VI karena letaknya di dasar tengkorak. Ini
menyebabkan diplopia yang dapat segera timbul akibat trauma, atau sesudah beberapa hari
akibat dari edema otak.
Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan refleks cahaya
negatif sering kali diakibatkan hernia tentorii. Gangguan pada saraf V biasanya hanya pada
cabang supraorbitalnya, tapi sering kali gejalanya hanya berupa anestesi daerah dahi hingga
terlewatkan pada pemeriksaan. Saraf VII dapat segera memperlihatkan gejala, atau sesudah
beberapa hari kemudian. Yang timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena
penyebabnya adalah edema. Kerusakannya terjadi di kanalis fasialis, dan seringkali disertai
perdarahan lewat lubang telinga. Banyak didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma
kepala, misalnya gangguan pendengaran maupun keseimbangan. Edema juga merupakan
15
salah satu penyebab gangguan. Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang didapatkan,
mungkin karena kebanyakan penderitanya meninggal bila trauma sampai dapat menimbulkan
gangguan pada saraf-saraf tersebut. Akibat dari trauma pada pembuluh darah, selain robekan
terbuka yang dapat langsung terjadi karena benturan atau tarikan, dapat juga timbul
kelemahan dinding arteri. Bagian ini kemudian berkembang menjadi aneurisma.
16
Klasifikasi Cedera Kepala
17
Berdasarkan Mekanisme
Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan penetrans atau
terbuka. Walau istilah ini luas digunakan dan berguna untuk membedakan titik pandang,
namun sebetulnya tidak benar-benar dapat dipisahkan. Misalnya fraktura tengkorak depres
dapat dimasukkan kesalah satu golongan tersebut, tergantung kedalaman dan parahnya
cedera tulang. Sekalipun demikian, untuk kegunaan klinis, istilah cedera kepala tertutup
biasanya dihubungkan dengan kecelakaan kendaraan, jatuh dan pukulan, dan cedera kepala
penetrans lebih sering dikaitkan denganluka tembak dan luka tusuk.
18
Gambar 5: Tanda Cedera Kepala.
19
benturan-benturan otak dengan bagian dalam tengkorak maupun tarikan dan pergeseran
antar jaringan dalam tengkorak. Yang seringkali menderita kerusakan-kerusakan ini
adalah daerah lobus temporalis, frontalis dan oksipitalis.
20
B. Kontusio serebri (Memar otak )
Merupakan perdarahan kecil / ptechie pada jaringan otak akibat pecahnya pembuluh darah
kapiler. Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada
daerah coup dan countre coup, dengan piamater yang masih utuh pada kontusio dan robek
pada laserasio serebri. Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal sering kali
disertai adanya perdarahan subdural dan intra serebral yang akut. Sebagai kelanjutan dari
kontusio akan terjadi edema otak.Penyebab utamanya adalah vasogenik, yaitu akibat
kerusakan B.B.B. (blood brain barrier). Disini dinding kapiler mengalami kerusakan
ataupun peregangan pada sel-sel endotelnya. Cairan akan keluar dari pembuluh darah ke
dalam jaringan otak karena beda tekanan intra vaskuler dan interstisial yang disebut
ekanan perfusi. Bila tekanan arterial meningkat akan mempercepat terjadinya edema dan
sebaliknya bila turun akan memperlambat. Edema jaringan menyebabkan penekanan pada
pembuluh-pembuluh darah yang mengakibatkan aliran darah berkurang. Akibatnya terjadi
iskemia dan hipoksia. Asidosis yang terjadi akibat hipoksia ini selanjutnya menimbulkan
vasodilatasi dan hilangnya auto regulasi aliran darah, sehingga edema semakin hebat.
Hipoksia karena sebab-sebab lain juga memberikan akibat yang sama. Jika otak
membengkak, maka bisa terjadi kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak; pembengkakan
yang sangat hebat bisa menyebabkan herniasi otak. Gejala dari kontusio adalah pusing,
kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi, emosi atau perasaannya
berkurang dan kecemasan. Biasanya gejala berlangsung selama beberapa hari sampai
beberapa minggu. Sindroma pasca konkusio yaitu kesulitan dalam bekerja, belajar dan
bersosialisasi. Kontusio serebri dan robekan otak lebih serius daripada konkusio. MRI
menunjukkan kerusakan fisik pada otak yang bisa ringan atau bisa menyebabkan
kelemahan pada satu sisi tubuh yang diserati dengan kebingungan atau bahkan koma.
C. Perdarahan intracranial
Merupakan penimbunan darah di dalam otak atau diantara otak dengan tulang tengkorak.
Hematoma intrakranial bisa terjadi karena cedera atau stroke. Perdarahan karena cedera
biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah luar (hematoma subdural) atau
diantara pembungkus otak sebelah luar dengan tulang tengkorak (hematoma epidural).
Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT scan atau MRI. Sebagian
besar perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejala dalam beberapa menit.
Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi pada usia lanjut dan
21
membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah beberapa jam atau hari.
Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan pada akhirnya
menghancurkan jaringan otak. Hematoma yang luas juga akan menyebabkan otak bagian
atas atau batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi
penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh,
gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga terjadi
kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.
Hematoma epidural
Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara meningens dan
tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak telah merobek arteri. Darah
di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar. Gejala
berupa sakit kepala hebat bisa segera timbul tetapi bisa juga baru muncul beberapa jam
kemudian. Sakit kepala kadang menghilang, tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi
dan lebih parah dari sebelumnya. Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa
ngantuk, kelumpuhan, pingsan dan koma. Diagnosis dini sangat penting dan biasanya
tergantung kepada CT scan darurat. Pada pemeriksaan dengan CT-Scan akan tampak
gambaran massa hiperdens dengan bentuk bikonveks (double convex sign), atau ada pula
yang menyebutnya sebagai gambaran football shaped yang secara tipikal terletak di bagian
temporal tengkorak. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat
lubang di dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan
pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.
Hematoma subdural
Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak. Perdarahan bisa
terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat kemudian setelah
terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma subdural yang bertambah luas
secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada
alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu
gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan
adanya genangan darah dan didapatkan gambaran hiperdens berbentuk konkaf atau
menyerupai bulan sabit, atau sering disebut crescentic sign. Hematoma subdural pada bayi
bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan
lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
22
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya
dikeluarkan melalui pembedahan.
Berdasarkan Beratnya
Biasanya terjadi penurunan kesadaran dan apabila ada penurunan kesadaran hanya terjadi
beberapa detik sampai beberapa menit saja. Tidak ditemukan kelaianan pada pemeriksaan
CT-scan, LCS normal, dapat terjadi amnesia retrograde.
Dapat terjadi penurunan kesadaran yang berlangsung hingga beberapa jam. Sering tanda
neurologis abnormal, biasanya disertai edema dan kontusio serebri. Terjadi juga drowsiness
dan confusion yang dapat bertahan hingga beberapa minggu. Fungsi kognitif maupun
perilaku yang terganggu dapat terjadi beberapa bulan bahkan permanen.
Terjadi hilangnya kesadaran yang berkepanjangan atau yang disebut koma. Penurunan
kesadaran dapat hingga beberapa bulan. Pasien tidak mampu mengikuti, bahkan perintah
sederhana, karena gangguan penurunan kesadaran. Termasuk juga dalam hal ini status
vegetatif persisten. Tanpa memperdulikan nilai SKG, pasien digolongkan sebagai penderita
cedera kepala berat bila :
23
5. Fraktura tengkorak depressed.
Berdasarkan Morfologi
Fraktur tengkorak
Patah tulang tengkorak merupakan suatu retakan pada tulang tengkorak. Mungkin tampak
pada kalvaria atau basis, mungkin linier atau stelata, mungkin terdepres atau tidak
terdepres. Fraktur tengkorak biasanya terjadi pada tempat benturan. Garis fraktur
dapat menjalar sampai basis cranii. Patah tulang tengkorak bisa melukai arteri dan
vena, yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga di sekeliling jaringan
otak. Patah tulang di dasar tengkorak bisa merobek meningens. Cairan serebrospinal
(cairan yang beredar diantara otak dan meningens) bisa merembes ke hidung atau
telinga yang menandakan adanya fraktur basis cranii. Depresi pada kepala atau muka
(sunken eye) menandakan terjadi fraktur maksila. Bakteri kadang memasuki tulang
tengkorak melalui patah tulang tersebut, dan menyebabkan infeksi serta kerusakan
hebat pada otak. Sebagian besar patah tulang tengkorak tidak memerlukan
pembedahan, kecuali jika pecahan tulang menekan otak atau posisinya bergeser.
Kerusakan akson oleh karena adanya proses akselerasi dan deserelasi yang terjadi pada otak
sewaktu terjadinya trauma kepala. Otak memiliki beberapa lapisan yang membentuknya.
Pada saat terjadinya trauma, lapisan lapisan ini akan ikut bergeser. Pergerakkan tiap lapisan
ini akan berbeda beda. Ilustrasi dibawah ini menunjukkan adanya penarikan neuron akibat
24
perbedaan waktu pergeseran yang bias menyebabkan akson teregang, terpuntir, terputus, dan
terjepit. Akibatnya cairan dan ionic akan masuk ke axon dan menyebakan pembengkakkan,
yang nantinya akan menyebakkan kerusakkan neuron. Akson terputus dan akson bagian distal
akan terpisah. Pada stadium lanjut, akan terjadi kematian akson pada ujung distal
Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis pada pasien cedera kepala yang kesadarannya cukup baik mencakup
pemeriksaaan neurologis yang lengkap, sedangkan pada penderita yang kesadarannya
menurun dapat digunakan pedoman yaitu :
Pemeriksaan penunjang
1. Foto polos cranium ( schullder )
Foto polos tengkorak adalah prosedur mutlak yang dikerjakan pada setiap cedera
kepala. Foto ini membantu mendiagnosa dini adanya fraktur pada tulang tengkorak.
2. Pemeriksaan CT-Scan
CT scan merupakan metode standar terpilih untuk cedera kepala baik ringan sampai
berat terutama dikerjakan pada pasien pasien yang mengalami penurunan kesadaran dan
terdapat tanda tanda peningkatan tekanan intrakranial. Selain untuk melihat adanya
fraktur tulang tengkorak, CT scan juga dapat melihat adanya perdarahan otak, efek
desakan pada otak dan bisa digunakan sebagai pemantau terhadap perkembangan
perdarahan pada otak.
Terdiri atas :
25
Tidak ada penurunan kesadaran
Adanya trauma kepala ( pusing )
b. Commotio cerebri ( gegar otak )
Adanya penurunan kesadaran ( pingsan > 10 menit )
Amnesia retrograde
Pusing, sakit kepala, muntah
Tidak ada defisit neurologis
Manajemen
1. Airway
Periksa dan bebaskan jalan nafas dari sumbatan.
Lendir, darah,muntahan, benda asing : lakukan penyedotan dengan suction, pasang
NGT
Posisi kepala dalam posisi netral, tidak miring ke kanan atau ke kiri.
Lakukan intubasi endotrakeal terutama pada pasien GCS 7 tetapi sebelumnya harus
diyakini tidak ada fractur cervical.
Foto rontgen cervical lateral dapat menjadi pilihan sebelum melakukan tindakan
intubasi. Apabila didapatkan fractur cervical, maka tindakan yang dilakukan adalah
tracheostomi.
2. Breathing
Perhatikan gerak napasnya, jika terdapat tanda tanda sesak segera pasang oksigen.
3. Circulation
Periksa tekanan darah dan denyut nadi. Jika ada tanda tanda syok segera pasang infuse.
Bila disertai dengan perdarahan yang cukup banyak bisa ditambah dengan tranfusi darah
( whole blood ). Pasang kateter untuk memonitoring balans cairan.
4. Setelah kondisi pasien stabil, Periksa tingkat kesadaran pasien, perhatikan kemungkinan
cedera spinal. Adanya cedera/ luka robek atau tembus. Jika ada luka robek, bersihkan
lalu di jahit.
5. Foto rontgen tengkorak.
Dilakukan pada posisi AP dan Lateral.
6. CTscan kepala.
26
Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada semua cedera kepala, kecuali pada pasien pasien
yang asimptomatik tidak perlu dilakukan.
7. Observasi
Kriteria rawat :
27
apabila kesadaran pasien tidak membaik. Pada keadaan ini pasien harus dirawat untuk
di observasi.
a. Contusio cerebri
Pingsan > 10 menit
Kegelisahan motorik
Sakit kepala, muntah
Kejang
Pada kasus berat dapat dijumpai pernapasan cheyne stokes
Amnesia anterogard
b. Laceratio cerebri
Biasanya didapat pada fraktur terbuka maupun tertutup.
28
Indikasi Operasi
Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan
neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut :
- Terdapat gejala TIK yang meningkat lebih dari 25 mmHg( sakit kepala hebat, muntah
proyektil)
- Pada pemeriksaan CT-Scan terdapat pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3
mm atau penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang
Prognosis
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami penyembuhan
total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang
terjadi. Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehingga area yang tidak
mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami
kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan
fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang. Kemampuan berbahasa pada anak kecil
dijalankan oleh beberapa area di otak, sedangkan pada dewasa sudah dipusatkan pada satu
area. Jika hemisfer kiri mengalami kerusakan hebat sebelum usia 8 tahun, maka hemisfer
kanan bisa mengambil alih fungsi bahasa.
Kerusakan area bahasa pada masa dewasa lebih cenderung menyebabkan kelainan yang
menetap. Beberapa fungsi (misalnya penglihatan serta pergerakan lengan dan tungkai)
dikendalikan oleh area khusus pada salah satu sisi otak. Kerusakan pada area ini biasanya
menyebabkan kelainan yang menetap. Dampak dari kerusakan ini bisa diminimalkan dengan
menjalani terapi rehabilitasi. Penderita cedera kepala berat kadang mengalami amnesia dan
tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesadaran.
Jika kesadaran telah kembali pada minggu pertama, maka biasanya ingatan penderita akan
pulih kembali.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Sidharta, Priguna. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Penerbit : Dian Rakyat.
Jakarta : 2009
2. Price SA, Wilson LM. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. In : Pendit BU, Hartanto
H, Wulansari P, Mahanani DA, Editors. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, 6th ed. Jakarta : EGC ; 2005
30