Anda di halaman 1dari 15

Bentuk Terpusat

Bentuk-bentuk terpusat menuntut adanaya dominasi secara visual dalam keteratuan geometris,
bentuk yang harus ditempatkan terpusat, misalnya seperti bola, kerucut, ataupun silinder. Oleh
karena sifatnya yang terpusat, bentuk-bentuk tersebut sangat ideal sebagai struktur yang berdiri
sendiri, dikelilingi oleh lingkunganya, mendominasi sebuah titik didalam ruang, atau menempati
pusat suatu bidang tertentu. Bentuk ini dapat menjadi symbol tempat-tempat yang suci atau penuh
penghormatan, atau untuk mengenang kebesaran seseorang atau suatu peristiwa.

Organisasi terpusat merupakan komposisi terpusat dan stabil yang terdiri dari sejumlah
ruang sekunder, dikelompokkan mengeIiIingi sebuah ruang pusat yang luas dan
dominan. Ruang pemersatu terpusat pada umumnya berbentuk teratur dan ukurannya
cukup besar untuk menggabungkan sejumlah ruang sekunder di sekelilingnya. Ruang-
ruang sekunder dan suatu organisasi mungkin setara satu sama lain dalam fungsi,
bentuk dan ukuran. Menciptakan suatu konfigurasi keseluruhan yang secara geometnis
teratur dan simetris terhadap dua sumbu atau lebih. Ruang-ruang sekunder mungkin
berbeda satu sama lain dalam hal bentuk atau ukurannya sebagai tanggapan terhadap:

kebutuhan akan fungsi.

menunjukkan kepentingan relatif.

lingkungan sekitar.

kondisi tapak.Pola sirkuIasi dan pergerakan dalam suatu organisasi terpusat mungkin
berbentuk radial, loop, atau spiral.

Hampir dalam setiap kasus pola tersebut akan berakhir di dalam atau di sekeliling ruang pusat.
contoh gambar :
gambar denah lapangan olahraga beserta gambar tribun.
Bentuk Linier
Bentuk garis lurus atau linier dapat diperoleh dari perubahan secara proposional dalam dimensi
suatu bentuk atau melalui pengaturan sederet bentuk-bentuk sepanjang garis. Dalam kasus tersebut
deretan bentuk dapat berupa pengulanangan atau memiliki sifat serupa dan diorganisir oleh unsure
lain yang terpisah dan lain sama sekali seperti sebuah diding atau jalan.

Bentuk garis lurus dapat dipotong-potong atau dibelolkkan sebagai penyeluaian terhadap
kondisi setempat seterti topografi, pemandangan tumbuh-tumbuhan, maupun keadaan lain
yang ada dalam tapak.

Bentu garis lurus dapat diletakkan dimuka atau menunjukkan sisi suatu ruang luar atau
membentuk bidang masuk ke suatu ruang di belakangnya.

Bentuk linier dapat dimanipulasi untuk membatasi sebagian.

Bentuk linier dapat diarahkan secara vertical sebagai suatu unsure menara untuk
menciptakan sebuah titik dalam ruang.

Bentuk linier dapat berfungsi sebagai unsure pengatur sehingga bermacam-macam unsure
lain dapat ditempatkan disitu.

Linear jg merupakan suatu urutan dalam satu garis dan ruang-ruang yang berulang. Organisasi
linier pada dasarnya terdiri dari sederetan ruang. Ruang-ruang ini dapat berhubungan secara
langsung satu dengan yang lain atau dihubungkan melalui ruang linier yang berbeda dan terpisah.

Organisasi linier biasanya terdiri dan ruang-ruang yang berulang, serupa dalam ukuran,
bentuk, dan fungsi.Ruang-ruang yang secara fungsional atau simbolis penting
keberadaannya terhadap organisasi dapat berada di manapun sepanjang rangkaian
linier.
Derajat kepentingannya ditegaskan melalui ukuran, bentuk, maupun lokasinya.

Penempatan ruang penting pada bagian tengah rangkaian linier.

Penempatan ruang penting pada ujung rangkaian linier.

Penempatan ruang penting pada titik-titik belok rangkaian linier.

Penempatan ruang penting di luar organisasi linier.

Bentuk organisasi Iinier bersifat fleksibel dan dapat menanggapi terhadap bermacam
kondisi dan bentuk tapak. Bentuknya dapat lurus, bersegmen, atau melengkung.
Konfigurasinya dapat berbentuk horisontal sepanjang tapak, diagonal menaiki suatu
kemiringan, atau berdiri tegak seperti sebuah menara. Bentuk-bentuk lengkung dan
bersegmen pada organisasi linier melingkupi daerah ruang eksterior pada sisi
cekungnya dan mengarahkan ruang-ruangnya menghadap ke pusat daerah. Pada sisi
cembungnya bentuk ini tampak menghadang dan memisahkan ruang di hadapannya
terhadap Iingkungannya.
contoh gambar :
Bentuk radial
Suatu bentuk radial terdiri dari atas bentuk-bentuk linier yang berkembang dari suatu unsure inti
terpusat kearah luar menurut jari-jarinya. Bentuk ini menggabungkan aspek-aspek pusat dan linier
menjadi satu komposisi.

Inti tersebut dapat dipergunakan baik sebagai symbol ataupun sebagai pusat fungsional seluruh
organisasi. Posisinya yang terpusat dapat dipertegas dengan suatu bentuk visual dominant, atau
dapat digabungkan dan menjadi bagian dari lengan-lengan radialnya.

Lengan-lengan radial memiliki sifat-sifat dasar yang serupa dengan bentuk linier, yaitu sifat
ekstrovertnya. Lengan-lenga radial dapat menjangkau ke luar dan berhubungan atau meningkatkan
diri dengan sesuatu yang khusus di suatu tapak. Lengan-langan radial dapat membuka
permukaanya yang diperpanjang untuk mencapai kondisi sinar matahari, angin, pemandangan atau
ruang yang diinginkan.
Organisasi bentuk radial dapat dilihat dan dipahami dengan sempurna dari suatu titik pandang di
udara. Bila dilihat dari muka tanah, kemungkinan besar unsure pusatnya tidak akan dengan jelas,
dan pola penyeberan lengan-lengan linier menjadi kabur atau menyimpang akibat pandangan
perspektif.

Bentuk kelompok (cluster)


Jika organisasi terpusat memiliki dasar geometric yang kuat dalam penataan bentuk-bentunya,
maka organisasi kelompok dibentuk berdasarkan persyaratan fungsional seperti ukuran, wujud
ataupun jarak letak. Walaupun tidak memiliki aturan deometrik dan sifat introvert bentuk perpusat
organisasi kelompok cukup fleksibel dalam memadukan bermacam-macam wujud, ukuran, dan
orientasi ke dalam strukturnya. Berdasarkan fleksibilitasnya, organisasi kelompok bentuk-bentuk
dapat diorganisir dengan berbagai cara sebagai berikut:
Dapat dikaitkan sebagai anggota tambahan terhadap suatu bentuk atau ruang induk yang
lebih besar.

Dapat dihubungkan dengan mendekatkan diri untuk menegaskan dan mengekspresikan


volumenya sebagai suatu kesatuan individu.

Dapat menghubungkan volume-volumenya dan bergabung menjadi suatu bentuk tunggal


yang memiliki suatu variasi tampak

Suatu organisasi kelompok dapat juga terdiri dari bentuk-bentuk yang umumnya setera dalam
ukuran, wujud dan fungsi. Bentuk-bentuk ini secara visual disusun menjadi sesuatu yang koheren,
organisasi nonhirarki, tidak hanya melalui jarak yang saling berdekatan namun juga melalui
kesamaan sifat visual yang dimilikinya.
Sejumlah bentuk perumahan kelompik dapat dijumpai dalam berbagai bentuk arsitektur tradisional
dari berbagai kebudayaan. Meskipun tiap kebudayaan melahirkan suatu jenis yang unik sebagai
tanggapan terhadap factor kemampuan teknis, iklim dan social budaya, pengorganisasian
perumahan kelompok ini pada umumnya mempertahankan individualitasnya masing-masing unitnya
serta suatu tingkat keragaman moderat dalam konteks keseluruhan penataan. Kelompok ruang
berdasarkan kedekatan hubungan atau bersama-sama memanfaatkan satu ciri atau
hubungan visual.

Organisasi dalam bentuk kelompok atau cluster mempertimbangkan pendekatan fisik untuk
menghubungkan suatu ruang terhadap ruang lainnya. Sering kali organisasi ini terdiri dari ruang-
ruang yang berulang yang memiliki fungsi-fungsi sejenis dan memiliki sifat visual yang umum seperti
wujud dan orientasi. Di dalam komposisinya, organisasi ini juga dapat menerima ruang-ruang yang
berlainan ukuran, bentuk dan fungsinya, tetapi berhubungan satu dengan yang lain berdasarkan
penempatan atau alat penata visual seperti simetri atau sumbu. Karena pola nya tidak berasal dari
konsep geometri yang kaku, bentuk organisasi ini bersifat fleksibel dan dapat menerima
pertumbuhan dan perubahan langsung tanpa mempengaruhi karakternya.

Ruang-ruang cluster dapat diorganisir terhadap suatu titik tempat masuk ke dalam bangunan atau
sepanjang alur gerak yang melaluinya. Ruang-ruang dapat juga dikelompokkan berdasarkan luas
daerah atau volume ruang tertentu atau dimasukkan dalam suatu daerah atau volume ruang yang
telah dibentuk. Kondisi simetris atau aksial dapat dipergunakan untuk memperkuat dan menyatukan
bagian-bagian organisasi dan membantu menegaskan pentingnya suatu ruang atau kelompok
ruang.

contoh gambar :
Bentuk grid
Grid adalah suatu system perpotongan dua garis-garis sejajar atau lebih yang berjarak teratur. Grid
membentuk suatu pola geometric dari titik-titik yang berjarak teratur pada perpotongan garis-garis
grid dan bidang-bidang beraturan yang dibentuk oleh garis-garis grid itu sendiri.

Grid yang paling umum adalah yang berdasarkan bentuk geometri bujur sangkar. Karena kesamaan
demensi dan sifat semetris dua arah, grid bujur sangkar pada prinsipnya, tak berjenjang dan tak
berarah. Grid bujur sangkar dapat digunakan sebagai skala yang membagi suatu permukaan
menjadi unit-unit yang dapat dihitung dan memberikannya suatu tekstur tertentu. Grid bujur sangkar
juga dapat digunakan untuk menutup beberapa permukaan suatu bentuk dan menyatukannya
dengan bentuk geometri yang berulang dan mendalam.
Bujur sangkar, bila diproyeksikan kepada dimensi ketiga, akan menimbulkan suatu jaringan ruang
dari titik-titik dan garis-garis referensi. Di dalam kerangka kerja modular ini, beberapa bentuk dan
ruang dapat diorganisir secara visual.

Pengertian Pola Permukiman


Secara etimologis pola permukiman berasal dari dua kaca pola dan permukiman. Pola
(pattern) dapat diartikan sebagai susunan struktural, gambar, corak, kombinasi sifat
kecenderungan membentuk sesuatu yang taat asas dan bersifat khas (Depdikbud, 1988),
dan dapat pula diartikan sebagai benda yang tersusun menurut sistem tertentu mengikuti
kecenderungan bentuk tertentu. Pengertian ini tampaknya hampir mirip dengan pengertian
model, atau susunan sesuatu benda. Pengertian pola, permukiman (settlement patterns)
Bering dirancukan dengan pengertian pola persebaran permukiman (distribution patterns of
settlement). Dua pengertian tersebut pada dasarnya sangat berbeda, terutama jika ditinjau
dari aspek bahasannya (Yunus, 1989).

1) Bahasan pola permukiman perlu diperhatikan dari tinjauan individual permukiman atau
dari tinjauan kelompok permukiman.
a. Tinjauan pola permukiman dari segi individual, lebih mengarah kepada bahasan bentuk-
bentuk permukiman secara individual, sehingga, dapat dibedakan dalam kategori pola
permukiman bentuk memanjang, pola permukiman bentuk melingkar, pola permukiman
bentuk persegi panjang, pola permukiman bentuk kubus. Setup kategori pola permukiman
masih dapat diturunkan lagi ke sub kategori lebih rinci misalnya pola permukiman
memanjang sungai, memanjang jalan, memanjang garis pantai, dan seterusnya
b. Tinjauan pola permukiman dari aspek kelompok lebih mengarah kepada bahasan sifat
persebaran dari individu-individu permukiman dalam satu kelompok. Oleh karenanya dari
sifat persebaran tersebut dapat dibedakan kedalam kategori pola persebaran permukiman
secara umum yakni pola menyebar dan pola mengelompok. Analog dengan pola bentuk
permukiman, setup kategori pola persebaran permukiman masih dapat diturunkan lagi ke
sub kategori lebih rinci misalnya pola persebaran permukiman menyebar teratur, menyebar
tidak teratur, mengelompok teratur dan tidak teratur dan seterusnya-
2) Pola persebaran permukiman membahas sifat persebaran kelompok permukiman sebagai
satu satuan (unit) permukiman, juga dapat dibedakan menjadi dua kategori.
Tinjauan pola persebaran permukiman dari aspek bentuk persebaran kelompok
permukiman, sehingga dapat dibedakan pola persebaran kelompok permukiman
memanjang pola persebaran kelompok permukiman melingkar, pola persebaran kelompok
permukiman sejajar, pola persebaran kelompok permukiman bujur sangkar, pola persebaran
kelompok permukiman kubus. Setiap kategori pola, persebaran kelompok permukiman
masih dapat diturunkan lagi ke sub kategori Iebih rinci.

Tinjauan pola persebaran kelompok permukiman dari aspek sifat persebaran dari kelompok-
kelompok permukiman, sehingga dapat dibedakan pola persebaran kelompok permukiman
menyebar, dan pola persebaran kelompok permukiman memusat atau mengelompok. Setiap
kategori pola persebaran kelompok permukiman tersebut juga masih dapat diturunkan lagi
ke sub kategori lebih rinci.
Pengertian pola permukiman dan persebaran (dispersion) permukiman mempunyai
hubungan yang erat. Persebaran permukiman membicarakan hal dimana terdapat
permukiman dan dimana tidak terdapat permukiman di suatu daerah.
permukiman
Dengan kata lain persebaran permukiman berbicara tentang lokasi permukiman. Disamping
itu juga membahas cara terjadinya persebaran permukiman, serta fakto-faktor yang
berpengaruh terhadap persebaran tersebut- Pola permukiman membicarakan sifat dari
persebaran permukiman tersebut. Dengan kata lain pola permukiman secara umum
merupakan susunan sifat persebaran permukiman dan sifat hubungan antara faktor-fektor
yang menentukan terjadinya sifat persebaran permukiman tersebut,
Pengertian pola, permukiman di atas berbeda dengan pengertian pola pemukiman yang
banyak menyangkut tentang berbagai tipe atau corak cara memindahkan penduduk dari
daerah satu ke daerah lain. Sebagai contoh nyata adalah
program transmigrasi, yang kegiatannya mencakup proses pemindahan dari permukiman
asal ke permukiman baru. Dalam cara memindahkan penduduk tersebut menggunakan
berbagai cara yang akan membentuk pola-pola tertentu. Beberapa buku acuan hasil
penulisan mengenai pokok-pokok pemukiman membahas tentang pola-pola pemukiman di
negara-negara Asia Tenggara, yang membicarakan cara-cara pemindahan penduduk, tipe-
tipe pelaksanaan, kebijakan pemerintah dalam kaitannya dengan
ijakan
cara tersebut (McAndrews, 1984). Pembicaraan pola pemukiman mempunyai pokok
pembahasan yang berbeda dari pokok pembahasan pola permukiman. Namun demikian,
terdapat kesamaan, yakni obyeknya tempat tinggal dan penduduk. Sesuai dengan tujuan
pembahasan uraian selanjutnya ditekankan pada pola persebaran permukiman, dengan
beberapa variasinya, serta beberapa faktor yang menentukan.
Variasi Pola Permukiman
Persebaran permukiman bersifat menentukan terhadap keanekaan pola permukiman.
Persebaran-dari - aspek kepadatan bervariasi (jumlah luas permukiman dibagi jumlah luas
wilayah dimana permukiman itu berada) dari sangat jarang hingga
1 dilihat dari segi dispersi, padat. Bila dill segi I i, dapat dibedakan menjadi mengelompok
dan menyebar. Tinjauan lain dapat dilihat dari segi keteraturan persebaran, yakni teratur,
dan tidak teratur. Beberapa pendapat tentang variasi pola permukiman dari pelbagai penulis
dapat ditunjukkan sebagai berikut.
Hudson (1970) membedakan secara garis besar antara 1) pola permukiman mengelompok,
dengan 2) pola permukiman menyebar. Pola persebaran permukiman mengelompok
tersusun dari dusun-dusun atau bangunan-bangunan rumah yang lebih kompak dengan
jarak tertentu, sedangkan pola persebaran permukiman menyebar terdiri dari dusun-dusun
dan atau bangunan-bangunan rumah yang tersebar dengan jarak tidaktertentu. Thorpe
(1964) mengemukakan bahwa konsep dasar pola permukiman hanya terdapat dua tipe
yang berbeda yang mendasarkan pada kenampakan yang bervariasi dari sangat tegas,
yakni tipe pola memusat dengan tipe pola menyebar. Namun, dalam penjelasannya, bahwa
perbedaan pola permukiman tersebut hanya dapat dipergunakan untuk pengelompokkan
bangunan rumah sebagai permukiman atau tempat tinggal.
Pembagian pola permukiman menjadi due seperti itu juga dikemukakan oleh Van der Zee
(1979) yang membedakan antara pola permukiman tersebar, dengan pola permukiman
mengelompok. Namun, dibedakan pula antar pola permukiman tunggal, dengan pola
permukiman ganda yang mengelompok Dijelaskan bahwa pembahasan pola permukiman itu
tidak dapat dilepaskan dari pembahasan persebaran permukiman serta letak dan situasinya.
Pembagian pola tersebut, ternyata sedikit berbeda dari pembedaan pola permukiman yang
dikemukakan Singh (1969)
saja Rambali Singh menggunakan istilah tipe permukiman. Atas dasar persebarannya
permukiman dibedakan menjadi tiga tipe atau pola, yaitu 1) pola permukiman
mengelompok, 2) permukiman semi mengelompok, dan pola permukiman menyebar.
Sebenarnya, variasi pola permukiman tersebut di etas, pada dasarnya sama dalam
memberikan klasifikasi, hanya saja mereka belum memberikan kelas-kelas pola
permukiman secara konkrit batas-batasnya Pembedaan pola tersebut oleh Bunce (1982)
dianggap tidak kuat atau kurang meyakinkan, karena pada jarak bangunan rumah seberapa
untuk pola permukiman yang mengelompok, dan jarak antar bangunan seberapa untuk pola
menyebar. Hal ini sangat beralasan, mengingat hingga seat itu belum ada kesepakatan
tentang jarak minimum antar bangunan rumah untuk pola permukiman menyebar ataupun
mengelompok, sehingga tidak dapat digunakan untukanalisis.
Hal di etas menimbulkan ketidakpuasan bagi pakar-pakar yang akan mengapapli-
kasikan. Haggett (1970) mengemukakan:
"ketidakpuasan orang membincangkan pola permukiman secara deskriptip, menimbulkan
gagasan untuk membincangkannya secara. kualitatif".
Dengan pertimbangan untuk tujuan pembahasan pola permukiman secara kuantitatip
tersebut Haggett membedakan pola permukiman menjadi tiga: a) uniform (seragam), b)
random (acak), dan c) clustered (mengelompok). Dengan cara demikian pembandingan
antara pola permukiman dapat dilakukan dengan lebih baik, bukan saja dari segi waktu,
tetapi juga dalam segi ruang. Demikianlah beberapa variasi pola permukiman menurut
beberapa penulis, tentu saja masih banyak lagi penulis lain yang membahas variasi pola
tersebut, tampaknya secara tegas variasi dalam pembicaraan terakhir itulah yang dapat
diukur kriterianya Masalahnya, bagaimana cara menentukan pola-pola tersebut secara
kuantitatif, akan dibahas pada. sub bab berikut.
Beberapa Ukuran Pola Permukiman
Zee (1979) mengemukakan bahwa permukiman adalah suatu sumber informasi tentang
manusia dan aktivitasnya di dalam habitatnya Dengan demikian pola permukiman
memberikan kesan tentang persebaran fisik permukimannya beserta kepadatan
penghuninya (penduduknya). Beberapa model teoritikal telah disusun berkenaan dengan
struktur ideal pola permukiman. Namun demikian seringkali cara analisis secara nyata
menunjukkan fakta berbeda, dimana dari teori lebih banyak memberikan informasi cara
lingkungan alami mempengaruhi aktivitas manusia, pada hal kenyataan seringkali berbeda,
justru aktivitas manusia dari aspek permukiman mempengaruhi lingkungan fisiknya
alami kaitannya dengan kuantifikasi pola permukiman ternyata beberapa penulis mengacu
kepada pertimbangan jumlah penduduk di suatu daerah dalam kaitannya dengan tempat
tinggal. Salah satu pengukuran pola permukiman dengan menggunakan perhitungan indeks
aglomerasi, adalah pengukuran pengelompokan penduduk dan persebarannya yang
dikemukakan Houston (1953) menggunakan indeks Demangoens (Hudson, 1970; Pacione,
1984; dan Zee, 1979):
E. N
K=
T
dimana:
K = the index ofagglomeration
E = the population of the comune excluding that of chief nucleated settlement N = the
number of settlements excluding the chief centre
T = the total population of the commune.
Pengukuran dengan cara tersebut banyak kelemahannya, karena hanya mendasarkan pada
jumlah penduduk yang setup saat selalu berubah, dan tidak diketahui seberapa besar batas
kriteria. angka K untuk permukiman disebut mengelompok, dan berapa K permukiman
disebut menyebar.
Derajad pengelompokan pola permukiman dapat pula ditunJukkan dengan menggunakan
nilai per gridsquare. Secara ekstrim ukuran tersebut dapat dibedakan sebagai berikut (Zee,
1979):
Sangat mengelompok: bila seluruh penduduk dalam satu gridsquare berada dalam
sepersepuluh luas daerah tersebut.
Sangat tersebar: bila hanya sepersepuluh penduduk pada gridsquare tersebut berada dalam
sepersepuluh luas daerah.
Salah satu cara untuk mengukur pola permukiman dapat pula dilakukan dengan
menggunakan "model dan analisis tetangga terdekat" atau nearest neighbour analysis, yaitu
dengan menghitung besarnya parameter tetangga terdekat atau T dengan menggunakan
rumus berikut (Hagget, 1975):
Ju
T=
Jh
dimana:
T = indeks penyebaran tetangga terdekat
Ju =jarak rata-rata yang diukur antara satu titik dengan titik tetangga yang terdekat
Jh = jarak rata-rata yang diperoleh andaikata semua titik mempunyai pola random (acak),
yakni dihitung dengan rumus
-V2p
p = kepadatan titik dalam tiap kilometer persegi, yaitu jumlah titik (M dibagi dengan luas
wilayah dalam kilometer persegi (A)
Untuk mengetahui apakah pola permukiman yang dianalisis, termasuk mengelompok,
random atau seragam, dibandingkan dengan continuum nilai parameter tetangga terdekat T
untuk masing-masing pola yang dapat diperlihatkan:
T = 0 0,7 pola bergerombol (mengelompok); T = 0,71-1,4 pola acak (tersebar tidak
merata; T = 1,41 - 2,15 pola tersebar merata

Faktor Pengaruh terhadap Pala Persebaran Permukiman


Terjadinya keanekaragaman pola persebaran permukiman sebagai wujud dari persebaran
penduduk yang tidak merata Hal ini akan menimbulkan terjadinya pelbagai masalah yang
bervariasi pula di antara wilayah satu dengan wilayah lainnya, balk bagi kehidupan
penduduk beserta lingkungannya saat ini, maupun bagi rencana pengembangan
permukiman itu sendiri pada mass mendatang. Oleh karenanya, pemahaman lewat
penelitian yang mendasar mengenai bagaimana pola persebaran permukiman yang ada
pada saat ini beserta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya suatu pola
persebaran permukiman merupakan suatu usaha yang penting dan dapat mendukung
landasan pola berfikir pemecahan masalah permukiman pada mass mendatang.
Persebaran permukiman mempunyai kaftan erat dengan persebaran penduduk. Persebaran
penduduk membentuk persebaran permukiman, dengan pola-pola persebaran permukiman
yang bervariasi. Shryock, et al. (1971) mengemukakan bahwa persebaran permukiman
dipengaruhi oleh Mini (suhu dan curah hujan); topografi
grafi
bentuk lahan, sumberdaya alam; hubungan keruangan; faktor budaya; serta faktor
demografi. Secara garis besar terjadinya pola permukiman menurut Shryock tersebut
dipengaruhi oleh faktor fisik balk alarm maupun buatan, faktor sosial-ekonomi, dan faktor
budaya manusia atau penduduk.
Faktor-faktor pengaruh tersebut menurut Singh (1969) yang menerapkan dalam
penelitiannya pola permukiman di salah satu bagman daerah di India, hanya ditekankan
pada faktor fisik, sejarah, tradisi, dan sosial ekonomi, dengan perincian sebagai berikut:
- faktor fisik mencakup relief, sumber air, jalur drainase, dan kondisi tanah-, faktor sosial
ekonomi meliputi tata guns lahan, penyakapan tanah, rotasi tanaman, transportasi dan
komunikasi, serta kepadatan penduduk-,
faktor sejarah dan tradisi seperti sejarah terbentuknya permukiman, kebiasaan penduduk
melakukan migrasi, maupun kebiasaan penduduk yang mengacu kepada adat dalam
kaitannya dengan membangun tempat tinggal.

Dalam hal ini terlihat, bahwa terbentuknya pola permukiman banyak dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang kompleks, tetapi mencerminkan adanya kecende-rungan faktor alam
menentukan terhadap kegiatan manusia- Jelas hal tersebut sudah banyak yang tidak
berlaku, mengingat kemampuan manusia dalam mengadaptasikan diri
dengan lingkungan sangat dominan, sebagai akibat kemajuan teknologi. Seperti yang
dikemukakan oleh Pacione (1984) bahwa pola permukiman merupakan cerminan
penyesuaian penduduk terhadap lingkungan alam, seperti topografi, iklim dan tanah.
Tingkat penyesuaian tersebut sangat tergantung pada faktor-faktor sosial ekonomi dan
kultur penduduknya_ Dengan demikian, pola tempat kediaman penduduk terbentuknya
akan dipengaruhi oleh keadaan lingkungan alam, keadaan sosial ekonomi, serta keadaan
budaya mereka.
Beberapa faktor pengaruh terhadap persebaran permukiman antara lain:
A. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap compact rural settlement:
Daerah-daerah yang memiliki tanah-tanah subur, dapat mengikut tempat kediaman
penduduk dalam satu kelompok.
Daerah-daerah dengan relief yang sama, misalnya dataran-dataran rendah menjadi sasaran
penduduk untuk bertempat tinggal.
Daerah-daerah dengan permukaan air tanah yang dalam menyebabkan adanya sumur-
sumur yang sangat sedikit, karena pembuatan sumur-sumur itu akan memakan biaya dan
waktu yang banyak. Dengan demikian maka sebuah sumber air, dalam hal ini sumur
menjadi pemusatan penduduk.
Daerah-daerah dimana keadaan keamanan belum dapat dipastikan, balk karena gangguan
binatang maupun gangguan suku bangsa yang sedang bermusuhan dapat berpengaruh
terhadap timbulnya pengelompokan tempat kediaman.
B. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap fragmented rural settlement:
a- Daerah-daerah banjir dapat merupakan pemisah antara permukiman perdesaan satu
dengan lainnya.

Daerah-daerali dengan topografi kasar menyebabkan rumah penduduk desa tersebar.


Permukaan air tanah yang dangkal memungkinkan pembuatan sumur-sumur di Setiap
tempat, sehingga perumahan penduduk dapat didirikan dengan pemilihan tempat yang
ada_
Dalamkaitannya dengan pola permukiman tersebut, Pacione (1984) mengemukakan bahwa
permukiman yang memusat dipengaruhi oleh faktor kebutuhan akan keamanan atau
pertahanan, ikatan keluarga atau marga, kelang-kaan air, kebiasaan dari sistem pembagian
waris, datar ekonomi dari hasil pertanian, politik, agama atau ideologi. Sebaliknya untuk
permukiman yang tersebar, dipengaruhi oleh faktor-faktor kurang pentingnya pertahanan,
kolonisasi yang dilakukan oleh keluarga-keluarga secara individu berdasarkan hubungan
darah maupun wilayah, pertanian yang bersifat pribadi, melon perbukitan atau pegunungan,
persediaan air yang dangkal, dan penyebaran yang disengaja oleh pemerintah.
Demikian pula Singh (1971), mengklasifikasikan pola permukiman desa atas: compact type,
semi compact type dan dispersed type. Faktor-faktor yang mempengaruhi tipe permukiman
memusat antara lain permukaan lahan yang datar, lahan yang subur, curah hujan yang
relatif kurang, kebutuhan akan kerjasama, ikatan sosial-ekonomi, agama atau kepercayaan,
kurangnya keamanan waktu yang lampau, tipe pertanian, lokasi industri dan mineral. Untuk
tipe permukiman tersebar berhubungan dengan topografi yang kasar, keanekaragaman
kesuburan lahan, curah hujan dan air permukaan yang melimpah, keamanan waktu yang
lampau dan susunan kasta Disamping itu dinyatakan, bahwa pola permukiman dipengaruhi
oleh lingkungan fisikal, seperti relief, sumber air, jalur drainase, kondisi lahan serta kondisi
sosialekonomi, seperti tats guna lahan, penyakapan lahan, rotasi tanaman, prasarana trans-
portasi dan komunikasi serta kepadatan penduduk (Wuryanto Abdullah dan Su Rito
Hardoyo, 1981).
Pendapat dan pernyataan di atas menunjukkan adanya tiga kelompok penting dalam pola
permukiman, yakni pola mengelompok, pola acak dan pola tersebar merata Selain itu,
tampak pula bahwa relief, kesuburan lahan dan sumber air, merupakan komponen
lingkungan alam yang dominan dalam mempengaruhi pola permukiman, di samping kondisi
sosial-ekonomi dan kebudayaan, seperti tata guns lahan, tipe pertanian, penyakapan lahan,
prasarana transportasi dan komunikasi, kepadatan penduduk, lokasi mineral dan industri,
keamanan, politik, sistem pembagian waris dan agama atau ideologi.
Ditinjau dari letak ketinggian wilayah, tampak faktor ini mempunyai hubungan yang erat
dengan kualitas lahan. Dengan pernyataan lain, semakin meningkatnya letak ketinggian
tempat, - menyebabkan semakin berkurangnya lahan-lahan datar. Sandy (1977)
menyatakan bahwa di sekitar ketinggian sama dengan atau lebih besar dari 100 meter,
biasanya topografi lebih kasar daripada di bawahnya- Dengan demikian berarti, bahwa
semakin meningkatnya letak ketinggian tempat di suatu wilayah, maka semakin meningkat
pula kekasaran topografinya. Sebaliknya, dari letak ketinggian tempat ini lebih bar yak
menunjukkan, bahwa keadaan permukaan air sumur semakin dalam dengan semakin
meningkatnya letak ketinggian tempat, sehingga kemungkinan untuk terjadinya
pengelompokan permukiman secara teratur maupun penyebaran secara teratur sangat
kecil. Oleh karena itu, dengan semakin meningkatnya letak ketinggian tempat pada suatu
wilayah, pola permukiman semakin tersebar secara tidak teratur.
Adanya tekanan penduduk terhadap lahan pertanian yang semakin mendesak di daerah
pedesaan, mengakibatkan kebutuhan akan lahan pertanian yang lebih besar. Hal ini
memaksa, prang atau penduduk untuk menduduki lahan-lahan yang tadinya tidak
diperuntukkan bagi permukiman maupun usaha pertanian. Di pihak lain, memaksa
penduduk untuk semakin meningkatkan lahan-lahan garap-annya seefektif mungkin.
Keadaan ini mendorong para. penggarap untuk berusaha mendekatkan tempat tinggalnya
dengan masing-masing lahan garapannya, sehingga mendorong pula untuk tumbuhnya
permukiman-permukiman baru bagi lahan pertanian yang terlalu jauh. Sejalan dengan
pernyataan Sandy 1977), bahwa kemampuan untuk menempuh jarak di pedesaan,
ditentukan oleh kemampuan seseorang untuk berjalan kaki. Dengan demikian, adanya
perluasan lahan pertanian dan peningkatan efektivitas kerja, yang disebabkan tekanan
penduduk terhadap lahan pertanian dapat mempengaruhi terhadap penyebaran pola
permukiman.
Terdapatnya permukiman dalam artian sempit di suatu wilayah, tentu disebabkan oleh
adanya kemungkinan untuk hidup bagi masyarakat kampung yang bersangkutan, sesuai
dengan keahlian ataupun ketrampilan mereka-Makin besarnya kemungkinan untuk hidup
yang diberikan suatu wilayah, semakin besar pula kemungkinan jumlah manusia yang
tinggal di wilayah tersebut, atau semakin besar pula terjadinya pemusatan penduduk
wilayah tersebut. Apabila ditinjau dari perkembangan bentuk-bentukpenggunaan lahan
untuk usaha pertanian rakyat di pedesaan, sebagaimana dikemukakan Sandy (1977),
bahwa perkembangan tertinggi dari usaha pertanian kecil di Indonesia adalah persawahan
dengan pengairan teratur, apabila memungkinkan penduduk akan membuat sawah pada
medan dengan lereng yang bagaimanapun, baik rawa, lereng gunung dan apalagi daerah
datar. Dengan demikian, daerah- daerah usaha pertanian lahan sawah merupakan daerah
pusaatan penduduk yang terbesar.
Adanya perbedaan bentuk penggunaan lahan dalam usaha pertanian, dengan sendirinya
memerlukan tingkat pengolahan serta tingkat kebutuhan tenaga, kerja yang berbeda-beda
pula Dalam hal ini i ditunjukkan bahwa lahan merupakan
Dalam dan jenis penggunaan yang paling intensip. Artinya pemakaian tenaga kerja dalam
bentuk usaha lahan sawah akan lebih besar dari usaha pertanian lahan kering, seperti
tegalan, kebun campuran maupun usaha perkebunan kecil. Untuk memenuhi kebutuhan
akan tenaga kerja ini, dilakukan dengan sistem pertukaran jasa. (barter tenaga sesama.
mereka). Sejalan dengan pendapat Mubyarto (1977), bahwa tolong menolong lebih banyak
terdapat pada pekerjaan dimana dimungkinkan pengembalian pekerjaan yang sama. pada.
tanaman yang sama Dengan adanya sistem pertukaran jasa (barter tenaga sesama mereka)
dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja ini, menurut Leibo (1986) sebagai penyebab sifat-
sifat kelompok primer dalam ketetanggaan masyarakat desa Dengan demikian, besarnya
pemakaian tenaga kerja dari besarnya. Sifat kegotongroyongan pada usaha pertanian lahan
sawah, menuntut suatu kehidupan sosial yang saling berdampingan antara sesama keluarga
petani. Hal ini, menuntut pula terjadinya pengelompokan permukiman pedesaan di sekitar
lahan sawah, dan sebaliknya terjadi pola-pola permukiman yang menyebar pada
penggunaan lahan pertanian lahan kering.
Berbagai pendapat di atas menunjukkan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi pola
permukiman, antara lain: kemiringan lahan, ketinggian tempat, kedalaman air sumur, curah
hujan, kepadatan penduduk, tekanan penduduk terhadap lahan pertanian dan persentase
luas lahan sawah dari seluruh luas lahan pertanianPenyakapan tanah prasarana transportasi
dan komunikasi, lokasi mineral dan industri, sistem pembagian waris, keamanan dan politik
agama atau ideologi.

Anda mungkin juga menyukai