Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PRAKTIKUM SURVEILANS

KEGIATAN SURVEILANS PENYAKIT DBD DI PUSKESMAS


PURWOKERTO SELATANBULAN JANUARI OKTOBER TAHUN 2016
Disusun untuk memenuhi tugas praktikum mata kuliah surveilans

Disusun Oleh :
Kelompok I / Kelas A
Difa Riska Yunata G1B014012
Dewi Kusmaryani G1B014020
Sri Maeliyah G1B014027
Alfianti Nurfadillah G1B014031
Nurfatika G1B014042
Natalia Dessy P N G1B014061
Syifa Waras Utami G1B014068
Rosiana Nurul Hidayati G1B014070

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO

2016
I. TUJUAN
Adapun tujuan surveilans penyakit DBD di Puskesmas Purwokerto Selatan
antara lain:
1. Menentukan besar masalah kasus DBD
2. Mendeteksi sejak dini terjadinya Kasus Luar Biasa DBD
3. Memonitor kecenderungan penyakit DBD secara terus-menerus

4. Menentukan program pengendalian dan pencegahan DBD


5. Mengamati kemajuan program pencegahan dan pemberantasan penyakit
DBD
6. Memperkirakan dampak program intervensi penyakit DBD
7. Mempermudah perencanaan program pemberantasan penyakit DBD
8. Memperkirakan dampak penyakit DBD di masa yang akan datang

II. DEFINISI KASUS


A. Pengertian DBD
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah suatu penyakit menular
yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes
aegypti yang ditandai dengan demam mendadak dua sampai tujuh hari
tanpa penyebab yang jelas, lemah atau lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai
dengan tanda-tanda perdarahan di kulit berupa bintik perdarahan
(petechia), ruam (purpura). Kadang-kadang mimisan, berak darah, muntah
darah, kesadaran menurun. Hal yang dianggap serius pada demam
berdarah dengue adalah jika muncul perdarahan dan tanda-tanda syok/
renjatan (Mubin, 2009).
Demam dengue adalah demam virus akut yang disertai sakit
kepala, nyeri otot, sendi dan tulang. Penurunan jumlah sel darah putih dan
ruam-ruam. Demam berdarah dengue/dengue hemorraghagic fever (DHF)
adalah demam dengue yang disertai pembesaran hati dan manifestasi
perdarahan. Pada keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi
darah dan pasien jatuh dalam syok hipovolemik akibat kebocoran plasma.
Keadaan ini disebut dengue shock syndrome (DSS) (Mardiana, 2010).
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang
disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi dengan salah satu
dari empat virus dengue (Depkes RI, 2013).
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang ditandai
dengan panas mendadak berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari tanpa
sebab yang jelas, tanda-tanda perdarahan (sekurang-kurangnya uji
Torniquet positif), disertai/tanpa disertai pembesaran hati (hepatomegali),
trombositopenia (trombosit 100.000/l), dan peningkatan hematokrit
20% (Kemenkes RI, 2014).
B. Kriteria Penetapan Kasus
Seseorang dikatakan penderita DBD jika memenuhi sekurang-
kurangnya 2 kriteria klinis dan 2 kriteria laboratorium di bawah ini:
Kriteria klinis:
1. Panas mendadak 2-7 hari tanpa sebab yang jelas
2. Tanda-tanda perdarahan (sekurang-kurangnya uji Torniquet positif)
3. Pembesaran hati
4. Syok
Kriteria laboratorium:
1. Trombositopenia (trombosit 100.000/l)
2. Hematokrit naik 20%
Penderita yang menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan HI test
atau hasil positif pada pemeriksaan antibodi dengue Rapid Diagnostic Test
(RDT)/ELISA.

III.SUMBER DATA
Jenis surveilans yang digunakan di Puskesmas Purwokerto Selatan
adalah surveilans aktif dan pasif. Surveilans aktif adalah
A. Data primer
Data primer diperoleh melalui wawancara dan mengisi
formuliryang dilakukan petugas surveilans di Puskesmas Purwokerto
Selatan terhadap masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Purwokerto
Selatan.
B. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh darilaporan bulanan dengan KDRS, yaitu
dari bulan Januari hingga bulan Oktober tahun 2016.
Adapun proses pengumpulan data surveilans DBD di Puskesmas
Purwokerto Selatan yaitu melalui surat resmi dari lapangan, surat
elektronik, dan SMS dari instansi terkait dengan frekuensi satu bulan
sekali.
Sedangkan untuk pengolahan data di Puskesmas Purwokerto
Selatan dianalisis dengan menggunakan analisis univariat dengan
mendeskripsikan data yang diperoleh dan interpretasikan dalam bentuk
grafik. Penyebaran informasi surveilans di Puskesmas Purwokerto Selatan
terdiri dari :
1. Internal, melalui Loka Karya Mini Puskesmas.
2. Ekternal, melalui Posyandu, pertemuan kader, dan pertemuan lintas
sektor.
IV. HASIL DAN INDIKATOR
A. Hasil
Tabel berikut adalah jumlah kasus DBD yang dibedakan menjadi
kasus DD, DBD, DSS, dan kematian di Puskesmas Purwokerto Selatan
dari Januari - Oktober tahun 2016.
Jumlah
No Bulan
DD DBD DSS Mati
1 Januari 3 9 0 0
2 Februari 12 17 0 0
3 Maret 7 12 1 0
4 April 4 15 0 0
5 Mei 0 1 0 0
6 Juni 2 12 0 0
7 Juli 0 2 0 0
8 Agustus 1 1 0 0
9 September 0 0 0 0
10 Oktober 0 0 0 0
Tabel 4.1 Jumlah kasus DBD Puskesmas Purwokerto Selatan tahun 2016

Grafik Bulanan Kasus DD, DBD, DSS, dan Mati di Wilayah Puskesmas Purwokerto Selatan Tahun 2016
18
16
14
12 12
12
DD
10 9
DBD
8 7
DSS
6
4 Mati
4 3
2 2 2
2 1 1 11

0
0 170 0 12 0 150 0 0 00 00 0 00 00 0000 0000

Grafik 4.2 Grafik Bulanan Kasus DD, DBD, DSS, dan Mati di Wilayah
Puskesmas Purwokerto Selatan tahun 2016
Berdasarkan tabel 4.1 dan grafik 4.2, diketahui bahwa kasus DD
tertinggidi Puskesmas Purwokerto Selatan tahun 2016 terjadi pada bulan
Februari yaitu sebanyak12 kasus. Kasus DBD tertinggi di Puskesmas
Purwokerto Selatan tahun 2016 terjadi pada bulan Februari yaitu
sebanyak17 kasus. Kasus DSS tertinggidi Puskesmas Purwokerto Selatan
tahun 2016 terjadi pada bulan Januari yaitu sebanyak 2 kasus. Dan hingga
bulan Oktober 2016, tidak ditemukan kasus kematian akibat DBD di
Puskesmas Purwokerto Selatan.

Grafik Bulanan Kasus DBD Berdasarkan Umur di Wilayah Puskesmas Purwokerto Selatan Tahun 2016
12 11

10
8 8
8 7 0 - <1 th
1 - 5 th
6
6 - 15 th
4
4 15 - 55 th
>56 th
2 1 1 1

0
0 0
Grafik 4.3 Grafik Bulanan Kasus DBD berdasarkan umur di wilayah
Puskesmas Purwokerto Selatan tahun 2016

Berdasarkan grafik 4.3, diketahui bahwa mayoritas penderita kasus


DBD di wilayah Puskesmas Purwokerto Selatan adalah penderita yang
berusia 15-55 tahun sebanyak 41 orang.

Grafik Kasus DBD Per Kelurahan di Wilayah Puskesmas Purwokerto Selatan Bulan Januari-Oktober 2016
25
22

20

15 13 13

10 9 DBD
6
5 3 3

0
Grafik 4.4 Grafik Kasus DBD Per Kelurahan di Wilayah Puskesmas
Purwokerto Selatan Bulan Januari-Oktober 2016

Berdasarkan grafik 4.4 diketahui bahwa kasus DBD tertinggi di


Wilayah Puskesmas Purwokerto Selatan Bulan Januari-Oktober 2016
terjadi di kelurahan Tanjung sebanyak 22 kasus. Sedangkan kasus DBD
terendah terjadi di kelurahan Berkoh sebanyak 3 kasus selama bulan
Januari-Oktober 2016.
Grafik Bulanan Kasus DBD di Wilayah Puskesmas Purwokerto Selatan Tahun 2015-2016
18
16
16
14
14
12
12 12
12 11
10 9 9
8 2016 2015
6
6 5
4
2
2 1 1 1
0
17 15 15 00 0

Grafik 4.5 Grafik Bulanan Kasus DBD di Wilayah Puskesmas Purwokerto


Selatan Tahun 2015-2016
Berdasarkan Grafik 4.5, diketahui bahwa selama bulan Januari-
Oktober 2015 tercatat terjadi 89 kasus DBD, sedangkan pada bulan
Januari-Oktober 2016 tercatat terjadi 69 kasus DBD.Kasus DBD di
Wilayah Puskesmas Purwokerto Selatan pada tahun 2015 lebih tinggi
daripada kasus DBD pada tahun 2016.
B. Indikator
1. Indikator Kinerja
Indikator kinerja yang digunakan oleh Puskesmas Purwokerto
Selatan yaitu :
a. Kelengkapan data
Kelengkapan laporan dilihat dari jumlah laporan yang diterima dari
pelapor (unit) dibanding dengan jumlah laporan yang harusnya
diterima.
b. Ketepatan laporan
Ketepatan waktu laporan adalah tersedianya data surveilans pada
unit yang memanfaatkan data tersebut tepat waktu pada saat data
tersebut dipergunakan.
c. Keakuratan data
Keakuratan data dapat dilihat dari surat keterangan dari rumah
sakit yang menunjukan bahwa seseorang dikataktan sebagai
penderita DBD
2. Indikator Program Surveilans DBD
Indikator Program Surveilans DBD di Puskesmas Purwokerto
Selatan adalah dengan menggunakan Standar Pelayanan
MinimalPuskesmas yaitu berdasarkan cakupan penderita DBD yang
ditangani sebesar 100%. Penderita DBD yang ditangani adalah
persentase penderita DBD yang ditangani sesuai standar di wilayah
Puskesmas Purwokerto Selatan dalam waktu satu tahun dibandingkan
dengan jumlah penderita DBD yang ditemukan atau dilaporkan dalam
kurun waktu satu tahun yang sama menggunakan rumus sebagai
berikut.

Jml penderita DBD yg ditangani selama 1 tahun


Penderita DBD yg ditangani=
Jml penderita DBD yg ditemukan selama 1tahun

x 100%
V. PEMBAHASAN
Pada tahun 2012, tercatat 200 kasus DBD dengan kematian sebanyak 4
jiwa, jumlah ini meningkat pada tahun 2013 mennjasi 543 kasus dengan
kematian sebanyak 4 jiwa. Pada tahun 2014 terjadi penurunan kasus menjadi
209 kasus dengan jumlah kematian 4 jiwa, dan kembali meningkat pada tahun
2015 sebanyak 264 kasus dengan jumlah kematian 1 jiwa. Dari awal tahun
2016 hingga pertengahan Juni, sudah tercatat 1.111 kasus DBD dengan
kematian mencapai 14 jiwa. Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas,
jumlah ini diperkirakan akan bertambah dikarenakan musim hujan yang tak
kunjung selesai (DinKes Kabupaten Banyumas, 2016).
Menurut data surveilans epidemiologi DBD di Puskesmas Purwokerto
Selatan, kasus DBD di Kabupaten Banyumas lebih banyak tersebar di wilayah
jumlah penduduk padat, terletak di daerah dataran rendah dan persawahan
seperti wilayah eks kotatif Purwokerto. Kecamatan Purwokerto Selatan
dimana merupakan wilayah kerja Puskesmas Purwokerto Selatan adalah salah
satu wilayah eks kotatif Purwokerto yang terdiri dari 7 Kelurahan yaitu
Karang Klesem, Teluk, Berkoh, Purwokerto Kidul, Purwokerto Kulon,
Tanjung, dan Karangpucung dengan jumlah penduduk pada bulan Januari-
Oktober tahun 2016 sebanyak 80.835 juwa dan jumlah kasus DBD positif
sebanyak 69 kasus, lebih rendah dibandingkan tahun 2015 yang berjumlah 92
kasus. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kusuma (2016)
yang mengatakan dari hasil uji analisis statistik spasial ANN berdasarkan
perangkat lunak GIS di peroleh hasil yaitu ada hubungan antara kepadatan
penduduk dengan kejadian DBD di wilayah kerja puskesmas Kedungmundu
Semarang. Ini juga sejalan dengan yang dikatakan Ayu dkk (2016) yang
menyatakan kepadatan penduduk merupakan salah satu faktor resiko
keberadaan dan kepadatan vektor DBD, karena kondisi rumah yang
berdempetan antara rumah satu dengan rumah lain sehingga memudahkan
penyebaran penyakit DBD dan mempermudah nyamuk berpindah dari satu
rumah ke rumah lainnya.
Pada tabel dan grafik di atas jumlah kasus DBD selama bulan Januari-
Oktober 2016 yaitu 69 kasus yang rata-rata dialami oleh usia 15-55 tahun
sebanyak 41 orang. Berdasarkan grafik bulanan kasus DBD di Wilayah
Puskesmas Purwokerto Selatan tahun 2016, menunjukkan kasus tertinggi
terjadi pada bulan Februari sebanyak 17 kasus. Hal ini dapat disebabkan
karena perubahan musim penghujan. Pola kasus DBD meningkat pada awal
tahun sampai pertengahan tahun, tetapi sampai akhir tahun menurun. Pola ini
sejalan dengan pola curah hujan yang tinggi pada awal sampai pertengahan
tahun. Hal ini sejalan dengan penelitian Sunaryo dan Pramestuti (2014),
bahwa penularan kasus DBD dari tahun ke tahun masih mengambarkan pola
yang sama yaitu meningkat pada awal musim penghujan atau sekitar bulan
Januari sampai Mei.
Selain itu dapat dikarenakan di awal tahun banyak penduduk
bermigrasi atau berpergian (mobilitas tinggi) sehingga cenderung terjadi
banyak kasus penyakit menular yang terkait dengan mobilitas penduduk. Hal
ini sejalan dengan penelitian Pramudiyo dkk (2015), bahwa Penduduk
Kabupaten Semarang dengan mobilitas yang tinggi, memiliki risiko lebih
besar untuk mendapatkan infeksi dengue dari keempat serotipe.
Berdasarkan grafik kasus DBD per kelurahan di Wilayah Puskesmas
Purwokerto Selatan bulan Januari-Oktober 2016, bahwa kasus DBD tertinggi
terjadi di kelurahan Tanjung yaitu sebanyak 22 kasus. Hal ini dapat
dikarenakan wilayah tersebut memiliki daerah yang kumuh.
Berdasarkan grafik distribusi kasus DBD per golongan umur pada
bulan Januari-Oktober tahun 2016 ditemukan paling tinggi terjadi pada
golongan umur 15-55 tahun, dimana usia tersebut merupakan usia produktif,
banyak aktivitas, mobilitas, dan pergaulan tinggi yang meningkatkan risiko
terjadinya penularan kasus penyakit menular seperti DBD.
Berdasarkan grafik bulanan kasus DBD di Wilayah Puskesmas
Purwokerto Selatan tahun 2015-2016 terjadi penurunan kasus pada tahun 2016
dari tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan sudah adanya kegiatan sosialisai
DBD, pemberdayaan masyarakat tentang PSN ke semua sektor baik
Pemerintah Kelurahan, PKK, dan masyarakat, yang dilakukan dengan melihat
hasil dari evaluasi program surveilans 2015. Ini sejalan dengan yang dikatakan
Triyani (2010) yang menyatakan Akhir-akhir ini pencegahan dan
pemberantasan DBD tidak hanya dapat ditempuh melalui 3M, namun cara
yang paling efektif adalah melalui pemberantasan sarang jentik nyamuk
(PSJN) untuk menekan angka kasus DBD. Sama halnya seperti penelitian
yang dilakukan oleh Ayu dkk (2016) yang mengatakan Terdapat hubungan
yang bermakna antara tindakan pemberantasan sarang nyamuk dengan
keberadaan larva vektor DBD di kelurahan Lubuk Buaya. Ini juga sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Chadijah dkk (2011) mengatakan
bahwa dari hasil uji T berpasangan mendapatkan hasil pemberdayaan
jumantik dalam PSN DBD memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
peningkatan ABJ dan penurunan angka HI (p=0,00). Hal ini disebabkan
karena pelaksanaan survei jentik oleh jumantik dilaksanakan setiap Hari
Minggu selama enam kali.
Rumusan indikator kinerja harus sederhana, mudah dilaksanakan,
tetapi tetap mengukur mutu/kualitas kinerja surveilans dengan baik. Setiap
satu indikator kinerja surveilans ditetapkan, maka diperlukan beberapa
variabel data yang perlu direkam, dihimpun, diolah dan dianalisis. Banyaknya
kegiatan perekaman, pengumpulan, pengolahan data tersebut akan
memberikan beban kerja dan menggangu upaya meningkatkan kinerja
surveilans. Oleh karena itu, setiap penyelenggaraan sistem surveilans perlu
menetapkan sesedikit mungkin indikator kinerja, sesederhana mungkin, tetapi
tetap dapat mengukur kualitas penyelenggaraan surveilans tersebut.
A. Kelengkapan laporan

Kelengkapan laporan adalah sebagai salah satu indikator kinerja


surveilans yang paling sering digunakan, baik itu ditingkat nasional,
provinsi maupun di kabupaten/kota, bahkan juga digunakan pada indikator
kinerja surveilans di unit-unit pelayanan dan di masyarakat sebagai
laporan kelurahan, desa, atau kelompok-kelompok masyarakat. Menurut
Khayati (2012) dalam penelitianya mengatakan kelengkapan data sangat
penting untuk melihat perkembangan kasus, dan kelengkapan data ini akan
mempengaruhi ketersediaan data yang akan menjadi sumber informasi.

Dari hasil wawancara yang kami lakukan dengan petugas


surveilans di Puskesmas Purwokerto Selatan dapat diketahui bahwa
kelengkapan laporan di puskesmas tesebut sudah lengkap karena syarat
kelengkapan laporan adalah adanya laporan setiap bulan dan di Puskesmas
Purwokerto Selatan sudah dilakukan laporan setiap bulannya walaupun
tidak ada kasus kejadian DBD.

B. Ketepatan Laporan

Ketepatan waktu laporan merupakan indikator kinerja kedua yang


paling sering digunakan. Secara operasional, ketepatan waktu laporan
sering diartikan sebagai tanggal waktu laporan harus sudah diterima.
Misal, laporan bulanan data kesakitan Puskesmas diterima di Dinas
Kesehatan Kota selambat-lambatnya tanggal 5 bulan berikutnya
(Sholah,2016).

No Bulan Jumlah
DBD Mati
1 Januari 9 0
2 Februari 17 0
3 Maret 12 0
4 April 15 0
5 Mei 1 0
6 Juni 12 0
7 Juli 2 0
8 Agustus 1 0
9 September 0 0
10 Oktober 0 0
Jika dilihat dari tabel diatas puskesmas purwokerto selatan telah
melakukan pelaporan ke Dinkes Banyumas secara periodik pada setiap
bulanya dan dari hasil wawancara dengan petugas surveilans puskesmas
purwokerto selatan mengatakan bahwa pelaporan yang dilakukan sering
mengalami keterlambatan atau pelaporan di lakukan lebih dari tanggal yg
sudah di tetapkan. Sehingga dapat dikatakan ketepatan waktu program
surveilans DBD di Puskesmas Purwokerto Selatan kurang baik.
C. Keakuratan data
Unit Sumber Data, misalnya Rumah Sakit atau puskesmas,
mendapat kasus berdasarkan data kunjungan berobat, atau kunjungan lain,
dan kemudian diperiksa dan didiagnosis oleh dokter. Oleh karena itu,
terdapat makna keakuratan : keakuratan data sebagai ketepatan diagnosis,
dan keakuratan data sebagai ketepatan jumlah kasus yang diidentifikasi,
direkam dan dilaporkan oleh sumber data (misal Rumah Sakit). Untuk
mengetahui kualitas keakuratan jumlah kasus dan diagnosis dilakukan
dengan wawancara (kualitatif) dan observasi kegiatan di lapangan serta
membuka pencatatan kasus-kasus yang datang ke unit pelayanan (Sholah,
2016).
Sedangkan dari hasil wawancara yang kami lakukan dengan
petugas surveilans keakuratan data kejadian DBD di Puskesmas
Purwokerto Selatan dapat dilihat berdasarkan surat keterangan yang
diperoleh dari rumah sakit yang diberikan kepada puskesmas, jika
terdapat surat keterangan dari rumah sakit dapat dikatakan data kasus itu
akurat.
Program surveilans DBD di Puskesmas Purwokerto Selatan sudah
dapat dikatakan berhasil tetapi belum maksimal, dikarenakan adanya
beberapa kendala yang dialami, yaitu SDM yang kurang memadai dan
kesadaran masyarakat yang masih rendah untuk melaporkan saat terdapat
kasus DBD karena jika hanya terjadi 1-2 kasus mereka menganggap tidak
berbahaya.
VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Surveilanss DBD adalah kegiatan pengumpulan data secara berkala
mengenai kejadian DBD. Dari hasil wawancara yang kami lakukan di
Puskesmas Purwokerto Selatan menunjukan bahwa kegiatan surveilans
DBD dikatakan berhasil tetapi belum maksimal karena masih terdapat
adanya kendala yaitu kurangnya sumber daaya manusia dan kurangnya
kesadaran masyarakat untuk melaporkan kejadian DBD.
B. Saran
Perlu adanya penambahan petugas surveilans untuk menghindari
terjadinya double job dan adanya upaya peningkatan kesadaran
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Purwokerto Selatan.
DAFTAR PUSTAKA

Ayu, dkk. 2016. Hubungan Tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk dengan


Keberadaan Larva Vektor DBD di Kelurahan Lubuk Buaya. Jurnal
Kesehatan Andalas. Vol. 5 No. 1
Chadijah, dkk. 2011. Peningkatan peranserta masyarakat dalam Pelaksanaan
pemberantasan sarang nyamuk Dbd (psn-dbd) di dua kelurahan Di kota
palu, sulawesi tengah. Media Litbang Kesehatan. Vol. 21 No. 4
DepKes RI. 2013. Pengendalian demam berdarah dengue. Jakarta: Dirjen
Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan.
KemenKes RI. 2014. Penyakit yang Disebabkan oleh Nyamuk dan Cara
Pencegahannya serta Target yang Akan Dicapai oleh Pemerintah. Jakarta:
Dirjen Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan.
Khayati, Nur, Sri Yuliati, dan M. Arie Wuryanto. 2012. Beberapa Faktor Petugas
yang Ber-hubugan dengan Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi Malaria
Tingkat Puskesmas di Kabupaten Purworejo. Jurnal Kesehatan Masyarakat
FKM UNDIP, 1 (2): 364- 373.
Kusuma, dkk. 2016. Analisis Spasial kejadian demam berdarah dengue
berdasarkan kepadatan penduduk. Unnes journal of public health. Vol. 5,
No. 1
Mardiana, Ratna.2010. Panduan Lengkap Kesehatan: Mengenal, Mencegah dan
Mengobati Penularan Penyakit dari Infeksi.Yogjakarta : Citra Pustaka.
Mubin. 2009. Panduan Praktis Ilmu Penakit DalamDiagnosis dan terapi, Edisi 2.
EGC: Jakarta
Sholah, Imari. 2016. Rumusan Indikator Kinerja Surveilans.
Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia. Diakses Melalui
http://www.paei.or.id/rumusan-indikator-kinerja-surveilans/
Pada Tanggal 19 November 2016 Pukul 18.11 WIB

Sucipto, Pramudiyo T., dkk. 2015. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi


Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Dan Jenis Serotipe
Virus Dengue Di Kabupaten Semarang. Jurnal Kesehatan Lingkungan
Indonesia. Vol. 14 No. 2.
Sunaryo & Pramestuti, N. 2014. Surveilans Aedes aegypti di Daerah Endemis
Demam Berdarah Dengue. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Vol.
8, No. 8.
Triyani. (2010). Waspada Penyakit Demam Berdarah. Jakarta : PT PERCA

Anda mungkin juga menyukai