Anda di halaman 1dari 11

TINJAUAN KLINIS UREUM, KREATININ, ASAM URAT DAN AMONIAK

Sumber : ABC Laboratorium amerid-bio clinic (http://www.abclab.co.id/?p=944)

Kadar ureum dan kreatinin darah


Ureum merupakan produk metabolit dari protein. Protein makanan dipecah menjadi
asam amino yang kemudian sebagian oleh bakteria dipecah menjadi amoniak. Di
hati amoniak diubah menjadi ureum yang masuk ke sirkulasi dan kemudian
diekskresikan oleh ginjal dalam urin. Hampir 90% ureum darah diekskresikan oleh
ginjal. Di kepustakaan Amerika ureum dinyatakan sebagai urea-N, yang berarti
kadar ureum = 2,14x kadar urea-N. Ureum juga merupakan 75% dari nitrogen non-
protein (non-protein nitrogen = NPN). Peningkatan kadar NPN dinamakan azotemia.
Jadi dapat dibedakan azotema pra renal, renal dan pasca renal tergantung kepada
jenis dan letak penyebabnya.

Pemeriksaan kadar ureum darah merupakan pemeriksaan yang popular sebab


mudah dikerjakan dengan teliti dan tepat. Namun kadar ureum darah dipengaruhi
oleh banyak faktor di luar ginjal sehingga mempengaruhi penafsiran hasilnya. Kadar
ureum darah akan meningkat pada peningkatan asupan protein, kurangnya aliran
darah ginjal misalnya pada dehidrasi atau gagal jantung, pada perdarahan saluran
cerna bagian atas, pada peningkatan keadaan hiperkatabolisme seperti infeksi,
pasca operasi dan trauma. Obat-obatan juga dapat mempengaruhi misalnya
kortikosteroid meningkatkan katabolisme protein sedangkan androgen meningkatkan
anabolisme protein. Sebaliknya kadar ureum darah menurun pada kurangnya
asupan protein.(Lamb, 2006; Thomas L, 1999)

Kreatinin berasal dari pemecahan kreatinfosfat otot. Kadar kreatinin darah


menggambarkan fungsi ginjal secara lebih baik, lebih stabil, daripada kadar ureum
darah. Kreatinin umumnya dianggap tidak dipengaruhi oleh asupan protein namun
sebenarnya ada pengaruh diet terutama protein tetapi tidak sebesar pengaruhnya
terhadap kadar ureum. Kreatinin terutama dipengaruhi oleh massa otot. Karena itu
kadar kreatinin darah lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan, meningkat
pada atlit dengan massa otot banyak, dan juga pada kelainan pemecahan otot
(rhabdomiolisis). Sebaliknya kadar kreatinin menurun pada usila (orang usia lanjut)
yang massa ototnya berkurang. Lihat tabel 1.
Tabel 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar kreatinin (National Kidney
Foundation, 2002)

Rasio kadar ureum darah/kadar kreatinin darah

Sering pula digunakan gabungan hasil kadar ureum darah dan kadar kreatinin darah
berupa rasio kadar ureum darah/kadar kreatinin darah untuk membantu penafsiran
hasil. Rasio 20 -35 dianggap normal bila diet biasa (tiada perubahan asupan protein)
dan tiada penurunan GFR, rasio < 20 ditafsirkan sebagai penurunan kadar ureum
disebabkan penurunan katabolisme protein atau penurunan redifusi tubular,
sedangkan rasio > 35 dianggap peningkatan kadar ureum darah disebabkan oleh
peningkatan katabolisme protein, atau penurunan perfusi tubular sehingga
meningkatkan redifusi ureum. (Thomas L, 1999) Rasio tersebut dapat dipakai
sebagai pedoman kasar untuk mengenali penyebab kelainan. Namun banyak pula
dokter klinik yang menentang penggunaan rasio tersebut dengan alasan rasio
didasarkan pada banyak faktor yang mempengaruhinya sehingga informasi tersebut
dapat menyesatkan. (Mathew TH, 2001, Oh MS, 2007)

Pada tabel 2 dan 3 dapat dilihat berbagai kelainan yang menyebabkan kenaikan dan
penurunan kadar ureum.
Tabel 2. Penyebab kenaikan kadar ureum (azotemia) (Pagana KD, 2006)

Tabel 3. Penyebab penurunan kadar ureum (Pagana KD, 2006)

Ekskresi fraksional ureum


Perhitungan ini diajukan untuk memperbaiki rasio ureum/kreatinin dengan
memperbaiki penafsiran status volum. Yang dimaksud dengan eksresi fraksional
adalah banyaknya suatu zat yang diekskresikan dalam urin dinyatakan sebagai
fraksi dari beban yang difiltrasi dari zat yang sama.
Fx = Px x GFR, dimana Fx adalah banyaknya zat x yang difiltrasi. Setelah melalui
beberapa perhitungan maka didapatkan
FE = (Ux/Px) / (Ukreatinin/Pkreatinin) atau
FE = (Ux/Px) x (Pkreatinin/Ukreatinin)
dimana Ux = kadar zat x dalam urin,
Px = kadar zat x dalam plasma, Pkreatinin = kadar kreatinin dalam plasma, dan
Ukreatinin = kadar kreatinin dalam urin.
Dengan rumus ini maka kita dapat menghitung FE dari natrium berdasarkan kadar
plasma dan urin sewaktu dari natrium dan kreatinin. Untuk zat yang diekskresikan
kurang dari kreatinin maka FE kurang dari 1. FE natrium sering dipakai untuk
membedakan nekrosis tubular akut (FE lebih besar dari 0.01) dari azotemia pra
renal (FE kurang dari 0.01). (Oh MS, 2007)

Uji bersihan (clearance) dan GFR


Nilai GFR 120 mL/menit ditafsirkan sebagai normal. Untuk memeriksa GFR
seseorang dilakukan uji bersihan suatu zat yang terdiri dari kadar zat dalam darah,
kadar zat dalam urin kumpulan dan volum urin kumpulan serta data luas permukaan
tubuh pasien berdasarkan tinggi dan berat badan. Per definisi bersihan suatu zat
adalah banyaknya plasma darah yang dibersihkan dari zat tersebut dalam 1 menit
dengan pembakuan luas permukaan tubuh (LPT) 1,73 m2.

Rumus perhitungannya adalah:


GFR= (kadar dalam urin/kadar plasma) x (Volum urin/menit) x (1,73/ LPT) .
Luas permukaan tubuh dapat dicari dengan menggunakan suatu nomogram yang
berdasarkan data tinggi badan dan berat badan. Untuk usia anak dan dewasa
dipergunakan nomogram berbeda.

Bersihan inulin
Zat pilihan yang terbaik untuk uji bersihan adalah zat yang memenuhi syarat antara
lain bersifat eksogen (tidak ada dalam tubuh), hanya mengalami filtrasi di glomeruli
tanpa direabsorpsi maupun disekresi di tubuli, dan tentunya tidak berbahaya bagi
tubuh. Salah satu zat pilihan tersebut adalah inulin. Nilai bersihan Inulin dianggap
sesuai dengan GFR.
Rumusnya:
Bersihan Inulin = (kadar Inulin urin/kadar Inulin plasma) x (Volum urin/menit) x
(1,73/ LPT).
Namun sayangnya pemeriksaannya tidak mudah sehingga tidak dilakukan secara
rutin.

Sebaliknya ureum, kreatinin merupakan zat endogen (sudah ada dalam tubuh) dan
tidak menggambarkan nilai GFR dengan tepat. Ureum mengalami filtrasi, kemudian
sebagian direabsorpsi sehingga nilai bersihan ureum kurang dari nilai GFR
sedangkan kreatinin difiltrasi dan juga disekresi di tubuli sehingga nilai bersihan
kreatinin lebih besar daripada nilai GFR. (lihat Gambar 4) Ekskresi kreatinin dalam
urin sehari untuk laki-laki diperkirakan 19 26 mg per kg berat badan dan untuk
perempuan diperkirakan 14 21 mg per kg berat badan. (Cohen EP, 1991)

Uji Bersihan ureum (urea clearance test = UCT)


Pada pemeriksaan bersihan ureum, pengumpulan urin dilakukan selama 2 jam.
Pada awal uji kandung kemih dikosongkan dan selanjutnya semua urin yang
dihasilkan ditampung dalam 1 jam pertama, lalu diambil darah untuk penetapan
kadar ureum darah, dan selanjutnya urin ditampung selama 1 jam lagi. Volum urin
porsi 1 dan ke 2 diukur dan dijumlahkan. Diukur kadar ureum darah dan kadar
ureum urin. Bila diuresis yaitu volum urin per menit lebih besar dari 2 mL/menit atau
jumlah urin melebihi 240 mL maka dianggap Uji Bersihan ureum
maksimum (UCTmax) dengan nilai rujukan 75 mL/menit sebagai 100 %.
Rumusnya:
UCT max = (Kadar Ureum urin/ kadar Ureum plasma) x (Volum Urin /120) x
1,73/LPT.
Sebaliknya bila diuresis 0,5 -2 mL/menit atau jumlah urin 60 240 mL maka
dianggap Uji Bersihan ureum standard (UCTstd) dengan nilai rujukan 54 mL/menit
sebagai 100 %.
Rumusnya:
UCT std = (kadar Ureum urin/kadar Ureum plasma) x (Volum urin/120) x
(1,73/LPT)
Bila diuresis < 0,5 mL atau jumlah urin kurang dari 60 mL maka uji dianggap tidak
absah dan tidak dapat dinilai.

Uji bersihan kreatinin (Creatinine clearance test = CCT)


Uji bersihan kreatinin paling sering dikerjakan dibandingkan yang lain. Pengumpulan
urin dilakukan selama 24 jam. Nilai bersihan kreatinin lebih besar daripada nilai
karena adanya sekresi kreatinin di tubuli.
Rumusnya:
Bersihan kreatinin (CCT) = (kadar Kreatinin urin / kadar Kreatinin plasma) x
(Volum urin / 1440) x (1,73/ LPT).
Syarat pemeriksaan adalah keadaan tetap (steady state). Bila hasilnya masih
meragukan maka disarankan dilakukan pengulangan uji bersihan kreatinin setelah
24 jam dan diambil rerata dari kedua hasil tersebut; bila terdapat perbedaan yang
besar maka berarti suatu keadaan yang tidak stabil. Kelemahan uji bersihan
kreatinin adalah pada ketepatan pengumpulan urin, yang sering tidak tertampung
semuanya. Juga sebaiknya menggunakan zat pengawet, tersering thymol atau
toluen, agar kreatinin urin tidak rusak.

Pada keadaan yang meragukan dimana nilai bersihan kratinin dikhawatirkan tinggi
palsu maka nilai uji bersihan kreatinin dan uji bersihan ureum dapat diambil
reratanya untuk mendapatkan GFR yang (mendekati) benar. (Thomas L, 1999;
Matthew TH, 2001; Lamb E, 2006; Oh MS, 2007; Fauci AS, 2008)

Kadar CystatinC darah


Sejak 1 dekade yang lalu telah diperkenalkan penetapan kadar cystatinC. Zat ini
berupa protein kecil, berat molekul 13kDa, dihasilkan oleh sel-sel berinti, dengan laju
kecepatan tetap sehingga muncul di plasma secara tetap, mengalami filtrasi, juga
ada reabsorpsi di tubuli tetapi langsung dikatabolisis sehingga tiada yang kembali ke
darah, dan tiada sekresi di tubuli maupun jalan lain dari ginjal. (Lihat gambar 4).
Kelebihan lain adalah cystatinC tidak dipengaruhi oleh asupan protein dan juga tidak
tergantung usia sehingga nilainya lebih menggambarkan nilai GFR. Namun
kelemahannya adalah pemeriksaannya menggunakan metoda nefelometri yang
memerlukan alat analyzer khusus sehingga terdapat kendala untuk
menggunakannya secara luas. Pada gambar 4 diperlihatkan beberapa kemungkinan
proses ekskresi zat melalui ginjal.

Gambar 4. Empat jenis zat yang mengalami filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi di ginjal.
A. Hanya filtrasi, B. Filtrasi dan reaborpsi sebagian, C. Filtrasi dan reabsorpsi
lengkap, dan D. Filtrasi dan sekresi. (Guyton AC, 2006)

Pada Tabel 4 diperlihatkan perbedaan proses ekskresi zat-zat inulin, ureum,


cystatinC dan kreatinin Dengan memahami informasi ini maka kita dapat mengerti
untuk menafsirkan hasil pengukuran kadar zat-zat tersebut dan juga uji bersihan
masing-masing zat tersebut.

Tabel 4. Perbandingan proses ekskresi Inulin, Ureum, Kreatinin, dan CystatinC.


(dirangkum dari Thomas L,1999; Lamb E, 2006; Oh MS, 2007; NKF)

Gangguan fungsi ginjal


Gangguan fungsi ginjal dapat terjadi tanpa gejala, subklinis, dan baru dapat
diketahui secara nyata setelah memberat. Salah satu tujuan uji fungsi ginjal adalah
untuk mendeteksi dini adanya gangguan fungsi ginjal sewaktu masih awal. Tujuan
lain untuk menentukan berapa berat gangguan tersebut. Namun perlu diketahui
bahwa kelainan uji fungsi ginjal dapat disebabkan oleh kelainan di luar ginjal.
Dibedakan kelainan yang sebabnya sebelum ginjal (pra ginjal = prerenal), di ginjal
sendiri (ginjal = renal), dan setelah ginjal (pasca ginjal = postrenal). Kelainan pra
ginjal dapat disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ginjal karena renjatan, gagal
jantung, dan lain sebagainya. Gangguan pasca ginjal dapat disebabkan oleh
obstruksi ureter karena batu, tumor, dan lain sebagainya.

Sebagaimana telah diperlihatkan pada gambar 3 gangguan fungsi ginjal dapat


mengenai seluruh bagian ginjal tetapi dapat pula sebagian saja. Gangguan
menyeluruh akan memberikan kelainan uji fungsi glomeruli dan juga uji fungsi tubuli.
Namun biasanya yang tersering dikerjakan sebagai uji penapisan adalah uji fungsi
glomeruli. Adanya gangguan uji fungsi glomeruli dianggap dapat mewakili kelainan
fungsi ginjal secara keseluruhan. Kelainan fungsi glomeruli secara sederhana
biasanya dilihat dari kadar ureum, dan kreatinin darah (plasma atau serum). Namun
keduanya tergolong zat dengan nilai ambang rendah (low threshold substances)
yang kadarnya dalam darah baru meningkat 2x dari kadar normal setelah GFR
berkurang sampai 50%. Lihat gambar 5. Karena itu pemeriksaan kadar kreatinin dan
ureum darah tidak dapat dipakai untuk deteksi dini kelainan fungsi glomeruli ginjal.

Gambar 5. Hubungan kadar kreatinin darah dengan GFR (Guyton AC, 2006)

Gangguan fungsi ginjal dapat terjadi secara akut atau kronis. Gangguan ginjal akut
dikenal sebagai gagal ginjal akut (acute renal failure = ARF) yang sekarang disebut
sebagai jejas ginjal akut (acute kidney injury = AKI). Gangguan ini biasanya lebih
nyata secara klinis. Penyakit ginjal kronis (PGK)(chronic kidney disease = CKD)
yang terjadi secara lebih lambat, didefinisikan dengan penurunan GFR sampai
kurang dari 60 ml/menit selama 3 bulan atau lebih, biasanya kurang nyata secara
klinis. Perkembangan PGK ini digambarkan dalam 6 tingkat, dari tingkat 0 sampai
dengan 6. Lihat tabel 5 .
Tabel 5. Klasifikasi Penyakit ginjal kronis
(Dimodifikasi dari National Kidney Foundation, 2002)

GFR ditetapkan berdasarkan bersihan zat radioaktif Iothalamate.


* Dengan faktor-faktor risiko PGK
#Dengan kerusakan ginjal (misalnya proteinuria persisten, kelainan sedimen urin,
kelainan kimia darah dan urin, kelainan pencitraan)

Klasifikasi di atas dapat dijelaskan lagi sebagai berikut, yaitu tingkat 2 gangguan
ringan, tingkat 3 gangguan sedang, tingkat 4 gangguan berat, dan tingkat 5 gagal
ginjal. Tingkat 5 dibedakan lagi, bila GFR < 5 ml/m maka disebut gagal ginjal fase
lanjut (end stage renal disease = ESRD).

Tabel 6. Tingkatan Penyakit Ginjal Kronis dengan tanda dan gejala.

Perkiraan GFR (estimated GFR = eGFR)


Prevalensi penderita PGK di dunia makin meningkat, termasuk juga di Indonesia.
Sebabnya dikaitkan dengan meningkatnya penderita diabetes melitus dan
hipertensi. Di Indonesia juga banyak disebabkan penyakit ginjal obstruktif oleh
karena batu ginjal selain infeksi. Selain itu PGK juga erat hubungannya dengan
kematian karena penyakit kardiovaskular.
Oleh karena penurunan fungsi ginjal secara kronis seringkali tidak nyata dan juga
pemeriksaan rutin dengan kadar ureum dan kreatinin darah saja baru dapat
mendeteksi adanya PGK setelah penurunan fungsi ginjal mencapai GFR kurang dari
50% maka penting sekali uji bersihan baik ureum maupun kreatinin, dimana uji
bersihan kreatinin (CCT) lebih luas penerapannya. Sayangnya seringkali hasil CCT
kurang dapat dipercaya disebabkan kesalahan / ketidaktaatan dalam pengumpulan
urin 24 jam. Kadang-kadang juga disebabkan kreatinin urin rusak karena tidak
menggunakan pengawet. Di samping itu uji bersihan kreatinin yang memerlukan
penampungan urin selama 24 jam menyebabkan dokter harus menunggu dulu
sebelum menerima hasilnya. Padahal sering kali diperlukan penilaian segera untuk
dapat menetapkan kebijakan klinis misalnya menentukan dosis obat. Oleh karena itu
National Kidney Disease Education Program (NKDEP), National Kidney Foundation
(NKF), American Society of Nephrology (ASN), Kidney Disease Outcomes Quality
Initiative (K/DOQI) dan demikian pula Perkumpulan Nefrologi Indonesia (Pernefri) di
Indonesia, telah menganjurkan untuk menggunakan rumus untuk menghitung
perkiraan GFR. Rumus yang telah dikenal lama dan luas dipakai adalah rumus dari
Cockcroft-Gault (CG) untuk menghitung GFR berdasarkan yang dihitung dari kadar
kreatinin darah saja, disebut CCT hitung, dibedakan dari CCT cara biasa yang
disebut CCT ukur. Rumus CG hitung ini menggunakan data usia, berat badan, jenis
kelamin, dan di USA juga dibedakan berdasarkan etnis. (Cockcroft D, 1976)
Rumus CG: CCT = [(140 Usia (th)) x BB (kg)] / [72 x kadar kreatinin darah
(mg/dL)]
Untuk perempuan CCT = CCT laki-laki x 0,85. Bila diperbaiki dengan luas
permukaan badan maka CCT hitung x 1,73/LPT. Nilai CCT hitung ini disebut juga
eGFR. Sudah banyak rumus untuk menetapkan eGFR serupa rumus CG dengan
mengambil sampel populasi berbeda. Untuk anak ada rumus tersendiri.

Adapula yang mengunakan perbaikan nilai CCT hitung dengan luas permukaan
badan (LPT). Rumus yang diajukan oleh K/DOQI berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Modification of Diet in Renal Disease Study Group (MDRD) adalah:

eGFR = (179x Cr)-0,999 x (usia)-0,175 x (ureum)-0,170 x (albumin)0,318 x (0,762 bila


perempuan), rumus asli tersebut lalu dipermudah berdasarkan kadar kreatinin
darah saja menjadi :
GFR = 186 x (SCr)-1.154 x (usia)-0.203 x (0.742 jika perempuan) x (1.210 jika African
American)
Rumus asli MDRD tersebut didapatkan dari penelitian pada 1628 pasien PGK di
tahun 1999. Rumus tersebut telah mengalami modifikasi berdasarkan penelitian di
berbagai pusat terutama disesuaikan dengan populasi setempat.

Karena kadar kreatinin darah juga dipengaruhi oleh beberapa faktor dan rumus
dibuat berdasarkan kondisi tertentu (rumus CG didapatkan dari populasi kebanyakan
laki-laki, etnis Kaukasia), maka pada keadaan tertentu rumus tersebut tidak tepat
misalnya bila proporsi badan yang tidak normal seperti amat kurus, amat berat,
anak, orang tua, kehamilan, asites, dan lain sebagainya. Pada keadaan-keadaan
tersebut maka CCT ukur tetap diperlukan. Pada tabel 7 diperlihatkan perkiraan
rerata eGFR berdasarkan usia.

Tabel 7. Rerata estimated GFR berdasarkan usia

Karena kelemahan eGFR berdasarkan rumus CG atau turunannya, ada upaya untuk
mendapatkan eGF dari kadar cystatinC. Seperti juga untuk eGFR berdasarkan kadar
kreatinin maka untuk eGFR berdasarkan kadar cystatinC darah ada banyak rumus,
diantaranya sebagai berikut:
Hock pada dewasa:
GFR = -4,32 + (80,35 x 1/cystC) (a)

Larsson pada dewasa dan anak:


GFR = 7,24 x (cystc -1,2623) (b)

Filler pada anak:


log(GFR) = 1,962 + [1,123 x log(1/cystC)] (a)
LeBricon pada transplat ginjal:
GFR = [(78) x (1/cystC)] + 4 (a)

Catatan: kadar cystatinC dalam mg/L, (a)GFR dalam mL/menit per 1,73 m2, (b) GFR
dalam mL/menit.

Dianjurkan untuk memberikan nilai eGFR pada pelaporan kadar kreatinin atau
cystatinC agar dokter klinis, dokter keluarga, dan pasien dapat mengetahui adanya
peringatan mengenai kemungkinan sudah menurunnya fungsi ginjal yang dalam hal
ini diwakili oleh hasil eGFR. Dengan deteksi dini dan pemberian pengobatan secara
tepat maka diharapkan, dan telah terbukti berdasarkan penelitian, bahwa dicapai
penundaan timbulnya gagal ginjal pada orang dengan risiko meningkat,
memperlambat memberatnya PGK, dan menurunkan timbulnya penyakit
kardiovaskular pada pasien dengan PGK. Kebanyakan pasien dengan PGK
meninggal bukan karena gagal ginjal tetapi karena penyakit jantung. Data di Amerika
Serikat, penyakit jantung merupakan penyebab pada 40-50% pasien dengan PGK,
terjadi mulai pada tingkat 3. (NKF)
Tabel 8. Faktor risiko Penyakit Ginjal Kronis

RINGKASAN
Telah dibahas pemeriksaan uji fungsi ginjal terutama berdasarkan uji fungsi
glomeruli dengan kadar ureum, kreatinin dan cystatinC, juga rasio ureum/kreatinin,
serta fraksi ekskresi, lalu uji bersihan ureum, kreatinin dan perkiraan GFR dengan
kadar kreatinin berdasarkan rumus Cockcroft-Gault, MDRD dan juga berdasarkan
kadar cystatinC. Dengan pemeriksaan yang baik dan sistem pelaporan yang
informatif diharapkan dapat dilakukan deteksi kelainan ginjal secara dini sehingga
mencegah timbulnya penyakit di kemudian hari.

Sumber :

Anda mungkin juga menyukai