Referat DBD Anita
Referat DBD Anita
Oleh :
Anita Yulanda Kasih
Pembimbing :
dr. Budi Risjadi, Sp.A, M.Kes
dr. Nurvita Susanto, Sp.A
0
BAB I
PENDAHULUAN
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue.Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap
menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori A
dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang
mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD,
khususnya pada anak. Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006
(dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan
kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (2007).
DBD telah menjadi masalah kesehatan bukan hanya di Indonesia tetapi di juga
di negara laindi Asia Tenggara. Selama tiga sampai lima tahun terakhir jumlah kasus
DBD telah meningkat sehingga Asia Tenggara menjadi wilayah hiperendemis. Sejak
tahun 1956 sampai 1980 di seluruh dunia kasus DBD yangmemerlukan rawat inap
mencapai 350 000 kasus per tahun sedang yang meninggal dilaporkan hampir mencapai
12 000kasus. Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue yang merupakan anggota genus
Flavivirus dari famili Flaviviridae.Terdapat 4 serotipe virus dengue yang disebut DEN-
1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 3,5,6.Oleh karena ditularkanmelalui gigitan artropoda
maka virus dengue termasuk arbovirus.Vektor DBD yang utama adalah nyamuk
Aedesaegypti.DBD merupakan bentuk berat dari infeksi dengue yang ditandai dengan
demam akut, trombositopenia,netropenia dan perdarahan. Permeabilitas vaskular
meningkat yang ditandai dengan kebocoran plasma ke jaringaninterstitiel
mengakibatkan hemokonsentrasi, efusi pleura, hipoalbuminemia dan hiponatremia yang
akan menyebabkansyok hipovolemik.
1
BAB II
DEMAM BERDARAH DENGUE
Virus Dengue
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus
dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis
serotipe, yaitu: DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan
menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang
terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan
perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di
daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama
hidupnya.Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di
Indonesia.Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di
beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi
sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan
banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat.[1]
Vektor
Virus dengue ditularkan melalui gigitan banyak spesies nyamuk Aedes (antara lain
Aedes aegypti dan Aedes albopictus).(2) Nyamuk berasal dari family Stegomyia.
Nyamuk ini terutama terdapat di daerah tropis dan subtropis. (6) Aedes aegypti yang
menggigit pada pagi hingga sore hari adalah vektor utama virus.Nyamuk berkembang
biak di tempat penampungan air bersih yang tidak berhubungan dengan tanah. Virus
dengue juga ditemukan pada nyamuk Aedes albopictus yang berkembang biak dia air
yang terperangkap diantara tumbuhan.(2)Karena suhu rendah nyamuk tidak dapat hidup
pada ketinggian diatas 1000 meter. Telur dapat bertahan selama berbulan-bulan tanpa
adanya air.Larva tumbuh di air yang disimpan untuk minum, mandi, atau air hujan yang
ditampung di dalam bak. Nyamuk betina tumbuh menjadi dewasa di dalam ruangan
tertutup.(6)Sekali terinfeksi virus, nyamuk akan terinfeksi selamanya dan menularkan
virus jika menggigit manusia. Nyamuk betina juga menularkan virus kepada anaknya
melalui penularan transovarium.(2)
2
Cara Penularan
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara.Virus dengue ditularkan kepada
manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes
polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun
merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung
virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian
virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic
incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan
berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya
(transovanan transmission), namun perannya dalam penularan virus tidak penting.
Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk
tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia,
virus memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum
menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila
nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum
panas sampai 5 hari setelah demam timbul.[1]
Epidemiologi
Epidemic sering terjadi di Americas, Europe, Australia, dan Asia hingga awal
abad 20. Sekarang demam dengue endemic pada Asia Tropis, Kepulauan di Asia
Pasifik, Australia bagian utara, Afrika Tropis, Karibia, Amerika selatan dan Amerika
tengah. Demam dengue sering terjadi pada orang yang bepergian ke daerah ini. Pada
daerah endemic dengue, orang dewasa seringkali menjadi imun, sehingga anak-anak
dan pendatang lebih rentan untuk terkena infeksi virus ini.(5)
3
Gambar 2. Distribusi Dengue di Dunia. CDC 2009.(7)
Keterangan : Biru : area infestasi Aedes aegypti.Merah : area infestasi Aedes aegyptidan
epidemic dengue
Pada tahun 2003, delapan negara (Bangladesh, India, Indonesia, Maladewa,
Myanmar, Sri Lanka, Thailand, dan Timor Leste) melaporkan adanya kasus dengue.
Epidemic dengue adalah masalah kesehatan masyarakat utama di Indonesia, Myanmar,
Sri Lanka, Thailand dan Timor Leste yang beriklim tropis dan berada di daerah ekuator
dimana Aedes aegypti berkembang biak baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Di
Negara ini dengue merupakan penyebab rawat inap dan kematian tertinggi pada anak-
anak.(6)
DHF/ DSS lebih sering terjadi pada daerah endemis virus dengue dengan
beberapa serotype.Penyakit ini biasanya menjadi epidemic tiap 2-5 tahun. DHF/DSS
paling banyak terjadi pada anak di bawah 15 tahun, biasanya pada umur 4-6 tahun.
Frekuensi kejadian DSS paling tinggi pada dua kelompok penderita : a. anak-anak yang
sebelumnya terkena infeksi virus dengue, b. bayi yang darah ibunya mengandung anti
dengue antibody. Transmisi penyakit biasanya meningkat pada musim hujan.Suhu yang
dingin memungkinkan waktu survival nyamuk dewasa lebih panjang sehingga derajat
tranmisi meningkat.(2)
Case Fatality Rate yang dilaporkan adalah 1%, tetapi di India, Indonesia dan
Myanmar, telah dilaporkan adanya outbreak lokal di daerah perkotaan dengan laporan
Case Fatality Rate sebesar 3-5%. Di Indonesia, dengan 35% populasi yang bertempat
tinggal di daerah perkotaan, 150.000 kasus dilaporkan pada tahun 2007 (kasus tertinggi
diantara semua negara) dengan lebih dari 25.000 kasus dilaporkan berasal dari Jakarta
dan Jawa Barat dengan Case Fatality Rate sebesar 1%.(4)
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD
sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) Urbanisasi yang
tidak terencana dan tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang
efektif di daerah endemis, dan (4) Peningkatan sarana transportasi.[1]
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor
antara lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue,
keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Dalam kurun waktu
30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah
penderita maupun daerah penyebaran penyakit terjadi peningkatan yang pesat. Sampai
4
saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah
melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate meningkat dari 0,005 per
100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27 per 100,000
penduduk. Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban
udara. Pada suhu yang panas (28-32C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes
akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara
dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak
berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai
awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan
April-Mei setiap tahun.[1]
Patogenesis
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup.
Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai
pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut
sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi
penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan
penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian.[2]
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom Syok Dengue) masih merupakan masalah
yang kontroversial.Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis
infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune
enhancement.Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang
mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi
heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi
dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan
Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi
heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan
replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent
enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus
dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi
sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.[2]
5
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infection dapat dilihat pada Gambar 1 yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang
pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari
mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi
antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam
limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak.
Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus
antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.
Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang
intravaskular ke ruang ekstravaskular.Pada pasien dengan syok berat, volume plasma
dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam.
Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit,
penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura,
asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan
anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting
guna mencegah kematian.[2]
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang
lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan
replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari
perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus
dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah.
Selain itu beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah
yang besar. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.
[2]
6
Replikasi virus Anamnestic antibody
response
Kompleks virus-antibody
Aktivasi komplemen Komplemen
Anafilatoksin (C3a, C5a) Histamin dalam urin
meningkat
Permeabilitas kapiler Ht
> 30% pada Perembesan plasma Natrium
kasus syok 24-48 jam
Hipovolemia Cairan dalam
rongga
serosa
Syok
Anoksia Asidosis
Meninggal
Gambar 1. Patogenesis terjadinya syok pada DBD[2]
7
Replikasi virus Anamnestic antibody
Kompleks virus antibody
Anafilatoksin
Trombositopenia Koagulopati Sistem kinin
konsumtif
Gangguan Kinin Peningkatan
fungsi trombosit penurunan faktor
permeabilitas
pembekuan kapiler
FDP meningkat
Perdarahan massif syok
8
illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat yaitu Demam Berdarah Dengue
(DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD).[1]
Bagan 1
Spectrum Klinis Infeksi Virus Dengue[2]
Asimptomatik Simptomatik
Demam Dengue
Gejala klasik dari demam dengue ialah gejala demam tinggi mendadak, kadang-
kadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola mata, nyeri
otot, tulang, atau sendi, mual, muntah, dan timbulnya ruam. Ruam berbentuk
makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit (1-2 hari) kemudian menghilang
tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam merah halus pada hari ke-6 atau ke-7 terutama
di daerah kaki, telapak kaki dan tangan. Selain itu, dapat juga ditemukan petekia. Hasil
pemeriksaan darah menunjukkan leukopeni kadang-kadang dijumpai trombositopeni.
Masa penyembuhan dapat disertai rasa lesu yang berkepanjangan, terutama pada
dewasa. Pada keadaan wabah telah dilaporkan adanya demam dengue yang disertai
dengan perdarahan seperti : epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna,
hematuri, dan menoragi. Demam Dengue (DD) yang disertai dengan perdarahan harus
dibedakan dengan Demam Berdarah Dengue (DBD). Pada penderita Demam Dengue
tidak dijumpai kebocoran plasma sedangkan pada penderita DBD dijumpai kebocoran
plasma yang dibuktikan dengan adanya hemokonsentrasi, pleural efusi dan asites.[1]
9
Demam Berdarah Dengue (DBD)
Perubahan patofisiologis pada DBD adalah kelainan hemostasis dan perembesan
plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan adanya trombositopenia dan
peningkatan hematokrit.[2]
Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari,
disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot,
tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita mengeluh nyeri
menelan dengan faring hiperemis ditemukan pada pemeriksaan, namun jarang
ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium
dan dibawah tulang iga. Demam tinggi dapat menimbulkan kejang demam terutama
pada bayi.[2]
Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple Leede)
positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada
bekas pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekia halus ditemukan tersebar di
daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya ditemukan pada
fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan,
perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase demam. Hati biasanya
membesar dengan variasi dari just palpable sampai 2-4 cm di bawah arcus costae
kanan. Sekalipun pembesaran hati tidak berhubungan dengan berat ringannya penyakit
namun pembesaran hati lebih sering ditemukan pada penderita dengan syok.[2]
Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini terjadi
penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang
bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan
perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat
mengalami syok.[2]
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal
dibawah ini dipenuhi:[2]
Demam atau riwayat demam akut, antara 2 7 hari, biasanya bifasik
Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
o Uji bendung positif
o Petekie, ekimosis, atau purpura
o Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi)
o Hematemesis atau melena
Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
10
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai
berikut:
o Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur
dan jenis kelamin
o Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya
o Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau hipoproteinemi.
11
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu
ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit <100.000/l biasa ditemukan pada
hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan
nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari
peningkatan nilai hematokrit. Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera
disusul dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut
biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa
nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan. Jumlah
leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit
atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat
kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi
tampak pada pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan
antitrombin III. PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD.
Fungsi trombosit juga terganggu. Asidosis metabolik dan peningkatan BUN ditemukan
pada syok berat. Pada pemeriksaan radiologis bisa ditemukan efusi pleura, terutama
sebelah kanan. Berat-ringannya efusi pleura berhubungan dengan berat-ringannya
penyakit. Pada pasien yang mengalami syok, efusi pleura dapat ditemukan bilateral.[1]
12
Penyulit SSD: penyulit lain dari SSD adalah infeksi (pneumonia, sepsis, flebitis)
dan terlalu banyak cairan (over hidrasi), manifestasi klinik infeksi virus yang tidak
lazim seperti ensefalopati dan gagal hati.[1]
Diagnosis Serologis
Dikenal 5 jenis uji serologi yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi
virus dengue, yaitu:[2]
1. Uji hemaglutinasi inhibisi (Haemagglutination Inhibition test : HI test)
Merupakan uji serologis yang dianjurkan dan paling sering dipakai sebagai gold
standard. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
a. Uji ini sensitif tapi tidak spesifik, tidak dapat menunjukkan tipe virus yang
menginfeksi.
b. Antibodi HI bertahan di dalam tubuh sampai >48 tahun, maka baik untuk studi
sero-epidemiologi.
c. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen 4x dari titer serum akut atau
titer tinggi (>1280) baik pada serum akut atau konvalesen dianggap sebagai
presumptif positif, atau diduga keras positif infeksi dengue yang baru terjadi
(recent dengue infection).
2. Uji komplemen fiksasi (Complement Fixation test : CF test)
Jarang dipergunakan secara rutin, oleh karena selain rumitnya prosedur
pemeriksaan, juga memerlukan tenaga pemeriksa yang berpengalaman. Antibodi
komplemen fiksasi hanya bertahan sekitar 2-3 tahun saja.
3. Uji neutralisasi (Neutralization test : NT test)
Merupakan uji serologis yang paling spesifik dan sensitif untuk virus
dengue.Biasanya memakai cara yang disebut Plaque Reduction Neutralization Test
(PRNT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi.Saat antibodi
nneutralisasi dapat dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan HI antibodi
tetapi lebih cepat dari antibodi komplemen fiksasi dan bertahan lama (4-8 tahun).Uji
ini juga rumit dan memerlukan waktu cukup lama sehingga tidak dipakai secara
rutin.
4. IgM Elisa (Mac. Elisa)
Pada tahun terakhir ini merupakan uji serologis yang banyak dipakai. Mac Elisa
adalah singkatan dari IgM captured Elisa, dimana akan mengetahui kandungan
IgM dalam serum pasien. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
a. Pada hari 4-5 infeksi virus dengue, akan timbul IgM yang kemudian diikuti
dengan timbulnya IgG.
13
b. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, akan secara cepat dapat ditentukan
diagnosis yang tepat.
c. Ada kalanya hasil uji terhadap IgM masih negatif, dalam hal ini perlu diulang.
d. Apabila hari sakit ke-6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai negatif.
e. Perlu dijelaskan disini bahwa IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2-3 bulan
setelah adanya infeksi. Untuk memperjelaskan hasil uji IgM dapat pula
dilakukan uji terhadap IgG. Mengingat alasan tersebut di atas maka uji IgM
tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya uji diagnostik untuk pengelolaan kasus.
f. Uji Mac Elisa mempunyai sensitivitas sedikit di bawah uji HI, dengan kelebihan
uji Mac Elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan spesivisitas yang
sama
dengan uji HI.
5. IgG Elisa
Sebanding dengan uji HI, tapi lebih spesifik. Terdapat beberapa merek dagang untuk
uji infeksi dengue seperti IgM/IgG Dengue Blot, Dengue Rapid IgM/IgG, IgM
Elisa, IgG Elisa.[1]
Pada infeksi primer dan skunder dengue, antidengue immunoglobulin (Ig) M
antibodi muncul.IgM menghilang setelah 6-12 minggu, dapat digunakan untuk
memperkirakan waktu infeksi dengue.Pada infeksi primer dengue yang kedua,
kebanyakan antibodi berasal dari IgG. Diagnosi serologis tergantung kepada
peningkatan empat kali atau lebih titer IgG antibody pada serum yang dilihat pada
hemagglutination inhibition, complement fixation, enzyme immunoassay, or
neutralization test.Immunoglobulin IgM- and IgG-capture enzyme immunoassays
sekarang digunakan secara luas untuk mengidentifikasi fase akut antibodi pada
serum pasien dengan infeksi dengue primer atau skunder. Sebaikanya sampel
dikumpulkan setelah hari ke 5 dan sebelum minggu ke 6 setelah onset.(9)
14
Gambar 10 Respon Imun Pada Infeksi Dengue
Sangat sulit untuk menentukan tipe virus hanya dengan metode serologis,
terutama jika sebelumnya telah terinfeksi oleh virus dari kelompok arbovirus. Virus
dapat diperoleh dari serum fase akut dan diinokulasi pada kultur jaringan atau
nyamuk hidup. RNA virus dapat dideteksi pada darah atau jaringan melalui DNA
yang diamplifikasi melalui PCR.(10)
Diagnosis Banding[3]
a. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosa banding mencakup infeksi bakteri, virus,
atau infeksi parasit seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis, demam
chikungunya, leptospirosis, dam malaria. Adanya trombositopenia yang jelas
disertai hemokonsentrasi dapat membedakan antara DBD dengan penyakit lain.
b. Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam chikungunya (DC). Pada
DC biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya mirip
dengan influenza. Bila dibandingkan dengan DBD, DC memperlihatkan serangan
demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu
disertai ruam makulopapular, injeksi konjungtiva, dan lebih sering dijumpai nyeri
sendi. Proporsi uji tourniquet positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan
DBD. Pada DC tidak ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.
c. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi,
misalnya sepsis, meningitis meningokokus. Pada sepsis, sejak semula pasien tampak
sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi. Di samping itu
jelas terdapat leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran ke kiri
pada hitung jenis). Pemeriksaan LED dapat dipergunakan untuk membedakan
15
infeksi bakteri dengan virus. Pada meningitis meningokokus jelas terdapat gejala
rangsangan meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan serebrospinalis.
d. Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat
II, oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-hari
pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP
demam cepat menghilang (pada ITP bisa tidak disertai demam), tidak dijumpai
leukopeni, tidak dijumpai hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran ke kanan
pada hitung jenis. Pada fase penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat
kembali normal daripada ITP.
e. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukimia atau anemia aplastik. Pada leukemia
demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan pasien sangat anemis.
Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis leukimia.
pada pemeriksaan darah ditemukan pansitopenia (leukosit, hemoglobin dan
trombosit menurun). Pada pasien dengan perdarahan hebat, pemeriksaan foto toraks
dan atau kadar protein dapat membantu menegakkan diagnosis. Pada DBD
ditemukan efusi pleura dan hipoproteinemia sebagai tanda perembesan plasma.[1]
Penatalaksanaan
1. Demam Dengue
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien
dianjurkan:
Tirah baring, selama masih demam.
Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.
Untuk menurunkan suhu menjadi <39C, dianjurkan pemberian parasetamol.
Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (kontraindikasi) oleh karena dapat menyebabkan
gastritis, perdarahan, atau asidosis.
Dianjurkan pemberian cairan danelektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, disamping
air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.
Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesen.
Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda
penyembuhan. Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi
yang dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena
kemungkinan kita sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan
akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan
16
pada DBDterdapat tanda awal kegagalan sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan
dapatterjadi pada DD tanpa disertai gejala syok. Oleh karena itu, orang tua ataupasien
dinasehati bila terasa nyeri perut hebat, buang air besar hitam, atauterdapat perdarahan
kulit serta mukosa seperti mimisan, perdarahan gusi,apalagi bila disertai berkeringat
dingin, hal tersebut merupakan tandakegawatan, sehingga harus segera dibawa segera
ke rumah sakit.. Pada pasien yang tidak mengalamikomplikasi setelah suhu turun 2-3
hari, tidak perlu lagi diobservasi.Tatalaksana DD tertera pada Bagan 1 (Tatalaksana
tersangka DBD).[1]
Fase Demam
17
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat
simtomatik dansuportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila
cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut
yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-
kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi
lama demam pada DBD. Parasetamol direkomendasikan untuk pemberian atau dapat
disederhanakan seperti tertera pada Tabel 1.[4]
Tabel 1
Dosis Parasetamol Menurut Kelompok Umur
Umur (tahun) Parasetamol (tiap kali pemberian)
dosis (mg) Tablet (1 tab = 500 mg)
<1 60 1/8
1-3 60-125 1/8-1/4
4-6 125-250 1/4-1/2
7-12 250-500 1/2-1
>12 500-1000 1-2
18
Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat
dipertimbangkandengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar
Hb.[1]
Tabel 2
Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang (defisit cairan 5-8%)
Berat Badan Waktu Masuk RS Jumlah cairan
(kg) ml/kg berat badan per hari
<7 220
7-11 165
12-18 132
>18 88
19
Pemilihan jenis danvolume cairan yang diperlukan tergantung dari
umurdanberat badan pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai denganderajat
hemokonsentrasi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikandengan berat badan
ideal untuk anak umur yang sama. Kebutuhan cairanrumatan dapat diperhitungan dari
tabel 3 berikut.[1]
Tabel 3
Kebutuhan Cairan Rumatan
Berat Badan (kg) Jumlah cairan (ml)
10 100 per kg BB
10-20 1000 + 50 x kg (di atas 10 kg)
>20 1500 + 20 x kg (di atas 20 kg)
Misalnya untuk berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah 1500+(20x20)
=1900 ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan 24 jam. Oleh karena perembesan
plasma tidak konstan (perembesan plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun),
maka volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dankehilangan
plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Penggantian volume
yang berlebihan dan terus menerus setelah plasma terhenti perlu mendapat perhatian.
Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat terjadi
reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali ke dalam intravaskuler. Apabila pada saat itu
cairan tidak dikurangi, akan menyebabkan edema paru dan distres pernafasan[1]
Pasien harus dirawat dansegera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu
gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi lemah,
tekanan nadi menyempit (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan peningkatan
mendadak dari kadar hematokrit atau kadar hematokrit meningkat terus menerus
walaupun telah diberi cairan intravena.[1]
20
(Catatan:Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh
larutan yang mengandung dekstran)
Koloid
Dekstran 40
Plasma
Albumin
21
Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume Plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan
kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam dan
kemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48
jam. Pemasangan CVP yang ada kadangkala padapasien SSD berat, saat ini tidak
dianjurkan lagi.[1]
Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun,dibandingkan
nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau lebihmerupakan indikasi bahwa
keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya,cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48
jam syok teratasi. Apabila cairantetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat
terjadi reabsorpsiplasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar
hematokritsetelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan
hipervolemiadengan akibat edema paru dangagal jantung. Penurunan hematokrit pada
saatreabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapidisebabkan
oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresiscukup, tanda vital baik,
merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.[1]
Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok.
Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus diingat
pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.[1]
Transfusi Darah
22
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap pasien
syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi
darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit
untuk mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila disertai
hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% menjadi 40%) tanpa
perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda
adanya perdarahan. Pemberian darah segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan
karena cukup mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembesar trombosit.
Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien dengan KID dan
perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan
masif sehingga dapat menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi seperti waktu
tromboplastin parsial, waktu protombin, danfibrinogen degradation products harus
diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi terjadinya dan berat ringannya KID.
Pemeriksaanhematologis tersebut juga menentukan prognosis.[1]
Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secarateratur
untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan padamonitoring
adalah:
Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau
lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis pasien
stabil.
Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan,
jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah
mencukupi.
Jumlah dan frekuensi diuresis.
Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian
volumeintravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis
belumcukup 1 ml/kg/BB, sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan
diperkuatdengan tanda overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka
selanjutnya furosemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan jumlahdiuresis, kadar
ureum dankreatinin tetap harus dilakukan. Tetapi, apabiladiuresis tetap belum
23
mencukupi, pada umumnya syok belum dapat terkoreksidengan baik, maka pemberian
dopamin perlu dipertimbangkan.[1]
Mengingat pada saat awal pasien datang, kita belum selalu dapat menentukan
diagnosis DD/DBD dengan tepat, maka sebagai pedoman tatalaksana awal dapat dibagi
dalam 3 bagian, yaitu:[2]
1. Tatalaksana kasus tersangka DBD, termasuk kasus DD, DBD derajat I dan DBD
derajat II tanpa peningkatan kadar hematokrit. (Bagan 1 dan 2)
2. Tatalaksana kasus DBD, termasuk kasus DBD derajat II dengan peningkatan kadar
hematokrit. (Bagan 3)
3. Tatalaksana kasus sindrom syok dengue, termasuk DBD derajat III dan IV. (Bagan
4)
24
Bagan 1. Tatalaksana kasus tersangka DBD[2]
Tersangka
Tersangka DBD
DBD
Demam tinggi, mendadak
terus menerus <7 hari
tidak disertai infeksi saluran nafas bagian atas,
badan lemah/lesu
25
Bagan 2. Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II
tanpa peningkatan hematokrit[2]
DBDderajat
DBD derajatIIatau
atauIIIItanpa
tanpapeningkatan
peningkatanhematokrit
hematokrit
Gejala klinis:
Demam 2-7 hari
Uji torniquet (+) atau
perdarahan spontan
Laboratorium:
Hematokrit tidak meningkat
Trombositopenia (ringan)
Infus ganti RL
Perbaikan klinis dan laboratoris (tetesan disesuaikan, lihat Bagan 4)
26
Bagan 3. Tatalaksana kasus DBD derajat II dengan peningkatan
hematokrit >20%[2]
DBDderajat
DBD derajatIIatau
atauIIIIdengan
denganpeningkatan
peningkatanhematokrit
hematokrit>20%
>20%
Cairan awal
RL/RA/NaCl 0,9% atau RLD5/NaCl 0,9%+D5
6-7 ml/kgBB/jam
Monitor tanda vital/Nilai Ht & Trombosit tiap 6 jam
Perbaikan
Sesuaikan tetesan
Distress pernafasan Ht turun
3 ml/kgBB/jam Ht naik
Tek.nadi < 20 mmHg
IVFD stop setelah 24-48 jam
Apabila tanda vital/Ht stabil dan Koloid Transfusi darah segar
diuresis cukup 20-30 ml/kgBB 10 ml/kgBB
Indikasi Transfusi pd
Anak
- Syok yang belum teratasi
Perbaikan - Perdarahan masif
27
Bagan 4. Tatalaksana kasus DBD derajat III dan IV
DBD
DBDderajat
derajatIII
III&
&IV
IV
28
Pemberantasan Demam Berdarah Dengue
Kegiatan pemberantasan DBD terdiri atas kegiatan pokok dan kegiatan
penunjang. Kegiatan pokok meliputi pengamatan dan penatalaksaan penderita,
pemberantasan vektor, penyuluhan kepada masyarakat dan evaluasi.[3]
Kegiatan pokok
1. Pengamatan dan penatalaksanaan penderita
Setiap penderita/tersangka DBD yang dirawat di rumah sakit/puskesmas
dilaporkan secepatnya ke Dinas Kesehatan Dati II. Penatalaksanaan penderita
dilakukan dengan cara rawat jalan dan rawat inap sesuai dengan prosedur diagnosis,
pengobatan dan sistem rujukan yang berlaku.[3]
2. Pemberantasan vektor
Pemberantasan sebelum musim penularan meliputi perlindungan perorangan,
pemberantasan sarang nyamuk, dan pengasapan. Perlindungan perorangan untuk
mencegah gigitan nyamuk bisa dilakukan dengan meniadakan sarang nyamuk di
dalam rumah dan memakai kelambu pada waktu tidur siang, memasang kasa di
lubang ventilasi dan memakai penolak nyamuk. Juga bisa dilakukan penyemperotan
dengan obat yang dibeli di toko seperti mortein, baygon, raid, hit dll.[3]
Pergerakan pemberantasan sarang nyamuk adalah kunjungan ke rumah/tempat
umum secara teratur sekurang-kurangnya setiap 3 bulan untuk melakukan
penyuluhan dan pemeriksaan jentik. Kegiatan ini bertujuan untuk menyuluh dan
memotivasi keluarga dan pengelola tempat umum untuk melakukan PSN secara
terus menerus sehingga rumah dan tempat umum bebas dari jentik nyamuk Ae.
aegypti. Kegiatan PSN meliputi menguras bak mandi/wc dan tempat penampungan
air lainnya secara teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali, menutup rapat TPA,
membersihkan halaman dari kaleng, botol, ban bekas, tempurung, dll sehingga tidak
menjadi sarang nyamuk, mengganti air pada vas bunga dan tempat minum burung,
mencegah/mengeringkan air tergenang di atap atau talang, menutup lubang pohon
atau bambu dengan tanah, membubuhi garam dapur pada perangkap semut, dan
pendidikan kesehatan masyarakat.[3]
Pengasapan masal dilaksanakan 2 siklus di semua rumah terutama di kelurahan
endemis tinggi, dan tempat umum di seluruh wilayah kota. Pengasapan dilakukan di
29
dalam dan di sekitar rumah dengan menggunakan larutan malathion 4% (atau
fenitrotion) dalam solar dengan dosis 438 ml/Ha.[3]
Kegiatan penunjang
Kegiatan penunjang yang dilakukan adalah peningkatan keterampilan tenaga
melalui pelatihan, penataran, bimbingan teknis dan penyebarluasan buku petunjuk,
publikasi dll.
Pelatihan diberikan kepada teknisi alat semprot, petugas pemeriksa jentik, kader,
dan tenaga lapangan lainnya sedangkan pentaran diberikan kepada petugas sanitasi
puskesmas, dokter/kepala puskesmas, para medis, petugas pelaksana pemberantasan
DBD Dinas Kesehatan. Selain itu diadakan pertemuan/rapat kerja di berbagai
tingkat mulai dari puskesmas sampai tingkat pusat.[3]
Penelitian dilaksanakan dalam rangka mengembangkan teknologi
pemberantasan meliputi aspek entomologi, epidemiologi, sosioantropologi, dan
klinik. Penelitian diselenggarakan oleh Depkes, perguruan tinggi, atau lembaga
penelitian lainnya.[3]
PROGNOSIS
Prognosis dengue tergantung kepada adanya antibodi yang didapat secara pasif
atau didapat yang meningkatkan kecenderungan terjadinya demam berdarah dengue.
30
Pada DBD kematian terjadi pada 4050% pasien dengan syok, tetapi dengan perawatan
intensif, kematian dapat diturunkan hingga < 1%. Kemampuan bertahan berhubungan
dengan terapi suportif awal.Kadang-kadang terdapat sisa kerusakan otak yang
diakibatkan oleh syok berkepanjangan atau terjadi pendarahan intracranial.
DAFTAR PUSTAKA
31
1) Hadinegoro S.R.H, Soegijanto S, dkk. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di
IndonesiaDepartemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan.. Edisi 3. Jakarta.
2004.
2) Suhendro dkk. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
III. Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, Juni 2006. Hal. 1731-5.
3) Sungkar S. Demam Berdarah Dengue. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan
Ikatan Dokter Indonesia. Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta,
Agustus 2002.
4) Asih Y. S.Kp. Demam Berdarah Dengue, Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan,
dan Pengendalian.World Health Organization. Edisi 2. Jakarta. 1998.
5) Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. Nelson Textbook of Pediatric. Ed 18.
Saunders. 2007.
6) World Health Organization.Dengue hemorrhagic fever. Guideline for Diagnosis,
Treatment, Prevention and Control; WHO : 2009.
7) Centers for Disease Control and Prevention. Dengue. Clinical Manifestation and
Epidemiology. CDC : 2009
32