Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH STUDI KASUS

FARMASI RUMAH SAKIT

EVALUASI PENGELOLAAN OBAT DAN STRATEGI PERBAIKAN


DENGAN METODE HANLON

Dosen Pengampu :
Tri Wijayanthi., S.Farm., MPH., Apt

Oleh
KELOMPOK B1/2:

Maria Fransiska Finit 1620323482

Maria Frumensia Owa Wea 1620323483

Maria Viani Nogo Wator 1620323484

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER XXXII


FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARATA
2016
BAB I

PENDAHULUAN

Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit yang
menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu. Hal tersebut diperjelas dalam Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor : 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah
Sakit, yang menyebutkan bahwa pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan
pasien, penyediaan obat yang bermutu,
Salah satu upaya kesehatan yang dilakukan pemerintah adalah dengan
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan rumah sakit yang antara lain dapat dicapai
dengan penggunaan obat-obatan yang rasional dan berorientasi kepada pelayanan pasien,
penyediaan obat yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat (Siregar,
2004).
Biaya yang diserap untuk penggunaan obat merupakan komponen terbesar dari
pengeluaran rumah sakit. Dengan adanya belanja perbekalan farmasi yang demikian besar
tentunya harus dikelola dengan efektif dan efisien, hal ini perlu dilakukan mengingat dana
kebutuhan obat di rumah sakit tidak selalu sesuai dengan kebutuhan.
Instalasi farmasi rumah sakit (IFRS) adalah bagian dari rumah sakit yang bertugas
menyelenggarakan, mengkooadinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan
farmasi serta melaksanaan pembinaan teknis kefarmasian di rumah sakit, sedangkan Komite
Farmasi dan Terapi adalah bagian yang bertanggung jawab tentang penyusunan formularium
rumah sakit dapat sesuai dengan aturan yang berlaku, maka diperlukam pedoman yang tepat
untuk digunakan dalam pengelolaan perbekalan farmasi di rumah IFRS
Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan adalah suatu proses yang merupakan
siklus kegiatan yang dimulai dari perencanaan, pengadaan/produksi, penerimaan,
pendistribusian, pengawasan, pemeliharaan, penghapusan, pemantauan, administrasi, pelaporan,
dan evaluasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan. Tujuan pengelolaan sediaan farmasi dan
alat kesehatan yaitu agar tersedianya sediaan farmasi dan alat kesehatan yang bermutu dalam
jumlah dan pada saat yang tepat sesuai spesifikasi dan fungsi yang ditetapkan oleh panitia
farmasi dan terapi (Quick,1997).
Pengelolaan obat oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) mempunyai peran
penting dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan di rumah sakit, oleh karena itu
pengelolaan obat yang kurang efisien pada semua tahap akan berpengaruh terhadap peran
rumah sakit secara keseluruhan (Sheina,2010).
Tahap pengelolaan obat meliputi seleksi dan perencanaan, pengadaan,penerimaan,
penyimpanan, distribusi dan penggunaan. Tujuan untuk menganalisis kualitas pengelolaan obat
sehingga perlu indikator dari tiap tahap pengelolaan obat
SELE
KSI

PENGGUNA PERENC
AN OBAT. ANAAN

DISTRI PENG
BUSI ADAA
N

PENYIM
PANAN

1. SELEKSI
Dasar-dasar seleksi kebutuhan obat meliputi :
a. Obat dipilih berdasarkan seleksi ilmiah, medis dan statistic yang memberikan efek
terapi jauh lebih baik dibandingkan dengan risiko efek samping yang ditimbulkan.
b. Jenis obat yang diplih seminimal mungkin untuk menghindari duplikasi dan
kesamaan jenis
c. Apabila jenis obat dengan indikasi sama dalam jumlah banyak, maka kita memilih
berdasarkan drug of choice dari penyakit yang prevalensinya tinggi
d. Jika ada obat baru, harus ada bukti yang spesifik untuk terapi yang lebih baik
e. Menghindari penggunaan obat kombinasi, kecuali jika obat kombinasi tersebut
mempunyai efek yang lebih baik disbanding obat tunggal
Indikator seleksi obat: kesesuaian item obat yang tersedia dengan DOEN
2. PERENCANAAN
Merupakan suatu proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga
perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari
kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung jawabkan dan
dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain metode konsumsi,
epidemiologi, serta metode kombinasi konsumsi dan epidemiologi yang disesuaikan
dengan anggaran yang tersedia (Anonim, 2004).
Tujuan perencanaan: untuk mendapatkan jenis dan jumlah obat yang sesuai
dengan pola penyakit dan kebutuhan pelayanan, menghindari terjadinya stock out dan
meningkatkan penggunaan obat secara rasional.
Acuan yang digunakan dalam perencanaan, yaitu :
a. DOEN, Formularium RS, Standar Terapi Rumah Sakit (Standard Treatment
Guidelines/STG) dan kebijakan setempat yang berlaku
b. Data catatan medik
c. Anggaran yang tersedia
d. Penetapan prioritas
e. Pola penyakit
f. Sisa persediaan
g. Data pengggunaan periode yang lalu
h. Rencana pengembangan
Beberapa indikator yang digunakan dalam perencanaan obat adalah
(Pudjaningsih, 1996):
a. Persentase Dana persentase dana yang tersedia pada IFRS dibanding kebutuhan
dana yang sesungguhnya. Nilai standar persentase dana yang tersedia adalah 100%.
b. Penyimpangan perencanaan jumlah item obat dalam perencanaan dan jumlah item
obat dalam kenyataan pakai. Nilai standar batas penyimpangan perencanaan adalah
20-30%

Metode perencanaan
Ada tiga jenis metode perencanaan yaitu
1) Metode Konsumsi
Perencanaan dengan metode konsumsi dilakukan berdasarkan data penggunaan obat
diwaktu yang lalu. Data penggunaan obat waktu yang lalu untuk metode konsumsi
harus akurat. Metode konsumsi ini dapat menyebabkan penggunaan obat yang
kurang rasional akan terus terjadi berbeda dengan halnya metode epidemiologi yaitu
mengambil asumsi bahwa pengobatan disesuaikan dengan penyakit yang ada atau
terjadi pada saat tertentu (Siregar,2004).
2) Metode Epidemologi
Perencanaan dengan metode epidemiologi dilakukan berdasarkan data tingkat
kejadian penyakit dan standart pengobatan untuk penyakit tersebut
3) Kombinasi Metode Epidemologi dan Metode Konsumsi
Kombinasi metode konsumsi dan metode morbiditas disesuaikan dengan anggaran
yang tersedia.
Untuk mencapai efisiensi dalam penyusunan daftar kebutuhan obat digunakan
gabungan dua cara analisis, yaitu analisis VEN dan ABC (Paretto).
Analisis VEN
Analisis VEN mengelompokan obat berdasarkan tingkat kegawatdaruratan untuk
pengobatan pasien. Pembagian VEN adalah sebagai berikut :
a) Kategori V adalah obat vital dengan jumlah sedikit tetapi harus selalu disediakan
untuk menyelamatkan jiwa pasien (life-saving drug), misalnya insulin, heparin,
adrenalin, atropin sulfat, albumin dan obat-obat pelayanan kesehatan standar,
misalnya serum antibisa ular.
b) Kategori E adalah obat esensial yang umum digunakan dalam pelayanan
kesehatan masyarakat, misalnya obat jantung, obat hipertensi, obat diabetes.
c) Kategori N adalah obat non-esensial yang boleh disediakan atau boleh tidak
disediakan karena tidak membahayakan nyawa bila tidak tersedia, misalnya food
suplement dan vitamin (Quick,1997).
Analisis ABC / Paretto
Analisis ABC/Paretto mengelompokkan obat berdasarkan volume and value of
consumption obat, yaitu sebagai berikut:
a) Kelompok A adalah obat yang berharga mahal dan sering ditulis dengan resep
dokter, menyerap dana sebesar 80% dari total dana dengan jumlah item 20%
dari total item obat yang ada.
b) Kelompok B adalah obat yang dibutuhkan dalam banyak kasus dan sering keluar,
menyerap dana sebesar 15% dari total dana dengan jumlah item 60% total
item obat yang ada.
c) Kelompok C adalah kelompok obat yang hanya sebagai suplemen saja. Menyerap
dana sebesar 5% dari total dana dengan jumlah item 20% total item obat yang
ada (Quick,1997).
3. PENGADAAN
Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan adalah upaya pemenuhan kebutuhan
obat dan perbekalan kesehatan sesuai dengan jenis, jumlah dan mutu yang telah
direncanakan sesuai kebutuhan pembangunan kesehatan. Pengadaan merupakan proses
untuk penyediaan obat yang dibutuhkan di unit pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2008).
Fungsi pengadaan adalah merupakan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan untuk memenuhi
kebutuhan operasional yang telah ditetapkan di dalam fungsi perencanaan, penentuan
kebutuhan (dengan peramalan yang baik), maupun penganggaran. Tujuan pengadaan obat
adalah agar tersedianya obat dengan jenis dan jumlah yang cukup sesuai kebutuhan
dengan mutu yang terjamin serta dapat diperoleh pada saat diperlukan.
Pengadaan merupakan kegiatan untuk merelisasikan kebutuhan yang telah
direncanakan dan disetujui, melalui:
1) Pembelian
Pembelian dengan penawaran yang kompetitif( tender) merupakan suatu
metode penting untuk mencapau keseimbangan yang tepat antara mutu dan harga,
apabila ada dua atau lebih pemasok, apoteker harus mendasarkan pada criteria
berikut : mutu produk, reputasi produsen, harga, berbagai syarat, ketepatan waktu
pengiriman, mutu pelayanan pemasok, dapat dipercaya, kebijakan tentang barang
yang dikembalikan, dan pengemasan.
Pembelian adalah rengakain proses pengadaan unutuk mendapatkan
perbekalan farmasi. Hal ini sesuai dengan peraturan presiden RI no 94 tahun 2007
tentang pengendalian dan pengawasan atas pengadaan dan penyaluran bahan obat,
obat spesifik dan alat kesehatan yang berfungsi sebagai obat dan peraturan presiden
RI no 95 tahun 2007 tentang perubahan ketujuh atas keputusan presiden no 80 tahun
2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang atau jasa pemerintah.
Menurut Quick J. et al, ada empat metode pembelian obat, yaitu :
a. Tender terbuka (pelelangan umum)
Berlaku untuk semua rekanan yg terdaftar dan sesuai dengan kriteria yang
telah ditetapkan
Pada penentuan harga, metode ini lebih menguntungkan tetapi memerlukan
waktu yang lama, perhatian lebih, dan staff yang kuat
b. Tender terbatas atau lelang tertutup (pelelangan terbatas)
Hanya dilakukan pada rekanan tertentu yang sudah terbatas dan punya riwayat
baik
Harga masih dapat dikendalikan,tenaga dan beban kerja lebih ringan daripada
lelang terbuka
c. Pembelian dengan negosiasi dan kontrak kerja (Pembelian dengan tawar
menawar)
Dilakukan pendekatan dengan rekanan terpilih ,terbatas tidak lebih dari 3
rekanan untuk penentuan harga.
Ada tawar menawar untuk pencapaian spesifik harga
d. Pengadaan langsung
Biasanya pembelian jumlah kecil dan perlu segera tersedia.
Harga relatif lebih mahal
2) Produksi
Produksi sediaan farmasi di rumah sakit merupakan kegiatan membuat,
merubah bentuk, dan pengemasan kembali sediaan farmasi steril atau non-steril
untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Kriteria sediaan farmasi yang di prosuksi :
Sediaan farmasi dengan formula khusus
Sediaan farmasi dengan mutu sesuai standar dengan harga lebih murah
Sediaan farmasi yang memerlukan pengemasan kembali
Sediaan farmasi yang tidak tersedia di pasaran
Sedian farmasi untuk penelitian
Sediaan nutrisi parenteral
Rekonstotusi sediaan sediaan farmasi sitostasika
Sediaan farmasi yang harus selalu di buat baru
3) Sumbangan /hibah/droping
Pada prinsipn pengelolaan perbekalan farmasi dari hibah/ sumbangan,
mengikuti kaidah umum pengelolaan perbekalan farmasi regular. Perbekalan farmasi
yang tersisa dapat dipakai untuk menunjang pelayanan kesehatan disaat situasi
normal. (Depkes RI,2008)

4. PENERIMAAN
Penerimaan adalah kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah
diadakan sesuai aturan kefarmasian, melalui pembelian langsung, tender, konsinyasi atau
sumbangan. Penerimaan perbekalan farmasi harus dulakukan oleh petugas yang
bertanggung jawab terutama farmasis. Tujuan penerimaan adalah untuk menjamin
perbekalan farmasi yang diterima sesuai kontrak baik spesifikasi mutu, jumlah maupun
waktu kedatangan.
Perbekalan farmasi yang di terima harus sesuai dengan spesifikasi kontrak yang
telah ditetapkan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penerimaan :
Harus mempunyai Material, Safety, Data, Sheet(MSDS), untuk bahan berbahaya.
Khusus untuk alat kesehatan harus mempunyai serticate of origin.
Sertifikat analisa produk (Depkes RI,2008)
5. PENYIMPANAN
Gudang merupakan tempat penyimpanan sementara sediaan farmasi dan alat
kesehatan sebelum didistribusikan. Fungsi gudang adalah mempertahankan kondisi
sediaan farmasi dan alat kesehatan yang disimpan agar tetap stabil sampai ke tangan
pasien (Siregar,2004).
Tujuan penyimpanan adalah :
a) Memelihara mutu sediaan farmasi
b) Menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab
c) Menjaga ketersediaan
d) Memudahkan pencarian dan pengawasan (Depkes RI,2008)
Pengaturan sistem penyimpanan dilakukan secara fisrt expired fisrt out (FEFO)
dan fisrt in fisrt out (FIFO). Sistem FEFO adalah obat yang memiliki waktu kadaluwarsa
lebih pendek keluar terlebih dahulu, sedangkan dalam sistem FIFO obat yang pertama
kali masuk adalah obat yang pertama kali keluar. Tujuannya agar menghindari
penumpukan stok barang yang dapat menyebabkan kadaluwarsa dan obat rusak
(Quick,1997).
Obat-obatan sebaiknya disimpan sesuai dengan syarat kondisi penyimpanan
masing-masing obat. Kondisi penyimpanan yang dimaksud antara lain adalah
temperatur/suhu sekitar 20-250C, kelembaban dan atau paparan cahaya. Tempat
penyimpanan yang digunakan dapat berupa ruang atau gedung yang terpisah, lemari,
lemari terkunci, lemari es, freezer, atau ruangan sejuk. Tempat penyimpanan tergantung
pada sifat atau karakteristik masing-masing obat (Siregar,2004).
Permenkes 28/MENKES/PER/I/1978 tentang penyimpanan narkotika disebutkan
bahwa RS harus memiliki tempat khusus untuk menyimpan narkotika, dimana tempat
tersebut harus seluruhnya terbuat dari kayu atau bahan lain yang kuat, selain itu tempat
penyimpanan narkotika tersebut harus mempunyai kunci yang kuat dan tempat
penyimpanan terbagi menjadi 2 bagian masing-masing dengan kunci yang berlainan.
6. DISTRIBUSI
Merupakan proses yang dimulai dari permintaan sampai penyerahan ke
penggunaan perbekalan farmasi di RS yaitu pasien dan petugas kesehatan. Tujuan
distribusi yaitu untuk menjamin ketersediaan obat (tepat waktu, tepat jenis dan tepat
jumlah), memelihara mutu obat, menghindari penggunaan yang tidak bertanggungjawab,
menjaga kelangsungan persediaan, memperpendek waktu tunggu, pengendalian
persediaan, dan memudahkan pencarian dan pengawasan.
Sistem distribusi obat di rumah sakit sangat bervariasi tergantung dari kebijakan
yang diterapkan rumah sakit.
1) Distribusi rawat inap
Ada tiga macam sistem pendistribusian rawat inap, yaitu:
Sistem persediaan lengkap (Floor stock system), meliputi semua persediaan obat
dan alat kesehatan yang dibutuhkan diruangan. Pelayanan dalam sistem
persediaan ruangan salah satu adalah penyediaan emergency kit (kotak obat
darurat) yang digunakan untuk keperluan gawat darurat (Siregar,2004).
Resep perorangan (individual prescribing) merupakan cara distribusi obat dan
alat kesehatan berdasarkan permintaan dalam resep atau kartu obat pasien rawat
inap. Sistem ini memiliki keuntungan berupa adanya pengkajian resep pasien
oleh apoteker adanya kesempatan interaksi profesional penggunaan obat lebih
terkendali dan mempermudah penagihan biaya obat pada pasien.
Keterbatasannya adalah adanya kemungkinan keterlambatan obat untuk dapat
sampai kepada pasien (siregar dan amalia, 2004).
sistem unit dose dispensing (UDD) didefinisikan sebagai obat yang disiapkan
dan diberikan kepada pasien dalam unit dosis tunggal yang berisi obat untuk
sekali minum. Konsep UDD bukan merupakan inovasi baru dalam farmasi dan
pengobatan. Unit dose dispensing merupakan tanggung jawab farmasi yang tidak
dapat berjalan disituasi institusi rumah sakit tanpa kerja sama dengan perawat
dan staf kesehatan yang lain. Keuntungan UDD antara lain penderita hanya
membayar obat yang digunakanya saja,mengurangi kesalahan pengobatan,
memperbesar komunikasi antara apoteker-dokter perawat,serta apoteker dapat
melakukan pengkajian penggunaan obat. Keterbatasannya adalah jumlah tenaga
farmasi yang dibutuhkan lebih tinggi (Siregar dan Amalia,2004).
2) Disribusi rawat jalan
Pedoman pelayanan farmasi untuk pasien rawat jalan (ambulatory) di RS
mencakup: persyaratan manajemen, persyaratan fasilitas dan peralatan, persyaratan
pengelohan order atau resep obat, dan pedoman operasional lainnya (siregar dan
amalia, 2003).
Pelayanan farmasi untuk penderita ambulatory harus dipimpin oleh seorang
apoteker yang memenuhi syarat secara hukum dan kompeten secara professional
(Anonim,2012).
Sistem distribusi obat yang digunakan untuk pasien rawat jalan adalah sistem
resep perorangan yaitu cara distribusi obat pada pasien secara individual berdasarkan
resep dokter. Pasien harus diberikan informasi mengenai obat karena pasien sendiri
yang akan bertanggung jawab atas pemakaian obat tanpa adanya pengawasan dari
tenaga kesehatan. Apoteker juga harus bertindak sebagai konsultan obat bagi pasien
yang melakukan swamedikasi (Siregar dan Amalia, 2004).

7. PENGENDALIAN
Pengendalian persedian adalah suatu kegiatan untuk memastikan tercapainya
sasaran yang diinginkan sesuai dengan strategi dan program yang telah ditetapkan
sehingga tidak terjadi kelebihan dan kekurangan/ kekosongan obat di unit-unit pelayanan.
Tujuan pengendalian adalah agar tidak terjadi kelebihan dan kekosongan perbekalan
farmasi di unit-unit pelayanan (Depkes RI,2008)
Kegiatan pengendalian mencakup :
Memperkirakan/menghitung pemakaian rata-rata periode tertentu. Jumlah stok ini
disebut stok kerja.
Menentukan stok optimum adalah stok obat yang diserahkan kepada unit pelayanan
agar tidak mengalami kekurangan/ kekosongan.
Menentukan waktu tunggu (lead time) adalah waktu yang diperlukan dari mulai
pemesanan sampai obat diterima (Depkes RI,2008)

8. PENGHAPUSAN/ PEMUSNAHAN
Penghapusan merupakan kegiatan penyelesaian terhadap perbekalan farmasi yang
tidak terpakai karena kadaluwarsa, rusak, mutu tidak memenuhi standar dengan cara
membuat usulan penghapusan perbekalan farmasi kepada pihak terkait sesuai dengan
prosedur yang berlaku. Tujuan penghapusan adalah untuk menjamin perbekalan farmasi
yang sudah tidak memenuhi syarat dikelola sesuai dengan standar yang berlaku. Adanya
penghapusan akan mengurangi beban penyimpanan maupun mengurangi risiko terjadi
penggunaan obat yang sub standar (Depkes RI,2008). Pemusnahan Narkotika diatur
dalam pasal 60 dan 61 UU No.22 Tahun 1997, yaitu: Pasal 60

9. PENCATATAN DAN PELAPORAN


1) Pencatatan
Pencatatan merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk memonitor transaksi
perbekalan farmasi yang keluar dan masuk di lingkungan IFRS. Adanya pencatatan
akan memudahkan petugas untuk melakukan penelusuran bila terjadi adanya mutu
obat yang sub standar dan harus ditarik dari peredaran. Pencatatan dapat dilakukan
dengan menggunakan bentuk digital maupun manual. Kartu yang umum digunakan
untuk melakukan pencatatan adalah Kartu Stok dan Kartu Stok Induk
(Anonim,2012).
2) Pelaporan
Pelaporan adalah kumpulan catatan dan pendataan kegiatan administrasi perbekalan
farmasi, tenaga dan perlengkapan kesehatan yang disajikan kepada pihak yang
berkepentingan.
Tujuan:
Tersedianya data yang akurat sebagai bahan evaluasi,
Tersedianya informasi yang akurat,
Tersedianya arsip yang memudahkan penelusuran surat dan laporan,
Mendapat data yang lengkap untuk membuat perencanaan (Depkes RI,2008
10. MONITORING DAN EVALUASI
Salah satu upaya untuk terus mempertahankan mutu pengelolaan perbekalan
farmasi dirumah sakit adalah dengan melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi.
Kegiatan ini juga bermanfaat sebagai masukan guna penyusunan perencanaandan
pengambilan keputsan. Pelaksanaan evaluasi dapat dilakukan secara periodic dan
berjenjang. Keberhasilan evaluasi ditentukan oleh supervisor maupun alat yang
digunakan (Depkes RI,2008)
1) Monitoring
Monitoring adalah proses rutin pengumpulan data dan pengukuran kemajuan atas
objektif program/memantau perubahan yang fokus pada pengamatan atas kualitas
pelayanan (Depkes RI,2008)
2) Evaluasi
Evaluasi adalah penggunaan metode penelitian sosial secara sistematis
menginvestigasi efektifitas program dan menilai kontribusi program terhadap
perubahan (Goal/objektif) dan menilai kebutuhan perbaikan, kelanjutan atau
perluasan program (rekomendasi)
BAB II
PEMBAHASAN KASUS

KASUS 2. Evaluasi Pengelolaan Obat Dan Strategi Perbaikan Dengan Metode Hanlon Di
IFRS RS X

Pengelolaan obat merupakan suatu siklus manajemen obat yang meliputi empat tahap
yaitu seleksi, perencanaan dan pengadaan, distribusi dan penggunaan, Pengelolaan obat
dilakukan oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Penelitian menggunakan rancangan diskriptif
untuk data tahun 2012 yang bersifat retrospektif dan concurent. Data dikumpulkan berupa data
kuantitatif dan kualitatif dari pengamatan dokumen serta wawancara dengan petugas IFRS
terkait. Seluruh tahap pengelolaan obat di RS X diukur tingkat efisiensi mengunakan indikator
DepKes dan WHO, kemudian dibandingkan dengan standar atau hasil penelitian lainnya dan
selanjutnya diolah serta deskripsikan berdasarkan analisis prioritas rencana tindakan dengan
Metode Hanlon. Hasil penelitian didapatkan sistem pengelolaan obat yang sesuai standar sebagai
berikut : kesesuaian DOEN (77,56%), persentase modal/dana (100%), kecocokan kartu stock
obat (100%), rata-rata waktu melayani resep, resep obat generik (96,52%), persentase label obat
(100%). Tahapan yang belum sesuai standar yaitu : kesesuaian perencanaan obat dengan
kenyataan (72,73%), persentase alokasi dana (6,51%), frekuensi pengadaan tiap item obat 1 kali
sedangkan menurut EOQ 2 kali, nilai ITOR (5,77 kali), tingkat ketersediaan obat (11,47 bulan),
persentase nilai obat kadaluwarsa/rusak (2,21%), persentase stock mati (5%), jumlah item obat
tiap lembar resep (3,23), persentase resep yang tidak terlayani (13,84%).

Pertanyaan :
a. Bagaimana pengelolaan obat di rumah sakit?
b. Jelaskan permasalahan yang terdapat di RS X?
c. Bagaimana kajian pengelolaan obat di Instalasi Farmasi RS X dengan menggunakan
indikator efisiensi dan dilakukan strategi perbaikan dengan metode Hanlon?
PEMBAHASAN KASUS

1. Bagaimana pengelolaan obat di rumah sakit?


a. Kesesuaian obat dengan yang ada dalam daftar DOEN
Penerapan DOEN dimaksudkan untuk meningkatkan ketepatan, keamanan,
kerasional penggunaan dan pengelolaan obat yang sekaligus sebagai salah satu
langkah untuk memperluas, memeratakan dan meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan kepada masyarakat.
Kesesuaian obat yang ada dalam daftar DOEN yaitu 77,56%. Dari hasil persen
kesesuaian obat yang tersedia sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan yaitu
76% (DepKes 2002). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan penggunaan
obat essensial sudah sesuai dengan standar.
b. Modal/dana
Persentase modal/dana yang tersedia dengan keseluruhan dana yang dibutuhkan oleh
Rumah Sakit X adalah 100%. Hal ini sesuai dengan nilai standar menurut indikator
Pudjaningsih (1996) yaitu persentase modal dana yang tersedia dengan kebutuhan
dana yang dibutuhkan sebesar 100%.
c. Alokasi dana
Persentase alokasi dana yang disediakan untuk pengadaan obat hanya sebesar 6,51%
dari keseluruhan anggaran rumah sakit. Nilai presentase ini sangat kecil bila
dibandingkan dengan nilai standar yaitu berkisar antara 30-40% (Hudyono dan
Andayaningsih), maka pengelolaan obat pada indikator tersebut belum efisien.
d. Kesesuaian antara perencanaan obat dengan kenyataan pakai untuk masing-masing
obat.
Kesesuaian perencanaan jumlah item obat yang direncanakan sebesar 72,73%. Jika
dibandingkan dengan hasil penelitian Pudjaningsih (1996) yang menunjukkan
persentase 100%- 120%, maka pengelolaan obat pada indikator tersebut belum
efsien.
e. Frekuensi pengadaan tiap item obat 1 kali sedangkan menurut EOQ 2 kali
Frekuensi pengadaan tiap item obat 1 adalah 1 kali dalam setahun (frekuensi rendah)
sedangkan untuk frekuensi pengadaan jika dihitung melalui metode Economic Order
Quantity (EOQ) adalah berkisar 2 kali dalam setahun. Masih besarnya selisih dari
frekuensi pengadaan sesuai kenyataan dengan frekuensi pengadaan sesuai EOQ,
maka pengelolaan obat pada indikator tersebut belum efsien dan tergolong ke dalam
frekuensi rendah. Ketika frekuensi pengadaan dapat ditingkatkan dengan metode
EOQ dapat menurunkan biaya penyimpanan dan resiko kerusakan/kadaluwarsa,
walaupun biaya pemesanan meningkat tetapi dapat melakukan efisiensi biaya yang
besar.
f. Kecocokan kartu stock obat (100%)
Kecocokan kartu stock obat pada rumah sakit yaitu 100%. Dan Menurut WHO
(1993) bahwa kecocokan antara stock gudang dengan kondisi fisik adalah 100%,
sehingga dapat dikatakan bahwa pengelolaan obat di gudang sudah efisien.
g. Nilai ITOR (5,77 kali)
Nilai ITOR (5,77 kali), sedangkan Menurut Pudjaningsih (1996) standar ITOR untuk
rumah sakit adalah 8-12 kali setahun. Hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai TOR
belum sesuai standar.
h. Tingkat ketersediaan obat
Tingkat ketersediaan obat yaitu 11,47 bulan. Pengukuran Indikator tingkat
ketersediaan obat di instalasi farmasi menunjukkan bahwa rata-rata tingkat
ketersediaan obat belum memenuhi standar keefisienan tingkat ketersediaan obat
dimana standar untuk kebutuhan persediaan obat menurut Andayaningsih (1996)
yaitu antara 12-18 bulan.
i. Rata-rata waktu melayani resep
Rata-rata waktu yang digunakan untuk melayani resep sampai ke tangan pasien baik
resep obat non racikan dan resep obat racikan telah memenuhi syarat indikator yang
ada, sehingga dapat dikatakan bahwa rata-rata lama waktu yang digunakan telah
maksimal dan memenuhi standar. Jika dibandingkan dengan nilai yang diharapkan
Depkes RI (2007) untuk sediaan racikan 60 menit dan sediaan jadi 30 menit, maka
pengelolaan obat pada indikator tersebut sudah efsien
j. Persentase nilai obat kadaluwarsa/rusak (2,21%),
persentase nilai obat kadaluwarsa/rusak di instalasi faramsi rumah sakit adalah
2,21%, Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Pudjaningsih (1996) yang
memberikan persentase maksimal 0%, maka pengelolaan obat pada indikator tersebut
belum efsien.
k. Persentase stock mati.
Persentase stock mati Obat adalah 5%. Hasil yang diperoleh melebihi standar
menurut Pudjaningsih (1996) yaitu 0%
l. Jumlah item obat tiap lembar resep
Rata-rata jumlah item obat per tiap lembar resep yang di tulis oleh dokter adalah 3,23
macam item obat. Menurut WHO (1993) rata-rata jumlah penulisan item obat tiap
lembar resep adalah 2 item per lembar resep, maka dapat dkatakan bahwa sudah
efsien
m. Persentase penulisan resep generik.
Resep obat generik pada rumah sakit adalah 96,52%. Hal ini memperlihatkan bahwa
penulisan obat generik dirumah sakit sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan
oleh WHO yaitu 85%.
n. Persentase resep yang tidak terlayani.
persentase resep yang tidak terlayani adalah 13,84% sehingga perlu dilakukan
perbaikan atau ditingkatkan.
o. Persentase obat yang dilabeli dengan benar
Persentase label obat adalah 100% sehingga dapat dikatakan bahwa telah memenuhi
standar.
2. Jelaskan permasalahan yang terdapat di RS X?
kesesuaian perencanaan obat dengan kenyataan (72,73%), persentase alokasi dana
(6,51%), frekuensi pengadaan tiap item obat 1 kali sedangkan menurut EOQ 2 kali, nilai
ITOR (5,77 kali), tingkat ketersediaan obat (11,47 bulan), persentase nilai obat
kadaluwarsa/rusak (2,21%), persentase stock mati (5%), jumlah item obat tiap lembar
resep (3,23), persentase resep yang tidak terlayani (13,84%).
a. Adanya beberapa pengelolaan obat yang belum sesuai dengan standar disebabkan
karena salah satunya adalah belum adanya Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) di RS X
sehingga perlu membentuk PFT dan melakukan penyusunan formularium agar
perencanaan dan pengadaan yang dilakukan sesuai dengan acuan atau pedoman.
b. Persentase alokasi dana (6,51%)
Alokasi dana sangat kecil dengan nilai standar 30- 40% sehingga perlu diadakan
pengusulan kenaikan anggaran pengadaan obat supaya ketersediaan obat dapat
terpenuhi
c. kesesuaian perencanaan obat dengan kenyataan (72,73%)
Hal ini disebabkan karena belum optimalnya perencanaan dan dana yang disediakan
oleh rumah sakit terlalu rendah sehingga menyebabkan item obat yang tersedia jadi
kecil padahal kebutuhan obat yang riilnya sangat besar. Upaya yang perlu dilakukan
agar dana yang tersedia benar-benar digunakan untuk memenuhi semua kebutuhan
rumah sakit adalah melakukan perencanaan dengan selektif yang mengacu pada
prinsip efektif, aman, ekonomis, rasional dan diadakan koreksi dengan metode ABC
dan VEN (Quick et al, 1997).
d. frekuensi pengadaan tiap item obat 1 kali sedangkan menurut EOQ 2 kali
frekuensi pengadaan tiap item obat masih terlalu kecil sehingga perlu ditingkatkan
lagi. Ketika frekuensi pengadaan dapat ditingkatkan dengan metode EOQ, maka
dapat menurunkan biaya penyimpanan dan resiko kerusakan/kadaluwarsa.
e. ITOR (5,77 kali)
Kecilnya nilai ITOR yang diperoleh Rumah Sakit , dapat disebabkan oleh adanya
stock mati. Jika jumlah stock mati sangat besar dapat mempengaruhi nilai persediaan,
belum adanya Panitia Farmasi dan Terapi sehingga proses perencanaan dan
pengadaan obat yang dilakukan tidak menggunakan acuan atau pedoman, selain itu
juga sistem pengadaan obat melalui proses tender, kecukupan dana untuk obat yang
sangat rendah.
f. Tingkat ketersediaan obat (11,47 bulan)
Tingkat ketersediaan obat yang masih kecil karena beberapa alasan, diantaranya
alokasi dana yang diberikan sangat kecil, proses perencanaan dan pengadaan obat
yang belum mengacu pada pedoman
g. Persentase nilai obat kadaluwarsa/rusak (2,21%), persentase stock mati (5%)
Tingginya persentase nilai obat kadarluwarsa/rusak dan stock mati dibandingkan
dengan standar yang ditetapkan. Hal ini karena distribusi obat yang kurang lancar dan
pemesanan obat yang tidak sesuai dengan kebutuhan sehingga perlu dilakukan
pendataan obat yang mendekati tanggal kadaluwarsa. Disamping itu, adanya obat
kadaluwarsa dalam persediaan kemungkinan besar merupakan obat obat yang sudah
ada sejak satu hingga tiga tahun yang lalu yang telah rusak atau pengembalian dari
pasien yang sudah dalam bentuk tidak utuh sehingga tidak dapat diretur ke pihak
distributor. Selain itu bisa juga karena pola peresepan yang berubah karena belum
dibentuknya PFT yang menyebabkan belum dibuatnya formularium rumah sakit yang
menjadi pedoman bagi semua staf medik di rumah sakit dalam melakukan pelayanan.
Jika pemesanan obat sesuai dengan formularium dan adanya kerjasama dengan dokter
untuk meresepkan obat sesuai dengan formularium maka dapat mengurangi stok mati
dan obat kadaluarsa/ rusak
h. Jumlah item obat tiap lembar resep (3,23)
Tingginya nilai rata rata jumlah item obat perlembar resep beresiko pada kejadian
pemberian obat yang berlebihan dari pada yang diperlukan, sehingga diperlukan
peran PIO dalam memberikan informasi obat sehingga peresepan obat lebih rasional,
efektif dan efisien.
i. Persentase resep yang tidak terlayani (13,84%)
Banyaknya resep yang tidak terlayani bisa terjadi karena tidak tersedianya obat atau
tingginya obat kadarluwarsa dan stok mati. Obat yang tidak tersedia karena tidak
adanya perencanaan yang baik untuk pengadaan,kurangnya dana yang dbutuhkan
untuk melakukan pengadaan obat, perlu dilakukan sistem komputerisasi untuk
mengawasi stok obat agar terhindar dari kerusakan, kehilangan dan kelebihan.
3. Bagaimana kajian pengelolaan obat di Instalasi Farmasi RS X dengan menggunakan
indikator efisiensi dan dilakukan strategi perbaikan dengan metode Hanlon?
a. Indikator Efisisen Pengelolaan Obat di Instalasi Farmasi RS X

Tahapan Indikator Standar/nilai Hasil Ket


pembanding penelitian
Seleksi Kesesuaian item obat yang tersedia dengan 76% (DepKes 77,56%. Sudah
DOEN 2002) efisien

Perencanaa Persentase modal/dana yang tersedia dengan 100% 100% Sudah


n dan keeluruhan dana yang dibutuhkan Pudjaningsih (1996) efisien
pengadaan
Persenase alokasi dana pengadaan obat 30-40% (Hudyono 6,51% Belum
dan efisien
Andayaningsih)

Persentase kesesuaian antara perencanaan obat 100%- 120% 72,73%. Belum


dengan kenyataan pakai masing-masing item obat Pudjaningsih (1996) efisien
Frekuensi pengadaan tiap item obat dengan Secara EOQ 2 kali 1 kali Belum
secara EOQ efisien

Distribusi Kecocokan antara obat dengan kartu stock 100% WHO (1993) 100% Sudah
efisien
Inventory Turn Over Ratio 8-12 kali setahun 5,77 kali Belum
Pudjaningsih (1996) efisien
Tingkat ketersediaan obat antara 12-18 bulan 11,47 Belum
Andayaningsih bulan efisien
(1996)

Rata-rata waktu yang digunakan untuk melayani untuk sediaan Racikan Sudah
resep sampai ketangan pasien racikan 60 menit <60menit Efisien
dan sediaan jadi 30 dan
menit Depkes RI sediaan
(2007) jadi
<30menit
Persentase nilai obat kadaluwarsa/rusak 0% Pudjaningsih 2,21% Belum
(1996) Efisien

Persentase obat stock mati 0% Pudjaningsih 5% Belum


(1996) Efisien

Penggunaan Jumlah item obat tiap lembar resep 2 item per lembar 3,23 Belum
resep, Menurut macam efisien
WHO (1993) item obat
per
lembar
resep

Persentase penulisan reseo obat generik 85% menurut 96,52% Sudah


WHO efisien
Persentase resep yang tidak terlayani 0% Pudjaningsih 13,84% Belum
(1996) efisien
Persentase obat yang dilabeli dengan benar 100% Pudjaningsih 100% Sudah
(1996) efisien

b. Strategi perbaikan dengan metode Hanlon

Tahapan Masalah Solusi


Seleksi Belum ada Formularium Membentuk PFT untuk menyusun
formularium dan fungsi PFT didalam
memilih obat yang memenuhi standar
efficacy, safety serta berbagai kriteria dalam
seleksi obat

Perencanaa Persentase alokasi dana pengadaan obat Perlu adanya pengusulan kenaikan anggaran
n dan pengadaan obat
pengadaan Persentase kesesuaian antara perencanaan obat Melakukan perencanaan obat dengan selektif
dengan kenyataan pakai masing-masing item obat yang mengacu pada prinsip efektf, aman,
masih 72,73% ekonomis dan rasional dan diadakan koreksi
dengan metode ABC+VEN
Frekuensi pengadaan tiap item obat 1 kali Perlu dilakukan pengadaan langsung secara
dibandingkan dengan secara EOQ 2kali berkala sehingga ketersediaan obat dapat
terjamin
Harus memilih supplier secara selektif
(pabrikan, distributor) yang memenuhi
aspek mutu produk yang terjamin, aspek
legal dan harga murah dan juga tepat waktu
pengrimannya.
Melakukan koordinasi rutin kepada supplier/
distributor dan kerjasama dengan beberapa
apotek di luar RSUD dalam penyediaan
obat-obatan cito

Distibusi Tingkat ketersediaan obat karena pengendalian Mengevaluasi dan melakukan sistem
sistem distribusi perbekalan farmasi yang belum perencanaan dan pengadaan obat dengan
berfungsi secara optimal selektif disesuaikan dengan kebutuhan rumah
sakit serta mengacu pada prinsip efektif,
aman, ekonomis dan rasional
Persentase nilai obat kadaluwarsa/rusak Memberdayakan PFT dalam rangka evaluasi
dan monitoring terhadap penggunaan obat
agar terhindar dari adanya obat yang
kadarluwarsa atau stock
Perlu dilakukan pemantauan dan pengawasan
terhadap stock setiap bulan agar dapat
diketahui adanya obat yang merupakan
stock mati
Persentase obat stock mati Memberdayakan PFT dalam rangka evaluasi
dan monitoring terhadap
penggunaan obat agar terhindar dari
adanya obat yang kadarluwarsa atau stock
Perlu dilakukan pemantauan dan pengawasan
terhadap stock setiap bulan agar dapat
diketahui adanya obat yang merupakan
stock mati

Penggunaan Jumlah item obat tiap lembar resep masih banyak Peran PIO dalam memberikan informasi obat
sehingga
peresepan obat lebih rasional, efektif dan
efisien

Persentase resep yang tidak terlayani Menggunakan data sisa persediaan tahun lalu
dan data penggunaan periode yang lalu
sebagai dasar perencanaan agar tidak
terjadi kejadian yang mana resep tidak
terlayani
Perlu dilakukan pengadaan langsung secara
berkala sehingga ketersediaan obat dapat
terjamin
Harus memilih supplier secara selektif
(pabrikan,
distributor) yang memenuhi aspek mutu
produk yang
terjamin, aspek legal dan harga murah dan
juga tepat waktu pengrimannya.
Melakukan koordinasi rutin kepada supplier/
distributor dan kerjasama dengan beberapa
apotek di luar RSUD dalam penyediaan
obat-obatan cito
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2012. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.03.1.34.11.12.7542 . Tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat
yang Baik. Depkes RI, Jakarta

Andyaningsih. 1996. Financing Drugs in South-East Asia. World Health


Organization. Geneva

DepKes RI., 2002, Pedoman Supervisi Dan Evaluasi Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan, 8-15, Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Depkes RI., 2008. Pedoman Pengelolaan Perbekalan Farmasi di Rumah Sakit. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.

Depkes RI., 2004, Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1197/Menkes/SK/X/2004 tentang


Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta

Hartono, Joko Puji. 2007. Analisis Proses Perencanaan Kebutuhan Obat Publik Untuk
Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) di Puskesmas Sewilayah Kerja Dinas Kesehatan
Kota Tasikmalaya. Semarang : Universitas Diponegoro.

Maimun, A. 2008. Perencanaan Obat Antibiotik Berdasarkan Kombinasi Metode Konsumsi


dengan Analisis ABC dan Reorder point terhadap Nilai Persediaan dan Turn Over
Ratio di Instalasi Farmasi RS Darul Istiqomah Kaliwungu Kendal (Tesis).
Semarang : Universitas Diponogoro.

Siregar, J.P.C dan Amalia, L. (2004). Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan. Jakarta: EGC.

Pudjanigsih,D. 1996. Pengembangan Indikator Efisiensi Pengelolaan Obat di Instalasi Farmasi


Rumah Sakit (Tesis). Jogjakarta : Fakultas Kedokteran, Program Pendidikan
Pascasarjana, Mangister Manajemen Rumah Sakit, Gadjah Mada.

Quick,J.D.,dkk.1997.Managing Drug Supply : The Selection, Procurement, distribusion, and use


of pharmaceuticals in primary health care, second edition, Connecticut, Kumarin
Press Inc.

Sheina, Baby. 2010. Penyimpanan Obat di Gudang Instalasi Farmasi RS PKU Muhammadiyah
Yokyakarta unit 1. Yokyakarta: Universitas Ahmad Dahlan.

WHO, 1993., How to Investigate Drug Use in Health Facillities, Selected Drug Use Indikator,
Action Program on Essential Drug, WHO, Geneva.

Anda mungkin juga menyukai