ABSTRAK
Pemberantasan korupsi di Indonesia telah berjalan cukup lama. Berbagai upaya represif
dilakukan terhadap para pejabat publik atau penyelenggara negara yang terbukti melakukan
korupsi. Sudah tidak terhitung telah banyak pejabat negara dan wakil rakyat yang merasakan
getirnya hidup di hotel prodeo. Berdasarkan sejarah, selain KPK yang terbentuk di tahun 2003,
terdapat 6 lembaga pemberantasan korupsi yang sudah dibentuk di negara ini yakni; (i) Operasi
Militer di tahun 1957, (ii) Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, (iii) Operasi Tertib pada
tahun 1977, (iv) tahun 1987 dengan Tim Optimalisasi Penerimaan Negara dari sektor pajak, (v)
dibentuknya Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TKPTPK) pada tahun 1999,
dan (vi) tahun 2005 dibentuk Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor). Pada
tahun 2011, Country rank Year CPI Score Indonesia baru sebesar 3,0. Country rank Year CPI
Score mengurutkan negara-negara dalam derajat korupsi tertentu yang terjadi pada para petugas
publik dan politikus. Indeks ini merefleksikan pandangan pelaku bisnis dan pengamat dari
seluruh dunia termasuk para ahli yang menjadi penduduk pada negara yang dievaluasi.
A. Pendahuluan
Salah satu hasil dari Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD Negara RI Tahun 1945) adalah beralihnya supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) menjadi supremasi konstitusi. Akibatnya, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara
karena semua lembaga negara didudukkan sederajat dalam mekanisme checks and balances.
Sementara itu, konstitusi diposisikan sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan membatasi
kekuasaan lembaga-lembaga negara. Perkembangan konsep trias politica juga turut
memengaruhi perubahan struktur kelembagaan di Indonesia. Di banyak negara, konsep klasik
mengenai pemisahan kekuasaan tersebut dianggap tidak lagi relevan karena tiga fungsi
kekuasaan yang ada tidak mampu menanggung beban negara dalam menyelenggarakan
pemerintahan. Untuk menjawab tuntutan tersebut, negara membentuk jenis lembaga negara baru
yang diharapkan dapat lebih responsif dalam mengatasi persoalan aktual negara. Maka,
berdirilah berbagai lembaga negara bantu dalam bentuk dewan, komisi, komite, badan, ataupun
otorita, dengan masing-masing tugas dan wewenangnya. Beberapa ahli tetap mengelompokkan
lembaga negara bantu dalam lingkup eksekutif, namun ada pula sarjana yang menempatkannya
tersendiri sebagai cabang keempat kekuasaan pemerintahan. Dalam konteks Indonesia, kehadiran
lembaga negara bantu menjamur pascaperubahan UUD Negara RI Tahun 1945. Berbagai
lembaga negara bantu tersebut tidak dibentuk dengan dasar hukum yang seragam. Beberapa di
antaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun ada pula yang memperoleh legitimasi
berdasarkan undang-undang ataupun keputusan presiden. Salah satu lembaga negara bantu yang
dibentuk dengan undang-undang adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pemberantasan korupsi di Indonesia sebenarnya telah berjalan cukup lama, bahkan nyaris setua
umur Republik ini berdiri. Berbagai upaya represif dilakukan terhadap para pejabat publik atau
penyelenggara negara yang terbukti melakukan korupsi. Sudah tidak terhitung telah berapa
banyak pejabat negara yang merasakan getirnya hidup di hotel prodeo. Berdasarkan sejarah,
selain KPK yang terbentuk di tahun 2003, terdapat 6 lembaga pemberantasan korupsi yang sudah
dibentuk di negara ini yakni; (i) Operasi Militer di tahun 1957, (ii) Tim Pemberantasan Korupsi
di tahun 1967, (iii) Operasi Tertib pada tahun 1977, (iv) tahun 1987 dengan Tim Optimalisasi
Penerimaan Negara dari sektor pajak, (v) dibentuknya Tim Gabungan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (TKPTPK) pada tahun 1999, dan (vi) tahun 2005 dibentuk Tim Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) (Mochammad, 2009: 2).
Pemerintah Indonesia sejak tahun 1957 melalui Kepres No. 48/1957 Kepala Staf Angkatan Darat
(KSAD) Abdul Haris Nasution selaku penguasa militer menetapkan Peraturan Penguasa Militer
No. Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Salah satu aspek penting dalam peraturan
tersebut adalah membentuk suatu unit kerja yang bertugas menilik harta benda setiap orang yang
disangka, didakwa atau sepatutnya disangka melakukan korupsi, termasuk harta benda suami,
istri, anak atau badan/institusi yang diurus oleh orang tersebut. Pada masa orde baru, lahir
Keppres No. 52/1970 tentang Pendaftaran Kekayaan Pribadi Pejabat Negara/Pegawai
Negeri/ABRI. Di orde reformasi dengan adanya UU no. 28/1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih KKN dibentuklah Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara
(KPKPN). Dalam tugasnya KPKPN berhasil meletakkan landasan yang baik bagi mekanisme
pelaporan kekayaan penyelenggara negara secara komprehensif (Mochammad, 2009: 3).
Lembaga pemberantasan korupsi sudah banyak dibentuk untuk memberantas korupsi yang telah
mendudukan Indonesia sebagai negara korup dengan indeks kepercayaan masyarakat masih jauh
di bawah negara ASEAN lainnya. Kinerja lembaga pemberantasan korupsi perlu dievaluasi agar
dapat mengetahui permasalahan belum bekerjanya lembaga tersebut secara optimal.
B. Pengertian Korupsi
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu jenis dari berbagai jenis tindak pidana. Mengenai
pengertian tindak pidana sendiri sejak dulu telah banyak diciptakan oleh para sarjana, salah
satunya yaitu yang diungkapkan oleh Prof. Muljatno dengan menggunakan istilah perbuatan
pidana yaitu: Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana
barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Menurut ujudnya atau sifatnya perbuatan pidana
ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan
masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam
pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. (Saleh, 1983 : 16).
Sedangkan mengenai pengertian korupsi, menurut arti katanya korupsi berasal dari Bahasa Latin
Corruptio atau Corruptus yang artinya busuk, buruk, bejat, dapat disuap, menyimpang dari
kesucian, perkataan yang menghina atau memfitnah. Dalam perkembangan selanjutnya kata
korupsi dalam perbendaharaan Bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan curang dan dapat
disuap (Mariyanti, 1986 : 197). Menurut K Soeparto, perkataan Corruptio mempunyai banyak
makna, yaitu bederven (merusak), schenden (melanggar), dan omkopen (menyuap). Pers
acapkali memakai istilah korupsi dalam arti yang luas, mencakup masalah-masalah tentang
penggelapan (Bassar, 1983 : 77).
Korupsi dalam ensiklopedia Indonesia disebutkan sebagai (dari bahasa latin: corruptio =
penyuapan, corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan negara
menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan
lainnya. Adapun arti harafiah dari korupsi dapat berupa kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak
bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran (Jhon dan Hasan, 1997: 149). Dalam pengertian lain
dapat dikatakan sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok
dan sebagainya (Kramer, 1997: 62).
Ciri-ciri korupsi dijelaskan oleh Shed Husein Alatas dalam bukunya Sosiologi Korupsi sebagai
berikut :
a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama dengan kasus
pencurian atau penipuan. Seorang operator yang korup sesungguhnya tidak ada dan kasus itu
biasanya termasuk dalam pengertian penggelapan (fraud).
b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan
begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada di dalam lingkungannya
tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya. Namun, walaupun demikian motif korupsi
tetap dijaga kerahasiaannya.
c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan
keuntungan itu tidak selalu berupa uang.
d. Mereka yang mempraktekkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi
perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.
e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk
mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau
umum (masyarakat).
g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan (Hartanti, 2007: 10-11).
Pengembangan tipologi korupsi menurut Vito Tanzi adalah sebagai berikut :
a Korupsi transaksi, yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan diantara seorang donor dengan
resipien untuk keuntungan kedua belah pihak.
b Korupsi ekstortif, yaitu korupsi yang melibatkan penekanan pemaksaan untuk menghindari
bahaya bagi mereka yang terlibat atau orang-orang yang dekat dengan pelaku korupsi.
c Korupsi investif, yaiut korupsi yang berawal dari tawaran yang merupakan investasi untuk
mengatisipasi adanya keuntungan di masa datang.
d Korupsi nepotistik, yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik dalam
pengangkatan kantor publik maupun pemberian proyek-proyek bagi keluarga dekat.
e Korupsi otogenik, yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat mendapat keuntungan
karena memiliki pengetahuan sebagai orang dalam (insiders information) tentang berbagai
kebijakan publik yang seharusnya dirahasiakan.
f Korupsi supportif, yaitu perlindungan atau penguatan korupsi yang menjadi intrik kekuasaan
dan bahkan kekerasan.
g Korupsi defensif, yaitu korupsi yang dilakukan dalam rangka mempertahankan diri dari
pemerasaan (Chaerudin, 2008: 2).
Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
a. Lemahnya pendidikan agama dan etika.
b. Kolonialisme. Suatu pemerintahan asing tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang
diperlukan untuk membendung korupsi.
c. Kurangnya pendidikan. Namun kenyataannya sekarang kasus-kasus korupsi di Indonesia
dilakukan oleh koruptor yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, terpelajar dan
terpandang sehingga alasan ini dapat dikatakan kurang tepat.
d. Kemiskinan. Pada kasus korupsi yang merebak di Indonesia, para pelakunya bukan didasari
oleh kemiskinan melainkan keserakahan, sebab mereka bukanlah dari kalangan yang tidak
mampu melainkan para konglomerat.
e. Tidak adanya sanksi yang keras.
f. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku antikorupsi.
g. Struktur pemerintahan.
h. Perubahan radikal. Pada sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai
suatu penyakit transisional.
i. Keadaan masyarakat. Korupsi dalam suatu birokrasi bisa mencerminkan keadaan
masyarakat (Hartanti, 2007: 11).
Korupsi dalam UU no. 31 tahun 1999 merupakan perbuatan secara melawan hukum
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara. Praktek korupsi dilihat dari segi bentuknya terdiri dari:
1. Lebih banyak menyangkut penyelewengan di bidang materi yang dikategorikan sebagai
material corruption.
2. Perbuatan manipulasi dengan cara penyuapan, intimidasi, paksaan dan/atau campur tangan
yang dikategorikan sebagai political corruption.
3. Menyangkut manipulasi dalam bidang ilmu pengetahuan/hak cipta atau disebut intellectual
corruption (Lopa. 2001: 70).
Korupsi melanggar hak asasi berupa hak sosial dan ekonomi masyarakat, sehingga korupsi
dipandang sebagai extraordinary crime (kejahatan yang luar biasa yang memerlukan
penanganan secara luar biasa pula. Pemerintah Indonesia sudah beberapa kali membentuk
lembaga yang menangani masalah korupsi. Lembaga negara bukan konsep yang secara
terminologis memiliki istilah tunggal dan seragam. Di dalam literatur Inggris, istilah political
institution digunakan untuk menyebut lembaga negara, sedangkan bahasa Belanda mengenal
istilah staat organen atau staatsorgaan untuk mengartikan lembaga negara. Sementara di
Indonesia, secara baku digunakan istilah lembaga negara, badan negara, atau organ negara.
Beberapa lembaga antikorupsi yang pernah dibentuk selama kurun waktu tahun 1967-2008
sebagai berikut:
1. Nama Tim: Tim Pemberantas Korupsi
Jenis peraturan:
Keppres 228/1967 tertanggal 2 Desember 1967.
Pelaksana:
Mayjen Sutopo Juwono, Laksda Sudomo, Komodor Saleh Basarah, Brigjen Pol Soebekti, Jaksa
Agung Muda Priyatna Abdurrasjid SH dan Kusnun SH Satgas:unsur kejaksaan, ke-4 angkatan,
ahli ekonomi, keuangan dan perbankan, pers dan kesatuan-kesatuan aksi.
Tugas/Sasaran:
Membantu pemerintah memberantas korupsi dengan tindakan bersifat refresif maupun preventif.
Hasil: na
2. Nama Tim: Komisi empat
Jenis peraturan:
Keppres 12/1970 tertanggal 31 Januari 1970.
Pelaksana: :
Komisi ini terdiri 4 orang: Wilopo SH (ketua merangkap anggota), IJ Kasimo, Anwar
Tjokroaminoto, Prof Ir Johannes, Mayjen Sutopo Juwono (Ketua Bakin) sebagai sekretaris.
Tugas/Sasaran:
Menghubungi penjabat atau instansi pemerintah, swasta, sipil atau militer. Memeriksa dokumen-
dokumen administrasi pemerintah, swasta, dan lain-lain. Minta bantuan pada aparatur negara
pusat dan daerah.
Hasil:
Setelah bekerja 5 bulan, tugas Komisi IV selesai dengan menghasilkan pertimbangan:
a. Laporan dan saran-saran agar kegiatan Jaksa Agung dan TPK diperkuat dengan tenaga-
tenaga ahli yang berpengalaman dan penuntut umum harus bertindak tegas tanpa pandang bulu.
b. Masalah Pertamina, tidak pernah bayar pajak sejak tahun 1958-1963. Dan juga mengenai
Pertamina mempunyai 3 anak perusahaan, dimana hal ini bertentangan dengan UU No 19/1960.
c. Masalah penebangan hutan yang harus disertai penanaman kembali.
d. Tahun 1970, Bulog defisit Rp 12,871 milyar.
e. Penyederhanaan struktur dan administrasi negara. Tiap pejabat atasan harus memperhatikan
agar semua peraturan dipegang teguh agar tidak terjadi penyelewengan.
5. Nama Tim: Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dihidupkan lagi. Namun Keppres mengenai
TPK ini tidak pernah terwujud.
Pelaksana:
MenPAN Sumarlin, Pangkopkamtib Sudomo, Ketua MA Mudjono SH, Menteri Kehakiman Ali
Said, Jaksa Agung Ismail Saleh, dan Kapolri Jenderal (Pol) Awaluddin Djamin MPA.
Tugas/Sasaran:
na
Hasil:
na
Pertama, indikator makro yang terdiri dari survey CPI, Internal Country Risk Group. Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) Transparency International mengurutkan negara-negara dalam derajat
korupsi tertentu yang terjadi pada para petugas publik dan politikus. Ini merupakan indeks yang
padat, yang digambarkan berdasarkan data yang berhubungan dengan korupsi dalam survei ahli
yang dilakukan oleh berbagai lembaga terkemuka. Indeks ini merefleksikan pandangan pelaku
bisnis dan pengamat dari seluruh dunia termasuk para ahli yang menjadi penduduk pada negara
yang dievaluasi. Penanggung jawab IPK Transparency International adalah Johann Graf
Lambsdorff, seorang profesor dari universitas di Passau, Jerman. Pemberantasan korupsi di
Indonesia mengalami kemajuan yang positif meskipun tidak signifikan. Survey tersebut
merupakan gambaran secara umum tentang pendapat masyarakat terhadap keseriusan pemerintah
dalam memerangi korupsi. CPI Indonesia disusun dari sebelas variabel yang diukur dari jawaban
responden yang berasal dari pelaku bisnis. Variabel tersebut antara lain prosedur Pengajuan ijin
usaha, prosedur pelayanan umum, penggelapan oleh pejabat publik.
Kedua, indikator Pelayanan Publik. Indikator pelayanan publik dapat dilihat dari survey yang
dilakukan oleh Transparency International bahwa dari 50 kota, CPI Indonesia 2008 dihasilkan
dari total rata-rata dari variabel survey di masing-masing kota. Berdasarkan formulasi tersebut,
maka didapatkanlah IPK Indonesia 2008, dengan skor tertinggi 6,43 (Jogjakarta), dan skor
terendah 2,97 (Kupang). Rata-rata dari total skor untuk 50 kota adalah 4,42.
CPI Indonesia 2008 menunjukkan bahwa di kota-kota seperti Jogjakarta, Palangkaraya dan
Banda Aceh, pelaku bisnis di kota-kota tersebut menilai bahwa praktek suap dan korupsi tidak
lazim dilakukan oleh aparat pemda kota. Sebaliknya, di kota yang mendapatkan skor rendah
seperti Kupang dan Tegal, dapat disimpulkan bahwa pelaku bisnis di kota-kota tersebut menilai
bahwa praktek korupsi masih lazim dilakukan. Hal ini berarti kampanye anti korupsi yang
dilakukan KPK dengan melakukan pengumpulan dukungan dan komitmen anti korupsi yang
dilakukan oleh KPK telah cukup berhasil dengan membentuk suatu persepsi anti korupsi di
daerah.
Ketiga, indikator Kinerja Penegakan Hukum. Indikator ini bukan hanya dari sisi KPK saja,
karena KPK menangani kasus korupsi dengan dugaan kerugian negara paling sedikit Rp.
1.000.000.000,00. Dari beberapa indikator diatas tentunya yang paling disorot adalah kinerja
KPK dalam mengungkap kasus Korupsi besar.
Data dari ICW menunjukkan modus korupsi terbesar yang terungkap selama semester 1 tahun
2010 adalah modus penggelapan dengan 62 kasus, diikuti modus mark up 52 kasus, proyek fiktif
20 kasus, penyalahgunaan anggaran 18 kasus dan suap 7 kasus. Telah terjadi pergeseran modus
dimana modus tertinggi selama semester I tahun 2009 adalah modus penyalahgunaan anggaran
tertinggi dengan 32 kasus Sedangkan di semester I tahun 2010 modus penggelapan merupakan
yang paling dominan dengan 62 kasus. Sinyalemen ICW mengkaitkan pergeseran tersebut
dengan kondisi politik yang terjadi pada tahun 2008 dan 2009 yang merupakan tahun persiapan
menjelang pemilukada. Modus penggelapan, umumnya terkait dengan penyimpangan dana yang
langsung berhubungan dengan kepentingan masyarakat seperti dana-dana bantuan sosial
(bansos), yang marak terjadi tahun 2008 dan 2009.
Meskipun data dari ICW menunjukkan keuangan daerah tetap sebagai sektor yang paling rawan
dikorupsi dengan APBD sebagai objek korupsinya, sebenarnya upaya-upaya pengelolaan
anggaran daerah oleh pemerintah daerah telah menunjukkan hasil. Hal ini ditunjukkan oleh studi
yang dilakukan oleh Seknas FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) tahun 2009
yang menunjukkan aspek transparansi dan akuntabilitas kinerja pemerintah terhadap pengelolaan
anggaran daerah menunjukkan hasil yang cukup mengejutkan yakni cukup optimal. Hasil yang
ada menunjukkan bahwa upaya pemerintah untuk mendorong proses transparansi dan
akuntabilitas perlu diapresiasi. Sedangkan tingginya tingkat korupsi APBD berdasarkan data
ICW dapat dimaklumi karena sektor anggaran merupakan sumber utama penyedia dana yang
berpotensi untuk dikorupsi.
Dalam hal ketersediaan dokumen, pemerintah daerah pada umumnya telah membuat dokumen
yang ada kecuali Informasi Laporan Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah (ILPPD). Sesuai
dengan amanat PP No 3 / 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang
mengharuskan Pemda membuat dan mempublikasikan ILPPD kepada masyarakat. Ada dua
kondisi yang menyebabkan kelangkaan ini, yaitu: (i) Pemerintah kurang memberikan perhatian
untuk membangun mekanisme akuntabilitas dan transparansi publik melalui dokumen ILPPD;
(ii) Beberapa daerah yang diteliti menyatakan belum mengetahui adanya aturan ini sehingga
tidak membuatnya.
Dari sisi publikasi dokumen anggaran, penelitian ini menunjukkan daerah yang paling banyak
mempublikasikan dokumen perencanaan penganggaran baik melalui website maupun media
lainnya adalah Kota Pare-Pare. Sementara itu, pemerintah daerah yang hanya mempublikasikan
satu dokumen anggaran adalah Kabupaten Bone, Kabupaten Polman, Kota Surakarta, Kabupaten
Boyolali, dan Kabupaten Malang.
Daerah yang paling sulit untuk diakses dokumen anggarannya adalah Kabupaten Cilacap.
Terdapat 18 (90%) dari 20 dokumen yang tidak bisa diakses di daerah tersebut, diikuti oleh Kota
Banjar dengan 12 dokumen (60%) dan Kota Blitar dengan 10 (50%) dokumen. Sementara itu,
masih ada 27 daerah lainnya dengan rata-rata 57 dokumen anggarannya yang tidak bisa diakses
di daerah-daerah tersebut.
Aspek akuntabilitas pengelolaan anggaran oleh pemerintah daerah menunjukkan hasil yang
relatif baik di semua tahapan pengelolaan anggaran, khususnya pada tahap perencanaan,
pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Pada tahap perencanaan memiliki kinerja akuntabilitas
sangat tinggi karena dokumen-dokumen perencanaan, umumnya bisa dibuat tepat waktu disertai
adanya wahana bagi publik untuk terlibat.
Demikian halnya pada tahap pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Tantangan pemerintah
daerah dalam mendorong akuntabilitas publik perlu dikuatkan pada tahap pembahasan.
Seringkali pada tahap ini, legislatif dan eksekutif gagal dalam penyediaan ruang
pertanggungjawaban kepada publik. Salah satunya adalah ketepatan waktu dalam pembahasan
dokumen anggaran yang seringkali molor dari waktu yang diatur dalam perundang-undangan.
Dalam penelitian Seknas Fitra tersebut juga menunjukan bahwa mayoritas pemerintah daerah
telah memiliki standar harga yang diperbaharui setiap tahunnya. Standar harga merupakan
kebijakan penting yang harus ditetapkan oleh pemerintah sebagai rujukan penyusunan Harga
Perkiraan Sendiri (HPS) dalam proses
Sejarah Panjang Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Di masa awal Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keppres No.28 Tahun 1967
tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Dalam pelaksanaannya, tim
tidak bisa melakukan pemberantasan korupsi secara maksimal, bahkan bisa
dikatakan hampir tidak berfungsi. Peraturan ini malahan memicu berbagai bentuk
protes dan demonstrasi mulai tahun 1969 dan puncaknya di tahun 1970 yang
kemudian ditandai dengan dibentuknya Komisi IV yang bertugas menganalisa
permasalahan dalam birokrasi dan mengeluarkan rekomendasi untuk
mengatasinya.
Masih di tahun yang sama, mantan wakil presiden pertama RI Bung Hatta
memunculkan wacana bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia. Padahal,
lanjut Hatta, korupsi telah menjadi perilaku dari sebuah rezim baru yang dipimpin
Soeharto, padahal usia rezim ini masih begitu muda. Hatta seperti merasakan cita-
cita pendiri Republik ini telah dikhianati dalam masa yang masih sangat muda. Ahli
sejarah JJ Rizal mengungkapkan, Hatta saat itu merasa cita-cita negara telah
dikhianati dan lebih parah lagi karena korupsi itu justru seperti diberi fasilitas.
Padahal menurut dia, tak ada kompromi apapun dengan korupsi.
Orde baru bisa dibilang paling banyak mengeluarkan peraturan karena masa Orde
Baru yang cukup panjang. Namun sayangnya tidak banyak peraturan yang dibuat
itu berlaku efektif dan membuat korupsi sedikit berkurang dari bumi Indonesia.
Menyambung pidatonya di Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus 1970, pemerintahan
Soeharto mengeluarkan UU No.3 tahun 1971 tentang PemberantasanTindak Pidana
Korupsi. Aturan ini menerapkan pidana penjara maksimum seumur hidup serta
denda maksimum Rp 30 juta bagi semua delik yang dikategorikan korupsi.
Berikut ini beberapa peraturan yang terbit di masa Orde Baru berkaitan dengan
pemberantasan korupsi :
GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur yang Berwibawa dan Bersih
dalam Pengelolaan Negara;
Keppres No. 52 Tahun 1971 tentang Pelaporan Pajak Para Pejabat dan PNS;
Berganti rezim, berganti pula harapan rakyat Indonesia untuk bisa mengenyahkan
koruptor dari Indonesia. Orde Baru kandas, muncul pemerintahan baru yang lahir
dari gerakan reformasi pada tahun 1998. Di masa pemerintahan Abdurrahman
Wahid Muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang
Bersih dan Bebas KKN. Pemerintahan Gus Dur kemudian membentuk badan-badan
negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain: Tim
Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional,
Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya.
Pada masa itu, ada beberapa catatan langkah radikal yang dilakukan oleh
pemerintahan Gus Dur. Salah satunya, mengangkat Baharudin Lopa sebagai Menteri
Kehakiman yang kemudian menjadi Jaksa Agung. Kejaksaan Agung RI sempat
melakukan langkah-langkah kongkret penegakan hukum korupsi. Banyak koruptor
kelas kakap yang diperiksa dan dijadikan tersangka pada saat itu.
Di era Presiden SBY, visi pemberantasan korupsi tercermin dari langkah awal yang
dilakukannya dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 dan
kemudian dilanjutkan dengan penyiapan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan
Korupsi (RAN) yang disusun oleh Bappenas. RAN Pemberantasan Korupsi itu berlaku
pada tahun 2004-2009. Dengan menggunakan paradigma sistem hukum,
pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono diuntungkan sistem hukum yang mapan,
keberadaan KPK melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor) yang terpisah dari pengadilan umum, dukungan
internasional (structure), dan instrument hukum yang saling mendukung antara
hukum nasional dan hukum internasional.
1. Zaman soeharto
Apa mereka berharap kalau kasus korupsi mereka bisa masuk rekor dunia Guiness World
Record, memang mungkin lain kali harus di adkan sebuah penghargaan untuk mereka
para koruptor, biar mereka bisa bangga dengan hasil kerja kerasnya maling duit rakyat.!
Kasus Korupsi Presiden Soeharto
Usaha untuk mengadili Soeharto selalu gagal karena kesehatannya yang semakin
memburuk. Dan setelah menderita sakit berkepanjangan, ia meninggal dunia di Jakarta
pada 27 Januari 2008. Sampai saat ini pun proses hukum tentang kasus korupsi ini belum
menemui titik terang dan penyelesainnya ?
17.sional
18.Jumat, 04 Juli 2014, 00:57 WIB
Suharto terbukti secara hukum melakukan tindak korupsi, itu baru satu
yayasan. Jika ada capres yang ingin pemberantasan korupsi tapi ingin
memberikan Soeharto gelar pahlawan itu tindakan kontradiktif. Ini
adalah penipuan publik, manipulasi sejarah yang harus diingatkan
kepada publik, kata Erwin
24.Sby
Jokowi
Tren Korupsi 2015 : Tunggakan Kasus Tinggi, Kinerja Penegak Hukum Lemah
Kajian Tren Korupsi 2015 yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW) pada
24 Februari 2016 yang lalu menarik untuk dicermati dan dilihat dari dua
perspektif. Pertama, tren korupsi ini memberi gambaran yang lebih jelas atas
kinerja penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK) dalam menangani
kasus korupsi. Kedua, data tren korupsi yang digali dari berbagai sumber ini
juga memetakan pola,modus, aktor dan wilayah korupsi yang paling umum
terjadi. Meski demikian, perlu menjadi catatan bahwa kajian tren korupsi ini
belum bisa menggambarkan secara utuh masalah korupsi di Indonesia.
Dari beberapa kesimpulan penting kajian tren korupsi 2015 ini, dapat dilihat
bahwa jumlah kasus korupsi selama tahun 2015 adalah sebanyak 550 kasus
korupsi pada tahap penyidikan yang ditangani Aparat Penegak Hukum (APH)
dengan total tersangka sebanyak 1.124. Adapun total potensi kerugian
negara dari seluruh kasus tersebut sebesar Rp 3,1 Triliun dan nilai suap
sebesar Rp 450,5 Miliar.
Dalam kajian tren korupsi ICW sebelumnya, total kasus yang berhasil
dipantau selama tahun 2010 hingga 2014 adalah sebanyak 2.492 kasus
dengan total nilai kerugian negara sebesar Rp 30 triliun dan nilai suap
sebesar Rp 549 miliar. Dari sejumlah kasus ini ada sekitar 552 kasus yang
dikategorikan mangkrak atau tidak jelas penanganannya. Dengan kata lain,
tidak ada keterangan resmi apakah apakah kasus-kasus itu telah masuk
pada tahap penuntutan atau masih dalam proses penyidikan atau bahkan
dihentikan.
Selain itu, gambaran penting dalam tren korupsi ICW 2015 ini adalah
pemetaan terhadap modus korupsi yang dilakukan. Modus korupsi yang
jamak terjadi selama tahun 2015 adalah penyalahgunaan anggaran
sebanyak 134 kasus dengan nilai kerugian negara sebesar Rp 803,3 Miliar.
Modus korupsi lain yang sering digunakan adalah penggelapan sebanyak 107
kasus dengan nilai kerugian negara sebesar Rp 412,4 Miliar. Lalu diikuti
dengan mark up ( 104 kasus), penyalahgunaan wewenang (102 kasus) dan
laporan fiktif (29 kasus).
Mengacu pada analisis dan kajian tren korupsi 2015 diatas, beberapa hal
penting perlu segera dilakukan oleh APH. Pertama, konsolidasi atas semua
data penanganan kasus korupsi, baik yang ditangani Kepolisian, Kejaksaan
maupun KPK sehingga terdapat satu sumber informasi yang kredibel bagi
publik luas. Kedua, optimalisasi atas sistem informasi perkara yang telah
dimiliki oleh APH sehingga informasi yang tersedia merupakan informasi
yang up to date. Dalam prakteknya, ICW masih melihat bahwa sistem
penanganan perkara tidak digunakan sebagai instrument keterbukaan
informasi kepada publik. Apabila data tersebut telah tersedia, maka kerja-
kerja supervise dan koordinasi yang wewenangnya dimiliki oleh KPK akan
bisa dijalankan lebih efektif.***
Dari jumlah kerugian negara tersebut, sebesar Rp. 1,2 triliun didapat pada
paruh pertama tahun 2015. Sedangkan pada semester kedua tahun 2015
mencapai Rp. 1,8 triliun. Adapun dari jumlah 550 kasus korupsi, tersangka
yang terlibat kasus tersebut berjumlah 1.124 orang.
Pemantauan atas tren penanganan kasus korupsi tahun 2015 dilakukan ICW
melalui periode waktu 1 Juli hingga 31 Desember 2015. Data ICW dapat
lewat pemantauan media baik online maupun cetak, dan website resmi
institusi penegak hukum.
Dari hasil pemantauan tersebut, terlihat pula bahwa dari sisi penanganan
perkara, Kejaksaan Agung RI masih menempati posisi teratas, Kejaksaan
masih dominan, ada 369 kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan, imbuh
Wana. Sedangkan Kepolisian RI menangani 151 kasus, dan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sebanyak 30 kasus.
Menanggapi hal ini, Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri
Kombes Pol Erwanto Kurniadi menyanggah data yang disebut ICW.
Menurutnya perkara yang ditangani Kepolisian lebih banyak dari yang
disebut ICW, Sepanjang 2015 ada 927 perkara.
Adapun pemetaan yang ICW lakukan meliputi jumlah kasus korupsi, total
nilai kerugian negara, jumlah tersangka, modus yang dilakukan, sektor
korupsi terjadi, dan jabatan pelaku. (egi)
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.antikorupsi.org/id/content/kerugian-negara-akibat-korupsi-2015-sebesar-31-
triliun
2. http://www.antikorupsi.org/id/content/bulletin-mingguan-anti-korupsi-25-febuari-2-
maret-2016
3. http://acch.kpk.go.id/tema/-/blogs/sejarah-panjang-pemberantasan-korupsi-di-
indonesia;jsessionid=E7EBC8600177643BEA2F73D928147A62
4. http://acch.kpk.go.id/tema/-/blogs/sejarah-panjang-pemberantasan-korupsi-di-
indonesia;jsessionid=E7EBC8600177643BEA2F73D928147A62
5. http://www.banyumaskab.go.id/read/15537/kinerja-lembaga-pemberantasan-korupsi-di-
indonesia
6. http://hariannetral.com/2015/02/pengertian-korupsi-dampak-korupsi-dan-cara-mengatasi-
korupsi.html