Oleh
A. PENDAHULUAN
Menarik benang merah dari berbagai kasus dan kejahatan di Negera kita,
mulai dari kasus Bank Century, kasus penggelapan pajak, kasus Wisma Atlet,
kasus Hambalang, kasus Simulator SIM yang melibatkan petinggi Polri, kasus
Bank Jawa Barat-Banten (BJB), kasus suap daging sapi impor di kementerian
pertanian, dan yang terbaru berita penangkapan langsung KPK atas dugaan
suap di SKK Migas, dari kasus yang melibatkan institusi Negara hingga kasus-
kasus yang melibatkan individu, yang terbaru adalah kasus pembunuhan
sadis seorang perempuan cantik, Fransisca Yofie. Masih banyak kita lihat
berbagai kasus di layar kaca, baik kasus-kasus besar yang melibatkan
pejabat Negara, hingga kasus-kasus yang melibatkan individu-individu,
seperti pencurian, penjambretan dan penipuan, termasuk kasus tawuran
pelajar, serta kasus-kasus premanisme seperti kasus cebongan dan kasus
yang melibatkan ormas, termasuk kekerasan yang mengatas namakan
agama yang dilakukan oleh ormas FPI di berbagai daerah termasuk di Kendal
dan Lamongan Jatim. Juga Kasus kriminal yang berkaitan dengan teror, yang
terbaru kasus penembakan dua Polisi di Pondok Aren Jakarta, yang di duga
melibatkan jaringan teroris.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan adanya sebuah dilema atas penegakan
hukum di Negara Indonesia yaitu Negara yang ber-Pancasila. Negara yang
menjadikan Pancasila sebagai jiwa bangsa, sebagai kaedah penuntun. Kajian
pada konteks penegakan hukum di Indonesia, fakta keadilan semakin jauh
dari kehendak rakyat, karena pengaruh kekuatan sosial personal baik dari
dalam yaitu internal masyarakat Indonesia (individu yang mempunyai
pengaruh, kelompok, maupun ormas), juga pengaruh dari luar (eksternal)
yaitu kuatnya pengaruh idiologi barat, khususnya kapitalisme, beserta
budaya barat yang mengusung sistem liberal, yang menjadikan uang sebagai
pengaruh terbesar dalam kehidupan. Di antaranya perkembangan tehnologi
yang tidak terbendung dan kurangnya proteksi serta kepedulian dari
pemerintah terhadap terjadinya penyimpangan/pengaruh negatif
penggunaan tehnologi internet dan globalisasi budayaliberal/kapitalisme.
Termasuk penegakan HAM yang sudah menyimpang dari visi misinya, dan
justru dijadikan sebagai alat propaganda barat dalam kampanye pengaruh
idiologikapitalisme.
Kapitalisme tegak atas dasar pemisahan agama dengan kehidupan yang kita
kenal dengan istilah sekularisme. Ide sekularisme sebagai asas sekaligus
sebagai pemikiran kepemimpinan idiologis kapitalisme (sebagai kaidah atau
landasan berpikir) serta mengusung konsep kebebasan yaitu manusia berhak
bebas membuat peraturan hidupnya dengan pengakuan terbesar pada hak-
hak individu. Kapitalisme mempertahankan kebebasan manusia yang terdiri
dari kebebasan beragama, berpendapat, hak milik dan kebebasan pribadi
(kebebasan-kebebasan tersebut melahirkan sebuah sistem yang disebut
dengan sistem kapitalisme). sistem kapitalis melahirkan demokrasi yaitu
demokrasi dimana kekuasaan tertinggi adalah ditangan rakyat, hal ini karena
kekuasaan dalam sistem demokrasi adalah kontrak kerja antara rakyat
dengan kepala Negara, yang diangkat untuk menjalankan pemerintahan
sesuai dengan undang-undang yang telah dibuat oleh rakyat (yang diwakili
oleh DPR) sebagai kehendak rakyat. Demokrasi kapitalis lebih menonjolkan
pada sistem ekonominya, sistem kapitalis barat sangat mempengaruhi elite
kekuasaan (pemerintahan) sehingga mereka tunduk kepada para kapitalis
atau pemilik modal. Pada kenyataan dalam sistem kapitalis dapat dikatakan
bahwa para kapitalislah yang menjadi penguasa sebenarnya. Pengaruh
idiologi kapitalisme dan budaya barat (liberalisme) itulah sesungguhnya
pengaruh dan hambatan terbesar dalam Negara hukum Pancasila. Perjalanan
proses kenegaraan sejak reformasi kita sampai dewasa ini, aspek praksis
negara tidak berdasarkan nilai-nilai Pancasila melainkan justru pada ideologi
liberal dengan proses pasar bebasnya. Bahkan dalam segala kebijakan,
terutama dalam bidang ekonomi dan politik liberalisme dihayati bagaikan
agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Kian Gie, 2008: 37).
[1] Liberalisme berbicara tentang kompetisi, berbeda dengan paradigma
Pancasila yang berbicara tentang kooperasi, kerja sama, jiwa kekeluargaan,
dan kolektivisme. Pancasila lebih mengutamakan musyawarah mufakat,
mengedepankan kualitas ide, mengapresiasi hikmah kebijaksanaan dalam
musyawarah.
Rasionalitas prinsip demokrasi Pancasila adalah keterwakilan yang
mengedepankan filosofi egalitarianisme, bukan filosofi sekuleralisme. Semua
terwakili berbagai kelompok etnis, termasuk minoritas, seperti suku-suku di
Papua, Dayak, Badui, Anak Dalam, serta berbagai golongan dan kelompok
profesi, semuanya terwakili kepentingannya, termasuk keterwakilan
masyarakat tradisional. Keterwakilan juga merupakan perekat bagi
masyarakat/bangsa yang serba majemuk (pluralism) seperti bangsa
Indonesia. Basis kulturalis bangsa Indonesia adalah kekeluargaan,
kolektivisme. Karena itu, liberalismetidak cocok diterapkan di Indonesia.[2]
Pancasila sebagai sistem nilai acuan, kerangka-acuan berpikir, pola-acuan
berpikir atau jelasnya sebagai sistem nilai yang dijadikan kerangka landasan,
kerangka cara, dan sekaligus kerangka arah/tujuan bagi yang
menyandangnya sehingga Pancasila menjadi kaedah penuntun dalam
pembangunan hukum nasional. Pancasila sebagai kaedah penuntun artinya
nilai-nilai dasar Pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan,
dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di
Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan
bangsa Indonesia, terhadap Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi
nasional. Kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia,
sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia
maka tidak berlebihan apabila Pancasila menjadi landasan dan tolok ukur
penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan di
bidang hukum (pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia).
Hukum memiliki hubungan erat dengan proses politik dan sistem hukum
yang melatarbelakanginya. Penyimpangan terhadap Pancasila sebagai
kaedah penuntun tidak lepas dari hegemoni politik di Negara Indonesia,
mulai dari masa orde lama, orde baru hingga orde reformasi, bahkan pasca
reformasi-pun semakin kental terhadap penyimpangan tersebut
(penyimpangan pemaknaan Pancasila sebagai kaedah penuntun), sehingga
telah menimbulkan banyak permasalahan tidak bekerjanya hukum secara
efektif dan efisien, demikian juga dengan Paradigma kekuasaan yang dipakai
dalam pembangunan hukum di Indonesia perlu dirubah dan diganti dengan
Paradigma moral dengan menjadikan Pancasila sebagai kaedah penuntun,
yang diidealkan memiliki seperangkat nilai yang egalitarian,
demokratis, pluralistis dan profesional untuk membangun masyarakat
madani (civil society).[3]
Praktik penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, penerapan
nilai-nilai Pancasila belum sepenuhnya berjalan sesuai apa yang dicita-
citakan. Sejumlah persoalan tampak pada penerapan nilai-nilai Pancasila
tersebut. 1) Nilai KeTuhanan (Religiusitas); masalah yang muncul diantaranya
yaitu masalah hubungan Negara dengan Agama, masalah kebebasan
beragama/berkeyakinan, masalah hubungan antar umat beragama
(toleransi). 2) Kemanusiaan (Humanisme); masalah yang muncul
diantaranya adalah hubungan Negara dengan Warga Negara, masalah
hubungan antar warga negara. 3) Persatuan (Nasionalisme); masalah yang
muncul adalah memudarnya rasa kebangsaan, ketidakpuasaan daerah
terhadap pusat, norma yang berpotensi mencederai rasa kebangsaan (Perda
bermasalah), menjamurnya parpol-parpol yang berpotensi melunturkan
semangat persatuan. 4) Kedaulatan Rakyat (Demokrasi); masalah yang
muncul adalah peranan Rakyat dalam perumusan kebijakan, eksistensi Wakil
Rakyat dalam kaitan dengan pengisian jabatan secara langsung, hubungan
Rakyat dengan Wakil Rakyat. 5) Keadilan Sosial; masalah yang muncul adalah
kesejahteraan rakyat (kesehatan, pendidikan, ekonomi), pengangguran,
kemiskinan, kesenjangan antar penduduk, antar wilayah, dan lain-lain,
problem atau permasalahan yang mencuat di ranah empiris, sebagai sebuah
penyimpangan terhadap Pancasila.
Fokus kajian penting yang harus diperhatikan adalah, bahwa hukum harus
dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem yang di dalamnya
terdapat elemen kelembagaan hukum (Law of Structur Element), elemen
materi hukum (Law of Substance Element), dan elemen budaya hukum (Law
of Culture Element). Hukum Nasional adalah kesatuan hukum yang dibangun
untuk mencapai tujuan Negara yang bersumber dari Pancasila (Falsafah
Negara) dan UUD NRI 1945 (Konstitusi Negara), di dalam kedua hal itulah
terkandung tujuan, dasar, dan cita hukum negara Indonesia, sebagaimana
dituangkan dalam tujuan nasional yang tercantum dalam alinea ke-4
Pembukaan UUD 1945.[4]
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan pokok dalam tulisan ini
dapat rumuskan sebagai berikut:
1. Mengapa Pancasila Sebagai Kaedah Penuntun dalam
Pembangunan Hukum Nasional belum dapat
Diimplementasikan pada Kehidupan Demokrasi di Indonesia?
2. Bagaimana Aktualisasi Pancasila Berdasarkan Prinsip-Prinsip
Negara Demokrasi Konstitusional sebagai Sarana Mewujudkan
Tujuan Negara Indonesia ?
C. KERANGKA PEMIKIRAN
1. Paradigma
George Ritzer mengintisarikan bahwa paradigma mempunyai tiga kegunaan,
yaitu (1) sebagai pembeda antarkomunitas ilmiah yang satu dengan lainnya;
(2) untuk membedakan tahap-tahap histories yang berbeda dalam
perkembangan suatu ilmu; (3) sebagai pembeda antar cognitive
groupings dalam suatu ilmu yang sama. Lebih lanjut dikatakan hubungan
antara paradigma dengan teori. Teori hanya merupakan bagian dari
paradigma yang lebih besar. Sebuah paradigma dapat meliputi dua atau lebih
teori, eksemplar, metode-metode dan instrumen-instrumen yang saling
terkait.[5]
Guba dan Lincoln memandang paradigma adalah sistem dasar yang
menyangkut keyakinan atau pandangan yang mendasar terhadap dunia
obyek yang diteliti (worldview) yang merupakan panduan bagi peneliti. Guba
dan Lincoln menyebutkan bahwa paradigma yang berkembang dalam
penulisan dimulai dari paradigma positivisme, post-positivisme, critical
theory dan constructivism. [6]
Sesuai dengan judul dan fokus kajian yang akan kami ketengahkan yaitu
Pancasila Sebagai Kaedah Penuntun dalam Pembangunan Hukum Nasional
Berdasarkan Prinsip-Prinsip Negara Demokrasi Konstitusional, lebih tepatnya
paradigma kajian ini menggunakan paradigma Constructivism atau Legal
Constructivism. Paradigma ini tergolong dalam kelompok paradigma non-
positivistik, yaitu merupakan distingsi dari paradigma positivistik. Paradigma
non-positivistik dianggap sebagai jalan keluar dari paradigma sebelumnya
untuk memandang hukum tidak semata-mata inward looking, melainkan
juga outward looking. [7]
Bila bertolak pada dimensi ontologi, epistemologi, aksiologi dan metodologi
maka penggunaan paradigma konstruktivisme dalam penulisan ini dapat
dideskripsikan sebagai berikut :
1. Ontologi, bahwa pemahaman tentang ciri realitas dari
konstruktivisme itu adalah realitas yang majemuk dan
beragam serta bersifat relativisme. Oleh karena itu, dalam
konteks penulisan Pancasila Sebagai Kaedah Penuntun dalam
Pembangunan Hukum Nasional Berdasarkan Prinsip-Prinsip
Negara Demokrasi Konstitusional, tidak dapat dilihat sebagai
bangunan yang bersifat sistem-mekanis tetapi dilihat sebagai
realitas yang bersifat cair yang merupakan hasil konstruksi
pemikiran dan interpretasi subjektivitas mental aktor
sosialnya. Ontologi kajian ini mengasumsikan hukum telah
[8]
2. Pendekatan Teori:
Problematik yang telah diajukan pada bagian perumusan masalah dalam
penulisan ini, akan dikaji dan dianalisis dengan menggunakan beberapa teori
sebagai unit maupun pisau analisis, baik yang bersifat mikro maupun makro.
[10] Kedudukan teori dalam penulisan ini adalah sebagai langkah untuk
menyusun deskripsi dan pemahaman terhadap Pancasila sebagai kaedah
penuntun dalam pembangunan hukum nasional berdasarkan prinsip-prinsip
demokrasi konstitusional, baik dalam pembentukan dan penegakannya.
Satjipto Raharjo memberikan gambaran bahwa teori itu adalah kerangka
intelektual yang kita ciptakan untuk bisa menangkap dan menjelaskan objek
yang kita pelajari secara saksama. Suatu hal yang semula tampak bagaikan
cerita cerai berai tanpa makna sama sekali, melalui pemahaman (preskriptif)
secara terori bisa dilihat sebagai sesuatu yang lain, sesuatu yang mempunyai
wujud yang baru dan bermakna tertentu.[11]
Konsep Hukum Pogresif, yang saat ini dipandang sebagai teori yang sedang
mencari jati diri,[12] kemunculannya disebabkan oleh kegalauan menghadapi
kinerja hukum yang banyak gagal untuk menyelesaiakan persoalan-persoalan
bangsa Indonesia. Terutama sejak bergulirnya era reformasi, yang ditandai
oleh ambruknya kekuasaan otoriter yang selama berpuluh-puluh tahun
berkuasa dengan menjadikan Pancasila (penyimpangan pemaknaan nilai-nilai
Pancasila) sebagai alat untuk memberangus ketidak sefahaman antara rakyat
dengan penguasa saat itu. Hukum progresif dipandang sebagai sebuah
pendekatan yang melihat dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum di
dalam masyarakat, ide penegakan hukum progresif adalah untuk
membebaskan manusia dari belenggu hukum.
Hukum berfungsi memberi panduan dan tidak membelenggu. Manusia-
manusialah yang berperan lebih penting.[13] Pendekatan hukum progresif
berangkat dari dua asumsi dasar. Pertama, hukum adalah untuk manusia,
bukan sebaliknya.[14] Berkaitan dengan hal tersebut, maka kehadiran hukum
bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan
besar. Ketika terjadi permasalahan hukum, maka hukumlah yang harus
ditinjau dan diperbaiki, bukan manusianya yang dipaksa-paksa untuk
dimasukkan ke dalam skema hukum. Kedua, hukum bukan merupakan
institusi yang mutlak serta final melainkan sangat bergantung pada
bagaimana manusia melihat dan menggunakannya, manusialah yang
merupakan penentu artinya hukum disini sangat mempunyai ketergantungan
dengan manusia itu sendiri. Menurut Satjipto Rahardjo hukum selalu berada
dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making).
[15]Hukum bukan untuk hukum itu sendiri melainkan hukum untuk
manusia. hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan
manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia
bahagia.[16] Pernyataan ini tegas bahwa hukum adalah untuk manusia,
dalam artian hukum hanyalah sebagai alat untuk mencapai kehidupan
yang adil, sejahtera dan bahagia, bagi manusia.
Untuk mengkaji Pancasila sebagai kaedah penuntun pembangunan hukum
nasional dan prinsip-prinsip Negara demokrasi konstitusional, digunakan
pendekatan hukum progresif karena sifatnya lebih ke pendekatan mikro yaitu
menekankan pada aspek perilaku manusia; dibandingkan dengan aspek
prosedur, kelembagaan dan efektivitas hukum, yang lebih bersifat makro
yaitu teori yang menitikberatkan pada pemahaman aspek struktur,
fungsional dan prosedur hukum tertentu. Di antara teori-teori mikro tersebut
adalah; Teori Hukum Responsif, merupakan teori yang cukup relevan dengan
situasi sistem pemerintahan dan hukum Indonesia saat ini yang sedang
mengalami masa transisi, dari sistem permerintahan sentralistis dengan
hukum represifnya menuju pemerintahan yang terdesentralisasi dengan lebih
mengedepankan hukum yang lebih akomodatif terhadap keinginan
masyarakat dan menghargai nilai demokrasi. Teori ini adalah hasil dialektika
pemikiran Nonet dan Zelsnick atas krisis dan ketegangan terhadap dua tipe
hukum yang berkembang sebelumnya, yaitu Hukum Represif dan Hukum
Otonom. Dalam hukum represif terdapat kondisi integrasi yang dekat antara
hukum dan politik dalam bentuk suatu sub ordinasi langsung dari institusi-
institusi hukum terhadap elit-elit yang berkuasa, baik di sektor publik maupun
swasta. Hukum adalah alat yang mudah dikreasi, siap dipakai untuk
mengkonsolidasikan kekuasaan, mengawal otoritas, mengamankan hak-hak
istimewa, dan memenangkan ketaatan. Diskresi pejabat yang tidak terkontrol
merupakan faktor utama dalam mewujudkan hukum sebagai alat kekuasaan.
[17]
Sedangkan hukum otonom yang mereaksi hukum represif berusaha
memisahkan antara hukum dan politik demi menjaga integritas
kelembagaan/kemandirian kekuasaan peradilan. Prosedur yang menuju tertib
hukum menjadi tujuan utama, yakni keteraturan dan keadilan dan bukannya
keadilan subtantif. Ketaatan pada hukum dipahami sebagai kepatuhan yang
sempurna terhadap peraturan-peraturan hukum positif, kritik terhadap
hukum harus disalurkan lewat proses politik.[18]
Kehadiran tipe hukum yang ketiga, yaitu konsep hukum responsif,
menghendaki agar hukum senantiasa peka terhadap perkembangan
masyarakatnya, dengan karakternya yang menonjol yaitu menawarkan lebih
dari sekedar prosedural justice, berorientasi pada keadilan, memperhatikan
kepentingan publik dan lebih dari pada itu mengedepankansubstancial
justice. Hukum responsif bukanlah pembuat keajaiban di dunia keadilan,
pencapaiannya tergantung pada kemauan dan sumberdaya dalam komunitas
politik. Kontribusinya yang khas adalah memfasilitasi tujuan publik dan
membangun semangat untuk mengoreksi diri sendiri ke dalam proses
pemerintahan.[19]
Teori berikutnya adalah Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons, teori ini
dipengaruhi oleh adanya asumsi kesamaan antara kehidupan organisme
biologis dengan struktur sosial tentang adanya keteraturan dan
keseimbangan dalam masyarakat. Asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme
Struktural bahwa masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para
anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang mempunyai
kemampuan mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut
dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam
suatu keseimbangan. Dengan demikian, masyarakat merupakan kumpulan
sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling
ketergantungan.[20]
Guna mengkaji Pancasila sebagai kaedah penuntun, pada masyarakat yang
terdiri dari berbagai suku, agama, keyakinan dan kedaerahan, perlu
diketengahkan pendapat John Griffiths dengan Teori Pluralisme Hukumnya,
yang secara umum mempertentangkannya dengan ideologi sentralisme
hukum (legal centralism).[21] Menurut Griffiths pluralisme hukum
adalah: suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara
berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama.[22] Konsep
yang dikemukakannya membedakan pluralisme hukum menjadi dua macam,
yaitu pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralism) dan pluralisme
hukum yang lemah (weak legal pluralism). Pluralisme hukum yang kuat
menunjukkan adanya keberagaman hukum sedang pluralisme yang lemah
merupakan bentuk lain dari sentralisme hukum (legal centralism), karena
walaupun dalam kenyataannya hukum negara (state law) mengakui adanya
sistem-sistem hukum yang lain, tetapi hukum negara tetap dipandang
sebagai superior, dan sementara itu sistem-sistem hukum yang lain
bersifat inferior dalam hierarkhisistem hukum negara.[23]
Teori berikutnya yang digunakan adalah Teori Bekerjanya Sistem Hukum dari
William J. Chambliss dan Robert B. Seidman. Teori ini untuk melakukan telaah
kritis bekerjanya hukum dalam masyarakat, apakah hukum pada
implementasinya sudah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila atau belum? serta
menelaah berbagai faktor dominan yang mempengaruhi bekerjanya hukum
itu dalam tataran implementasinya pada pemegang peran (masyarakat) dan
pelaksana kebijakan yaitu apakah penguasa dalam menerapkan kebijakannya
sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional (sesuai dengan
Pancasila sebagai Falsafah Negara dan UUD NRI 1945 sebagai konstitusi
negara) atau belum?
Dalam penulisan kajian ini yang dipakai sebagai pisau analisis adalah teori
yang sifatnya mikro diantaranya teori Hukum Prismatik (Fred W. Riggs),
Keberadaan masyarakat Indonesia yang majemuk, di mana pada satu sisi
secara horizontal ditandai kenyataan adanya kesatuan sosial berdasarkan
perbedaan suku, agama, adat dan kedaerahan. Pada sisi lain secara vertikal
ditandai adanya lapisan masyarakat atas-bawah, agraris dan industri. Oleh
karena karakteristik tersebut maka perkembangan kehidupan masyarakat
kita juga tidak bisa serempak. Fred W. Riggs menyebutnya sebagai
masyarakat prismatik.[24] Guna menelaah Pancasila sebagai kaedah
penuntun dalam pembangunan hukum nasional dan prinsip-prinsip Negara
demokrasi konstitusional, maka teori hukum prismatik Riggs tepat digunakan
untuk memberikan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan
dalam masyarakat transisi dari masyarakat tradisional menuju masyarakat
modern.[25] Termasuk hambatan dan kendala atas implementasi Pancasila
sebagai kaedah penuntun.
Teori Hukum sebagai suatu Sistem (Lawrence M.friedman). Bicara soal hukum
sebagai suatu sistem, Lawrence M. Friedman mengemukakan adanya
komponen-komponen yang terkandung dalam hukum yaitu: [26]
Jika institusi hukum dipahami sebagai suatu sistem maka seluruh tata aturan
yang berada di dalamnya tidak boleh saling bertentangan, bahwa menurut
Hans Kalsen dalamStufenbautheory bahwa norma hukum yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi, bahkan,
lebih dari itu, dalam pembentukan dan penegakan hukum sebagai suatu
sistem, ia selalu menerima masukan dari bidang-bidang lain yang selanjutnya
menghasilkan keluaran (out put) yang disalurkan ke dalam masyarakat.
Friedman menggambarkan keterpautan itu dengan mengatakan:
The heart of the sistem is the way in turning input into output. The structur of
the legal system is like some gigantic computer program, ended to
deal with million of problem that are fed dialing into the machine. [28]
Jika hukum dipahami sebagai suatu sistem norma, maka setiap peraturan
perundangan-undangan yang paling tinggi sampai pada peraturan yang
paling rendah harus merupakan suatu jalinan sistem yang tidak boleh saling
bertentangan satu sama lain. Proses pembentukan norma-norma itu dimulai
dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah disebut sebagai proses
konkretisasi.
Pemahaman sistem yang demikian itu, mengisyaratkan, bahwa persoalan
hukum yang kita hadapi sangat kompleks. Di satu sisi, hukum dipandang
sebagai suatu sistem nilai yang secara keseluruhan dipayungi oleh sebuah
norma dasar yang disebut grundnormatau basic norm. Pancasila
adalah grundnorm yang menjadi dasar dalam tata hukum nasional,
seharusnya norma dasar itulah yang dipakai sebagai dasar dan sekaligus
penuntun pembentukan dan penegakan hukum dalam sistem hukum di
Indonesia. Pancasila sebagai sistem nilai, maka grundnorm itu merupakan
sumber nilai dan juga sebagai pembatas dalam penerapan hukum. Hans
Kalsen memandang grundnormsebagai the basic norm as the source of
identity and as the sources of unity of legal system. [29]
Pembukaan UUD NRI 1945 yang butir-butirnya yaitu: (1) melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan
umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4) ikut melaksanakan
ketertiban dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.
Seperti telah disebutkan. dalam, Pembukaan UUD NRI 1945 alinea keempat,
tujuan negara tersebut harus diraih oleh negara yang penyelenggaraannya
didasarkan pada, lima sila dasar negara (Pancasila) yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia,
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam,
permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Pancasila ini dapat memandu politik hukum nasional dalam
berbagai bidang tidak terkecuali bidang pertanahan.
Politik hukum nasional sebagai arahan isi bagi pembangunan sistem hukum
nasional dikawal juga oleh pelembagaan atau kewenangan untuk
melakukan judicial review atau uji baik oleh Mahkamah Konstitusi maupun
oleh Mahkamah Agung sesuai dengan hierarki peraturan perundang-
undangan masing-masing. Dengan demikian dari sudut materi atau substansi
politik hukum nasional sudah menyediakan instrumen yang cukup kuat untuk
mengawal konsistensi setup peraturan perundang-undangan. Yang menjadi
masalah adalah pada unsur penegakan hukum yang banyak dikotori
oleh judicial corruption. Budaya hukum yang dianggap buruk dan tidak
kondusif bagi pembangunan sistem hukum sebenarnya dapat diatasi dengan
penegakan hukum yang tegas, termasuk penegakan hukum terhadap
penegak hukum melalui institusi-institusi dan leadership yang kuat.
1. KEADILAN SOSIAL
2. NON DISINTEGRASI
3. NOMOKRASI
4. NON DISKRIMINASI
LAW DEVELOPMENT
LAW ENFORCEMENT
Mengapa Pancasila tidak pernah dan tidak akan pernah diganggu gugat
dalam posisinya sebagai dasar dan ideologi negara. Menurut Mahfud MD[42],
ada dua alasan pokok yang menyebabkan Pancasila tidak diganggu gugat.
Pertama, Pancasila sangat cocok dijadikan platform kehidupan bersama bagi
bangsa Indonesia yang sangat majemukagar tetap terikat erat sebagai
bangsa yang bersatu. Kedua, Pancasila termuat dalam Pembukaan UUD NRI
1945 yang didalamnya ada pernyataan kemerdekaan oleh bangsa Indonesia
sehingga jika Pancasila diubah maka berarti Pembukaan UUD NRI 1945 pun
diubah. Jika Pembukaan UUD NRI 1945 diubah maka kemerdekaan yang
pernah dinyatakan (di dalam Pembukaan itu) dianggap menjadi tidak ada lagi
sehingga karenanya pula negara Indonesia menjadi tidak ada atau bubar.
Dalam kedudukannya sebagai perekat atau pemersatu, Pancasila telah
mampu memposisikan dirinya sebagai tempat untuk kembali jika banga
Indonesia terancam perpecahan.
Berdasarkan kedua alasan tersebut di muka, maka pembangunan hukum di
Indonesia sudah seharusnya tetap menjadikan Pancasila sebagai
paradigmanya. Terlepas dari apakah hukum itu determinan atas politik
ataukah sebaliknya subordinated oleh politik. Hukum harus bersumberkan
pada Pancasila. Materi-materi atau produk hukum dapat senantiasa berubah
dan diubah sesuai dengan perkembangan zaman dan perubahan masyarakat
karena hukum itu tidak berada pada situasi vakum. Menurut Satjipto Rahardjo
hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process,
law in the making). Dapat pula dikatakan bahwa hukum sebagai pelayan
kebutuhan masyarakat harus diperbaharui agar aktual dengan kebutuhan
masyarakat yang dilayaninya, dan dalam pembaruan hukum yang terus
menerus itu, Pancasila tetap harus menjadi kerangka berpikir dan sumber-
sumber nilainya.
Implementasi nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah Negara dan UUD NRI 1945
sebagai konstitusi Negara tidaklah seperti yang diharapkan. Terdapat
hambatan dan kendala dalam mengimplementasikan (mengaktualisasikan)
Pancasila berdasarkan prinsip-prinsip Negara demokrasi konstitusional
sebagai sarana mewujudkan tujuan Negara Indonesia, diantaranya adalah:
3) Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik
seperti etos kerja yang tinggi, disiplin dan iptek dari bangsa lain yang sudah
maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan
bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa.
3) Masyarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas
diri sebagai bangsa Indonesia karena gaya hidupnya cenderung meniru
budaya barat.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut adalah
dengan membentuk peraturan perundang-undangan yang disusun melalui
instrumen perencanaan penyusunan undang-undang yang dikenal dengan
Program Legislasi Nasional (Prolegnas), yang pelaksana dari pihak
Pemerintahnya dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).
Secara singkat, Prolegnas dibuat untuk menjamin ketepatan isi dan
ketepatan prosedur yang didasarkan pada falsafah dan UUD NRI 1945. Untuk
kali pertama dalam sejarah perundang-undangan di Indonesia, ditetapkan
Prolegnas jangka menengah 2005-2009 melalui Keputusan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) pada tanggal 01 Pebruari 2005 sebanyak 284 RUU. Sampai
dengan 2008, telah ada 120 RUU yang disahkan menjadi UU dari daftar
tersebut. Salah satu indikator kualitas UU adalah maraknya upaya pengujian
melalui MK. Menurut data Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dari
tahun 2003 hingga 27 Agustus 2008 telah ada 150 putusan terhadap 73 UU
yang diconstitutional review, dan 40 putusan diantaranya mengabulkan
permohonan tersebut. Putusan MK sangat berpengaruh pada Prolegnas, oleh
karena itu pada Prolegnas tahun 2008 telah diprioritaskan tujuh RUU akibat
Putusan Mahkamah Konstitusi, diantaranya adalah RUU tentang perubahan
atas Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, RUU
tentang Penggantian atas UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi, RUU tentang Perubahan atas UU No. 30 tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan RUU tentang Pengadilan
Tipikor.[66]
Banyaknya Undang-Undang yang diajukan constitutional review ke
Mahkamah Konstitusi menunjukkan bahwa pembentukan undang-undang
harus konsisten baik secara vertikal maupun horizontal, oleh karena itu
penyusunan RUU harus didasarkan atas sebuah kajian dan penulisan yang
mendalam yang meliputi aspek asas-asas, norma, institusi dan seluruh
prosesnya yang dituangkan dalam suatu Naskah Akademik (NA). NA itu
sendiri merupakan landasan dan pertanggungjawaban akademik untuk setiap
asas dan norma yang dituangkan dalam rancangan undang-undang. Dengan
disusunnya NA RUU diharapkan proses harmonisasi dan keterkaitannya
dengan peraturan lain sudah dapat dilakukan sejak dini, sehingga dapat
menghindari kendala di atas. Pentingnya penyusunan naskah akademik,
dalam menata dan memantapkan sistem hukum nasional, melalui
perundang-undangan, yang bisa mengeksplorasi pikiran-pikiran yang jernih
dan pikiran-pikiran yang benar agar tidak dangkal, dan betul-betul
memperhatikan segi filosofis, segi sosiologis, segi historis, serta dapat
dipertanggungjawabkan.
1. Simpulan
a. Pancasila Sebagai Kaedah Penuntun dalam Pembangunan
Hukum Nasional pada Kehidupan Demokrasi di Indonesia.
Pembangunan hukum adalah konsep yang berkesinambungan, dan tidak
pernah berhenti, sehingga masalah keadilan, penegakan hukum, dan sikap
masyarakat terhadap hukum, tidak boleh mengabaikan keadaan dan dimensi
waktu dan yurisdiksi. Pancasila hendaknya menjadi satu panduan (kaedah
penuntun) dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila akan mengatasi
keanekaragaman (multi budaya) masyarakat Indonesia dengan tetap
menjaga toleransi terhadap adanya perbedaan. Penetapan pancasila sebagai
dasar negara tak akan menghapuskan perbedaan (indefferentism) tetapi
dirangkum semuanya dalam satu semboyan Bhineka Tunggal Ika. Pancasila
sebagai dasar negara harus diarahkan pada pembinaan moral sehingga
moralitas. Pancasila harus dikembalikan pada hakikatnya semula yaitu
sebagai kontrak sosial dasar, yang terkandung sejumlah visi kebangsaan
yang sangat mendasar dan menjadi komitmen bersama milik seluruh warga
negara dan bangsa. Tiga perspektif atas simpulan tersebut yaitu Pertama,
meletakkan Pancasila sebagai dasar negara, karena rumusan Pancasila
terdapat dalam UUD 1945.Kedua, memahami nilai-nilai dalam Pancasila
sebagai pandangan dunia atau visi masa depan masyarakat Indonesia,
karena memang nilai-nilai yang dikandung Pancasila telah hidup dan
berkembang di masyarakat Indonesia. Ketiga, meletakkan Pancasila sebagai
visi bangsa, sebagi konsekuensi logis dari Pancasila sebagai dasar negara
dan pandangan hidup masyarakat Indonesia.
2. Saran
Rekomendasi atas penulisan ini adalah Negara/Pemerintah, stakeholders dan
seluruh komponen masyarakat, harus bersama-sama bahu-membahu untuk
mengejawantahkan penanaman akedah Pancasilais dengan mengajarkan,
memahami dan mengamalkan ajaran Pancasila baik sebagai Ideologi maupun
sebagai nilai-nilai kaedah penuntun dalam bernegara dan bermasyarakat
sesuai dengan prinsip-prinsip Negara demokrasi konstitusional; 1) dengan
melaksanakan pendidikan mulai dini tentang ilmu, pemahaman dan
pengamalan Pancasila, termasuk harus berani menghidupkan lagi P4
(Pendidikan, Pemahaman dan Pengamalan Pancasila) dengan konsep yang
lebih baik artinya terproteksi bukan untuk alat propaganda kekuasaan, 2)
perlunya penanggulangan preventif melalui penyuluhan hukum tentang
Pancasila sebagai kaedah penuntun, di seluruh lini masyarakat secara
terkoordinasi nasional, terpola dan terstruktur), 3) dibutuhkan
ketegasan pemerintah/Negara dalam penegakan hukum, dengan
tindakan law enforcement, dalam semua sektor hukum.
[51] http://yulianingsih92.wordpress.com/2012/12/16/kedudukan-pancasila-
di-era-globalisasi/ Pengaruh Globalisasi Terhadap Pluralisme Kebudayaan
Manusia di Negara Berkembang.2005.internet: Public Jurnal. diunduh pada
tanggal 19 Agustus 2013.
[52] Suteki, Seminar Nasional: Membangkitkan Semangat Konstitusi
Berdasarkan Nilai-Nilai Pancasila Dalam Negara Hukum, diselenggarakan oleh
BEM Fakultas Hukum Universitas Diponegoro di Semarang pada tanggal I
Desember 2012. hlm. 2
[53]http://teguhalkhawarizmi.wordpress.com/2011/10/03/pancasila-dan-
beberapa-permasalahan-bangsa/ diunduh pada tanggal 19 Agustus 2013
[54] keragaman tanggapan dari kalangan umat Islam, dapat diklafikasikan:
menerima secara bulat (NU), yang menerima Pancasila sebagai dasar
negara dan memilih Islam sebagai basis organisasinya (Muhammadiyah), dan
yang menolak secara tegas Pancasila sebagai azas organisasinya (PERSIS),
dan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi negara khilafah (HTI)
atau penegakkan syariah Islam (MMI, JAT, dan FPI).
[55] Revrisond Baswir, Peluang Dan Tantangan Pengamalan Pancasila Dalam
Bidang Ekonomi, Seminar Nasional Pancasila, diselenggarakan oleh Pusat
Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Hotel Patra Jasa,
Semarang, 29 Juni 2013, hlm. 1-2
[56] Realitas budaya nusantara yang plural berdasarkan kemajemukan
komunitas etnis yang hidup di atas pulau atau gugusan pulau yang
dipisahkan oleh lautan menunjukkan berbagai macam perbedaan. Perbedaan
peta geografis dan etnis-kultural inilah yang berpotensi sebagai sumber dari
berbagai jenis konflik yang timbul secara alamiah atau yang dengan sengaja
direkayasa menjadi konflik. Jenis konflik ditimbulkan, antara lain, oleh isu
SARA dan oleh adanya ketegangan antara keinginan untuk mempertahankan
diri sebagai komunitas lokal pada satu sisi, dan pada sisi lain lemahnya
perekat keadilan yang seharusnya dapat merekat seluruh komunitas agar
dapat mempersatukan diri sebagai sebuah bangsa dengan makna dalam
ungkapan bhinneka tunggal ika sebagai jatidiri.
[57] John Griffiths, What is Legal Pluralism Op.Cit., hlm. 2
[58] Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun
1945 berbunyi: Negara Indonesia adalah negara hukum.
[59] Kaelan, M.S, (Aktualisasi Pancasila sebagai Philosofische Grondslag
Antara Das Sein dan Das Sollen,.) Op Cit. hlm. 3, Periksa dalam Andrews.
W.G., Constitutions and Constitutionalism, Van Nostrand Company, New
Jersey. 1968, hlm. 12.
[60] Kaelan, M.S, Ibid, periksa dalam Jemmy Asshiddiqie, Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta. 2005. hlm . 26.
[61] Kaelan, M.S, (Aktualisasi Pancasila sebagai Philosofische Grondslag
Antara Das Sein dan Das Sollen,.) Op Cit. hlm. 4, Periksa dalam Dicev, A.V.
An Introduction to The Study of the Law of The Constitution, Mac Millan Press,
London. 1973.
[62] Kaelan, M.S, Ibid, periksa dalam Muhtaj E., Hak Asasi Manusia dalam
Konstitusi Indonesia, Prenada Media, Jakarta. 2005, hlm. 24
[63] Kaelan, M.S, Ibid.
[64] law is a mirror of society, which functions to maintain social order.
[65] Frankiano B. Randang, Membangun Hukum Nasional Yang Demokratis
Dan Cerdas Hukum, SERVANDA Jurnal Ilmiah Hukum, Volume 3, No. 5, Januari
2009, ISSN 1907 162030, hlm. 3-4
[66] Frankiano B. Randang, Ibid
[67] Badan Pembangunan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia, Rumusan Konvensional Hukum Nasional
Tentang UUD 1945 Sebagai Landasan Konstitusional Grand Design Sistem
Dan Politik Hukum Nasional,http://www.bphn.go.id/index.php?
action=public&id=2008042815080192, diunduh kamis, 22 Agustus 2013.
[68] Membangun budaya hukum masyarakat merupakan bagian dari
upaya nation character-building. Membangun sikap dan mengubah mental
bangsa, yang selama ini terlanjur dibebani stigma-stigma negatif sebagai
bangsa yang cenderung masih toleran terhadap pelanggaran-pelanggaran
hukum.
[69]Lijan Poltak Sinambela dkk, Reformasi Pelayanan Publik, Teori, Kebijakan
dan Implementasi, Bumi Aksara, cetakan 4, Jakarta, 2008. hlm 61-62, lihat
juga dalam Pamudji, S, Ekologi Administrasi Negara, Bina Aksara,
Jakarta1986, hlm. 57-59.
[70]Nasikun, Sebuah Pendekatan Untuk Mempelajari Sistem Sosial Indonesia,
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UGM, Yogyakarta, 1974, hlm. 31, dalam
desertasi Suteki, Op.Cit, hlm 76
[71]Suteki, Rekonstruksi Politik Hukum Tentang Hak Menguasai Atas Sumber
Daya Air Berbasis Nilai Keadilan Sosial (Studi Privatisasi Pengelolaan Sumber
Daya Air), ibid, hlm, 76. Lihat , Boaventura de Sousa Santos, Toward A New
Common Sense; Law, Sciense and Politics in The Paradigmatic Transition,
Routledge, 1995 . hlm. 337.
[72]Suteki, Rekonstruksi Hukum Hak Atas Air Pro-Rakyat, Surya Pena
Gemilang, Malang, Juli 2010, hlm. 74.
Moh Mahfud MD, 2006, Op.Cit. hlm 23.
[73]
Leave a Reply
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Comment
Name *
Email *
Website
CAPTCHA Code*
Post Comment
Proudly powered by WordPress