Anda di halaman 1dari 24

OleH : Goto Kuswanto, SIP.

MM - WIDYAISWARA MADYA KANTOR DIKLAT


KABUPATEN BANYUMAS

ABSTRAK

Pemberantasan korupsi di Indonesia telah berjalan cukup lama. Berbagai upaya represif
dilakukan terhadap para pejabat publik atau penyelenggara negara yang terbukti melakukan
korupsi. Sudah tidak terhitung telah banyak pejabat negara dan wakil rakyat yang merasakan
getirnya hidup di hotel prodeo. Berdasarkan sejarah, selain KPK yang terbentuk di tahun 2003,
terdapat 6 lembaga pemberantasan korupsi yang sudah dibentuk di negara ini yakni; (i) Operasi
Militer di tahun 1957, (ii) Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, (iii) Operasi Tertib pada
tahun 1977, (iv) tahun 1987 dengan Tim Optimalisasi Penerimaan Negara dari sektor pajak, (v)
dibentuknya Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TKPTPK) pada tahun 1999,
dan (vi) tahun 2005 dibentuk Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor). Pada
tahun 2011, Country rank Year CPI Score Indonesia baru sebesar 3,0. Country rank Year CPI
Score mengurutkan negara-negara dalam derajat korupsi tertentu yang terjadi pada para petugas
publik dan politikus. Indeks ini merefleksikan pandangan pelaku bisnis dan pengamat dari
seluruh dunia termasuk para ahli yang menjadi penduduk pada negara yang dievaluasi.

Kata Kunci : Kinerja Lembaga Pemberantasan Korupsi di Indonesia

A. Pendahuluan

Salah satu hasil dari Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD Negara RI Tahun 1945) adalah beralihnya supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) menjadi supremasi konstitusi. Akibatnya, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara
karena semua lembaga negara didudukkan sederajat dalam mekanisme checks and balances.
Sementara itu, konstitusi diposisikan sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan membatasi
kekuasaan lembaga-lembaga negara. Perkembangan konsep trias politica juga turut
memengaruhi perubahan struktur kelembagaan di Indonesia. Di banyak negara, konsep klasik
mengenai pemisahan kekuasaan tersebut dianggap tidak lagi relevan karena tiga fungsi
kekuasaan yang ada tidak mampu menanggung beban negara dalam menyelenggarakan
pemerintahan. Untuk menjawab tuntutan tersebut, negara membentuk jenis lembaga negara baru
yang diharapkan dapat lebih responsif dalam mengatasi persoalan aktual negara. Maka,
berdirilah berbagai lembaga negara bantu dalam bentuk dewan, komisi, komite, badan, ataupun
otorita, dengan masing-masing tugas dan wewenangnya. Beberapa ahli tetap mengelompokkan
lembaga negara bantu dalam lingkup eksekutif, namun ada pula sarjana yang menempatkannya
tersendiri sebagai cabang keempat kekuasaan pemerintahan. Dalam konteks Indonesia, kehadiran
lembaga negara bantu menjamur pascaperubahan UUD Negara RI Tahun 1945. Berbagai
lembaga negara bantu tersebut tidak dibentuk dengan dasar hukum yang seragam. Beberapa di
antaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun ada pula yang memperoleh legitimasi
berdasarkan undang-undang ataupun keputusan presiden. Salah satu lembaga negara bantu yang
dibentuk dengan undang-undang adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pemberantasan korupsi di Indonesia sebenarnya telah berjalan cukup lama, bahkan nyaris setua
umur Republik ini berdiri. Berbagai upaya represif dilakukan terhadap para pejabat publik atau
penyelenggara negara yang terbukti melakukan korupsi. Sudah tidak terhitung telah berapa
banyak pejabat negara yang merasakan getirnya hidup di hotel prodeo. Berdasarkan sejarah,
selain KPK yang terbentuk di tahun 2003, terdapat 6 lembaga pemberantasan korupsi yang sudah
dibentuk di negara ini yakni; (i) Operasi Militer di tahun 1957, (ii) Tim Pemberantasan Korupsi
di tahun 1967, (iii) Operasi Tertib pada tahun 1977, (iv) tahun 1987 dengan Tim Optimalisasi
Penerimaan Negara dari sektor pajak, (v) dibentuknya Tim Gabungan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (TKPTPK) pada tahun 1999, dan (vi) tahun 2005 dibentuk Tim Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) (Mochammad, 2009: 2).
Pemerintah Indonesia sejak tahun 1957 melalui Kepres No. 48/1957 Kepala Staf Angkatan Darat
(KSAD) Abdul Haris Nasution selaku penguasa militer menetapkan Peraturan Penguasa Militer
No. Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Salah satu aspek penting dalam peraturan
tersebut adalah membentuk suatu unit kerja yang bertugas menilik harta benda setiap orang yang
disangka, didakwa atau sepatutnya disangka melakukan korupsi, termasuk harta benda suami,
istri, anak atau badan/institusi yang diurus oleh orang tersebut. Pada masa orde baru, lahir
Keppres No. 52/1970 tentang Pendaftaran Kekayaan Pribadi Pejabat Negara/Pegawai
Negeri/ABRI. Di orde reformasi dengan adanya UU no. 28/1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih KKN dibentuklah Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara
(KPKPN). Dalam tugasnya KPKPN berhasil meletakkan landasan yang baik bagi mekanisme
pelaporan kekayaan penyelenggara negara secara komprehensif (Mochammad, 2009: 3).
Lembaga pemberantasan korupsi sudah banyak dibentuk untuk memberantas korupsi yang telah
mendudukan Indonesia sebagai negara korup dengan indeks kepercayaan masyarakat masih jauh
di bawah negara ASEAN lainnya. Kinerja lembaga pemberantasan korupsi perlu dievaluasi agar
dapat mengetahui permasalahan belum bekerjanya lembaga tersebut secara optimal.

B. Pengertian Korupsi

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu jenis dari berbagai jenis tindak pidana. Mengenai
pengertian tindak pidana sendiri sejak dulu telah banyak diciptakan oleh para sarjana, salah
satunya yaitu yang diungkapkan oleh Prof. Muljatno dengan menggunakan istilah perbuatan
pidana yaitu: Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana
barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Menurut ujudnya atau sifatnya perbuatan pidana
ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan
masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam
pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. (Saleh, 1983 : 16).
Sedangkan mengenai pengertian korupsi, menurut arti katanya korupsi berasal dari Bahasa Latin
Corruptio atau Corruptus yang artinya busuk, buruk, bejat, dapat disuap, menyimpang dari
kesucian, perkataan yang menghina atau memfitnah. Dalam perkembangan selanjutnya kata
korupsi dalam perbendaharaan Bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan curang dan dapat
disuap (Mariyanti, 1986 : 197). Menurut K Soeparto, perkataan Corruptio mempunyai banyak
makna, yaitu bederven (merusak), schenden (melanggar), dan omkopen (menyuap). Pers
acapkali memakai istilah korupsi dalam arti yang luas, mencakup masalah-masalah tentang
penggelapan (Bassar, 1983 : 77).
Korupsi dalam ensiklopedia Indonesia disebutkan sebagai (dari bahasa latin: corruptio =
penyuapan, corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan negara
menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan
lainnya. Adapun arti harafiah dari korupsi dapat berupa kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak
bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran (Jhon dan Hasan, 1997: 149). Dalam pengertian lain
dapat dikatakan sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok
dan sebagainya (Kramer, 1997: 62).

Ciri-Ciri dan Faktor Penyebab Korupsi

Ciri-ciri korupsi dijelaskan oleh Shed Husein Alatas dalam bukunya Sosiologi Korupsi sebagai
berikut :
a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama dengan kasus
pencurian atau penipuan. Seorang operator yang korup sesungguhnya tidak ada dan kasus itu
biasanya termasuk dalam pengertian penggelapan (fraud).
b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan
begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada di dalam lingkungannya
tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya. Namun, walaupun demikian motif korupsi
tetap dijaga kerahasiaannya.
c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan
keuntungan itu tidak selalu berupa uang.
d. Mereka yang mempraktekkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi
perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.
e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk
mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau
umum (masyarakat).
g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan (Hartanti, 2007: 10-11).
Pengembangan tipologi korupsi menurut Vito Tanzi adalah sebagai berikut :
a Korupsi transaksi, yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan diantara seorang donor dengan
resipien untuk keuntungan kedua belah pihak.
b Korupsi ekstortif, yaitu korupsi yang melibatkan penekanan pemaksaan untuk menghindari
bahaya bagi mereka yang terlibat atau orang-orang yang dekat dengan pelaku korupsi.
c Korupsi investif, yaiut korupsi yang berawal dari tawaran yang merupakan investasi untuk
mengatisipasi adanya keuntungan di masa datang.
d Korupsi nepotistik, yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik dalam
pengangkatan kantor publik maupun pemberian proyek-proyek bagi keluarga dekat.
e Korupsi otogenik, yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat mendapat keuntungan
karena memiliki pengetahuan sebagai orang dalam (insiders information) tentang berbagai
kebijakan publik yang seharusnya dirahasiakan.
f Korupsi supportif, yaitu perlindungan atau penguatan korupsi yang menjadi intrik kekuasaan
dan bahkan kekerasan.
g Korupsi defensif, yaitu korupsi yang dilakukan dalam rangka mempertahankan diri dari
pemerasaan (Chaerudin, 2008: 2).
Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
a. Lemahnya pendidikan agama dan etika.
b. Kolonialisme. Suatu pemerintahan asing tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang
diperlukan untuk membendung korupsi.
c. Kurangnya pendidikan. Namun kenyataannya sekarang kasus-kasus korupsi di Indonesia
dilakukan oleh koruptor yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, terpelajar dan
terpandang sehingga alasan ini dapat dikatakan kurang tepat.
d. Kemiskinan. Pada kasus korupsi yang merebak di Indonesia, para pelakunya bukan didasari
oleh kemiskinan melainkan keserakahan, sebab mereka bukanlah dari kalangan yang tidak
mampu melainkan para konglomerat.
e. Tidak adanya sanksi yang keras.
f. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku antikorupsi.
g. Struktur pemerintahan.
h. Perubahan radikal. Pada sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai
suatu penyakit transisional.
i. Keadaan masyarakat. Korupsi dalam suatu birokrasi bisa mencerminkan keadaan
masyarakat (Hartanti, 2007: 11).

Korupsi dalam UU no. 31 tahun 1999 merupakan perbuatan secara melawan hukum
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara. Praktek korupsi dilihat dari segi bentuknya terdiri dari:
1. Lebih banyak menyangkut penyelewengan di bidang materi yang dikategorikan sebagai
material corruption.
2. Perbuatan manipulasi dengan cara penyuapan, intimidasi, paksaan dan/atau campur tangan
yang dikategorikan sebagai political corruption.
3. Menyangkut manipulasi dalam bidang ilmu pengetahuan/hak cipta atau disebut intellectual
corruption (Lopa. 2001: 70).
Korupsi melanggar hak asasi berupa hak sosial dan ekonomi masyarakat, sehingga korupsi
dipandang sebagai extraordinary crime (kejahatan yang luar biasa yang memerlukan
penanganan secara luar biasa pula. Pemerintah Indonesia sudah beberapa kali membentuk
lembaga yang menangani masalah korupsi. Lembaga negara bukan konsep yang secara
terminologis memiliki istilah tunggal dan seragam. Di dalam literatur Inggris, istilah political
institution digunakan untuk menyebut lembaga negara, sedangkan bahasa Belanda mengenal
istilah staat organen atau staatsorgaan untuk mengartikan lembaga negara. Sementara di
Indonesia, secara baku digunakan istilah lembaga negara, badan negara, atau organ negara.

C. Kinerja Lembaga Antikorupsi

Beberapa lembaga antikorupsi yang pernah dibentuk selama kurun waktu tahun 1967-2008
sebagai berikut:
1. Nama Tim: Tim Pemberantas Korupsi
Jenis peraturan:
Keppres 228/1967 tertanggal 2 Desember 1967.
Pelaksana:
Mayjen Sutopo Juwono, Laksda Sudomo, Komodor Saleh Basarah, Brigjen Pol Soebekti, Jaksa
Agung Muda Priyatna Abdurrasjid SH dan Kusnun SH Satgas:unsur kejaksaan, ke-4 angkatan,
ahli ekonomi, keuangan dan perbankan, pers dan kesatuan-kesatuan aksi.
Tugas/Sasaran:
Membantu pemerintah memberantas korupsi dengan tindakan bersifat refresif maupun preventif.
Hasil: na
2. Nama Tim: Komisi empat
Jenis peraturan:
Keppres 12/1970 tertanggal 31 Januari 1970.
Pelaksana: :
Komisi ini terdiri 4 orang: Wilopo SH (ketua merangkap anggota), IJ Kasimo, Anwar
Tjokroaminoto, Prof Ir Johannes, Mayjen Sutopo Juwono (Ketua Bakin) sebagai sekretaris.
Tugas/Sasaran:
Menghubungi penjabat atau instansi pemerintah, swasta, sipil atau militer. Memeriksa dokumen-
dokumen administrasi pemerintah, swasta, dan lain-lain. Minta bantuan pada aparatur negara
pusat dan daerah.
Hasil:
Setelah bekerja 5 bulan, tugas Komisi IV selesai dengan menghasilkan pertimbangan:
a. Laporan dan saran-saran agar kegiatan Jaksa Agung dan TPK diperkuat dengan tenaga-
tenaga ahli yang berpengalaman dan penuntut umum harus bertindak tegas tanpa pandang bulu.
b. Masalah Pertamina, tidak pernah bayar pajak sejak tahun 1958-1963. Dan juga mengenai
Pertamina mempunyai 3 anak perusahaan, dimana hal ini bertentangan dengan UU No 19/1960.
c. Masalah penebangan hutan yang harus disertai penanaman kembali.
d. Tahun 1970, Bulog defisit Rp 12,871 milyar.
e. Penyederhanaan struktur dan administrasi negara. Tiap pejabat atasan harus memperhatikan
agar semua peraturan dipegang teguh agar tidak terjadi penyelewengan.

3. Nama Tim: Komite Anti Korupsi (KAK)


Jenis Peraturan :
Keppres 12/1970 tertanggal 31 Januari 1970
Pelaksana :
Angkatan 66 yaitu: Akbar Tandjung, Mishael Setiawan, Thoby Mutis, Jacob Kendang, Imam
Waluyo, Tutu TW Soerowijono, Agus Jun Batuta, M Surachman, Alwi Nurdin, Lucas Luntungan,
Asmara Nababan, Sjahrir, Amir Karamoy, E Pesik, Vitue, Mengadang Napitupulu, dan Chaidir
Makarim.
Tugas/Sasaran:
Kegiatan diskusi dengan pimpinan-pimpinan partai politik dan bertemu dengan presiden
Soeharto menanyakan masalah korupsi. Catatan:KAK dibubarkan tanggal 15 Agustus 1970
setelah bekerja 2 bulan.

4. Nama Tim: OPSTIB


Jenis Peraturan:
Inpres 9/1977
Pelaksana:
Koordinator pelaksana: MenPAN
Tingkat Pusat:
Pelaksana Operasional:
Pangkopkamtib
Ketua I: Kapolri
Ketua II: Jaksa Agung dengan para Irjen
Tingkat Daerah:
Pelaksana Operasional: Laksusda
Ketua I: Kadapol
KetuaII: Kejati dan para Irwilda.
Tugas/Sasaran
Sasaran Opstib pada mulanya mengadakan pembersihan pungutan liar di jalan-jalan. Kemudian
diperluas meliputi penertiban uang siluman di pelabuhan-pelabuhan dan pungutan resmi namun
tidak sah menurut hukum. Sejak Agustus 1977, sasaran penertiban beralih dari jalan raya ke
aparat pemerintah daerah dan departemen.
Hasil:
Hasil yang diperoleh Opstib dari juli 1977 hingga Maret 1981, ditangani 1.127 perkara yang
melibatkan 8.026 orang dengan beberapa kasus besar yaitu: Kasus Korupsi di Markas Besar Polri
dengan uang yang diselewengkan sebesar Rp 4,8 milyar. Kasus Pluit, Endang Wijaya yang
berhasil mengambil uang negara sebesar Rp 22 milyar. Kasus Arthaloka yang diketahui tanggal
11 Agustus 1978 mengenai ketidakberesan tanah dan penyalahgunaan uang dropping
pembangunan gedung Arthaloka Rp 957.193.129 oleh PT MRE, sebuah perusahaan real estate.

5. Nama Tim: Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dihidupkan lagi. Namun Keppres mengenai
TPK ini tidak pernah terwujud.
Pelaksana:
MenPAN Sumarlin, Pangkopkamtib Sudomo, Ketua MA Mudjono SH, Menteri Kehakiman Ali
Said, Jaksa Agung Ismail Saleh, dan Kapolri Jenderal (Pol) Awaluddin Djamin MPA.
Tugas/Sasaran:
na
Hasil:
na

6. Nama Tim: Tim Gabungan Antikorupsi


Jenis Peraturan:
Mengacu pada UU No 31/1999 tentang Komisi Antikorupsi PP No 19 Th 2000.
Pelaksana:
Ketua: Andi Andojo Soetjipto, Didukung 25 orang anggota termasuk anggota kepolisian
Republik Indonesia (Polri) dan Jaksa yang masih aktif serta aktivis kemasyarakatan.
Tugas/Sasaran:
Mengungkapkan kasus-kasus korupsi yang sulit ditangani Kejaksaan Agung.
Hasil:
na

7. Nama Tim: Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)


Jenis Peraturan:
UU RI nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Kepres RI No. 73 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
PP RI No. 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
UU RI No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari
KKN
UU RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
UU RI No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang
PP RI No. 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan
Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
PP RI No. 109 Tahun 109 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah
Tugas/Sasaran:
Mengungkapkan kasus-kasus korupsi yang sulit ditangani Kejaksaan Agung.
Hasil:
2004
Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia milik Pemda
NAD (2004). Sedang berjalan, dengan tersangka Ir. H. Abdullah Puteh.
Dugaan korupsi dalam pengadaan Buku dan Bacaan SD, SLTP, yang dibiayai oleh Bank
Dunia (2004)
Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI Jakarta (2004)
Dugaan penyalahgunaan jabatan oleh Kepala Bagian Keuangan Dirjen Perhubungan Laut
dalam pembelian tanah yang merugikan keuangan negara Rp10 milyar lebih. (2004). Sedang
berjalan, dengan tersangka tersangka Drs. Muhammad Harun Let Let dkk.
Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipment dan placement deposito dari BI
kepada PT Texmaco Group melalui Bank BNI (2004)
Dugaan telah terjadinya TPK atas penjualan aset kredit PT PPSU oleh BPPN. (2004)
2005
Kasus penyuapan anggota KPU, Mulyana W. Kusumah kepada tim audit BPK (2005)
Kasus korupsi di KPU, dengan tersangka Nazaruddin Sjamsuddin, Safder Yusacc dan
Hamdani Amin (2005)
Kasus penyuapan panitera PT Jakarta oleh kuasa hukum Abdullah Puteh, dengan tersangka
Teuku Syaifuddin Popon, Syamsu Rizal Ramadhan, dan M. Soleh. (2005)
Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo, dengan tersangka Harini
Wijoso, Sinuhadji, Pono Waluyo, Sudi Ahmad, Suhartoyo dan Triyadi
Dugaan korupsi perugian negara sebesar 32 miliar rupiah dengan tersangka Theo Toemion
(2005)
Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005)
2006
27 Desember - Menetapkan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani H.R. sebagai tersangka
dalam kasus korupsi Bandara Loa Kulu yang diperkirakan merugikan negara sebanyak Rp 15,9
miliar. Tribun Kaltim
22 Desember - Menahan Bupati Kendal Hendy Boedoro setelah menjalani pemeriksaan Hari
Jumat (22/12). Hendy ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi APBD
Kabupaten Kendal 2003 hingga 2005 senilai Rp 47 miliar. Selain Hendy, turut pula ditahan
mantan Kepala Dinas Pengelola Keuangan Daerah Warsa Susilo. Tempo Interaktif
21 Desember - Menetapkan mantan Gubernur Kalimantan Selatan H.M. Sjachriel Darham
sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penggunaan uang taktis. Sjachriel Darham sudah
lima kali diperiksa penyidik dan belum ditahan. Tempo Interaktif
30 November - Jaksa KPK Tuntut Mulyana W. Kusumah 18 Bulan dalam kasus dugaan
korupsi pengadaan kotak suara Pemilihan Umum 2004. Tempo Interaktif
30 November - Menahan bekas Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, Eda Makmur.
Eda diduga terlibat kasus dugaan korupsi pungutan liar atau memungut tarif pengurusan
dokumen keimigrasian di luar ketentuan yang merugikan negara sebesar RM 5,54 juta atau
sekitar Rp 3,85 miliar. Tempo Interaktif
30 November - Menahan Rokhmin Dahuri, Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2001-
2004. Rokhmin diduga terlibat korupsi dana nonbujeter di departemennya. Total dana yang
dikumpulkan adalah Rp 31,7 miliar. Tempo Interaktif
2 September - Memeriksa Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan selama 11 jam di gedung
KPK. Pemeriksaan ini terkait kasus pembelian alat berat senilai Rp 185,63 miliar oleh
Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang dianggarkan pada 2003-2004. Tempo Interaktif
19 Juni - Menahan Gubernur Kalimantan Timur, Suwarna A.F. setelah diperiksa KPK dalam
kasus ijin pelepasan kawasan hutan seluas 147 ribu hektare untuk perkebunan kelapa sawit tanpa
jaminan, dimana negara dirugikan tak kurang dari Rp 440 miliar.
2007
Perkara atas nama Liem Klan Yin berhubungan dengan penjualan aset tanah milik PT Industri
Sandang Nusantara (Persero) Cabang Bandung; Putusan: pidana penjara 4 tahun, denda Rpl .
000.000.000,00 subsidair 10 bulan, uang pengganti Rp24.006.438.333,00; apabila uang tidak
dibayar harta akan dista dan dilelang, apabila harta yang dilelang tidak mencukupi penjualan aset
tanah milik PT Industri Sandang Nusantara (Persero) Cabang Bandung;
Perkara atas nama Rusadi Kantaprawira berhubungan dengan pengadaan tinta untuk
kepentingan Pemilu Legislatif; Putusan: pidana penjara 4 tahun, denda Rp 200000000,00
subsidair 2 bulan kurungan;
Perkara atas nama terdakwa Malem Pagi Sinuhaji berhubungan dengan percobaan pot
iyuapan kopada hakim pada MA dalarn perkara kasasi Probosutedjo; Putusan: pidana penjara 3
tahun 6 bulan, denda Rp 150.000.000,00 dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar digant
dengan kurungan 6 bulan;
Perkara atas nama Fahrani Suhaimi berhubungan dengan pengadaan pemancar RRI TA 2003;
Putusan: pidana penjara 10 tahun, denda Rp 300.000.000,00 dengan ketentuan apabila denda
tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan 6 bulan, uang pengganti Rp
9.640.568.857,00;
Perkara atas nama terdakwa Abubakar Ahmad berhubungan dengan pengeluaran atau
penggunaan dana yang tidak sesuai dengan peruntukannya pada Dana Tak Tersangka APBD Kab.
Dompu TA 2003, 2004, dan 2005; Putusan: pidana penjara 2 tahun, denda sebesa
Rpl80.000.000,00 apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan 3 tahun, uang
pengganti sebesar Rp655.000.000,00 paling ama dalam waktu 1 bulan setelah memperoleh
kekuatan hukum tetap, apabila uang pengganti tidak dibayar akan dipidana selama 6 bulan
penjara;
Jumlah uang negara yang berhasil diselamatkan KPK dihitung berdasarkan putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan bukum tetap (inkracht van gewijsde), yaitu putusan
terhadap uang rampasan, uang pengganti, dan denda sebesar Rp 119.976.472.962,00.

Efektifitas berarti pengukuran keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan yang ditentukan.


Untuk penentuan alat indikator efektifitas KPK dapat dilhat dari beberapa hal, yaitu:

Pertama, indikator makro yang terdiri dari survey CPI, Internal Country Risk Group. Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) Transparency International mengurutkan negara-negara dalam derajat
korupsi tertentu yang terjadi pada para petugas publik dan politikus. Ini merupakan indeks yang
padat, yang digambarkan berdasarkan data yang berhubungan dengan korupsi dalam survei ahli
yang dilakukan oleh berbagai lembaga terkemuka. Indeks ini merefleksikan pandangan pelaku
bisnis dan pengamat dari seluruh dunia termasuk para ahli yang menjadi penduduk pada negara
yang dievaluasi. Penanggung jawab IPK Transparency International adalah Johann Graf
Lambsdorff, seorang profesor dari universitas di Passau, Jerman. Pemberantasan korupsi di
Indonesia mengalami kemajuan yang positif meskipun tidak signifikan. Survey tersebut
merupakan gambaran secara umum tentang pendapat masyarakat terhadap keseriusan pemerintah
dalam memerangi korupsi. CPI Indonesia disusun dari sebelas variabel yang diukur dari jawaban
responden yang berasal dari pelaku bisnis. Variabel tersebut antara lain prosedur Pengajuan ijin
usaha, prosedur pelayanan umum, penggelapan oleh pejabat publik.
Kedua, indikator Pelayanan Publik. Indikator pelayanan publik dapat dilihat dari survey yang
dilakukan oleh Transparency International bahwa dari 50 kota, CPI Indonesia 2008 dihasilkan
dari total rata-rata dari variabel survey di masing-masing kota. Berdasarkan formulasi tersebut,
maka didapatkanlah IPK Indonesia 2008, dengan skor tertinggi 6,43 (Jogjakarta), dan skor
terendah 2,97 (Kupang). Rata-rata dari total skor untuk 50 kota adalah 4,42.
CPI Indonesia 2008 menunjukkan bahwa di kota-kota seperti Jogjakarta, Palangkaraya dan
Banda Aceh, pelaku bisnis di kota-kota tersebut menilai bahwa praktek suap dan korupsi tidak
lazim dilakukan oleh aparat pemda kota. Sebaliknya, di kota yang mendapatkan skor rendah
seperti Kupang dan Tegal, dapat disimpulkan bahwa pelaku bisnis di kota-kota tersebut menilai
bahwa praktek korupsi masih lazim dilakukan. Hal ini berarti kampanye anti korupsi yang
dilakukan KPK dengan melakukan pengumpulan dukungan dan komitmen anti korupsi yang
dilakukan oleh KPK telah cukup berhasil dengan membentuk suatu persepsi anti korupsi di
daerah.
Ketiga, indikator Kinerja Penegakan Hukum. Indikator ini bukan hanya dari sisi KPK saja,
karena KPK menangani kasus korupsi dengan dugaan kerugian negara paling sedikit Rp.
1.000.000.000,00. Dari beberapa indikator diatas tentunya yang paling disorot adalah kinerja
KPK dalam mengungkap kasus Korupsi besar.
Data dari ICW menunjukkan modus korupsi terbesar yang terungkap selama semester 1 tahun
2010 adalah modus penggelapan dengan 62 kasus, diikuti modus mark up 52 kasus, proyek fiktif
20 kasus, penyalahgunaan anggaran 18 kasus dan suap 7 kasus. Telah terjadi pergeseran modus
dimana modus tertinggi selama semester I tahun 2009 adalah modus penyalahgunaan anggaran
tertinggi dengan 32 kasus Sedangkan di semester I tahun 2010 modus penggelapan merupakan
yang paling dominan dengan 62 kasus. Sinyalemen ICW mengkaitkan pergeseran tersebut
dengan kondisi politik yang terjadi pada tahun 2008 dan 2009 yang merupakan tahun persiapan
menjelang pemilukada. Modus penggelapan, umumnya terkait dengan penyimpangan dana yang
langsung berhubungan dengan kepentingan masyarakat seperti dana-dana bantuan sosial
(bansos), yang marak terjadi tahun 2008 dan 2009.

Sumber: Indonesia Corruption Watch

Meskipun data dari ICW menunjukkan keuangan daerah tetap sebagai sektor yang paling rawan
dikorupsi dengan APBD sebagai objek korupsinya, sebenarnya upaya-upaya pengelolaan
anggaran daerah oleh pemerintah daerah telah menunjukkan hasil. Hal ini ditunjukkan oleh studi
yang dilakukan oleh Seknas FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) tahun 2009
yang menunjukkan aspek transparansi dan akuntabilitas kinerja pemerintah terhadap pengelolaan
anggaran daerah menunjukkan hasil yang cukup mengejutkan yakni cukup optimal. Hasil yang
ada menunjukkan bahwa upaya pemerintah untuk mendorong proses transparansi dan
akuntabilitas perlu diapresiasi. Sedangkan tingginya tingkat korupsi APBD berdasarkan data
ICW dapat dimaklumi karena sektor anggaran merupakan sumber utama penyedia dana yang
berpotensi untuk dikorupsi.

Sumber: Indonesia Corruption Watch

Dalam hal ketersediaan dokumen, pemerintah daerah pada umumnya telah membuat dokumen
yang ada kecuali Informasi Laporan Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah (ILPPD). Sesuai
dengan amanat PP No 3 / 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang
mengharuskan Pemda membuat dan mempublikasikan ILPPD kepada masyarakat. Ada dua
kondisi yang menyebabkan kelangkaan ini, yaitu: (i) Pemerintah kurang memberikan perhatian
untuk membangun mekanisme akuntabilitas dan transparansi publik melalui dokumen ILPPD;
(ii) Beberapa daerah yang diteliti menyatakan belum mengetahui adanya aturan ini sehingga
tidak membuatnya.
Dari sisi publikasi dokumen anggaran, penelitian ini menunjukkan daerah yang paling banyak
mempublikasikan dokumen perencanaan penganggaran baik melalui website maupun media
lainnya adalah Kota Pare-Pare. Sementara itu, pemerintah daerah yang hanya mempublikasikan
satu dokumen anggaran adalah Kabupaten Bone, Kabupaten Polman, Kota Surakarta, Kabupaten
Boyolali, dan Kabupaten Malang.
Daerah yang paling sulit untuk diakses dokumen anggarannya adalah Kabupaten Cilacap.
Terdapat 18 (90%) dari 20 dokumen yang tidak bisa diakses di daerah tersebut, diikuti oleh Kota
Banjar dengan 12 dokumen (60%) dan Kota Blitar dengan 10 (50%) dokumen. Sementara itu,
masih ada 27 daerah lainnya dengan rata-rata 57 dokumen anggarannya yang tidak bisa diakses
di daerah-daerah tersebut.
Aspek akuntabilitas pengelolaan anggaran oleh pemerintah daerah menunjukkan hasil yang
relatif baik di semua tahapan pengelolaan anggaran, khususnya pada tahap perencanaan,
pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Pada tahap perencanaan memiliki kinerja akuntabilitas
sangat tinggi karena dokumen-dokumen perencanaan, umumnya bisa dibuat tepat waktu disertai
adanya wahana bagi publik untuk terlibat.
Demikian halnya pada tahap pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Tantangan pemerintah
daerah dalam mendorong akuntabilitas publik perlu dikuatkan pada tahap pembahasan.
Seringkali pada tahap ini, legislatif dan eksekutif gagal dalam penyediaan ruang
pertanggungjawaban kepada publik. Salah satunya adalah ketepatan waktu dalam pembahasan
dokumen anggaran yang seringkali molor dari waktu yang diatur dalam perundang-undangan.
Dalam penelitian Seknas Fitra tersebut juga menunjukan bahwa mayoritas pemerintah daerah
telah memiliki standar harga yang diperbaharui setiap tahunnya. Standar harga merupakan
kebijakan penting yang harus ditetapkan oleh pemerintah sebagai rujukan penyusunan Harga
Perkiraan Sendiri (HPS) dalam proses
Sejarah Panjang Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Tanggal diterbitkan 08-11-2014

Komitmen pemberantasan korupsi merupakan tonggak penting dalam


pemerintahan sebuah negara. Di Indonesia, hampir setiap pemilihan kepala negara
tak luput dari kesungguhan meneropong apa komitmen yang diberikan oleh calon
kepala negara untuk memberantas korupsi. Tak pelak ini terjadi karena korupsi terus
terjadi menggerus hak rakyat atas kekayaan negara. Kekayaan negara yang
berlimpah, nyaris tak tersisa untuk kesejahteraan masyarakat. Semuanya tergerus
oleh perilaku licik birokrat berkongkalingkong dengan para koruptor. Komitmen
pemberantasan korupsi ini juga menjadi daya tarik pemilih untuk mencari calon
kepala negara yang memiliki komitmen nyata dan memberikan secercah harapan
bahwa setiap orang yang berbuat curang pada negara layak diusut sampai
penghabisan.

Komitmen kepemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentu masih


terngiang dalam pendengaran kita, bahkan mungkin lengkap dengan cengkok gaya
bahasa dalam pidatonya yang disampaikan bahwa dirinya akan berada di garda
terdepan dalam pemberantasan negeri ini. Rupanya komitmen yang disampaikan
oleh SBY ini bukan barang baru. Pendahulunya, Soeharto pernah menyatakan
komitmen yang sama. Saat itu tahun 1970 bersamaa dengan Peringatan Hari
Kemerdekaan RI, Soeharto-Presiden saat itu-mencoba meyakinkan rakyat bahwa
komitemn memberantas korupsi dalam pemerintahannya sangat besar dan ia juga
menegaskan bahwa dia sendiri yang akan memimpin pemberantasan korupsi.
Seharusnya tidak ada keraguan, saya sendiri yang akan memimpin.
Tak semudah diucapkan, komitmen pemberantasan korupsi memang berat untuk
dilakukan. Berbagai upaya pemberantasan korupsi dicanangkan di setiap periode
pemerintahan negara ini. Beberapa referensi menyatakan bahwa pemberantasan
korupsi secara yuridis baru dimulai pada tahun 1957, dengan keluarnya Peraturan
Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957. Peraturan yang dikenal dengan Peraturan
tentang Pemberantasan Korupsi ini dibuat oleh penguasa militer waktu itu, yaitu
Penguasa Militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut.

Di masa awal Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keppres No.28 Tahun 1967
tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Dalam pelaksanaannya, tim
tidak bisa melakukan pemberantasan korupsi secara maksimal, bahkan bisa
dikatakan hampir tidak berfungsi. Peraturan ini malahan memicu berbagai bentuk
protes dan demonstrasi mulai tahun 1969 dan puncaknya di tahun 1970 yang
kemudian ditandai dengan dibentuknya Komisi IV yang bertugas menganalisa
permasalahan dalam birokrasi dan mengeluarkan rekomendasi untuk
mengatasinya.

Masih di tahun yang sama, mantan wakil presiden pertama RI Bung Hatta
memunculkan wacana bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia. Padahal,
lanjut Hatta, korupsi telah menjadi perilaku dari sebuah rezim baru yang dipimpin
Soeharto, padahal usia rezim ini masih begitu muda. Hatta seperti merasakan cita-
cita pendiri Republik ini telah dikhianati dalam masa yang masih sangat muda. Ahli
sejarah JJ Rizal mengungkapkan, Hatta saat itu merasa cita-cita negara telah
dikhianati dan lebih parah lagi karena korupsi itu justru seperti diberi fasilitas.
Padahal menurut dia, tak ada kompromi apapun dengan korupsi.

Banjir Peraturan Pemberantasan Korupsi

Orde baru bisa dibilang paling banyak mengeluarkan peraturan karena masa Orde
Baru yang cukup panjang. Namun sayangnya tidak banyak peraturan yang dibuat
itu berlaku efektif dan membuat korupsi sedikit berkurang dari bumi Indonesia.
Menyambung pidatonya di Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus 1970, pemerintahan
Soeharto mengeluarkan UU No.3 tahun 1971 tentang PemberantasanTindak Pidana
Korupsi. Aturan ini menerapkan pidana penjara maksimum seumur hidup serta
denda maksimum Rp 30 juta bagi semua delik yang dikategorikan korupsi.

Melengkapi undang-undang tersebut, dokumen negara Garis-garis Besar Besar


Haluan Negara (GBHN) yang berisi salah satunya adalah kemauan rakyat untuk
memberantas korupsi. Namun pelaksanaan GBHN ini bocor karena pengelolaan
negara diwarnai banyak kecurangan dan kebocoran anggaran negara di semua
sektor tanpa ada kontrol sama sekali.

Organ-organ negara seperti parlemen yang memiliki fungsi pengawasan dibuat


lemah. Anggaran DPR ditentukan oleh pemerintah sehingga fungsi pengawasan tak
ada lagi. Lembaga yudikatif pun dibuat serupa oleh rezim Orde Baru, sehingga taka
da kekuatan yang tersisa untuk bisa mengadili kasus-kasus korupsi secara
independen. Kekuatan masyarakat sipil dimandulkan, penguasa Orde Baru secara
perlahan membatasi ruang gerak masyarakat dan melakukan intervensi demi
mempertahankan kekuasaannya.

Berikut ini beberapa peraturan yang terbit di masa Orde Baru berkaitan dengan
pemberantasan korupsi :

GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur yang Berwibawa dan Bersih
dalam Pengelolaan Negara;

GBHN Tahun 1978 tentang Kebijakan dan Langkah-Langkah dalam rangka


Penertiban Aparatur Negara dari Masalah Korupsi, Penyalahgunaan
Wewenang, Kebocoran dan Pemborosan Kekayaan dan Kuangan Negara,
Pungutan-Pungutan Liar serta Berbagai Bentuk Penyelewengan Lainnya yang
Menghambat Pelaksanaan Pembangunan;

Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi;

Keppres No. 52 Tahun 1971 tentang Pelaporan Pajak Para Pejabat dan PNS;

Inpres Nomor 9 Tahun 1977 tentang Operasi Penertiban;

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.

Reformasi : Perjuangan pemberantasan korupsi masih berlangsung

Berganti rezim, berganti pula harapan rakyat Indonesia untuk bisa mengenyahkan
koruptor dari Indonesia. Orde Baru kandas, muncul pemerintahan baru yang lahir
dari gerakan reformasi pada tahun 1998. Di masa pemerintahan Abdurrahman
Wahid Muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang
Bersih dan Bebas KKN. Pemerintahan Gus Dur kemudian membentuk badan-badan
negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain: Tim
Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional,
Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya.
Pada masa itu, ada beberapa catatan langkah radikal yang dilakukan oleh
pemerintahan Gus Dur. Salah satunya, mengangkat Baharudin Lopa sebagai Menteri
Kehakiman yang kemudian menjadi Jaksa Agung. Kejaksaan Agung RI sempat
melakukan langkah-langkah kongkret penegakan hukum korupsi. Banyak koruptor
kelas kakap yang diperiksa dan dijadikan tersangka pada saat itu.

Di masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri, berbagai kasus korupsi menguap


dan berakhir dengan cerita yang tidak memuaskan masyarakat. Masyarakat mulai
meragukan komitmen pemberantasan korupsi pemerintahan saat itu karena
banyaknya BUMN yang ditenggarai banyak korupsi namun tak bisa dituntaskan.
Korupsi di BULOG salah satunya.

Di tengah kepercayaan masyarakat yang sangat rendah terhadap lembaga negara


yang seharusnya mengurusi korupsi, pemerintahan Megawati kemudia membentuk
Komisi Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi (KPTPK). Pembentukan lembaga ini
merupakan terobosan hukum atas mandeknya upaya pemberantasan korupsi di
negara ini. Ini yang kemudian menjadi cikal bakal Komisi Pemberantasan Korupsi.

KPK Lahir, Pemberantasan Korupsi Tak Pernah Terhenti

Perjalanan panjang memberantas korupsi seperti mendapatkan angin segar ketika


muncul sebuah lembaga negara yang memiliki tugas dan kewenangan yang jelas
untuk memberantas korupsi. Meskipun sebelumnya, ini dibilang terlambag dari
agenda yang diamanatkan oleh ketentuan Pasal 43 UU Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, pembahasan RUU KPK
dapat dikatakan merupakan bentuk keseriusan pemerintahan Megawati
Soekarnoputri dalam pemberantasan korupsi. Keterlambatan pembahasan RUU
tersebut dilatarbelakangi oleh banyak sebab. Pertama, perubahan konstitusi uang
berimpilkasi pada perubahan peta ketatanegaraan. Kedua, kecenderungan
legislative heavy pada DPR. Ketiga, kecenderungan tirani DPR. Keterlambatan
pembahasan RUU KPK salah satunya juga disebabkan oleh persolan internal yang
melanda system politik di Indonesia pada era reformasi.

Di era Presiden SBY, visi pemberantasan korupsi tercermin dari langkah awal yang
dilakukannya dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 dan
kemudian dilanjutkan dengan penyiapan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan
Korupsi (RAN) yang disusun oleh Bappenas. RAN Pemberantasan Korupsi itu berlaku
pada tahun 2004-2009. Dengan menggunakan paradigma sistem hukum,
pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono diuntungkan sistem hukum yang mapan,
keberadaan KPK melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor) yang terpisah dari pengadilan umum, dukungan
internasional (structure), dan instrument hukum yang saling mendukung antara
hukum nasional dan hukum internasional.

Pemerintahan boleh berganti rezim, berganti pemimpin, namun rakyat Indonesia


menginginkan pemimpin yang benar-benar berkomitmen besar dalam
pemberantasan korupsi. Harapan dan keinginan kuat untuk mewujudkan Indonesia
yang bebas dari korupsi telah disandarkan di pundak pemimpin baru negara ini
yang akan memulai perjalanan panjangnya pada bulan Oktober mendatang.
Kemauan politik kuat yang ditunjukkan untuk mendukung lembaga pemberantas
korupsi di negeri ini yang nantinya akan dicatat sebagai sejarah baik atas
panjangnya upaya pemberantasan korupsi yang selama ini sudah dilakukan.

1. Zaman soeharto

2. Kasus Korupsi Terbesar Indonesia


Sepanjang Sejarah
3. By Awas-aja .com Indonesia, Perlu Kamu Tau
4. Memang luar biasa ternyata berbagai kasus korupsi yang telah terjadi di negara indonesia
ini. Di samping merugikan negara sampai Triliunan rupiah, tentunya warga negara
indonesia lah yang sangat menderita merasakan kerugian besar oleh kelakuan para
koruptor tersebut.

Apa mereka berharap kalau kasus korupsi mereka bisa masuk rekor dunia Guiness World
Record, memang mungkin lain kali harus di adkan sebuah penghargaan untuk mereka
para koruptor, biar mereka bisa bangga dengan hasil kerja kerasnya maling duit rakyat.!
Kasus Korupsi Presiden Soeharto

5. Kasus Korupsi Terbesar Indonesia


6. Siapa yang tidak tau akan bapak Presiden Soeharto ? Beliau merupakan bapak presiden
republik indonesia yang ke-2, yang terkenal dengan slogannya " Pie Kabare, Isih Penak
Jamanku Toh ! "
7.
8. Sebagai presiden seharusnya dia bisa menjadi contoh yang baik untuk seluruh warga
negaranya, tetapi bebedabeda dengan bapak presiden yang satu ini. Dialah satu-satunya
presiden yang menjabat paling lama di indonesia yaitu selama 32 tahun, dan selama itu
pula telah banyak penderitaan rakyat melalui banyaknya kasus dugaan korupsi yang terus
dilakukan oleh pak Soeharto.
9.
10. Kasus korupsi Soeharto yang terkenal adalah menyangkut tentang penggunaan uang
negara oleh 7 buah yayasan miliknya, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan
Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya
Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong
Kemanusiaan, Yayasan Trikora.
11.
12. Hasil dari penyidikan kasus 7 yayasan Soeharto ini menghasilkan berkas setebal lebih
dari dari 2000 halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi perkara dan 9 saksi
ahli. Korupsi terbesar Soeharto ini erat kaitannya dengan penyalahgunaan kekuasaan dan
pengaruhnya sebagai presiden, selain presiden ia juga sebagai panglima tertinggi ABRI
yang paling berkuasa pada masa Orde Baru.
13.
14.
15. Menurut informasi majalah Time Asia korupsi yang dilakukan bapak Soeharto ini
mencapai $US 15 Milyar atau sekitar Rp. 150 Triliun, Fantastis !. Kasus korupsi ini juga
merupakan kasus korupsi dengan kerugian terbesar di dunia dan Pak harto menyandang
predikat sebagai Presiden paling korup sepanjang sejarah dunia dan tentunya indonesia.
16.
Banyak kasus korupsi pada masa Presiden soeharto merupakan dari sistem politik Orde
Baru yang hanya menguntungkan sekelompok orang saja. Melihat besarnya harta haram
hasil korupsi yang telah dikumpulkan oleh Soeharto, jelas lah bagi banyak orang
indonesia Soeharto merupakan pengkhianat terbesar rakyat Indonesia.

Usaha untuk mengadili Soeharto selalu gagal karena kesehatannya yang semakin
memburuk. Dan setelah menderita sakit berkepanjangan, ia meninggal dunia di Jakarta
pada 27 Januari 2008. Sampai saat ini pun proses hukum tentang kasus korupsi ini belum
menemui titik terang dan penyelesainnya ?
17.sional
18.Jumat, 04 Juli 2014, 00:57 WIB

19. Soeharto, Diktator Terkorup Sedunia Abad ke-20


20.Rep: C87/ Red: Citra Listya Rini
21.dailytelegraph.co.uk
22.

23.Mantan Presiden Soeharto

Mantan Presiden Soeharto ditempatkan sebagai Presiden terkorup


sedunia berdasarkan temuan Transparency International 2004 dengan
total perkiraan korupsi sebesar 15-25 miliar dolar AS.

Karena itu, Koalisi Mayarakat Sipil Melawan Lupa menyatakan menolak


calon presiden (capres) yang mendukung pemberian gelar pahlawan
kepada mantan Presiden Soeharto. Salah satu kasus korupsi besar
yang dilakukan Soeharto yakni penggunaan Dana Reboisasi
Departemen Kehutanan dan pos bantuan presiden.

Dana tersebut digunakan untuk membiayai tujuh yayasan milik


Soeharto, yakni Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar,
Yayasan Dharma Bhakti Sosial, Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti,
Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong
Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora.

Dalam Pasal 4 Ketetapan MPR No XI Tahun 1998 tentang


Penyelenggaraan Negara Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
menyebutkan secara jelas Upaya pemberantasan korupsi, kolusi,
nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik
pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya.
maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden
Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah
dan hak-hak asasi manusia.

Berdasarkan putusan Mahkamah Agung No 2896 K/Pdt/2009 tanggal


28 Oktober 2010, memutuskan Yayasan Supersemar dihukum
mengganti kerugian negara sebesar 315.002.183 US dolar dan Rp
139.229.178 atau sekitar Rp 3,07 triliun. Namun, hingga kini putusan
tersebut belum dieksekusi lantaran aset Yayasan Supersemar tidak
mencukupi untuk membayar ganti rugi.

Aktivis Indonesian Legal Roundtabel (ILR) Erwin Natosmal Oemar,


mengatakan berdasarkan hasil penyelidikan PBB, pada abad ke-20
Soeharto adalah diktator paling korup sedunia. Dia menyayangkan
capres Prabowo Subianto yang mewacanakan pemberian gelar
pahlawan kepada Soeharto tanpa melihat kesalahan apa saja yang
dibuat.
Konsen kita ingin mengingatkan publik jangan sampai terjebak, saking
gembiranya demokrasi kita lupa fakta-fakta sejarah di masa lalu, kata
Erwin dalam konferensi pers di kantor Indonesian Corruption Watch
(ICW), Kamis (3/7).

Menurut Erwin, genelogi korupsi Soeharto diawali pada 1976 dengan


mengeluarkan peraturan pemerintah No 15 Tahun 1976 tentang
penetapan penggunaan sisa laba bersih bank-bank milik pemerintah.
Setiap tahun sebesar lima persen keuntungan bank harus
disumbangkan ke yayasannya. Bahkan realisasinya 50 persen dari
keuntungan sisa laba bersih bank dikirim dan disalurkan ke yayayan
tertentu.

Suharto terbukti secara hukum melakukan tindak korupsi, itu baru satu
yayasan. Jika ada capres yang ingin pemberantasan korupsi tapi ingin
memberikan Soeharto gelar pahlawan itu tindakan kontradiktif. Ini
adalah penipuan publik, manipulasi sejarah yang harus diingatkan
kepada publik, kata Erwin

24.Sby
Jokowi

Bulletin Mingguan Anti-Korupsi: 25 Febuari - 2 Maret 2016

DokICW/Dewi/Tren Korupsi 2015

Tren Korupsi 2015 : Tunggakan Kasus Tinggi, Kinerja Penegak Hukum Lemah

Kajian Tren Korupsi 2015 yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW) pada
24 Februari 2016 yang lalu menarik untuk dicermati dan dilihat dari dua
perspektif. Pertama, tren korupsi ini memberi gambaran yang lebih jelas atas
kinerja penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK) dalam menangani
kasus korupsi. Kedua, data tren korupsi yang digali dari berbagai sumber ini
juga memetakan pola,modus, aktor dan wilayah korupsi yang paling umum
terjadi. Meski demikian, perlu menjadi catatan bahwa kajian tren korupsi ini
belum bisa menggambarkan secara utuh masalah korupsi di Indonesia.

Dari beberapa kesimpulan penting kajian tren korupsi 2015 ini, dapat dilihat
bahwa jumlah kasus korupsi selama tahun 2015 adalah sebanyak 550 kasus
korupsi pada tahap penyidikan yang ditangani Aparat Penegak Hukum (APH)
dengan total tersangka sebanyak 1.124. Adapun total potensi kerugian
negara dari seluruh kasus tersebut sebesar Rp 3,1 Triliun dan nilai suap
sebesar Rp 450,5 Miliar.

Dalam kajian tren korupsi ICW sebelumnya, total kasus yang berhasil
dipantau selama tahun 2010 hingga 2014 adalah sebanyak 2.492 kasus
dengan total nilai kerugian negara sebesar Rp 30 triliun dan nilai suap
sebesar Rp 549 miliar. Dari sejumlah kasus ini ada sekitar 552 kasus yang
dikategorikan mangkrak atau tidak jelas penanganannya. Dengan kata lain,
tidak ada keterangan resmi apakah apakah kasus-kasus itu telah masuk
pada tahap penuntutan atau masih dalam proses penyidikan atau bahkan
dihentikan.

Banyaknya kasus korupsi yang tidak jelas penanganannya menunjukkan


bahwa aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK) belum
optimal menggunakan seluruh wewenang yang dimilikinya sebagai penegak
hukum untuk menyelesaikan tunggakan perkara tersebut. Bisa jadi,
meskipun ini masih asumsi, aparat penegak hukum terkendala oleh
persoalan internal, seperti indikasi suap, korupsi ataupun eksternal, seperti
tekanan politik ataupun kendala teknis-kapasitas.

Selain itu, gambaran penting dalam tren korupsi ICW 2015 ini adalah
pemetaan terhadap modus korupsi yang dilakukan. Modus korupsi yang
jamak terjadi selama tahun 2015 adalah penyalahgunaan anggaran
sebanyak 134 kasus dengan nilai kerugian negara sebesar Rp 803,3 Miliar.
Modus korupsi lain yang sering digunakan adalah penggelapan sebanyak 107
kasus dengan nilai kerugian negara sebesar Rp 412,4 Miliar. Lalu diikuti
dengan mark up ( 104 kasus), penyalahgunaan wewenang (102 kasus) dan
laporan fiktif (29 kasus).

Mengacu pada analisis dan kajian tren korupsi 2015 diatas, beberapa hal
penting perlu segera dilakukan oleh APH. Pertama, konsolidasi atas semua
data penanganan kasus korupsi, baik yang ditangani Kepolisian, Kejaksaan
maupun KPK sehingga terdapat satu sumber informasi yang kredibel bagi
publik luas. Kedua, optimalisasi atas sistem informasi perkara yang telah
dimiliki oleh APH sehingga informasi yang tersedia merupakan informasi
yang up to date. Dalam prakteknya, ICW masih melihat bahwa sistem
penanganan perkara tidak digunakan sebagai instrument keterbukaan
informasi kepada publik. Apabila data tersebut telah tersedia, maka kerja-
kerja supervise dan koordinasi yang wewenangnya dimiliki oleh KPK akan
bisa dijalankan lebih efektif.***

Sumber: DokICW/Dewi/Tren Korupsi 2015

Antikorupsi.org, Jakarta, 25 Februari 2016 - Indonesia Corruption Watch (ICW)


melakukan pemantauan terhadap Penanganan Kasus Korupsi tahun 2015.
Dinyatakan bahwa Kerugian Negara akibat kasus korupsi mencapai Rp. 3,1
triliun.

Peneliti ICW Wana Alamsyah memaparkan, kerugian tersebut disebabkan


banyaknya kasus korupsi yang terjadi sepanjang tahun 2015, Jumlahnya
ada 550 kasus, kata Wana saat peluncuran hasil pemantauan ICW terhadap
tren korupsi di Hotel Akmani, Rabu 24 Februari 2016.

Dari jumlah kerugian negara tersebut, sebesar Rp. 1,2 triliun didapat pada
paruh pertama tahun 2015. Sedangkan pada semester kedua tahun 2015
mencapai Rp. 1,8 triliun. Adapun dari jumlah 550 kasus korupsi, tersangka
yang terlibat kasus tersebut berjumlah 1.124 orang.

Pemantauan atas tren penanganan kasus korupsi tahun 2015 dilakukan ICW
melalui periode waktu 1 Juli hingga 31 Desember 2015. Data ICW dapat
lewat pemantauan media baik online maupun cetak, dan website resmi
institusi penegak hukum.

Dari hasil pemantauan tersebut, terlihat pula bahwa dari sisi penanganan
perkara, Kejaksaan Agung RI masih menempati posisi teratas, Kejaksaan
masih dominan, ada 369 kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan, imbuh
Wana. Sedangkan Kepolisian RI menangani 151 kasus, dan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sebanyak 30 kasus.

Menanggapi hal ini, Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri
Kombes Pol Erwanto Kurniadi menyanggah data yang disebut ICW.
Menurutnya perkara yang ditangani Kepolisian lebih banyak dari yang
disebut ICW, Sepanjang 2015 ada 927 perkara.

Hal ini menurut Erwanto mungkin disebabkan perbedaan persepsi, sehingga


jumlah lebih sedikit, Kami menghitung perkara, tapi ICW kasus, katanya.

Adapun pemetaan yang ICW lakukan meliputi jumlah kasus korupsi, total
nilai kerugian negara, jumlah tersangka, modus yang dilakukan, sektor
korupsi terjadi, dan jabatan pelaku. (egi)

DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.antikorupsi.org/id/content/kerugian-negara-akibat-korupsi-2015-sebesar-31-
triliun
2. http://www.antikorupsi.org/id/content/bulletin-mingguan-anti-korupsi-25-febuari-2-
maret-2016
3. http://acch.kpk.go.id/tema/-/blogs/sejarah-panjang-pemberantasan-korupsi-di-
indonesia;jsessionid=E7EBC8600177643BEA2F73D928147A62
4. http://acch.kpk.go.id/tema/-/blogs/sejarah-panjang-pemberantasan-korupsi-di-
indonesia;jsessionid=E7EBC8600177643BEA2F73D928147A62
5. http://www.banyumaskab.go.id/read/15537/kinerja-lembaga-pemberantasan-korupsi-di-
indonesia
6. http://hariannetral.com/2015/02/pengertian-korupsi-dampak-korupsi-dan-cara-mengatasi-
korupsi.html

Anda mungkin juga menyukai