Makalah Kontra Poligami
Makalah Kontra Poligami
KONTRA POLIGAMI
oleh :
Oky Septiawan (115010100111145)
Vega Rezaldi (115010100111133)
Aditya Wardhana (115010107111102)
Rifmi Ramdhani (115010107111106)
M. Agung D. (11501071110098)
M. Arie Herdianto (115010100111124)
Aliet Arvitto (115010107111104)
Yanels Garsione D. (115010107111103)
Syahriza Alkohir (115010107111095)
Affina Niken A. (115010100111137)
Adek Nurrahman A. (115010107111115)
Puji syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan
rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan Tugas Hukum Perdata yang
berjudul Kontra Poligami .
Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Sihabudin, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum
2. Bapak M. Hamidi Masykur, S.H., M.Kn. selaku Dosen Hukum Perdata
3. Keluarga yang telah memberi dorongan moril dan materiil dalam penyelesaian tugas
makalah ini.
4. dan segenap rekan-rekan yang telah banyak membantu.
Makalah ini memuat tentang penjelasan dan penjabaran mengenai Kontra Poligami
terutama di negara Indonesia saat ini. Semoga dengan adanya makalah ini dapat memberikan
gambaran dan wawasan yang luas bagi para pembaca.
Penulis merasa masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini.
Oleh karena itu, penulis mengundang para pembaca untuk mengkritik dan memberikan
pendapat serta saran kepada penulis. Atas perhatian para pembaca, kami mengucapkan terima
kasih.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
Poligami berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan kata poli dan
polus yang artinya banyak, dan kata gamein atau gamos, yang artinya kawin atau
perkawinan.. Poligami adalah perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari satu wanita
atau perkawinan yang banyak atau pemahaman tentang seorang laki-laki yang membagi kasih
sayangnya atau cintanya dengan beberapa wanita dengan menyunting atau menikahi wanita
lebih dari satu dan hal ini dapat mengundang persepsi setiap orang baik negatif atau positif
tentang baik buruknya moral sesorang yang melakukan poligami.
Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari
satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan). Hal ini berlawanan
dengan praktik monogami yang hanya memiliki satu suami atau istri. Walaupun
diperbolehkan dalam beberapa kebudayaan, poligami ditentang oleh sebagian kalangan.
Terutama kaum feminis menentang poligini, karena mereka menganggap poligini sebagai
bentuk penindasan kepada kaum wanita.
Poligami dapat membedakan atas dua definisi yaitu, poligami yang artinya seseorang
laki-laki menikah dengan banyak wanita dan poliandri yang artinya seorang wanita menikah
dengan banyak laki-laki. Kemudian perkembangan pengertian itu mengaaami pergeseran
sehingga poligami dipakai untuk makna laki-laki beristri banyak, sedang poliandri tidak
lazim dipakai.
a). Dalam kaidah hukum nasional menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami
yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Seorang muslim yang benar-benar mengerti tentang isi kandungan Al-Quran, baik itu
seorang laki-laki yang mendukung poligami, maupun seorang wanita yang menolak poligami,
pasti tidak akan mengesampingkan sebuah ayat dalam QS. An-nisa ayat 3. Seorang suami
memang disahkan untuk melakukan pernikahan dengan lebih dari satu wanita. Dan inilah
yang sering dijadikan dalil (hujjah) bagi laki-laki untuk menikah lagi. Mereka menjadikan
ayat ini sebgai dasar hukum halalnya berpoligami. Firman Allah SWT yang berbunyi :
(3)
Artinya :
Dan apabila kalian takut tidak bisa berbuat adil kepada anak-anak perempuan yang
yatim (untuk kalian jadikan istri), maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kalian
senangi, dua atau tiga atau empat. Bila kalian takut tidak bisa berbuat adil, maka nikahilah
satu perempuan saja atau budak-budak kalian. Yang demikian itu lebih membuat kalian tidak
berbuat zhalim. (QS. An-Nisa:3)
Jika tidak dipahami kandungan ayat Al-Quran tersebut, bisa membuat para laki-laki
besar kepala. Mereka bisa membuat ayat-ayat ini kemana-mana dan dijadikan sebagai dasar
hukum mereka dalam berpoligami. Mereka sepertinya demikian bangga dengan kodrat
kelelakian mereka merasa dilebihkan oleh Allah SWT dalam urusan pernikahan. Laki-laki
dihalalkan untuk berpoligami sedangkan perempuan diharamkan untuk berpoliandri.
Kelanjutan ayat inilah yang membuat laki-laki berpikir dua kali untuk melakukan
poligami, seorang suami pasti bisa mengukur kemampuan diri menafkahi keluarga. Jika satu
keluarga saja nafkah yang diberikan masih kembang kempis, maksudnya kadang bisa
menafkahi dengancukup dan kadang pula pas-pasan, bagaimana dia akan menafkahi dua
nomaden yang hidup di alam yang keras dan gemar berperang. Di kalangan seperti ini
poligami adalah sebuah kebutuhan karena kuat atau tidaknya suku mereka ditentukan oleh
berapa banyak keturunan yang bisa dihasilkan terutama anak laki-laki karena laki-laki dalam
komunitas ini dianggap sebagai komunitas militer. Sementara perempuan dianggap hanya
sebagai asset untuk memproduksi keturunan yang bahkan juga dijadikan sebagai salah satu
harta pampasan perang bila suku itu kalah atau juga dijadikan alat pertukaran demi
perdamaian antar suku. Di kalangan bangsa/suku-suku yang menetap serta tidak banyak
mengalami ancaman militer, poligami umumnya hanya dilakukan oleh kalangan tertentu saja
yang biasanya kalangan elite dan berkuasa dimana praktek ini djadikan sebagai salah satu
simbol demi meningkatkan status dan sarana memamerkan kekayaan dan kekuasaan.
Di Indonesia
Pada masa pra kemerdekaan sampai masa-masa awal kemerdekaan praktek poligami
di Indonesia umumnya hanya dilakukan oleh kalangan elit masyarakat saja diantaranya
kaum priyayi dan elit agama seperti para kyai. Menurut pengamatan Koentjaraningrat ada
perbedaan antara praktek poligami yang dilakukan kalangan priyayi dengan kalangan kyai
yaitu kalangan priyayi yang umumnya berasal dari golongan Islam abangan biasanya
menyatukan istri-istrinya dalam satu rumah sementara kalangan kyai / santri sebagian
besarnya membuatkan rumah yang terpisah-pisah bagi istri-istrinya (Jurnal Perempuan no 31,
2003 :75).
masyarakat, bahkan akhirnya menjadi sebuah praktek yang tidak lazim. Hal ini
mengakibatkan pelaku poligami umumnya tidak melakukan praktek ini secara demonstratif
seperti pada masa lalu. Praktek poligami dianggap sebagai praktek yang memalukan dan
dapat merusak nama baik pelakunya. Itulah sebabnya sebagian besar perkawinan poligami di
marak dilakukan tapi jumlahnya jauh lebih menurun daripada pada era sebelumnya.
Munculnya gerakan garis keras Islam yang berkembang di Indonesia sejak era 70-80
mengatasi persoalan bangsa dan masyarakat. Dalam propagandanya kelompok ini kerap
melempar tuduhan bahwa kalangan yang menolak wacana poligami sebagai kalangan yang
pro pelacuran atau perzinahan bahkan secara lebih jauh lagi menuduh mereka sebagai
penentang hukum agama. Jadi secara umum mereka menyederhanakan wacana poligami
sebagai bentuk pertarungan antara "orang baik" v.s "orang jahat" dimana pendukung
poligami diposisikan sebagai "orang baik" sementara penentangnya "orang jahat".Akan tetapi
karena secara umum pengikut gerakan ini utamanya kalangan menengah di perkotaan praktek
poligami hanya dilakukan oleh sebagian kecil saja dari mereka. Tapi tidak seperti yang
dilakukan kalangan Islam tradisonalis, praktek poligami yang dilakukan kalangan ini
condong meniru pola yang dilakukan kaum priyayi / golongan Islam abangan pada masa lalu
masyarakat bawah, pekerja keras, atau mata pencariannya mengharuskan mereka sering
berpindah tempat seperti pelaut, sopir bus antar kota dll.Pelaku poligami dari kalangan ini
kebanyakan bukan dari kalangan agamis bahkan jauh dari nilai-nilai agama seperti suka
mabuk-mabukkan, judi, pergi ke pelacuran dll. tapi yang menarik adalah ketika mereka
melakukan praktek poligami mereka selalu mengangkat isu agama sebagai alasan
pembenarannya.
Dampak negatif yang biasanya terjadi pada keluarga yang menjalani pernikahan
poligami tidak sehat, tidak jujur dan tidak islami adalah sebagai berikut :
Dari uraian dampak negatif poligami di atas dapat disimpulkan bahwa penulis kontra atau
tidak setuju dengan praktek perpoligamian di Indonesia, meskipun kehendak untuk
berpoligami itu jatuh pada masing-masing individu.
. . . kemudian jika kamu takut tidak akan berbuat adil maka kawinilah seorang saja atau
budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat dan tidak berbuat
aniaya (Surat Annisa : 3)
Sebuah perkawinan tanpa lahirnya keturunan dari rahim istri, merupakan perkawinan
hambar. Anak yang sering diistilahkan dengan buah hati memang menjadi sebuah
kebahagiaan utama dalam rumah tangga. Ternyata istilah buah hati sudah sejak lama, bahkan
Nabi-lah yang lebih dahulu memakai istilah itu. Memperoleh keturunan memang tujuan
utama sebuah perkawinan. Maka betapa merananya seorang yang dalam perkawinan tidak
bisa memiliki keturunan.
Mungkin agak aneh saja terdengar ditelinga oleh orang awam, jika poligami
dilakukan seorang suami dengan alasana sebagai sarana dakwah. Dalam menegakkan Syariat
Islam bisa menggunakan cara yang bermacam-macan. Dengan lisan dengan gerakan
bersenjata ataupun dengan tindakan yang halus, akan tetapi harus lebih mengenai sasaran
dakwah. Berpoligami untuk Syiar Islam atau dakwah ini biasanya dilakukan oleh para dai,
karena ini berkepentingan dengan tugas dakwahnya. Mereka menikahi muallaf atau bahkan
wanita-wanita kafir maupun musryik setelah sebelumnya mereka memeluk Agama Islam.
Untuk menjaga akidahnya yang masih rapuh, dan agar jangan kembali lagi kepada kekafiran.
Melindungi fakir miskin terutama yang telah ditinggal suami, sebab sebuah kefakir
miskinan sangat dekat dengan kekufuran, sebagai sabda Rasulullah SAW :
BAB III
KESIMPULAN
Namun memang perlu adanya suatu penafsiran yang baik dan mendalam atas
pengertian-pengertian poligami, baik menurut hukum nasional maupun Hukum Islam
sehingga dalam pengaplikasiannya tidak terjadi penyelewengan atas makna poligami yang
sesungguhnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.psikomedia.com/article/view/Psikologi-Keluarga/2078/Definisi-Poligami/
diakses pada tanggal 21 Maret 2012
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=8561&coid=1&caid=34 diakses
pada tanggal 21 Maret 2012
http://www.mail-archive.com/keluarga-sejahtera@yahoogroups.com/msg03599.html
diakses pada tanggal 21 Maret 2012
http://ariefhikmah.com/poligami/quraish-shihab-poligami-bukan-ibadah-murni-
kayak-makan-saja/ diakses pada tanggal 21 Maret 2012