Anda di halaman 1dari 10

INFEKSI HERPES PADA PASIEN IMUNOKOMPETEN

Adolf H. Mitaart
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK Universitas Sam Ratulangi/RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado
PENDAHULUAN
Herpes simpleks adalah infeksi yang disebabkan Herpes simplex virus (HSV) tipe 1 dan 2,
meliputi herpes orolabialis dan herpes genitalis. Penularan virus paling sering terjadi melalui
kontak langsung dengan lesi atau sekret genital/oral dari individu yang terinfeksi.1
Di antara kedua tipe herpes simpleks, herpes genitalis merupakan salah satu infeksi
menular seksual yang perlu mendapat perhatian karena sifat penyakitnya yang sukar
disembuhkan dan sering rekuren, transmisi virus dari pasien asimtomatik, pengaruhnya
terhadap kehamilan/janin dalam kandungan dan pasien imunokompromais, dampak
psikologis, serta kemungkinan timbulnya resistensi virus.2
BIOLOGI VIRUS HERPES
Klasifikasi
Herpes simplex virus (HSV) tergolong anggota virus herpes yang primer menimbulkan
penyakit pada manusia. Herpes simplex virus tipe 1 (HSV-1) dan HSV-2 termasuk sub family
alphaherpesvirinae dengan ciri-ciri spektrum sel pejamu bervariasi, siklus replikasi yang
relatif cepat, mudahnya infeksi menyebar di biakan sel, menimbulkan kerusakan sel yang
cepat, dan kemampuan menimbulkan infeksi laten khususnya pada ganglion sensorik.3,4
Struktur, Komposisi, dan Sifat
Virus herpes berukuran besar dibandingkan dengan virus lain. Struktur virus herpes dari
dalam ke luar terdiri dari genom DNA untai ganda liniar berbentuk toroid, kapsid, lapisan
tegumen, dan selubung. Dari selubung keluar tonjolan-tonjolan (spike), tersusun atas
glikoprotein. Terdapat 10 glikoprotein untuk HSV-1
yaitu glikoprotein (g)B, gC, gD, gE, gH, gI, gK, gL, dan M. Glikoprotein D dan glikoprotein B
merupakan bagian penting untuk infektivitas virus. Glikoprotein G HSV-1 berbeda dengan
HSV-2 sehingga antibodi terhadapnya dapat dipakai untuk membedakan kedua spesies
tersebut.3.
Virus herpes humanus relatif tidak stabil pada suhu kamar dan dapat dirusakkan dengan
perebusan, alkohol, dan pelarut lipid seperti eter atau kloroform.5
Replikasi virus
Virus masuk ke dalam sel melalui fusi antara glikoprotein selubung virus dengan
reseptornya yang terdapat di membran plasma. Selanjutnya nukleokapsid pindah dari
sitoplasma ke inti sel. Setelah kapsid rusak, genom virus dilepas di dalam inti sel, berubah
dari liniar menjadi sirkular. Sebagian gen langsung ditranskripsikan dan produk RNA-nya
dipindahkan ke sitoplasma. Pada tahap akhir, dengan bantuan protein beta, terjadi
transkripsi dan translasi late genes menjadi protein gamma.3,4,6
Transkripsi DNA virus terjadi sepanjang siklus replikasi di dalam sel dengan bantuan enzim
RNA polimerase sel pejamu dan protein virus lain. Transkrip dalam bentuk DNA virus
selanjutnya dirakit menjadi virion pada membran inti sel. Virion selanjutnya dilepaskan ke
luar inti sel melalui proses eksositosis. Satu kali siklus replikasi berlangsung sekitar 18 jam
untuk herpes simpleks.3
Replikasi HSV di dalam sel akan menghambat sintesis DNA dan protein selular sejak fase
dini replikasi. 3,4

Virus baru yang terbentuk akan dilepaskan dari sel dan menginfeksi sel lain.3,4,6
Infeksi Laten
Infeksi laten oleh sel virus merupakan infeksi yang tidak disertai pembentukan virion. Infeksi
dimulai pada epitel orolabial atau genital, selanjutnya infeksi menyebar ke akson terminal
syaraf sensorik dan terjadi translokasi retrograd virus ke akson. Pada sel neuron, infeksi
dapat bersifat produktif maupun laten. 3,5 Latensi tersering terjadi pada ganglion trigeminus.
Jika ada stimulus, infeksi laten pada neuron berubah menjadi infeksi produksi terbatas dan
selanjutnya menyebar ke jaringan yang dipersyarafinya.3
PATOGENESIS
Infeksi terjadi melalui inokulasi virus pada permukaan mukosa yang rentan. Virus akan
melekat pada sel epitel kemudian masuk dengan cara meleburkan diri di dalam membran.
Sekali di dalam sel, terjadi replikasi yang menghasilkan lebih banyak virion yang
menyebabkan kematian sel.7,8 Virus juga memasuki ujung saraf sensorik. Virion kemudian
ditransportasi ke inti sel neuron di ganglia sensorik. Virion dalam neuron yang terinfeksi
akan bereplikasi menghasilkan progeni atau virus akan memasuki keadaan laten tak
bereplikasi. Neuron yang terinfeksi akan mengirim balik virus progeni ke lokasi kulit tempat
dilepaskannya virion sebelumnya dan menginfeksi sel epitel yang berdekatan dengan ujung
saraf, sehingga terjadi penyebaran virus dan jejas sel. Infeksi oleh HSV-1 dan HSV-2 akan
menginduksi glikoprotein yang berhubungan pada permukaan sel-sel yang terinfeksi.
Setelah terjadi infeksi, sistem imunitas humoral dan selular akan terangsang oleh
glikoprotein antigenik untuk menghasilkan respon imun. Respon imun dapat membatasi
replikasi virus sehingga infeksi akut dapat membaik. Respon ini tidak dapat mengeliminasi
infeksi laten yang menetap dalam ganglia seumur hidup pejamu. Latensi semata tidak
menimbulkan penyakit, namun infeksi laten dapat mengalami reaktivasi sehingga
menghasilkan virion yang bila dilepas dari ujung saraf dapat menginfeksi sel epitel di
dekatnya untuk menghasilkan lesi kulit rekurens atau pelepasan virus asimtomatik. 7
Reaktivasi HSV-1 sering terjadi dari ganglion trigeminus, sedangkan HSV-2 dari ganglion
sakralis.1
Faktor pemicu terjadinya reaktivasi dapat berupa demam, kelelahan, sinar ultra violet,
trauma mekanik, bahan kimia, hormon, menstruasi, hubungan seksual, stres emosional, dan
keadaan imunokompromais. 1,9
Penularan lesi orolabial terjadi melalui droplet dan kontak langsung dengan lesi atau saliva
yang mengandung virus.8 Penularan lesi genital dimulai bila sel epitel mukosa saluran
genital pejamu yang rentan terpajan virus yang terdapat dalam lesi atau sekret genital orang
yang terinfeksi. Walaupun herpes orolabialis paling sering disebabkan oleh HSV-1 dan
herpes genitalis terutama disebabkan oleh HSV-2, kadang-kadang HSV-2 dapat
mengakibatkan lesi-lesi oral, demikian pula HSV-1 dapat menyebabkan lesi genital. Hal ini
dikaitkan dengan aktivitas seksual secara orogenital.1,7,8
Semua individu seropositif HSV-2 secara intermiten akan mereaktivasi HSV di saluran
genitourin selama hidupnya, baik sebagai infeksi simtomatik, infeksi simtomatik namun tidak
dikenal sebagai herpes, atau sebagai infeksi subklinis.7
MANIFESTASI KLINIS
HERPES OROFASIAL
Infeksi primer
Infeksi primer dapat bersifat subklinis, tetapi pada beberapa keadaan menimbulkan
manifestasi berat di daerah oral disebut gingivostomatitis herpetika primer.
Gingivostomatitis herpetika adalah manifestasi infeksi HSV-1 orofasial primer yang tersering,
ditandai lesi khas vesikoulseratif oral dan atau perioral, kebanyakan mengenai anak-anak
umur 1-5 tahun.1,9 Gejala prodromal berupa demam, sakit kepala, malaise, nausea, dan
muntah-muntah disertai rasa tidak nyaman di mulut. Satu sampai dua hari setelah gejala
prodromal, timbul lesi-lesi lokal berupa vesikel kecil berkelompok di mukosa mulut,
berdinding tipis dikelilingi oleh peradangan. Vesikel cepat pecah meninggalkan ulkus
dangkal dan bulat yang nyeri di sekitar rongga mulut. Lesi dapat mengenai seluruh bagian
mukosa mulut. Selama perlangsungan penyakit, vesikel dapat bersatu menjadi lesi yang
lebih besar dengan tepi tidak teratur. Gambaran khas adalah ginggivitis marginalis akut,
generalisata, edema, dan eritema ginggiva, kadang-kadang disertai beberapa ulkus pada
gingiva. Pada pemeriksaan, faring posterior akan tampak kemerahan dengan pembesaran
kelenjar getah bening submandibular dan servikal.1,6,8,9
Gejala ekstra oral berupa vesikel berkelompok pada bibir dan kulit di sekitar sirkum oral.
Setelah beberapa hari lesi akan ditutupi krusta kekuningan. Stomatitis herpetika akut pada
anak-anak yang sehat bersifat swasirna. Demam biasanya akan hilang dalam 3-4 hari dan
lesi akan sembuh dalam 10 hari, walaupun dalam waktu 1 bulan masih dapat ditemukan
virus dalam saliva.8
Infeksi rekuren
Herpes simpleks labialis (cold sore/fever blisters) adalah bentuk herpes orofasial rekuren
yang paling sering terjadi, berupa vesikel-vesikel pada batas luar vermilion dan kulit
sekitarnya.9 Gejala dimulai dengan rasa perih diikuti oleh timbulnya vesikel berkelompok
dalam 24 jam, pecah, terjadi erosi superfisial, kemudian akan ditutupi krusta. Nyeri dan rasa
tidak nyaman terjadi pada beberapa hari pertama; lesi sembuh dalam waktu kurang dari 2
minggu tanpa jaringan parut. Pelepasan virus terus berlansung 35 hari setelah lesi
sembuh. Herpes labialis rekuren terjadi pada 50-75% individu-individu yang terkena infeksi
HSV di mulut, terjadi tiga kali lebih sering pada pasien dengan demam dibandingkan pasien
tanpa demam.8,9
Herpes intra oral rekuren merupakan bentuk rekuren berupa lesi pada intra oral khususnya
daerah mukosa yang berkeratin. Predileksi pada palatum durum regio premolar dan molar,
dapat juga timbul pada bagian fasial dan bukal gingiva. Vesikel mudah pecah, terletak
unilateral, tidak melewati garis tengah.8,9
HERPES GENITALIS
Herpes genitalis primer episode pertama
Episode pertama akan tampak secara klinis dalam waktu 2-21 hari setelah inokulasi. Bila
seseorang belum pernah terpajan HSV sebelumnya (seronegatif) maka akan disebut
sebagai infeksi primer. Episode pertama seringkali disertai gejala-gejala sistemik, lesi dan
pelepasan virus yang berlangsung lama, mengenai banyak tempat di genital maupun di luar
genital. Pasien dengan infeksi primer (infeksi pertama kali dengan HSV-2 maupun HSV-1)
umumnya mengalami penyakit yang lebih parah dibandingkan pasien yang telah mengalami
infeksi HSV-1 sebelumnya.7
Infeksi primer HSV-2 dan HSV-1 genital ditandai dengan gejala sitemik dan lokal yang lama.
Gejala sistemik muncul dini berupa demam, nyeri kepala, malaise, dan mialgia. Gejala lokal
utama berupa nyeri, gatal, rasa terbakar, disuria, duh tubuh, vagina atau uretra serta
pembesaran dan rasa nyeri pada kelenjar getah bening inguinal. Lesi kulit berbentuk vesikel
berkelompok dengan dasar eritem di labia minora, introitus, meatus uretra, serviks pada
wanita; batang dan glans penis pada pria atau perineum, paha, dan bokong pada pria dan
wanita. Vesikel
ini mudah pecah dan menimbulkan erosi multipel. Masa pelepasan virus berlangsung
kurang lebih 12 hari. Tanpa infeksi sekunder, penyembuhan terjadi secara bertahap dalam
waktu kurang lebih 18 sampai 20 hari, tetapi bila ada infeksi sekunder penyembuhan
memerlukan waktu lebih lama dan meninggalkan jaringan parut. 2,7,9,10
Herpes genitalis non-primer episode pertama
Sebagian besar populasi pernah terpajan oleh HSV-1 maupun HSV-2 sebelumnya. Individu
demikian telah seropositif pada saat episode pertama, sehingga disebut non-primer.7
Diagnosis klinis episode pertama non-primer sukar dibedakan dengan episode rekuren. 10
Secara umum, episode pertama non-primer menyerupai rekurensi yaitu lebih ringan
daripada infeksi primer, dengan masa tunas yang lebih panjang.7
Herpes genitalis rekuren

Tingkat rekurensi bervariasi diantara individu.9 Rekurensi cenderung lebih sering terjadi
pada bulan pertama atau tahun pertama setelah infeksi awal.1
Lesi rekuren biasanya terbatas pada satu sisi dan gejala klinis yang ringan. Lamanya
pelepasan virus berlangsung kurang dari 5 hari, penyembuhan juga lebih cepat.2,6,7
Herpes genitalis atipikal
Manifestasi herpes genital atipikal sering dijumpai, berupa fisura, furunkel, ekskoriasi, dan
eritema vulva nonspesifik disetai rasa nyeri dan gatal pada wanita. Pada pasien pria berupa
fisura linier pada preputium, dan bercak merah pada glans penis. Lesi ekstragenital
umumnya mengenai bokong, sela paha, dan paha.7
Reaktivasi subklinis/asimtomatik HSV
Pelepasan virus (viral shedding) subklinis menjadi masalah serius pada herpes genitalis
karena berpotensi tinggi dalam transmisi virus. Lokasi viral shedding
pada keadaan asimtomatik umumnya di kulit penis, uretra, perianal pada pria dan di vulva,
uretra, serviks, serta perineum pada wanita.9
DIAGNOSIS
Diagnosis klinis
Tipe awitan, gejala konstitusional yang klasik, distribusi dan gambaran lesi yang khas
berupa ulserasi oral superfisial, bentuk bulat, multipel, bersifat akut dan adanya gingivitis
marginal generalisata pada pemeriksaan fisis, ditunjang oleh tidak adanya riwayat episode
herpes sebelumnya, serta adanya riwayat terpajan HSV-1 membantu menegakkan
diagnosis gingivostomatitis herpetika primer. Herpes orofasial tipe ini perlu dibedakan
dengan hand-foot-mouth disease, herpangina, eritema multiformis, pemfigus vulgaris, acute
necrotizing ulcerative gingivitis. 9
Herpes intraoral didiagnosis banding dengan stomatitis aftosa rekuren dan herpes zoster
intraoral. 8,9
Infeksi HSV genital perlu didiagnosis banding dengan penyebab ulkus genital lain baik
berupa infeksi maupun bukan infeksi. Bila terdapat kelompokan vesikel multipel atau bila
terdapat riwayat lesi sebelumnya yang berukuran sama, lama timbulnya dan sifatnya sama
maka kemungkinan besar penyebabnya adalah HSV. Diagnosis banding HSV genital adalah
ulkus pada sifilis, chancroid, limfogranuloma venerum, donovanosis, non infeksi penyakit
Crohn, ulserasi mukosa yang dihubungkan dengan sindrom Behcet.7,10
Diagnosis laboratorium
1. Tes Tzank diwarnai dengan pengecatan Giemsa atau Wright, terlihat sel raksasa berinti
banyak. Pemeriksaan ini tidak sensitif dan tidak spesifisik. 2,11

2. Kultur virus. Sensitivitasnya rendah dan menurun dengan cepat saat lesi menyembuh.11
3. Deteksi DNA HSV dengan Polymerase chain reaction (PCR), lebih sensitif dibandingkan
kultur virus.11
4. Tes serologik IgM dan IgG tipe spesifik. IgM baru dapat dideteksi setelah 47 hari infeksi,
mencapai puncak setelah 24 minggu, dan menetap selama 23 bulan, bahkan sampai
9 bulan. Sedangkan, IgG baru dapat dideteksi setelah 23 minggu infeksi, mencapai
puncak setelah 46 minggu, dan menetap lama, bahkan dapat seumur hidup.2
Antibodi IgM dan IgG hanya memberi gambaran keadaan infeksi akut atau kronik dari
penyakit herpes genitalis.
Tidak ditemukannya antibodi HSV pada sampel serum akut dan ditemukannya IgM
spesifik HSV atau peningkatan 4 kali antibodi IgG selama fase penyembuhan
menunjukkan diagnosis HSV primer. Ditemukannya IgG antiHSV pada serum akut, IgM
spesifik HSV dan peningkatan IgG anti-HSV selama fase penyembuhan merupakan
diagnostik infeksi HSV rekuren.9

KONSELING DAN PENCEGAHAN


Diagnosis herpes (herpes genitalis) dapat berdampak psikologis yang berat. Umumnya
pasien akan merasa depresi, terisolasi, dan takut.4
Mengingat dampak psikologis yang mungkin terjadi, maka diperlukan konseling sebagai
bagian integral keberhasilan manajemen herpes genitalis dengan harapan tercapainya
beberapa tujuan (goals) yang jelas. Pada dasarnya konseling IMS bertujuan:
1. Pasien patuh minum obat/mengobati sesuai ketentuan
2. Kembali untuk follow up teratur sesuai jadwal
3. Meyakinkan pentingnya pemeriksaan mitra seksual dan turut berusaha agar mitra
tersebut bersedia diperiksa dan diobati bila perlu
4. Mengurangi risiko penularan dengan:
a) Abstinensia dari semua hubungan seks hingga pemeriksaan terakhir selesai
b) Abstinensia dari semua hubungan seks bila timbul simtom atau gejala kambuh
c) Menggunakan kondom bila meragukan adanya risiko
5. Tanggap dan memberikan respons cepat terhadap infeksi atau hal yang mencurigakan
setelah hubungan seks.13

Hasil utama yang dikehendaki dari seluruh rangkaian konseling herpes adalah pasien dapat
menerima bahwa infeksi herpes yang dideritanya bukanlah suatu punishmenti, tetapi relatif
merupakan suatu kondisi medis yang biasa dan banyak ditemukan pada orang lain, serta
dapat dikelola dengan berhasil untuk meminimalkan dampak negatif pada pasien dalam
hidupnya.
Hasil yang diharapkan secara spesifik ialah :
Menjalin hubungan baik dengan pasien agar timbul kepercayaan pada dokter yang
merawatnya.
Memberikan informasi dan edukasi tentang herpes
Meminimalkan akibat psikologis yang biasanya timbul akibat kondisi penyakit kronis
tersebut
Membantu proses untuk memberikan informasi pada pasangan seksual pasien (partner
notification)

Pedoman dasar konseling pasien herpes genitalis:


Lingkungan yang mendukung
Sikap yang benar
Memberikan informasi yang benar

Beberapa tambahan tuntunan (guidelines) dalam konseling pasien herpes genitalis:


Memberi jaminan bagi pasien untuk kerahasiaan absolut tentang konsultasi dan hubungan
bersifat pribadi
Selalu menunjukkan perhatian dan kesungguhan terhadap masalah yang dihadapi oleh
pasien dan menyampaikan pertanyaan yang terbuka hingga klien menjadi lebih berani
berbicara
Dengarkan dengan sungguh-sungguh apa yang dikatakan oleh pasien, seolah-olah hanya
kita yang dapat berdiskusi tentang infeksi tersebut
Gunakan bahasa dan terminologi sederhana dan dapat dimengerti oleh pasien
Hindari kata-kata dan istilah menakutkan
Merangsang klien untuk mau bertanya dan menanyakan sesuatu yang belum dimengerti
pada kunjungan berikutnya
Melengkapi pasien dengan semua informasi yang dibutuhkan tentang penyakit, prosedur
pengobatan hingga pasien dapat memberikan putusan yang tepat
Simpulkan dalam catatan yang singkat dan jelas.

DAFTAR PUSTAKA
1. Marques AR, Straus SE. Herpes simplex. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ. Editor. Fitzpatricks Dermatology in general medicine. 7 th ed. New York: Mc-
Graw Hill Companies, 2008; 1873-85.
2. Daili SF. Herpes genitalis pada imunokompromais. Dalam:Daili SF, Makes WI Editor. Infeksi virus
herpes. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002; 89-99.
3. Sjahjurachman A. Biologi virus herpes. Dalam:Daili SF, Makes WI Editor. Infeksi virus herpes.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002; 3-21.
4. Pertel PE, Spear PG. Biology of Herpesviruses. Dalam : Holmes KK, Sparling PF, Stamm WE, Piot
P, Wasserheit JN, Core L. eds. Sexually transmitted diseases, edisi ke-4. New York:Mc Graw Hill.
2007. Hal. 381 - 97
5. Kendrick GDW, Sutherland S. An introduction to herpes infection. London: Gower Medical
Publishing Ltd, 1983.
6. Mindel A. Herpes simplex virus. London: Springer-Verlag, 1989.
7. Makes WI. Herpes genitalis pada pasien imunokompeten. Dalam:Daili SF, Makes WI Editor. Infeksi
virus herpes. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002; 74-88.
8. Sarsito AS. Stomatitis herpetika. Dalam:Daili SF, Makes WI. Editor. Infeksi virus herpes. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI, 2002; 65-73.
9. Fatahzadeh M, Schwartz RA. Human herpes simplex virus infections: epidemiology, pathogenesis,
symptomatology, diagnosis, and management. J Am Acad Dermatol 2007; 57: 737-63.
10. Leone P. Genital herpes. Dalam: Klausner JD, Hook EW. Current diagnosis and treatment.
Sexually transmitted diseases. New York: McGraw Hill International Edition, 2007; 84-91.
11. CDC. Sexually transmitted diseases. Treatment guidelines 2006. MMWR 2006; 16-20 (RR-11)
12. Barakbah J. Peranan konseling pada infeksi herpes genitalis. Dalam:Daili SF, Makes WI. Editor.
Infeksi virus herpes. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002; 147-54.
13. Barakbah J. Konseling infeksi menular seksual. Dalam: Daili SF, Makes WI, Zubier F, Judanarso
J. Editor. Infeksi menular seksual. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2005; 238-43.

Anda mungkin juga menyukai