Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kandung kemih neurogenik didefinisikan sebagai disfungsi kandung
kemih karena kerusakan atau penyakit pada sistem saraf pusat ataupun sistem
saraf perifer. Pada kandung kemih neurogenik terjadi gangguan pengisian dan
pengosongan urin sehingga timbul gangguan miksi yang disebut inkontinensia
urin dan apabila tidak segera ditangani dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal.
Kelainan tersebut dapat merupakan bagian kelainan kongenital ataupun didapat.
Kandung kemih neurogenik pada anak berbeda dengan dewasa dalam hal etiologi.
Sebagian besar kandung kemih neurogenik pada anak disebabkan kelainan
kongenital sedangkan pada dewasa lebih sering karena kelainan didapat.
Istilah neurogenic bladder tidak mengacu pada suatu diagnosis spesifik
ataupun menunjukkan etiologinya, melainkan lebih menunjukkan suatu gangguan
fungsi urologi akibat kelainan neurologis. Fungsi bladder normal memerlukan
aktivitas yang terintegrasi antara sistem saraf otonomi dan somatik. Jaras neural
yang terdiri dari berbagai refleks fungsi destrusor dan sfingter meluas dari lobus
frontalis ke medula spinalis bagian sakral, sehingga penyebab neurogenik dari
gangguan bladder dapat diakibatkan oleh lesi pada berbagai derajat.1
Salah satu penelitian pertama prevalensi Neurogenic Bladder di Asia
adalah sebuah survai oleh APCAB (Asia Pacific Continence Advisory Board)
pada tahun 1998 yang mencakup 7875 laki-laki dan perempuan (sekitar 70%
perempuan) dari 11 negara (termasuk 499 dari Indonesia) ; didapatkan bahwa
prevalensi Neurogenic Bladder secara umum pada orang Asia adalah sekitar
50,6%. Banyak penyebab dapat mendasari timbulnya Neurogenic Bladder
sehingga mutlak dilakukan pemeriksaan yang teliti sebelum diagnosis ditegakkan.
Penyebab tersering adalah gangguan medulla spinalis; trauma merupakan
penyebab akut serta memberikan manifestasi klasik. Dalam kesempatan ini
dibahas Neurogenic Bladder akibat cedera spinal.2,3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi


Kandung kemih merupakan jalinan otot polos yang dibedakan atas
kandung kemih dan leher kandung kemih. Bagian terbawah leher kandung
kemih disebut sebagai uretra posterior karena berhubungan dengan uretra.
Kandung kemih bagian fundus terdiri atasi tiga lapisan otot polos yang saling
bersilangan dan disebut otot detrusor. Pada dinding kandung kemih bagian
posterior terdapat area berbentuk segitiga yang lazim disebut trigonum. Sudut
bagian bawah segitiga merupakan bagian leher kandung kemih yaitu muara
uretra posterior sedangkan kedua sudut lainnya merupakan muara kedua ureter.
Kedua ureter menembus otot detrusor dalam posisi oblik dan memanjang 12
cm di bawah mukosa kandung kemih sebelum bermuara ke dalam kandung
kemih. Struktur tersebut dapat mencegah aliran balik urin dari kandung kemih
ke ureter.
Gerakan peristaltik ureter memungkinkan urin mengalir menuju kandung
kemih karena peningkatan tekanan intra ureter. Otot detrusor selain meluas ke
seluruh kandung kemih juga meluas ke arah bawah dan mengelilingi leher
kandung kemih sepanjang 23 cm lalu turun hingga ke uretra posterior yang
disebut sebagai sfingter interna. Otot detrusor secara tidak langsung berfungsi
sebagai katup mencegah pengosongan kandung kemih oleh leher kandung
kemih dan uretra posterior hingga tekanan pada kandung kemih mencapai
ambang potensial yang berlangsung secara otonom. Pada bagian bawah uretra
posterior, uretra melalui diafragma urogenital yang terdiri dari kumpulan otot
sfingter eksterna yang bekerja secara volunter.
Kandung kemih manusia mempunyai dua fungsi utama yaitu
penampungan dan pengosongan urin. Secara fisiologis, pada proses berkemih
terdapat empat syarat yang harus terpenuhi agar berlangsung normal, yakni:
1. kapasitas kandung kemih yang adekuat,
2. pengosongan kandung kemih yang sempurna,

2
3. berlangsung dalam kontrol yang baik, dan
4. setiap pengisian dan pengosongan kandung kemih tidak
berakibat buruk terhadap saluran kemih bagian atas dan ginjal.

Kandung kemih pada bayi berbeda dengan kandung kemih pada anak
dalam hal fungsi dan strukturnya. Semasa dalam kandungan, kandung kemih
berukuran kecil dengan elastisitas yang rendah. Kandung kemih kemudian
semakin berkembang dan mengalami perubahan dalam hal kapasitas dan
elastisitas seiring dengan bertambahnya usia. Fungsi koordinasi berkemih yang
baik baru muncul setelah usia beberapa bulan. Pada periode ini proses
berkemih terjadi secara otonom dan mulai terjadi koordinasi antara pengisian
dan pengosongan kandung kemih. Proses berkemih yang terarah atau terlatih
baru dapat dilakukan pada usia 25 tahun tergantung kematangan traktus
spinalis dan stimulus yang diberikan.
Saluran kemih bawah mendapatkan persarafan somatik dan otonom
(simpatis dan parasimpatis). Persarafan simpatis berasal dari medula spinalis
daerah torako-lumbal yaitu Th-10 sampai dengan L-1 yang bersatu pada
pleksus hipogastrik dan diteruskan melalui serat saraf post-ganglionik untuk
mempersarafi detrusor, leher kandung kemih, dan uretra posterior. Sistem
persarafan parasimpatis berasal dari korda spinalis setinggi S-2, S-3 dan S-4
yang mempersarafi daerah fundus sedangkan persarafan somatik setinggi korda
spinalis yang sama melalui nervus pudendus mempersarafi otot sfingter
eksternal.

2.1.1 Struktur otot detrusor dan sfingter (Faiz and Moffat, 2004; Snell,
2006; Waxman,2010)
Susunan sebagian besar otot polos bladder apabila berkontraksi akan
menyebabkan pengosongan pada bladder. Pengaturan serabut detrusor pada
daerah leher bladder berbeda antara pria dan wanita dimana pria mempunyai
distribusi yang sirkuler dan serabut-serabut tersebut membentuk suatu sfingter
leher bladder yang efektif untuk mencegah terjadinya ejakulasi retrograd

3
sfingter interna yang ekivalen. Sfingter uretra (rhabdosfingter) terdiri dari
serabut otot lurik berbentuk sirkuler. Pada pria, rhabdosfingter terletak tepat di
distal dari prostat sementara pada wanita mengelilingi hampir seluruh uretra.
Rhabdosfingter secara anatomis berbeda dari otot-otot yang membentuk dasar
pelvis. Pada pemeriksaan elektromiografi otot ini menunjukkan suatu discharge
tonik konstan yang akan menurun bila terjadi relaksasi sfingter pada awal
proses miksi.1,2,3

2.1.2 Persyarafan dari vesica urinaria dan sfingter (Faiz and Moffat, 2004;
Snell, 2006; Waxman,2010)
a. Persyarafan parasimpatis (N.pelvikus)
Pengaturan fungsi motorik dari otot detrusor utama berasal dari serabut
preganglion parasimpatis dengan badan sel terletak pada kolumna
intermediolateral medula spinalis antara S2 dan S4. Serabut preganglioner
keluar dari medula spinalis bersama radiks spinal anterior dan mengirim akson
melalui N.pelvikus ke pleksus parasimpatis di pelvis. Serabut postganglioner
pendek berjalan dari pleksus untuk menginervasi organ-organ pelvis. Tidak
terdapat perbedaan khusus postjunctional antara serabut postganglioner dan
otot polos musculus detrusor. Sebaliknya, serabut postganglioner mempunyai
jaringan difus sepanjang serabutnya yang mengandung vesikel dimana
asetilkolin dilepaskan. Meskipun pada beberapa spesies transmitter
nonkolinergik-nonadrenergik juga ditemukan, namun keberadaannya pada
manusia diragukan.1,2

b. Persyarafan simpatis (N.hipogastrik dan rantai simpatis sakral)


Bladder menerima inervasi simpatis dari rantai simpatis thorakolumbal
melalui n.hipogastrik. Leher bladder menerima persarafan yang banyak dari
sistem saraf simpatis dan pada kucing dapat dilihat pengaturan parasimpatis
oleh simpatis, sedangkan peran sistim simpatis pada proses miksi manusia
tidak jelas. Simpatektomi lumbal saja tidak berpengaruh pada miksi meskipun
pada umumnya akan menimbulkan ejakulasi retrograd. Leher bladder pria

4
banyak mengandung transmitter noradrenergik dan aktivitas simpatis selama
ejakulasi menyebabkan penutupan dari leher bladder untuk mencegah ejakulasi
retrograde.2,3

c. Persyarafan somantik (N.pudendus)


Otot lurik dari sfingter uretra merupakan satu-satunya bagian dari traktus
urinarius yang mendapat persarafan somatik. Onufrowicz menggambarkan
suatu nukleus pada kornu ventralis medula spinalis pada S2, S3, dan S4.
Nukleus ini yang umumnya dikenal sebagai nukleus Onuf, mengandung badan
sel dari motor neuron yang menginnervasi baik sfingter anal dan uretra.
Nukleus ini mempunyai diameter yang lebih kecil daripada sel kornu anterior
lain, tetapi suatu penelitian mengenai sinaps motor neuron ini pada kucing
menunjukkan bahwa lebih bersifat skeletomotor dibandingkan persarafan
perineal parasimpatis preganglionik. Serabut motorik dari sel-sel ini berjalan
dari radiks S2, S3 dan S4 ke dalam n.pudendus dimana ketika melewati pelvis
memberi percabangan ke sfingter anal dan cabang perineal ke otot lurik
sfingter uretra. Secara elektromiografi, motor unit dari otot lurik sfingter sama
dengan serabut lurik otot tapi mempunyai amplitudo yang sedikit lebih
rendah.1,2,3

d. Persyarafan sensorik traktus urinarius bagian bawah


Sebagian besar saraf aferen adalah tidak bermyelin dan berakhir pada
pleksus suburotelial dimana tidak terdapat ujung sensorik khusus. Karena
banyak dari serabut ini mengandung substansi P, ATP atau calcitonin gene-
related peptide dan pelepasannya dapat mengubah eksitabilitas otot, serabut
pleksus ini dapat digolongkan sebagai saraf sensorik motorik daripada sensorik
murni. Ketiga pasang saraf perifer (simpatis torakolumbal, parasimpatis sacral
dan pudendus) mengandung serabut saraf aferen. Serabut aferen yang berjalan
dalam n.pelvikus dan membawa sensasi dari distensi bladder tampaknya
merupakan hal yang terpenting pada fungsi bladder yang normal. Akson aferen
terdiri dari 2 tipe, serabut C yang tidak bermyelin dan serabut A bermyelin

5
kecil. Peran aferen hipogastrik tidak jelas tetapi serabut ini menyampaikan
beberapa sensasi dari distensi bladder dan nyeri. Aferen somatik pudendal
menyalurkan sensasi dari aliran urine, nyeri dan suhu dari uretra dan
memproyeksikan ke daerah yang serupa dalam medula spinalis sakral sebagai
aferen bladder. Hal ini menggambarkan kemungkinan dari daerah-daerah
penting pada medulla spinalis sakral untuk intergrasi viserosomatik. Nathan
dan Smith (1951) pada penelitian pasien yang telah mengalami kordotomi
anterolateral, menyimpulkan bahwa jaras ascending dari bladder dan uretra
berjalan di dalam traktus sphinothalamikus. Serabut spinobulber pada kolumna
dorsalis juga berperan pada transmisi dari informasi aferen. 1,2,3

Persyarafan Vesica Urinaria

6
(Benevento and Sipski, 2002)

2.1.3 Hubungan dengan susunan saraf pusat (Faiz and Moffat, 2004; Snell,
2006)
a. Pusat Miksi Pons
Pons merupakan pusat yang mengatur miksi melalui refleks spinal-
bulbospinal atau long loop refleks. Demyelinisasi Groat (1990) menyatakan
bahwa pusat miksi pons merupakan titik pengaturan (switch point) dimana
refleks transpinal-bulber diatur sedemikian rupa baik untuk pengaturan
pengisian atau pengosongan bladder. Pusat miksi pons berperan sebagai pusat
pengaturan yang mengatur refleks spinal dan menerima input dari daerah lain
di otak.1,2

b. Daerah kortikal yang mempengaruhi pusat miksi pons


Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lesi pada bagian anteromedial
dari lobus frontal dapat menimbulkan gangguan miksi berupa urgensi,
inkontinens, hilangnya sensibilitas bladder atau retensi urine. Pemeriksaan
urodinamis menunjukkan adanya bladder yang hiperrefleksi. 1,2

7
2.1.4 Fisiologi pengaturan fungsi sfingter vesica urinaria (Guyton, 2007;
Sherwood, 2001)
a. Pengisian urine
Pada pengisian vesica urinaria, distensi yang timbul ditandai dengan
adanya aktivitas sensor regang pada dinding vesica urinaria. Pada vesica
urinaria normal, tekanan intravesikal tidak meningkat selama pengisian sebab
terdapat inhibisi dari aktivitas detrusor dan active compliance dari vesica
urinaria. Inhibisi dari aktivitas motorik detrusor memerlukan jaras yang utuh
antara pusat miksi pons dengan medulla spinalis bagian sakral. Mekanisme
active compliance vesica urinaria kurang diketahui namun proses ini juga
memerlukan inervasi yang utuh Selain akomodasi vesica urinaria, kontinens
selama pengisian memerlukan fasilitasi aktifitas otot lurik dari sfingter uretra,
sehingga tekanan uretra lebih tinggi dibandingkan tekanan intravesikal dan
urine tidak mengalir keluar.

b. Pengaliran urine
Pada orang dewasa yang normal, rangsangan untuk miksi timbul dari
distensi vesica urinaria yang sinyalnya diperoleh dari aferen yang bersifat
sensitif terhadap regangan. Mekanisme normal dari miksi volunteer tidak
diketahui dengan jelas tetapi diperoleh dari relaksasi oto lurik dari sfingter
uretra dan lantai pelvis yang diikuti dengan kontraksi vesica urinaria. Inhibisi
tonus simpatis pada leher vesica urinaria juga ditemukan sehingga tekanan
intravesikal diatas/melebihi tekanan intra uretral dan urine akan keluar.
Pengosongan kandung kemih yang lengkap tergantung adri refleks yang
menghambat aktifitas sfingter dan mempertahankan kontraksi detrusor selama
miksi.

BAB III
NEUROGENIC BLADDER

8
3.1 Definisi Neurogenic bladder
Neurogenic bladder adalah suatu disfungsi kandung kemih akibat kerusakan
sistem saraf pusat atau saraf tepi yang terlibat dalam pengendalian berkemih.
Keadaan ini bisa berupa kandung kemih tidak mampu berkontraksi dengan
baik untuk miksi (underactive bladder) maupun kandung kemih terlalu aktif
dan melakukan pengosongan kandung kemih berdasar refleks yang tak
terkendali (overactive bladder) (Rackley, 2009; Waxman, 2010).

3.2 Etiologi (Ropper and Brown, 2005)


Ada 2 tipe neurogenic bladder
1. Spastic
- Disebabkan oleh lesi diatas pusat miksi di sacral.
- Hilangnya sensasi untuk mengosongkan kandung kemih dan kehilangan
kontrol motorik,
- Bladder bisa atropi, sehingga kapasitas bladder berkurang .
Munculan Klinis :
Sering berkemih secara involunter
Kapasitas kecil < 300 cc
Sejumlah kecil
Disertai oleh spasme ekstremitas bawah
Sensasi bladder hilang
Pengosongan kemih bisa dicetuskan oleh rangsangan kulit pada perineum
atau genitalia.

2. Flaccid
- Lesi lower motor neuron
- Bladder terus diisi dan membesar (ektensi)

- Urine terkumpul dan bisa tejadi pengosongan tapi tidak komplit


(overflow) sehingga menyebabkan banyaknya residu urine lalu memicu

9
potensi untuk terjadinya infeksi.

3.2.1 Kelainan pada sistem saraf pusat :8


Alzheimers disease
Meningomielocele
Tumor otak atau medulla spinalis
Multiple sclerosis
Parkinson disease
Cedera medulla spinalis
Pemulihan stroke

3.2.2 Kelainan pada sistem saraf tepi : 8


Neuropati alkoholik
Diabetes neuropati
Kerusakan saraf akibat operasi pelvis
Kerusakan saraf dari herniasi diskus
Defisiensi vitamin B12

3.3 Patofisiologi (Fowler, 1993; Lindsay, 1997; Snell, 2006; Waxman,


2010)
Gangguan bladder dapat terjadi pada bagian tingkatan lesi. Tergantung
jaras yang terkena, secara garis besar terdapat tiga jenis utama gangguan :2,3,9

3.3.1 Lesi supra pons


Pusat miksi pons merupakan pusat pengaturan refleks-refleks miksi dan
seluruh aktivitasnya diatur kebanyakan oleh input inhibisi dari lobus frontal
bagian medial, ganglia basalis dan tempat lain. Kerusakan pada umumnya akan
berakibat hilangnya inhibisi dan menimbulkan keadaan hiperrefleksi. Pada

10
kerusakan lobus depan, tumor, demyelinisasi periventrikuler, dilatasi kornu
anterior ventrikel lateral pada hidrosefalus atau kelainan ganglia basalis, dapat
menimbulkan kontraksi bladder yang hiperrefleksi. Retensi urine dapat
ditemukan secara jarang yaitu bila terdapat kegagalan dalam memulai proses
miksi secara volunteer.

3.3.2 Lesi antara pusat miksi pons dan sakral medula spinalis
Lesi medula spinalis yang terletak antara pusat miksi pons dan bagian
sacral medula spinalis akan mengganggu jaras yang menginhibisi kontraksi
detrusor dan pengaturan fungsi sfingter detrusor. Beberapa keadaan yang
mungkin terjadi antara lain adalah:
1. Vesica urinaria yang hiperrefleksi
Seperti halnya lesi supra pons, hilangnya mekanisme inhibisi normal
akan menimbulkan suatu keadaan bladder yang hiperrefleksi yang akan
menyebabkan kenaikan tekanan pada penambahan yang kecil dari volume
bladder.
2. Disinergia detrusor-sfingter (DDS)
Pada keadaan normal, relaksasi sfingter akan mendahului kontraksi
detrusor. Pada keadaan DDS, terdapat kontraksi sfingter dan otot detrusor
secara bersamaan. Kegagalan sfingter untuk berelaksasi akan menghambat
miksi sehingga dapat terjadi tekanan intravesikal yang tinggi yang kadang-
kadang menyebabkan dilatasi saluran kencing bagian atas.Urine dapat
keluar dari bladder hanya bila kontraksi detrusor berlangsung lebih lama
dari kontraksi sfingter sehingga aliran urine terputus-putus.

3. Kontraksi detrusor yang lemah


Kontraksi hiperrefleksi yang timbul seringkali lemah sehingga
pengosongan bladder yang terjadi tidak sempurna. Keadaan ini bila
dikombinasikan dengan disinergia akan menimbulkan peningkatan volume
residu pasca miksi.

11
4. Peningkatan volume residu paska miksi
Volume residu paska miksi yang banyak pada keadaan bladder yang
hiperrefleksi menyebabkan diperlukannya sedikit volume tambahan untuk
terjadinya kontraksi bladder. Penderita mengeluh mengenai seringnya miksi
dalam jumlah yang sedikit.

3.3.3 Lesi Lower Motor Neuron (LMN)


Kerusakan pada radiks S2-S4 baik dalam canalis spinalis maupun
ekstradural akan menimbulkan gangguan LMN dari fungsi bladder dan
hilangnya sensibilitas bladder. Proses pendahuluan miksi secara volunteer
hilang dan karena mekanisme untuk menimbulkan kontraksi detrusor hilang,
bladder menjadi atonik atau hipotonik bila kerusakan denervasinya adalah
parsial. Compliance bladder juga hilang karena hal ini merupakan suatu proses
aktif yang tergantung pada utuhnya persyarafan. Sensibilitas dari peregangan
bladder terganggu namun sensasi nyeri masih didapatkan karena informasi
aferen yang dibawa oleh sistim saraf simpatis melalui n.hipogastrikus ke
daerah thorakolumbal. Denervasi otot sfingter mengganggu mekanisme
penutupan namun jaringan elastik dari leher bladder memungkinkan terjadinya
miksi. Mekanisme untuk mempertahankan miksi selama kenaikan tekanan intra
abdominal yang mendadak hilang, sehingga stress inkontinens sering timbul
pada batuk atau bersin.
Banyak klasifikasi telah digunakan untuk kelompok neurogenik
disfungsi kandung kemih . Masing-masing memiliki kelebihan dan utilitas klinis .
Klasifikasi ini mungkin didasarkan pada temuan urodinamik . Klasifikasi populer
disfungsi kandung kemih neurogenik berdasarkan lokasi lesi neurologis dapat
membantu memandu terapi farmakologis dan bedah , dengan berkemih yang
kelainan terlihat klinis berikut dari gangguan dari fisiologi kemih yang normal
yang dijelaskan di atas dan ditunjukkan pada Gambar 1. Dalam klasifikasi ini ,
kandung kemih neurogenik muncul dari :
( 1 ) lesi di atas pusat berkemih pontine ( misalnya , stroke atau tumor
otak ) menghasilkan tanpa hambatan kandung kemih ,

12
( 2 ) lesi antara pusat pontine berkemih dan sumsum tulang belakang
sacral ( misalnya , cedera tulang belakang traumatik atau multiple
sclerosis yang melibatkan tulang belakang cervicothoracic kabel )
memproduksi motor neuron kandung kemih atas,
( 3 ) lesi kabel sakral yang merusak inti detrusor tapi cadangan inti
pudenda menghasilkan campuran tipe A kandung kemih,
( 4 ) lesi kabel sakral yang luang inti detrusor tapi merusak inti pudenda
memproduksi jenis campuran B kandung kemih ,
( 5 ) yang lebih rendah neuron motorik kandung dari kabel sacral atau
sacral cedera akar saraf .

Disfungsi kandung kemih neurogenik tanpa hambatan , ada biasanya


berkurang kesadaran kandung kemih penuh dan rendah kapasitas kandung kemih
karena pengurangan penghambatan pontine yang pusat berkemih ( PMC ) oleh
kortikal dan subkortikal kerusakan struktur . Inkontinensia urin dapat terjadi
dengan lesi otak yang terjadi di atas pusat pontine berkemih , terutama dengan lesi
bilateral . Karena PMC adalah utuh, oposisi normal detrusor dan internal /
eksternal sphincter tonus dipertahankan sehingga tidak ada kandung kemih tinggi
tekanan dikembangkan yang dapat menyebabkan saluran kemih bagian atas
kerusakan . Atas neuron motorik disfungsi kandung kemih neurogenik ditandai
dengan detrusor - sfingter dyssynergia ( DSD ) , dimana detrusor simultan dan
kontraksi sfingter kemih menghasilkan tekanan tinggi di kandung kemih (sampai
80-90 cm H2O) yang mengarah ke vesicoureteral refluks yang dapat
menghasilkan kerusakan ginjal. Kerusakan sumsum tulang belakang
menerjemahkan kandung kemih dan sfingter kejang, terutama jika lesi di atas
tingkat T10 (atas simpatik saraf otonom sistem persarafan kandung kemih).
Kapasitas kandung kemih adalah biasanya berkurang karena tonus detrusor tinggi
(neurogenic detrusor overaktif, atau detrusor hyperreflexia).
Hewan studi menunjukkan bahwa aktivasi reseptor M1 prejunctional
memfasilitasi keluarnya asetilkolin , pengeluaran yang berlebihan ini terjadi

13
karena neurotransmitter atas lesi neuron motorik mungkin menjadi mekanisme
yang neurogenic detrusor overaktif terjadi. Sebagai hipertonisitas kandung kemih
menghasilkan hipertrofi dari otot detrusor, kursus miring normal ureter melalui
dinding detrusor di ureterovesicular yang persimpangan dikompromikan untuk
memungkinkan vesicoureteral refluks. Jika tekanan detrusor melebihi / sphincter
kemih eksternal intern tekanan dalam uretra proksimal, maka inkontinensia
mungkin terjadi. Dalam jenis campuran A neurogenic bladder (lebih umum jenis
kandung kemih campuran), detrusor inti kerusakan merender detrusor lembek
(juga disebut sebagai detrusor arefleksia), sedangkan inti pudenda utuh adalah
kejang menghasilkan sphincter kemih eksternal hipertonik. Itu kandung kemih
besar dan memiliki tekanan rendah, sehingga kejang eksternal sphincter
menghasilkan retensi urin. Tekanan detrusor kerusakan saluran rendah sehingga
bagian atas urin dari vesicoureteral refluks tidak terjadi, dan inkontinensia jarang.
Campuran tipe B neurogenic bladder ditandai oleh sfingter kemih eksternal
lembek karena pudenda lesi inti sementara kandung kemih kejang karena
disinhibited inti detrusor. Dengan demikian, kapasitas kandung kemih adalah
tekanan rendah tetapi vesikular biasanya tidak meningkat sejak ada resistensi
outflow sedikit. Hal ini menyebabkan masalah dengan inkontinensia, namun.
Dalam rendah neuron motorik kandung kemih neurogenik, sakral yang pusat
berkemih atau saraf perifer terkait yang rusak meskipun toraks sistem saraf
simpatik outflow pada saluran kemih bagian bawah masih utuh. Kapasitas
kandung kemih besar karena nada detrusor rendah (detrusor arefleksia) dan
intern kemih sphincter persarafan utuh. Meskipun tekanan detrusor rendah,
inkontinensia urin melimpah dan Infeksi saluran kemih yang tidak biasa. Tipe lain
dari disfungsi kandung kemih pertama kali dijelaskan di penghuni panti jompo ,
disebut detrusor hiperaktif dengan gangguan kandung kemih kontraktilitas
( DHIC ) , di mana ada sering tapi lemah kontraksi detrusor involunter
menyebabkan
inkontinensia meskipun kandung kemih yang tidak lengkap mengosongkan.
DHIC dikaitkan dengan trabekulasi kandung kemih , lambatnya kecepatan

14
kontraksi kandung kemih, dan peningkatan volume residu urin setelah
membatalkan upaya .

3.4 Gejala ( Ropper and Brown, 2005; Rackley, 2009; Greenfield, 1997)

Gejala-gejala disfungsi Neurogenik bladder terdiri dari urgensi, frekuensi,


retensi dan inkontinens. Hiperrefleksi detrusor merupakan keadaan yang
mendasari timbulnya frekuensi, urgensi dan inkontinens sehingga kurang dapat
menilai lokasi kerusakan (localising value) karena hiperrefleksia detrusor dapat
timbul baik akibat kerusakan jaras dari suprapons maupun suprasakral. Retensi
urine dapat timbul sebagai akibat berbagai keadaan patologis. Pada pria adalah
penting untuk menyingkirkan kemungkinan kelainan urologis seperti hipertrofi
prostat atau striktur. Pada penderita dengan lesi neurologis antara pons dan
medulla spinalis bagian sakral, DDS dapat menimbulkan berbagai derajat
retensi meskipun pada umumnya hiperrefleksia detrusor yang lebih sering
timbul. Retensi dapat juga timbul akibat gangguan kontraksi detrusor seperti
pada lesi LMN. Retensi juga dapat timbul akibat kegagalan untuk memulai
refleks niksi seperti pada lesi susunan saraf pusat. Meskipun hanya sedikit
kasus dari lesi frontal dapat menimbulkan retensi, lesi pada pons juga dapat
menimbulkan gejala serupa. Inkontenensia urine dapat timbul akibat
hiperrefleksia detrusor pada lesi suprapons dan suprasakral. Ini sering
dihubungkan dengan frekuensi dan bila jaras sensorik masih utuh, akan timbul
sensasi urgensi. Lesi LMN dihubungkan dengan kelemahan sfingter yang dapat
bermanifestasi sebagai stress inkontinens dan ketidakmampuan dari kontraksi
detrusor yang mengakibatkan retensi kronik dengan overflow.7,8,10

3.5 Evaluasi dan Penatalaksanaan (Brunicardi, 2006; Ropper and Brown,


2005; Rackley, 2009; Greenfield, 1997; Waxman, 2010)

3.5.1 Evaluasi

15
Pendekatan sistematis untuk mengetahui masalah gangguan miksi selama
rehabilitasi pasien dengan cedera medula spinalis merupakan hal yang
penting karena penatalaksanaan yang baik sejak awal akan mencegah
komplikasi urologis dan kerusakan ginjal permanen. Pemeriksaan meliputi
penilaian saluran kencing bagian atas, penilaian pengosongan vesica
urinaria dan deteksi hiperrefleksia detrusor.
a. Penilaian saluran kencing bagian atas
Meskipun jarang didapatkan masalah pada saluran kencing bagian atas,
gangguan ginjal merupakan hal yang potensial mengancam penderita.
Penilaian ditujukan untuk menilai fungsi ginjal dandeteksi hidronefrosis.
Pemeriksaan radiologis harus meliputi urografi intravena dan voiding
cystourethrogram untuk menilai saluran bagian atas dan menyingkirkan
kemungkinan adanya refluks vesikoureteral.
b. Penilaian pengosongan vesica urinaria
Penilaian sisa urine dapat dilakukan dengan katerisasi pada saat
pertama pemeriksaan meupun dengan menggunakan USG. Residu urine
lebih dari 100 ml dikatakan bermakna.
c. Deteksi hiperrefleksia detrusor
Pemeriksaan CMG dan EMG dari sfingter uretral eksterna akan
membantu menentukan disfungsi neurogenik dan adanya suatu DDS yang
signifikan. Kontraksi abnormal dari otot detrusor dapat dideteksi dengan
baik denganmenggunakan filling cystometrogram (CMG). Pada orang
normal, kandung kencing dapat mengakomodasi pengisian vesica urinaria
bahkan pada kecepatan pengisian yang tinggi sedangkan pada penderita
dengan hiperrefleksia vesica urinaria, terjadi peningkatan tekanan yang
spontan pada pengisian.
d. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis harus meliputi pemeriksaan sensibilitas
perianal untuk mengetahui ada tidaknya sacral sparing. Adanya tonus anal,
reflex anal dan refleks bulbokavernosus hanya menandakan utuhnya konus
danlengkung refleks lokal. Didapatkannya kontraksi volunter sfingter anal

16
menunjukkan uthunya kontrol volunter dan pada kasus kuadriplegia, ini
menandakan lesi medula spinalis yang inkomplit. Pada lesi medulla
spinalis, dalam hari pertama sampai 3 atau 4 minggu berikutnya seluruh
refleks dalam pada tingkat di bawah lesi akan hilang. Hal ini biasanya
dihubungkan dengan fase syok spinal. Dalam periode ini, vesica urinaria
bersifat arefleksi danmemerlukan drainase periodik atau kontinu yang
cermat dan tes provokatif dengan menggunakan 4 oz air dingin steril suhu
4oC tidak akan menimbulkan aktifitas refleks vesica urinaria. Tes air es
dikatakan positif bila pengisian dengan air dingin segera diikuti dengan
pengeluaran air kateter dari vesica urinaria. Drainase vesica urinaria yang
adekuat selama fase syok spinal akan dapat mencegah timbulnya distensi
yang berlebih dan atoni dari vesica urinaria yang arefleksi.

3.5.2 Penatalaksanaan
Dasar dari penatalaksanaan dari disfungsi bladder adalah untuk
mempertahankan fungsi ginjal dan mengurangi gejala. Manajemen kondisi
kandung kemih neurogenik membutuhkan pendidikan pasien dan mungkin
termasuk intervensi seperti berkemih waktunya , ekspresi manual, obat ,
intermiten kateterisasi , kateter urin berdiamnya , dan kandung kemih dan / atau
uretra prosedur bedah .

a. Penatalaksanaan gangguan pengosongan bladder dapat dilakukan dengan


cara :
Stimulasi kontraksi detrusor, suprapubic tapping atau stimulasi
perianal
Kompresi eksternal dan penekanan abdomen, credes manoeuvre
Clean intermittent self-catheterisation
Indwelling urethral catheter
b. Penatalaksanaan hiperrefleksia detrusor
Bladder training (bladder drill)

17
Pengobatan oral, Propantheline, imipramine, oxybutinin
Obat Trisiklik antidepresan. Meskipun awalnya dikembangkan
untuk pengobatan depresi, signifikan mereka profil efek samping yang
merugikan telah membuat mereka lini kedua agen untuk indikasi itu.
Efek samping yang serius dari trisiklik antidepresan ada termasuk
sedasi, Orthostasis, dan blok konduksi jantung; obat ini harus sangat
digunakan dengan hati-hati pada orang yang lebih tua memiliki
neurogenic disfungsi kandung kemih. Trisiklik sebaiknya tidak
digunakan dalam menetapkan kehamilan. Antikolinergik efek samping
dari kelas ini obat telah digunakan untuk mengurangi nada kandung
kemih detrusor disfungsi kandung kemih neurogenik sebagai off-label
(non-FDA disetujui indikasi) digunakan. Imipramine tidak hanya
mengurangi nada kandung kemih melalui efek antikolinergik yang
kuat dan sifat antispasmodic tetapi juga meningkatkan kandung kemih
sphincter internal yang nada melalui -adrenergik efek agonis untuk
lebih memfasilitasi penyimpanan urin. Selain itu, imipramine
memiliki efek anestesi lokal pada mukosa kandung kemih, yang
selanjutnya dapat mengurangi kandung kemih kontraktilitas melalui
mekanisme refleks tulang belakang. Imipramine sehingga mungkin
berguna untuk mengurangi urgensi kemih dan frekuensi di disfungsi
kandung kemih tanpa hambatan. Amitriptyline memiliki (relatif)
kurang efek antikolinergik dari imipramine, namun itu adalah sama
efektif dalam mengurangi nada detrusor. Amitriptyline memiliki sifat
obat penenang yang kuat dan juga dapat membantu dalam pengobatan
kondisi nyeri neuropatik dan insomnia.

Obat Antikolinergik (antimuskarinik). Ini kelas obat mengurangi


refleks (disengaja) detrusor aktivitas dengan menghalangi transmisi
kolinergik di muscarinic reseptor dan merupakan pilihan lini pertama
untuk mengobati neurogenic detrusor overaktif (NDO). Meskipun
tersedia antikolinergik agen memiliki khasiat yang sama, obat ini

18
berbeda dalam hal efek samping dan tolerabilitas berdasarkan
muscarinic mereka selektivitas reseptor dan tingkat distribusi obat.
Antikolinergik obat yang mengikat M1, M2, dan M3 muscarinic
reseptor (nonselektif) memiliki efek samping lebih dari agen baru yang
lebih selektif untuk M2 dan / atau reseptor M3. Agen antikolinergik
nonselektif termasuk oxybutynin , tolterodin , dan trospium klorida .
Oxybutynin , yang itu obat pertama yang disetujui untuk mengobati
kandung kemih detrusor aktivitas yang berlebihan , tersedia dalam
pembebasan segera dan berkelanjutan sediaan oral serta transdermal dan
gel topikal formulasi .
Kolinergik Agonis . Urecholine adalah muscarinic sintetis agonis tanpa
efek nikotinat yang signifikan . bisa digunakan untuk mempromosikan
detrusor kontraksi campuran tipe A atau lebih rendah motorik lesi
neuron . Urecholine diberikan sekitar satu jam sebelum makan dan
sebelum tidur sebagai bagian dari program pelatihan kandung kemih
yang membatalkan upaya dan teknik sering pengguna ( Valsava atau
Crede ) dilakukan sebelum upaya kateterisasi intermiten dijadwalkan
setiap 6 jam . Sebagai agonis kolinergik , urecholine bisa menghasilkan
efek samping termasuk hipotensi , bradikardia , bronkokonstriksi , mual
/ muntah , kram perut , dan diare . Alpha - 2 adrenergik Agonis . Ini
kelas obat dapat digunakan dalam disfungsi kandung kemih neurogenik
ketika sfingter kemih internal kejang , yang terjadi dengan detrusor
sfingter dyssynergia motor neuron atas kandung kemih disfungsi . Alpha
- 2 agonis adrenergik menyebabkan presinaptik pengurangan kluarnya
norepinefrin di pusat dan terminal adrenergik perifer . Karena kemih
internal yang sfingter memiliki alpha - adrenergic persarafan ( lihat
Gambar 1 ) , agen ini dapat meningkatkan mengosongkan kandung
kemih dengan mengurangi Nada leher kandung kemih .
Alpha - 1 adrenergik antagonis . Alpha - 1 adrenergik antagonis
seperti dibenzyline , terazosin , tamsulosin , alfuzosin , dan doxazosin
menghasilkan perifer postsynaptic blokade reseptor alfa - adrenergik

19
pada leher kandung kemih dan uretra proksimal untuk mengurangi
resistensi aliran kemih . mereka efek vasodilatasi pada otot polos arteri
menghasilkan penurunan tekanan darah . Alpha - 1 adrenergik antagonis
profil efek samping obat yang mirip dengan alpha - 2 agonis adrenergik
seperti diuraikan di atas .
Benzodiazepin . Benzodiazepin seperti diazepam diyakini memberi efek
klinis mereka dengan mengikat di situs tertentu pada reseptor GABA - A
untuk mempotensiasi efek dari penghambatan neurotransmitter GABA (
gamma amino asam butirat ) . Mengikat Benzodiazepin di tulang
belakang dan situs supraspinal untuk mengurangi otot rangka, termasuk
sfingter kemih eksternal . Dengan demikian , diazepam telah digunakan
secara klinis untuk mengobati kekejangan sfingter eksternal dari neuron
motorik atas atau campuran tipe A kandung kemih neurogenik disfungsi.
Penurunan yang dihasilkan di dalam kandung kemih keluar resistensi
memungkinkan lebih lengkap kandung kemih pengosongan . Efek
samping benzodiazepin termasuk sedasi , delirium , depresi pernafasan ,
kelemahan otot , sembelit ,dan penglihatan kabur . Benzodiazepenes
dapat menghasilkan fisik dan ketergantungan psikologis juga.
GABA - B Agonis . Baclofen adalah yang paling umum. Obat yang
digunakan dari kelas ini secara klinis , dan diyakini untuk
mengerahkannya efek klinis melalui modulasi reseptor GABA - B pada

tingkat spinal dan supraspinal untuk mengurangi otot rangka nada .


Dengan demikian , seperti benzodiazepin , baclofen dapat digunakan
untuk mengobati eksternal sfingter kelenturan kemih di neurogenic
kondisi kandung kemih . Baclofen memiliki keunggulan klinis atas
benzodiazepin dalam hal ini karena tidak tampak menyebabkan setiap
kecenderungan ketergantungan psikologis .

c. Penatalaksanaa operatif

20
Tindakan operatif berguna pada penderita usia muda dengan kelainan
neurologis kongenital atau cedera medula spinalis.

3.5.3 Bladder training (Perkash, 1990; Lindsay, 1997; Brunicardi, 2006;


Rackley, 2009)
Adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi vesica urinaria yang
mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik
(UMN atau LMN), dapat dilakukan dengan pemeriksaan refleks-refleks:
a. Refleks otomatik
Refleks melalui saraf parasimpatis S2-3 dansimpatis T12-L1,2, yang
bergabung menjadi n.pelvikus. Tes untuk mengetahui refleks ini adalah tes air
es (ice water test). Test positif menunjukkan tipe UMN sedangkan bila negatif
(arefleksia) berarti tipe LMN.

b. Refleks somatic
Refleks melalui n.pudendalis S2-4. Tesnya berupa tes sfingter ani
eksternus dan tes refleks bulbokarvernosus. Jika tes-tes tersebut positif berarti
tipe UMN, sedangkan bila negatif berarti LMN atau tipe UMN fase syok spinal
Langkah-langkah Bladder Training :
1. Tentukan dahulu tipe vesica urinaria neurogeniknya apakah UMN atau
LMN
2. Rangsangan setiap waktu miksi
3. Kateterisasi :
a. Pemasangan indwelling cathether (IDC) = dauer cathether
IDC dapat dipasang dengan sistem kontinu ataupun penutupan
berkala (clamping). Dengan pemakaian kateter menetap ini, banyak
terjadi infeksi atau sepsis. Karena itu kateterisasi untuk bladder
training adalah kateterisasi berkala. Bila dipilh IDC, maka yang
dipilih adalah penutupan berkala oleh karena IDC yang kontinu
tidal fisiologis dimana vesica urinaria yang selalu kosong akan

21
mengakibatkan kehilangan potensi sensasi miksi serta terjadinya
atrofi serta penurunan tonus otot kaki.
b. Kateterisasi berkala
Keuntungan kateterisasi berkala antara lain :
Mencegah terjadinya tekanan intravesikal yang
tinggi/overdistensi yang mengakibatkan aliran darah ke mukosa
vesica urinaria dipertahankan seoptimal mungkin.
Vesica urinaria dapat terisi dan dikosongkan secara berkala
seakan-akan berfungsi normal.
Bila dilakukan secara dini pada penderita cedera medula spinalis,
maka penderita dapat melewati masa syok spinal secara fisiologis
sehingga fedback ke medula spinalis tetap terpelihara.
Teknik yang mudah dan penderita tidak terganggu kegiatan
sehariharinya
4. Penatalaksanaan gangguan fungsi miksi pada lesi medulla
a. Lesi kauda Ekuina
Penatalaksanaan pada pasien dengan lesi kauda ekuina memerlukan
perhatian khusus. Pada umumnya ditemukan vesica urinaria yang
arefleksi (nonkontraktil) dan miksi dilakukan dengan bantuan
manipulasi Crede atau Valsava. Lesi umumnya inkomplit atau tipe
campuran dan berpotensi untuk mengalami penyembuhan.
Pemeriksaan urodinamik mungkin menunjukkan sfingter uretral
eksternal yang utuh danps demikian dengan lesi suprakonus
mungkin mengalami kesulitan dalam miksi kecuali bila terdapat
tekanan intravesikal yang penuh yang dapat mengakibatkan
refluksi vesikoureteral. Pada pasien ini didapatkan kerusakan pada
persarafan parasimpatis dengan persarafan simpatis yang utuh atau
mengalami reinervasi dimana leher vesica urinaria mungkin tidak
dapat membuka dengan baik pada waktu miksi.
b. Sindroma Medula Spinalis Sentral

22
Neurogenic bladder akibat lesi inkomplit seperti lesi medula
spinalis sentral dapat diperbaiki pada lebih dari 50% pasien.
Disamping disfungsi neurologis yang berat dalam minggu-minggu
pertama, pemulihan fungsi vesica urinaria dapat terjadi terutama
karena serabut vesica urinaria terletak perifer pada medula spinalis.
Penatalaksanaan biasanya dgnkateterisasi intermiten danobat-
obatan. Keadaan inkontinens dapat ditimbulkan dengan reseksi
sfingter transuretral dini. DDS yang menetap, spastisitas yang berat
dan hidronefrosis merupakan indikasi untuk tindakan sfingtertomi
transuretral setalh mencoba penggunaan penghambat alfa,
antikolinergik dan pelemas otot skelet seperti baclofen.
Penatalaksanaan neurogenic bladder pada pasien wanita dengan
lesi medula spinalis (UMN) adalah sulit, namun penatalaksanaan
lesi konus dankauda (LMN) adalah mudah dengan menggunakan
maneuver Crede/Valsava. Kateterisasi intermiten dimulai setiap 4
sampai 6 jam dan dengan restriksi cairan sampai 1,5 liter perhari
pada umunya memerlukan kateterisasi 3 kali perhari . Pada lesi
suprakonus dengan vesica urinaria hiperrefleks, untuk mengurangi
inkontinens antara kateterisasi, dapat diberikan antikolinergik
seperti oxybutinin 1-2 kali 5 mg perhari. Iritabilitas vesica urinaria
meningkat dengan adanya infeksi sehingga pengobatan infeksi
adalah penting. Profilaksis jangka panjang untuk infeksi saluran
kencing sangat direkomendasikan. Pasien dilatih untuk
mengosongkan vesica urinaria dengan menggunakan suprapubic
tapping dan manuver Valsava secara periodik. Kegagalan dalam
kateterisasi berkala biasanya memerlukan tindakan indwelling
cathether jangka panjang. Tindakan bedah saraf seperti blok radis
sakral dapat diindikasikan untuk mengubah keadaan reflex
(contractile) bladder menjadi keadaan areflexic bladder yang
penatalaksanaannya lebih mudah dengan tindakan Crede/Valsava.

23
Implant radix sakral untuk merangsang miksi baru dicoba pada
pasien paraplegi dengan contactile bladder.

24
BAB IV
PENUTUP

Neurogenic bladder adalah suatu disfungsi kandung kemih akibat


kerusakan sistem saraf pusat atau saraf tepi yang terlibat dalam pengendalian
berkemih. Keadaan ini bisa berupa kandung kemih tidak mampu berkontraksi
dengan baik untuk miksi (underactive bladder) maupun kandung kemih terlalu
aktif dan melakukan pengosongan kandung kemih berdasar refleks yang tak
terkendali (overactive bladder) (Rackley, 2009; Waxman, 2010).
Gejala-gejala disfungsi Neurogenik bladder terdiri dari urgensi, frekuensi,
retensi dan inkontinens. Hiperrefleksi detrusor merupakan keadaan yang
mendasari timbulnya frekuensi, urgensi dan inkontinens sehingga kurang dapat
menilai lokasi kerusakan (localising value) karena hiperrefleksia detrusor dapat
timbul baik akibat kerusakan jaras dari suprapons maupun suprasakral. Retensi
urine dapat timbul sebagai akibat berbagai keadaan patologis. Retensi dapat juga
timbul akibat gangguan kontraksi detrusor seperti pada lesi LMN. Retensi juga
dapat timbul akibat kegagalan untuk memulai refleks niksi seperti pada lesi
susunan saraf pusat. Inkontenensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia
detrusor pada lesi suprapons dan suprasakral.
Bladder Training atau latihan bladder adalah salah satu upaya
mengembalikan fungsi bladder yang mengalami gangguan, ke keadaan normal
atau ke fungsi optimalnya sesuai dengan kondisi.

DAFTAR PUSTAKA

25
1. Faiz and Moffat. At a Glance ANATOMI. Jakarta: Erlangga, 2004.

2. Snell, RS. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6.


Jakarta : EGC, 2006.

3. Waxman, Stephan G. A Lange Medical Book Clinical Neuroanatomi


Twenty-Sixth Edition. New York: McGraw-Hill, 2010.

4. Benevento B.T. and Marca L. Sipski..Neurogenic Bladder, Neurogenic


Bowel, and Sexual Dysfunction in People With Spinal Cord Injury. Phys
Ther. 2002; 82 (6): 601-612.

5. Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC,
2007.

6. Sheerwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta: EGC,


2001.

7. Rackley R. Neurogenic Bladder. Medscape reference. In :


http://emedicine.medscape.com/article/453539-overview#a7 (Diakses 15
Agustus 2014).

8. Ropper, Allan H and Brown Robert H. Adams and Victors Principles of


Neurology Eighth Edition. New York: McGraw-Hill, 2005.

9. Fowler CJ. Neurogenic bladder dysfunction and its management, In


Greenwood R et al. Neurological rehabilitation. New York: Churchil
Livingstone, 1993.

10. Greenfield, et al. Essentials of Surgery: Scientific Principles and Practice


2nd Edition. New York: McGraw-Hill, 1997.

26
11. Luthfie S.H. Penatalaksanaan Rehabilitasi Neurogenic Bladder. CDK
2008; 65(6): 337-41.

27

Anda mungkin juga menyukai