Efek Steroid Pada Mata
Efek Steroid Pada Mata
BAB 1. PENDAHULUAN
Penggunaan steroid topikal dan sistemik telah terbukti menjadi hal yang
sangat berguna dalam pengobatan berbagai penyakit, namun penggunaannya
bukan tanpa komplikasi. Sebelum memulai terapi dengan steroid sistemik, riwayat
penyakit katarak, glaukoma, hipertensi, diabetes, hiperlipidemia, batu ginjal,
tukak lambung, dan infeksi saat ini atau kehamilan harus dipastikan, karena
keadaan tersebut memiliki peningkatan risiko komplikasi. Sebelum terapi jangka
panjang dengan steroid sistemik, pengukuran tekanan darah dan tes tuberkulin
kulit dianjurkan untuk dilakukan.
Untuk mencegah komplikasi okular akibat penggunaan terapi steroid,
pemeriksaan mata rutin harus dilakukan. Pemeriksaan untuk katarak, yang paling
sering terjadi sebagai komplikasi penggunaan steroid sistemik terus menerus,
dapat dilakukan dengan pemeriksaan slit lamp yang dilakukan tiga atau empat kali
setahun untuk pasien pada terapi jangka panjang dan dua kali setahun untuk
pasien yang memakai steroid topikal mata intermiten atau steroid sistemik.
Glaukoma lebih sering dikaitkan dengan penggunan steroid topikal mata
atau steroid periokular dibandingkan dengan steroid sistemik, skrining dianjurkan
termasuk dasar pengukuran tekanan intraokular, pengukuran tekanan kemudian
rutin diambil setiap beberapa minggu, kemudian setiap beberapa bulan.
Infeksi oportunistik mata termasuk bakteri, virus, dan jamur infeksi dan
yang paling sering dikaitkan dengan penggunaan steroid topikal mata. Evaluasi
ophthalmologic diindikasikan segera jika pasien yang diobati dengan steroid
topikal mata mengindikasikan adanya okular discharge, nyeri, fotofobia, atau
kemerahan pada mata.7,16
2
2.1 Steroid
2.1.1 Definisi dan Sifat
Steroid adalah suatu hormon yang disintesa dari kolesterol di
dalam gonad dan kelenjar adrenal. Bentuk dari hormon ini, biasanya adalah lipid,
bukan peptida, dan mempunyai carrier khusus berbentuk globulin. Hormon
steroid biasanya bersifat katabolisme. Kortikosteroid adalah suatu kelompok
hormon steroid yang dihasilkan dibagian korteks kelenjar adrenal sebagai
tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh
kelenjar hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan pada banyak
sistem fisiologis tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat,
pemecahan protein dan kadar elektrolit darah. Kortikosteroid dibagi menjadi 2
kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang menonjol darinya, yakni
glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan mengendalikan metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi dengan cara
menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil.
Kelompok lain dari kortikosteroid adalah mineralokortikoid (contohnya
aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara
penahanan garam di ginjal. Beberapa kortikosteroid menunjukkan kedua jenis
aktivitas tersebut dalam beberapa derajat, dan lainnya hanya mengeluarkan satu
jenis efek. 4,19
Hormon kortikosteroid dihasilkan dari kolesterol di korteks kelenjar
adrenal yang terletak diatas ginjal. Reaksi pembentukannya dikatalisis oleh enzim
golongan sitokrom P450.Dalam bidang farmasi, obat-obatan disintesis sehingga
memiliki efek seperti hormon kortikosteroid alami memiliki manfaat yang cukup
penting. Deksametason dan turunannya tergolong glukokortikoid, sedangkan
prednisone dan turunannya memiliki kerja mineralokotikoid. Obat-obat golongan
kortikosteroid seperti prednisone, dexamethason dan hidrokortison memiliki
potensi efek terapi yang cukup ampuh dalam pengobatan berbagai penyakit
seperti asma, lupus, rheumatoid arthritis dan berbagai kasus inflamasi lainnya.
3
menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan. Karena gejala inflamasi ini sering
digunakan sebagai dasar evaluasi terapi inflamasi, maka pada penggunaan
glukokortikoid kadang-kadang terjadi masking effect, dari luar penyakit
nampaknya sudah sembuh tetapi infeksi di dalam masih terus menjalar.
Konsep terbaru memperkirakan bahwa efek imunosupresan dan
antiinflamasi yang selama ini dianggap sebagai efek farmakologi kortikosteroid
sesungguhnya secara fisiologis pun merupakan mekanisme protektif. Banyak
mediator reaksi imun yang terkait dengan reaksi inflamasi sesungguhnya akan
menyebabkan kolapsnya sistem kardiovaskuler bila tidak ada kortikosteroid yang
melawannya. Hipotesis ini ditunjang oleh tingginya produksi kortikosteroid dalam
keadaan stress yaitu bisa sampai 10 kali lipat. Juga ternyata semua efek
farmakologi didapat melalui mekanisme kerja di reseptor yang sama dengan yang
terjadi secara fisiologis.
Kortikosteroid dapat mempengaruhi sel-sel melalui reseptor-respetor
glukokortikoidnya dengan mekanisme kerja sebagai berikut : kortikosteroid
berdifusi ke dalam sel melewati membran sel dan selanjutnya berikatan dengan
reseptor. Kompleks kortikosteroid-reseptor masuk ke dalam nukleus dalam bentuk
aktif, dan akan mengikat DNA serta meningkatkan sintesis messenger RNA
(mRNA). Messenger RNA ini akan menimbulkan sintesis protein yang baru.
Protein baru ini akan menghambat fungsi sel-sel limfoid dengan penghambatan
uptake glukosa.
Pengaruh kortikosteroid yang terpenting pada manusia adalah
penghambatan akumulasi makrofag dan netrofil di tempat radang. Selain itu
kortikosteroid juga menyebabkan berkurangnya aktivitas makrofag, baik yang
beredar dalam darah (monosit) maupun yang terfiksir dalam jaringan (sel
Kupffer). Pengaruh tersebut diperkirakan akibat penghambatan kerja faktor-faktor
limfokin yang dilepaskan oleh sel-T sensitif pada makrofag. Penghambatan
akumulasi netrofil di tempat radang adalah akibat kerja kortikosteroid mengurangi
daya lekat netrofil pada dinding endotel pembuluh darah, bukan akibat
penghambatan kemotaksis yang hanya dapat dihambat oleh kortikosteroid pada
kadar suprafarmakologik.4,19
5
2.1.4 Indikasi
Dari pengalaman klinis dapat diajukan minimal 6 prinsip terapi yang perlu
diperhatikan sebelum obat ini digunakan :
1. Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan
trial and error, dan harus dievaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan
perubahan penyakit.
2. Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya.
3. Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya
kontraindikasi spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat
besar.
4. Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih hingga dosis
melebihi dosis substitusi, insiden efek samping dan efek letal potensial
akan bertambah; dosis ekivalen hidrokortisol 100 mg/hari lebih dari 2
minggu hampir selalu menimbulkan iatrogenic chusing syndrome. Bila
terpaksa pasien harus juga diberi diet tinggi protein dan kalium.
5. Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan
merupakan terapi kasual ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif
karena efek anti-inflamasinya.
6. Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis
yang besar, mempunyai resiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat
mengancam jiwa pasien.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bila kortikosteroid akan digunakan
untuk jangaka panjang, harus diberikan dalam dosis minimal yang masih efektif.
Dosis ini ditentukan secara trial and error.
Untuk keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien, kortikosteroid dosis
besar dapat diberikan untuk waktu yang singkat selama tidak ada kontraindikasi
spesifik.4,19
6
2.1.6 Kontraindikasi
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut
kortikosteroid. Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat
dibenarkan, keadaan yang mungkin dapat merupakan kontraindikasi relatif dapat
dilupakan, terutama pada keadaan yang mengancam jiwa pasien. Bila obat akan
diberikan untuk beberapa hari atau beberapa minggu, kontraindikasi relatif yaitu
diabetes mellitus, tukak peptic/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau gangguan
sistem kardiovaskuler lain patut diperhatikan. Dalam hal yang terakhir ini
dibutuhkan pertimbangan matang antara resiko dan keuntungan sebelum obat
diberikan.4,19
belum diketahui. Frekuensi terjadinya miopati lebih besar pada penderita yang
diobati dengan triamnisolon. Penggunaan obat ini maupun metilprednisolon
berhubungan dengan timbulnya mual, pusing dan penurunan berat badan pada
beberapa penderita.
Psikosis juga dapat terjadi, terutama pada penderita yang mendapat dosis
besar kortikosteroid. Tetapi jangka lama dapat menimbulkan perkembangan
katarak subkapsular posterior. Hal ini ditunjukkan dengan pemeriksaan slitlamp
periodik pada penderita. Biasa terjadi peningkatan tekanan intraokular, dan
mungkin saja bisa menyebabkan glaukoma. Juga terjadi hipertensi intrakranial
jinak. Pada dosis 45 mg/m2/hari atau lebih, dapat terjadi retardasi pertumbuhan
pada anak-anak.
Jika diberikan dalam jumlah lebih besar dari jumlah fisiologi, steroid
seperti kortison dan hidrokortison yang mempunyai efek mineralokortikoid selain
efek glukokortikoid, dapat menyebabkan retensi natrium dan cairan serta
hilangnya kalium. Pada penderita dengan fungsi kardiovaskuler dan ginjal normal,
hal ini dapat menimbulkan alkalosis hipokloremik hipokalemik, dan akhirnya
peningkatan tekanan darah. Pada penderita hiponatremia, penyakit ginjal, atau
penyakit hati, dapat terjadi edema. Pada penderita penyakit jantung, tingkat retensi
natrium yang sedikit saja dapat menyebabkan gagal jantung kongestif.4,19
2.2.1 Glukokortikoid
Steroid digunakan secara topikal untuk mencegah atau menekan proses
inflamasi yang terjadi pada mata akibat trauma dan uveitis. Pada injeksi
subkonjungtiva dan injeksi retrobulbar, steroid digunakan untuk terapi kasus
seperti ini yang tergolong berat akibat terjadi inflamasi pada mata. Terapi sistemik
steroid digunakan untuk terapi penyakit sistem imun seperti inflamasi pada mata
yang berat yang sudah resisten dengan terapi topikal. Metilprednisolon intravena
menjadi pilihan pada terapi demielinisasi saraf optik yang terinfeksi dan trauma
pada saraf optik.
Glukokortikoid menginduksi efek sel spesifik dalam limfosit, makrofag,
polimorfonuklear leukosit, sel endotel vaskuler, fibroblast, dan sel-sel lainnya.1,3,9
digunakan pada kondisi inflamasi akut pada konjungtiva, sklera, kornea, kelopak
mata, iris, badan siliar, dan segmen anterior dari bola mata, dan dalam kondisi
alergi bola mata.
Mekanisme dari aksi anti inflamasi dipirkan untuk menjadi potensi dari
vasokonstriksi epinefrin, stabilisasi dari membran lisosom, retardasi pergerakan
makrofag, pencegahan dari pelepasan kinin, inhibisi dari limfosit dan fungsi
neutrofil, inhibisi dari sintesis prostaglandin dan pada penggunaan jangka panjang
menurunkan produksi antibodi.
Hambatan proliferasi fibroblast dapat mencegah terjadinya formasi
simblefaron pada trauma kimia dan trauma panas. Pengurangan scar (bekas luka
dalam bentuk jaringan ikat) dengan kornea yang lebih jernih setelah pemberian
kortikosteroid topikal adalah hasil dari inhibisi proliferasi fibroblast dan
vaskularisasi.1,3,9
2.2.3 Indikasi
Pada keadaan inflamasi : kondisi pengobatan dengan menggunakan
steroid responsif inflamasi pada palpebra dan konjungtiva bulbar, kelopak mata,
kornea, dan segmen anterior bolamata seperti : konjungtivitis alergi, keratitis
superficial nonspesifik, keratitis superficial punctata, keratitis herpes zoster, iritis,
siklitis, konjungtivitis akibat infeksi bakteri ketika penggunaan steroid dengan
resiko yang tidak bisa dipisahkan diterima untuk mengurangi terjadinya edema
dan inflamasi. Rimexolone juga diindikasikan jika terjadi inflamasi post operasi
yang mengikuti pada operasi bola mata.
Cedera kornea : juga digunakan pada cedera kornea akibat bahan kimia,
radiasi atau trauma panas atau trauma benda asing.
Reaksi penolakan transplantasi : dapat digunakan untuk menekan reaksi
penolakan transplantasi setelah keratopati.1,3,9
2.2.4 Kontraindikasi
Keratitis herpes simpleks superficial akut; penyakit yang disebabkan oleh
jamur pada struktur bola mata; vaksinasi, varisela dan banyak lagi penyakit yang
11
disebabkan oleh virus pada kornea dan konjungtiva, infeksi mikobakterium pada
mata (contoh tuberculosis mata), penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme,
hipersensitivitas, setelah pemindahan yang tidak utuh pada badan asing superficial
kornea. Medrysone tidak digunakan pada iritis dan uveitis; hasilnya belum di uji
coba.1,3,9
2.2.5 Peringatan
Jika seseorang dengan glaukoma, operasi katarak, infeksi mata, dan alergi
pada mata perlu diperhatikan lebih teliti lagi. Pengobatan dengan kortikosteroid
tidak direkomendasikan untuk digunakan jika pada pasien terdapat infeksi pada
mata yang disebabkan oleh virus (misalnya herpes simpleks), infeksi mata yang
disebabkan oleh jamur, pengeluaran benda asing yang belum terlalu lama
dilakukan. Obat ini dapat menyebabkan penglihatan kabur setelah terapi.
Inflamasi yang sedang sampai berat : menggunakan dosis tinggi untuk
inflamasi yang sedang sampai berat. Pada kasus-kasus yang sulit dari penyakit
segmen anterior pada mata, terapi sistemik dapat diperlukan. Ketika struktur bola
mata yang lebih dalam lagi dilibatkan, menggunakan terapi sistemik.
Kerusakan bola mata : penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat
menyebabkan terjadinya glaukoma, peningkatan tekanan intra okular, kerusakan
saraf optik, defek pada ketajaman penglihatan dan lapangan pandang, katarak
subkapsular posterior, atau infeksi mata sekunder dari pelepasan benda-benda
patogen dari jaringan ikat pada mata. Periksa tekanan bola mata dan lensa terus-
menerus. Pada penyakit yang menyebabkan pengenceran dari sklera atau kornea,
dapat terjadi perforasi dengan pengobatan steroid topikal.
Infeksi : akut, purulen, infeksi mata yang tidak diobati dapat
disembunyikan atau aktivitasnya ditingkatkan oleh steroid. Infeksi jamur pada
kornea dapat disembuhkan dengan aplikasi pengobatan steroid jangka panjang.1,3,9
2.3.1 Glaukoma
Steroid adalah kelompok obat yang dapat menghasilkan peningkatan TIO
melalui mekanisme open angle. Tidak semua pasien yang menggunakan steroid
akan mengakbatkan glaukoma. Faktor risiko yang mungkin mendukung adalah
adanya glakukoma primer sudut terbuka sebelumnya, riwayat keluarga glaukoma,
miopia tinggi dan diabetes mellitus. Telah menunjukkan bahwa 18-36% dari
populasi umum dan 46-92% pasien dengan glaukoma primer sudut terbuka,
pemeberian kortikosteroid topikal mengakibatkan peningkatan tekanan intra
okular. Hal tersebut terjadi biasanya dalam waktu 2-4 minggu setelah terapi
steroid diberikan.7
13
tinggi. Penggunaan non-steroid untuk anti inflamasi bisa menjadi solusi alternatif,
karena tidak memiliki potensi untuk meningkatkan tekanan intra okular dalam
pemakaiannya.
Apabila terapi medikamentosa tidak efektif dalam mengatasi peningkatan
tekanan intra okular, terapi pembedahan dan laser dapat dilakukan. Terapi tersebut
antara lain laser trabekuloplasti dan trabekulotomi. 5,6,12,13
2.3.2 Katarak
1. Definisi
Katarak adalah setiap kekeruhan yang terjadi pada lensa mata dengan
karakteristik terdapat agregat-agregat protein yang akan mengahamburkan berkas
cahaya dan mengurangi transaparasinya.14
2. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya katarak akibat penggunaan steroid masih belum
pasti dan banyak pendapat untuk menjelaskannya. Menurut Cotlier, terbentuknya
katarak akibat terapi kortikosteroid ini karena reaksi spesifik dengan asam amino
dari lensa sehingga menyebabkan agregasi protein dan kekeruhan lensa. Katarak
subkapsular posterior khas terbentuk pada katarak akibat kortikosteroid, hal ini
disebabkan oleh migrasi abnormal dari sel epitel lensa. Aktivasi reseptor
glukokortikoid pada sel epitel lensa yang berakibat proliferasi sel, penurunan
apoptosis, dan menghambat diferensiasi sel.
a. Gangguan metabolik
Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme selular dengan mengubah
aktivitas enzimenzim. Penelitian menunjukkan Adenosin Triphospate
(ATP) dan level dinukleotid pada lensa menurun setelah 24 jam paparan
deksametason. Hal ini menyebabkan gangguan dari penyediaan kebutuhan
energi seperti sintesis protein, transpor ion, dan mekanisme pertahanan
oleh antioksidan sedangkan bentuk fosfat kompeks lainnya seperti glukosa
meningkat.
Kortikosteroid yang mempengaruhi sel normal sangat kompleks,
kortikosteroid yang larut lemak menyebar secara pasif melalui membran
17
sel ke target sel. Di dalam sel akan terikat oleh reseptor yang terdiri atas
satu atau dua molekul protein spesifik dan protein lain yang penting agar
kortikosteroid dapat terikat dengan reseptor dan Deoxiribonuclei Acid
(DNA). Kortikosteroid juga memiliki pengaruh pada pertumbuhan sel dan
sintesis Deoxiribonuclei Acid (DNA) dan Ribonuclei Acid (RNA).
Pengaruh tersebut diamati pada mata misalnya seperti pada pertumbuhan
sel endotel retina mengalami hambatan, sedangkan sel lain mengalami
rangsangan. Pengaruh kortikosteroid terhadap sel epitel lensa tidak begitu
jelas karena banyaknya variasi penelitian observasi.
b. Kegagalan osmotik
Kegagalan osmotik karena adanya celah vakuol dan pembengkakan sel
diperkirakan menjadi penyebab adanya hidrasi lensa akibat kortikosteroid.
Pada umumnya lensa mempertahankan keseimbangan ion yang berada di
intrasel dan ekstrasel. Adanya Sodium potasium adenosin triphophatase
dan Na+ K + ATP-ase memberikan keseimbangan ion dalam intrasel
berupa kadar K+ yang tinggi dan rendah Na+, sedangkan dalam ekstrasel
berupa kadar Na+ yang tinggi dan K+ rendah.
Keseimbangan ion ini penting dalam memelihara kejernihan lensa, apabila
terdapat gangguan pada keseimbangan ion akan mempengaruhi
terbentuknya katarak. Keterangan umum lain mengenai terjadinya katarak
adalah karena adanya stress baik berupa oksidatif, osmotik, dan metabolik
menyebabkan rentan terhadap berbagai zat oksidatif.
18
3. Gejala klinis
Katarak yang terjadi akibat penggunaan steroid adalah katarak jenis
subkapsular posterior. Katarak subkapsular posterior terdapat pada korteks di
dekat kapsul posterior bagian sentral. Di awal perkembangannya, katarak ini
cenderung menimbulkan gangguan penglihatan dekat karena adanya keterlibatan
sumbu penglihatan. Gejala umum lain yang dapat ditemui adalah adanya glare
dan penurunan penglihatan pada kondisi pencahayaan yang terang. 8,10,15,17,18,20
BAB 3. KESIMPULAN