Anda di halaman 1dari 55

Kualifikasi NEGARA HUKUM

PANCASILA Hambatan dan


Tantangan dalam
Implementasi
Posted on August 26, 2013
PANCASILA SEBAGAI KAEDAH PENUNTUN DALAM PEMBANGUNAN
HUKUM NASIONAL BERDASARKAN PRINSIP-PRINSIP NEGARA
DEMOKRASIKONSTITUSIONAL

Oleh

LULUK LUSIATI CAHYARINI, SH., MKn.

Program Doktoral Ilmu Hukum UNDIP2012 Angkatan XVIII

A. PENDAHULUAN

Menarik benang merah dari berbagai kasus dan kejahatan di Negera kita,
mulai dari kasus Bank Century, kasus penggelapan pajak, kasus Wisma Atlet,
kasus Hambalang, kasus Simulator SIM yang melibatkan petinggi Polri, kasus
Bank Jawa Barat-Banten (BJB), kasus suap daging sapi impor di kementerian
pertanian, dan yang terbaru berita penangkapan langsung KPK atas dugaan
suap di SKK Migas, dari kasus yang melibatkan institusi Negara hingga kasus-
kasus yang melibatkan individu, yang terbaru adalah kasus pembunuhan
sadis seorang perempuan cantik, Fransisca Yofie. Masih banyak kita lihat
berbagai kasus di layar kaca, baik kasus-kasus besar yang melibatkan
pejabat Negara, hingga kasus-kasus yang melibatkan individu-individu,
seperti pencurian, penjambretan dan penipuan, termasuk kasus tawuran
pelajar, serta kasus-kasus premanisme seperti kasus cebongan dan kasus
yang melibatkan ormas, termasuk kekerasan yang mengatas namakan
agama yang dilakukan oleh ormas FPI di berbagai daerah termasuk di Kendal
dan Lamongan Jatim. Juga Kasus kriminal yang berkaitan dengan teror, yang
terbaru kasus penembakan dua Polisi di Pondok Aren Jakarta, yang di duga
melibatkan jaringan teroris.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan adanya sebuah dilema atas penegakan
hukum di Negara Indonesia yaitu Negara yang ber-Pancasila. Negara yang
menjadikan Pancasila sebagai jiwa bangsa, sebagai kaedah penuntun. Kajian
pada konteks penegakan hukum di Indonesia, fakta keadilan semakin jauh
dari kehendak rakyat, karena pengaruh kekuatan sosial personal baik dari
dalam yaitu internal masyarakat Indonesia (individu yang mempunyai
pengaruh, kelompok, maupun ormas), juga pengaruh dari luar (eksternal)
yaitu kuatnya pengaruh idiologi barat, khususnya kapitalisme, beserta
budaya barat yang mengusung sistem liberal, yang menjadikan uang sebagai
pengaruh terbesar dalam kehidupan. Di antaranya perkembangan tehnologi
yang tidak terbendung dan kurangnya proteksi serta kepedulian dari
pemerintah terhadap terjadinya penyimpangan/pengaruh negatif
penggunaan tehnologi internet dan globalisasi budayaliberal/kapitalisme.
Termasuk penegakan HAM yang sudah menyimpang dari visi misinya, dan
justru dijadikan sebagai alat propaganda barat dalam kampanye pengaruh
idiologikapitalisme.

Kapitalisme tegak atas dasar pemisahan agama dengan kehidupan yang kita
kenal dengan istilah sekularisme. Ide sekularisme sebagai asas sekaligus
sebagai pemikiran kepemimpinan idiologis kapitalisme (sebagai kaidah atau
landasan berpikir) serta mengusung konsep kebebasan yaitu manusia berhak
bebas membuat peraturan hidupnya dengan pengakuan terbesar pada hak-
hak individu. Kapitalisme mempertahankan kebebasan manusia yang terdiri
dari kebebasan beragama, berpendapat, hak milik dan kebebasan pribadi
(kebebasan-kebebasan tersebut melahirkan sebuah sistem yang disebut
dengan sistem kapitalisme). sistem kapitalis melahirkan demokrasi yaitu
demokrasi dimana kekuasaan tertinggi adalah ditangan rakyat, hal ini karena
kekuasaan dalam sistem demokrasi adalah kontrak kerja antara rakyat
dengan kepala Negara, yang diangkat untuk menjalankan pemerintahan
sesuai dengan undang-undang yang telah dibuat oleh rakyat (yang diwakili
oleh DPR) sebagai kehendak rakyat. Demokrasi kapitalis lebih menonjolkan
pada sistem ekonominya, sistem kapitalis barat sangat mempengaruhi elite
kekuasaan (pemerintahan) sehingga mereka tunduk kepada para kapitalis
atau pemilik modal. Pada kenyataan dalam sistem kapitalis dapat dikatakan
bahwa para kapitalislah yang menjadi penguasa sebenarnya. Pengaruh
idiologi kapitalisme dan budaya barat (liberalisme) itulah sesungguhnya
pengaruh dan hambatan terbesar dalam Negara hukum Pancasila. Perjalanan
proses kenegaraan sejak reformasi kita sampai dewasa ini, aspek praksis
negara tidak berdasarkan nilai-nilai Pancasila melainkan justru pada ideologi
liberal dengan proses pasar bebasnya. Bahkan dalam segala kebijakan,
terutama dalam bidang ekonomi dan politik liberalisme dihayati bagaikan
agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Kian Gie, 2008: 37).
[1] Liberalisme berbicara tentang kompetisi, berbeda dengan paradigma
Pancasila yang berbicara tentang kooperasi, kerja sama, jiwa kekeluargaan,
dan kolektivisme. Pancasila lebih mengutamakan musyawarah mufakat,
mengedepankan kualitas ide, mengapresiasi hikmah kebijaksanaan dalam
musyawarah.
Rasionalitas prinsip demokrasi Pancasila adalah keterwakilan yang
mengedepankan filosofi egalitarianisme, bukan filosofi sekuleralisme. Semua
terwakili berbagai kelompok etnis, termasuk minoritas, seperti suku-suku di
Papua, Dayak, Badui, Anak Dalam, serta berbagai golongan dan kelompok
profesi, semuanya terwakili kepentingannya, termasuk keterwakilan
masyarakat tradisional. Keterwakilan juga merupakan perekat bagi
masyarakat/bangsa yang serba majemuk (pluralism) seperti bangsa
Indonesia. Basis kulturalis bangsa Indonesia adalah kekeluargaan,
kolektivisme. Karena itu, liberalismetidak cocok diterapkan di Indonesia.[2]
Pancasila sebagai sistem nilai acuan, kerangka-acuan berpikir, pola-acuan
berpikir atau jelasnya sebagai sistem nilai yang dijadikan kerangka landasan,
kerangka cara, dan sekaligus kerangka arah/tujuan bagi yang
menyandangnya sehingga Pancasila menjadi kaedah penuntun dalam
pembangunan hukum nasional. Pancasila sebagai kaedah penuntun artinya
nilai-nilai dasar Pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan,
dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di
Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan
bangsa Indonesia, terhadap Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi
nasional. Kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia,
sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia
maka tidak berlebihan apabila Pancasila menjadi landasan dan tolok ukur
penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan di
bidang hukum (pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia).

Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia.


Hakikat manusia menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat
manusia yang monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, susunan kodrat
manusia terdiri atas jiwa dan raga, sifat kodrat manusia sebagai individu
sekaligus sosial, kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan
makhluk Tuhan. Pembangunan hukum nasional diarahkan sebagai upaya
meningkatkan harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga,
pribadi, sosial, dan aspek Ketuhanan. Secara singkat, pembangunan hukum
nasional sebagai upaya peningkatan manusia secara totalitas melalui
penegakan hukum yang berkeadilan Pancasila. Pembangunan hukum
nasional sangat erat dengan pembangunan sosial, yaitu harus mampu
mengembangkan harkat dan martabat manusia secara keseluruhan dengan
konsep tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yaitu
mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, meliputi bidang ekonomi, sosial
budaya, dan pertahanan keamanan, termasuk pembangunan di bidang
politik, karena hukum lahir dari proses politik.

Hukum memiliki hubungan erat dengan proses politik dan sistem hukum
yang melatarbelakanginya. Penyimpangan terhadap Pancasila sebagai
kaedah penuntun tidak lepas dari hegemoni politik di Negara Indonesia,
mulai dari masa orde lama, orde baru hingga orde reformasi, bahkan pasca
reformasi-pun semakin kental terhadap penyimpangan tersebut
(penyimpangan pemaknaan Pancasila sebagai kaedah penuntun), sehingga
telah menimbulkan banyak permasalahan tidak bekerjanya hukum secara
efektif dan efisien, demikian juga dengan Paradigma kekuasaan yang dipakai
dalam pembangunan hukum di Indonesia perlu dirubah dan diganti dengan
Paradigma moral dengan menjadikan Pancasila sebagai kaedah penuntun,
yang diidealkan memiliki seperangkat nilai yang egalitarian,
demokratis, pluralistis dan profesional untuk membangun masyarakat
madani (civil society).[3]
Praktik penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, penerapan
nilai-nilai Pancasila belum sepenuhnya berjalan sesuai apa yang dicita-
citakan. Sejumlah persoalan tampak pada penerapan nilai-nilai Pancasila
tersebut. 1) Nilai KeTuhanan (Religiusitas); masalah yang muncul diantaranya
yaitu masalah hubungan Negara dengan Agama, masalah kebebasan
beragama/berkeyakinan, masalah hubungan antar umat beragama
(toleransi). 2) Kemanusiaan (Humanisme); masalah yang muncul
diantaranya adalah hubungan Negara dengan Warga Negara, masalah
hubungan antar warga negara. 3) Persatuan (Nasionalisme); masalah yang
muncul adalah memudarnya rasa kebangsaan, ketidakpuasaan daerah
terhadap pusat, norma yang berpotensi mencederai rasa kebangsaan (Perda
bermasalah), menjamurnya parpol-parpol yang berpotensi melunturkan
semangat persatuan. 4) Kedaulatan Rakyat (Demokrasi); masalah yang
muncul adalah peranan Rakyat dalam perumusan kebijakan, eksistensi Wakil
Rakyat dalam kaitan dengan pengisian jabatan secara langsung, hubungan
Rakyat dengan Wakil Rakyat. 5) Keadilan Sosial; masalah yang muncul adalah
kesejahteraan rakyat (kesehatan, pendidikan, ekonomi), pengangguran,
kemiskinan, kesenjangan antar penduduk, antar wilayah, dan lain-lain,
problem atau permasalahan yang mencuat di ranah empiris, sebagai sebuah
penyimpangan terhadap Pancasila.

Penyimpangan dan kesenjangan terhadap implementasi Pancasila sebagai


kaedah penuntun telah menimbulkan dampak yang sangat luas yaitu
menjamurnya patologi dan terjadinya diskriminasi penegakan hukum di
berbagai bidang, yang berdampak pada kemiskinan masyarakat dan
penghambatan kemajuan ekonomi negara, sehingga tidak dihasilkan hukum
yang mencerminkan cita hukum Pancasila.
B. FOKUS KAJIAN DAN PERMASALAHAN

Diharapkan kesimpulan dalam penulisan ini adalah bisa dipahaminya


Pancasila sebagai kaedah penuntun dalam pembangunan hukum nasional.
Diketengahkan juga hambatan dan kendala internal maupun eksternal dalam
mengimplementasi nilai-nilai Pancasila sebagai kaedah penuntun dalam
pembangunan hukum nasional.

Fokus kajian penting yang harus diperhatikan adalah, bahwa hukum harus
dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem yang di dalamnya
terdapat elemen kelembagaan hukum (Law of Structur Element), elemen
materi hukum (Law of Substance Element), dan elemen budaya hukum (Law
of Culture Element). Hukum Nasional adalah kesatuan hukum yang dibangun
untuk mencapai tujuan Negara yang bersumber dari Pancasila (Falsafah
Negara) dan UUD NRI 1945 (Konstitusi Negara), di dalam kedua hal itulah
terkandung tujuan, dasar, dan cita hukum negara Indonesia, sebagaimana
dituangkan dalam tujuan nasional yang tercantum dalam alinea ke-4
Pembukaan UUD 1945.[4]
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan pokok dalam tulisan ini
dapat rumuskan sebagai berikut:
1. Mengapa Pancasila Sebagai Kaedah Penuntun dalam
Pembangunan Hukum Nasional belum dapat
Diimplementasikan pada Kehidupan Demokrasi di Indonesia?
2. Bagaimana Aktualisasi Pancasila Berdasarkan Prinsip-Prinsip
Negara Demokrasi Konstitusional sebagai Sarana Mewujudkan
Tujuan Negara Indonesia ?
C. KERANGKA PEMIKIRAN

1. Paradigma
George Ritzer mengintisarikan bahwa paradigma mempunyai tiga kegunaan,
yaitu (1) sebagai pembeda antarkomunitas ilmiah yang satu dengan lainnya;
(2) untuk membedakan tahap-tahap histories yang berbeda dalam
perkembangan suatu ilmu; (3) sebagai pembeda antar cognitive
groupings dalam suatu ilmu yang sama. Lebih lanjut dikatakan hubungan
antara paradigma dengan teori. Teori hanya merupakan bagian dari
paradigma yang lebih besar. Sebuah paradigma dapat meliputi dua atau lebih
teori, eksemplar, metode-metode dan instrumen-instrumen yang saling
terkait.[5]
Guba dan Lincoln memandang paradigma adalah sistem dasar yang
menyangkut keyakinan atau pandangan yang mendasar terhadap dunia
obyek yang diteliti (worldview) yang merupakan panduan bagi peneliti. Guba
dan Lincoln menyebutkan bahwa paradigma yang berkembang dalam
penulisan dimulai dari paradigma positivisme, post-positivisme, critical
theory dan constructivism. [6]
Sesuai dengan judul dan fokus kajian yang akan kami ketengahkan yaitu
Pancasila Sebagai Kaedah Penuntun dalam Pembangunan Hukum Nasional
Berdasarkan Prinsip-Prinsip Negara Demokrasi Konstitusional, lebih tepatnya
paradigma kajian ini menggunakan paradigma Constructivism atau Legal
Constructivism. Paradigma ini tergolong dalam kelompok paradigma non-
positivistik, yaitu merupakan distingsi dari paradigma positivistik. Paradigma
non-positivistik dianggap sebagai jalan keluar dari paradigma sebelumnya
untuk memandang hukum tidak semata-mata inward looking, melainkan
juga outward looking. [7]
Bila bertolak pada dimensi ontologi, epistemologi, aksiologi dan metodologi
maka penggunaan paradigma konstruktivisme dalam penulisan ini dapat
dideskripsikan sebagai berikut :
1. Ontologi, bahwa pemahaman tentang ciri realitas dari
konstruktivisme itu adalah realitas yang majemuk dan
beragam serta bersifat relativisme. Oleh karena itu, dalam
konteks penulisan Pancasila Sebagai Kaedah Penuntun dalam
Pembangunan Hukum Nasional Berdasarkan Prinsip-Prinsip
Negara Demokrasi Konstitusional, tidak dapat dilihat sebagai
bangunan yang bersifat sistem-mekanis tetapi dilihat sebagai
realitas yang bersifat cair yang merupakan hasil konstruksi
pemikiran dan interpretasi subjektivitas mental aktor
sosialnya. Ontologi kajian ini mengasumsikan hukum telah
[8]

digunakan sebagai alat kebijakan untuk mewujudkan


kepentingan penguasa, untuk kepentingan negara (modal
pembangunan), realita yang terjadi dengan mengabaikan
Pancasila sebagai kaedah penuntun pembangunan hukum
nasional, maka banyak terjadi penyimpangan yang
terepresentasikan dalam norma-norma, kaidah-kaidah dan
nilai-nilai hukum yang oleh negara telah dianggap adil, namun
kenyataannya telah mengakibatkan ketidakadilan bagi rakyat
Indonesia.
2. Epistemologi, pemahaman tentang suatu realitas atau temuan
yang terjadi dalam masyarakat, merupakan produk atau
diperoleh dari pengamatan, pengalaman (interaksi antara
penulis dan masyarakat secara umum). Dalam hal ini tentunya
pemahaman atau temuan mengenai makna pemahaman
Pancasila sebagai kaedah penuntun dalam pembangunan
hukum nasional, yang merupakan hasil pengamatan penulis
pada ranah empiris kehidupan masyarakat di Indonesia secara
umum. Pengetahuan tersebut berguna bagi penulis untuk
memberikan sebuah analisis/ argumen, yakni Pancasila
Sebagai Kaedah Penuntun dalam Pembangunan Hukum
Nasional Berdasarkan Prinsip-Prinsip Negara Demokrasi
Konstitusional;
3. Metodologi, dalam konstruktivisme sistem metode dan prinsip
yang diterapkan dalam observasi atau investigasinya
dilakukan dengan pendekatan hermeneutikal dan dialektis, hal
ini dilakukan dengan menekankan empati dan interaksi
dialektik antara penulis dengan masyarakat umum, untuk
merekonstruksi realitas sosial yang teramati[9]
Aksiologis, yaitu nilai etika dan pilihan moral dalam pemahaman Pancasila
Sebagai Kaedah Penuntun dalam Pembangunan Hukum Nasional Berdasarkan
Prinsip-Prinsip Negara Demokrasi Konstitusional, merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dalam kajian ini

2. Pendekatan Teori:
Problematik yang telah diajukan pada bagian perumusan masalah dalam
penulisan ini, akan dikaji dan dianalisis dengan menggunakan beberapa teori
sebagai unit maupun pisau analisis, baik yang bersifat mikro maupun makro.
[10] Kedudukan teori dalam penulisan ini adalah sebagai langkah untuk
menyusun deskripsi dan pemahaman terhadap Pancasila sebagai kaedah
penuntun dalam pembangunan hukum nasional berdasarkan prinsip-prinsip
demokrasi konstitusional, baik dalam pembentukan dan penegakannya.
Satjipto Raharjo memberikan gambaran bahwa teori itu adalah kerangka
intelektual yang kita ciptakan untuk bisa menangkap dan menjelaskan objek
yang kita pelajari secara saksama. Suatu hal yang semula tampak bagaikan
cerita cerai berai tanpa makna sama sekali, melalui pemahaman (preskriptif)
secara terori bisa dilihat sebagai sesuatu yang lain, sesuatu yang mempunyai
wujud yang baru dan bermakna tertentu.[11]
Konsep Hukum Pogresif, yang saat ini dipandang sebagai teori yang sedang
mencari jati diri,[12] kemunculannya disebabkan oleh kegalauan menghadapi
kinerja hukum yang banyak gagal untuk menyelesaiakan persoalan-persoalan
bangsa Indonesia. Terutama sejak bergulirnya era reformasi, yang ditandai
oleh ambruknya kekuasaan otoriter yang selama berpuluh-puluh tahun
berkuasa dengan menjadikan Pancasila (penyimpangan pemaknaan nilai-nilai
Pancasila) sebagai alat untuk memberangus ketidak sefahaman antara rakyat
dengan penguasa saat itu. Hukum progresif dipandang sebagai sebuah
pendekatan yang melihat dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum di
dalam masyarakat, ide penegakan hukum progresif adalah untuk
membebaskan manusia dari belenggu hukum.
Hukum berfungsi memberi panduan dan tidak membelenggu. Manusia-
manusialah yang berperan lebih penting.[13] Pendekatan hukum progresif
berangkat dari dua asumsi dasar. Pertama, hukum adalah untuk manusia,
bukan sebaliknya.[14] Berkaitan dengan hal tersebut, maka kehadiran hukum
bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan
besar. Ketika terjadi permasalahan hukum, maka hukumlah yang harus
ditinjau dan diperbaiki, bukan manusianya yang dipaksa-paksa untuk
dimasukkan ke dalam skema hukum. Kedua, hukum bukan merupakan
institusi yang mutlak serta final melainkan sangat bergantung pada
bagaimana manusia melihat dan menggunakannya, manusialah yang
merupakan penentu artinya hukum disini sangat mempunyai ketergantungan
dengan manusia itu sendiri. Menurut Satjipto Rahardjo hukum selalu berada
dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making).
[15]Hukum bukan untuk hukum itu sendiri melainkan hukum untuk
manusia. hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan
manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia
bahagia.[16] Pernyataan ini tegas bahwa hukum adalah untuk manusia,
dalam artian hukum hanyalah sebagai alat untuk mencapai kehidupan
yang adil, sejahtera dan bahagia, bagi manusia.
Untuk mengkaji Pancasila sebagai kaedah penuntun pembangunan hukum
nasional dan prinsip-prinsip Negara demokrasi konstitusional, digunakan
pendekatan hukum progresif karena sifatnya lebih ke pendekatan mikro yaitu
menekankan pada aspek perilaku manusia; dibandingkan dengan aspek
prosedur, kelembagaan dan efektivitas hukum, yang lebih bersifat makro
yaitu teori yang menitikberatkan pada pemahaman aspek struktur,
fungsional dan prosedur hukum tertentu. Di antara teori-teori mikro tersebut
adalah; Teori Hukum Responsif, merupakan teori yang cukup relevan dengan
situasi sistem pemerintahan dan hukum Indonesia saat ini yang sedang
mengalami masa transisi, dari sistem permerintahan sentralistis dengan
hukum represifnya menuju pemerintahan yang terdesentralisasi dengan lebih
mengedepankan hukum yang lebih akomodatif terhadap keinginan
masyarakat dan menghargai nilai demokrasi. Teori ini adalah hasil dialektika
pemikiran Nonet dan Zelsnick atas krisis dan ketegangan terhadap dua tipe
hukum yang berkembang sebelumnya, yaitu Hukum Represif dan Hukum
Otonom. Dalam hukum represif terdapat kondisi integrasi yang dekat antara
hukum dan politik dalam bentuk suatu sub ordinasi langsung dari institusi-
institusi hukum terhadap elit-elit yang berkuasa, baik di sektor publik maupun
swasta. Hukum adalah alat yang mudah dikreasi, siap dipakai untuk
mengkonsolidasikan kekuasaan, mengawal otoritas, mengamankan hak-hak
istimewa, dan memenangkan ketaatan. Diskresi pejabat yang tidak terkontrol
merupakan faktor utama dalam mewujudkan hukum sebagai alat kekuasaan.
[17]
Sedangkan hukum otonom yang mereaksi hukum represif berusaha
memisahkan antara hukum dan politik demi menjaga integritas
kelembagaan/kemandirian kekuasaan peradilan. Prosedur yang menuju tertib
hukum menjadi tujuan utama, yakni keteraturan dan keadilan dan bukannya
keadilan subtantif. Ketaatan pada hukum dipahami sebagai kepatuhan yang
sempurna terhadap peraturan-peraturan hukum positif, kritik terhadap
hukum harus disalurkan lewat proses politik.[18]
Kehadiran tipe hukum yang ketiga, yaitu konsep hukum responsif,
menghendaki agar hukum senantiasa peka terhadap perkembangan
masyarakatnya, dengan karakternya yang menonjol yaitu menawarkan lebih
dari sekedar prosedural justice, berorientasi pada keadilan, memperhatikan
kepentingan publik dan lebih dari pada itu mengedepankansubstancial
justice. Hukum responsif bukanlah pembuat keajaiban di dunia keadilan,
pencapaiannya tergantung pada kemauan dan sumberdaya dalam komunitas
politik. Kontribusinya yang khas adalah memfasilitasi tujuan publik dan
membangun semangat untuk mengoreksi diri sendiri ke dalam proses
pemerintahan.[19]
Teori berikutnya adalah Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons, teori ini
dipengaruhi oleh adanya asumsi kesamaan antara kehidupan organisme
biologis dengan struktur sosial tentang adanya keteraturan dan
keseimbangan dalam masyarakat. Asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme
Struktural bahwa masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para
anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang mempunyai
kemampuan mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut
dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam
suatu keseimbangan. Dengan demikian, masyarakat merupakan kumpulan
sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling
ketergantungan.[20]
Guna mengkaji Pancasila sebagai kaedah penuntun, pada masyarakat yang
terdiri dari berbagai suku, agama, keyakinan dan kedaerahan, perlu
diketengahkan pendapat John Griffiths dengan Teori Pluralisme Hukumnya,
yang secara umum mempertentangkannya dengan ideologi sentralisme
hukum (legal centralism).[21] Menurut Griffiths pluralisme hukum
adalah: suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara
berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama.[22] Konsep
yang dikemukakannya membedakan pluralisme hukum menjadi dua macam,
yaitu pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralism) dan pluralisme
hukum yang lemah (weak legal pluralism). Pluralisme hukum yang kuat
menunjukkan adanya keberagaman hukum sedang pluralisme yang lemah
merupakan bentuk lain dari sentralisme hukum (legal centralism), karena
walaupun dalam kenyataannya hukum negara (state law) mengakui adanya
sistem-sistem hukum yang lain, tetapi hukum negara tetap dipandang
sebagai superior, dan sementara itu sistem-sistem hukum yang lain
bersifat inferior dalam hierarkhisistem hukum negara.[23]
Teori berikutnya yang digunakan adalah Teori Bekerjanya Sistem Hukum dari
William J. Chambliss dan Robert B. Seidman. Teori ini untuk melakukan telaah
kritis bekerjanya hukum dalam masyarakat, apakah hukum pada
implementasinya sudah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila atau belum? serta
menelaah berbagai faktor dominan yang mempengaruhi bekerjanya hukum
itu dalam tataran implementasinya pada pemegang peran (masyarakat) dan
pelaksana kebijakan yaitu apakah penguasa dalam menerapkan kebijakannya
sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional (sesuai dengan
Pancasila sebagai Falsafah Negara dan UUD NRI 1945 sebagai konstitusi
negara) atau belum?

Dalam penulisan kajian ini yang dipakai sebagai pisau analisis adalah teori
yang sifatnya mikro diantaranya teori Hukum Prismatik (Fred W. Riggs),
Keberadaan masyarakat Indonesia yang majemuk, di mana pada satu sisi
secara horizontal ditandai kenyataan adanya kesatuan sosial berdasarkan
perbedaan suku, agama, adat dan kedaerahan. Pada sisi lain secara vertikal
ditandai adanya lapisan masyarakat atas-bawah, agraris dan industri. Oleh
karena karakteristik tersebut maka perkembangan kehidupan masyarakat
kita juga tidak bisa serempak. Fred W. Riggs menyebutnya sebagai
masyarakat prismatik.[24] Guna menelaah Pancasila sebagai kaedah
penuntun dalam pembangunan hukum nasional dan prinsip-prinsip Negara
demokrasi konstitusional, maka teori hukum prismatik Riggs tepat digunakan
untuk memberikan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan
dalam masyarakat transisi dari masyarakat tradisional menuju masyarakat
modern.[25] Termasuk hambatan dan kendala atas implementasi Pancasila
sebagai kaedah penuntun.
Teori Hukum sebagai suatu Sistem (Lawrence M.friedman). Bicara soal hukum
sebagai suatu sistem, Lawrence M. Friedman mengemukakan adanya
komponen-komponen yang terkandung dalam hukum yaitu: [26]

1. Komponen yang disebut dengan struktur, yaitu kelembagaan


yang diciptakan oleh sistem hukum seperti pengadilan negeri,
pengadilan administrasi yang mempunyai fungsi untuk
mendukung bekerjanya sistem hukum itu sendiri. Komponen
struktur ini memungkinkan pemberian pelayanan dan
penggarapan hukum secara teratur.
2. Komponen substansi yaitu berupa norma-norma hukum, baik
itu peraturan-peraturan, keputusan-keputusan dan sebagainya
yang semuanya dipergunakan oleh para penegak hukum
maupun oleh mereka yang diatur.
3. Komponen hukum yang bersifat kultural, yaitu terdiri dari ide-
ide, sikap-sikap, harapan dan pendapat tentang hukum. Kultur
hukum ini dibedakan antar internal legal culture dan external
legal culture adalah kultur hukum masyarakat pada umumnya.
Semuanya merupakan pengikat sistem serta menentukan tempat sistem
hukum itu ditengah kultur bangsa secara keseluruhan. Seseorang
menggunakan atau tidak menggunakan hukum, dan patuh atau tidak
terhadap hukum sangat tergantung pada kultur hukumnya. Kita dapat
mengatakan bahwa kultur hukum seseorang dari lapisan bawah akan
berbeda dengan mereka yang berada dilapisan atas. Demikian pula, kultur
hukum seorang pengusaha berbeda dengan orang-orang yang bekerja
sebagai pegawai negeri dan seterusnya. Jadi, tidak ada dua orang laki-laki
maupun wanita yang memiliki sikap yang sama terhadap hukum. Di sini
nampak adanya korelasi yang sistematik antara berbagai faktor seperti umur,
jenis kelamin, pekerjaan, kebangsaan dan sebagainya, [27]

Jika institusi hukum dipahami sebagai suatu sistem maka seluruh tata aturan
yang berada di dalamnya tidak boleh saling bertentangan, bahwa menurut
Hans Kalsen dalamStufenbautheory bahwa norma hukum yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi, bahkan,
lebih dari itu, dalam pembentukan dan penegakan hukum sebagai suatu
sistem, ia selalu menerima masukan dari bidang-bidang lain yang selanjutnya
menghasilkan keluaran (out put) yang disalurkan ke dalam masyarakat.
Friedman menggambarkan keterpautan itu dengan mengatakan:

The heart of the sistem is the way in turning input into output. The structur of
the legal system is like some gigantic computer program, ended to
deal with million of problem that are fed dialing into the machine. [28]

Jika hukum dipahami sebagai suatu sistem norma, maka setiap peraturan
perundangan-undangan yang paling tinggi sampai pada peraturan yang
paling rendah harus merupakan suatu jalinan sistem yang tidak boleh saling
bertentangan satu sama lain. Proses pembentukan norma-norma itu dimulai
dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah disebut sebagai proses
konkretisasi.
Pemahaman sistem yang demikian itu, mengisyaratkan, bahwa persoalan
hukum yang kita hadapi sangat kompleks. Di satu sisi, hukum dipandang
sebagai suatu sistem nilai yang secara keseluruhan dipayungi oleh sebuah
norma dasar yang disebut grundnormatau basic norm. Pancasila
adalah grundnorm yang menjadi dasar dalam tata hukum nasional,
seharusnya norma dasar itulah yang dipakai sebagai dasar dan sekaligus
penuntun pembentukan dan penegakan hukum dalam sistem hukum di
Indonesia. Pancasila sebagai sistem nilai, maka grundnorm itu merupakan
sumber nilai dan juga sebagai pembatas dalam penerapan hukum. Hans
Kalsen memandang grundnormsebagai the basic norm as the source of
identity and as the sources of unity of legal system. [29]

Teori berikutnya adalah Teori Interaksionisme Simbolik, teori ini memfokuskan


pada pengkajian pada realitas-realitas sebagaimana dipahami dan diyakini
oleh warga-warga masyarakat (yang harus dipandang sebagai aktor-aktor
sosial yang sesungguhnya), itulah hal yang harus dimengerti sebagai realitas-
realitas sosial yang sebenarnya. Aliran teori ini berpendapat bahwa realitas
kehidupan hanya eksis dalam alam makna yang menampak dalam bentuk
simbol-simbol yang hanya bisa dimengerti sesudah ditafsir. Menurut Blumer
bahwa pendekatan interaksionisme simbolik mengandung tiga premis utama:

Symbolic interactionism rest in the last analysis on three simple premises.


The first premise is that human beings act toward things on the basis of
meanings that the things have for them; the second premise is that the
meaning of such things derived from, or arises out of, the social interaction
that one has with ones fellows. The third premise is that these meanings are
handled in, and modified trough, an interpretative process used by the
person in dealing with the things he encounters[30]
Realitas yang demikian tidak dapat dengan mudah ditangkap lewat
pengamatan dan pengukuran dari luar, kecuali lewat pengalaman dan
penghayatan-penghayatan internal yang membuahkan gambaran
pemahaman yang lengkap (verstehen).[31] Dalam konsteks teori
interaksionisme simbolik ini, maka hukum dalam kajian ini dipandang sebagai
fenomena sosial berupa perilaku individu-individu yang mempola dan bersifat
simbolik, yang penuh dengan makna-makna tertentu. Teori ini digunakan
untuk rnenganalisis perilaku individu-individu dalam masyarakat Indonesia
dan pejabat publik yang terkait dengan kebijakan pembangunan dan
penegakan hukum di Indonesia, sudah sesuai atau belum dalam
implementasi terhadap pemahaman Pancasila sebagai Falsafah Negara yaitu
Pancasila sebagai kaedah penuntun.
D. METODE PENULISAN

Penulisan ini menggunakan pendekatan Socio-Legal. Digunakannya


pendekatan ini karena untuk memahami hukum dalam konteks, dalam arti
menangkap makna kontekstual dari teks-teks/bahasa-bahasa peraturan,
karena disini hukum merupakanhuman action di mana untuk memahaminya
harus dilakukan pencapain di balik makna, sebuah peraturan tidak akan
terlepas dari konteks yang dimainkan oleh pelaku-pelaku di dalam konteks
sosial yang melingkupinya.[32]
Brian Z. Tamanaha mengemukakan bahwa memahami hukum dengan baik
itu tak dapat dilepaskan begitu saja dari masyarakat di mana hukum itu
berada dan bekerja, karena menurut Tamanaha: law is a mirror of society,
which functions to maintain social order[33]. Dalam pandangan Tamanaha
bawa pada dasarnya dalam hubungan hukum dan masyarakat itu terdapat
hubungan yang menunjukkan adanya dua komponen ide dasar, dalam
komponen ide pertama bahwa hukum adalah cermin masyarakat, sedang
dalam ide kedua menunjukkan bahwa fungsi hukum itu untuk menjaga
ketertiban sosial (social order) dengan mempertahankan dan
menegakkan aturan-aturan dalam hubungan sosial. Di dalam ide dasar yang
kedua itu terdiri dari tiga elemen, yaitu: custom/consent; morality/reason;
dan positive law. [34] Penjelasan tersebut memberikan gambaran bahwa
penulisan ini menggunakan pendekatan Socio-Legal. [35]
E. PEMBAHASAN

1. Implementasi Pancasila Sebagai Kaedah Penuntun dalam


Pembangunan Hukum Nasional pada Kehidupan Demokrasi di
Indonesia.
Pembangunan hukum nasional membutuhkan peranan politik untuk
menentukan arah laju pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya.
Pembangunan hukum nasional akan menentukan arah dari pembangunan di
bidang ekonomi, sosial budaya dan bidang lainnya sekaligus bidang politik
pun tidak akan lepas dari peranan politik. Kita membutuhkan politik hukum
untuk mengarahkan baik dalam pembentukan maupun dalam penegakan
hukum.
Moh. Mahfud MD[36] membuat rumusan sederhana (operasional) bahwa
politik hukum itu adalah arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak
dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai
tujuan bangsa dan negara. Dikatakan bahwa politik hukum merupakan upaya
menjadikan hukum sebagai proses pencapaian tujuan negara. Politik hukum
dapat dikatakan juga sebagai jawaban atas pertanyaan tentang mau
diapakan hukum itu dalam perspektif formal kenegaraan guna mencapai
tujuan negara. Di dalam pengertian ini pijakan utama politik hukum nasional
adalah tujuan negara yang kemudian melahirkan sistem hukum nasional
yang harus dibangun dengan pilihan isi dan cara-cara tertentu.
Dengan demikian politik hukum mengandung dua sisi yang tak terpisahkan
yakni (1) sebagai arahan pembuatan hukum atau policy lembaga-lembaga
negara dalam pembuatan hukum, dan (2) sekaligus sebagai alat untuk
menilai dan mengkritisi apakah sebuah hukum yang dibuat sudah sesuai atau
tidak dengan kerangka pikir policy tersebut untuk mencapai tujuan negara.

Melalui pengertian-pengertian tersebut maka pembatasan politik hukum


untuk mencapai tujuan negara dengan satu sistem hukum nasional
sekurang-kurangnya mencakup hal-hal sebagai berikut:[37]
1. Tujuan negara atau masyarakat Indonesia yang diidamkan
sebagai orientasi politik hukum, termasuk penggalian nilai-
nilai dasar tujuan negara sebagai pemandu politik hukum.
2. Sistem hukum nasional yang diperlukan untuk mencapai
tujuan itu serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
3. Perencanaan dan kerangka pikir dalam perumusan kebijakan
hukum.
4. Isi hukum nasional dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
5. Pemagaran hukum dengan prolegnas dan judicial review,
legislative review, dsb.
Dalam konteks politik hukum; Hukum berfungsi sebagai alat yang bekerja
dalam sistem hukum tertentu untuk mencapai tujuan negara atau cita-
citamasyarakat Indonesia. Oleh sebab itu pembahasan mengenai politik
hukum nasional harus didahului dengan penegasan tentang tujuan negara.
Pada umumnya dikatakan bahwa tujuan bangsa Indonesia adalah
membentuk masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Tetapi, di
luar rumusan yang popular dan biasanya disebut sebagai tujuan bangsa itu,
secara definitive tujuan Negara Indonesia tertuang di dalam alinea keempat
[38]

Pembukaan UUD NRI 1945 yang butir-butirnya yaitu: (1) melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan
umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4) ikut melaksanakan
ketertiban dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.
Seperti telah disebutkan. dalam, Pembukaan UUD NRI 1945 alinea keempat,
tujuan negara tersebut harus diraih oleh negara yang penyelenggaraannya
didasarkan pada, lima sila dasar negara (Pancasila) yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia,
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam,
permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Pancasila ini dapat memandu politik hukum nasional dalam
berbagai bidang tidak terkecuali bidang pertanahan.

Politik hukum nasional sebagai arahan isi bagi pembangunan sistem hukum
nasional dikawal juga oleh pelembagaan atau kewenangan untuk
melakukan judicial review atau uji baik oleh Mahkamah Konstitusi maupun
oleh Mahkamah Agung sesuai dengan hierarki peraturan perundang-
undangan masing-masing. Dengan demikian dari sudut materi atau substansi
politik hukum nasional sudah menyediakan instrumen yang cukup kuat untuk
mengawal konsistensi setup peraturan perundang-undangan. Yang menjadi
masalah adalah pada unsur penegakan hukum yang banyak dikotori
oleh judicial corruption. Budaya hukum yang dianggap buruk dan tidak
kondusif bagi pembangunan sistem hukum sebenarnya dapat diatasi dengan
penegakan hukum yang tegas, termasuk penegakan hukum terhadap
penegak hukum melalui institusi-institusi dan leadership yang kuat.

Politik hukum dapat dibedakan dalam dua dimensi. [39]


Dimensi yang pertama
adalah politik hukum yang menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu
peraturan perundang-undangan atau disebut juga dengan Kebijakan Dasar
(basic policy). Dimensi kedua dari politik hukum adalah tujuan atau alasan
yang muncul di balik pemberlakuan suatu peraturan perundangundangan
atau disebut Kebijakan Pemberlakuan (enactment policy). Keberadaan
Kebijakan Pemberlakuan sangat dominan di negara berkembang mengingat
peraturan perundang-undangan kerap dijadikan instrumen politik oleh
pemerintah atau penguasanya, baik dalam hal yang bersifaf positif maupun
negatif.
Kedudukan politik hukum dalam Pembangunan Sistem Hukum Negara
Indonesia adalah memberikan arah kebijakan bagi pembangunan hukum.
Tanpa politik hukum, PSHNI akan kehilangan arah baik dalam pembuatan
maupun pelaksanaannya. Mahfud MD membuat rumusan sederhana
(operasional) bahwa politik hukum itu adalah[40] arahan atau garis resmi
yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan
hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara.
Pemahaman terhadap kerangka dasar politik hukum nasional sangat penting
untuk dapat mengetahui bagaimana membuat hukum dan menjaganya
melalui politik hukum. Jika hukum diartikan sebagai alat untuk meraih cita-
cita dan tujuan, maka politik hukum diartikan sebagai arah yang harus
ditempuh dalam pembuatan dan penegakan hukum guna mencapai cita-cita
dan tujuan bangsa. Politik hukum adalah upaya menjadikan hukum sebagai
proses pencapaian cita-cita dan tujuan, maka politik hukum nasional harus
berpijak pada kerangka dasar sebagai berikut. [41]
1. Politik hukum nasional harus selalu mengarah pada cita-cita
bangsa yakni masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila;
2. Politik hukum nasional harus ditujukan untuk mencapai tujuan
negara, tsb.
3. Politik hukum nasional harus dipandu oleh nilai-nilai Pancasila
sebagai dasar negara, yakni:
Berbasis moral dan agama.
Menghargai dan melindungi hak-hak asasi manusia tanpa
diskriminasi.
Mempersatukan seluruh unsur bangsa dengan semua ikatan
primordialnya.
Meletakkan kekuasaan di bawah kekuasaan rakyat.
Membangun keadilan sosial
Jika dikaitkan dengan cita hukum negara Indonesia, maka politik
hukum nasional harus dipandu oleh keharusan untuk:
1. Melindungi semua unsur bangsa demi integrasi atau keutuhan
bangsa yang mencakup idiologi dan teritori.
2. Mewujudkan keadilan sosial dalam ekonomi dan
kemasyarakatan
3. Mewujudkan demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi
(kedaulatan hukum).
4. Menciptakan toleransi hidup beragama berdasar keadaban
dan kemanusiaan.
Penjelasan mana memberi gambaran bahwa sistem hukum nasional yang
harus dibangun adalah sistem hukum Pancasila, yakni sistem hukum yang
mengambil dan memadukan berbagai nilai kepentingan, nilai sosial, dan
konsep keadilan ke dalam satu ikatan hukum prismatik dengan mengambil
unsur-unsur baiknya. Sistem hukum demikian, minimal, mempertemukan
unsur-unsur baik dari tiga sistem nilai dan meletakkannya dalam hubungan
keseimbangan, yakni:

1. Keseimbangan antara individualisms dan kolektivisme;


2. Keseimbangan antara Rechtsstaat dan the Rule of Law;
3. Keseimbangan antara fungsi hukum sebagai alas untuk
memajukan dan hukum sebagai cermin nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat;
4. Keseimbangan antara negara agama dan negara sekuler (teo-
demokratis) ataureligius nation state.
Untuk memperjelas gambaran tersebut maka diketengahkan skema:
Pancasila sebagai Grundnorm sekaligus Rechtsidee:

PANCASILA SEBAGAI KAEDAH PENUNTUN DALAM PEMBANGUNAN


HUKUM NASIONAL INDONESIA

PANCASILA SEBAGAI RECHTSIDEE CITA HUKUM

FUNGSI UTAMA: LEITZTERN BINTANG PEMANDU

KONKRETISASI KAEDAH PENUNTUN DALAM PEMBANGUNAN


HUKUM NASIONAL (PEMBENTUKAN DAN PENEGAKAN HUKUM)

1. KEADILAN SOSIAL

2. NON DISINTEGRASI

3. NOMOKRASI

4. NON DISKRIMINASI
LAW DEVELOPMENT

LAW ENFORCEMENT

Pancasila dalam politik hukum Indonesia dapat ditempatkan


sebagai Grundnorm, rechtsidee dan lebih konkrit lagi sebagai kaidah
penuntun dalam pembentukan dan penegakan hukum. Para negarawan yang
duduk ditataran law making institution, rulesanctioning institution maupun
pemegang peran (role occupant) seharusnya memperhatikan kedudukan dan
fungsi Pancasila tersebut sekaligus merevitalisasikannya. Undang-Undang
Dasar 1945 telah diamandemen sebanyak empat tahap. Satu hal yang
menarik adalah kenyataan bahwa tidak ada yang mempersoalkan Pancasila
atau mengusulkannya untuk dijadikan bagian dari program reformasi. Tidak
ada yang menginginkan agar Pancasila diganti dengan ideologi lain justru
hampir semua mengusulkan agar reformasi itu diorientasikan pada upaya
mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam berbagai bidang
kehidupan.

Mengapa Pancasila tidak pernah dan tidak akan pernah diganggu gugat
dalam posisinya sebagai dasar dan ideologi negara. Menurut Mahfud MD[42],
ada dua alasan pokok yang menyebabkan Pancasila tidak diganggu gugat.
Pertama, Pancasila sangat cocok dijadikan platform kehidupan bersama bagi
bangsa Indonesia yang sangat majemukagar tetap terikat erat sebagai
bangsa yang bersatu. Kedua, Pancasila termuat dalam Pembukaan UUD NRI
1945 yang didalamnya ada pernyataan kemerdekaan oleh bangsa Indonesia
sehingga jika Pancasila diubah maka berarti Pembukaan UUD NRI 1945 pun
diubah. Jika Pembukaan UUD NRI 1945 diubah maka kemerdekaan yang
pernah dinyatakan (di dalam Pembukaan itu) dianggap menjadi tidak ada lagi
sehingga karenanya pula negara Indonesia menjadi tidak ada atau bubar.
Dalam kedudukannya sebagai perekat atau pemersatu, Pancasila telah
mampu memposisikan dirinya sebagai tempat untuk kembali jika banga
Indonesia terancam perpecahan.
Berdasarkan kedua alasan tersebut di muka, maka pembangunan hukum di
Indonesia sudah seharusnya tetap menjadikan Pancasila sebagai
paradigmanya. Terlepas dari apakah hukum itu determinan atas politik
ataukah sebaliknya subordinated oleh politik. Hukum harus bersumberkan
pada Pancasila. Materi-materi atau produk hukum dapat senantiasa berubah
dan diubah sesuai dengan perkembangan zaman dan perubahan masyarakat
karena hukum itu tidak berada pada situasi vakum. Menurut Satjipto Rahardjo
hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process,
law in the making). Dapat pula dikatakan bahwa hukum sebagai pelayan
kebutuhan masyarakat harus diperbaharui agar aktual dengan kebutuhan
masyarakat yang dilayaninya, dan dalam pembaruan hukum yang terus
menerus itu, Pancasila tetap harus menjadi kerangka berpikir dan sumber-
sumber nilainya.

Mahfud MD menyatakan bahwa sebagai paradigma pembangunan hukum,


Pancasila memiliki sekurang-kurangnya empat kaidah penuntun yang harus
dijadikan pedoman dalam pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia
yakni sebagai berikut:[43]
1. Hukum harus melindungi segenap bangsa dan menjamin
keutuhan bangsa dan karenanya tidak boleh ada hukum yang
menanamkan benih disintegrasi.
2. Hukum harus menjamin keadilan sosial dengan memberikan
proteksi khusus bagi golongan lemah agar tidak tereksploitasi
dalam persaingan bebas me;lawan golongan yang kuat.
3. Hukum harus dibangun secara demokratis sekaligus
membangun demokrasi sejalan dengan nomokrasi (negara
hukum)
4. Hukum tidak boleh diskriminatif berdasarkan ikatan primordial
apa pun dan harus mendorong terciptanya toleransi beragama
berdasarkan kemanusiaan dan peradaban.
Keempat kaidah penuntun tersebut harus dikonsolidasikan dalam
pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia. Dalam hal penegakan
hukum, misalnya, agar hukum tidak diskriminatif serta mampu memberikan
proteksi khusus kepada yang lemah (the poor/powerless) penegak hukum
harus memerhatikan nilai-nilai Pancasila sebagai kaidah penuntun. Penegak
hukum tidak boleh menerapkan hukum sekedar sebagai seperangkat
peraturan hukum positif yang menjauh dan menyimpang dari pemahaman
dari aspek filosofis dan sosiologisnya, sehingga gambar hukum yang kita
tampilkan tidak utuh (terjadi kesengjangan antara das sollen dan das
sein dalam penerapan hukum ideal). Teori interaksionisme simbolik
memberikan sebuah penjelasan bahwa hukum dalam kajian ini (Pancasila
sebagai kaedah penuntun) dipandang sebagai fenomena sosial berupa
perilaku individu-individu yang mempola dan bersifat simbolik, yang penuh
dengan makna-makna tertentu[44] Namun, dalam implementasi karena
Pancasila tidak dijadikan sebagai kaedah penuntun maka seringkali
penyelenggaraan hukum hanya sebagaimana tertulis dalam kitab-kitab
hukum dan dianggap seolah-olah pekerjaan pencarian keadilan itu telah
selesai. Akibatnya, banyak muncul kasus yang mencerminkan kondisi bahwa
keadilan substansial telah teralienasi dari hukum. Hukum tidak dapat
diimplementasikan pada tegaknya keadilan, bahkan implementasi cita hukum
justru dipandang menciderai rasa keadilan dalam masyarakat.
Fenomena peradilan terhadap wong cilik (the poor) misalnya: (1) kasus
pencemaran nama baik dokter dan RS Omni Internasional oleh Prita
Mulyasari (ditahan 3 Mei 2009-3 Juni 2009, Tangerang); (2) kasus pencurian
satu buah semangka (Kediri), Cholil dan Basar Suyanto dipidana 15 hari
percobaan 1 bulan; (3) kasus pencurian kapuk randu seharga Rp. 12.000,- (4
anggota keluarga, manisih, 2 anaknya dan sepupunya ditahan di LP
Rowobelang batang), (4) kasus pak Klijo Sumarto (76) terssangka pencurian
setandan pisang kluthuk mentah seharga Rp. 2000,- di Sleman:7 Desember
2009 (mendekam di LP Cebongan Sleman), (5) kasus mbok Minah (dituduh
mencuri 3 biji kakao seharga Rp. 2.100:2 Agustus 2009 di Purwokerto,
dihukum pidana percobaan 1 bulan 15 hari); dan (6) kasus yang melibatkan
orang besar (the have) misalnya kasus Bank Century telah membuktikan
bahwa hukum hanya dipahami sebatas skeleton legal formalistik yang
terasing dengan masyarakatnya sehingga seringkali mengalami kebuntuan
legalitas formalnya.[45]
Hukum kita seolah seperti sebilah pisau dapur, tajam kebawah namun tumpul
ke atas. Terhadap orang kecil (the poor) hukum bersifat represif, sedangkan
terhadap orang besar (the have) hukum bersifat protektif dan
memihaknya. The have always come out ahead,demikian kata Marc Galanter.
Fenomena peradilan terhadap the poor maupun the have seperti
disebutkan dimuka seolah menunjukkan bahwa penegakan hukum menemui
kebuntuan legalitas formalnya untuk melahirkan keadilan substantif. Hal ini
disebabkan oleh karena penegak hukum terpenjara oleh ritual penegakan
hukum yang mengandalkan materi, kelembagaan serta prosedur yang kaku
dan anti dengan inisiasirule breaking.[46]
Fenomena penegakan hukum di Indonesia, memberi sebuah gambaran
bahwa nilai-nilai Pancasila hanyalah menjadi formalistik yang terasing
(terabaikan) di Negeri sendiri, padahal hukum merupakan kesepakatan
daripada anggotanya, dimana masyarakat terintegrasi atas dasar
kesepakatan tersebut. Hukum harus mampu mengatasi perbedaan-
perbedaan yang ada dalam masyarakat, nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat tidak boleh terabaikan. Dalam hal ini Pancasila harus dijadikan
kaedah penuntun sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi
dalam suatu keseimbangan.[47] Penegakan hukum mengalami kebuntuan
dalam mengimplementasikan Pancasila sebagai kaedah penuntun dalam
pembangunan hukum nasional (nilai-nilai Pancasila secara umum terabaikan
dalam berbangsa dan bernegara). Pancasila sebagai falsafah Negara,
menjadikannya sebagai kaedah tertinggi dalam sistem pembentukan dan
penegakan hukum. Institusi hukum dipahami sebagai suatu sistem tata
aturan, sehingga yang berada di dalamnya tidak boleh saling bertentangan
(Stufenbautheory). Norma hukum yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi, bahkan, lebih dari itu,
dalam pembentukan dan penegakan hukum sebagai suatu sistem, ia selalu
menerima masukan dari bidang-bidang lain yang selanjutnya menghasilkan
keluaran (out put) yang disalurkan ke dalam masyarakat. Pancasila
adalah grundnorm yang menjadi dasar dalam tata hukum nasional,
seharusnya norma dasar itulah yang dipakai sebagai dasar dan sekaligus
penuntun pembentukan dan penegakan hukum dalam sistem hukum di
Indonesia. Dalam susunan yang hierarkhis ini Pancasila menjamin keserasian
atau tiadanya kontradiksi di antara berbagai peraturan perundang-undangan
secara vertikal maupun horisontal. Hal ini mengandung suatu konsekuensi
jikalau terjadi ketidakserasian atau pertentangan norma hukum yang satu
dengan lainnya yang secara hierarkhis lebih tinggi, apalagi dengan Pancasila
sebagai sumbernya, maka hal ini berarti jika terjadi ketidak sesuaian maka
hal ini berarti terjadi suatu inkonstitusionalitas (unconstitutionality) dan
ketidaklegalan (illegality), dan oleh karenanya maka norma hukum yang lebih
rendah itu batal demi hukum (Mahfud, 1999: 59).[48]
Lawrence M Friedment memberikan penjelasan bahwa hukum adalah sebuah
sistem yang terdiri dari komponen kelembagaan (Structural), materi
(Substantif), dan budaya (Cultur), ketiganya saling mempengaruhi dalam
pembentukan dan penegakan hukum, sebagimana dapat dikaji dengan teori
bekerjanya Sistem Hukum dari William J. Chambliss dan Robert B. Seidman.
Teori ini dapat melakukan telaah kritis terhadap bekerjanya hukum dalam
masyarakat, apakah hukum pada implementasinya sudah sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila atau belum? serta menelaah berbagai faktor dominan
yang mempengaruhi bekerjanya hukum itu dalam tataran implementasinya
pada pemegang peran (masyarakat) dan pelaksana kebijakan yaitu apakah
penguasa dalam menerapkan kebijakannya sesuai dengan prinsip-prinsip
demokrasi konstitusional (sesuai dengan Pancasila sebagai Falsafah Negara
dan UUD NRI 1945 sebagai konstitusi negara) atau belum?. Hukum adalah
suatu sistem antara Legal Sanctioning, Rule Sanctioning dan Role
Occupant,ketiga sistem bekerjanya hukum tersebut dipengaruhi oleh
kekuatan sosial personal (yang datang dari Internal dan eksternal), yang
bermakna positif ataupun negatif, yang dapat mempengaruhi pembentukan
dan penegakkan hukum, baik sebagai dorongan maupun hambatan atau
kendala dalam menuju tercapainya cita-cita hukum.

Implementasi nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah Negara dan UUD NRI 1945
sebagai konstitusi Negara tidaklah seperti yang diharapkan. Terdapat
hambatan dan kendala dalam mengimplementasikan (mengaktualisasikan)
Pancasila berdasarkan prinsip-prinsip Negara demokrasi konstitusional
sebagai sarana mewujudkan tujuan Negara Indonesia, diantaranya adalah:

1. Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang paling Heterogen di


dunia, pada faktanya karakteristik bangsa ini dipenuhi
manusia-manusia yang berpikiran pragmatis. Terjadilah
seperti keadaan sekarang ini dimana terjadi pertengkaran
antar suku, ras, agama, partai dan golongan. Jika dahulu kala
bangsa ini bisa bersatu, karena bangsa ini masih mempunyai
jati diri sehingga tidak terpengaruh virus-virus pragmatis yang
masuk dari luar. Tetapi keadaan sekarang sangatlah mudah
membuat suatu perpecahan di negeri ini, sangatlah mudah
pemikiran anak bangsa diputarbalikkan kemudian
dibenturkannya kepada anak bangsa lainnya. Inilah keadaan
dimana virus Pragmatis telah menguasai pikiran pemuda-
pemudi bangsa ini sehingga pemikiran yang dulunya merdeka
kini telah hilang bahkan telah mengubur kembali jati dirinya
sebagai bangsa yang bermartabat, telah mengubur kembali
nilai-nilai nenek moyang dan The Founding Fathers bangsa ini
sebagaimana yang terumus dalam sebuah falsafah hidup
bangsa yaitu Pancasila. Dahulu kala bangsa ini mempunyai
jati diri yang berbudi luhur dari budaya turun-temurun para
leluhurnya. Budaya-budaya seperti Gotong-
Royong dan Gugur Gunung, yaitu bersatu untuk mengerjakan
sesuatu yang baik secara bersama-sama dan untuk
kepentingan dan kemaslahatan bersama. Ada pula istilah
Manyama Braya yang merupakan budaya Bali asli yang
dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai Saudara lain
Agama, walaupun beda agama tidak di cap buruk dengan
istilah yang menyinggung tetapi saling menghargai
keyakinan masing-masing, saling toleransi, dan saling
mencintai satu sama lainnya. Adapun Budaya Kalimantan
Paguntaka yang berarti Rumah kita bersama dimana tamu
asing yang datang dianggap bagian dari keluarga tanpa
pandang bulu dan dilayani seperti layaknya orang yang
mempunyai hubungan persaudaraan yang erat baginya. Dan
banyak lagi budaya-budaya asli bangsa Indonesia yang
lainnya adalah sebagai obat hati dari bangsa yang beradab
dan bermartabat ini untuk kondisi bangsa sekarang yang
sedang sakit akibat krisis moral ini. Suatu bangsa apapun
akan mengalami suatu krisis moral jika suatu bangsa itu
melupakan dua hal yaitu Budaya dan Sejarah bangsanya
sendiri.[49]
2. Sejak Revolusi Perancis, liberalisme-kapitalisme telah
menguasai dunia selama beberapa abad. Ideologi ini menjadi
penguasa tunggal dunia menyusul keruntuh- an komunisme
pada awal 1980-an. Virus liberalisme kian perkasa dan
merambah ke mana-mana, termasuk Indonesia. Pasca
reformasi 1998, kehidupan berbangsa-bernegara di Indonesia
praktis dikuasai oleh liberalisme. Ideologi kapitalisme yang
mengusung konsep liberalisme berhasil mengerdilkan dan
mengeliminasikan Pancasila. Roh Pancasila semakin pupus
dalam dada anak-anak bangsa, terlebih setelah pelajaran
tentang Pancasila menghilang atau dihilangkan dari kurikulum
pendidikan. Termasuk upaya kaum liberal untuk tak
mengaitkan liberalisme dengan masalah sosial. Kini
tampaknya keadaan sedang berbalik arah: liberalisme sedang
meredup, kapitalisme dalam proses kejatuhan, termasuk di
negara sumbernya, AS. Ternyata virus liberalisme-
kapitalisme telah bergerak tanpa terkendali dan menggerogoti
tuannya sendiri sehingga terjadi kejatuhan ekonomi global.
Ekonom senior AS, Joseph Stiglitz, dalam buku
terlarisnya, Globalization and Its Discontents, secara terangan-
terangan menyalahkan teori ekonomi liberal sebagai
penyebabnya. Karakteristik liberalisme adalah: kompetisi,
kebebasan, mekanisme pasar, yang terkuat (baca:
kepentingan yang terkuat) sebagai pemenang, sangat
mengagungkan hak individu (individualisme) sehingga
demokratisasi Pancasila telah dibuat tereliminir dengan
adanya berbagai kegagalan pengelolaan Negara Indonesia
memenuhi hak dasar warga negaranya (seperti hak mendapat
sandang pangan papan yang memadai, hak mendapat
pendidikan dan kesehatan dengan mudah dan murah, serta
hak melaksanakan ibadah) dapat menimbulkan turbulensi
sosial yang potensial bermuara pada perpecahan.[50]
3. Globalisasi yaitu suatu proses tatanan masyarakat yang
mendunia dan tidak mengenal batas wilayah, globalisasi
memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan
ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh
dunia dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan,
budaya populer, pertahanan keamanan dan teknologi
informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama
dalam globalisasi. Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu
cepat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan
kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia, oleh
karena itu globalisasi tidak dapat kita hindari kehadirannya.
Menghadapi era globalisasi, ancaman
bahaya komunisme dan fundamentalismemerupakan sebuah
tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Disamping itu
yang patut diwaspadai adalah pengelompokan suku bangsa
di Indonesia yang kini semakin kuat. Dalam kehidupan
kebersamaan antar bangsa di dunia, dalam era globalisasi
yang harus diperhatikan yaitu pemantapan jatidiri bangsa. Jika
pancasila bertentangan dengan kolonialisme, imperalisme,
dan kapitalisme tidaklah mengherankan kalau ia bertentangan
dengan globalisme yang tidak lain merupakan ideologi
kapitasisme orang barat yang sedang berusaha menguasai
dunia dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, politik dan
informatif. Saat Pancasila berbenturan dengan arus
globalisasi, maka ideologi dirasakan tak cukup lagi dapat
mengakomodasi berbagai kepentingan masyarakat Indonesia.
Globalisasi menciptakan hubungan interpersonal kini menjadi
lebih individualistik, mementingkan diri sendiri, dan
pragmatis. Globalisasi juga menjadikan hubungan
interpersonal kini tak dibatasi lagi dengan letak geografis.
Masyarakat Indonesia kini cenderung pragmatis sebagai
akibat dari persoalan gaya hidup globalisasi yang sudah
merasuk dalam kesadaran pola hidup mereka. Pemahaman
Nasionalisme bangsa mulai berkurang, di saat negara
membutuhkan soliditas dan persatuan hingga sikap gotong
royong, sebagian kecil masyarakat terutama justru yang ada
di perkotaan justru lebih mengutamakan kelompoknya,
golonganya bahkan negara lain dibandingkan kepentingan
negaranya.[51]
Pengaruh positif globalisasi:

1) Dilihat dari globalisasi politik, pemerintah dijalankan secara terbuka dan


demokratis karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara jika
pemerintahan dijalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentu akan
mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa
rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat.

2) Dari aspek globalisai ekonomi, terbukanya pasar internasional yang


meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan
adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang
menunjang kehidupan nasional bangsa.

3) Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik
seperti etos kerja yang tinggi, disiplin dan iptek dari bangsa lain yang sudah
maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan
bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa.

Pengaruh negatif globalisasi

1) Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme


dapat membawa kemajuan dan kemakmuran sehingga tidak menutup
kemungkinan berubah arah dari ideologi pancasila ke ideologi liberalisme.
Jika hal tersebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang.
2) Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk
dalam negri karena banyaknya produk luar negri membanjiri Indonesia.
Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan
gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa
Indonesia.

3) Masyarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas
diri sebagai bangsa Indonesia karena gaya hidupnya cenderung meniru
budaya barat.

4) Mangkibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya


dan miskin karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal
tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin
yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.

5) Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian


antar perilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang
tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.

Pengaruh-pengaruh di atas memang tidak secara langsung berpengaruh


terhadap nasionalisme, akan tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan
rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang atau hilang. Sebab
globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat secara global. Apa yang
di luar negri dianggap baik memberi aspirasi kepada masyarakat kita untuk
diterapkan di negara kita. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila
tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan bertindak anarkis sehingga
mampu mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan
persatuan dan kesatuan bangsa.

1. Krisis identitas pada akhirnya telah dan akan mengancam


peran mahasiswa sebagai the agent of change. Persoalan
betapa pentingnya mahasiswa sebagai simbol intelektualitas
kaum terpelajar dalam percaturan kehidupan berbangsa tidak
perlu diragukan lagi. Sepanjang sejarah bangsa ini, jatuh
bangunnya rezim selalu terkait dengan peran aktif kaum
intelektual ini. Lalu apa yang akan terjadi apabila kaum
intelektual yang didambakan menjadi the agent of change ini
kehilangan atau mengalami krisis identitas. Krisis identitas
dapat membuat mereka berada di utopia Barat dengan
mengabaikan local wisdom, mengidolakan hukum modern dan
melupakan living law. Mereka akan membaca konstitusi bukan
dengan nurani melainkan hanya dengan cara mengeja rules
and logic. Lebih celaka lagi mereka tidak terbiasa diajari
membaca konstitusi dengan moral (moral reading on
constitution) sebagaimana dikonsepkan oleh Ronald Dworkin.
Selain berakibat pada tidak bersosialisasinya mahasiswa
dengan konstitusi, keadaan di muka dapat menjerumuskan
mahasiswa dalam cara berhukum yang liberal-kapitalistik-
individual bahkan sekular dan bila mereka berpolitik dalam
negara ini pun akan kehilangan arah dari misi untuk meraih
social welfare berdasarkan nilai-nilai Pancasila sebagai kaidah
penuntunnya. Krisis identitas dapat membuat mahasiwa
terjebak pada life style semu dan artifisial dalam bidang
politik, ekonomi, sosial dan budaya. Padahal, Pancasila
sebagai neomistisisme-lah yang mampu menuntun manusia
Indonesia untuk mencapai tujuan nasional sebagaimana
termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945, bukan dengan
pandangan hidup, ideologi dan dasar negara yang lain.[52]
2. Pancasila dalam perjalanannya seiring dengan gerak hidup
bangsa pasca kemerdekaan NKRI, cenderung diterapkan
secara tidak konsisten. Sebagaimana diketahui, Pancasila
merupakan sintesis dari dua ideologi besar yang mendominasi
dunia pada awal berdirinya NKRI. Pancasila berusaha mencari
jalan tengah dari ideologi sosialis-komunis dan ideologi liberal-
kapitalis. Ringkasnya, Pancasila, secara teori merupakan
perpaduan nilai-nilai positif dari ideologi sosialis-komunis
dengan ideologi liberial-kapitalis itu. Masalahnya, karena
berada di tengah-tengah dua ideologi besar yang amat
berseberangan itu, penerapan Pancasila menjadi cenderung
diterapkan dengan tidak konsisten, bergantung pada arah
pembangunan politik dan ekonomi rezim penguasa serta
kedekatan rezim penguasa itu dengan negara-negara besar
dengan ideologinya masing-masing. Sesekali waktu, Pancasila
didekatkan dengan ideologi sosialis-komunis (etatisme), di lain
waktu Pancasila begitu dekat dengan ideologi liberal-kapitalis.
Saat Orde Lama misalnya, Pancasila sangat dekat dengan
komunisme. Nasakom menjadi cirinya. Saat Orde Baru,
Pancasila seperti terbelah, secara politik kekuasaan
dipraktikkan secaraetatisme, sementara secara ekonomi mulai
dijalankan secara liberal-kapitalis. Di era reformasi kini,
banyak pihak yang berpendapat bahwa Pancasila telah
semakin dekat dengan ideologi liberal-kapitalis, baik secara
politik maupun ekonomi. Inkonsistensi itu barangkali yang
membuat pembangunan bangsa menjadi cenderung tidak
fokus. Karena berjalan dalam platform ideologi jalan tengah
itu, Pancasila menjadi rebutan dua ideologi yang besar dan
telah lama eksis. Baik itu ideologi komunis maupun kapitalis
berusaha untuk merangkul bangsa Indonesia agar mau sejalan
dengan ideologi mereka. Disadari atau tidak, fokus
pembangunan dan pembentukan karakter bangsa menjadi
sering berubah arah tergantung pada para pemimpin bangsa
serta ideologi yang dekat dengannya itu.[53]
3. Nilai-nilai pengamalan pancasila mulai hilang dalam
masyarakat termasuk dalam proses ketatanegaraan dan
berbangsa. Dalam segi budaya, saat ini masyarakat lebih
berkiblat pada budaya barat dalam mencontoh pola hidup
mereka. Sehingga nilai-nilai Pancasila yang ada luntur secara
perlahan. Budaya-budaya barat mulai diterapkan oleh
sebagian besar masyarakat khususnya kaum muda. Bahkan
pancasila mulai dianggap kuno, tidak gaul, terlalu kaku.
Propaganda barat sengaja dibuat agar dapat melunturkan nilai
pancasila yang ada di negara kita, sehingga masyarakat akan
lebih dapat dikuasai dan mereka juga dapat menanamkan
bibit-bibit kapitalisme. Kaum muda saat ini lebih menyukai
kebiasaan orang barat yang mengutamakan kesenangan
mereka pribadi seperti berpesta pora, dugem, narkoba,
ataupun sex bebas. Tanpa disadari mereka telah terbawa arus
budaya barat yang akan menghancurkan moral dan
ideologinya sendiri. Penanaman nilai-nilai pancasila yang
terlalu kaku dan pasif sehingga terlalu mudah luntur karena
perkembangan jaman yang ada. Tidak adanya sikap tenggang
rasa, saling menghormati antar umat beragama ataupun antar
masyarakat itu sendiri menjadi penyebab hilangnya nilai-nilai
pancasila yang ada di masyarakat. Merebaknya konflik-konflik
yang ada di masyarakat disebabkan karena faktor keluarga,
lingkungan, karena sistem pendidikan yang salah, atau juga
karena pemahaman agama yang keliru. Dalam keluarga
misalnya, sikap keluarga terutama orang tua dan lingkungan
sekitar yang tidak menunjukkan sikap nasionalisme dan tidak
menunjukkan nilai-nilai pancasila yang ada, akan dapat ditiru
oleh anak-anak mereka. padahal seorang anak merupakan
peniru terhadapa lingkungan sekitarnya. Jika seorang anak
tidak dibiasakan bersikap nasionalisme, maka ia juga akan
acuh terhadap nilai-nilai pancasila. Dalam sistem pendidikan,
biasanya guru hanya memberikan ceramah tentang arti dari
pancasila tersebut dan hanya menjelaskan bagaimana nilai-
nilai pancasila tersebut dijalankan. Tetapi mereka tidak
mencontohkan dan mempraktekkan bagaimana nilai-nilai
Pancasila tersebut dijalankan di lingkungan sekolah, ataupun
di lingkungan sekitar mereka. Dalam hal pemahaman agama,
setiap agama akan diajarkan mana yang harus dipatuhi dan
mana yang harus dijauhi. Akan tetapi ada seglintir orang yang
terlalu fanatik dengan suatu agama tersebut. Sehingga
menyebabkan pola pikirnya menjadi salah akan agama yang
ia anut.[54] hal-hal yang dilarang oleh agamanya akan
menjadi halal baginya karena baginya ia berjihad dan telah
berada dijalan yang benar. Padahal yang ia lakukan justru
malah mencoreng agamanya sendiri dimata penganut sesama
agamanya maupun penganut agama lain. Seharusnya lewat
pendidikan pancasila yang seacara efektif dapat
memperkokoh persatuan dan kesatuan masyarakat,
khususnya kaum muda. Langkah yang bisa kita lakukan salah
satunya adalah menjadikan pancasila bukan hanya sebagai
mata pelajaran atau mata kuliah tersendiri, melainkan
bagaimana pancasila itu dapat merasuk kedalam semua mata
pelajaran atau mata kuliah selain pancasila. Sebagai contoh,
misalnya dalam pelajaran agama, kita juga harus
menanamkan nilai-nilai pancasila yang ada agar dapat
menyeimbangkan antara kerohanian dan moral.
2. Aktualisasi Pancasila Berdasarkan Prinsip-Prinsip Negara
Demokrasi Konstitusional sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan
Negara Indonesia
Pancasila tidak mungkin dapat dipahami secara utuh tanpa meletakkannya
dalam konteks sosio-historis kelahirannya. Ia juga tidak dapat dipahami
secara benar tanpa mengaitkannya dengan corak pemikiran para penggagas
yang turut melahirkannya. Secara sosio-historis, kelahiran Pancasila tidak
mungkin dapat dipisahkan dari konteks perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Sedangkan berdasarkan corak pemikiran para penggagasnya, Pancasila tidak
mungkin dapat dipisahkan dari corak pemikiran figur-figur seperti Soekarno,
Hatta, Yamin, Soepomo, Hasyim dan para anggota BPUPKI lainnya. Dengan
dasar pemikiran seperti itu, sebelum berbicara lebih jauh mengenai
Tantangan Pengamalan pancasila Dalam Bidang Ekonomi, tiga catatan
berikut perlu mendapat perhatian: Pertama, sebagai Philosofische Grondslag
yang dirumuskan dalam rangka menyongsong kemerdekaan Indonesia,
Pancasila secara tegas menyatakan sikapnya menentang penjajahan atau
kolonialisme. Dalam pandangan Pancasila, kolonialisme tidak hanya
bertentangan dengan perikemanusiaan, tetapi bertentangan pula dengan
perikeadilan. Sebab itu, sebagaimana tercantum dalam paragraf pertama
Pembukaan UUD 1945, karena kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa.,
maka penjajahan diatas dunia ini harus dihapuskan. Kedua, sebagai
Philosofische Grondslag yang dirumuskan untuk mempersatukan Indonesia,
maka para penggagas Pancasila secara tegas menolak pengaruh berbagai
corak pemikiran yang dapat memecah belah dan menjerumuskan Indonesia
ke dalam konflik internal dan eksternal. Mengenai susunan negara, misalnya,
para penggagas Pancasila secara tegas menolak susunan negara
berdasarkan monarki dan theokrasi. Demikian halnya dengan susunan
negara berdasarkan dominasi golongan buruh sebagaimana diajarkan oleh
Marx, Engels, dan Lenin (lihat Pidato Soepomo dalam Sidang BPUPKI pada
tanggal 31 Mei 1945). Ketiga, sebagai Philosofische Grondslag yang
dirumuskan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia,
maka Pancasila secara tegas pula menyatakan penolakannya terhadap
kapitalisme. Dalam pandangan para penggagas Pancasila, kapitalisme
(termasuk di dalamnya liberalisme dan individualisme) adalah ibu kandung
dari kolonialisme, sebab itu ia tidak mungkin sejalan dengan tujuan untuk
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (lihat Pidato
Soekarno dalam Sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945).[55]
Penjelasan tersebut memberi gambaran pemahaman bahwa secara
Philosofische Grondslag terdapat tiga pendekatan dalam mengkaji nilai
Pancasila berdasarkan prinsip-prinsip Negara demokrasi konstitusional dalam
kehidupan Negara Indonesia. Pertama adalah pendekatan historis, kedua
pendekatan yuridis, terakhir adalah pendekatan sosiologis. Pendekatan
historis yaitu pendekatan yang menggunakan nilai-nilai sejarah yang
terkandung dalam Pancasila itu sendiri. Sedangkan pendekatan yuridis yaitu
lebih mengedepankan tatanan hukum untuk mengkaji nilai-nilai Pancasila
yang ada di dalam masyarakat. Pendekatan sosiologis menggunakan
keseharian yang ada di dalam masyarakat untuk mengkaji nilai-nilai
Pancasila. Pendekatan yang paling cocok untuk membahas masalah
hilangnya nilai Pancasila dalam masyarakat adalah pendekatan sosiologis.
Karena pluralisme yang ada di masyarakat Indonesia membuat pendekatan
ini dapat lebih digunakan untuk mengkaji masalah tersebut.[56]
John Griffiths dengan Teori Pluralisme Hukumnya, yang secara umum
mempertentangkannya dengan ideologi sentralisme hukum (legal
centralism). Hukum adalah: suatu situasi di mana dua atau lebih sistem
hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial
yang sama.[57] Pendekatan pembangunan dan penegakan hukum harus
didukung dengan pendekatan sosiologis, dimana pendekatan sosiologis
menggunakan masyarakat sebagai objek pengkajian. Brian Z. Tamanaha
mengemukakan bahwa memahami hukum dengan baik itu tak dapat
dilepaskan begitu saja dari masyarakat di mana hukum itu berada dan
bekerja, karena menurut Tamanaha:law is a mirror of society, which
functions to maintain social order. Segala sesuatu yang berhubungan dengan
kegiatan masyarakat yang berhubungan dengan nilai Pancasila dapat
menjadi objeknya. Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam
suku bangsa, RAS, agama, budaya, serta adat istiadat menjadi suatu
kekayaan tersendiri bagi Negara Indonesia sendiri. Adanya hal tersebut juga
dapat menjadi suatu ciri khas Indonesia dengan berbagai adat budaya.
Masyarakat Indonesia yang terkenal dengan sifat sosialnya dan perlakuan
adil terhadap sesama merupakan salah satu ciri yang dapat dikaji dengan
pendekatan sosiologis ini. Budaya Indonesia yang merupakan budaya
ketimuran dilihat dengan adanya budaya masyarakat untuk bergotong
royong, kegiatan kemasyarakatan seperti selamatan, arisan, dan lain
sebagainya. Hal tersebut juga dapat menjadi salah satu tolok ukur dalam
pendekatan sosiologis sesuai dengan prinsip-prinsip Negara demokrasi
Indonesia.
Reformasi konstitusi yang telah berlangsung, melalui beberapa kali
amandemen UUD 1945, membawa perubahan yang sangat besar, terhadap
hukum nasional. Perubahan tersebut, telah mengarahkan kepada cita-cita
negara hukum, sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokrasi
konstitusional. Amandemen tersebut, juga telah menegaskan secara eksplisit
bahwa Indonesia adalah negara hukum.[58] Hal tersebut bermakna
pula,pertama, pengakuan prinsip supremasi hukum dan
konstitusi, kedua, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan
menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang
Dasar, ketiga, adanya jaminan-jaminan hak asasi manusia, keempat, adanya
prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak, yang menjamin persamaan
setiap warga negara dalam hukum, dan kelima jaminan keadilan bagi setiap
orang, termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang
berkuasa. Satu hal yang perlu dicatat pula bahwa proses amandemen
tersebut telah memungkinkan pula dilakukannya partisipasi publik dalam
perdebatan-perdebatan tentang konstitusi, yang sebelumnya selama
beberapa dasawarsa seolah ditabukan.
Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme negara modern pada
proses reformasi untuk mewujudkan demokrasi, pada umumnya bersandar
pada tiga elemen kesepakatan (consensus), yaitu: (1) Kesepakatan tentang
tujuan dan cita-cita bersama (the general goal of society or general
acceptance of the same philosophy of government). (2) Kesepakatan tentang
the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara
(the basis of government). (3) Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi
dan prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).[59]
Kesepakatan pertama, yaitu berkenaan dengan cita-cita bersama sangat
menentukan tegaknya konstitusi di suatu negara. Karena cita-cita bersama
itulah yang pada puncak abstraksinya memungkinkan untuk mencerminkan
kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang
dalam kenyataannya harus hidup ditengah-tengah pluralisme atau
kemajemukan. Oleh karena itu, dalam kesepakatan untuk menjamin
kebersamaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan perumusan
tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa juga disebut sebagai
filsafat kenegaraan atau staatsidee (cita negara), yang berfungsi sebagai
philosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di
antara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara.
[60] Bagi bangsa dan negara Indonesia, dasar filsafat dalam kehidupan
bersama itu adalah Pancasila. Pancasila sebagai core philosophy negara
Indonesia, sehingga konsekuensinya merupakan esensi
staatsfundamentalnorm bagi reformasi konstitusionalisme. Nilai-nilai dasar
yang terkandung dalam filsafat negara tersebut, sebagai dasar filosofis-
ideologis untuk mewujudkan cita-cita negara, baik dalam arti tujuan
prinsip konstitusionalisme sebagai suatu negara hukum formal, sebagai
Sarana Mewujudkan Tujuan Negara Indonesia.
Kesepakatan kedua, adalah suatu kesepakatan bahwa basis pemerintahan
didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Kesepakatan kedua ini juga
bersifat dasariah, karena menyangkut dasar-dasar dalam kehidupan
penyelenggaraan negara. Hal ini akan memberikan landasan bahwa dalam
segala hal yang dilakukan dalam penyelengaraan negara, haruslah
didasarkan pada prinsip rule of the game, yang ditentukan secara bersama.
Istilah yang biasa digunakan untuk prinsip ini adalah the rule of law.[61]
Dalam hubungan ini hukum dipandang sebagai suatu kesatuan yang
sistematis, yang di puncaknya terdapat suatu pengertian mengenai hukum
dasar, baik dalam arti naskah tertulis atau Undang-Undang Dasar, maupun
tidak tertulis atau convensi. Dalam pengertian inilah maka dikenal istilah
constitutional state yang merupakan salah satu ciri negara demokrasi
modern.[62]
Kesepakatan ketiga, adalah berkenaan dengan (1) bangunan organ negara
dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya, (2) hubungan-
hubungan antar organ negara itu satu sama lain, serta (3) hubungan antara
organ-organ negara itu dengan warga negara. Dengan adanya kesepakatan
itulah maka isi konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan karena benar-
benar mencerminkan keinginan bersama berkenaan dengan institusi
kenegaraan dan mekanisme ketatanegaraan yang hendak dikembangkan
dalam kerangka kehidupan negara berkonstitusi (constitutional state).
Kesepakatan-kesepakatan itulah yang dirumuskan dalam dokumen konstitusi
yang diharapkan dijadikan pegangan bersama untuk kurun waktu yang cukup
lama.[63]
Tiga elemen kesepakatan (consensus), tersebut yang menjadi dasar
pembangunan nasional. Oleh karenanya hukum nasional yang demokratis
setidaknya mempunyai karakter dan alur pikir bahwa 1) Hukum nasional
dibuat sesuai dengan cita-cita bangsa, yakni masyarakat adil dan makmur
berdasar falsafah negara. 2) Hukum nasional dirancang untuk mencapai
tahap tertentu dari tujuan negara sebagaimana tertuang di dalam
Pembukaan UUD 1945, 3) Hukum nasional harus menjamin integrasi bangsa
dan negara baik teritori maupun ideologi, mengintegrasikan prinsip
demokrasi dan nomokrasi, artinya pembangunan hukum harus mengundang
partisipasi dan menyerap aspirasi masyarakat melalui prosedur dan
mekanisme yang fair, transparan dan akuntabel; dan berorientasi pada
pembangunan keadilan sosial; dan menjamin hidupnya toleransi beragama
yang berkeadaban.

Implementasi dari hal tersebut, maka hukum nasional, harus mengabdi


kepada kepentingan nasional, dan menjadi pilar demokrasi untuk tercapainya
kesejahteraan rakyat dan secara sosiologis menjadi sarana untuk tercapainya
keadilan dan ketertiban masyarakat. Tujuan dari hukum yang demokratis
tidak saja hanya tercapainya keadilan, akan tetapi juga terciptanya
ketertiban (order).[64] Hukum harus berfungsi menciptakan keteraturan
sebagai prasyarat untuk dapat memberikan perlindungan bagi rakyat dalam
memperoleh keadilan, keteraturan dan ketenangan dan bukan untuk
menyengsarakannya.
Pembangunan hukum nasional yang demokratis, harus meminimalisisasi
pemberlakuan dan penerapan norma yang justru menimbulkan ketidakadilan,
karena penerapan praktik hukum yang demikian akan menimbulkan
ketidakadilan baru. Pembangunan hukum adalah konsep yang
berkesinambungan dan tidak pernah berhenti sehingga penegakan hukum
tidak boleh mengabaikan keadaan dan dimensi waktu saat hukum itu
ditetapkan dan berlaku. Selain tidak bijaksana, hal tersebut pada gilirannya
akan berpotensi mengingkari kepastian hukum itu sendiri. Prinsip non-
retroaktif itu sendiri telah digariskan di dalam Pasal 28 huruf (i) UUD NRI
1945 yaitu hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Meskipun demikian, frasa yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa
pun mendapat kritik karena ada norma-norma internasional, perkecualian
terhadap prinsipnon-retroaktif, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap hak-hak
asasi manusia.

Perubahan UUD 1945 telah berimplikasi pada lahirnya banyak lembaga


negara atau organ, baik lembaga utama (primary constitution organs)
maupun lembaga pendukung/penunjang (State Auxiliary Body disingkat SAB).
Peran auxiliaries bodiesdibutuhkan untuk memperkuat pelaksanaan tugas
pelayanan publik, penegakan hukum dan peradilan serta pembentukan dan
perencanaan hukum. Maraknya kelahiran berbagai komisi-komisi negara saat
ini perlu ditata dan dikaji ulang urgensi pembentukannya dan eksistensinya
secara selektif agar benar-benar bermanfaat dan tidak membebani kinerja
dan perekonomian nasional. Kaji ulang tersebut paling tidak mencakup:[65]
1. tingkat kepercayaan keberadaannya;
2. kadar urgensinya;
3. eksistensi dan kinerjanya; dan
4. efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugasnya.
Dengan demikian harus dilakukan tindak lanjut yang mencakup:

1. penguatan dan pemberdayaan SAB yang masih diperlukan;


2. pengintegrasian SAB yang tugas dan fungsinya tumpang
tindih;
3. penghapusan atau penggabungan SAB yang tidak mempunyai
urgensi dan eksistensi.
Saat ini pun tata hubungan dan tata kelola lembaga-lembaga utama maupun
penunjang tersebut belum secara jelas diatur, sehingga mengakibatkan
disharmoni, yang dapat mengganggu jalannya pemerintahan, dan
mengakibatkan konflik antar lembaga. Oleh karena itu tata hubungan antar
lembaga negara perlu diatur secara tegas dalam perundang-undangan
secara khusus. Salah satu persoalan mendasar, dalam membangun hukum
nasional yang demokratis, adalah bagaimana membuat sistem hukum yang
kondusif bagi keberagaman subsistem, keberagaman substansi,
pengembangan bidang-bidang hukum yang dibutuhkan masyarakat, juga
kondusif bagi terciptanya kesadaran hukum masyarakat, dan kebebasan
untuk melaksanakan hak-hak, dan kewajiban-kewajiban sesuai dengan aturan
yang berlaku.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut adalah
dengan membentuk peraturan perundang-undangan yang disusun melalui
instrumen perencanaan penyusunan undang-undang yang dikenal dengan
Program Legislasi Nasional (Prolegnas), yang pelaksana dari pihak
Pemerintahnya dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).
Secara singkat, Prolegnas dibuat untuk menjamin ketepatan isi dan
ketepatan prosedur yang didasarkan pada falsafah dan UUD NRI 1945. Untuk
kali pertama dalam sejarah perundang-undangan di Indonesia, ditetapkan
Prolegnas jangka menengah 2005-2009 melalui Keputusan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) pada tanggal 01 Pebruari 2005 sebanyak 284 RUU. Sampai
dengan 2008, telah ada 120 RUU yang disahkan menjadi UU dari daftar
tersebut. Salah satu indikator kualitas UU adalah maraknya upaya pengujian
melalui MK. Menurut data Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dari
tahun 2003 hingga 27 Agustus 2008 telah ada 150 putusan terhadap 73 UU
yang diconstitutional review, dan 40 putusan diantaranya mengabulkan
permohonan tersebut. Putusan MK sangat berpengaruh pada Prolegnas, oleh
karena itu pada Prolegnas tahun 2008 telah diprioritaskan tujuh RUU akibat
Putusan Mahkamah Konstitusi, diantaranya adalah RUU tentang perubahan
atas Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, RUU
tentang Penggantian atas UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi, RUU tentang Perubahan atas UU No. 30 tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan RUU tentang Pengadilan
Tipikor.[66]
Banyaknya Undang-Undang yang diajukan constitutional review ke
Mahkamah Konstitusi menunjukkan bahwa pembentukan undang-undang
harus konsisten baik secara vertikal maupun horizontal, oleh karena itu
penyusunan RUU harus didasarkan atas sebuah kajian dan penulisan yang
mendalam yang meliputi aspek asas-asas, norma, institusi dan seluruh
prosesnya yang dituangkan dalam suatu Naskah Akademik (NA). NA itu
sendiri merupakan landasan dan pertanggungjawaban akademik untuk setiap
asas dan norma yang dituangkan dalam rancangan undang-undang. Dengan
disusunnya NA RUU diharapkan proses harmonisasi dan keterkaitannya
dengan peraturan lain sudah dapat dilakukan sejak dini, sehingga dapat
menghindari kendala di atas. Pentingnya penyusunan naskah akademik,
dalam menata dan memantapkan sistem hukum nasional, melalui
perundang-undangan, yang bisa mengeksplorasi pikiran-pikiran yang jernih
dan pikiran-pikiran yang benar agar tidak dangkal, dan betul-betul
memperhatikan segi filosofis, segi sosiologis, segi historis, serta dapat
dipertanggungjawabkan.

Dalam rangka pembangunan hukum nasional, diperlukan adanya


suatu Grand DesignSistem dan Politik Hukum Nasional (GDSPHN) yang jelas.
GDSPHN merupakan sebuah desain komprehensif, yang menjadi pedoman
bagi seluruh stake holders, yang mencakup seluruh unsur dari mulai
perencanaan, legislasi, diseminasi dan budaya hukum masyarakat. Grand
Design Sistem dan Politik Hukum Nasional merupakan guide
linekomprehensif, yang menjadi titik fokus dan tujuan seluruh stake holder
pembangunan hukum, yang mencakup desain struktur pembangunan hukum
secara utuh. Grand designharus diawali dengan pemikiran paling mendasar,
sebagai berikut :[67]
1. Pembangunan hukum harus mencakup: Asas, Norma, Institusi,
proses-proses dan penegakkannya dengan tanpa
mengabaikan budaya hukum;
2. Dalam rangka harmonisasi hukum, diperlukan suatu
mekanisme legislasi yang lebih sistemik, komprehensif dan
holistik;
3. Konsistensi pada hirarki regulasi yang berpuncak pada
konstitusi.
4. Pengabdian kepada kepentingan nasional sebagai pilar untuk
tercapainya tujuan hukum, yaitu terciptanya keadilan dan
ketertiban dalam rangka negara kesejahteraan.
5. Grand design dilakukan persektor hukum.
Dalam rangka penegakan keadilan dan kepastian hukum, pembangunan
hukum harus dilihat secara utuh, yang tidak terlepas dari sejarah. Di dunia
ini, tidak ada negara yang langsung serta-merta memiliki infrastruktur hukum
yang mapan dan demokratis, tanpa melalui proses perubahan yang panjang.
Karena hukum adalah refleksi dari masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu
koreksi, penyempurnaan dan perubahan orientasi hukum harus dilakukan
dengan tetap memegang teguh asas dan kepastian hukum serta paradigma
perubahan dan kenyataan adanya dimensi waktu dan kondisi yang sangat
menentukan perkembangan hukum itu sendiri.

Pembangunan hukum, tidaklah terlepas dari sejarah negara itu sendiri.


Dengan telah dimulainya reformasi, tidaklah berarti kita memulai segala
sesuatunya dari nol. Semua hal yang baik, yang ada dalam produk-produk
hukum positif yang sudah ada, harus menjadi modal pembangunan hukum,
sementara yang tidak baik, dan tidak sesuai lagi, harus kita koreksi dan
perbaiki. Pembangunan hukum adalah konsep yang berkesinambungan, dan
tidak pernah berhenti, sehingga masalah keadilan, penegakan hukum, dan
sikap masyarakat terhadap hukum, tidak boleh mengabaikan keadaan dan
dimensi waktu dan yurisdiksi. Kita juga perlu belajar, dari berbagai negara
yang saat ini memiliki sistem dan politik hukum yang demokratis, tetapi
bermula dari sejarah panjang dan mengalami masa-masa yang sangat
bertolak belakang dengan prinsip-prinsip demokrasi itu, seperti adanya
perbudakan. Melalui penerapan prinsip law as a tool of social engineering,
negara tersebut kemudian berhasil mengubah pola pikir, karakter, dan
budaya hukum masyarakatnya, menjadi demokratis, dan menjunjung tinggi
HAM, tanpa mengingkari kenyataan dan prinsip legalitas, dan menjadikan
segala fakta filosofis, sosiologis, yuridis yang ada dalam sejarah sebagai
modal untuk membangun hukum modernnya.

Respon terhadap perkembangan global adalah suatu keniscayaan. Namun


demikian, prinsip hukum modern yang terkait dengan kedaulatan, imunitas
negara, kewajiban negara untuk melindungi warganegaranya, dan menjaga
keutuhan wilayah, dan seluruh infrastruktur negaranya, adalah landasan
yang harus selalu dipegang teguh dalam pembangunan hukum nasional,
sehingga hukum yang dibangun akan menjadi instrumen yang bermanfaat
dan maslahat, sesuai pilar utama yaitu hukum yang mengabdi pada
kepentingan bangsa dan negara secara utuh. Budaya hukum merupakan
salah satu elemen penting dalam membangun sistem hukum nasional. Oleh
karena itu Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan HAM,
pada tahun 2008 s/d 2013 (untuk jangka waktu lima tahun) mencanangkan
sebagai periode Peningkatan Budaya Hukum Nasional. Salah satu upaya
dalam membangun dan menciptakan budaya hukum masyarakat, adalah
melalui kegiatan edukasi dalam bentuk diseminasi dan penyuluhan hukum.
Proses edukasi dan pembudayaan hukum dilakukan terhadap semua lapisan,
baik penyelenggara negara, aparatur penegak hukum maupun masyarakat
pada umumnya. Seluruh penyelenggara Negara, bertanggung jawab
terhadap terdiseminasikannya hukum kepada seluruh lapisan masyarakat,
sehingga masyarakat memahami hukum secara utuh, yang secara langsung
merupakan langkah preventif agar tidak terjadi pelanggaran hukum.
Pelaksanaan diseminasi dan penyuluhan hukum adalah unsur yang tidak
dapat dipisahkan dari penerapan prinsip yang menyatakan bahwa setiap
orang dianggap tahu hukum.

Penerapan prinsip tersebut tanpa dukungan sosialisasi hukum yang baik,


dapat berakibat tidak terlindunginya masyarakat itu sendiri karena
masyarakat dapat terjebak dalam pelanggaran yang mungkin dia tidak
ketahui dan kehendaki. Dari pengalaman yang selama ini berlangsung, dapat
disimpulkan bahwa sosialisasi hukum merupakan salah satu yang perlu
dilakukan dengan sungguh-sungguh. Kegiatan ini harus ditingkatkan melalui
koordinasi secara nasional, terpola, dan terstruktur secara baik, dengan
memanfaatkan seluruh infrastruktur pendukung dan partisipasi aktif
masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan konsep hukum responsif,
menghendaki agar hukum senantiasa peka terhadap perkembangan
masyarakatnya, dengan karakternya yang menonjol yaitu menawarkan lebih
dari sekedar prosedural justice, berorientasi pada keadilan, memperhatikan
kepentingan publik dan lebih dari pada itu mengedapankan substancial
justice. Tindakan law enforcement dalam semua sektor hukum, harus selalu
dibarengi dengan upaya preventif berbentuk sosialisasi produk-produk hukum
secara optimal. Berhasilnya upaya preventif, sehingga tidak terjadi, atau
tekuranginya pelanggaran hukum, akan lebih maslahat dan tidak
menimbulkan kerugian yang lebih besar, dibandingkan dengan upaya represif
setelah terjadinya pelanggaran.

Nilai-nilai Pancasila harus diimplementasikan, untuk mengupayakan


perlindungan secara optimal terhadap seluruh produk hukum dan tidak
terkecuali terhadap lokal wisdom yang berasal dari adat istiadat,
(pengetahuan tradisional dan kearifan lokal di daerah), di samping tentunya
mengembangkan secara optimal potensi yang berasal dari kreativitas Sivitas
Akademika untuk menanamkan pemahaman dan pengamalan Pancasila
sebagai kaedah penuntun dalam prinsip-prinsip Negara demokrasi
konstitusional. Hal tersebut dapat dimulai melalui kerjasama dengan
Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota. Pancasila sebagai kaedah penuntun
perlu terus suarakan dan dibudayakan di setiap sekolah mulai dari Sekolah
Dasar, Sekolah Menengah, Sekolah Atas serta Universitas karena setiap
pendidikan akan menjadi salah satu tempat (pilar penting dalam pendidikan,
pemahaman dan pengamalan Pancasila) menuju Research Pembangunan dan
Penegakan Hukum Nasional, langkah penting untuk membumikan kembali
(membudayakan ber-Pancasila) dapat ditempuh melalui kompetisi bagi para
dosen, mahasiswa, pelajar dan peneliti karya ilmiah, dengan pemberian
fasilitas penelitian, termasuk bagi usulan penulisan yang layak dan
memenuhi syarat invensi baru (new invention) dan berpotensi di dalam
membumikan Pancasila, sehingga dapat mendukung Program Legislasi
Nasional (Prolegnas), yang pelaksana dari pihak Pemerintahnya dilakukan
oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Universitas (tempat
pendidikan lain) menjadi sangat strategis, sebagai salah satu infrastruktur
menuju Research Universit atau Research Scool Pancasila kaedah penuntun
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu sebagai pilar pembangunan
dan penegakan hukum nasional.

Arah pendidikan, pemahaman dan pengamalan Pancasila sebagai kaedah


penuntun yaitu menjadikan masyarakat Indonesia selain berbudaya hukum,
maka masyarakat juga harus diarahkan menjadi masyarakat yang cerdas
hukum. Masyarakat cerdas hukum merupakan masyarakat yang memahami
hukum secara komprehensif, yang terkait dengan hak dan kewajibannya.
Mengetahui hak dan kewajibannya sebagai warga Negara yaitu faham apa
yang diperbolehkan untuk dilakukan dan juga faham atas larangan-larangan
artinya masyarakat memahami keuntungan dan resiko apa saja yang akan
dialami terkait perbuatan hukum yang dilakukannya. Sehingga masyarakat
tidak sekedar cerdas melainkan juga akan menjadi masyarakat yang teliti
dan cermat, dalam mengambil langkah-langkah dan tindakan-tindakan
hukum, mampu menjauhi segala perbuatan yang dapat menimbulkan
pelanggaran hukum. [68] Kemampuan menghindari perbuatan yang
menjurus kepada pelanggaran hukum adalah salah satu wujud kecerdasan
hukum masyarakat, sebab seringkali logika tidak bisa lagi diandalkan ketika
seseorang yang tidak berniat sama sekali untuk melakukan pelanggaran atau
kejahatan yang lebih serius tetapi kemudian melakukannya karena dalam
keadaan tertekan oleh perasaan dan ketakutannya yang dapat datang sesaat
dan tiba-tiba. Sebagai ilustrasi, seorang yang awalnya hanya berniat
melakukan pencurian, bisa terjebak ke dalam perbuatan pembunuhan, ketika
dalam keadaan tertekan, merasa ketakutan perbuatannya akan diketahui
oleh orang lain.
Unsur lain kecerdasan hukum masyarakat adalah kemampuan untuk
berperan serta dalam upaya mewujudkan negara hukum yang demokratis,
melalui kontribusi pemikiran dalam rangka penbangunan hukum nasional,
sehingga hukum yang dibuat benarbenar dapat mencerminkan nilai filosofis,
sosiologis dan yuridis. Akhirnya sebagai konklusi, dapat dikemukakan
beberapa hal dalam rangka mendukung upaya pembudayaan dan
kecerdasan hukum masyarakat, yakni:

1. Upaya pembudayaan hukum harus dilakukan dengan metode


yang tepat dan efektif, dengan memanfaatkan berbagai media
dan infrastruktur serta lembagalembaga yang hidup dan
tumbuh di masyarakat.
2. Sosialisasi berbagai materi hukum, perlu terus diupayakan
agar setiap perkembangan terbaru mengenai
perundangundangan diketahui dan dipahami oleh masyarakat.
Dengan demikian, ketersediaan dan kemudahan akses
terhadap informasi materi hukum secara mudah, menjadi
bagian penting dari upaya pembudayaan hukum masyarakat.
3. Budaya Hukum Masyarakat harus dibangun paralel dengan
peningkatan profesionalisme aparat penegak hukum dan
birokrasi. Karena profesionalisme ini akan sangat berpengaruh
terhadap kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu
sendiri.
4. Perlu dilakukan pola dan program pembudayaan hukum
secara terpadu, terencana dan didasarkan kepada fakta-fakta
permasalahan hukum yang terjadi. Dengan demikian,
keberadaan tenaga fungsional penyuluh hukum, perlu segera
direalisasikan.
5. Pembudayaan hukum harus dilakukan sejak usia dini dan
dimulai dari rumah tangga sebagai miniatur terkecil negara
hukum, untuk mencapai masyarakat berbudaya hukum saat
ini dan masa depan.
Kelima upaya tersebut di atas, harus diimplementasikan dalam koridor
Pancasila sebagai kaedah pembangunan hukum nasional dan penegakannya,
dalam prinsip-prinsip Negara demokrasi konstitusional, dengan
memperhatikan kondisi dan keadaan masyarakat yang plural dan kultur di
negara-negara berkembang, dimana kondisinya tidak bisa disamakan dengan
kondisi negara-negara maju (modern) seperti negara-negara barat.

Negara berkembang masyarakatnya masih bersifat transisional, dimana


suatu pendekatan terhadap masyarakatnya juga bersifat transisional. Fred W.
Riggs berpendapat bahwa masyarakat transisional disebut sebagai model
masyarakat prismatik (Prismatic Society), yaitu suatu masyarakat yang
memiliki ciri-ciri tradisional atau agraris bersamaan dengan ciri-ciri modern
atau industri, di dalam masyarakat prismatik terdapat sub model yang
disebut sala. Ciri-ciri atau sifat-sifat masyarakat prismatik adalah adanya
heterogenitas yang tinggi, formalisme yang tinggi, dan overlapping.
[69]
Kondisi masyarakat Indonesia yang masih transisional tersebut ditandai
oleh dua ciri yang bersifat unik(horizontal dan vertikal) yaitu secara
horizontal struktur masyarakatnya ditandai dengan kenyataan bahwa adanya
kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku-suku, agama, adat
dan kedaerahan. Secara vertikal, ditandai dengan adanya perbedaan-
perbedaan vertikal dari masyarakat lapisan atas dan masyarakat lapisan
bawah, dan atau masyarakat agraris dan industrial. Oleh Furnivall [70]
disebut
sebagai masyarakat majemuk (plural societies). Oleh Suteki diperjelas
tentang pluralisme masyarakat sekaligus menunjukan adanya diversifikasi
cultur, di mana perbedaan-perbedaan kultur dalam masyarakat selanjutnya
menimbulkan kontradiksi-kontradiksi, di satu sisi menghendaki adanya
prinsip-prinsip lokal untuk dipertahankan sementara disisi lain masyarakat
menghendaki prinsip-prinsip global. [71]
Gambar dibawah ini guna
menjelaskan bagaimana bekerjanya teori hukum prismatik: [72]

Ragaan Konsep Masyarakat Prismatik

Sumber: Dielaborasi dari Fred W. Riggs (1964)

Konsep masyarakat prismatik menghendaki, bekerjanya hukum di


masyarakat, sesuai dengan prinsip-prinsip Negara demokrasi konstitusional
sebagaimana dijelaskan dalam pembukaan dan pasal-pasal UUD NRI 1945
(Konstitusi Negara), dan sesuai dengan Pancasila yang merupakan kaedah
penuntun dalam pembangunan hukum nasional, sehingga Pancasila
merupakan Grundnorm atau Rechtsidee yaitu merupakan sumber dari
keseluruhan kebijakan hukum nasional Indonesia. Penegasan keduanya
sebagai sumber kebijakan hukum nasional didasarkan pada dua alasan.
Pertama, Pembukaan dan pasal-pasal UUD NRI 1945 memuat tujuan, dasar,
cita hukum, dan pijakan dari kebijakan hukum di Indonesia. Kedua,
Pembukaan dan pasal-pasal UUD NRI 1945 mengandung nilai-nilai khas yang
bersumber dari pandangan dan budaya bangsa Indonesia yang diwariskan
oleh nenek moyang sejak berabad-abad lalu. Nilai-nilai khas inilah yang
membedakan sistem hukum Indonesia dari sistem hukum lain sehingga
muncul istilah Negara Hukum Pancasila. Nilai-nilai khas ini yang jika
dikaitkan dengan dengan literatur tentang kombinasi antara lebih dari satu
pilihan nilai sosial, disebut sebagai pilihan nilai prismatik, sebagaimana telah
dikemukakan oleh Fred W. Riggs di muka, yang karenanya dalam konteks
hukum dapat disebut sebagai hukum prismatik. [73]

Konsep prismatik merupakan hasil identifikasi Riggs terhadap pilihan


kombinasi atau jalan tengah atas nilai sosial paguyuban dan nilai sosial
patembayan seperti yang dikemukakan oleh Hoogvelt. [74]
menyatakan bahwa
ada dua nilai sosial yang hidup dan mempengaruhi warga masyarakat, yakni
nilai sosial yang paguyuban yang menekankan pada kepentingan bersama
dan nilai sosial patembayan yang menekankan pada kepentingandan
kebebasan induvidu. Fred W. Riggs kemudian mengajukan nilai sosial
prismatik yang meletakkan dua kelompok nilai sosial tersebut sebagai
landasan untuk membangun hukum yang penjabarannya dapat disesuaikan
dengan tahap-tahap perkembangan sosial ekonomi masyarakat yang
bersangkutan. [75]

Beberapa nilai-nilai khas yang kemudian mengkristalkan tujuan, dasar, cita


hukum dan norma dasar negara Indonesia, yang kemudian melahirkan sistem
hukum nasional Indonesia yang khas pula antara lain meliputi kombinasi dari:

1. Nilai kepentingan: antara Individualisme dan Kolektivisme;


2. Konsepsi negara hukum: antara Rechtsstaat dan the Rule of
Law;
3. Hukum dan Masyarakat: antara Alat Pembangunan dan
Cermin Masyarakat;
4. Negara dan Agama: Religius Nation State.
F. PENUTUP

1. Simpulan
a. Pancasila Sebagai Kaedah Penuntun dalam Pembangunan
Hukum Nasional pada Kehidupan Demokrasi di Indonesia.
Pembangunan hukum adalah konsep yang berkesinambungan, dan tidak
pernah berhenti, sehingga masalah keadilan, penegakan hukum, dan sikap
masyarakat terhadap hukum, tidak boleh mengabaikan keadaan dan dimensi
waktu dan yurisdiksi. Pancasila hendaknya menjadi satu panduan (kaedah
penuntun) dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila akan mengatasi
keanekaragaman (multi budaya) masyarakat Indonesia dengan tetap
menjaga toleransi terhadap adanya perbedaan. Penetapan pancasila sebagai
dasar negara tak akan menghapuskan perbedaan (indefferentism) tetapi
dirangkum semuanya dalam satu semboyan Bhineka Tunggal Ika. Pancasila
sebagai dasar negara harus diarahkan pada pembinaan moral sehingga
moralitas. Pancasila harus dikembalikan pada hakikatnya semula yaitu
sebagai kontrak sosial dasar, yang terkandung sejumlah visi kebangsaan
yang sangat mendasar dan menjadi komitmen bersama milik seluruh warga
negara dan bangsa. Tiga perspektif atas simpulan tersebut yaitu Pertama,
meletakkan Pancasila sebagai dasar negara, karena rumusan Pancasila
terdapat dalam UUD 1945.Kedua, memahami nilai-nilai dalam Pancasila
sebagai pandangan dunia atau visi masa depan masyarakat Indonesia,
karena memang nilai-nilai yang dikandung Pancasila telah hidup dan
berkembang di masyarakat Indonesia. Ketiga, meletakkan Pancasila sebagai
visi bangsa, sebagi konsekuensi logis dari Pancasila sebagai dasar negara
dan pandangan hidup masyarakat Indonesia.

b. Aktualisasi Pancasila Berdasarkan Prinsip-Prinsip Negara


Demokrasi Konstitusional sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan
Negara Indonesia.
Pancasila dikenal sebagai ideologi terbuka lebih bersifat konseptual dalam
sarana mewujudkan tujuan Negara Indonesia, karena dinilai memenuhi syarat
untuk disebut sebagai ideologi terbuka, yang memiliki ciri-
ciri: Pertama, bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak dapat dipaksakan dari
luar melainkan digali dan diambil dari moral, budaya masyarakat itu sendiri.
Sehingga dalam pembentukan undang-undang harus konsisten baik secara
vertikal maupun horizontal, penyusunan RUU harus didasarkan atas sebuah
kajian dan penulisan yang mendalam yang meliputi aspek asas-asas, norma,
nilai-nilai yang digali dan sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, dan harus
bersifat responsive dengan melibatkan institusi dan seluruh prosesnya yang
dituangkan dalam suatu Naskah Akademik (NA). Universitas (tempat
pendidikan lain) sangat strategis sebagai salah satu infrastruktur
menuju Research Universit atau Research Scool. Kedua, sarana mewujudkan
tujuan Negara Indonesia dasarnya bukan keyakinan ideologis sekelompok
orang saja, atau berdasarkan kekuasaan otoriter, melainkan hasil
musyawarah serta konsensus dari masyarakat bangsa itu sendiri, karena
Pancasila sebagai ideologi nasional dipahami dalam perspektif kebudayaan
bangsa dan bukan dalam perspektif kekuasaan, sehingga Pancasila bukanlah
alat kekuasaan. Ketiga, nilai-nilai itu sifatnya dasar, secara garis besar
sebagai prinsip-prinsip Negara demokrasi yang konstitusional sehingga tidak
langsung operasional, melainkan Pancasila
sebagai Grundnorm atauRechtidee dalam pembangunan dan penegakan
hukum nasional. Pembentukan peraturan perundang-undangan yang disusun
melalui instrumen perencanaan penyusunan undang-undang yang dikenal
dengan Program Legislasi Nasional (Prolegnas), oleh Pemerintah, dan
dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), guna menjamin
ketepatan isi dan ketepatan prosedur yang didasarkan pada falsafah Negara
(Pancasila) dan UUD NRI 1945 sebagai Konstitusi Negara.

2. Saran
Rekomendasi atas penulisan ini adalah Negara/Pemerintah, stakeholders dan
seluruh komponen masyarakat, harus bersama-sama bahu-membahu untuk
mengejawantahkan penanaman akedah Pancasilais dengan mengajarkan,
memahami dan mengamalkan ajaran Pancasila baik sebagai Ideologi maupun
sebagai nilai-nilai kaedah penuntun dalam bernegara dan bermasyarakat
sesuai dengan prinsip-prinsip Negara demokrasi konstitusional; 1) dengan
melaksanakan pendidikan mulai dini tentang ilmu, pemahaman dan
pengamalan Pancasila, termasuk harus berani menghidupkan lagi P4
(Pendidikan, Pemahaman dan Pengamalan Pancasila) dengan konsep yang
lebih baik artinya terproteksi bukan untuk alat propaganda kekuasaan, 2)
perlunya penanggulangan preventif melalui penyuluhan hukum tentang
Pancasila sebagai kaedah penuntun, di seluruh lini masyarakat secara
terkoordinasi nasional, terpola dan terstruktur), 3) dibutuhkan
ketegasan pemerintah/Negara dalam penegakan hukum, dengan
tindakan law enforcement, dalam semua sektor hukum.

[1] Kaelan, M.S, Aktualisasi Pancasila sebagai Philosofische Grondslag


Antara Das Sein dan Das Sollen, Seminar Nasional Pancasila,
diselenggarakan oleh Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Hotel Patra Jasa, Semarang, 29 Juni 2013, hlm. 2, lihat pula
dalam Kwik Kian Gie, 2008. Terjajahnya Kembali Indonesia sejak 1967,
dalam Eddi Elison, Refleksi Seabad Kebangkitan Nasional, Dewan Harian
Nasional, Jakarta.
[2] http://www.pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?mod=berita&id=5589,
diunduh pada tanggal 19 Agustus 2013.
[3]Esmi Warassih, Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis.
PT Suryandaru Utama, Semarang 2005 hlm. xv
[4]Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi,
Pustaka LP3ES, Jakarta, 2006 hlm 17, lihat Suteki, Rekonstruksi Politik Hukum
Hak Atas Air Pro-Rakyat, Surya Pena Gemilang, Malang, Juli 2010, hlm 67,
Lihat, Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Penerbit Alumni, Bandung, 1991, hlm. 1. Lihat juga, Sunaryati
Hartono, Apakah The Rule of Law itu?, Alumni, Bandung, 1976, hlm. 17.
[5]George Ritzer, Modern Sociology Theory, McGraw-Hill Companies Inc.,
USA, 1996, hlm. 500-501. Lihat juga dalam Yulia Sugandi, Rekonstruksi
Sosiologi Humanis Menuju Praksis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 9
[6]Guba dan Lincoln, Computing Paradigms in Qualitative Research,
dalam Handbooks of Qualitative Research, London, Sage Publication, 1994,
hlm. 105. Lihat dalam Norman K. Denzin, Yvonna S. Lincoln, Handbook Of
Qualitative Research, terjemah Dariyatno, dkk, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2009, hlm 124.
[7]Soetandyo Wignyosoebroto, Perubahan Paradigma Dalam Ilmu Hukum
Pada Masa Peralihan Milenium (dari Abad 20 ke Abad 21), makalah kuliah
PDIH Undip, 2009. hlm. 13.
[8] Menurut Sampford sebagaimana yang dikutip Anthon F. Susanto bahwa
masyarakat itu pada dasarnya berada dalam kondisi yang disebut
sebagai social melee yaitu dalam kondisi tanpa sistem atau asimetris
(disorder). Dalam kondisi ini masyarakat bersifat cair, tidak dapat diprediksi,
selalu dinamis, tidak bersifat sistematis dan mekanis. Implikasinya akan
menjadikan masyarakat itu pluralis, penuh perbedaan dan keanekaragaman,
diversitas, multi plisitas. Periksa Anthon F. Susanto, Menggugat Fondasi
Filsafat Ilmu Hukum Indonesia, Butir-butir Pemikiran dalam Hukum:
Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH. ed. Sri Rahayu
Oktoberina & Niken Savitri (Bandung, 2008), hlm. 18-19
[9]Realitas sosial dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu realitas sosial
yang dibangun berdasarkan aliran empirik, yaitu realitas-realitas obyektif
yang teramati di alam inderawi bukan berupa pengetahuan atau kesadaran
warga masyarakat sendiri. Dalam hal demikian kajian yang paling sesuai
adalah kajian kuantitatif. Berdasarkan aliran simbolik, realitas sosial sebagai
makna-makna simbolik yang berada di alam kesadaran dan kepahaman
manusia, yang tidak selamanya dapat termanifestasikan secara sempurna di
alam inderawi. Realitas sosial yang sesungguhnya adalah realitas yang
terbenam dalam-dalam di dalam relung alam kesadaran manusia yang
simbolik penuh makna, dengan wujudnya yang bukannya anorganik ataupun
organik melainkan supraorganik. Periksa Suteki, Rekonstruksi Politik Hukum
Tentang Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Air Berbasis Nilai Keadilan
Sosial: Studi Terhadap Privatisasi Pengelolaan Sumber Daya Air (Disertasi,
Undip, Semarang, 2008), hlm. 32
[10] Teori yang bersifat mikro lebih menekankan pada aspek perilaku
manusia, sementara teori makro lebih menekankan pada aspek-aspek
struktural (kelembagaan) dan fungsional (efektivitas). Periksa, Satjipto
Rahardjo, Teori dan Metode dalam Sosiologi Hukum,Hukum Adat dan
Modernisasi Hukum, ed. M. Syamsudin dkk (Jogjakarta, 1998), hlm. 143-151
[11] Satjipto Raharjo (Teori dan Metode), Ibid., hlm. 142
[12] Periksa Suteki (Rekonstruksi Politik), Op.Cit., hlm. 24
[13]Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta, cetakan ketiga, Januari 2008. hlm. xix
[14]Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum
Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, cetakan 1, Juli 2009 hlm. 5
[15]Ibid, hlm. 6.
[16] Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum (Jogja,
2009), hlm. 1-5
[17] Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward
Responsive Law (New York, 1978), hlm. 51
[18] Ibid., 55
[19] Ibid., hlm. 77-78
[20] Periksa, George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Sociological Theory, terj.
Nurhadi (Jogjakarta, 2004), hlm. 258-262
[21] Ideologi sentralisme hukum diartikan sebagai suatu ideologi yang
menghendaki pemberlakuan hukum negara (state law) sebagai satu-satunya
hukum bagi semua warga masyarakat, dengan mengabaikan keberadaan
sistem-sistem hukum yang lain, seperti hukum agama (religious law), hukum
kebiasaan (customary law), dan juga semua bentuk mekanisme pengaturan
lokal (inner-order mechanism) yang secara empiris hidup dan berkembang
dalam kehidupan masyarakat. I Nyoman Nurjaya, Perkembangan Pemikiran
Konsep Pluralisme Hukum (Makalah dalam Konferensi Internasional tentang
Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Sedang Berubah:
Mempertanyakan Kembali Berbagai Jawaban, 11 13 Oktober 2004, Hotel
Santika, Jakarta) hlm. 10
[22] John Griffiths, What is Legal Pluralism (dalam Journal of Legal Pluralism
and Unofficial Law Number 24/1986), hlm.2
[23] Ibid., hlm. 5
[24] Periksa, Suteki, KebijakanTidak Menegakkan Hukum (Non Enforcement
of Law) Demi Pemuliaan Keadilan Substantif (Pidato Pengukuhan Guru Besar
Ilmu Hukum Undip, Semarang, 4 Agustus 2010), hlm. 40
[25] Penjelasan sederhannya dapat diperiksa di Fred W. Riggs, Administrasi
Negara-negara Berkembang: teori Masyarakat Prismatis, terj. Yasogama
(Jakarta, 1988), hlm. 31
[26]Lawrence Friedman, lihat dalam Gunther Teubner (Ed), ibid, 1986. hlm
13-27. William J. Chambliss dan Robert B. Seidman, Law, Order and Power,
Reading, Mass: Addisin-Wesly, 1971, hlm 5-13. Juga dalam Lawrence
Friedman Law and Development, A General Model dalam Law and Society
Review, No. VI, 1972. Dalam Esmi Warassih, Op Cit. hlm.81-82
[27]Esmi Warassih, ibid. hlm 82.
[28]Lawrence M.Friedman, legal sistem. USA: Russel Sage Foundations, 1975,
lihat juga dalam Shrode and Voich, Op.Cit, 1974. dalam Esmi Warassih, Op Cit
hlm 42-43
[29]Joseph Raz, The Concept of Legal Sistem, An Introduction to the Theory
of the Legalsystem, London: Oxford University Press, 1973. dalam Esmi
Warassih, Op.Cit, hlm 81-82
[30] Ada 3 premis utama pendekatan interaksionisme simbolik yaitu: l)
manusia melakukan aksinya terhadap segala hal dengan berdasarkan pada
makna yang dimiliki hal tersebut terhadap dirinya; 2) makna hal-hal tersebut
ditarik atau muncul dari reaksi yang dilakukan oleh seseorang terhadap
orang lain (interaksi sosial); 3) makna yang muncul ini kemudian dimodifikasi
melalui proses interpretasi, disesuaikan dengan kondisi yang dihadapinya.
Herbert Blumer, Symbolic Interactionism: Perspective and Method(California,
1986), hlm 2
[31] Periksa Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Metode dan Dinamika
Masalahnya(Jakarta, 2002), hlm 212-213; Periksa juga Lihat, Wayne
Parsons, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan, terj.,
Tri Wibowo Budi Santoso (Jakarta, 2005), hlm. 99
[32] Esmi Warassih (2006), Op.Cit,. hlm. 6
[33] Brian Z. Tamanaha, A General Jurisprudence of Law and Society (New
York, 2006), hlm. 1. Bandingkan juga pendapat Ehrlich, bahwa hukum itu
tidak muncul dalam teks, dalam pengadilan, dan dalam ilmu hukum,
melainkan dalam masyarakat. Periksa W. Friedmann, Teori dan Filsafat
Hukum: Idealisme Folosofis dan Problema Keadilan (Susunan
II), terj. Muhammad Arifin (Jakarta, 1994), hlm. 104
[34] Brian Z. Tamanaha, Ibid., hlm. 2-4
[35] Pada prinsipnya studi socio-legal adalah studi hukum, yang
menggunakan pendekatan metodologi ilmu sosial dalam arti yang luas. Studi
ini dapat dikatakan menyediakan pendekatan alternatif dalam studi hukum.
Para peneliti/akademisi sosiolegal pada umumnya berumah di Fakultas
Hukum. Kata socio tidaklah merujuk pada sosiologi atau ilmu sosial namun
merepresentasikan keterkaitan antar konteks di mana hukum berada. Itulah
sebabnya mengapa ketika seorang peneliti sosio legal menggunakan teori
sosial untuk tujuan analisis, mereka sedang tidak bertujuan untuk memberi
perhatian pada sosiologi atau ilmu sosial melainkan fokus pada hukum dan
studi hukum. Jadi, studi sosiolegal dekat dengan ilmu sosial benar-benar
berada dalam ranah metodologinya. Metode dan teknik penelitian dalam ilmu
sosial dipelajari dan digunakan untuk mengumpulkan data. Periksa
Sulistyowati Irianto, Memperkenalkan Studi Sosiolegal dan Implikasi
Metodologisnya, Metode Penelitian Hukum-Konstelasi dan
Refleksi, ed. Sulistyowati Irianto dan Shidarta (Jakarta, 2009), hlm. 175-
177; Periksa pula pendapat Wheeler dan Thomas sebagaimana dikutip Reza
Banakar dan Max Travers bahwa Socio-legal studies as an interdisciplinary
alternative and a challenge to doctrinal studies of law. For them the socio in
socio-legal studies does not refer to sociology or social science, but
represents an interface with a context within which law exists. Reza Banakar
dan Max Travers, Theory and Method in Socio-Legal Research (Oregon, 2005),
hlm. xii; Bandingkan pula Suteki dalam catatan kaki no. 42, yang
menyatakan bahwa di dalam pendekatan socio-legal research berarti
terdapat dua aspek penelitian. Pertama, aspek legal research, yakni objek
penelitian tetap ada yang berupa hukum dalam arti normperaturan
perundang-undangan,dan kedua, socio research, yaitu digunakannya
metode dan teori ilmu-ilmu sosial tentang hukum untuk membantu peneliti
dalam melakukan analisis. Pendekatan ini menurut tetap berada dalam ranah
hukum, hanya perspektifnya yang berbeda. Suteki (2008), Ibid., hlm. 32
[36] Moh. Mahfud MD, Op.Cit,. hlm, 13-16.
[37] Moh Mahfud MD, Op Cit,. hlm. 16
[38] Moh Mahfud MD memberi gambaran cita-cita dan tujuan negara: cita-
cita lebih merupakan semangat yang bersemayam di hati masyarakat,
sedangkan `tujuan lebih formal kenegaraan sebagai pernyataan konstitutif
yang harus dijadikan arah atau orientasi penyelenggaraan negara.Tujuan
bangsa dan tujuan negara itu substansinya sama, hanya saja tujuan negara
seringkali dianggap bersifat lebih konstitutif karna dirumuskan secara resmi
di dalam Pembukaan UUD 1945. Ibid hlm. 17
[39] Hikmanto Juwana, Arah Kebijakan Pembangunan Hukum di Bidang
Perekonomian dan Investasi, Makalah Seminar Arah Pembangunan Hukum
Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, BPHN, Jakarta 29-31 Mei 2006, hlm. 2.
[40] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum
Nasional, Makalah Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945
Hasil Amandemen, BPHN, Jakarta, 29-31 Mei 2006, hlm. 1-2. Lihat juga dalam
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Pustaka
LP3ES, Jakarta, 2006, hlm. 13-16.
[41] Moh. Mahfud MD, Op.Cit, hlm. 31
[42] Mahfud MD, Op.Cit. hlm..52.
[43] Mahfud MD, Op.Cit., hlm. 56.
[44] Hukum dan penegakannya harus memperhatikan realitas sosial, dimana
realitas sosial dalam makna yang nampak dalam simbul-simbul yang hanya
(dapat) dipahami dengan penafsiran lewat pengalaman dan penghayatan-
penghayatan internal yang membuahkan gambaran pemahaman yang
lengkap (verstehen).
[45] Suteki, Kebijakan Tidak Menegakkan Hukum ( Non Enforcement of Law )
Demi Pemuliaan Keadilan Substantif, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam
Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 4
Agustus 2010, hlm. 5-6.
[46] Ibid hlm. 7-8Apabila kita menjadikan Pancasila sebagai kaidah
penuntun, maka hukum harus mampu menghadirkan keadilan substantif,
bukan hanya keadilan legalitas formal. Dunia praktik hukum harus segera
beringsut menata diri agar tujuan hukum sebagaimana dikatakan oleh Jeremy
Bentham (1733-1804) untuk the greatest happiness for the gretest umber of
people dapat diwujudkan. Untuk menghadirkan keadilan substantif apabila
penegakan hukum menemui kebuntuan legalitas formalnya maka tindakan
penagak hukum yang diperlukan adalah melakukan the non enforcement of
law, yakni mengambil kebijakan untuk tidak menegakkan hukum (the policy
of non enforcement of law) demi tujuan-tujuan hukum yang lebih besar,
misalnya demi penegakan dan penghormatan hak asasi manusia.
Pemahaman kita terhadap ilmu hukum pun harus segera kita kaji ulang dan
kita arahkan kepada pengkajian ilmu hukum yang bersifat holos dan
progresif.
[47] Teori Fungsionalisme Struktural bahwa masyarakat terintegrasi atas
dasar kesepakatan dari para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan
tertentu yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan-perbedaan
sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara
fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Masyarakat merupakan
kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling
ketergantungan.
[48]Kaelan, M.S, (Aktualisasi Pancasila sebagai Philosofische Grondslag
Antara Das Sein dan Das Sollen,..Op Cit. hlm. 40), periksa dalam Mahfud,
M.D., Pancasila sebagai Paradigma Pembaharuan Hukum, dalam Jurnal
Filsafat Pancasila, Univesitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 1999.
[49]sasananuswantara.wordpress.com/2011/03/05/virus-pragmatis-yang-
merusak-sendi-sendi-panca-sila/#more-407, diunduh pada tanggal 19
Agustus 2013
[50] http://www.pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?
mod=berita&id=5589, diunduh pada tanggal 19 Agustus 2013.

[51] http://yulianingsih92.wordpress.com/2012/12/16/kedudukan-pancasila-
di-era-globalisasi/ Pengaruh Globalisasi Terhadap Pluralisme Kebudayaan
Manusia di Negara Berkembang.2005.internet: Public Jurnal. diunduh pada
tanggal 19 Agustus 2013.
[52] Suteki, Seminar Nasional: Membangkitkan Semangat Konstitusi
Berdasarkan Nilai-Nilai Pancasila Dalam Negara Hukum, diselenggarakan oleh
BEM Fakultas Hukum Universitas Diponegoro di Semarang pada tanggal I
Desember 2012. hlm. 2
[53]http://teguhalkhawarizmi.wordpress.com/2011/10/03/pancasila-dan-
beberapa-permasalahan-bangsa/ diunduh pada tanggal 19 Agustus 2013
[54] keragaman tanggapan dari kalangan umat Islam, dapat diklafikasikan:
menerima secara bulat (NU), yang menerima Pancasila sebagai dasar
negara dan memilih Islam sebagai basis organisasinya (Muhammadiyah), dan
yang menolak secara tegas Pancasila sebagai azas organisasinya (PERSIS),
dan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi negara khilafah (HTI)
atau penegakkan syariah Islam (MMI, JAT, dan FPI).
[55] Revrisond Baswir, Peluang Dan Tantangan Pengamalan Pancasila Dalam
Bidang Ekonomi, Seminar Nasional Pancasila, diselenggarakan oleh Pusat
Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Hotel Patra Jasa,
Semarang, 29 Juni 2013, hlm. 1-2
[56] Realitas budaya nusantara yang plural berdasarkan kemajemukan
komunitas etnis yang hidup di atas pulau atau gugusan pulau yang
dipisahkan oleh lautan menunjukkan berbagai macam perbedaan. Perbedaan
peta geografis dan etnis-kultural inilah yang berpotensi sebagai sumber dari
berbagai jenis konflik yang timbul secara alamiah atau yang dengan sengaja
direkayasa menjadi konflik. Jenis konflik ditimbulkan, antara lain, oleh isu
SARA dan oleh adanya ketegangan antara keinginan untuk mempertahankan
diri sebagai komunitas lokal pada satu sisi, dan pada sisi lain lemahnya
perekat keadilan yang seharusnya dapat merekat seluruh komunitas agar
dapat mempersatukan diri sebagai sebuah bangsa dengan makna dalam
ungkapan bhinneka tunggal ika sebagai jatidiri.
[57] John Griffiths, What is Legal Pluralism Op.Cit., hlm. 2
[58] Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun
1945 berbunyi: Negara Indonesia adalah negara hukum.
[59] Kaelan, M.S, (Aktualisasi Pancasila sebagai Philosofische Grondslag
Antara Das Sein dan Das Sollen,.) Op Cit. hlm. 3, Periksa dalam Andrews.
W.G., Constitutions and Constitutionalism, Van Nostrand Company, New
Jersey. 1968, hlm. 12.
[60] Kaelan, M.S, Ibid, periksa dalam Jemmy Asshiddiqie, Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta. 2005. hlm . 26.
[61] Kaelan, M.S, (Aktualisasi Pancasila sebagai Philosofische Grondslag
Antara Das Sein dan Das Sollen,.) Op Cit. hlm. 4, Periksa dalam Dicev, A.V.
An Introduction to The Study of the Law of The Constitution, Mac Millan Press,
London. 1973.
[62] Kaelan, M.S, Ibid, periksa dalam Muhtaj E., Hak Asasi Manusia dalam
Konstitusi Indonesia, Prenada Media, Jakarta. 2005, hlm. 24
[63] Kaelan, M.S, Ibid.
[64] law is a mirror of society, which functions to maintain social order.
[65] Frankiano B. Randang, Membangun Hukum Nasional Yang Demokratis
Dan Cerdas Hukum, SERVANDA Jurnal Ilmiah Hukum, Volume 3, No. 5, Januari
2009, ISSN 1907 162030, hlm. 3-4
[66] Frankiano B. Randang, Ibid
[67] Badan Pembangunan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia, Rumusan Konvensional Hukum Nasional
Tentang UUD 1945 Sebagai Landasan Konstitusional Grand Design Sistem
Dan Politik Hukum Nasional,http://www.bphn.go.id/index.php?
action=public&id=2008042815080192, diunduh kamis, 22 Agustus 2013.
[68] Membangun budaya hukum masyarakat merupakan bagian dari
upaya nation character-building. Membangun sikap dan mengubah mental
bangsa, yang selama ini terlanjur dibebani stigma-stigma negatif sebagai
bangsa yang cenderung masih toleran terhadap pelanggaran-pelanggaran
hukum.
[69]Lijan Poltak Sinambela dkk, Reformasi Pelayanan Publik, Teori, Kebijakan
dan Implementasi, Bumi Aksara, cetakan 4, Jakarta, 2008. hlm 61-62, lihat
juga dalam Pamudji, S, Ekologi Administrasi Negara, Bina Aksara,
Jakarta1986, hlm. 57-59.
[70]Nasikun, Sebuah Pendekatan Untuk Mempelajari Sistem Sosial Indonesia,
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UGM, Yogyakarta, 1974, hlm. 31, dalam
desertasi Suteki, Op.Cit, hlm 76
[71]Suteki, Rekonstruksi Politik Hukum Tentang Hak Menguasai Atas Sumber
Daya Air Berbasis Nilai Keadilan Sosial (Studi Privatisasi Pengelolaan Sumber
Daya Air), ibid, hlm, 76. Lihat , Boaventura de Sousa Santos, Toward A New
Common Sense; Law, Sciense and Politics in The Paradigmatic Transition,
Routledge, 1995 . hlm. 337.
[72]Suteki, Rekonstruksi Hukum Hak Atas Air Pro-Rakyat, Surya Pena
Gemilang, Malang, Juli 2010, hlm. 74.
Moh Mahfud MD, 2006, Op.Cit. hlm 23.
[73]

Ankie M. Hoogvelt, Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang, Rajawali


[74]

Press, Jakarta, 1985, hlm. 87-91. Dalam Suteki Op.Cit., hlm. 74


Fred W. Riggs, Administration in Developing Countries: The Theory of
[75]

Prismatic society,Hought Miffin Company, Boston, 1964, hlm. 176. Dalam


Suteki, Ibid, lihat juga Moh. Mahfud MD, 2006, Op.Cit., hlm. 23-24
This entry was posted in PANCASILA by Dr. Widhi. Bookmark the permalink.

Leave a Reply
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Comment

Name *

Email *

Website

CAPTCHA Code*

Post Comment
Proudly powered by WordPress

Anda mungkin juga menyukai