Permasalahan Umum Dan Klasik Dalam Penyusunan APBD
Permasalahan Umum Dan Klasik Dalam Penyusunan APBD
Pangkal masalah Anggaran di Indonesia, baik APBN dan APBD menurut Ahmad Erani Yustik Direktur
Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) adalah:
1. APBN/APBD selalu di desain defisit sehingga memberi kesempatan adanya inefesiensi dan
praktik koruptif.
3. asumsi ekonomi makro yang disusun hanya mendasawrkan kepada tujuan sempit tetapi
mengabaikan semangat keadilan sosial, seperti aspek ketimpangan pendapatan.
5. amanah UU tidak semuanya dijalankan dengan baik. Sebagai contoh, alokasi anggaran
kesehatan diharuskan minimal 5 persen dari APBN, namun selama ini mendapatkan porsi
kurang dari 2 persen.
6. penerimaan negara dihitung sangat rendah, baik yang bersumber dari pajak maupun
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sehingga membuka peluang terjadinya korupsi
penerimaan negara seperti yang terus berulang selama ini.
2 (dua) hal yang perlu dicermati sebagai hambatan dalam mewujudkan APBD sebagai bentuk
akuntabilitas kepada masyarakat;
1. berkaitan dengan perlilaku politik dari pejabat politik maupun pejabat publik daerah yang
merasa terganggu atau tidak suka dengan transparansi anggaran, karena hal tersebut secara
tidak langsung akan mengurangi otoritas yang selama ini mereka nikmati.
2. persoalan yang berkaitan dengan aturan-aturan formal yang ada, bahwa masing-masing
pihak dan lembaga memilki batas kewenangan serta prosedurnya sendiri. Kedua kendala
inilah yang menyebabkan alokasi anggaran dalam APBD seringkali tidak mencerminkan
keberpihakan kepada publik. Selama ini, kendala yang seringkali dimunculkan sebagai
alasan belum mampunya peemrintah daerah menyediakan pelayanan dengan kualitas
memadai adalah keterbatasan dana, sehingga APBD lebih terfokus pada optimalisasi
penggalian PAD.
Sebagai contoh, rancangan KUA dan PPAS melebihi waktu dari jadwal yang seharusnya
disampaikan kepala daerah kepada DPRD yakni pertengahan bulan Juni tahun anggaran
berjalan. Demikian pula, draf RAPBD yang semestinya sudah harus diserahkan ke DPRD
pada pekan pertama Oktober untuk dibahas, kenyataannya biasa molor yang akhirnya
penetapannya juga molor.
keterlambatan ini berdampak pada sejumlah kabupaten/kota terlambat juga menyerahkan
RAPBD ke Pemprov untuk dievaluasi.
Padahal, keterlambatan penyusunan APBD jelas merugikan masyarakat. Masyarakat yang
semestinya sudah menerima anggaran pembangunan atau pelayanan publik terpaksa harus
tertunda menunggu selesainya penetapan APBD.
Selain itu, Dana Alokasi Umum (DAU) daerah yang terlambat menetapkan APBD juga akan
dipotong 25% oleh pemerintah pusat.
Dari sudut pandang perencanaan, keterlambatan penyusunan APBD merupakan sesuatu
yang kurang masuk akal.
Logikanya,
bagaimana mungkin pemerintahan bisa berjalan tanpa ada acuan APBD?
APBD yang seharusnya sudah ditetapkan sebelum tahun anggaran berjalan atau paling
lambat tanggal 31 Desember, kenyataannya tak sedikit yang molor hingga berbulan-bulan.
Selama APBD belum ditetapkan, daerah-daerah tersebut berjalan berpedoman pada apa?
Secara de-jure maupun formal administratif, landasan daerah yang terlambat menetapkan
APBD itu bisa dikatakan lemah.
Kemungkinan molornya waktu penetapan APBD amat besar disebabkan pelantikan anggota
DPRD. Dasar hukum penyusunan tata tertib dan alat kelengkapan DPRD juga terlambat
terbit, sehingga berdampak pada terlambatnya pembahasan RAPBD.
2. Persoalan anggaran yang tekor atau defisit anggaran. Defisit anggaran terjadi karena
anggaran pendapatan pemerintah tidak mampu menutup anggaran belanjanya.
Daerah yang mengalami defisit anggaran bisa jadi secara faktual memang tidak mampu
menutup besarnya pengeluaran belanja daerah. Ada kemungkinan pula kondisi defisit
tersebut direkayasa sebagai sarana untuk menekan pemerintah pusat agar menambah
dana perimbangan atau dana kontingensi.
Tidak mudah menyusun APBD yang benar-benar bebas dari defisit ketika paradigma besar
pasak daripada tiang dan terlalu menggantungkan bantuan dari eksternal masih menjadi
pedoman dalam penyusunannya. Kenyataannya, daerah masih amat tergantung kepada
sumber pembiayaan dari pemerintah pusat. Terbukti, sebagian besar penerimaan daerah
berasal dari DAU dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Ketergantungan Pemda terhadap pusat menyebabkan kreativitas daerah terkadang
terhambat.
Keempat persoalan seputar penyusunan APBD di atas seharusnya tidak sampai terjadi, atau paling
tidak dapat direduksi, seandainya dalam penyusunan APBD memperhatikan prinsip penyusunan
APBD yang sudah digariskan (ada partisipasi masyarakat, transparansi dan akuntabilitas anggaran,
disiplin anggaran, keadilan anggaran, dan taat asas), serta patuh pada kaidah penganggaran sektor
publik yang berlaku (legitimasi hukum, legitimasi finansial, dan legitimasi politik).
1. proses perencanaan seringkali hanya bersifat formalitas belaka. Forum yang semestinya
bisa mengakomodasi kepentingan masyarakat (termasuk berbagai kepentingan politik)
kurang mendapat perhatian, karena sebagian besar lebih tertarik pada tahap penganggaran.
Mudah dipahami, sebab pada tahap penganggaran-lah perhitungan biaya (uang) mulai
terbahas. Akibatnya rencana kegiatan yang telah dibuat mesti dibahas ulang di tahap
penganggaran yang seringkali bertele-tele karena lahirnya transaksi politik.
3. DPRD tidak menjalankan fungsi anggaran dengan baik. Penyebabnya hampir sama
dengan apa yang dialami oleh Pemda yakni masalah teknis manajerial dan rendahnya
kompetensi anggota DPRD. Di samping itu keterlibatan DPRD dalam penyusunan APBD
terlalu jauh sampai jenis kegiatan, besaran anggaran, dan lokasi program.
4. terjadinya tarik ulur kepentingan politik lokal. Anggota DPRD yang menghendaki
kepentingan politiknya (dan juga kepentingan pribadinya) terakomodasi mendesak kepada
Pemda untuk dimasukkan dalam APBD. Tak jarang, kepentingan tersebut sebenarnya belum
urgen untuk direalisasikan. Pemda akhirnya menghadapi dilema. Jika menolak maka
terjadilah ketegangan yang mengakibatkan pembahasan APBD menjadi berlarut-larut. Jika
dituruti berarti mengorbankan kepentingan sebagian rakyat lain.
5. keterlambatan evaluasi oleh Gubernur. Rancangan Perda tentang APBD yang telah
disetujui Bupati/Walikota bersama DPRD, sebelum ditetapkan harus disampaikan kepada
Gubernur untuk dievaluasi. Kemungkinan Gubernur bisa terlambat mengevaluasi.
Failing to plan is planning to fail (Alan Lakein). Kegagalan dalam membuat rencana berarti
merencanakan sebuah kegagalan. Kegagalan dalam perencanaan APBD sama dengan
merencanakan kegagalan Daerah tersebut untuk mewujudkan kewajibannya, yaitu peningkatan
kesejahteraan rakyat di wilayahnya.
Mengapa penilaian kewajaran belanja harus dilakukan? Salah satu alasannya adalah karena
usulan belanja kegiatan cenderung dimark-up, dibesarkan atau ditinggikan di atas perkiraan
yang sewajarnya (sebenarnya). Bila usulan belanja selalu wajar dan sesuai dengan
kebutuhan yang sebenarnya, maka urgensi dan relevansi analisis standar belanja menjadi
rendah.
Secara normatif, perencanaan dan penganggaran harus terpadu, konsisten dan sinkron satu
sama lain. Hal ini sedemikian karena penganggaran adalah media untuk mewujudkan target-
target kinerja yang direncanakan. Tanpa perencanaan, SKPD cenderung tidak fokus serta
cenderung bersifat reaktif yang pada akhirnya bermuara pada inefisiensi dan inefektifitas.
Keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi tidak hanya antara aspek perencanaan dengan
penganggaran, tetapi juga antar SKPD. Hal ini perlu diperhatikan karena target capaian
program dan atau target hasil (outcome) sebuah kegiatan dan atau visi daerah dapat dicapai
melalui sinergi program dan kegiatan antar SKPD.
Hal ini terjadi terutama karena belum jelasnya aturan dan mekanisme pertanggungjawaban
kinerja kegiatan. Pertanggungjawaban kinerja merupakan kunci dari sistem penganggaran
berbasis kinerja.
Tanpa pertanggungjawaban tersebut, perbaikan kinerja SKPD tidak dapat berlanjut secara
berkesinambungan. Pada titik ekstrimnya, tanpa pertanggungjawaban kinerja, pola
penganggaran pada dasarnya masih belum berubah kecuali istilah dan nomenklatur semata.
Pada beberapa kasus, penetapan besar belanja tidak didasarkan pada target kinerja keluaran
(output) atau hasil (outcome). Volume output diubah, tetapi total belanja tidak berubah. Selain
itu, Indikator kinerja untuk Belanja Administrasi Umum (dahulu disebut sebagai Belanja Rutin)
masih tetap belum jelas.
dimana anggota DPRD sering mengusulkan kegiatan-kegiatan yang menyimpang jauh dari
usulan masyarakat yang dihasilkan dalam Musrenbang. Jadwal reses DPRD dengan proses
Musrenbang yang tidak match misalnya Musrenbang sudah dilakukan, baru DPRD reses
mengakibatkan banyak usulan DPRD yang kemudian muncul dan merubah hasil
Musrenbang. Intervensi legislative ini kemungkinan didasari motif politis yakni kepentingan
untuk mencari dukungan konstituen sehingga anggota DPRD berperan seperti sinterklas
yang membagi-bagi proyek. Selain itu ada kemungkinan juga didasari motif ekonomis yakni
membuat proyek untuk mendapatkan tambahan income bagi pribadi atau kelompoknya
dengan mengharap bisa intervensi dalam aspek pengadaan barang (procurement) atau
pelaksanaan kegiatan. Intervensi hak budget ini juga seringkali mengakibatkan pembahasan
RAPBD memakan waktu panjang untuk negosiasi antara eksekutif dan legislative. Salah satu
strategi dari pihak eksekutif untuk menjinakkan hak budget DPRD ini misalnya dengan
memberikan alokasi tertentu untuk DPRD missal dalam penyaluran Bantuan Sosial (Bansos)
ataupun pemberian Dana Aspirasi yang bisa digunakan oleh anggota DPRD secara fleksibel
untuk menjawab permintaan masyarakat. Di salah satu kabupaten di Kaltim, dana aspirasi
per anggota DPRD bisa mencapai 2 milyar rupiah per tahun.
Beberapa faktor-faktor intervensi hak budget DPRD yang dapat menjadi penghambat dalam
penyusunan APBD, adalah:
1. Usulan dari DPRD yang terkadang tidak sesuai dengan hasil kesepakatan pada saat
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)
3. Motif pada saat pelaksanaan proyek di lapangan dalam rangka mencari keuntungan
pribadi
4. Adanya istilah sinterklas(bagi-bagi proyek) kepada oknum anggota DPRD atau
pejabat daerah
Perencanaan pembangunan masih didominasi oleh: Kebijakan kepala daerah, hasil reses
DPRD dan Program dari SKPD. Kondisi ini berakibat timbulnya akumulasi kekecewaan di
tingkat desa dan kecamatan yang sudah memenuhi kewajiban membuat rencana tapi
realisasinya sangat minim. ------- Perencanaan pembangunan di bidang apapun sebagian
besar masih didominasi oleh berbagai kepentingan yang berkaitan dengan kebijakan kepala
daerah, hasil reses DPRD, program dan kegiatan SKPD itu sendiri bahkan kepentingan dari
elemen elemen masyarakat. Hal ini telah banyak terlihat buktinya di lapangan, bahwa apa
yang sudah di buat perencanaannya sesuai matrix dan usulan yang berasal dari masayarakat
(bottom up) dengan sebelumnya telah melalui proses penyusunan usulan program dan
kegiatan di tingkat kelurahan dan kecamatan misalnya ternyata realisasinya sangatlah minim.
Kondisi ini membuat pelaksanaan musrenbang menjadi acara rutinitas dan formalitas belaka
sehingga menjadi kurang diminati oleh pihak-pihak yang selayaknya mengikuti kegiatan
tersebut.
Terpisahnya proses perencanaan dan anggaran ini juga berlanjut pada saat penyediaan
anggaran. APBD disahkan pada bulan Desember tahun sebelumnya, tapi dana seringkali
lambat tersedia. Bukan hal yang aneh, walau tahun anggaran mulai per 1 Januari tapi sampai
bulan Juli-pun anggaran program di tingkat SKPD masih sulit didapatkan.
Ada kecenderungan dokumen RPJP ataupun RPJM/Renstra SKPD seringkali tidak dijadikan
acuan secara serius dalam menyusun RKPD/Renja SKPD. Kondisi ini muncul salah satunya
disebabkan oleh kualitas tenaga perencana di SKPD yang terbatas kuantitas dan kualitasnya.
Dalam beberapa kasus ditemui perencanaan hanya dibuat oleh Pengguna Anggaran dan
Bendahara, dan kurang melibatkan staf program sehingga banyak usulan kegiatan yang
sifatnya copy paste dari kegiatan yang lalu dan tidak visioner.
Kualitas RPJPD, RPJM Daerah dan Renstra SKPD seringkali belum optimal.
Beberapa kelemahan yang sering ditemui dalam penyusunan Rencana tersebut adalah;
indicator capaian yang seringkali tidak jelas dan tidak terukur (kalimat berbunga-bunga), data
dasar dan asumsi yang seringkali kurang valid, serta analisis yang kurang mendalam dimana
jarang ada analisis mendalam yang mengarah pada how to achieve suatu target.
dan masing-masing ingin menjadi arus utama misalnya gender mainstreaming, poverty
mainstreaming, disaster mainstreaming dll. Perencana di daerah seringkali kesulitan untuk
menterjemahkan isu-isu tersebut. Selain itu mainstreaming yang seharusnya dijadikan
prinsip gerakan pembangunan seringkali malah disimplifikasi menjadi sector-sektor baru,
misalnya isu poverty mainstreaming melahirkan lembaga Komisi Pemberantasan Kemiskinan
padahal yang seharusnya perlu didorong adalah bagaimana setiap SKPD bisa berkontribusi
mengatasi kemiskinan sesuai tupoksinya masing-masing. Demikian pula isu gender, juga
direduksi dengan munculnya embel-embel pada Bagian Sosial menjadi Bagian Sosial dan
Pemberdayaan Perempuan misalnya.
sehingga kegiatan yang dibangun jarang yang sinergis bahkan tidak jarang muncul
egosektoral. Ada suatu kasus dimana di suatu kawasan Dinas Kehutanan mendorong
program reboisasi tapi disisi lain Dinas Pertambangan memprogramkan ekploitasi batubara di
lokasi tersebut.
SKPD yang mempunyai alokasi anggaran besar seringkali tidak mempunyai tenaga
perencana yang memadai
Akibatnya proses perencanaan seringkali molor. Hal ini sering diperparah oleh minimnya
tenaga Bappeda yang mampu memberikan asistensi kepada SKPD dalam penyusunan
rencana.
APBD Kabupaten/ Kota wajib dievaluasi oleh Pemerintah Provinsi. Disisi lain Pemprop
mempunyai keterbatasan tenaga untuk melakukan evaluasi tersebut. Pelaksanaan evaluasi
ini tidak dibarengi dengan ketersediaan dan kompetensi SDM pada Pemerintah Provinsi yang
terlibat saat melakukan evaluasi anggaran. Hal ini membuat proses penganggaran menjadi
tidak efektif dan efisien. Selain itu belum ada instrument yang praktis yang bisa digunakan
untuk evaluasi anggaran tersebut. Hal ini berakibat proses evaluasi memakan waktu agak
lama dan berimbas pada semakin panjangnya proses revisi di daerah (kabupaten/kota).
Fasilitasi proses perencanaan tingkat desa yang menurut PP 72 tahun 2005 diamanahkan
untuk dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten (bisa via Pemerintah Kecamatan) seringkali
tidak berjalan. Proses fasilitasi hanya diberikan dalam bentuk surat edaran agar desa
melakukan Musrenbang, dan jarang dalam bentuk bimbingan fasilitasi di lapangan.
Secara normatif, perencanaan dan penganggaran harus terpadu, konsisten dan sinkron satu
sama lain. Hal ini harus dilakukan karena penganggaran merupakan media untuk
mewujudkan target-target kinerja yang direncanakan. Tanpa perencanaan yang baik, SKPD
cenderung tidak fokus serta cenderung bersifat reaktif yang pada akhirnya bermuara pada
inefisiensi dan inefektifitas. Saat penyusunan perencanaan, pimpinan terkadang hanya
melibatkan segelintir pegawai saja, sementara perencanaan program dan kegiatan adalah
atas nama organisasi, sehingga akan lebih baik apabila keseluruhan proses penganggaran
mulai dari awal perencanaan sampai pada kegiatan monitoring dan evaluasi terakhir
melibatkan seluruh pegawai sebagai team work dalam rangka mencapai tujuan akhir yang
akan dicapai oleh organisasi. Selain itu, pada penyusunan APBD, pihak-pihak yang terlibat
hendaknya memiliki komitmen yang tinggi untuk melaksanakan penyusunan APBD secara
tepat waktu serta melaksanakan anggaran yang telah ditetapkan dengan efektif dan efisien.
Adanya komitmen memberikan gambaran bagi pihak yang terlibat dalam penyusunan APBD
untuk mengetahui secara jelas visi, misi, tujuan, dan sasaran yang ingin dicapai dalam
penyusunan APBD. Selain itu, melalui komitmen dapat menciptakan motivasi dan kemauan
bagi pihak penyusun APBD untuk menyelenggarakan tahapan penyusunan APBD yang lebih
baik, efektif, efisien, dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
pendekatan pemecahan masalah yang HANYA melihat ke AKAR MASALAH saja dapat
berpotensi menimbulkan bias dan oversimplifikasi terhadap suatu persoalan. Contoh kasus
nyata; di sebuah desa di Kaltim masyarakat dan pemerintah mengidentifikasi bahwa
rendahnya pengetahuan masyarakat disebabkan tidak adanya fasilitas sumber bacaan di
wilayah itu. Sebagai solusinya mereka kemudian mengusulkan untuk dibangunkan gedung
perpustakaan. Ternyata setelah gedung perpustakaan dibangun, sampai beberapa tahun
berikutnya perpustakaan tersebut tidak pernah berfungsi bahkan kemudian dijadikan Posko
Pemilu. Mengapa demikian? Hal itu terjadi karena mereka hanya berpikir soal membangun
gedung, tetapi lupa berpikir dan mengusulkan bagaimana menyediakan buku/bahan bacaan
untuk perpustakaan itu, lupa mengusulkan kepengurusan untuk mengelola perpustakaan itu
dll. Kondisi seperti diatas mungkin tidak akan terjadi kalau mereka berpikir dulu soal
outcome misalnya meningkatkan minat baca 50 % warga masyarakat. Dari outcome
tersebut nantinya bisa diidentifikasi output yang diperlukan misalnya: adanya gedung
perpustakaan, buku atau bahan bacaan, tenaga pengelola perpustakaan, kesadaran
masyarakat untuk datang ke perpustakaan dll. Dari contoh kasus itu nampaknya untuk
pemerintah dan masyarakat memang perlu didorong untuk memahami alur berpikir logis
(logical framework) sebuah perencanaan. Selain itu pola pikir yang ada yang cenderung
berorientasi Proyek (yang berorientasi jangka pendek dan berkonotasi duit) menjadi
orientasi Program (orientasi jangka panjang dan lebih berkonotasi sebagai gerakan
pembangunan).
Meskipun penyusunan APBD rentan dengan berbagai kepentingan politik, namun aturan-aturan
formal tetap harus dijadikan landasan, terutama prinsip dan kaidah normatifnya. Jika hal ini sungguh-
sungguh dipedomani oleh eksekutif dan legislatif, niscaya APBD menjadi alat intervensi negara
dalam mensejahterakan masyarakat, dan bukan justru menjadi sumber masalah.
Berdasarkan permasalahan diatas sekurangnya ada tiga praktik tata kelola yang menunjukan
buruk rupa manajemen keuangan daerah saat ini
Pertama, problem proporsi alokasi sebagaimana ditunjukan rasio antara belanja modal
(pembangunan) dan belanja aparatur (rutin). Hingga sewindu pelaksanaan desentralisasi, desain
politik alokasi anggaran di banyak daerah menunjukan minimnya peruntukan bagi masyarakat, baik
berupa dana pelayanan publik maupun investasi Pemda bagi bergeraknya perekonomian. Hanya
sekitar 20-30% APBD untuk belanja langsung bagi kepentingan masyarakat dan sisa terbesarnya
untuk membiayai birokrasi.
Kedua, problem kapasitas daya serap anggaran. Saat ini, sekitar 60% dana APBN kita beredar di
daerah (30% lewat skema transfer ditambah 30% berasal dari dana dekonsentrasi, medebewind dan
dana sektoral). Suatu jumlah uang beredar yang tentu amat besar, sekaligus tanggung jawab yang
besar pula. Namun sayang, sejauh ini Pemda masih belum berkekuatan penuh menyerap anggaran
yang ada, bahkan di sebagian daerah, sisa dana diparkir di perbankan berbentuk Sertifikat BI.
Perlu dicatat, adanya dana yang menganggur itu bukan lantaran daerah berkelebihan uang atau pun
sebagai hasil dari penghematan (efisiensi) anggaran. Sebaliknya, hal itu menunjukan adanya dana
yang terbengkelai, karena buruknya sistem perencanaan anggaran, berbelitnya prosedur pengadaan
barang/jasa pemerintah, lemahnya proses legislasi di daerah, atau orientasi sempit pada PAD dari
bunga simpanan SBI. Kinerja instrumen fiskal semacam itu berakibat terbengkelainya pula program
layanan publik dan tentu sulit menjadi stimulan alternatif di tengah masih lesunya investasi sektor
swasta.
Ketiga, selain kedua masalah di atas, hari-hari ini media massa juga gencar memberitakan problem
ketiga dalam manajemen keuangan daerah, yakni administrasi pelaporan keuangan. Hal ini tentu
tidak saja menyangkut problem akuntansi dan tata pembukuan, tetapi lebih mendasar lagi
mencerminkan politik kebijakan dan komitmen penegakan good governance di daerah.
Alhasil, merujuk laporan BPK, setiap tahun terdapat tendensi memburuk dalam kualitas pengelolaan
dan laporan keuangan. Data terakhir (2009) menunjukan, hanya ada 21 daerah yang memiliki status
laporan wajar tanpa pengecualian, selebihnya: 249 daerah wajar dengan pengecualian, 7 daerah
berstatus disclaimer (tak memberikan pendapat) dan 10 daerah adverse (tak wajar).
Terkait masalah ini, sumber masalah utama adalah TIDAK EFEKTIFnya PERAN
INSPEKTORAT (dulu bernama Bawasda) di daerah. Institusi yang sejatinya dibentuk sebagai garda
depan jaminan tegaknya good governance dan menjadi instrumen strategis pemberantasan korupsi
ini justru mandul.
Institusi ini hanya diposisikan sebagai unsur penunjang, desain kelembagaannya gampang
terkooptasi oleh SKPD lainnya, ruang lingkup pengawasannya terbatas, tidak adanya mekanisme
sanksi dalam pengawasan, dan status aparatnya disinyalir sebagai orang buangan yang
mempengaruhi motivasi dan kapasitas kerja.
1. menjadi lembaga preventif dan jaring pengaman internal sebelum datangnya pihak pengawas
eksternal (BPK, KPK, dll).
2. sebagai unit pengawas internal yang memiliki peluang terlibat sejak fase perencanaan (input),
pelaksanaan, capaian dan evaluasi kebijakan sehingga memungkinkan deteksi dini dan
koreksi langsung untuk menghindari kerusakan masif.
3. perlu penguatan kapasitas dan komitmen, baik bagi kalangan Pemda maupun DPRD. Pada
umumnya Pemda yang mengalami keterlambatan APBD adalah daerah tertinggal, sehingga
perlu fasilitasi dan pengawasan lebih intensif dari Pemprov maupun Pemerintah Pusat.
Namun sebenarnya yang utama adalah komitmen, dan justru inilah yang paling sulit. Proses
politik berbiaya tinggi barangkali menjadi akar masalah kenapa seringkali anggota dewan
(begitu pula Kepala Daerah) bernafsu besar ingin menguasai anggaran.
4. pemberian sanksi sesuai aturan mesti tetap dijalankan namun dengan sanksi yang lebih
spesifik. Pemda wajib menyampaikan Perda kepada Menteri Keuangan maksimal tanggal 20
Maret. Bagi yang terlambat, penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU)-nya ditunda 25 persen
per bulan. atau Sanksi penghentian pemberian DAU dirubah dengan sanksi penundaan
pembayaran tunjangan pejabat pemerintah dan anggota DPRD.
1. proses politik dalam penyusunan APBD jangan hanya menjadi arena interkasi antara DPRD
dan pemerintah, tapi juga sebagai arena publik dimana ada transparansi dan akses bagi
masyarakat untuk memperoleh informasi, berpartisipasi, dan mengkritisi proses tersebut.
2. para pembuat keputusan yang terlibat dalam proses legislasi APBD (DPRD dan pemerintah
daerah) harus mempunyai sistem evaluasi untuk membandingkan dan memprioritaskan
proposal anggaran.
3. sebagai konsekuensi dari hak budget yang dimiliki DPRD maka anggota DPRD harus
mengetahui dan memahami prinsip-prinsip pokok siklus anggaran, yang meliputi tahap
persiapan dan penyusunan anggaran, tahap implementasi, serta tahap pelaporan dan
evaluasi.
4. selain memhami proses pengelolaan keuangan daerah, pemerintah daerah dan DPRD perlu
memahami berbagai standar yang digunakan dalam akuntansi, misalnya standar biaya agar
dapat memperhitungkan besaran anggaran yang diperlukan untuk suatu kegiatan. Melalui
penerapan standar ini, praktik-praktik manipulasi atau mark-up angaran dapat diminimalkan.
5. perlu dilakukan penguatan pada masyarakat sipil misalnya dengan cara mengadvokasikan
berbagai instrumen hukum dan kelembagaan yang memberikan peluang bagi masyarakat
untuk berpartisipasi, mengakses informasi, dan mengontrol akuntabilitas pemerintahan.
Selain itu juga perlu ditingkatkan kualitas pendidikan, pengorganisasian, dan pendampingan
masyarakat agar masyarakat dapat mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan mereka.
1. Kepala daerah wajib mengajukan rancangan Perda tentang APBD disertai penjelasan dan
dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD sesuai dengan waktu yang ditentukan oleh
Peraturan Perundang-undangan untuk memperoleh persetujuan bersama.
2. Kepala daerah yang tidak mengajukan rancangan Perda tentang APBD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administrative berupa tidak dibayarkan hak-hak
keuangannya yang diatur dalam ketentuan Perundang-undangan selama 6 (enam) bulan.
1. Kepala daerah dan DPRD wajib menyetujui bersama rancangan Perda tentang APBD paling
lambat 1 (satu) bulan sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun.
2. DPRD dan Kepala daerah yang tidak menyetujui bersama rancangan Perda tentang APBD
sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun sebagaimana dimaksud ayat (1)
dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan yang diatur
dalam ketentuan perundang-undangan selama 6 (enam) bulan.
3. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dikenakan kepada anggota DPRD
apabila keterlambatan penetapan APBD disebabkan oleh Kepala daerah terlambat
menyampaikan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD dari jadwal yang telah
ditetapkan berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Sanksi sebelumnya, diatur oleh PMK No.04/PMK.07/2011 Tentang Tata Cara Penyampaian Informasi
Keuangan Daerah (IKD).
Dalam Pasal 2, disebutkan bahwa
IKD yang disampaikan oleh Pemerintah Daerah kepada Pemerintah mencakup:
APBD;
Perubahan APBD;
1. Realisasi APBD;
2. Neraca;
Data yang berkaitan dengan kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal daerah.
Pasal 9;
Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menyampaikan IKD dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari
setelah diterbitkannya peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Direktur Jenderal
Perimbangan Keuangan atas nama Menteri Keuangan menetapkan sanksi berupa penundaan
penyaluran Dana Perimbangan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri
kemudian dalam Pasal 10 ayat 1, disebutkan bahwa
Sanksi berupa penundaan penyaluran Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
dilakukan sebesar 25% dari jumlah DAU yang diberikan setiap bulannya pada tahun anggaran
berjalan.
Seandainya semua ini dijalankan, bisa dipastikan mutu tata kelola dan tata pembukuan keuangan
daerah tidak lagi menjadi sasaran permanen kritikan publik dan temuan BPK.
demikian Permasalahan Umum dan Klasik dalam Penyusunan APBD ini yang disadur dari berbagai
sumber