671 729 1 PB PDF

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 5

Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan

Kortikosteroid dalam Tata Laksana Uveitis:


Mekanisme Kerja, Aplikasi Klinis,
dan Efek Samping

Ratna Sitompul

Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Abstrak: Ocular inflammatory disease (OID) mencakup berbagai keadaan kelainan mata yang
disebabkan oleh inflamasi, infeksi, atau keduanya. Uveitis merupakan kasus terbanyak OID.
Efek anti-inflamasi dengan spektrum yang luas menyebabkan kortikosteroid umum digunakan
pada tata laksana uveitis. Mekanisme kerja kortikosteroid dalam menekan reaksi inflamasi
pada uveitis bersifat tidak spesifik dan terjadi melalui mekanisme genomik dan non-genomik.
Meskipun efektif dalam mengatasi peradangan akut, efek kortikosteroid tidak bertahan lama
dan menyebabkan resistensi atau rekurensi pada terapi jangka panjang. Efek samping
kortikosteroid, baik topikal maupun sistemik, membatasi penggunaan jangka panjang.
Pemberian kortikosteroid harus selalu mempertimbangkan manfaat dan risiko efek samping
terapi (risk-benefit ratio). J Indon Med Assoc. 2011;61: 265-9.
Kata kunci: kortikosteroid, uveitis, resistensi

Corticosteroid in Uveitis Management:


Mechanism of Action, Clinical Application and Side Effects

Ratna Sitompul

Department of Ophthalmology, Faculty of Medicine Universitas Indonesia, Jakarta

Abstract: OID comprises of a range of eye disorders that may result from inflammation, infection
or both. The majority of OID cases are uveitis. The broad-spectrum anti-inflammatory effects of
corticosteroid are responsible for its common use in uveitis. The mechanism of action in uveitis is
unspecific either through genomic and non-genomic molecular mechanisms. Although effective in
suppressing acute inflammation, resistance and recurrence are frequently observed at long-term
use of corticosteroid. However, both topical and systemic side effects of corticosteroid hinder its
use. Risk-benefit ratio should be considered before prescribing corticosteroid for any cases. J
Indon Med Assoc. 2011;61: 265-9.
Keywords: corticosteroid, uveitis, resistance

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 6, Juni 2011 265


Kortikosteroid dalam Tata Laksana Uveitis: Mekanisme Kerja, Aplikasi Klinis, dan Efek Samping

Pendahuluan berperanan dalam patogenesis uveitis adalah makrofag dan


Ocular inflammatory disease (OID) mencakup berbagai sel T. Makrofag sangat berperanan dalam respons imun di
keadaan kelainan mata yang disebabkan oleh inflamasi, mata, yaitu membunuh patogen asing secara langsung,
infeksi atau keduanya.1 Uveitis menempati proporsi terbesar mengaktivasi sistem imun melalui presentasi antigen, dan
dalam OID karena jaringan uvea berfungsi sebagai jalan mensekresi sitokin inflamasi interferon- (IFN- ), TNF-,
masuk sel imunokompeten, terutama limfosit ke dalam mata.2 serta interleukin-1 (IL-1). Sel T, terutama CD-4 (T helper),
Efek anti-inflamasi berspektrum luas menyebabkan korti- paling umum ditemukan dalam jaringan mata penderita uvei-
kosteroid digunakan pada tata laksana sebagian besar kasus tis akibat sarkoidosis, sindrom Vogt-Koyanagi-Harada (VKH)
uveitis.3,4 Oleh sebab itu, terapi kortikosteroid pada uveitis dan intermediate uveitis.10,11
merupakan titik berat pembahasan selanjutnya. Stimulasi sel T helper menyebabkan peningkatan
produksi sitokin IFN-, TNF- dan IL-2 oleh T helper-1 (Th1)
Mekanisme Kerja Kortikosteroid sebagai Anti-inflamasi serta IL-4,IL-5,IL-10,IL-13 oleh T helper-2 (Th2).11 Peranan
Kortikosteroid merupakan anti-inflamasi yang identik sitokin dalam patogenesis uveitis dibuktikan dengan
dengan kortisol, hormon steroid alami pada manusia yang peningkatan reseptor IL-2, reseptor TNF-, dan TNF- di
disintesis dan disekresi oleh korteks adrenal.1 Efek anti- serum dan cairan aqueous penderita uveitis. Profil pening-
inflamasi kortikosteroid mempengaruhi berbagai sel imuno- katan sitokin ditemukan bervariasi pada penderita uveitis.
kompeten seperti sel T, makrofag, sel dendritik, eosinofil, Peningkatan TNF- lebih menonjol di cairan aqueous
neutrofil, dan sel mast, yaitu dengan menghambat respons penderita uveitis HLA-B27 positif. Pada penderita uveitis
inflamasi dan menyebabkan apoptosis berbagai sel tersebut.5 terkait sindrom chronic infantile neurological cutaneous
Kerja kortikosteroid menekan reaksi inflamasi pada articular (CINCA), peningkatan IL-1 yang lebih sering
tingkat molekuler terjadi melalui mekanisme genomik dan non- ditemukan.10
genomik. Glukokortikoid (GK) berdifusi pasif dan berikatan Mekanisme kerja kortikosteroid pada uveitis bersifat
dengan reseptor glukokortikoid (RG) di sitosol. Ikatan GK- tidak spesifik.12,13 Kortikosteroid menurunkan respons imun
RG mengakibatkan translokasi kompleks tersebut ke inti sel seluler (sel T dan makrofag) dan menghambat transkripsi
untuk berikatan dengan sekuens DNA spesifik, yaitu gluco- mediator pro-inflamasi yang berperanan dalam uveitis (IFN-
corticoid response elements (GRE). Ikatan GK-RG dengan , TNF-, IL-1, dan IL-2) melalui mekanisme genomik dan
DNA mengakibatkan aktivasi atau supresi proses transkripsi. non-genomik. Pemberian kortikosteroid juga menurunkan
Mekanisme non-genomik GK terjadi melalui aktivasi endot- permeabilitas pembuluh darah, menstabilkan blood-aqueous
helial nitric oxide synthetase (eNOS) yang menyebabkan barrier, mengurangi eksudasi fibrinoid, dan menghambat
lebih banyak pelepasan nitric oxide (NO), suatu mediator diferensiasi fibroblast, proliferasi epitel, serta neovaskularisasi
anti-inflamasi.3,6 kornea. Akan tetapi, bagaimana mekanisme molekuler yang
Imunosupresi secara genomik terjadi melalui aktivasi mendasari efek tersebut belum diketahui secara mendalam.13
annexin-1 (lipocortin-1) dan mitogen-activated protein- Pada inflamasi intraokuler, terjadi kolaps blood-aque-
kinase (MAPK) phosphatase 1. Selain itu, GK juga me- ous barrier dan blood-retina barrier sehingga dengan
ningkatkan transkripsi gen anti-inflamasi secretory leuko- mudah eksudat mencapai ruang intraokular. Kortikosteroid
protease inhibitor (SLPI) interleukin-10 (IL-10) dan inhibi- mampu mengembalikan permeabilitas selektif pembuluh darah
tor nuclear factor-B (IB-). Annexin-1 menghambat sehingga eksudat tidak memasuki ruang intraokular. Selain
pelepasan asam arakhidonat sehingga produksi mediator itu, kortikosteroid menstabilkan vakuol lisosom pada leukosit
inflamasi menurun (prostaglandin, tromboksan, prostasiklin, sehingga terjadi penghambatan pelepasan enzim proteolitik
dan leukotrien). 5,7 Kerja enzim MAPK phosphatase 1 yang dapat merusak jaringan mata.13
menyebabkan MAPK 1 tidak aktif sehingga aktivasi sel T,
Aplikasi Klinis Kortikosteroid pada Uveitis
sel dendritik, dan makrofag terhambat.3
Mekanisme genomik lain berupa inhibisi faktor Terdapat beberapa jalur pemberian kortikosteroid dalam
transkripsi yang berperan dalam produksi mediator inflamasi, tata laksana uveitis, yaitu topikal, periokular, sistemik, dan
yaitu nuclear factor-B (NF-B) dan activator protein-1 intravitreal. Kortikosteroid topikal merupakan pilihan utama
(AP-1).4,5 NF-B dan AP-1 mengatur ekspresi gen sitokin, pada peradangan mata segmen anterior. Terapi kortikosteroid
inflammatory enzymes, protein dan reseptor yang berperanan sistemik digunakan pada kasus uveitis yang berkaitan dengan
dalam inflamasi (IFN-, TNF-, dan IL-1). Penghambatan ke- penyakit sistemik, seperti Wegeners granulomatosis.14 Secara
duanya akan menurunkan produksi mediator inflamasi.3,5,7-9 umum, kortikosteroid lebih efektif dalam mengatasi pera-
dangan akut ketimbang peradangan kronik.2,13
Mekanisme Kerja Kortikosteroid pada Uveitis Kortikosteroid topikal dalam bentuk tetes mata meru-
Hasil pemeriksaan histopatologik menunjukkan bahwa pakan terapi awal yang umum digunakan pada uveitis ante-
sel imunokompeten, sitokin, dan mediator inflamasi terlibat rior derajat ringan.14 Kortikosteroid akan mencapai aqueous
dalam patogenesis uveitis. Sel imunokompeten utama yang humour dalam waktu lima sampai 30 menit setelah pem-

266 J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 6, Juni 2011


Kortikosteroid dalam Tata Laksana Uveitis: Mekanisme Kerja, Aplikasi Klinis, dan Efek Samping

berian.15 Meskipun memiliki risiko efek samping sistemik yang Meskipun digunakan sebagai terapi lini pertama pada
lebih rendah, penggunaan kortikosteroid topikal jangka sebagian besar kasus uveitis, kortikosteroid tidak diindi-
panjang tidak dianjurkan. Katarak dan glaukoma merupakan kasikan pada beberapa kondisi. Kondisi tersebut adalah pa-
dua efek samping yang paling sering ditemukan. Pemberian sien uveitis tidak responsif terhadap pemberian kortikosteroid,
kortikosteroid topikal harus dihentikan secara tapering off tidak dapat menghadapi efek samping kortikosteroid, atau
untuk mencegah rebound phenomenon.16 memiliki kontraindikasi pemberian kortikosteroid.13,14
Injeksi kortikosteroid periokuler digunakan pada uvei-
tis posterior yang umumnya tidak responsif terhadap Resistensi dan Efek Samping pada Penggunaan Korti-
pemberian kortikosteroid topikal.14 Injeksi dapat dilakukan kosteroid Jangka Panjang
di septum periorbita, subtenon, atau subkonjungtiva. Injeksi Meskipun efektif dalam mengatasi peradangan akut,
kortikosteroid periokuler menghasilkan depot yang dapat efek kortikosteroid seringkali tidak bertahan lama bahkan
mempertahankan efek terapeutik selama jangka waktu menyebabkan resistensi atau rekurensi dalam perjalanan
tertentu. Meskipun memiliki risiko efek samping sistemik terapi jangka panjang. Selain itu, efek samping kortikosteroid
rendah, injeksi kortikosteroid periokuler merupakan tindakan baik topikal maupun sistemik membatasi penggunaan jangka
invasif sehingga perlu dilakukan pertimbangan risk-benefit panjang.
ratio.14,16 Salah satu teori menyatakan bahwa resistensi terhadap
Uveitis yang refrakter terhadap pemberian kortikos- kortikosteroid disebabkan oleh limfosit yang mengekspresikan
teroid topikal maupun periokuler merupakan indikasi reseptor IL-2 (CD25). IL-2 menyebabkan penurunan afinitas
pemberian kortikosteroid sistemik (oral atau intravena). Salah kortikosteroid terhadap reseptor. IL-2 menghambat trans-
satu indikasi pemberian kortikosteroid oral adalah interme- lokasi kortikosteroid ke inti sel melalui signal transducer and
diate uveitis yang umumnya menunjukkan gambaran klinis activator of transcription 5 (STAT-5). Selain itu, IL-2 juga
inflamasi kronik persisten. Pada intermediate uveitis, tujuan menghambat kemampuan kortikosteroid dalam inhibisi
terapi tidak hanya untuk mengatasi inflamasi melainkan untuk proliferasi sel T.4,18 Studi yang mendukung hal tersebut
mencegah kebutaan yang mungkin timbul akibat cystoids dilakukan Leung et al19 yang menyatakan bahwa ekspresi
macular edema (CME).13,14 mRNA IL-2 pada sampel bronchoalveolar lavage pasien
Umumnya dosis kortikosteroid oral 1 mg/kgBB/hari asma yang resisten terhadap steroid lebih tinggi secara
diberikan untuk segera mengatasi peradangan di awal terapi. bermakna dibandingkan pada sampel dari pasien asma yang
Dosis tersebut diberikan selama 2-4 minggu kemudian sensitif terhadap steroid.
diturunkan secara bertahap.13 Penghentian pemberian korti- Peningkatan kadar RG, salah satu isoform RG,
kosteroid oral tanpa tapering off dapat mengakibatkan krisis merupakan penyebab lain timbulnya resistensi terhadap
adrenal dan rekurensi inflamasi pada penderita. Pemberian kortikosteroid. Ekspresi RG diinduksi oleh sitokin proinfla-
kortikosteroid IV dapat dipertimbangkan pada peradangan masi dan bersifat sebagai dominant-negative inhibitor bagi
derajat sedang-berat yang mengancam penglihatan (sight kompleks GK-RG untuk berikatan dengan GRE. Studi terhadap
threatening). Terapi dapat dimulai dengan metilprednisolon pengaruh peningkatan kadar RG terhadap timbulnya
1 g IV selama tiga hari dan dilanjutkan dengan pemberian resistensi kortikosteroid menunjukkan hasil yang bervariasi
kortikosteroid oral 1 mg/kgBB/hari.10 Pemberian kortikos- dan memerlukan penelitian lebih lanjut.4
teroid secara oral atau intravena memiliki keterbatasan Histone deacetylase-2 (HDAC-2) diperlukan dalam
penetrasi intraokuler. Kadar terapeutik tercapai dalam waktu proses inaktivasi gen inflamasi oleh kortikosteroid. Penurunan
4-10 jam setelah pemberian deksametason 7,5 mg per oral aktivitas dan ekspresi HDAC-2 menurunkan respons pasien
dan 6 jam setelah pemberian metilprednisolon 500 mg IV. terhadap pemberian kortikosteroid. Kadar HDAC-2 ditemukan
Keterbatasan tersebut menyebabkan pemberian kortikos- sangat rendah pada makrofag alveolar, saluran napas dan
teroid sistemik terutama dipertimbangkan apabila peradangan jaringan perifer paru penderita asma yang resisten terhadap
pada mata merupakan bagian dari peradangan sistemik.17 kortikosteroid.4
Injeksi kortikosteroid intravitreal dipertimbangkan pada IL-10 merupakan sitokin anti-inflamasi dan imuno-regu-
peradangan derajat berat. Kortikosteroid pada vitreous lator penting yang dihasilkan oleh sel T regulator (Treg).
bermanfaat untuk mengatasi edema makula yang disebabkan Kegagalan sel Treg untuk mensekresi IL-10 ditemukan pada
oleh uveitis posterior. Efek terapeutik kortikosteroid akan penderita asma yang resisten terhadap kortikosteroid.4
bertahan selama tiga hingga enam bulan. Injeksi intravitreal Efek samping kortikosteroid amat banyak dan dapat
berhubungan dengan risiko efek samping sistemik yang terjadi pada setiap cara pemberian.6,20 Oleh sebab itu, korti-
rendah. Akan tetapi, angka kejadian katarak dan peningkatan kosteroid hanya diberikan apabila manfaat terapi melebihi
tekanan intraokuler lebih tinggi pada injeksi intravitreal risiko efek samping yang akan terjadi (risk-benefit ratio).
dibandingkan dengan pada pemberian oral atau IV. Risiko Dosis dan lama terapi dengan kortikosteroid bersifat indi-
endoftalmitis dan ablasio retina juga lebih tinggi pada injeksi vidual. Pemberian kortikosteroid dianjurkan untuk dimulai dari
intravitreal ketimbang injeksi periokuler.16 dosis tinggi kemudian diturunkan secara perlahan menurut

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 6, Juni 2011 267


Kortikosteroid dalam Tata Laksana Uveitis: Mekanisme Kerja, Aplikasi Klinis, dan Efek Samping

tanda klinis inflamasi. Apabila kortikosteroid digunakan sistemik jangka panjang.15 Kortikosteroid menyebabkan
selama lebih dari 2-3 minggu, penghentiannya harus dilakukan hiperglikemia melalui peningkatan glukoneogenesis hati dan
secara bertahap (tapering off).20 penurunan ambilan glukosa oleh jaringan perifer. Korti-
kosteroid juga meningkatkan resistensi insulin melalui
Glaukoma sebagai Komplikasi Penggunaan Steroid penurunan kemampuan adiposa dan hepatosit untuk
Pada beberapa pasien, kortikosteroid topikal menye- berikatan dengan insulin. Hiperglikemia terkait pemberian
babkan peningkatan tekanan intraokuler (TIO) yang disebut kortikosteroid bersifat reversibel, gula darah akan kembali
sebagai corticosteroid-induced ocular hypertension. normal setelah penghentian kortikosteroid.23,24 Pasien yang
Apabila peningkatan TIO tersebut menetap dan menye- menerima kortikosteroid oral memiliki risiko 2,23 lebih besar
babkan gangguan lapang pandang serta kerusakan saraf untuk mengalami hiperglikemia. Selain itu, suatu meta-analisis
penglihatan, maka terjadi corticosteroid-induced glaucoma. menunjukkan bahwa diabetes ditemukan empat kali lebih
Corticosteroid-induced ocular hypertension terjadi dalam sering pada kelompok yang menerima kortikosteroid di
waktu beberapa minggu setelah pemberian kortikosteroid bandingkan plasebo.24
potensi kuat atau beberapa bulan setelah pemberian korti- Kortikosteroid menyebabkan penurunan kadar kalsium
kosteroid potensi lemah. Potensi dan konsentrasi sediaan darah melalui penghambatan absorbsi kalsium oleh usus
kortikosteroid topikal berbanding lurus dengan kemam- halus dan peningkatan ekskresi kalsium di urin. Kadar kalsium
puan mencetuskan corticosteroid-induced ocular hyper- darah yang rendah menstimulasi sekresi hormon paratiroid
tension dan corticosteroid-induced glaucoma.15,17 sehingga terjadi peningkatan aktivitas osteoklas dan absorbsi
Kortikosteroid menyebabkan perubahan morfologi dan tulang. Hal itu ditujukan untuk memperbaiki keseimbangan
biokimia di jaringan trabekular. Kortikosteroid mempengaruhi kalsium serum, namun menyebabkan penurunan densitas
proliferasi, fagositosis serta bentuk dan ukuran sel pada tulang.23 Kecepatan penurunan densitas tulang lebih tinggi
jaringan trabekular. Selain itu, kortikosteroid menyebabkan pada enam bulan pertama terapi (sebesar 10%) dan menurun
penumpukan materi ekstraseluler melalui induksi proliferasi setelahnya (2-5% per tahun).24 Kortikosteroid juga meng-
apparatus Golgi, peningkatan jumlah retikulum endoplasma, hambat aktivitas osteoblas dan menginduksi apoptosis
dan peningkatan jumlah vesikel sekretorik. Kortikosteroid osteoblas serta osteosit sehingga terjadi osteoporosis.23 Os-
juga meningkatkan sintesis fibronektin, laminin, kolagen, dan teoporosis terutama terjadi pada pasien yang menerima
elastin. Struktur aktin sitoskeleton jaringan trabekular kortikosteroid dengan dosis yang setara denagn prednison
mengalami reorganisasi menjadi cross-linked actin networks >5 mg/hari. Oleh sebab itu, pengukuran densitas tulang
(CLANs). Seluruh perubahan morfologi dan biokimia pada dianjurkan untuk pasien yang akan menerima kortikosteroid
jaringan trabekular menyebabkan gangguan aliran cairan dengan dosis ekuivalen prednison > 7,5 mg/hari selama lebih
aqueous. Gangguan tersebut mengakibatkan peningkatan dari 1-3 bulan.24
TIO pada corticosteroid-induced glaucoma.12 Selain osteoporosis, efek samping lain yang sering
ditemukan adalah nekrosis avaskular, terutama pada kaput
Katarak sebagai Komplikasi Penggunaan Steroid tulang femur. Nekrosis avaskular disebabkan oleh pem-
Corticosteroid-induced subcapsular cataract adalah bentukan emboli pembuluh darah, hiperviskositas darah dan
efek samping lain yang sering ditemukan pada penggunaan pelepasan faktor sitotoksik yang mengganggu perfusi tulang
kortikosteroid topikal jangka panjang. Penyebab timbulnya dan menyebabkan terjadinya osteonekrosis.23 Studi oleh
katarak adalah ikatan kovalen antara steroid dan protein lensa Wong et al.25 mendapatkan osteonekrosis pada 4 dari 1 352
yang menyebabkan oksidasi protein struktural. Risiko pasien (0,03%) yang menerima prednison dengan dosis
terjadinya katarak berbanding lurus dengan lama peng- kumulatif 673 mg selama 20 hari.
gunaan kortikosteroid topikal.15,17 Peningkatan volume plasma terjadi melalui ikatan antara
Patofisiologi posterior subcapsular cataract (PSC) kortikosteroid dengan reseptor pada sel epitel renal distal
akibat kortikosteroid antara lain melalui pembentukan ikatan tubular. Ikatan tersebut menyebabkan peningkatan re-
kovalen antara kortikosteroid dengan residu lisin pada lensa absorbsi natrium dan retensi cairan sehingga volume plasma
dan penurunan kadar anti-oksidan asam askorbat dalam bertambah dan meningkatkan tekanan darah. Hipertensi
cairan aqueous.13,21,22 Ikatan kovalen tersebut mengakibatkan akibat pemberian kortikosteroid bergantung pada dosis dan
terjadinya kekeruhan lensa pada katarak. Selain itu, korti- lama pemberian.23 Hipertensi umumnya ditemukan pada
kosteroid menghambat pompa Na-K pada lensa sehingga pasien yang menerima kortikosteroid dengan dosis ekuivalen
terjadi akumulasi cairan dan koagulasi protein lensa yang prednison >20 mg/hari.24
menyebabkan kekeruhan lensa.23
Penutup
Efek Samping Kortikosteroid Sistemik Kortikosteroid merupakan anti-inflamasi yang efektif
Trias efek samping, yaitu hiperglikemia, osteoporosis, mengatasi peradangan akut. Efek anti-inflamasi kortikosteroid
dan hipertensi, membatasi penggunaan kortikosteroid yang berspektrum luas menyebabkan obat ini banyak

268 J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 6, Juni 2011


Kortikosteroid dalam Tata Laksana Uveitis: Mekanisme Kerja, Aplikasi Klinis, dan Efek Samping

digunakan dalam berbagai penyakit, termasuk OID. 10. Yeh S, Li Z, Nussenblatt RB. Immunologic mechanism of uveitis.
Pertimbangan pemberian kortikosteroid harus dilakukan sejak In: Levin LA, Albert DM, editor: Ocular disease: mechanisms and
management. USA: Saunders; 2010. p. 618-27.
awal terapi, terutama menyangkut cara pemberian, dosis, dan 11. Boyd SR, Young S, Lightman S. Immunopathology of the nonin-
lama pemberian. Ketiga hal tersebut sangat mempengaruhi fectious posterior and intermediate uveitis. Surv Ophthalmol.
risiko terjadinya resistensi dan efek samping kortikosteroid. 2001;46(3):209-33.
Efek samping kortikosteroid beraneka ragam dan dapat terjadi 12. Clark AF, Zhang Y, Yorio T. Steroid-induced glaucoma. In: Levin
LA, Albert DM, editor. Ocular disease: mechanisms and manage-
pada setiap cara pemberian. Oleh sebab itu, kortikosteroid ment. USA: Saunders; 2010. p. 146-52.
sebaiknya hanya diberikan atas dasar indikasi yang sesuai 13. Sherif Z, Pleyer U. Corticosteroids in ophthalmology: past,
dengan mengutamakan risk-benefit ratio dan keselamatan present, future. Ophthalmologica. 2002;216:305-15.
pasien. 14. Gelder RNV. Posterior segment uveitis. In: Yorio T, Clark AF,
Wax MB, editor. Ocular therapeutics: eye on new discoveries.
USA: Elsevier; 2008. p. 301-15.
Ucapan Terima Kasih 15. McGhee CNJ, Dean S, Meyer HD. Locally administered ocular
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. corticosteroid: benefits and risks. Drug Safety. 2002;(1):33-55.
16. Lee FF, Foster CS. Pharmacotherapy of uveitis. Expert Opin
Anastasia Yoveline Joyo dan dr. Martin Hertanto atas
Pharmacother. 2010;11(7):1135-46.
bantuannya dalam pencarian literatur dan penyusunan artikel 17. Gaudio PA. A review of evidence guiding the use of corticoster-
ini. oids in the treatment of intraocular inflammation. Ocular Immu-
nology and Inflammation. 2004;12(3):169-92.
Daftar Pustaka 18. Lee RWJ, Schewitz LP, Raveney BJE, Dick AD. Steroid sensitiv-
ity in uveitis. In: Pleyer U, Forrester JV, editor. Essentials in
1. Levinson RD. Immunogenetics of ocular inflammatory disease. ophthalmology. Berlin: Springer; 2009. p. 45-54.
Tissue Antigens. 2007;69:105-12. 19. Leung DY, Martin RJ, Szefler SJ, Sher ER, Ying S, Kay AB, et al.
2. Pras E, Neumann R, Goddard GZ, Levy Y, Assia EI, Shoenfeld Y, Dysregulation of interleukin 4, interleukin 5, and interferon
et al. Intraocular inflammation in autoimmune diseases. Semin gamma gene expression in steroid-resistant asthma. J Exp
Arthritis Rheum. 2004;34:602-9. Med.1995;181:33-40.
3. Lee RWJ, Schewitz LP, Raveney BJE, Dick AD. Steroid sensitiv- 20. American Academy of Ophthalmology. Intraocular inflamma-
ity in uveitis. In: Pleyer U, Forrester JV, editor. Essentials in tion and uveitis; 2007.
ophthalmology. German: Springer; 2009. p. 45-54. 21. Black RL, Oglesby RB, Von Sallmann L, Bunim JJ. Posterior
4. Barnes PJ. Mechanisms and resistance in glucocorticoid control subcapsular cataracts induced by corticosteroids in patients with
of inflammation. J Steroid Bioche Mol Biol. 2010;120:76-85. rheumatoid arthritis. JAMA. 1960;174:166-71.
5. Smoak KA, Cidloski JA. Glucocorticoid signaling in health and 22. Samadi A. Steroid-induced cataract. In: Levin LA, Albert DM,
disease. The Hypothalamus-Pituitary-Adrenal Axis. 2008;33- editor. Ocular disease: mechanisms and management. USA:
53. Saunders; 2010. p. 250-7.
6. Baschant U, Tuckermann J. The role of the glucocorticoid re- 23. Poetker DM, Reh DD. A comprehensive review of the adverse
ceptor in inflammation and immunity. J Steroid Bioche Mol effects of systemic corticosteroid. Otolaryngol Clin N Am.
Biol. 2010;120:69-75. 2010;43:753-68.
7. Barnes PJ. How corticosteroids control inflammation: Quintiles 24. Fardet L, Kassar A, Cabane J, Flahault A. Corticosteroid-induced
Prize Lecture 2005. Br J Pharmacol. 2006;148:245-54. adverse events in adults: frequency, screening, and prevention.
8. Rhen T, Cidlowski JA. Antiinflammatory action of glucocorti- Drug Safety. 2007;30(10):861-81.
coids-new mechanisms for old drugs. N Engl J Med. 2005;353: 25. Wong GK, Poon WS, Chiu KH. Steroid-induced avascular necro-
1711-23. sis of the hip in neurosurgical patients: epidemiological study.
9. Smoak KA, Cidlowski JA. Mechanisms of glucocorticoid recep- ANZ J Surg. 2005;75:409-10.
tor signaling during inflammation. Mec Ageing Dev. 2004;
125:697-706. MS

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 6, Juni 2011 269

Anda mungkin juga menyukai