BLOK RESPIRASI
SESAK NAFAS
Kelompok A16
Pada inspeksi terlihat pernapasan cepat dan sukar, frekuensi napas 48x/menit,
disertai batuk-batuk paroksismal, terdengar suara mengi, ekspirasi memanjang,
terlihat retraksi daerah suraklavikular, suprasternal, epigastrium, dan sela iga. Pada
perkusi terdengar hipersonor di seluruh toraks. Pada auskultasi bunyi napas
kasar/mengeras. Terdengar juga ronkhi kering dan ronkhi basah serta suara lender dan
wheezing. Pasien didiagnosis sebagai asma akut episode sering.
Menurut National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI, 2007), pada
individu yang rentan, gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang akan
menyebabkan obstruksi dan hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang
bervariasi derajatnya.
Sampai saat ini etiologi penyakit asma bronkial belum dapat diketahui. Suatu hal yang
menonjol pada penderita asma adalah fenomena hipersensitivitas bronkus. Bronkus
pada penderita asma sangat peka terhadapat rangsangan imunologi maupun non-
imunologi. Adapun rangsangan atau factor pencetus yang sering menimbulkan asma
adalah:
1. Faktor ekstrinsik (alergi) : reaksi alergik yang disebabkan oleh allergen atau
allergen yang dikenal seperti debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang.
2. Faktor intrinsic (non-alergik) : tidak berhubungan dengan allergen, seperti common
cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi, dan polutan lingkungan dapat
mencetuskan serangan.
3. Asma gabungan : bentuk asma yang paling umum, asma ini mempunyai
karakterisyik dari bentuk alergik dan non-alergik (Smeltzer & Bare, 2002). Ada
beberapa hal yang merupakan factor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan
asma bronkial, yaitu:
A. Faktor Predisposisi
a. Genetik
Faktor yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat juga yang menderita penyakit alergi.
Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma
bronkial jika terpapar dengan factor pencetus. Selain itu hipersensitivitas
saluran pernapasannya juga bias diturunkan.
B. Faktor Presipitasi
a. Alergen
Dimana allergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
- Inhalan: yang masuk melalui sluran pernapasan
Contoh: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan
polusi
- Ingestan: yang masuk melalui mulut
Contoh: makanan dan obat-obatan
- Kontaktan: yang masuk melalui kulit
Contoh: perhiasan, logam dan jam tangan
b. Perubahan Cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunugan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim hujan,
musim kemarau.
c. Stress
Stress atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu
juga bias memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma
yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress atau
gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk menyelsaikan masalah pribadinya.
Karena jika stresnya belum diatasi maka gejala belum bisa diobati.
d. Lingkungan Kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal
ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di
laboratorium hewan, industry tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini
membaik pada waktu libur atau cuti.
2. Persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari
Serangan dapat mengganggu aktivitas tidur
Gejala nocturnal >2 kali/bulan
3. Persisten sedang
4. persisten berat
1. Tingkat pertama : secara klinis normal, tetapi asma timbul jika ada faktor
pencetus.
2. Tingkat kedua : penderita asma tidak mengeluh dan pada pemeriksaan fisik
tanpa kelainan tetapi fungsi parunya menunjukkan obstruksi jalan nafas. Disini
banyak ditemukan pada penderita yang baru sembuh dari serangan asma
3. Tingkat ketiga : penderita tidak ada keluhan tetapi pada pemeriksaan fisik
maupun maupun fungsi paru menunjukkan tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
5. Tingkat kelima : adalah status asmatikus, yaitu suatu keadaan darurat medik
berupa serangan akut asma yang berat, bersifat refrakter terhadap pengobatan
yang biasa dipakai.
Interaksi antara lingkungan dan faktor genetik dapat mengakibatkan inflamasi saluran
nafas, yang menghambat aliran udara dan memicu pada perubahan fungsi dan struktur
dari saluran nafas yang timbul sebagai bronkospasme, edema mukosa, dan sumbatan
mukus.
DIAGNOSIS
Anamnesa
Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, batuk
berdahak yang tak kunjung sembuh, atau batuk malam hari.Semua keluhan
biasanya bersifat episodic dan reversible. Mungkin ada riwayat keluarga dengan
penyakit yang sama atau penyakit alergi yang lain.
PemeriksaanFisik
Keadaan umum : Penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih
nyaman dalam posisi duduk
Jantung : Pekak jantung mengecil, takikardi
Paru
Inspeksi : Dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong
kebawah
Auskultasi : Terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang
Perkusi : Hipersonor
Palpasi : Fremitus vokal kanan sama dengan kiri
B3 (Brain)
Diperlukan pemeriksaan GCS untuk penentuan status kesadaran
B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berkaitan intake cairan. Ada tidaknya
oliguria sebagai tanda awal gejala syok.
B5 (Bowel)
Perlu dikaji bentuk, turgor, nyeri dan tanda-tnada infeksi yang dapat
merangsang serangan asma. Pengkajian status nutrisi meliputi jumlah,
frekuensi dan kesulitan pemenuhan kebutuhan nutrisi karena pada pasien
sesak napas terjadi kekurangan. Hal ini terjadi karena dispnea saat makan dan
kecemasan klien.
B6 (Bone)
Adanya edema ekstremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada ekstremitas
karena merangsang serangan asma. Pada integumen perlu dikaji permukaan
kasar,kering, kelainan pigmentasi, turgor kulit, kelembaban, besisik, pruritis,
eksim dan adanya bekas dermatitis. Pada rambut kaji kelembaban dan kusam.
Adanya wheezing, sesak danortopnea saat istirahat. Pola aktivitas olahraga,
pekerjaan dan aktivitas lainnya.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal
eosinofil
Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari
cabang bronkhus
Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkhus
Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat
mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug
Pemeriksaan Darah
Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis
Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH
Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm 3
dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi
Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari IgE pada
waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan
Pemeriksaan Penunjang Lain
1. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu
serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni
radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta
diafragma yang menurun.
Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat
adalah sebagai berikut:
Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan
bertambah
Bila terdapat komplikasi emfisema (COPD), maka gambaran radiolusen
akan semakin bertambah
Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrat pada paru
Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal
Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan
pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen
pada paru-paru
2. Pemeriksaan Tes Kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang
dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
3. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat
dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi
pada emfisema paru, yaitu:
Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi
dan clock wise rotation
Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya
RBB (Right bundle branch block)
Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES,
dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negative
4. Scanning Paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa
redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
5. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara
yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon
pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan
sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau
nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak
lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol
bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting
untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat
obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi
pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.
Status Asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan
asma yang berat atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara
terhadap pengobatan yang lazim diberikan. Refrakter adalah tidak adanya
perbaikan atau perbaikan yang sifatnya hanya singkat, dengan waktu
pengamatan antara satu sampai dua jam.
Gambaran Klinis Status Asmatikus
Penderita tampak sakit berat dan sianosis
Sesak nafas, bicara terputus-putus
Banyak berkeringat, bila kulit kering menunjukkan kegawatan sebab
penderita sudah jatuh dalam dehidrasi berat
Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup baik, tetapi
lambat laun dapat memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah
kemudian jatuh ke dalam koma
DIAGNOSIS BANDING
Bronkitis Kronis
Ditandai dengan batuk kronik menegluarkan sputum 3 bulan dalam
setahun paling sedikti terjadi dua tahun. Gejala utama batuk disertai sputum
biasanya terjadi pada penderita > 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya
berupa batuk di pagi hari, lama-lama disertai mengi, menurunya
kemampuan kegiatan jasmani pada stadium lanjut ditemukan sianosis dan
tanda-tanda kor pumonal.
Emfisema Paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan
mengi jarang menyertainya. Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan
asma, emfisema biasanya tida ada fase remisi, penderita selalu merasa sesak
pada saat melakukan aktivitas. Pada pemeriksaan fisik di dapat dada seperti
tong, gerakan nafas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, suara
vesikuler sangat lemah. Pada foto dada di dapat adanya hiperinflasi.
Gagal Jantung Kiri
Gejala gagal jantung yang sering terjadi pada malam hari dikenal
sebagai paroksisimal dispneu. Penderita tiba-tiba terbangun pada malam
hari karena sesak, tetapi sesak berkurang jika penderita duduk. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan adanya kardiomegali dan udem paru.
Emboli Paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung dan
tromboflebitis dengan gejala sesak nafas, pasien terbatuk-batuk disertai darah,
nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan pingsang. Pada pemeriksaan fisik
didapat ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan, pleural friction, gallop,
sianosis, dan hipertensi.
Cara pemberian obat asma harus di-sesuaikan dengan umur anak karena
perbedaan kemampuan menggunakan alat inhalasi. Demikian juga kemauan anak
perlu dipertimbangkan. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat hirupan
biasa (metered dose inhaler). Perlu
dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali.
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi obat dalam mulut
(orofaring), jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi
efeksistemik. Sebaliknya deposisi dalam paru lebih baik sehingga didapat efek
terapetik yang baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (Spinhaler, Diskhaler,
Rotahaler, Turbuhaler) memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini
dianjurkan untuk anak usia sekolah.
Sebagian alat bantu yaitu spacer (Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber,
Babyhaler, Autohaler) dapat dimodifikasi dengan menggunakan gelas atau botol
minuman bekas, atau menggunakan botoldengan dot yang telah dipotong untuk anak
kecil
dan bayi.
Terapi Inhalasi
Pemberian per inhalasi adalah pemberian obat secara langsung ke dalam saluran
napas melalui hirupan. Pada asma, penggunaan obat secara inhalasi dapat mengurangi
efek samping yang sering terjadi pada pemberian parenteral atau per oral, karena
dosis yang sangat kecil dibandingkan jenis lainnya.
Cara memberikan obat melalui hirupan tersebut dikenal sebagai terapi inhalasi. Secara
garis besar ada 3 macam alat/jenis terapi inhalasi, yaitu nebulizer, MDI (metered dose
inhaler), dan DPI (dry powder inhaler). Jenis DPI yang paling sering digunakan
adalah turbuhaler. Terapi inhalasi memiliki keuntungan dibandingkan dengan cara
oral (diminum) atau disuntik, yaitu langsung ke organ sasaran, awitan kerja lebih
singkat, dosis obat lebih kecil, dan efek samping juga lebih kecil.
Untuk mendapatkan manfaat obat yang optimal , obat yang diberikan per inhalasi
harus dapat mencapai tempat kerjanya di dalam saluran napas. Obat yang digunakan
biasanya dalam bentuk aerosol, yaitu suspensi partikel dalam gas.
Pemberian aerosol yang idel adalah dengan alat yang sederhana, mudah dibawa, tidak
mahal, secara selektif mencapai saluran napas bawah, hanya sedikit yang tertinggal di
saluran napas atas, serta dapat digunakan oleh anak, orang cacat, dan orang tua.
Namun keadaan ideal tersebut tidak dapat sepenuhnya tercapai.
Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara alat dengan mulut,
sehingga kecepatan aerosol pada saat dihisap menjadi berkurang. Hal ini
mengurangi pengendapan di orofaring (saluran napas atas). Spacer ini berupa
tabung (dapat bervolume 80 ml) dengan panjang sekitar 10-20 cm, atau bentuk
lain berupa kerucut dengan volume 700-1000 ml. Penggunaan spacer ini
sangat menguntungkan pada anak.
Penggunaan obat dry powder (serbuk kering) pada DPI memerlukan hirupan
yang cukup kuat. Pada anak yang kecil, hal ini sulit dilakukan. Pada anak yang lebih
besar, penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang memerlukan
koordinasi dibandingkan MDI. Deposisi (penyimpanan) obat pada paru lebih tinggi
dibandingkan MDI dan lebih konstan. Sehingga dianjurkan diberikan pada anak di
atas 5 tahun.
Nebulizer
Alat nebulizer dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi aerosol
secara terus-menerus, dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan, atau
gelombang ultrasonik. Aerosol yang terbentuk dihirup penderita melalui mouth piece
atau sungkup.
Bronkodilator yang diberikan dengan nebulizer memberikan efek bronkodilatasi
(pelebaran bronkus) yang bermakna tanpa menimbulkan efek samping. Hasil
pengobatan dengan nebulizer lebih banyak bergantung pada jenis nebulizer yang
digunakan. Ada nebulizer yang menghasilkan partikel aerosol terus-menerus, ada juga
yang dapat diatur sehingga aerosol hanya timbul pada saat penderita melakukan
inhalasi, sehingga obat tidak banyak terbuang
Kortikosteroid Inhalasi
Kortikosteroid terdapat dalam beberapa bentuk sediaan antara lain oral, parenteral,
dan inhalasi. Ditemukannya kortikosteroid yang larut lemak (lipid-soluble) seperti
beclomethasone, budesonide, flunisolide, fluticasone, and triamcinolone,
memungkinkan untuk mengantarkan kortikosteroid ini ke saluran pernafasan dengan
absorbsi sistemik yang minim. Pemberian kortikosteroid secara inhalasi memiliki
keuntungan yaitu diberikan dalam dosis kecil secara langsung ke saluran pernafasan
(efek lokal), sehingga tidak menimbulkan efek samping sistemik yang serius.
Biasanya, jika penggunaan secara inhalasi tidak mencukupi barulah kortikosteroid
diberikan secara oral, atau diberikan bersama dengan obat lain (kombinasi, misalnya
dengan bronkodilator). Kortikosteroid inhalasi tidak dapat menyembuhkan asma.
Pada kebanyakan pasien, asma akan kembali kambuh beberapa minggu setelah
berhenti menggunakan kortikosteroid inhalasi, walaupun pasien telah menggunakan
kortikosteroid inhalasi dengan dosis tinggi selama 2 tahun atau lebih. Kortikosteroid
inhalasi tunggal juga tidak efektif untuk pertolongan pertama pada serangan akut yang
parah.
Farmokinetik
Kortikosteroid bekerja dengan memblok enzim fosfolipase-A2, sehingga menghambat
pembentukan mediator peradangan seperti prostaglandin dan leukotrien. Selain itu
berfungsi mengurangi sekresi mukus dan menghambat proses peradangan.
Kortikosteroid tidak dapat merelaksasi otot polos jalan nafas secara langsung tetapi
dengan jalan mengurangi reaktifitas otot polos disekitar saluran nafas, meningkatkan
sirkulasi jalan nafas, dan mengurangi frekuensi keparahan asma jika digunakan secara
teratur.Kortikosteroid inhalasi secara teratur digunakan untuk mengontrol dan
mencegah gejala asma. Kontraindikasi bagi pasien yang hipersensitifitas terhadap
kortikosteroid. Efek samping kortikosteroid berkisar dari rendah, parah, sampai
mematikan. Hal ini tergantung dari rute, dosis, dan frekuensi pemberiannya. Efek
samping pada pemberian kortikosteroid oral lebih besar daripada pemberian inhalasi.
Pada pemberian secara oral dapat menimbulkan katarak, osteoporosis, menghambat
pertumbuhan, berefek pada susunan saraf pusat dan gangguan mental, serta
meningkatkan resiko terkena infeksi. Kortikosteroid inhalasi secara umum lebih
aman, karena efek samping yang timbul seringkali bersifat lokal seperti candidiasis
(infeksi karena jamur candida) di sekitar mulut, dysphonia (kesulitan berbicara), sakit
tenggorokan, iritasi tenggorokan, dan batuk. Efek samping ini dapat dihindari dengan
berkumur setelah menggunakan sediaan inhalasi. Efek samping sistemik dapat terjadi
pada penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi yaitu pertumbuhan yang
terhambat pada anak-anak, osteoporosis, dan karatak.
Segera setelah obat masuk, tahan nafas selama 10 detik (jika tidak membawa
jam, sebaiknya hitung dalam hati dari satu hingga sepuluh)
Setelah itu, jika masih dibutuhkan dapat mengulangi menghirup lagi seperti
cara diatas, sesuai aturan pakai yang diresepkan oleh dokter
Setelah selesai, bilas atau kumur dengan air putih untuk mencegah efek
samping yang mungkin terjadi.Pengobatan asma harus dilakukan secara tepat
dan benar untuk mengurangi gejala yang timbul. Pengobatan asma
memerlukan kerja sama antara pasien, keluarga, dan dokternya. Oleh karena
itu pasien asma dan keluarganya harus diberi informasi lengkap tentang obat
yang dikonsumsinya; kegunaan, dosis, aturan pakai, cara pakai dan efek
samping yang mungkin timbul. Pasien hendaknya juga menghindari faktor
yang menjadi penyebab timbulnya asma. Selain itu, pasien harus diingatkan
untuk selalu membawa obat asma kemanapun dia pergi, menyimpan obat-
obatnya dengan baik, serta mengecek tanggal kadaluarsa obat tersebut. Hal ini
perlu diperhatikan agar semakin hari kualitas hidup pasien semakin
meningkat.
Tidak seperti penyakit saluran napas yang lain seperti bronchitis kronik, asma
tidak progresif. Walaupun ada laporan pasien asma yang mengalami perubahan fungsi
paru yang irreversible, pasien ini seringkali memiliki tangsangan komorbid seperti
perokok sigaret yang tidak dapat dimasukkan salam penemuan ini. Bahkan bila tidak
diobati, pasien asma tidak terus menerus berubah dari penyakit yang ringan menjadi
penyakit yang berat seiring berjalannya waktu. Beberapa penelitian mengatakan
bahwa remisi spontan terjadi pada kira-kira 20 persen pasien yang menderita penyakit
ini di usia dewasa dan 40 persen atau lebih diharapkan membaik dengan jumlah dan
beratnya serangan yang jauh berkurang sewaktu pasien menjadi tua.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1998, Buku Kedokteran Dorlan edisi 25, Penerbit ECG, Jakarta
Price, Shirley Lorane M. Wilson. 1998. Patofisiologi Konsp Klinis Proses Penyakit
edisi 4. Jakarta : ECG.
Rahajoe N, dkk. 2004. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi. Jakarta :
PP IDAI
Suardi, Adi Utomo, dkk. 2012. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta : IDAI
Sudoyo, Aru W,dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi IV. Jakarta :
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi 2004
http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=199741315235
http://www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma.html
http://medicastore.com/asma/pengobatan_asma.php
http://www.who.int/