Anda di halaman 1dari 37

Strategi Menyiapkan Masa Transisi

Untuk Anak Usia Dini


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen dan
Kepemimpinan Pendidikan

Dosen Pengampu : Dr. Subagyo, M. Pd.

Disusun Oleh :

Asma Azizah Nurilla 0102516003

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

TAHUN 2016

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................2
BAB I

PENDAHULUAN...........................................................................................3
A. LATAR BELAKANG................................................................................3
B. RUMUSAN MASALAH...........................................................................7
C. TUJUAN....................................................................................................7
BAB II KAJIAN TEORI..........................................................................................8
1. HAKIKAT BELAJAR...............................................................................8
2. HAKIKAT PEMBELAJARAN.................................................................8
3. HAKIKAT PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI................................9
BAB III PEMBAHASAN......................................................................................20
BAB IV IMPLEMENTASI TOPIK DALAM PENDIDIKAN .............................28
BAB V PENUTUP.................................................................................................29
A. SIMPULAN.............................................................................................29
B. SARAN....................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................30
LAMPIRAN ..........................................................................................................31

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Transisi mengacu pada proses perubahan yang dialami ketika anak-
anak berpindah dari satu aturan ke aturan yang lain (Fabian dan Dunlop
2002) dan mengubah peran mereka dalam struktur masyarakat (Rogoff
2003). Ini adalah proses interaktif yang terjadi dari waktu ke waktu dan
mencakup semua peristiwa dan kegiatan yang terjadi selama perubahan
dari satu lingkungan ke lingkungan yang lain (Dunlop dan Fabian 2007).
Transisi meliputi waktu antara titik-titik kesadaran bahwa transisi akan
terjadi, untuk menetap ke dalam lingkungan baru, saat anak sepenuhnya
menjadi anggota dari aturan baru (Fabian dan Dunlop 2002).
Transisi yang umum untuk anak-anak adalah transisi dari rumah atau
aturan tempat perawatan anak ke prasekolah atau dari prasekolah ke
sekolah umum, baik TK atau kelas satu. Meskipun prasekolah atau taman
kanak-kanak adalah pengalaman umum bagi anak-anak di Amerika
Serikat, itu tidaklah sama. Pengalaman pra-transisi anak-anak dan keluarga
mereka bervariasi dan beragam, dan anak-anak mempunyai latar belakang
pendidikan yang berbeda dan tingkat persiapan mereka menghadapi
pengalaman di sekolah. Selain itu, program anak-anak berbeda dalam
hakikat, kurikulum, struktur, dan praktek. Program pendidikan usia dini,
khususnya TK dan kelas pertama, telah menjadi semakin terarah di
akademiknya (Brostro m 2002; Elkind 2003) dalam menanggapi undang-
undang dan standar umum negara, yang mendukung harapan kurikuler
yang lebih tinggi di kalangan pendidik. Pengarahan akademik ini
meningkat membuat transisi ke sekolah umum sulit bagi keluarga dan
anak-anak, terutama dari aturan sekolah swasta di mana kurikulum
mungkin tidak diawasi oleh standar umum negara.
Selain pengalaman awal sekolah, transisi dipengaruhi oleh ide-ide
sosial-budaya dari masa kanak-kanak, harapan akademik, dan harapan
orangtua (Fabian dan Dunlop 2002; Dunlop dan Fabian 2007). Sosio-

3
ekonomi, temperamental, dan kompetensi pribadi juga mungkin faktor
yang terkait dengan transisi (Yeboah 2002). Transisi pengalaman anak-
anak dibentuk oleh mereka sendiri melalui pengalaman individu, tetapi
juga melalui transisi pengalaman keluarga yang kumulatif juga. Transisi
yang tertanam dalam konteks social di rumah dan sekolah dan membuat
hubungan dan interaksi dari waktu ke waktu (Skouteris et al. 2012).
Masuk ke sekolah formal ditandai perubahan yang signifikan dalam
cara anak berpartisipasi dalam keluarga mereka dan masyarakat (Bohan-
Baker dan Little 2002). Griebel dan Niesel (2003) menggambarkan
perubahan yang terjadi pada tiga tingkatan anak mulai sekolah: tingkat
individu, anak mengadopsi identitas siswa; tingkat interaktif, adanya
perubahan interaksi anak dan interaksi baru yang berkembang; dan tingkat
kontekstual, di mana lingkungan rumah dan sekolah bersinggungan.
Perubahan ini merupakan perubahan pengalaman pendidikan dan filosofi
untuk anak-anak dan keluarga mereka. Begitu juga harapan yang lain, pola
interaksi, dan hubungan sekitar dan termasuk anak-anak (Einarsdottir et
al.2008).
Perjalanan emosional anak menghadapi masa transisi adalah
signifikan dan beberapa akan menyebabkan stress dan ketidaknyamanan
ketika anak ditempatkan dalam aturan asing (Bell-Booth et al 2014;.
Kennedy et al 2012.). Perkembangan transisi anak mungkin termasuk
kehilangan kesertaan orang dekat, teman-teman, lingkungan, dan hal-hal
dalam lingkungan itu; menurunkan rasa memiliki, ketidakpastian peran
dan identitas; perasaan yang mendevaluasi; ketidakpastian tentang masa
depan (Kennedy et al.2012); dan kerugian yang dirasakan suara, kontrol
dan keunikan (Harper2005). Selama transisi ini anak-anak harus
menghadapi banyak tuntutan baru termasuk berbeda struktur pendidikan,
proses, dan kurikulum (Sink et al.2007). Ketika anak-anak mulai sekolah,
mereka berinteraksi dengan rekan-rekan baru dan guru dan mengadopsi
adanya kelompok baru dan teman sekelas karena mereka menganggap
peran baru sebagai siswa. Sebagai siswa baru, anak-anak menerima
tantangan akademis baru seperti belajar membaca; mengembangkan

4
standar akademik baru yang digunakan untuk menilai diri mereka sendiri
dan orang lain, sering didasarkan pada norma-norma sekolah; dan belajar
sekolah baru dan harapan guru, seperti aturan yang mengatur perilaku
diterima dikelas (Dunlop dan Fabian2007).
Mempersiapkan anak-anak untuk keberhasilan transisi di sekolah
adalah prioritas nasional, namun sejauh mana orang tua terlibat dalam
transisi ke dalam proses perencanaan sekolah jarang dipertimbangkan.
Penelitian menunjukkan bahwa hampir setengah dari biasanya anak-anak
mengalami kesulitan berkembang dengan transisi di sekolah dengan tidak
adanyafaktor risiko yang signifikan (Rimm-Kaufman dan Pianta 2000).
Anak-anak dengan kebutuhan khusus berada pada risiko yang lebih besar
untuk sukses dalam masa transisi. Bidang yang menjadi perhatian selama
masa transisi paling sering diterapkan oleh keluarga yang sosial-perilaku
mengacu pada sekitar, termasuk membiasakan untuk sekolah baru
(struktur, rutinitas dan orang), mengikuti aturan, dan masalah perilaku;
informasi tentang guru anak mereka; dan program sekolah. Selain itu,
orang tua mengekspresikan kebutuhan untuk memainkan peran lebih besar
dalam persiapan transisi dan keinginan untuk informasi lebih lanjut
tentang strategi melibatkan mereka dalam upaya mempersiapkan anak
mereka untuk sekolah formal (Rimm-Kaufman dan Pianta2000). Dalam
sebuah penelitian serupa (McIntyre et al. 2007) yang meneliti pengalaman
dan keterlibatan orangtua dalam transisi anak mereka ke TK, sebanding
dengan temuan yang dilaporkan. Banyak orang tua menunjukkan bahwa
informasi lebih diinginkan mengenai apa yang keluarga seharusnya
lakukan untuk mempersiapkan transisi, kesiapan TK dan akademik dan
harapan perilaku (McIntyre et al.2007). Hasil ini menunjukkan bahwa
orang tua tidak sepenuhnya memahami sekolah atau harapan guru, dan
bahwa mayoritas orang tua ingin informasi rinci tentang apa yang bisa
mereka lakukan untuk membantu mempersiapkan anak mereka untuk
sekolah; mereka ingin menjadi bagian aktif dari proses perencanaan
transisi.

5
Transisi ke sekolah merupakan tonggak perkembangan yang penting
untuk anak-anak dan dianggap sebagai '' periode sensitif '' yang diperlukan
untuk sukses sekolah nanti (Rimm Kaufman dan Pianta 2000). Selama
masa transisi, anak-anak memperoleh keterampilan dasar dan pemahaman
yang dijadikan sebagai dasar untuk belajar lebih lanjut. Kontak pertama
anak-anak dengan sistem pendidikan umum menetapkan suasana untuk
bagaimana mereka akan mengalami sekolah sebagai arena untuk belajar
dan pembangunan sosial (Kienig 2002; Nelson 2004), dan sebagai anggota
komunitas mereka di masa depan (Bertram dan Pascal2002; Paro et al.
2000a, 2000b).
Untuk anak-anak dan orang tua, transisi awal mengatur panggung
untuk semua transisi masa depan dengan menetapkan suasana dan arah
karir sekolah anak (Pianta dan Kraft-Sayre 2005), dan mengembangkan
rasa untuk orang tua dalam komunitas pendidikan dan sistem (Deitz dan
Warkala 1993). Sebuah rasa memiliki terhadap komunitas sekolah
kontribusi untuk seberapa baik penyesuaian anak-anak dan keluarga
(Dockett dan Perry 2003, 2005). Kagan dan Neuman (1999) menyatakan
bahwa anak-anak, yang memiliki transisi yang sulit, akan mengalami
kesulitan dalam penyesuaian sekolah, membuat teman-teman, dan
mungkin memiliki masalah kesehatan dan masalah emosional. Jika anak
sukses berinteraksi di sekolah, mereka mungkin mengalami keberhasilan
akademis selama tahun mereka di sekolah dasar (Fabian2003; Yeboah
2002) serta sebagai keberhasilan di kemudian hari (Brostrom2003).
Transisi dapat dilihat sebagai proses normatif karena semua anak-anak
harus mengalaminya beberapa kali sepanjang kehidupan mereka. Selama
transisi anak-anak mungkin mengalami kesenjangan. Sanchez dan Thorpe
(1998) menunjukkan bahwa kesenjangan bukanlah sesuatu yang harus
dihindari, asalkan langkah yang tepat diberikan kepada anak-anak. Anak-
anak bisa belajar bagaimana untuk mengatasi perasaan yang mereka
miliki, dan bagaimana mengembangkan strategi yang efektif untuk
menghadapi situasi baru atau stres.
B. RUMUSAN MASALAH

6
Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan dapat dirinci
sebagai berikut:
1. Apakah peran orang tua dalam masa transisi anak ke sekolah?
2. Bagaimana meningkatkan peran anak saat masa transisi di
sekolah?
3. Bagaimana melatih persiapan masa transisi ke sekolah anak ketika
dirumah?
C. TUJUAN
Sejalan dengan rumusan masalah, maka tujuan permasalahan dapat
dirinci sebagai berikut:
1. Mengetahui peran orang tua dalam masa transisi anak ke sekolah
2. Meningkatkan peran anak saat masa transisi disekolah
3. Mempersiapkan masa transisi ke sekolah anak ketika dirumah

BAB II

KAJIAN TEORI

1. HAKIKAT BELAJAR
Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku secara
keseluruhan yang diterimanya dari lingkungan dan berlangsung sepanjang

7
hayat. Menurut Hamdani (2011: 21) belajar merupakan perubahan tingkah
laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan. Selain itu, belajar
akan lebih baik jika subjek belajar mengalami atau melakukannya. Jadi,
tidak bersifat verbalistik. Dalam Suprijono (2012: 3) belajar adalah proses
mendapatkan pengetahuan. Sedangkan pengertian belajar oleh para ahli
antara lain sebagai berikut:
a.Gagne dalam Susanto (2013: 1) belajar adalah suatu proses dimana suatu
organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman.
b.Slavin dalam Rifai dan Anni (2010: 82) belajar merupakan perubahan
individu yang disebabkan oleh pengalaman.
c.Travers dalam Suprijono (2012: 2) belajar adalah proses menghasilkan
penyesuaian tingkah laku.
Berdasarkan berbagai definisi dan uraian di atas, dapat disimpulkan
belajar merupakan proses perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh
adanya pengalaman yang didapatkan dari kegiatan fisik dan mental dimana
peserta didik belajar menemukan prinsip, konsep dan fakta untuk dirinya
sendiri yang merupakan hasil interaksi antara siswa dengan lingkungannya
karena di dorong oleh adanya tujuan yang ingin dicapai.
2. HAKIKAT PEMBELAJARAN
Pembelajaran berasal dari kata belajar yang artinya usaha seorang
individu untuk memperoleh perubahan tingkah laku. Sedangkan
pembelajaran merupakan proses interaksi guru dan peserta didik.
Pembelajaran tidak akan terjadi jika tidak ada salah satu dari kedua
komponen tersebut. Menurut Rifai (2010: 192-193) pembelajaran
mempunyai beberapa pengertian, yaitu: (1) usaha pendidik membentuk
tingkah laku yang diinginkan dengan menyediakan lingkungan, agar
terjadi hubungan stimulus (lingkungan) dengan tingkah laku peserta didik,
(2) cara pendidik memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
berfikir agar memahami apa yang dipelajari, (3) memberikan kebebasan
kepada peserta didik untuk memilih bahan pelajaran dan cara
mempelajarinya sesuai dengan minat dan kemampuannya.
Menurut Suprijono (2012: 13) pembelajaran berarti proses atau upaya
guru dalam mengorganisir lingkungan terjadinya pembelajaran yang

8
berpusat pada peserta didik. Sedangkan menurut Susanto (2013: 19)
pembelajaran adalah penyederhanaan dari kata belajar dan mengajar (BM),
proses belajar mengajar (PBM), atau kegiatan belajar mengajar (KBM).
Pengertian pembelajaran menurut beberapa ahli antara lain :
a.Briggs dalam Rifai dan Anni (2010: 191) pembelajaran adalah seperangkat
peristiwa (event) yang mempengaruhi peserta didik sedemikian rupa
sehingga peserta didik itu memperoleh kemudahan.
b.Gagne dalam Rifai (2010: 192) pembelajaran merupakan serangkaian
peristiwa eksternal peserta didik yang dirancang untuk mendukung proses
internal belajar.
Berdasarkan berbagai definisi dan uraian tersebut, dapat disimpulkan
pembelajaran adalah usaha guru mencitakan suatu kondisi agar siswa
belajar, yaitu kondisi memungkinkan terjadinya interaksi antara siswa dan
sumber belajar sehingga terbentuk perubahan tingkah laku. Selain itu
pembelajaran merupakan interaksi dua arah dari seorang guru dan peserta
didik yang menekankan pembelajaran dari atas ke bawah dimana peserta
didik mulai memecahkan masalah kompleks kemudian menemukan
keterampilan yang diperlukan, terjadi komunikasi intens terarah menuju
tujuan pembelajaran yang telah ditentukan dengan menjadikan siswa
sebagai subjek belajar.
3. HAKIKAT PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI
A. Pengertian Anak Usia Dini
Anak usia dini adalah anak yang berada pada rentan usia 0-6 tahun
(Undangundang Sisdiknas tahun 2003) dan 0-8 tahun menurut para pakar
pendidikan anak. Menurut Mansur (2005: 88) anak usia dini adalah
kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan
yang bersifat unik. Mereka memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan
yang khusus sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya.
Pada masa ini merupakan masa emas atau golden age, karena anak
mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat dan tidak
tergantikan pada masa mendatang. Menurut berbagai penelitian di bidang
neurologi terbukti bahwa 50% kecerdasan anak terbentuk dalam kurun
waktu 4 tahun pertama. Setelah anak berusia 8 tahun perkembangan

9
otaknya mencapai 80% dan pada usia 18 tahun mencapai 100% (Slamet
Suyanto, 2005: 6).
Sesuai dengan Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 1 ayat 14,
upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak usia 0-6 tahun tersebut
dilakukan melalui Pendidikan anak usia dini (PAUD). Pendidikan anak
usia dini dapat dilaksanakan melalui pendidikan formal, nonformal dan
informal. Pendidikan anak usia dini jalur formal berbentuk taman kanak-
kanak (TK) dan Raudatul Athfal (RA) dan bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan anak usia dini jalur nonformal berbentuk kelompok 9 bermain
(KB), taman penitipan anak (TPA), sedangkan PAUD pada jalur
pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang
diselenggarakan lingkungan seperti bina keluarga balita dan posyandu
yang terintegrasi PAUD atau yang kita kenal dengan satuan PAUD sejenis
(SPS).
Maleong menyebutkan bahwa ragam pendidikan untuk anak usia dini
jalur non formal terbagi atas tiga kelompok yaitu kelompok taman
penitipan anak (TPA) usia 0-6 tahun); kelompok bermain (KB) usia 2-6
tahun; kelompok satuan PADU sejenis (SPS) usia 0-6 tahun (Harun, 2009:
43).
Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa anak usia dini
adalah anak yang berada pada rentang usia 0-6 tahun yang sedang
mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, sehingga
diperlukan stimulasi yang tepat agar dapat tumbuh dan berkembang
dengan maksimal. Pemberian stimulasi tersebut harus diberikan melalui
lingungan keluarga, PAUD jalur non formal seperti tempat penitipan anak
(TPA) atau kelompok bermain (KB) dan PAUD jalur formal seperti TK
dan RA.
B. Karakteristik Anak Usia Dini
Anak usia dini memiliki karakteristik yag berbeda dengan orang
dewasa, karena anak usia dini tumbuh dan berkembang dengan banyak
cara dan berbeda. Kartini Kartono (1990: 109) menjelaskan bahwa anak
usia dini memiliki karakteristik 1) bersifat egosentris naif, 2) mempunyai
relasi sosial dengan bendabenda dan manusia yang sifatnya sederhana dan

10
primitif, 3) ada kesatuan jasmani dan rohani yang hampir-hampir tidak
terpisahkan sebagai satu totalitas, 4) sikap 10 hidup yang fisiognomis,
yaitu anak secara langsung membertikan atribut/sifat lahiriah atau materiel
terhadap setiap penghayatanya.
Pendapat lain tentang karakteristik anak usia dini dikemukakan oleh
Sofia Hartati (2005: 8-9) sebagai berikut: 1) memiliki rasa ingin tahu yang
besar, 2) merupakan pribadi yang unik, 3) suka berfantasi dan
berimajinasi, 4) masa potensial untuk belajar, 5) memiliki sikap egosentris,
6)memiliki rentan daya konsentrasi yang pendek, 7) merupakan bagian
dari mahluk sosial.
Sementara itu, Rusdinal (2005: 16) menambahkan bahwa karakteristik
anak usia 5-7 tahun adalah sebagai berikut: 1) anak pada masa
praoperasional, belajar melalui pengalaman konkret dan dengan orientasi
dan tujuan sesaat, 2) anak suka menyebutkan nama-nama benda yang ada
disekitarnya dan mendefinisikan kata, 3) anak belajar melalui bahasa lisan
dan pada masa ini berkembang pesat, 4) anak memerlukan struktur
kegiatan yang lebih jelas dan spesifik.
Secara lebih rinci, Syamsuar Mochthar (1987: 230) mengungkapkan
tentang karakteristik anak usia dini, adalah sebagai berikut:
a. Anak usia 4-5 tahun
1) Gerakan lebih terkoordinasi
2) Senang bernain dengan kata
3) Dapat duduk diam dan menyelesaikan tugas dengan hati-hati
4) Dapat mengurus diri sendiri
5) Sudah dapat membedakan satu dengan banyak
b. Anak usia 5-6 tahun
1). Gerakan lebih terkontrol
2). Perkembangan bahasa sudah cukup baik
3).Dapat bermain dan berkawan
4).Peka terhadap situasi sosial
5). Mengetahui perbedaan kelamin dan status
6). Dapat berhitung 1-10 11
Berdasarkan karakteristik yang telah disampaikan maka dapat
diketahui bahwa anak usia 5-6 tahun (kelompok B), mereka dapat
melakukan gerakan yang terkoordinasi, perkembangan bahasa sudah baik
dan mampu berinteraksi sosial. Usia ini juga merupakan masa sensitif bagi
anak untuk belajar bahasa. Dengan koordinasi gerakan yang baik anak

11
mampu menggerakan mata-tangan untuk mewujudkan imajinasinya
kedalam bentuk gambar, sehingga penggunaan gambar karya anak dapat
membantu meningkatkan kemampuan bicara anak.
C. Aspek-aspek Perkembangan Anak Usia Dini
1. Perkembangan Fisik/Motorik
Perkembangan fisik/motorik akan mempengaruhi kehidupan anak baik
secara langsung ataupun tidak langsung (Hurlock, 1978: 114). Hurlock
menambahkan bahwa secara langsung, perkembangan fisik akan
menentukan kemampuan dalam bergerak. Secara tidak langsung,
pertumbuhan dan perkembangan fisik akan mempengaruhi bagaimana
anak memandang dirinya sendiri dan orang lain.
Perkembangan fisik meliputi perkembangan badan , otot kasar dan
otot halus, yang selanjutnya lebih disebut dengan motorik kasar dan
motorik halus (Slamet Suyanto, 2005: 49). Perkembangan motorik kasar
berhubungan dengan gerakan dasar yang terkoordinasi dengan otak seperti
berlari, berjalan, melompat, memukul dan menarik. Sedangkan motorik
halus berfungsi untuk melakukan gerakan yang lebih spesifik seperti
menulis, melipat, menggunting, mengancingkan baju dan mengikat tali
sepatu.
Berk menyatakan bahwa anak usia lima tahun memiliki banyak tenaga
seperti anak usia empat tahun, tetapi keterampilan gerak motorik halus
maupun kasar sudah 12 mulai terarah dan terfokus pada tindakan mereka
(Caroll Seefelt dan Barbara A.Wasik, 2008: 67). Keterampilan gerak
motorik menjadi lebih diperhalus dan keterampilan gerak motorik kasar
menjadi lebih gesit dan serasi.
Pada usia kanak-kanak 4-6 tahun, keterampilan dalam menggunakan
otot tangan dan otot kaki sudah mulai berfungsi. Keterampilan yang
berhubungan dengan tangan adalah kemampuan memasukan sendok
kedalam mulut, menyisir rambut, mengikat tali sepatu sendiri,
mengancingkan baju, melempar dan menangkap bola, menggunting,
menggores pensil atau krayon, melipat kertas, membentuk dengan lilin
serta mengecat gambar dalam pola tertentu.

12
Dari kajian tentang perkembangan fisik-motorik diatas dapat diketahui
bahwa pada anak usia 5-6 tahun (kelompok B) otot kasar dan otot halus
anak sudah berkembang. Anak memiliki banyak tenaga untuk melakukan
kegiatan dan umumnya mereka sangat aktif. Anak sudah dapat melakukan
gerakan yang terkordinasi. Keterampilan yang menggunakan otot kaki dan
tangan sudah berkembang dengan baik. Anak sudah dapat menggunakan
tanganya untuk menggoreskan pensil atau krayon sehingga anak dapat
membuat gambar yang diinginkanya. Gambar karya anak tersebut akan
digunakan dalam rangka peningkatan kemampuan bicara anak.
2. Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif menggambarkan bagaimana pikiran anak
berkembang dan berfungsi sehingga dapat berpikir (Mansur, 2005: 33).
Keat menyatakan bahwa perkembangan kognitif merupakan proses mental
yang mencakup pemahaman tentang dunia, penemuan pengetahuan,
pembuatan 13 perbandingan, berfikir dan mengerti (Endang Purwanti dan
Nur Widodo, 2005: 40). Proses mental yang dimaksud adalah proses
pengolahan informasi yang menjangkau kegiatan kognisi, intelegensi,
belajar, pemecahan masalah dan pembentukan konsep. Hal ini juga
menjangkau kreativitas, imajinasi dan ingatan.
Anak usia 5-6 tahun berada pada tahap praoperasional. Pada tahap ini
anak mulai menunjukan proses berfikir yang jelas. Anak mulai mengenali
beberapa simbol dan tanda termasuk bahasa dan gambar. Penguasaan
bahasa anak sudah sistematis, anak dapat melakukan permainan simbolis.
Namun, pada tahap ini anak masih egosentris. (Slamet Suyanto, 2005: 55).
Sementara itu Santrock (2007: 253) menyatakan bahwa pada tahap
praoperasional, anak mulai merepresentasikan dunianya dengan kata-kata,
bayangan dan gambar-gambar. Anak mulai berfikir simbolik, pemikiran-
pemikiran mental muncul, egosentrisme tumbuh, dan keyakinan magis
mulai terkonstruksi. Pada tahap praoperasional dapat dibagi dalam sub-sub
tahap, yaitu sub tahapan fungsi simbolik dan sub tahapan pemikiran
intuitif.
Sub tahap fungsi simbolik terjadi antara usia 2 sampai 4 tahun. Dalam
sub tahap ini anak mulai dapat menggambarkan secara mental sebuah

13
objek yang tidak ada. Menurut DeLoache, kemampuan ini akan sangat
memperluas dunia anak. Pada usia ini anakanak mulai menggunakan
desain-desain acak untuk menggambar orang, rumah, mobil, awan dan
sebagainya (Santrock, 2007: 253). Mereka mulai menggunakan bahasa dan
melakukan permainan pura-pura. Namun pada sub tahap ini anak masih
berfikir egosentris dan animisme. Anak belum mampu membedakan
perspektif diri sendiri dan perspektif orang lain.
Sub-tahap pemikiran intuitif, terjadi antara usia 4 sampai 7 tahaun.
Anak mulai mempraktikan penalaran primitif dan ingin mengetahui
jawaban dari berbagai pertanyaan. Namun anak masih berfikir secara
sentralisasi, yaitu pemusatan perhatian pada suatu kerakteristik dan
pengabaian karakteristik lain. Cara berfikir anak pada tahap ini masih
irreversible (tidak dapat dibalik). Anak belum mampu meniadakan suatu
tindakan dari arah sebaliknya.
Caroll Seefelt dan Barbara A.Wasik (2008: 81) menyatakan bahwa
imajinasi anak anak usia 5 tahun mulai berkembang, masih berfikir hal
yang konkret, dapat melihat benda dari kategori yang berbeda, senang
menyortir dan mengelompokan, pemahaman konsep meningkat, dan
mengetahui tentang apa yang asli dan palsu.
Dari kajian mengenai perkembangan kognitif anak diketahui bahwa
unsur yang menonjol pada tahap pre-operasional adalah mulai
digunakanya bahasa simbolis yang berupa gambaran dan bahasa ucapan.
Anak dapat berbicara tanpa dibatasi waktu sekarang dan dapat
membicarakan satu hal bersama-sama. Dengan bahasa anak dapat
mengenal bermacam benda dan mengetahui nama-nama benda yang
dikenal melalui pendengaran dan penglihatanya. Perkembangan bahasa ini
akan sangat memperlancar perkembangan kognitif anak.
3. Perkambangan Bahasa
Penguasaan bahasa anak berkembang menurut hukum alami, yaitu
mengikuti bakat, kodrat dan ritme yang alami. Menurut Lenneberg
perkembangan bahasa anak berjalan sesuai jadwal biologisnya (Eni
Zubaidah, 2003: 13). Hal ini dapat digunakan sebagai dasar mengapa anak
pada umur tertentu sudah dapat berbicara, sedangkan pada umur tertentu

14
belum dapat berbicara. Perkembangan bahasa tidaklah ditentukan 15 pada
umur, namun mengarah pada perkembangan motoriknya. Namun
perkembang tersebut sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Bahasa anak
akan muncul dan berkembang melalui berbagai situasi interaksi sosial
dengan orang dewasa (Kartini Kartono, 1995: 127).
Bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan
sehari-hari. Suhartono (2005: 13-14) menyatakan bahwa peranan bahasa
bagi anak usia dini diantaranya sebagai sarana untuk berfikir, sarana untuk
mendengarkan, sarana untuk berbicara dan sarana agar anak mampu
membaca dan menulis. Melalui bahasa seseorang dapat menyampaikan
keinginan dan pendapatnya kepada orang lain.
Anak-anak usia 5 tahun telah mampu menghimpun 8000 kosakata.
Mereka dapat membuat kalimat pertanyaan, kalimat negatif, kalimat
tunggal, kalimat mejemuk, serta bentuk penyususunan lainnya. Mereka
telah belajar menggunakan bahasa dalam situasi yang berbeda (Gleason
dalam Slamet Suyanto, 2005: 74).
Mansur (2005: 36), menyatakan bahwa kemampuan bahasa berkaitan
erat dengan kemampuan kognitif anak, walaupun mulanya bahasa dan
pikiran merupakan dua aspek yang berbeda. Namun sejalan dengan
perkembangan kognitif anak, bahasa menjadi ungkapan dari pikiran. Ninio
dan Snow seperti yang dikutip Caroll Seefelt dan Barbara A.Wasik (2008:
76) menambahkan bahwa, anak usia 5 tahun semakin pintar dalam
kemampuan mereka mengkomunikasikan gagasan dan perasaan mereka
dengan kata-kata.
Menurut Caroll Seefelt dan Barbara A.Wasik (2008: 74) karakteristik
perkembangan bahasa anak adalah sebagai berikut:
a. Anak pada usia 4 tahun:
1) Menguasai 4.000 6.000 kata
2) Mampu berbicara dalam kalimat 5-6 kata
3) Dapat berrpartisipasi dalam percakapan, sudah mampu mendengarkan
orang lain berbicara dan menanggapinya.
4) Dapat belajar tentang kata mana yang diterima secara sosial dan mana
yang tidak.
b. Anak pada usia 5 tahun:
1) Perbendaharaan kosakata mencapai 5000 8.000 kata.

15
2) Stuktur kalimat menjadi lebih rumit.
3) Berbicara dengan lancar, benar dan jelas tata bahasa kecuali pada
beberapa kesalahan pelafalan.
4) Dapat menggunakan kata ganti orang dengan benar.
5) Mampu mendengarkan orang yang sedang berbicara
6) Senang menggunakan bahasa untuk permainan dan cerita.
Berdasarkan kajian mengenai perkembangan bahasa anak diketahui
bahwa perkembangan bahasa anak terjadi dalam interaksi dengan
lingkungan. Bahasa merupakan ungkapan dari apa yang difikirkan anak,
sehingga bahasa memiliki peran yang sangat penting dalam berkomunikasi
dengan orang lain. Dalam karakteristik perkembangan bahasa yang telah
disampaikan, dapat diketahui bahwa anak usia 5-6 tahun (kelompok B)
sudah mampu berbicara dengan struktur kalimat yang lebih rumit dan anak
senang menggunakan bahasa untuk menceritakan gagasan, pengalaman,
pengetahuan dan apa yang dipikirkanya kepada orang lain, sehingga
gambar karya anak dapat dipilih dalam rangka meningkatkan kemampuan
bicara anak. Hal itu dilakukan dengan cara meminta anak menjelaskan
hasil gambar yang dibuatnya. Dengan demikian kemampuan bicara anak
dapat diketahui.
4. Perkembangan Emosi
Emosi merupakan perasaan atau afeksi yang melibatkan perpaduan
antara gejolak fisiologis dan gelaja perilaku yang terlihat (Mansur, 2005:
56). Perkembangan emosi memainkan peranan yang penting dalam
kehidupan terutama dalam hal penyesuaian pribadi dan sosial anak dengan
lingkungan. Adapun dampak 17 perkembangan emosi adalah sebgaai
berikut: 1) emosi menambah rasa nikmat bagi pengalaman sehari-hari, 2)
emosi menyiapkan tubuh untuk melakukan tindakan, 3) emosi merupakan
suatu bentuk komunikasi, 4) emosi mengganggu aktifitas mental, dan 6)
reaksi emosi yang diulang-ulang akan menjadi kebiasaan (Soemantri,
2004: 142-143).
Seiring dengan bertambahnya usia anak, berbagai ekspresi emosi
diekspresikan secara lebih terpola karena anak sudah dapat mempelajari
reaksi orang lain (Yudha M Saputra dan Rudyanto, 2005: 26). Reaksi
emosi yang timbul berubah lebih proporsional, seperti sikap tidak

16
menerima dengan cemberut dan sikap tidak patuh atau nakal. Yudha M
Saputra dan Rudyanto (2005: 145) menambahkan beberapa ciri-ciri emosi
pada anak antara lain: 1) emosi anak berlangsung singkat dan sementara,
2) terlihat lebih kuat dan hebat, 3) bersifat sementara, 4) sering terjadi dan
5) dapat diketahui dengan jelas dari tingkah lakunya.
Menurut Ericson, anak usia TK berada pada tahap innititive vs guilt
yang sedang berkembang kearah industry vs inferiority (Slamet Suyanto,
2005: 72). Ismail menyatakan bahwa pada tahap ini anak mengalami
perkembangan yang positif dalam kreativitas, banyak ide, imajinasi,
bernani mencoba, berani mengambil resiko dan mudah bergaul (Harun,
2009: 120). Pada tahap ini anak dapat menunjukan sikap inisiatif, yaitu
mulai lepas dari ikatan orang tua, bergerak bebas dan mulai berinteraksi
dengan lingkungan. Mereka dituntut untuk mengembangkan perilaku yang
diharapkan dalam lingkungan sosialnya, serta bertanggungjawab atas apa
yang dilakukanya. Hal ini ditunjang dengan perkembangan motorik dan
bahasanya yang sudah dapat menjelaskan dan mencoba apa yang dia
inginkan. 18
Menurut Caroll Seefelt dan Barbara A.Wasik (2008: 71-72), ada
beberapa karakteristik perkembangan sosial anak usia 5 tahun antara lain:
1) Dapat mengatur emosi dan mengungkapkan perasaan dengan cara yang
bisa diterima secara sosial.
2) Anak mampu memisahkan perasaan dengan tindakan mereka.
3) Mengahayati perilaku sosial yang pantas.
4) Kekerasan emosi dan ledakan fisik mulai berkurang karena anak telah
mampu mengungkapkan perasaan melalui kata-kata.
5) Dapat melucu atau membuat lelucon.
Dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa dengan
perkembangan motorik dan bahasanya, anak usia 5-6 tahun (TK kelompok
B) sudah mampu mengembangkan inisiatif untuk menjelaskan dan
mencoba apa yang dia inginkan. Anak mampu menunjukan reaksi emosi
dengan lebih proporsional, sehingga gambar karya anak dapat digunakan
untuk mengembangkan kemampuan bicara anak.

17
BAB III

PEMBAHASAN

Jurnal ini memberikan rekomendasi kepada anak-anak dan


keluarga berdasarkan pengalaman 25 tahun penulis sebagai seorang pendidik
dan sebagai hasil penelitian penulis tentang transisi di sekolah. Penelitian
penulis mendokumentasikan harapan, perspektif dan kekhawatiran anak-anak

18
dan orang tua selama masa transisi dari TK ke kelas satu sekolah dasar. Data
yang di identifikasi melalui wawancara kepada anak-anak dan orang tua yang
dilakukan sebelum masa transisi dan pada saat masa transisi. Factor yang
dikhawatirkan oleh anak-anak dan orang tua sebelum dan pada saat masa
transisi adalah membangun persahabatan dan hubungan baru dengan teman
sebaya, peningkatan kemampuan dan struktur sekolah yang baru, aturan kelas
dan rutinitas, perubahan dan tuntutan guru yang baru (Harper 2005). Berikut
rekomendasi yang bisa di jadikan sebagai acuan:

1. Keluarga
Transisi ke sekolah dimulai sebelum anak memasuki ruangan kelas.
Bahkan orang tuan dan anggota keluarga lainnya dapat memberikan
arahan proses masa transisi jauh sebelum mausk sekolah. Asumsi orang
tua, persepsi dan harapan, seperti halnya harapan dan kekhawatiran
mempengaruhi bagaimana anak merasakan transisi di sekolah. Pada
umumnya, anggota keluarga memberikan pesan yang kuat baik secraa
verbal atau non verbal tentang transisi dan sekolah. Memastikan bahwa
nak-anak siap untuk memulai sekolah, memastikan anak sukses dalam
masa transisi adlaah peran penting keluarga (Dockett dan Perry 2013).
Penelitian menunjukan bahwa bagaimana sebuah keluarga memandang
makna transisi, ditambah jenis dan dukungan yang diberikan kepada
seorang anak, mempengaruhi bagaimana anak menyesuaikan situasi baru
(Fabian dan Dunlop 2002). Bahkan ketika anak-anak harus mentaati aturan
sebelum ke sekolah, transisi ke sekolah melibatkan penyesuain diri oleh
seluruh anggota keluarga termasuk perubahan jadwal, mengubah harapan
dan dengan kemungkinan berdampak strees terhadap semua orang (Decaro
dan Worthman 2011). Namun, banyak keluarga yang belum siap untuk
masa transisi (Wildenger dan Mclntyre 2011). Keluarga bisa mengambil
langkah-langkah pro-aktif sebelum masuk ke sekolah untuk
mempersiapkan dan mendukung anak dalam masa transisi ke sekolah.
Faktor utama dalam kesuksesan masa transisi anak adalah mengutamakan
persiapan anak dalam menghadapi masa transisi, baik di sekolah maupun

19
dirumah disarankan untuk mengaplikasikan. Pusat kegiatan anak dan
keluarga dirancang untuk membantu keluarga dan lembaga pengawasan
anak dalam mempersiapkan masa penting transisi anak ke pra-sekolah atau
sekolah dasar.
2. Berlatih di Sekolah
Berlatih disekolah merupakan kegiatan yang berlangsung disekolah
sebelum masuk awal sekolah baru. Mereka memperkenalkan anak pada
lingkungan yang baru dalam tahap perkembangan mulai dari luar sekolah
sampai lingkungan dalam sekolah yang bisa dicapai dalam sekali
kunjungan atau beberapa kali kunjungan. Rekomendasi untuk
memudahkan anak dalam masa transisi di sekolah sebagai berikut:
A. Menjelajahi Lingkungan Sekolah
Keluarga bisa berkeliling di halaman sekolah dan tempat menarik
bersama anak mereka. Tempat menarik yang khas untuk anak biasanya
halte bis, pintu masuk sekolah, tempat parker, lapangan olahraga, tempat
istirahat dan taman bermain. Membiasakan anak dengan lingkungan
sekolah dapat mengurangi stress tentang tekanan sekolah yang baru.
Dengan berkunjung ke tempat bermian lagi dapat dipastikan bahwa anak
usia dini tahu peralatan apa saja yang bisa digunakan, dan bagaimana
menggunakannya secara aman, sehingga dapat menanamkan keakraban
dan keterlibatan di sekolah. Anak juga bisa berinteraksi dengan anak yang
lain yang mungkin mengalami transisi serupa. Hal ini memberikan
kesempatan pada anak untuk bersosialisasi, bertemu calon teman kelas dan
mungkin bertemu temna baru.
B. Mengunjungi Guru dan Kelas
Kesan pertama anak bertemu guru dan memasuki ruang kelas yang
baru memungkinkan berdampak besar bagi perkembangan anak di sekolah
kedepannya. Mengunjungi guru dan kelas sebelum tahun ajaran baru
dimulai merupakan strategi proaktif yang dapat mengurangi stress terkait
dengan ketidaktahuan anak dan keluarga. Bertemu dengan guru sebelum
kelas baru di mulai dapat mengurangi tingkat kekhawatiran anak (seperti
apa guru saya nanti, apakah dia baik dan akankah dia menyukai saya?) dan
kekhawatiran orang tua (siapa guru baru anak saya, apakah dia seorang

20
yang berkompeten, akankah dia menyukai anak saya?). Ini adalah waktu
yang tepat untuk keluarga bertanya tentang sekolah dan ruang kelas yang
baru, mengklarifikasi, dan mengumpulkan informasi mengenai masa
transisi anak dalam menghadapi lingkungan hidup yang baru. Memeriksa
keadaan kelas apakah dapat memfasilitasi kebiasaan anak dan keadaan
ruang kelas, seperti letak wastafel, kamar mandi, kran air, lemari dan laci
dan fitur penting dikelas lainnya. Rasa ingin tahu tentang guru dan struktur
kelas akan meningkatkan rasa keamanan, keselamatan, dan kepemilikan
dalam masa transisi anak. Orang tua mungkin ingin mengadakan
pertemuan secara formal dengan guru baru secara pribadi untuk
mendiskusikan kekhawatiran mereka terhadap masa transisi anak mereka
seperti perbedaan budaya dan bahasa.
C. Mengunjungi Komponen Penting di Sekolah
Setelah mengunjungi guru dan ruang kelas, sebaiknya orang tua
meminta untuk diperkenalkan gedung sekolah. Anak ingin mengetahui
seberapa luas, kompleksitas, dan lokasi kantin, perpustakaan, laboratorium
komputer, ruang olah raga, kelas music dan kelas seni. Selain itu, keluarga
dapat membantu anak menemukan rute langsung ke kelas, kamar mandi,
kantor, dan UKS. Kegiatan ini akan membantu mengurangi kekhawatiran
dan kecemasan mengenai struktur dan lokasi daerah penting di sekolah.
3. Berlatih di Rumah
Untuk mempermudah masa transisi anak di anjurkan untuk
mempraktekan di rumah, seperti:
A. Pengalaman Bermain
Sebelum masuk sekolah, anak memiliki banyak pengalaman social
yang beragam dengan anak yang lain seperti bermain peran, keterlibatan
dengan kebiasaan olahraga, dan kepentingan kelompok. Pengalam ini
diperlukan anak untuk membangun persahabatan dan berinteraksi dengan
teman-teman baru, serta mengekspos berbagai ragam anak, orang dewasa,
struktur keluarga dan budaya. Bersosialisasi membantu anak dalam
membangun persahabatan dan hubungan dengan anak lainnya (Griebel dan
Niesel 2003). Penelitian tentang penyesuaian anak usia dini dengan
lingkungan sekolah baru yang menunjukan anak yang mampu bertransisi

21
dengan lancer rata-rata berbagi saling berbagi kemampuan penting (Love
et al 1992) mereka mampu (a) berinteraksi dengan teman secara positif
dan kooperatif, (b) membangun kepercayaan dengan peran kooperatif, (c)
berhasil masuk kedalam permainan anak-anak lain, (d) berbicara langsung
dengan teman- teman, (e) memusatkan perhatian satu sama lain dalam
kelompok, (f) menanggapi inisiasi dari teman lain.
B. Mengikutsertakan Anak dalam Diskusi Keluarga
Tidak diketahui sebab kegelisahan kebanyakan orang, termasuk
anak-anak. Membuka pintu bagi anak secara teratur mengungkapkan
kekhawatiran mereka melalui diskusi keluarga tentang mengantisipasi
transisi termasuk harapan mereka, kekhawatiran mereka, dan hubungan
yang tidak diketahui. Kekhawatiran pada umumnya dialami oleh anak
sebelum memulai sekolah termasuk bagaimana mereka kesekolah dan
pulang kerumah, serta aturan sekolah dan harapan guru. Luangkanlah
waktu untuk memahami pikiran anak tentang dua hal tersebut yang
mungkin meringankan kekhawatiran anak dan memberikan hiburan di
awal masa transisi.

C. Membahas Rute dan Ragam Transportasi ke Sekolah


Keluarga beserta anak harus meninjau rute dan ragam transportasi
yang digunakan beberapa kali sebelum hari pertama anak sekolah.
Membuat peta untuk menggambarkan rute dari rumah kesekolah itu luar
biasa, kegiatan interaktif yang memicu semangat berhubungan dengan
transportasi yang mengurangi kekhawatiran sementara. Untuk memberikan
anak hiburan dan dukungan keluarga dapat melibatkan anak dalam
percakapan yang menggambarkan rute dan kemudian menjalankan rute
bersama, meminta anak untuk menjadi co-navigator. Anggota keluarga
dapat menunjukan tempat penting sepanjang perjalanan dari rumah ke
sekolah. Jika anak inginturun disuatu tempat sebelum pulang kerumah dari
sekolah, informasi ini bisa di diskusikan juga. Terlibat dalam berbagai
jenis kegiatan dapat meyakinkan semua orang bahwa anak tahu semua
jalur penjemputan dan pemberhentian termasuk penitipan, sekolah, dan
kembali kerumah, sehingga mengurangi tingkat kesetressan.

22
D. Menjelaskan Sekolah dan Harapan Guru
Setelah berkeliling sekolah, mengunjungi kelas baru, Setelah
berkeliling sekolah, mengunjungi ruang kelas baru, dan memperoleh
informasi mengenai aturan kelas dan kebijakan sekolah, keluarga dapat
membacanya dan mendukung kebijakan sekolah, harapan guru, dan aturan
kelas dan prosedur. Buku pegangan siswa tersedia dari gurunya atau
kepala sekolah. Buku pegangan siswa akan menerangkan dan menjelaskan
misi sekolah, kebijakan sekolah, aturan perilaku, dan hak-hak pendidikan
siswa dan orangtua mereka. Dalam banyak kasus, para siswa dan orang tua
diminta untuk menandatangani pernyataan yang menunjukkan bahwa
mereka telah membaca, membahas dan memahami komponen yang
diuraikan dengan buku pegangan dan setuju untuk mematuhi itu.
Ketidakpastian yang dihadapi anak-anak selama masa transisi di
sekolah mungkin terkait dengan penerimaan sosial oleh rekan-rekan dan
guru, penerimaan dan penyesuaian dengan tuntutan rutinitas kelas dan
organisasi, batasan di kelas, dan harapan yang tidak realistis dari anak
(Renwick 1984). Anak-anak mungkin cemas karena mereka tidak ingin
mendapat masalah, dan mereka tidak tahu apa yang diharapkan dari
mereka. Hal ini tidak biasa bagi seorang anak menjadi takut akan
melanggar aturan karena mereka tidak benar-benar memahami konteks
aturan atau aturan itu sendiri. Selain itu, anak usia dini biasanya belum
memiliki pemahaman yang menyeluruh dan pengetahuan tentang waktu.
Hal ini dapat mengabadikan ketidakpastian menjadi kebenaran yang
mengarah ke kecemasan lebih lanjut. Oleh melibatkan anak dalam diskusi
keluarga, orang tua bisa memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk
mengekspresikan kekhawatiran mereka dan member solusi kepada anak
dalam tahap awal transisi.
E. Membangun Sistem Pendukung
Jika anak-anak khawatir tentang isu-isu tertentu, pemberian
dukungan dapat memberikan konteks di mana masalah ini dapat
dikomunikasikan. Bicaralah dengan anak anda tentang siapa yang dapat
mereka andalkan untuk berbicara mengenai tantangan di sekolah dan

23
kesuksesan baik di sekolah dan di rumah. Sementara seorang anak pada
umumnya mungkin melihat orang tua sebagai dukungan pertama,
membantu anak anda memahami dukungan yang bisa datang dari orang
lain juga, termasuk anggota keluarga lain atau staf pendukung disekolah.
Membantu anak-anak untuk membangun sistem pendukung akan
mengurangi kekhawatiran tentang apa yang harus dilakukan jika anak
membutuhkan bantuan dan ke mana harus pergi mencari dukungan.
Keberhasilan transisi di sekolah terletak pada sebagian besar pendirian
positif dan hubungan yang mendukung (Dockett dan Perry2001) dan
kontribusi kesiapan factor sekolah anak (Langford 2010).
F. Membangun dan Menerapkan Aturan, Rutinitas, dan Jadwal
Pengalaman anak-anak di rumah mempengaruhi persiapan mereka
untuk masa transisi dan keterlibatan di sekolah. Penelitian menunjukkan
bahwa sumber daya disediakan di rumah (Kiernan dan Mensah2011),
rutinitas rumah (Wildenger et al.2008) dan lingkungan belajar di rumah
adalah prediktor pendidikan yang kuat dan perilaku anak-anak selama
tahun-tahun di sekolah dasar (Melhuish et al. 2008). Mungkin yang paling
penting, keluarga dapat membangun dan menerapkan aturan, rutinitas, dan
jadwal dengan anak mereka sebelum memulai sekolah. Meskipun sebagian
besar anak-anak yang bertransisi ke sekolah memiliki rutinitas yang biasa,
penelitian baru-baru ini (Wildenger et al. 2008) menemukan bahwa
sebagian besar anak mungkin tidak dapat diprediksi, jadwal yang di
sesuaikan selama masa periode penting ini. Untuk membantu anak
menyesuaikan aturan sekolah dan rutinitas, keluarga dapat
mengidentifikasi, membangun, dan menerapkan rutinitas sekolah di
rumah. Rutinitasnya mungkin termasuk menggantung mantel dan ransel di
tempat yang sama setiap hari, memilih dan menempatkan pakaian sebelum
tidur di malam hari dan membaca bersama-sama setiap malam. Peluang
khusus untuk mendekati membahas transisi mungkin timbul dari membaca
buku cerita bergambar tentang transisi ke sekolah. Banyak daftar
perpustakaan lokal yang dikhususkan '' hari pertama sekolah '' untuk
membantu diskusi anak-anak dan keluarga. Rutinitas ini akan terbawa ke

24
rutinitas sekolah, mengurangi kecemasan dan stres, dan masa transisi yang
mudah untuk anak-anak dan keluarga mereka.
Menyesuaikan dan mempertahankan jadwal kegiatan anak di
rumah selama 2 minggu sebelum masuk sekolah dapat membantu
kelancaran transisi anak-anak dan orang tua. Waktu tidur mungkin
disesuaikan, diimplikasikan, dan dipelihara. Waktu bangun tidur dan
rutinitas sarapan juga dapat dibentuk dan dibiasakan dihari-hari sebelum
masuk sekolah. Dengan mengikuti jadwal ini akan mempersiapkan anak-
anak untuk transisi ke sekolah, sehingga mebuat mudah bagi semua pihak.
G. Menjadi Pendorong
Selain berbagi apa yang mereka ketahui tentang anak mereka
dengan guru, berkomunikasi secara teratur dengan guru anak mereka, dan
tetap terlibat dengan sekolah anak mereka, keluarga dapat menjadi
pendukung bagi anak-anak. Mereka dapat berdistribusi terhadap tanggung
jawab sekolah atas apa yang mereka katakan dan apa yang mereka lakukan
dalam misi pernyataan mereka. Orang tua menjadi sadar akan hak
pendidikan anak mereka dan kebijakan sekolah, hubungan dengan orang
tua yang lain, atau terlibat dalam kampanye lokal, kebijakan negara atau
kebijakan federal. Keluarga dapat mengurangi kecemasan dan stres
sehingga memudahkan masa transisi dengan menjadi pendukung yang
efektif untuk anak-anak mereka dan lainnya di dalam proses.
Masuk ke sekolah yang baru bisa menjadi perubahan waktu yang
dramatis untuk orang tua serta anak-anak dan anggota keluarga lainnya.
Kekhawatiran tentang pemisahan dari anak mereka, aspek pengawasan dan
perawatan aturan baru, dan frekuensi komunikasi yang disediakan oleh
guru baru, dikombinasikan dengan masalah budaya atau bahasa yang
mungkin dapat menyebabkan kekhawatiran orangtua. Kekhawatiran ini
dapat dengan mudah ditularkan secara tidak langsung kepada seorang
anak. Namun, keluarga dapat mengambil sikap proaktif dan membantu
anak-anak mengembangkan strategi untuk menyesuaikan lingkungan dan
situasi yang baru, mengatasi perubahan, dan memecahkan masalah

25
sebelum masuk sekolah, sehingga membantu mereka dalam membangun
fondasi yang kuat pada masa pendidikan mereka.

BAB IV

IMPLEMENTASI TOPIK dalam PENDIDIKAN

Jean Piaget menggambarkan masa kanak-kanak awal sebagai tahap


praoperasional (preoperational stage) yaitu, tahap utama kedua dalam
perkembangan kognitif Piaget dimana seorang anak menjadi lebih canggih
dalam menggunakan pemikiran simbolis tetapi masih belum dapat
menggunakan logika. Tahap praoperasional berlangsung pada usia sekitar 2-7
tahun, ditandai oleh ekspansi besar dalam pemikiran-pemikiran simbolis, atau
kemampuan representasi yang pertama kali muncul pada akhir tahap
sensorimotorik (tahap pertama dalam perkembangan kognitif).

Salah satu karekteristikdari pemikiran praoperasional adalah


Sentrasi, kecendrungan fokus pada salah satu aspek dari sebuah situasi dan
melalaikan yang lain. Menurut Piaget, anak-anak prasekolah menjadi tidak
logis karena tidak dapat berpikir tentang beberapa aspek dari suatu situasi pada
saat yang sama. Sentrasi dapat membatasi anak-anak uantuk berpikir tentang
hubungan sosial dan fisik.

Oleh karena itu, persiapan anak dalam kesuksesan melalui masa


transisi akan sangat berpengaruh pada kegiatan belajarnya kedepan sehingga
peran serta orang tua, guru, dan pihak-pihak yang dibutuhkan anak untuk

26
mendukung anak melewati masa transisi ke sekolah sangat dibutuhkan. Seiring
dengan masuknya anak ke sekolah dasar, maka kemampuan kognitifnya turut
mengalami perkembangan yang pesat. Karena dengan masuk sekolah, dunia
dan minat anak semakin luas, dan dengan meluasnya minat maka bertambah
pula pengertian tentang manusia dan objek-objek yang sebelumnya kurang
berarti bagi anak. Pada sekolah dasar, pemikiran seorang anak sudah
berkembang ke arah konkrit, rasional dan objektif. Daya ingatnya menjadi
sangat kuat, sehingga anak benar-benar dalam stadium belajar.

BAB V

PENUTUP

A. SIMPULAN
Secara singkat, masa transisi ke sekolah adalah masa perubahan
dan penyesuaian anak, orang tua, dan anggota keluarga yang umumnya
dikaitkan stress, kegembiraan dan kesenangan. Sementara itu masa transisi
bisa dilihat sebagai kesempatan belajar yang menarik, ada juga resiko
untuk anak yang mempunyai pengalaman transisi yang sulit. Memberikan
perubahan secara tiba-tiba di lingkungan, peran, dan hubungan anak sering
mengalami perubahan yang signifikan selama proses transisi. Termasuk
perilaku, kognitif, social-emosional, dan perhatian fisik. Keluarga dapat
mengambil langkah proaktif untuk memastikan masa transisi anak mereka
lancer dan sukses.
B. SARAN
- Sebaiknya orang tua selalu terlibat dalam setiap tahap perkembangan
anak baik di lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat.
- Guru hendaknya selalu berkoordinasi dengan orang tua anak tentang
perkembangan anak.
- Sekolah hendaknya menjadi tempat yang memberikan kesan positif
untuk anak sehingga anak tertarik untuk belajar lebih.

27
DAFTAR PUSTAKA

Hamdani. 2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia

Rifai, Achmad dan Chatharina Tri Anni. 2010. Psikologi Pendidikan. Semarang:
UNNES Press.

Suprijono, Agus. 2012. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Susanto, Ahmad. 2013. Teori Belajar dan Pembelajaran di SD. Jakarta: Prenada
Media.

Http://Link.springer.com// supporting young childrens transition to


school:recommendation for families/ di unduh pada tanggal 11/10/2016
jam 15:20

Http://eprints.uny.ac.id// anak usia dini/ di unduh tanggal 19/10/2016 jam 13:05

28
29
LAMPIRAN

30
31
32
33
.

34
35
36
37

Anda mungkin juga menyukai