Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI II

FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI


ANTIBIOTIK GOLONGAN TETRASIKLIN DAN
KLORAMFENIKOL

OLEH:

AYU TRY SARTIKA (70100111016)

JULIANI BTE ROSMAN (701001110)

AYU LESTARI NUSA (70100112013)

MIFTAH KHAERATI (701001120

SYAMSUARNI RASAB (70100112005)

ZULHIJJA ADHA (70100112018)

WAHYUNI (70100112049)

DINI AMALIA (70100112010)

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

SAMATA-GOWA

2014
KATA PENGANTAR

Tim penulis memanjatkan puji serta syukur kehadirat Allah SWT yang

telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah Farmakologi

Toksikologi II yang berjudul Fisiologi dan Farmakologi Antibiotik Golongan

Tetrasiklin dan Kloramfenikol dapat diselesaikan, Alhamdulillah dengan tepat

waktu.

Tim penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih banyak

kekurangannya, oleh karena itu kami sangat mengharapkan adanya kritik dan

saran yang bersifat positif, guna penyusunan makalah yang lebih baik lagi di

masa yang akan datang.

Kami berharap, semoga makalah yang sederhana ini dapat memberi

sumbangan pemikiran tersendiri bagi para pembaca khususnya bagi mahasiswa

Farmasi UIN Alauddin Makassar.

Samata, Mei 2014

Tim Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A Latar Belakang .......................................................................................... 1
B Tujuan ....................................................................................................... 2
C Manfaat ..................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 3
A Tetrasiklin ................................................................................................. 3
1 Penemuan dan Fisika Kimia ..............................................................
2 Aktivitas Antimikroba .......................................................................
3 Resistensi ...........................................................................................
4 Farmakologi .......................................................................................
5 Penggunaan Klinis .............................................................................
6 Efek Samping ....................................................................................
7 Interaksi Obat ....................................................................................
B Kloramfenikol ...........................................................................................
1 Penemuan dan Fisika Kimia ..............................................................
2 Aktivitas Antimikroba .......................................................................
3 Resistensi ...........................................................................................
4 Farmakologi .......................................................................................
5 Penggunaan Klinis .............................................................................
6 Efek Samping ....................................................................................
7 Interaksi Obat ....................................................................................
BAB III PENUTUP ..............................................................................................
A Kesimpulan ...............................................................................................
B Saran .........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Antibiotik mulai dikenal sejak ditemukannya senyawa penisilin oleh
Alexander Flemming pada tahun 1928 dan sampai sekarang antibiotik
memiliki banyak golongan dan jenis dengan kegunaan yang bervariasi.
Antibiotik pun semakin berkembang berdasarkan tingkat morbiditas dan
mortalitas penduduk.
Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba yang dapat
menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Istilah antibiotic sering
digunakan dalam arti luas dan dengan demikian tidak terbatas hanya obat-obat
antibakteri yang dihasilkan fungi dan kuman melainkan juga untuk obat-obat
sintetis seperti sulfonamida, INH, PAS, naliiksat, dan fluorkuinolon (Tjay dan
Kirana. 2010: 58).
Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antimikroba yang bersifat
menghambat pertumbuhan mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik;
dan ada yang bersifat membunuh mikroba, dikenal sebagai aktivitas
bakterisid. Bakteriostatik artinya antibiotik bekerja pada bakteri dengan
menghambat pertumbuhan bakteri, sedangkan bakterisid yaitu bakteri bukan
hanya dihambat tetapi dibunuh oleh antibiotik. Mekanisme kerjanya dari
antibiotik dibagi lima, yaitu: mengganggu metabolisme sel mikroba;
menghambat sintesis dinding sel mikroba; mengganggu permeabilitas
membran sel mikroba; menghambat sintesis protein sel mikroba; dan
menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba.
Berdasarkan luas aktivitasnya, antibiotik dibagi menjadi dua, yaitu
antibiotika narrow-spectrum (aktivitas sempit) yaitu hanya aktif pada
beberapa jenis kuman/bakteri saja seperti penisilin-G dan penisilin-V,
eritromisin, klindamisin, kana misin dan asam fusidat, sedangkan antibiotika
broad-spectrum (aktivitas luas) bekerja lebih banyak baik pada gram positif
maupun gram negatif, contohnya sulfonamida, ampisilin, sefalosporin,
kloramfenikol, tetrasiklin, dan rifampisin (Tjay dan Kirana. 2010: 58).
Di masyarakat, antibiotik bukan hal yang awam bagi mereka.
Konsumsi antibiotik yang umum berada di pasaran dan banyak digunakan
masyarakat secara umum adalah antibiotik spektrum atau aktivitas luas, sebab
kemampuannya untuk mengatasi berbagai jenis infeksi oleh berbagai jenis
bakteri. Kloramfenikol dan tetrasiklin merupakan salah satu pilihan antibiotik
dan masyarakat pada umumnya telah banyak menggunakan.
Kloramfenikol dan tetrasiklin merupakan antibiotik dengan golongan,
rumus struktur, mekanisme dan aktivitas serta efek farmakologi yang berbeda.
Dalam makalah ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai kedua antibiotik
tersebut secara lebih spesifik, baik pada strukturnya, sifat fisika kimia,
aktivitas biologi, penggunaan, efek samping dan sebagainya.
B. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai:
1. Definisi kloramfenikol meliputi rumus struktur, fisika kimia obat, sejarah,
dan penggunaannya, aktivitas antimikroba, resistensi, farmakologi,
penggunaan klinis, efek samping, dan interaksi obat.
2. Definisi tetrasiklin meliputi rumus struktur, fisika kimia obat, sejarah, dan
penggunaannya, aktivitas antimikroba, resistensi, farmakologi,
penggunaan klinis, efek samping, dan interaksi obat.
C. Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah:
1. Pembaca dapat mengetahui serta memahami mengenai antibiotik
kloramfenikol, meliputi aktivitas antimikrobanya, resistensi, farmakologi,
penggunaan klinis, efek samping, dan interaksi obatnya dengan obat lain.
2. Pembaca dapat mengetahui serta memahami mengenai antibiotik
tetrasiklin, meliputi aktivitas antimikrobanya, resistensi, farmakologi,
penggunaan klinis, efek samping, dan interaksi obatnya dengan obat lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tetrasiklin
1. Penemuan dan Fisika Kimia

Antibiotik golongan tetrasiklin yang pertama ditemukan ialah


klortetrasiklin yang dihasilkan oleh Streptomyces aureofaciens,
diperkenalkan pada tahun 1948. Kemudian ditemukan oksitetrasiklin dari
Streptomyces rimosus, diperkenalkan pada tahun 1950. Tetrasiklin sendiri
dibuat secara semisintetik dari klortetrasiklin yang tersedia sejak 1953.
Tetrasiklin dibuat melalui dehalogenasi katalitik dari klortetrasiklin.
Adapun demeklosiklin ditemukan melalui demetilasi klortetrasiklin
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik. 2011: 694; Katzung. 2004: 41).
Tetrasiklin bebas merupakan senyawa amfoter dalam bentuk Kristal
dengan daya larut rendah. Agen-agen ini tersedia dalam bentuk
hidroklorida, yang lebih mudah larut. Larutan-larutan semacam ini bersifat
asam dan cukup stabil, klortetrasiklin. Tetrasiklin mengkhelasi ion-ion
logam divalent dan dapat menganggu absorbsi dan aktivitas agen-agen
tersebut (Katzung. 2004: 42).
Glisilsiklin merupakan gliklamido sintesis turunan dari minosiklin.
Modifikasi ini menhasilkan senyawa yang tidak berpengaruh oleh dua
mekanisme terpenting dari resistensi tatrasiklin, yaitu proteksi ribosom
dan pengaliran keluar (efflux) yang aktif. Dengan demikian glisilsiklin
aktif terhadap bakter-bakteri gram positif dan gram negatif aerob dan
anaerob yang peka maupun resisten terhadap tetrasiklin, yang MIC-nya
(minimal inhibitory concentration) berkisar antara 0,25-0,5 g/ml.
Glisilsiklin merupakan kandidat dalam perkembangan obat (Katzung.
2004: 42).
B. Kloramfenikol
1. Penemuan dan Fisika Kimia
Kloramfenikol pertama kali dipisahkan pada tahun 1947 dari
pembiakan Streptomyces venezuelae. Agen ini disintesis pada tahun 1949,
kemudian menjadi antibiotik penting pertama yang sepenuhnya disintetsis
dan diproduksi secara komersial. Kepentingan ini mulai memudar seiring
dengan tersedianya antibiotik yang lebih aman dan efektif (Katzung. 2004:
37).
Kloramfenikol merupakan Kristal putih yang sukar larut dalam air
(1:400) dan rasanya sangat pahit Departemen Farmakologi dan Terapeutik.
2011: 700). Kloramfenikol larut alkohol. Kloramfenikol suksinat , yang
digunakan untuk pemberian non-parenteral, sangat larut air. Kloramfenikol
suksinat mengalami hidrolisis secara in vivo melepaskan kloramfenikol
bebas (Katzung. 2004: 38).
Struktur kloramfenikol dan tiamfenikol.

Kloramfenikol : R= -NO2
Tiamfenikol : R= -CH3SO2
2. Penggunaan Klinis
Sebagai obat sistemik, kloramfenikol hampir tidak dipakai lagi
berhubung toksisitasnya yang kuat, resistensi bakteri, dan tersedianya
obat-obat lain yang lebih efektif (misalnya sefalosporin). Obat ini dapat
dipertimbangkan untuk pengobatan riketsia yang parah, seperti tifus atau
demam berbercak Rocky Mountain, pada anak-anak yang dikontraindikasi
terhadap tatrasiklin (yaitu di bawah usia 8 tahun). Obat ini merupakan
alternatif untuk antibiotik beta-laktam bagi pengobatan meningitis bakteri
yang disebabkan oleh strain-strain pneumokokkus atau meningokokkus,
yang ditemukan pada pasien-pasien dengan reaksi hipersensitivitas mayor
terhadap penisilin. Dosisnya adalah 50-100 mg/kghari dalam 4 dosis yang
terpisah (Katzung. 2004: 39).
Kloramfenikol juga kadang-kadang digunakan secara topikal untuk
pengobatan infeksi mata karena spektrum antibakterinya yang luas dan
kemampuannya mempenetrasi jaringan okuler dan cairan bola mata. Obat
ini tidak efektif untuk infeksi-infeksi chlamydia (Katzung. 2004: 39).
C. Aktifitas Anti Mikroba(Spektrum Luas Antimikroba Kloramfenikol
Dengan Tetrasiklin Beserta Resistensinya.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat
berdiameter 0,7-1,2 m, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak
teratur seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan
tidak bergerak . Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37 C, tetapi
membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25 C). Koloni pada
perbenihan padat berwarna abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk
bundar, halus, menonjol, dan berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik
menghasilkan S. aureus yang mempunyai kapsul polisakarida atau selaput
tipis yang berperan dalam virulensi bakteri (Jawetz et al., 1995 ; Novick et al.,
2000).

Pengobatan
Pengobatan terhadap infeksi S. aureus dilakukan melalui pemberian
antibiotik, yang disertai dengan tindakan bedah, baik berupa pengeringan abses
maupun nekrotomi. Pemberian antiseptik lokal sangat dibutuhkan untuk
menangani furunkulosis (bisul) yang berulang. Pada infeksi yang cukup berat,
diperlukan pemberian antibiotik secara oral atau intravena, seperti penisilin,
metisillin, sefalosporin, eritromisin, linkomisin, vankomisin, dan rifampisin.
Sebagian besar galur Stafilokokus sudah resisten terhadap berbagai antibiotic
tersebut, sehingga perlu diberikan antibiotik berspektrum lebih luas seperti
kloramfenikol, amoksilin, dan tetrasiklin (Ryan et al., 1994; Warsa, 1994; Jawetz
et al., 1995).
Kloramfenikol adalah antibiotik yang diisolasi pertama kali pada
tahun1947 dari Streptomyces venezuelae. Penggunaan obat ini meluas dengan
cepat, karena mempunyai daya antibiotika yang kuat. Pada tahun 1950, diketahui
bahwa antibiotik ini dapat menimbulkan anemia aplastik yang faatl, sehingga
penggunaannya dibatasi (Mycek et al., 1992).
Pengobatan terhadap infeksi S. aureus dilakukan melalui pemberian
antibiotik, yang disertai dengan tindakan bedah, baik berupa pengeringan abses
maupun nekrotomi. Pemberian antiseptik lokal sangat dibutuhkan untuk
menangani furunkulosis (bisul) yang berulang. Pada infeksi yang cukup berat,
diperlukan pemberian antibiotik secara oral atau intravena, seperti penisilin,
metisillin, sefalosporin, eritromisin, linkomisin, vankomisin, dan rifampisin.
Sebagian besar galur Stafilokokus sudah resisten terhadap berbagai antibiotik
tersebut, sehingga perlu diberikan antibiotik berspektrum lebih luas seperti
kloramfenikol, amoksilin, dan tetrasiklin (Ryan et al., 1994; Warsa, 1994; Jawetz
et al., 1995).
Kloramfenikol merupakan antibiotika dengan spektrum luas yang efektif
terhadap Streptococcus pneumoniae, Streptococcus pyogenes, Streptococcus
viridans, Haemophilus, Neisseria, Bacillus spp, Listeria, Bartonella, Brucella,
Chlamydia, Mycoplasma, Rickettsia, Treponema, dan kuman anaerob seperti
Bacillus fragilitis. Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik, tetapi pada
konsentrasi tinggi kadang-kadang bersifat bakterisidal (Setiabudy dkk, 1995;
Katzung, 1998).
Beberapa galur Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza, dan
Neisseria meningitidis telah resisten terhadap antibiotik ini. S. aureus umumnya
sensitif terhadap antibiotik ini, sedangkan kebanyakan Enterobacteriaceae telah
resisten. Kebanyakan galur Seratia, Providencia, Proteus retgerii, Pseudomonas
aeruginosa dan galur tertentu Salmonella typhi juga resisten terhadap
kloramfenikol (Setiabudy dkk, 1995).
Kloramfenikol digunakan sebagai antibiotik bersifat bakteriostatik dan
mempunyai spektrum luas. Merupakan obat pilihan untuk pengobatan demam
tifoid akut yang disebabkan oleh salmonella sp. Kloramfenikol pada awalnya
diisolasi dari Streptomyces venezuelae yang pertama kalinya diisolasi oleh
Burkholder pada tahun 1947 dari contoh tanah yang diambil dari Venezuela,
sekarang telah dapat dibuat melalui sintesis total, yang metodenya relatif lebih
sederhana dan biayanya lebih murah. Kloramfenikol efektif terhadap riketsia dan
konjungtivitis akut yang disebabkan oleh mikoroorganisme, termasuk
Pseudomonas sp kecuali Pseudomonas aeruginosa. Senyawa ini juga efektif
untuk pengobatan infeksi berat yang disebabkan oleh bakteri gram positif dan
gram negative (Sekarwana, dan Azhali. 1989).
Resistensi
Bakteri dikatakan resistensi bila pertumbuhannya tidak dapat dihambat oleh
antibiotika pada kadar maksimum yang dapat ditolerir oleh pejamu.
Mekanisme resistensi terhadap kloramfenikol terjadi melalui inaktivasi obat
oleh asetil transferase yang diperantarai oleh faktor-R yang menimbulkan
ketidakmampuan organisme untuk mengakumulasikan obat sehingga
menimbulkan resistensi. Resistensi terhadap P.aeruginosa. Proteus dan Klebsiella
terjadi karena perubahan permeabilitas membran yang mengurangi masuknya obat
ke dalam sel bakteri. Beberapa strain D. Pneumoniae, H. Influenzae, dan N.
Meningitidis bersifat resisten; S. Aureus umumnya sensitif, sedang
enterobactericeae banyak yang telah resisten. Obat ini juga efektif terhadap
kebanyakan strain E.Coli, K. Pneumoniae, dan P. Mirabilis, kebanyakan Serratia,
Providencia dan Proteus rettgerii resisten, juga kebanyakan strain P. Aeruginosa
dan S. Typhi
Tetrasiklin
Bekerja dengan menghambat sintesis protein dari bakteri. Tetrasiklin
pertama kali ditemukan oleh Lloyd Conover. Tetrasiklin merupakan antibiotika
yang memberi harapan dan sudah terbukti menjadi salah satu penemuan
antibiotika penting. Antibiotika golongan tetrasiklin yang pertama ditemukan
adalah Klortetrasiklin yang dihasilkan oleh Streptomyces aureofaciens. Kemudian
ditemukan Oksitetrasiklin dari Streptomyces rimosus. Tetrasiklin sendiri dibuat
secara semisintetik dari Klortetrasiklin, tetapi juga dapat diperoleh dari spesies
Streptomyces lain.
a. Mekanisme Kerja Tetrasiklin
Golongan Tetrasiklin termasuk antibiotika yang bersifat bakteriostatik dan
bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein kuman. Golongan
Tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri pada ribosomnya. Paling
sedikit terjadi 2 proses dalam masuknya antibiotika Tetrasiklin ke dalam
ribosom bakteri gram negatif; pertama yang disebut difusi pasif melalui kanal
hidrofilik, kedua ialah sistem transportasi aktif. Setelah antibiotika Tetrasiklin
masuk ke dalam ribosom bakteri, maka antibiotika Tetrasiklin berikatan
dengan ribosom dan menghalangi masuknya komplek tRNA-asam amino
pada lokasi asam amino, sehingga bakteri tidak dapat berkembang biak.
Pada umumnya efek antimikroba golongan Tetrasiklin, namun terdapat
perbedaan kuantitatif dari aktivitas masing-masing derivat terhadap kuman
tertentu. Hanya mikroba yang cepat membelah yang dipengaruhi antibiotika
Tetrasiklin.
RESISTENSI
Bakteri memproduksi protein pompa yang akan mengeluarkan obat dari dalam
sel bakteri
Resistensi satu jenis tetrasiklin disertai resistensi tetrasiklin lainnya, kecuali
minosiklin pada resistensi S. aureus dan dosisiklin pada resistensi B. fragilis
Bakteri yang sudah resisten adalah
Streptococcus beta hemoliticus
E.coli,
Pseudomonas aeroginosae,
Streptomyses pneumoniae,
Staphyllococus aureus dan
Sebagian N.gonorrhoeae.
Umumnya resistensi terhadap satu jenis tetrasiklin maka resisten untuk tetrasiklin
yg lain.
D. Farmakologi (farmakodinamik dan farmakokinetik)
1.Tetrasiklin
1.1 Farmakodinamik
Golongan tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri pada
ribosomnya. Paling sedikit terjadi 2 proses dalam masuknya antibiotik ke
dalam ribosom bakteri gram negatif, pertama secara difusi pasif melalui
kanal hidrofil, kedua malalui sistem transpor aktif. Setelah masuk
antibiotik berikatan secara reversible dengan ribosom 30s dan mencegah
ikatan tRNA-aminoasil pada kompleks mRNA-ribosom. Hal tersebut
mencegah perpanjangan rantai peptide yang sedang tumbuh dan berakibat
terhentinya sintesis protein.
1.2 Famakokinetik
a. Absorbsi
Kira-kira 30-80% tetrasiklin diserap lewat saluran cerna.
Doksisiklin dan minosiklin diserap lebih dari 90%. Absorbsi ini
sebagian besar berlangsung di lambung dan usus halus bagian atas.
Berbagai faktor dapat menghambat penyerapan tetrasiklin seperti
adanya makanan dalam lambung (kecuali minosiklin dan doksisiklin),
pH tinggi, pembentukan kelat (kompleks tetrasiklin dengan zat lain
yang sukar diserap kation Ca2+, Mg2+, Fe2+, Al2+, yang terdapat dalam
susu dan antasid). Oleh sebab itu sebaiknya tetrasiklin diberikan
sebelum atau 2 jam sebelum makan.
Tetrasiklin fosfat kompleks tidak terbukti lebih baik absorbsinya
dari sediaan tetrasiklin biasa.
b. Distribusi
Dalam plasma semua jenis tetrasiklin terikat oleh protein plasma
dalam jumlah yang bervariasi. Pemberian oral 250 mg tetrasiklin tiap 6
jam menghasilkan kadar sekitar 2,0-2,5 g/mL. Masa paruh doksisiklin
tidak berubah pada insufisiensi ginjal sehingga obat ini boleh diberikan
pada gagal ginjal.
Dalam cairan serebrospinal (CSS) kadar golongan tetrasiklin
hanya 10-20% kadar dalam serum. Penetrasi ke CSS ini tidak
tergantung dari adanya meningitis. Penetrasi ke cairan tubuh lain dan
jaringan tubuh yang cukup. Obat golongan ini ditimbun dalam sistem
retikuloendotelial di hati, limpa dan sumsum tulang, serta di dentin dan
email gigi yang belum bererupsi. Golongan tetrasiklin menembus sawar
uri, dan terdapat dalam air susu ibu dalam kadar yang relatif tinggi
dibandingkan dengan tetrasiklin lainnya, daya penetrasi doksisiklin dan
minosiklin ke jaringan lebih baik.
c. Metabolisme
Obat golongan ini tidak dimetabolisme secara berarti di hati.
Doksisiklin dan minosiklin mengalami metabolisme di hati yang cukup
berarti sehingga aman diberikan pada pasien gagal ginjal.
d. Ekskresi
Golongan tetrasiklin diekskresi melalui urin berdasarkan filtarisi
glomerulus. Pada pemberian per oral kira-kira 20-55% golongan
tetrasiklin diekskresi melalui urin. Golongan tetrasiklin yang diekskresi
oleh hati ke dalam empedu mencapai kadar 10 kali kadar serum.
Sabagian besar obat yang diekskresi ke dalam lumen usus ini
mengalami sirkulasi enterohepatik, maka obat ini masih terdapat dalam
darah untuk waktu lama setelah terapi dihentikan. Bila terjadi obstruksi
pada saluran empedu atau gangguan faal hati obat ini akan mengalami
kumulasi dalam darah. Obat yang tidak diserap diekskresi melalui tinja.
Antibiotik golongan tetrasiklin yang diberi per oral dibagi
menjadi 3 golongan berdasarkan sifat farmakokinetiknya:
1 Tetrasiklin, klortetrasiklin dan oksitetrasiklin. Absorbsi kelompok
tetrasiklin ini tidak lengkap dengan masa paruh 6-12 jam.
2 Demitilklortetrasiklin. Absorbsinya lebih baik dan masa paruhnya
kira-kira 16 jam sehingga cukup diberikan 150 mg per oral tiap 6
jam.
3 Doksisiklin dan minosiklin. Absorbsinya baik sekali dan masa
paruhnya 17-20 jam. Tetrasiklin golongan ini cukup diberikan 1 atau
2 kali 100 mg sehari.
2. Kloramfenikol
2.1 Farmakodinamik
Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintsis protein kuman.
Obat ini terikat pada ribosom subunit 50s dan menghambat enzim peptide
trans-ferase sehingga ikatan peptide tidak terbentuk pada proses sintesis
protein kuman. Efek toksik kloramfenikol pada sistem hemopoetik sel
mamalia diduga berhubungan dengan mekanisme kerja obat ini.
Kloramfenikol umunya bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi
tinggi kloramfenikol kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap kuman-
kuman tertentu
2.2 Farmakokinetik
Setelah pemberian oral, kloramfenikol diserap dengan cepat.
Kadar puncakdalam darah tercapai dalam 2 jam. Untuk anak biasanya
diberikan bentuk ester kloramfenikol palmitat atau stearat yang rasanya
tidak pahit. Bentuk ester ini akan mengalami hidrolisis dalam usus dan
membebaskan kloramfenikol.
Untuk pemberian secrara parenteral digunakan kloramfenikol
suksinat yang akan dihidrolisis dalam jaringan dan membebaskan
kloramfenikol.
Masa paruh eleminasinya pada orang deawasa kurang lebih 3 jam,
pada bayi berumur kurang dari 2 minggu sekitar 24 jam. Kira-kira 50%
kloramfenikol dalam darah terikat dengan albumin. Obat ini
didistribusikan secara baik ke berbagai jaringan tubuh, termasuk jaringan
otak, cairan serebrospinal dan mata.
Di dalam hati kloramfenikol mengalami konjugasi dengan asam
glukuronat oleh enzim glukuronil transferase. Oleh karena itu waktu paruh
kloramfenikol memanjang pada pasien gangguan faal hati. Sebagian kecil
kloramfenikol mengalami reduksi menjadi senyawa aril-amin yamg tidak
aktif lagi. Dalam waktu 24 jam, 80-90% kloramfenikol yang diberikan oral
telah diekskresi melalui ginjal. Dari seluruh kloramfenikol yang diekskresi
melalui urin, hanya 5-10% dalm bentuk aktif. Sisanya terdapat dalam
bentuk glukuronat atau hidrolisat lain yang tidak aktif. Bentuk aktif
melalui filtrat glomerulus sedangakan metabolitnya dengan sekresi
tubulus.
Pada gagal ginjal, masa paruh kloromfenikol bentuk aktif tidak
banyak berubah sehingga tidak diperlukan pengurangan dosis. Dosis perlu
dikurangi bila terdapat gangguan fungsi hepar.
E. Penggunaan Klinis
1 Penggunaan Klinik Kloramfenikol
Banyak perbedaan pendapat mengenai indikasi penggunaan
kloramfenikol, tetapi sebaiknya obat ini digunakan untuk mengobati
demam tifoid dan meningitis oleh H.Influenzae juga pada pneumonia;
abses otak; mastoiditis; riketsia; relapsing fever; gangrene; granuloma
inguinale; listeriosis; plak (plague); psitikosis; tularemia; whipple disease;
septicemia; meningitis.
Infeksi lain sebaiknya tidak diobati dengan kloramfenikol bila masih
ada antimikroba lain yang masih aman dan efektif. Kloramfenikol
dikontraindikasikan pada pasien neonatus, pasien dengan gangguan faal
hati, dan pasien yang hipersensitif terhadapnya. Bila terpaksa diberikan
pada neonatus, dosis jangan melebihi 25 mg/kgBB sehari. Kloramfenikol
tidak boleh digunakan untuk bayi baru lahir, pasien dengan gangguan hati
dan pasien yang hipersensitif terhadapnya.
a Demam tifoid
Kloramfenikol tidak lagi menjadi pilihan utama untuk mengobati
penyakit tersebut karena telah tersedia oba-obat yang lebih aman seperti
siprofloksasin dan seftriakson. Walaupun demikian, pemakaiannya sebagai
lini pertama masih dapat dibenarkan bila resistensi belum merupakan
masalah.
Untuk pengobatan demam tifoid diberikan dosis 4 kali 500 mg
sehari sampai 2 minggu bebas demam. Bila terjadi relaps biasanya dapat
diatasi dengan memberikan terapi ulang. Untuk anak-anak diberikan dosis
50-100mg/kg BB/sehari dibagi dalam beberapa dosis selama 10 hari.
Untuk pengobatan tifoid ini dapat pula digunakan tiamfenikol
dengan dosis 50 mg/kg Bbsehari pada minggu pertama lalu diteruskan 1-2
minggu lagi dengan dosis separuhnya.
Suatu uji klinik di Indonesia menunjukkan bahwa terapi
kloramfenikol (4 x500 mg/hari) dan siprofloksasin (2500 mg/hari) per
oral untuk demam tifoid selama 7 hari tidak bermakna walaupun
siprofloksasin dapat membersihkan sum-sum tulang belakang dari
salmonela.
Hingga sekarang belum disepakati obat apa yang paling efektif
untuk mengobati status karier demam tifoid, namun beberapa studi
menunjukkan bahwa norloksasin dan siprofloksasin mungkin bermanfaat
untuk itu.
Gastroentritis akibat Salmonella sp. Tidak perlu diberi antibiotik
karena tidak mempercepat sembuhnya infeksi dan dapat memperpanjang
status karier.
b Meningitis purulenta
Kloramfenikol efektif untuk mengobati meningitis purulenta yang
disebabkan oleh H.Influenzae. Untuk terapi awal, obat ini masih
digunakan bila obat-obat lebih aman seperti seftriakson tidak tersedia.
Dianjurkan pembaerian klramfenikol bersama suntikan ampisilin sampai
didapat hasil pemeriksaan kultur dan uji kepekaan, setelah itu dianjurkan
dengan pemberian obat tunggal yang sesuai dengan hasil kultur.
c Riketsiosis
Tetrasiklin merupakan obat terpilih untuk penyakit ini. Bila oleh
karena suatu hal tetrasiklin tidak dapat diberikan, maka dapat diberika
kloramfenikol..
(Setyabudi, Rianto. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. 2007. Jakarta: Gaya Baru
hal 700-702)
2 Penggunaan Klinik Tetrasiklin
Tetrasiklin terutama digunakan untuk pengobatan acne vulgaris dan
rosacea. Tetrasikin juga dapat digunakan untuk pengobatan infeksi pada
saluran pernafasan, sinus, telinga bagian tengah, saluran kemih, usus dua belas
jari dan juga Gonore.
Kegunaan klinis tetrasiklin dalam kedokteran hewan yaitu sebagai berikut :
a Hewan Kecil
Tetrasiklin digunakan untuk mengatasi berbagai infeksi yang disebabkan
oleh kuman gram positif maupun gram negatif, terutama pada penyakit
saluran pernafasan, perkencingan, leptospirosis (penyakit manusia dan
hewan dari kuman dan disebabkan kuman Leptospira yang ditemukan dalam
air seni dan sel-sel hewan yang terkena), dan panleukopenia (penyakit yang
menyebabkan jumlah sel darah putih kucing menurun dengan drastis).
b Hewan besar
Antibiotika ini hampir selalu diberikan untuk mengatasi berbagai penyakit
pada hewan besar, hal ini mungkin disebabkan karena sifat obat yang
mempunyai spectrum luas. Dalam kasus lapangan antibiotika ini biasa
digunakan untuk mengatasi penyakit-penyakit seperti metritis, pneumonia,
mastitis, enteritis, leptospirosis, shipping fever, listeriosis, anaplasmosis,
penyakit jembrana dan antraks.

1 Untuk ungags
Biasa digunakan untuk mengatasi penyakit pada unggas seperti CRD,
sinusitis, infeksi PPLO dan erysipelas. Dalam banyak pakan ayam juga
ditemukan kadar tetrasiklin dengan dosis rendah.
2 Penggunaan topical
Tetrasiklin digunakan untuk mengatasi radang infeksi pada kulit,
biasanya sediaan tetrasiklin dikemas dalam bentuk salep 1%. Dapat
digunakan untuk mengobati penyakit mata seperti opthalmik, selain itu
dapat juga digunakan untuk mengatasi pink eye.
(Buku farmakologi dan Terapi, edisi 4, Bagian farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia 1995).
F. Efek Samping
Efek samping tetrasiklin
1. Gangguan lambung. Penekanan epigastrik biasanya disebabkan iritasi ari
mukosa lambung dan sering kali terjadi pada penderita yang tidak patuh
yang diobati dengan obat ini.
2. Efek terhadap kalsifikasi jaringan. Deposit dalam tulang dan pada gigi
timbul selama kalsifikasi pada anak yang berkembang. Hal ini
menyebabkan pewarnaan dan hipoplasi pada gigibdan menganggu
pertumbuhan sementara.
3. Hepatotoksisitas fatal. Efek samping ini telah diketahui timbul bila obat
ini diberikan pada perempuan hamil dengan dosis tinggi terutama bila
penderita tersebut juga pernah mengalami pielonefritis.
4. Fototoksisitas . Fototoksisitas, misalnya luka terbakar matahari yang berat
terjadi bila pasien menelan tetrasiklin terpajan oleh sinar matahari atau
UV. Toksisitas ini sering dijumpai dengan pemberian tetrasiklin,
doksisiklin dan deklosiklin.
5. Gangguan keseimbangan. Efek samping ini misalnya pusing, mual,
muntah terjadi bila mendapat minosiklin yang menumpuk dalam
endolimfe telinga dan mempengaruhi fungsinya.
6. Pseudomotor serebri. Hipertensi intrakranial benigna ditandai dengan sakit
kepala dan pandangn kabur yang dapat terjadi pad orang dewasa.
Meskipun penghentian meminum obat membalikkan kondisi, namun tidak
jelas apakah dapat terjadi sekuela permanen.
7. Superinfeksi. Pertumbuhan berlebihan dari kandida (misalnya dalam
vagina) atau stafilokokus resisten (dalam usus) dapat terjadi.
Efek samping kloramfenikol
1. Reaksi Hematologik
Terdapat dalam 2 bentuk. Yang pertama ialah reaksi toksik dengan
manfestasi depresi sumsum tulang belakang. Kelainan ini berhubungan
dengan dosis, progresif dan pulih bila pengobatan dihentikan. Kelainan
darah yang terlihat anemia, retikulositopenia, peningkatan serum iron,
dan iron binding capacity serta vakuolisasi seri eritrosit muda. Reaksi ini
terlihat bila kadar kloramfenikol dalam serum melampaui 25 g/ml.
Bentuk ke dua adalah anemia aplastik dengan pansitopenia yang
irreversibel dan memiliki prognosis yang sangat buruk. Timbulnya tidak
tergantung dari besarnya dosis atau lama pengobatan. Insiden berkisar
antara 1: 24000 50000. efek samping ini diduga efek idiosinkrasi dan
mngkin disebabkan oleh kelainan genetic.
Kloramfenikol yang diberikan secara parenteral jarang
menimbulkan anemia aplastik namun hal ini belum dapat dipastikan
kebenarannya. Kloramfenikol dapat menimbulkan hemolisis pada pasien
defisiens enzim G6PD bentuk mediteranean.
Hitung sel darah yang dilakukan secara berkala dapat memberi
petunjuk untuk mengurangi dosis atau menghentikan terapi. Dianjurkan
untuk hitung leukosit dan hitung jenis tiap 2 hari. Pengobatan terlalu lama
atau berulang kali perlu dihindari. Timbulnya nyeri tenggorok dan infeksi
baru selama pemberian kloramfenikol menunjukkan adanya kemungkinan
leukopeni.

2. Reaksi saluran cerna

Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, glositis, diare, dan


enterokolitis

3. Reaksi alergi

Kloramfenikol dapat menimbulkan kemerahan kulit, angioudem,


urtikaria dan anafilaksis. Kelainan yang menyerupai reaksi Herxheimer
dapat terjadi pada pengobatan demam Tifoid walaupun yang terakhir ini
jarang dijumpai.

4. Sindrom gray

Pada neonatus, terutama pada bayi prematur yang mendapat dosis


tinggi (200mg/kg BB) dapat timbul sindrom Gray, biasanya antara hari ke-
2 sampai hari ke-9 masa terapi, rata-rata hari ke 4. Mula-mula bayi
muntah, tidak mau menyusu, pernapasan cepat dantidak teratur, perut
kembung, sianosis, dan diare dengan tinja berwarna hijau dan bayi tampak
sakit berat. Pada hari berikutnya tubuh bayi menjadi lemas dan berwarna
keabu-abuan; terjadi pula hipotermia. Angka kematian kira-kira 40%,
sedangkan sisanya sembuh sempurna. Efek toksik ini diduga disebabkan
oleh; (1) sistem konjugasi oleh enzim glukoronil transferase belum
sempurna dan, (2) kloramfenikol yang tidak terkonjugasi belum dapat
diekskresi dengan baik oleh ginjal. Untuk mengurangi kemungkinan
terjadimya efek samping ini maka dosis kloramfenikol untuk bayi berumur
kurang dari 1 bulan tidak boleh melebihi 25 mg/kgBB sehari. Setelah
umur ini dosis 50 mgKg/BB biasanya tidak menimbulkan efek samping
tersebut.

5. Reaksi neurologik

Dapat terlihat dalam bentuk depresi, bingung, delirium dan sakit


kepala.

G. Interaksi Obat
Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat (index drug) berubah akibat
adanya obat lain (precipitant drug), makanan, atau minuman. Interaksi obat
dapat menghasilkan efek yang memang dikehendaki (Desirable Drug
Interaction), atau efek yang tidak dikehendaki (Undesirable/Adverse Drug
Interactions = ADIs) yang lazimnya menyebabkan efek samping obat
dan/atau toksisitas karena meningkatnya kadar obat di dalam plasma, atau
sebaliknya menurunnya kadar obat dalam plasma yang menyebabkan hasil
terapi menjadi tidak optimal. Sejumlah besar obat baru yang dilepas di
pasaran setiap tahunnya menyebabkan munculnya interaksi baru antar obat
akan semakin sering terjadi. (Retno Gitawati. Media Litbang Kesehatan
Volume XVIII Nomor 4 Tahun 2008: 175).
Mekanisme terjadinya interaksi-obat
Mekanisme interaksi obat dapat melalui beberapa cara, yakni interaksi
secara farmasetik (inkompatibilitas), interaksi secara farmakokinetik dan,
interaksi secara farmakodinamik.
1. Interaksi farmasetik
Interaksi farmasetik atau disebut juga inkompatibilitas farmasetik
bersifat langsung dan dapat secara fisik atau kimiawi, misalnya terjadinya
presipitasi, perubahan warna, tidak terdeteksi (invisible), yang selanjutnya
menyebabkan obat menjadi tidak aktif. Contoh: interaksi karbcnisilin
dengan gentamisin terjadi inaktivasi; fenitoin dengan larutan dextrosa 5%
terjadi presipitasi; amfoterisin B dengan larutan NaCl fisiologik, terjadi
presipitasi. (Retno Gitawati. Media Litbang Kesehatan Volume XVIII
Nomor 4 Tahun 2008: 176).
2. Interaksi farmakokinetik
Interaksi dalam proses farmakokinetik, yaitu absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi (ADME) dapat meningkatkan ataupun
menurunkan kadar plasma obat.6 Interaksi obat secara farmakokinetik yang
terjadi pada suatu obat tidak dapat diekstrapolasikan (tidak berlaku) untuk
obat lainnya meskipun masih dalam satu kelas terapi, disebabkan karena
adanya perbedaan sifat fisikokimia, yang menghasilkan sifat farmakokinetik
yang berbeda. Contohnya, interaksi farmakokinetik oleh simetidin tidak
dimiliki oleh H2-bloker lainnya; interaksi oleh terfenadin, aztemizole tidak
dimiliki oleh antihistamin non-sedatif lainnya. (Retno Gitawati. Media
Litbang Kesehatan Volume XVIII Nomor 4 Tahun 2008: 176).
3. Interaksi farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada
sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga
terjadi efek yang aditif, sinergistik, atau antagonistik, tanpa ada perubahan
kadar plasma ataupun profil farmakokinetik lainnya. Interaksi
farmakodinamik umumnya dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang
segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena klasifikasi obat adalah
berdasarkan efek farmakodinamiknya. Selain itu, umumnya kejadian
interaksi farmakodinamik dapat diramalkan sehingga dapat dihindari
sebelumnya jika diketahui mekanisme kerja obat. (Retno Gitawati. Media
Litbang Kesehatan Volume XVIII Nomor 4 Tahun 2008: 178).
Implikasi klinis interaksi obat.
Interaksi obat sering dianggap sebagai sumber terjadinya efek samping obat
(adverse drug reactions),yakni jika metabolisme suatu obat indeks terganggu
akibat adanya obat lain (precipitant) dan menyebabkan peningkatan kadar plasma
obat indeks sehingga terjadi toksisitas. Selain itu interaksi antar obat dapat
menurunkan efikasi obat. Interaksi obat demikian tergolong sebagai interaksi obat
"yang tidak dikehendaki"atau Adverse Drug Interactions (ADIs). Meskipun
demikian, beberapa interaksi obat tidak selalu harus dihindari karena tidak
selamanya serius untuk mencederai pasien. (Retno Gitawati. Media Litbang
Kesehatan Volume XVIII Nomor 4 Tahun 2008: 179).
Interaksi obat yang tidak dikehendaki (ADIs)
Interaksi obat yang tidak dikehendaki (ADIs) mempunyai implikasi klinis
jika: (1) obat indeks memiliki batas keamanan sempit; (2) mula kerja (onset of
action) obat cepat, terjadi dalam waktu 24 jam; (3) dampak ADIs bersifat serius
atau berpotensi fatal dan mengancam kehidupan; (4) indeks dan obat presipitan
lazim digunakan dalam praktek klinik secara bersamaan dalam kombinasi.
Banyak faktor berperan dalam terjadinya ADIs yang bermakna secara
klinik, antara lain faktor usia, faktor penyakit, genetik, dan penggunaan obat-obat
preskripsi bersama-sama beberapa obat-obat OTC sekaligus. Usia lanjut lebih
rentan mengalami interaksi obat. Pada penderita diabetes melitus usia lanjut yang
disertai menurunnya fungsi ginjal, pemberian penghambat ACE (misal: kaptopril)
bersama diuretik hemat kalium (misal: spironolakton, amilorid,triamteren)
menyebabkan terjadinya hiperkalemia yang mengancam kehidupan. Beberapa
penyakit seperti penyakit hati kronik dan kongesti hati menyebabkan
penghambatan metabolisme obatobat tertentu yang dimetabolisme di hati
(misalnya simetidin) sehingga toksisitasnya dapat meningkat. Pemberian
relaksans otot bersama aminoglikosida pada penderita miopati, hipokalemia, atau
disfungsi ginjal, dapat menyebabkan efek relaksans otot meningkat dan
kelemahan otot meningkat.
Polimorfisme adalah salah satu faktor genetik yang berperan dalam
interaksi obat. Pemberian fenitoin bersama INH pada kelompok polimorfisme
asetilator lambat dapat menyebabkan toksisitas fenitoin meningkat. Obatobat OTC
seperti antasida, NSAID dan rokok yang banyak digunakan secara luas dapat
berinteraksi dengan banyak sekali obat-obat lain. (Retno Gitawati. Media
Litbang Kesehatan Volume XVIII Nomor 4 Tahun 2008: 179).
Interaksi obat yang dikehendaki
Adakalanya penambahan obat lain justru diperlukan untuk meningkatkan atau
mempertahankan kadar plasma obat-obat tertentu sehingga diperoleh efek
terapetik yang diharapkan. Selain itu, penambahan obat lain diharapkan dapat
mengantisipasi atau mengantagonis efek obat yang berlebihan. Penambahan obat
lain dalam bentuk kombinasi (tetap ataupun tidak tetap) kadang-kadang disebut
pharmacoenhancement, juga sengaja dilakukan untuk mencegah perkembangan
resistensi, meningkatkan kepatuhan, dan menurunkan biaya terapi karena
mengurangi regimen dosis obat yang harus diberikan. (Retno Gitawati. Media
Litbang Kesehatan Volume XVIII Nomor 4 Tahun 2008: 179).
1. Interaksi tetrasiklik
Golongan tetrasikiln termasuk antibiotik yang terutama bersifat bakteriostatik.
Interaksi obat pada tetrasiklin, bila diberikan dengan metoksifluran dapat
menyebabkan metoksisitas. Bila di kombinasikan dengan penisilin maka
aktifitas antimikrobanya dihambat. Karbamezepin, fenitoin, barbiturat, dan
alkoholisme kronik menginduksi enzim pemetabolisme doksisiklin sehingga
masa paruhnya dapat memendek sampai 50%. Pemantauan waktu protombin
diperlukan bila obat ini harus diberikan bersama dengan warfarin. (Sulitia Gan
Gunawan. 2012; 694,700)
a. Interaksi pada pengobatan jerawat
Catatan : kelompok tetrasiklin diacukan pada semua jenis tetrasiklin, yaitu,
tetrasiklin, klortetrasiklin, demeklosiklin, doksisiklin, metasiklin,
minosiklin, oksitetrasiklin. (Richard, Harkness. 1989 ; 2)
Doksisiklin-Barbiturat, Karmezepin, Fenitoin(dilantin),
Primidon(mysolin)
Efek doksisiklin dapat berkurang. Akibatnya : keadaan jerawat tidak akan
berubah kecuali kalau dosis doksisiklin ditambah. (Richard, Harkness.
1989 ; 2).
Kelompok tetrasiklin Antasida
Efek tetrasiklin dapat berkurang. Akibatnya : keadaan jerawat tidak
berubah, untuk mencegah interaksi, jangan minum kedua obat ini secara
bersamaan, sekurang-kurangnya harus dengan jarak waktu dua jam.
Antasida natriumbikarbonat (misl. Alka-Seltzer) mungkin tidak
berinteraksi dengan tetrasiklin. (Richard, Harkness. 1989 ; 3)
Kelompok tetrasiklin Antikoagulan
Efek antikoagulan dapat bertambah. Antikoagulan digunakan untuk
mengencerkan darah dan mencegah pembekuan. Akibatnya : resiko
pendarahan meningkat. Simptom dilaporkan a. 1. tinja hitam pekat
pendarahan atau lebam dibeberapa tubuh. Doksisiklin (Doxy-tabs,
Doxychel, Vibramycin, Vibratab) merupaka tetrasiklin yang dapat
menyebabkan interaksi ini. Coumadin adalah antikoagulan yang paling
banyak digunakan. (Richard, Harkness. 1989 ; 3)
Kelompok tetrasiklin Pil KB
Efek dari pil KB berkurang. Akibatnya : resiko kehamilan meningkat
kecuali jika selama pengobatan dengan antibiotika digunakan cara
pencegahan kehamilan yang lain. Perdarahan merupakan simptom yang
menunjukkan kemungkinan terjadinya interaksi. (Richard, Harkness.
1989 ; 3)
Kelompok tetrasiklin Digoksin (Lanoxin)
Efek digoksin dapat meningkat. Akibatnya : digoksin yang terlalu
banyak dapat menyebabkan meningkatnya efek samping yang
merugikan. Simptom yang pernah dilaporakan a.1. mual, gangguan
penglihatan bingung, kehilangan tenaga, sakit kepala, denyut jantung
yang tidak teratur. (Richard, Harkness. 1989 ; 4)
Kelompok tetrasiklin Estrogen (hormon wanita)
Efek estrogen dapat berkurang. Akibatnya : keadaan tidak dapat
dikendalikan dengan baik selama pengobatan dengan antibiotika.
(Richard, Harkness. 1989 ; 4)
Kelompok tetrasiklin Besi
Efek tetrasiklin dapat berkurang. Akibatnya : tetraskilin tidak dapat
menyembuhkan jerawat. Untuk mencegah interaksi, jangan minum
kedua obat ini secara bersamaan, sekurang-kurangnya harus dengan
jarak waktu dua jam. (Richard, Harkness. 1989 ; 4)
Kelompok tetrasiklin Pencahar
Efek tetrasiklin dapat berkurang. Akibatnya : tetraskilin tidak dapat
menyembuhkan jerawat. Untuk mencegah interaksi, jangan minum
kedua obat ini secara bersamaan, sekurang-kurangnya harus dengan
jarak waktu dua jam. (Richard, Harkness. 1989 ; 5)
Kelompok tetrasiklin Penisilin
Efek tetrasiklin dapat berkurang. Akibatnya: tetraskilin tidak dapat
menyembuhkan jerawat. Untuk mencegah interaksi, jangan minum
kedua obat ini secara bersamaan, sekurang-kurangnya harus dengan
jarak waktu dua jam. (Richard, Harkness. 1989 ; 5)
Kelompok tetrasiklin Vitamin A
Kombinasi ini dapat menyebabkan tekanan dalam rongga kepala
dengan simpton seperti sakit kepala berat, mual, dan gangguan
penglihatan. Pada pengobatan dengan tetrasiklin jangka panjang hindari
pemakaian sediian vitamin tambahan yang mengandung vitamin A.
(Richard, Harkness. 1989 ; 6)
Kelompok tetrasiklin Seng
Efek tetrasiklin dapat berkurang. Catatan : interaksi ini berlaku untuk
semua tetrasiklin kecuali doksiklin dan minosiklin. Akibatnya :
tetraskilin tidak dapat menyembuhkan jerawat. Untuk mencegah
interaksi ini, kedua obat jangan diberikan secara bersama-sama,
sekurang-kurangnya harus ada jarak waktu dua jam. (Richard,
Harkness. 1989 ; 6)
Interaksi obat makanan
Susu dan produk susu dengan tetrasiklin
Efek tetrasiklin dapat berkurang. Tetrasiklin adalah antibiotika
yang digunakan untuk melawan infeksi. Akibatnya : infeksi
yang diobati mungkin tidak terkendali denngan baik. Untuk
mencegah interaksi, gunakan tetrasiklin satu jam sebelum atau
dua jam sesudah minum susu atau produk susu. (Richard,
Harkness. 1989 ; 289)
2. Interaksi Kloramfenikol
Obat ini merupakan obat yang paling unggul terhadap basil tifus.
Kloramfenikol diberikan untuk mengobati infeksi yang berbahaya, yang tidak
efektif bila diobati dengan antibiotik yang kurang efektif. (Richard, Harkness.
1989 ; 42).
Antikoagulan kloramfenikol
Efek antikoagulan dapat meningkat. Akibatnya : resiko perdarahan
meningkat. Gejala yang dilaporkan a.l. memar atau perdarah pada bagian
tubuh, tinja hitam pekat. (Richard, Harkness. 1989 ; 49)
Obat kanker Kloramfenikol
Kombinasi ini dapat meningkatkan resiko depresi sumsum tulang.
Kloramfenikol adalah antibiotika yang digunakan untuk melawan infeksi.
Gejalanya a.l. sakit leher, demam, menggigil, perdarahan pada bagian tubuh,
tinja hitam pekat, sariawan tak bertenaga. (Richard, Harkness. 1989 ; 62)
Obat diabetes (oral) kolramfenikol
Efek obat diabetes dapat bertambah. Akibatnya ; kadar gula darah turun
terlalu rendah. Gejala hipoglikemia yang dilaporkan : gelisah, pingsan, lesu,
keringat, bingung, aritmia jantung, takhikardia, nanar, gangguan
penglihatan. Kombinasi ini dapat menyebabkan depresi sumsum tulang
gejalanya a.l. sakit leher, demam, radang mulut, perdarahan di bagian mulut,
perdarahan di bagian tubuh, kehilangan tubuh. (Richard, Harkness. 1989 ;
103)
Fenitoin (dilantin) kloramfenikol
Efek fenitoin dapat meningkatkan. Akibatnya : efek samping yang
merugikan mungkin dapat terjadi akibat fenitoin yang terlalu banyak. Gejala
yang dilaporkan a.l. gangguan penglihatan, nanar. (Richard, Harkness.
1989 ; 122)
Antibiotika penisilin Kloramfenikol
Efek penisilin dapat berkurang. Akibatnya ; infeksi yang diobati mungkin
tidak sembuh seperti yang diharapkan. (Richard, Harkness. 1989 ; 201)
Griseofulvin, Sefalosporin kloramfenikol
Kombinasi ini dapat menekan sumsum tulang belakang secara berlebihan.
Gejala yang ditimbulkan sakit tenggorokan, demam, kedinginan, tukak
mulut perdarah atau memar diseluruh tubuh., tinja hitam pekat dan
kehilangan tenaga yang tidak lazim. (Richard, Harkness. 1989 ; 202)
Klindamisin/Linkomisin Kloramfenikol
Efek kedua antibiotik dapat berkurang. Akibatnya ; infeksi yang diobati
mungkin tidak sembuh seperti yang diharapkan. (Richard, Harkness. 1989 ;
206).

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tetrasiklin adalah spektrum luas Poliketida antibiotik yang
dihasilkan oleh Streptomyces genus dari Actinobacteria , diindikasikan
untuk digunakan melawan infeksi bakteri banyak. It is a protein synthesis
inhibitor. Kloramfenikol merupakan antibiotik yang mempunyai aktifitas
bakteriostatik dan pada dosis tinggi bersifat bakterisid. Aktivitas
antibakterinya bekerja dengan menghambat sintesis protein dengan jalan
meningkatkan ribosom subunit 50S yang merupakan langkah penting
dalam pembentukan ikatan peptida. Kloramfenikol efektif terhadap bakteri
aerob gram positif dan beberapa bakteri aerob gram negatif. Kedua obat
ini tergolong obat antibiotik berspektrum luas.
B. Saran
Jika memungkinkan, perlu adanya penjelasan lebih lanjut oleh dosen
pembimbing tentang materi ini, sehingga nantinya apa yang kami
diskusikan ini dapat berkembang dan dapat kami implementasikan dalam
kehidupan kami sehari-hari, Insya Allah.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Farmakologi dan Terapeutik. 2011. Farmakologi dan Terapi. Jakarta:

FK-UI

Garna, H., N. Sekarwana, dan Azhali. 1989. Result of Salmonella typhi culture in

Patient with Suspected Typhoid Fever. Journal Pediatrica Indonesiana.

Harkness, Richard. 1989. Interaksi Obat. Yogyakarta : penerbit ITB

Jawetz, E., J.L. Melnick., E.A. Adelberg., G.F. Brooks., J.S. Butel., dan L.N.

Ornston. 1995. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi ke-20 (Alih bahasa :

Nugroho & R.F.Maulany). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal.

211,213,215.

Katzung, Bertram G. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 2 Edisi 8.

Jakarta: Salemba Medika.

Retno Gitawati. Interaksi Obat Dan Beberapa implikasinya. Media Litbang

Kesehatan Volume XVIII Nomor 4 Tahun 2008. PDF.

Setyabudi, Rianto. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru.

Setiabudy, R. 1995. Pengantar Antimikroba. dalam: S.G. Ganiswarna, R.

Setiabudy, F.D. Suyatna, dkk. Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Jakarta:Gaya

Baru. hal. 571-576.


Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2010. Obat-obat Penting. Jakarta: PT. Elex

Media Komputindo.

Warsa, U.C. 1994. Staphylococcus dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran.

Edisi Revisi. Jakarta : Penerbit Binarupa Aksara. hal. 103-110.

Anda mungkin juga menyukai