Anda di halaman 1dari 7

Potensi Pencemaran di Danau Tondano

Ekosistem DAS Tondano terletak di Propinsi Sulawesi Utara. DAS ini terletak pada
pada 1o dan 2o LU dengan topografinya berupa pegunungan. Luas DAS ini sekitar 500,97
km2 (kira-kira 50.000 ha). Secara administratif, DAS Tondano terletak di wilayah
administrasi kabupaten Minahasa dan kota Manado. Bagian hulu (utara) DAS ini terletak
pada kabupaten Minahasa (10 kecamatan) dan bagian hilirnya (selatan) di kotaManado (4
kecamatan).

DAS Tondano berperan sebagai pusat pembangunan ekonomi Sulawesi Utara. Lebih
dari 70% area di DAS ini digunakan untuk produksi pertanian. Sungai Tondano adalah
sumber utama air minum untuk penduduk kotaManado dan Minahasa (PDAM minahasa
dan Manado), untuk melayani kebutuhan harian sekitar 120.000 penduduk. Selain itu sungai
Tondano merupakan penyedia energi untuk turbin hydroelektrik dengan kapasitas terpasang
34 Megawatts ((PLTA) Tonsea Lama, dan Tanggari I dan II). Energi ini dapat menyuplai 30%
energy yang dibutuhkan propinsi Sulawesi Utara.

Danau Tondano juga sangat penting bagi masyarakat Sulawesi Utara, khususnya
masyarakat Minahasa danManado. Air Danau Tondano digunakan sebagai air baku untuk
pertanian, untuk industri selain juga untuk kebutuhan domestik. Danau Tondano merupakan
juga sumber ikan yang tinggi.Total tangkapan bisa mencapai lebih dari 2000 ton ikan
(1998) yang berasal dari floating nets culture system (karamba) 1357 ton dan daritradional
fishing 776 tons). Produksi ikan dengan fish culture techniques berkembang secara signifikan
pada tahun 1990. Rawa pada outlet Danau Tondano juga dimanfaatkan untuk peternakan
(budidaya itik, dll). Danau ini juga merupakan tujuan wisata yang utama, khususnya bagi
pariwisata lokal. Beberapa areal lahan di kawasan DAS Tondano ini merupakan sentra
produksi hortikultura Sulawesi Utara.

Tingkat kerusakan lingkungan di DAS Tondano sangat parah dan memprihantikan.


Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/1999, DAS Tondano
dikategorikan sebagai salahtu satu dari 60 Prioritas I di Indonesia. Pemerintah Sulawesi Utara
juga menetapkan DAS Tondano sebagai kawasan yang kritis. Beberapa permasalahan
lingkungan yang mengancaman kelestarian DAS Tondano di antaranya perusakan hutan dan
lahan, erosi dan sedimentasi, banjir, penurunan kualitas dan kuantitas air, pencaplokan
sempadan sungai, danau dan mata air.

Perusakan Hutan dan Lahan.

Pada beberapa tahun terakhir ini, DAS Tondano telah mengalami perubahan yang
begitu besar sebagai akibat meningkatnya aktivitas manusia dalam pemanfaatan lahan. Tahun
1982 luas hutan 2.450 ha atau 8,35 % Tahun 1999, luas hutan berkurang menjadi 2.182 ha
atau 7,44 % (PPLH-Unsrat 2005). Dari tabel 2 terlihat bahwa saat ini luas hutan yang tersisa
hanya sekitar 7% di DAS ini, jauh dibawah persyaratan minimum UU 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan sebesar 30 %. Hutan yang tersisa pun lebih banyak terdapat di daerah hilir.
Banyak bentuk penggunaan lahan pada bagian hulu DAS, yang merupakan daerah
tangkapan air danau Tondano, tidak sesuai dengan arahan pemanfaatan lahan. Kerusakan
hutan disebabkan karena banyak terjadinya penebangan liar dan adanya pembukaan/alih
fungsi lahan untuk kegiatan pertanian. Penebangam liar terutama terjadi di di hulu dan tengah
DAS, terutama pada hutan-hutan lindung. Hal ini ditengarai karena tidak ada lagi hutan
produksi yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan kayu yang cukup
mendesak dan bernilai ekonomi tinggi, misalnya untuk industri meubel, rumah kayu/rumah
adat, maupun bahan bangunan.

JICA (2001) melaporkan bahwa pada hutan lindung G. Soputan telah terjadi
perambahan seluas 30 ha dengan jumlah perambah 40 kepala keluarga. Tabel 2
memperlihatkan bahwa kawasan hutan lindung yang terdapat di beberapa areal pegunungan
banyak didominasi oleh lahan pertanian dan semak belukar. Kecuali area lahan di gunung
Kawatak, area lahan di gunung-gunung lainnya ternyata hanya memiliki luas hutan kurang
dari 30 %, bahkan ada yang nol persen.

Erosi dan sedimentasi

Hal ini terutama terjadi pada sungai-sungai yang merupakan inlet Danau Tondano,
danau Tondano sendiri, Muara sungai Tondano dan Sungai Tikala. Erosi dan sedimentasi ini
terjadi karena penebangan hutan di bagian hulu dan desakan aktivitas pertanian pada lahan
hutan yang tidak mempertimbangkan aspek konservasi, dan karena penggantian tanaman
treecrops pada lahan miring, dengan vanili dan palawija.

UNSRAT (2000) memprediksi erosi yang terjadi di bagian hulu DAS Tondano
berkisar 28,86 63,00 ton/ha/tahun. JICA (2001) mengemukakan angka yang lebih kecil dari
UNSRAT (2000) yaitu sebesar 12,5 27,6 ton/ha/tahun. Meskipun demikian JICA (2001)
mengindikasikan bahwa 9 % 45 % dari daerah ini memiliki laju erosi yang telah melebihi
nilai yang diperbolehkan.

Erosi tanah dan kerusakan koridor riparian di sepanjang sungai dan danau Tondano
menyebabkan terjadinya sedimentasi/pendangkalan di danau Tondano. Akibat pendangkalan,
diperkirakan lokasi terdalam hanya sekitar 15 meter, bahkan 20 meter dari tepi danau
kedalaman airnya hanya sekitar 5 meter. Pada tahun 1934 kedalam danau sekitar 40
meter. Hal ini berarti dalam satu tahun terjadi pendangkalan sekitar 25-30 centimeter. Bila
tidak ada tindakan bersama yang kongret, lima tahun mendatang danau Tondona juga akan
menghilang dari muka bumi Minahasa.

Banjir

Banjir di kawasan pemukiman dan persawahan sekitar outlet Danau Tondano


diakibatkan oleh adanya bendungan yang dibangun oleh PLN di Tonsea Lama untuk
mendapatkan air guna menggerakkan turbin. Praktek pemanfaatan sungai sebagai lahan untuk
budidaya ikan dengan karamba, karena sebarannya yang terlalu rapat, mengganggu aliran air
pada badan sungai Tondano dan Sungai Tikala. Begitupun perambahan bantaran dan badan
sungai dengan bangunan-bangunan, telah menyebabkan penyempitan dan penyumbatan pada
badan sungai. Hal ini mengakibatkan banjir bagi Kodya Manado (sungai Tondano dan sungai
Tikala).

Penurunan kualitas dan kuantitas air

Hal ini berlangsung di sekitar danau Tondano, sepanjang sungai Tondano dan Sungai
Tikala. Hal ini karena sedimentasi dan tanah longsor, penggunaan bahan-bahan kimia
(herbisida, pestisida, pupuk) untuk budidaya pertanian dan sisa-sisa pakan dari perikanan, dan
juga dari limbah padat (sampah) dari kota Tondano, dan desa-desa di sepanjang sungai dan
dari kota Manado. Padahal air sungai Tondano adalah sumber air baku utama air minum.

Peningkatan muatan sediment yang masuk ke sungai Tondano dan anak-anak sungai
akan menyebabkan kehilangan produktivitas danau, kerusakan lingkungan pesisir serta
kapasitas pelabuhan Manado. Muatan sediment yang tinggi tercermin dari data yang
dikompilasi oleh PDAM Manado. Data pada instalasi pengolahan air PDAM menunjukkan
bahwa sungai Tondano meningkat dari 15-20 ppm pada tahun 1970 menjadi 25 ppm pada
tahun 1980 dan 30 ppm pada tahun 1990 hingga 30-50 ppm saat ini (2001). Danau Tondano
dilaporkan memiliki kedalaman 40 meter pada tahun 1934, tetapi survey pada tahun 2000
menunjukan kedalamnya hanya 20 meter. Sediment yang dibawah aliran sungai dari Danau
Tondano hinnga ke muara sungai di daerah pesisir jua banyak menimbulkan masalah di
sekitar pelabuhan Manado. Kapal-kapa besar tidak bisa masuk ke pelbuhan pada saat air laut
sedang surut.

Eutrofikasi merupakan suatu proses dimana konsentrasi nutrient di danau meningkat


yang mengakibatkan terjadinya ledakan pertumbuhan algae dan organisme mikroskopik yang
dapat mencegah masuknya sinar matahari serta mencegah absorpsi oksigen yang dibutuhkan
oleh kehidupan dalam air. Proses ini terjadi secara alami, tetapi dalam kasus Danau Tondano,
hal tersebut sudah diakselerasi oleh perubahan-perubahan tingkat nutrient di dalam air yang
mengalir kearah danau. Peningkatan laju eutrofikasi Danau Tondano yang akan
menyebabkan peningkatan produksi alga dan eceng gondok di danau yang kemudian
menurunkan produktivitas danau untuk perikanan, peningkatan biaya pemeliharaan fasilitas
PLTA, penuranan kegiatan wisata danau.

UNSRAT (2000) melaporkan beberapa hasil penelitian tentang kualitas air, antara
lain: residu pestisida yang terdapat di beberapa sungai sebesar 0,02 ppm 0,03 ppm dan di
danau sebesar 3,77 15,60 ppm, kandungan amoniak di danau Tondano (daerah Eris) telah
melebihi ambang batas golongan C, laju pertumbuhan eceng gondok yang sangat cepat, dan
adanya beberapa larva serangga seperti Hydropsyche, Epeorus, ikanHippichthys,
Dorychthys yang merupakan indikator bagi perairan tercemarBeberapa sumber pencemar
yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air adalah:
Pemberian pupuk-pupuk kimia yang dilakukan oleh para petani local pada lahan padi
seluas 5000 hektar yang berada di sekeliling danau. Pada saat ini para petani
menggunakan 150 kg pupuk urea per tahun dan 60 kg fosfat per tahun per hektar. Hal
ini menyebabkan lebih kurang 750 ton urea dan 250 ton fosfat masuk ke dalam danau
dari lahan-lahan pertanian di sekitar tanah.

Pembuangan diterjen dan limbah padat. Diperkirakan jumlah deterjen yang


dilepaskan di DAS bagian hulu ke anak-anak sungai yang ada didalamyan adalah
sebanyak 50 ton per tahun. Limbah padat sering kelai juga dibuang ke
sungai. Pembuangan lim,bah padat disamping akan mencemari lingkungan perairan
sungai dan pesisir juga akan menganggu operasi PLTA yang ada di sungai Tondano.

Limbah kegiatan perikanan. Perikanan merukan kegiatan yang umum dilakukan di


Danau Tondano. Terdapat lebih kurang 50 usaha perikanan. Kegiatan usaha ini
menggunanakan pelletterkonsentrasi untuk makanan ikan.

Limbah peternakan bebek. Lebih kurang 42.000 bebek manila diternakan di pesisir
danau. Manure dari bebek masuk langsung ke danau dan akan memperkaya periaran
danau.

Pencaplokan sempadan sungai, danau dan mata air

Hal ini berlangsung di DAS bagian hulu dan tengah. Usaha-usaha perlindungan
sempadan sumber-sumber air tidak optimal dilakukan sehingga penggunaan lahan tersebut
untuk areal pertanian dan pemukiman sulit dicegah.

Sumber :

DAS Suawesi. Potret DAS Sulawesi. http://ppesumapapua.menlh.go.id/index.php?


option=com_content&view=article&id=54&Itemid=110 Diakses pada tanggal 14 Oktober
2015 pukul 5.39 WIB

Penelitian yang Dilakukan di Danau Tondano yang Menyatakan Bahwa

Danau Tondano Terindikasi Sudah Tercemar

Judul penelitian : Daya Tampung Beban Pencemaran Bahan Organikdan Alternatif


Pengendaliannya pada Sungai Tondano, 2011

Oleh : Abdul A. Hunta, SKM


Sumber : Hunta, Abdul. A. 2011. Daya Tampung Beban Pencemaran Bahan
Organik dan Alternatif Pengendaliaannya pada Sungai Tondano,
2011. http://btkl-manado.or.id/index.php/berita/54-daya-tampung-
beban-pencemaran-bahan-organik-dan-alternatif-pengendaliannya-
pada-sungai-tondano-2011- tanggal publikasi : Selasa, 19 Januari 2012
pukul 21.39. diakses pada tanggal 14 Oktober 2015 pukul 5.48 WIB.

A. Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai Tondano terdiri atas sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Noongan,
Tikala, Klabat, dan Tondano, berada di kawasan strategis karena melintasi zona pertumbuhan
ekonomi terpadu antara dua Kabupaten dan dua Kota di Propinsi Sulawesi Utara. Kawasan
tersebut meliputi Kabupaten Minahasa dan Kabupaten Minahasa Utara sebagai kawasan
pertanian, industri dan pariwisata, Kota Tomohon sebagai kota pertanian dan pariwisata, dan
Kota Manado sebagai kota perdagangan dan pariwisata. Sungai Tondano adalah satu-satunya
outlet dari Danau Tondano, mengalir sepanjang 44,6 Km yang bermuara di Teluk Manado,
merupakan sumber daya penting dan strategis bagi kehidupan dan perekonomian di Sulawesi
Utara. Hal itu dapat dilihat dari manfaat ganda di samping sebagai sumber air untuk irigasi
pertanian, sumber energi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) , juga dimanfaatkan untuk
air baku air minum (PT. AIR Manado), media transportasi, dan pariwisata. Di samping itu di
beberapa ruas Sungai Tondano dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk usaha perikanan
air deras yang dikenal setempat dengan karamba.

Permasalahan

Penelitian yang dilakukan Lasut et al., (2005), pada air Sungai Tondano menunjukkan
bahwa rata-rata konsentrasi Biological Oxygen Demand (BOD) adalah 12,48 mg/l pada
musim panas, dan 4,18 mg/l pada musim hujan dari hulu sampai muara sungai. Nilai tersebut
telah melampaui Baku Mutu Air Kelas I, dan II berdasarkan PP 82 Tahun 2001 tentang
Pengawasan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Hasil pengukuran kualitas air Sungai Tondano yang dilakukan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup pada tahun 2009 dengan menggunakan Metode Storet dibandingkan kelas
mutu air I Peratuan Pemerintah 82 Tahun 2001 menunjukkan kisaran Skor Storet -58 s/d -72
yang berarti Sungai Tondano telah tercemar berat, dan untuk kelas mutu air II kisaran Skor
Storet mencapai kisaran -21 s/d 53 yang berarti kualitas air Sungai Tondano berada pada
status tercemar sedang sampai berat (KLH, 2010).

Kecenderungan menurunnya kualitas air Sungai Tondano karena adanya aktifitas


yang ada di hulu yakni sekitar Danau Tondano, rumah makan, restoran, hotel, rumah sakit,
industri, tempat pembuangan akhir sampah, pasar tradisional, galian C, usaha perikanan air
deras (karamba), limbah pertanian yang mengandung senyawa organik dari penggunaan
pupuk dan pestisida, buangan domestik dari pemukiman di sekeliling danau dan sepanjang
Sungai Tondano yang dominan mengandung bahan organik yang terus meningkat seiring
bertambahnya jumlah penduduk. Bertambahnya sumber pencemar tidak disertai dengan
program pengendalian yang efektif, sebaliknya terkesan masih bersifat fragmentatif dan
sektoral oleh masing masing kabupaten dan kota yang dilintasinya padahal Sungai Tondano
merupakan satu kesatuan ekosistem yang harus dikelola dengan pendekatan lintas batas
administrasi. Beban cemaran bahan organik mengalami peningkatan saat memasuki wilayah
Kota Manado kira-kira 7 km menjelang muara karena buangan limbah rumah tangga dari
pemukiman padat. Kondisi ini akan menimbulkan masalah karena pada wilayah yang sama
air Sungai Tondano digunakan sebagai air baku oleh PT Air Manado untuk memenuhi
kebutuhan air bagi masyarakat Kota Manado.

Limbah cair yang dibuang ke Sungai Tondano dapat menyebabkan tekanan pada daya
tampung sungai. Sampai tahun 2010 daya tampung beban pencemaran Sungai Tondano
belum diketahui, karena belum pernah dilakukan penelitian. Karena minimnya informasi
tentang kualitas air Sungai Tondano, maka pengelolaannya kurang sistimatis dan terkesan
dilakukan secara sektoral oleh Kabupaten Kota yang dilintasi Sungai Tondano, padahal
pengelolaan kualitas air Sungai Tondano seharusnya dilakukan secara terpadu dengan
memandang bahwa Sungai Tondano sebagai satu kesatuan ekosistem yang tidak dapat
dipisahkan oleh batasbatas administrasi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu
dilakukan penelitian yang komprehensif tentang kondisi sungai dalam menerima buangan
limbah organik sepanjang Sungai Tondano.

Salah satu metode identifikasi kualitas air sungai yang digunakan saat ini adalah
dengan aplikasi program Qual2Kw. Program Qual2Kw adalah pengembangan dari
model Streeter-Phelps yang memprediksi kualitas air sungai berdasarkan pengurangan dan
peningkatan Disolved Oxygen (DO) dengan adanya turbulensi. Program Qual2Kw
mampu mensimulasikan nutrient, aktifitas mikroorganisme dengan oksigen terlarut dan
interaksi lingkungan yang berhubungan dengan proses fotosintesis. Qual2Kw,
diimplementasikan dengan Microsoft Window yaitu Visual Basic Aplication(VBA) dimana
Excel digunakan sebagai graphic user interface (Greg.P and Chapra.S, 2008). Piranti
Qual2Kw telah direkomendasikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia
sebagai salah satu metode untuk menentukan daya tampung beban pencemaran
sesuai KepmenLH NO 110 Tahun 2003 tentang Pedoman Penetapan Daya Tampung Beban
Pencemaran Air pada sumber air.

Dalam kondisi aerobic peranan DO sangat dibutuhkan untuk digunakan oleh


mikroorganisme decomposer untuk merombak bahan-bahan organik. Perombakan bahan
organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan sebagai sumber makanan dan energinya
diperoleh dari proses oksidasi (Pescond, 1973 dalam Salmin, 2005). Besarnya oksigen
yang dibutuhkan mikroorganisme pada saat pemecahan bahan organik kemudian dijadikan
dasar untuk menentukan tingkat pencemaran air buangan yang disebut
dengan Biological Oxygen Demand atau disingkat BOD. Penentuan BOD merupakan suatu
prosedur bioassay yang menyangkut pengukuran banyaknya oksigen yang digunakan
oleh mikroorganisme dalam mengoksidasi bahan organik yang ada pada suatu perairan.
Pemeriksaan BOD dianggap sebagai suatu prosedur oksidasi dimana organisme hidup
bertindak sebagai medium untuk menguraikan bahan organik menjadi CO2 dan H2O.
Kecepatan reaksi ini sangat dipengaruhi oleh jumlah populasi mikroorganisme dan suhu.
Oleh karenanya selama pemeriksaan BOD suhu harus diusahakan sama dengan suhu umum
yang ada di lingkungan ( Hammer, 1990). Beban pencemaran organik suatu sungai
dapat diidentifikasi berdasarkan kadar BOD dalam air, yaitu kebutuhan mikroorganisme akan
oksigen dalam menguraikan senyawa organik dalam air. Semakin tinggi nilai BOD semakin
tinggi tingkat cemaran bahan organik. Akumulasi BOD dari sumber pencemar akan
menimbulkan tekanan terhadap kemampuan sungai untuk pulih kembali. BOD sebagai suatu
ukuran jumlah oksigen yang digunakan oleh populasi mikroba yang terkandung dalam
perairan sebagai respon terhadap masuknya bahan organik yang dapat diurai. Dari pengertian
di atas dapat dikatakan bahwa walaupun nilai BOD menyatakan jumlah oksigen, tetapi
untuk mudahnya dapat juga diartikan sebagai gambaran jumlah bahan organik mudah urai
(biodegradable organics) yang ada di perairan (Mays,1996 dalam Hariyadi, 2004).

Anda mungkin juga menyukai