Anda di halaman 1dari 22

1

BAB 1. PENDAHULUAN

Penggunaan steroid topikal dan sistemik telah terbukti menjadi hal yang
sangat berguna dalam pengobatan berbagai penyakit, namun penggunaannya
bukan tanpa komplikasi. Sebelum memulai terapi dengan steroid sistemik, riwayat
penyakit katarak, glaukoma, hipertensi, diabetes, hiperlipidemia, batu ginjal,
tukak lambung, dan infeksi saat ini atau kehamilan harus dipastikan, karena
keadaan tersebut memiliki peningkatan risiko komplikasi. Sebelum terapi jangka
panjang dengan steroid sistemik, pengukuran tekanan darah dan tes tuberkulin
kulit dianjurkan untuk dilakukan.
Untuk mencegah komplikasi okular akibat penggunaan terapi steroid,
pemeriksaan mata rutin harus dilakukan. Pemeriksaan untuk katarak, yang paling
sering terjadi sebagai komplikasi penggunaan steroid sistemik terus menerus,
dapat dilakukan dengan pemeriksaan slit lamp yang dilakukan tiga atau empat kali
setahun untuk pasien pada terapi jangka panjang dan dua kali setahun untuk
pasien yang memakai steroid topikal mata intermiten atau steroid sistemik.
Glaukoma lebih sering dikaitkan dengan penggunan steroid topikal mata
atau steroid periokular dibandingkan dengan steroid sistemik, skrining dianjurkan
termasuk dasar pengukuran tekanan intraokular, pengukuran tekanan kemudian
rutin diambil setiap beberapa minggu, kemudian setiap beberapa bulan.
Infeksi oportunistik mata termasuk bakteri, virus, dan jamur infeksi dan
yang paling sering dikaitkan dengan penggunaan steroid topikal mata. Evaluasi
ophthalmologic diindikasikan segera jika pasien yang diobati dengan steroid
topikal mata mengindikasikan adanya okular discharge, nyeri, fotofobia, atau
kemerahan pada mata.7,16
2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Steroid
2.1.1 Definisi dan Sifat
Steroid adalah suatu hormon yang disintesa dari kolesterol di
dalam gonad dan kelenjar adrenal. Bentuk dari hormon ini, biasanya adalah lipid,
bukan peptida, dan mempunyai carrier khusus berbentuk globulin. Hormon
steroid biasanya bersifat katabolisme. Kortikosteroid adalah suatu kelompok
hormon steroid yang dihasilkan dibagian korteks kelenjar adrenal sebagai
tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh
kelenjar hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan pada banyak
sistem fisiologis tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat,
pemecahan protein dan kadar elektrolit darah. Kortikosteroid dibagi menjadi 2
kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang menonjol darinya, yakni
glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan mengendalikan metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi dengan cara
menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil.
Kelompok lain dari kortikosteroid adalah mineralokortikoid (contohnya
aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara
penahanan garam di ginjal. Beberapa kortikosteroid menunjukkan kedua jenis
aktivitas tersebut dalam beberapa derajat, dan lainnya hanya mengeluarkan satu
jenis efek. 4,19
Hormon kortikosteroid dihasilkan dari kolesterol di korteks kelenjar
adrenal yang terletak diatas ginjal. Reaksi pembentukannya dikatalisis oleh enzim
golongan sitokrom P450.Dalam bidang farmasi, obat-obatan disintesis sehingga
memiliki efek seperti hormon kortikosteroid alami memiliki manfaat yang cukup
penting. Deksametason dan turunannya tergolong glukokortikoid, sedangkan
prednisone dan turunannya memiliki kerja mineralokotikoid. Obat-obat golongan
kortikosteroid seperti prednisone, dexamethason dan hidrokortison memiliki
potensi efek terapi yang cukup ampuh dalam pengobatan berbagai penyakit
seperti asma, lupus, rheumatoid arthritis dan berbagai kasus inflamasi lainnya.
3

Tapi kortikosteroid juga memiliki berbagai efek samping yang tidak


menguntungkan.4,19

2.1.2 Mekanisme Kerja


Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein.
Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif.
Hanya jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik
dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor steroid. Kompleks ini
mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan
dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein
spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan menghasilkan efek fisiologik
steroid.
Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang
transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid
dan fibroblast hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya
menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek
katabolik.4,19

2.1.3 Efek Kerja


Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya
gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik atau alergen. Gejala ini
umumnya berupa kemerahan, rasa sakit dan panas, pembengkakan di tempat
radang. Secara mikroskopik obat ini menghambat fenomena inflamasi dini yaitu
edema, deposit fibrin, dilatasi perifer, migrasi leukosit ke tempat radang dan
aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat menghambat manifestasi inflamasi yang
telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan kolagen dan
pembentukan sikatriks.
Penggunaan klinik kortikosteroid sebagai antiinflamasi merupakan terapi
paliatif, yaitu hanya gejalanya yang dihambat sedangkan penyebab penyakit tetap
ada. Sebebarnya hal inilah yang menyebabkan obat ini banyak digunakan untuk
berbagai penyakit, bahkan sering disebut life saving drug, tetapi hal ini juga yang
4

menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan. Karena gejala inflamasi ini sering
digunakan sebagai dasar evaluasi terapi inflamasi, maka pada penggunaan
glukokortikoid kadang-kadang terjadi masking effect, dari luar penyakit
nampaknya sudah sembuh tetapi infeksi di dalam masih terus menjalar.
Konsep terbaru memperkirakan bahwa efek imunosupresan dan
antiinflamasi yang selama ini dianggap sebagai efek farmakologi kortikosteroid
sesungguhnya secara fisiologis pun merupakan mekanisme protektif. Banyak
mediator reaksi imun yang terkait dengan reaksi inflamasi sesungguhnya akan
menyebabkan kolapsnya sistem kardiovaskuler bila tidak ada kortikosteroid yang
melawannya. Hipotesis ini ditunjang oleh tingginya produksi kortikosteroid dalam
keadaan stress yaitu bisa sampai 10 kali lipat. Juga ternyata semua efek
farmakologi didapat melalui mekanisme kerja di reseptor yang sama dengan yang
terjadi secara fisiologis.
Kortikosteroid dapat mempengaruhi sel-sel melalui reseptor-respetor
glukokortikoidnya dengan mekanisme kerja sebagai berikut : kortikosteroid
berdifusi ke dalam sel melewati membran sel dan selanjutnya berikatan dengan
reseptor. Kompleks kortikosteroid-reseptor masuk ke dalam nukleus dalam bentuk
aktif, dan akan mengikat DNA serta meningkatkan sintesis messenger RNA
(mRNA). Messenger RNA ini akan menimbulkan sintesis protein yang baru.
Protein baru ini akan menghambat fungsi sel-sel limfoid dengan penghambatan
uptake glukosa.
Pengaruh kortikosteroid yang terpenting pada manusia adalah
penghambatan akumulasi makrofag dan netrofil di tempat radang. Selain itu
kortikosteroid juga menyebabkan berkurangnya aktivitas makrofag, baik yang
beredar dalam darah (monosit) maupun yang terfiksir dalam jaringan (sel
Kupffer). Pengaruh tersebut diperkirakan akibat penghambatan kerja faktor-faktor
limfokin yang dilepaskan oleh sel-T sensitif pada makrofag. Penghambatan
akumulasi netrofil di tempat radang adalah akibat kerja kortikosteroid mengurangi
daya lekat netrofil pada dinding endotel pembuluh darah, bukan akibat
penghambatan kemotaksis yang hanya dapat dihambat oleh kortikosteroid pada
kadar suprafarmakologik.4,19
5

2.1.4 Indikasi
Dari pengalaman klinis dapat diajukan minimal 6 prinsip terapi yang perlu
diperhatikan sebelum obat ini digunakan :
1. Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan
trial and error, dan harus dievaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan
perubahan penyakit.
2. Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya.
3. Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya
kontraindikasi spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat
besar.
4. Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih hingga dosis
melebihi dosis substitusi, insiden efek samping dan efek letal potensial
akan bertambah; dosis ekivalen hidrokortisol 100 mg/hari lebih dari 2
minggu hampir selalu menimbulkan iatrogenic chusing syndrome. Bila
terpaksa pasien harus juga diberi diet tinggi protein dan kalium.
5. Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan
merupakan terapi kasual ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif
karena efek anti-inflamasinya.
6. Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis
yang besar, mempunyai resiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat
mengancam jiwa pasien.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bila kortikosteroid akan digunakan
untuk jangaka panjang, harus diberikan dalam dosis minimal yang masih efektif.
Dosis ini ditentukan secara trial and error.
Untuk keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien, kortikosteroid dosis
besar dapat diberikan untuk waktu yang singkat selama tidak ada kontraindikasi
spesifik.4,19
6

2.1.5 Penggunaan Klinis


Kortikosteroid merupakan obat yang sangat banyak dan luas dipakai
dalam dunia kedokteran terutama golongan glukokortikoid. Glukokortikoid
sintetik digunakan pada pengobatan nyeri sendi, arteritis temporal, dermatitis,
reaksi alergi, asma, hepatitis, SLE, inflammatory bowel disease, serta sarcoidosis.
Selain sediaan oral. Terdapat pula sediaan dalam bentuk obat luar untuk
pengobatan kulit, mata, dan juga inflammatory bowel disease. Kortikosteroid juga
digunakan sebagai terapi penunjang untuk mengobati mual, dikombinasikan
dengan antagonis 5-HT3 (misalnya ondansentron).
Baik kortikosteroid alami maupun sintetik digunakan untuk diagnosis dan
pengobatan kelainan fungsi adrenal. Hormon ini juga sering digunakan dalam
dosis yang lebih besar untuk pengobatan berbagai kelainan peradangan dan
imunologi.
Penggunaan glukokortikoid pada pengobatan gangguan fungsi adrenal
biasanya dberikan pada keadaan insufisiensi atau hiperfungsi dari adrenokortikal.
Keadaan insufisiensi adrenokortikal dapat berupa akut maupun kronis (penyakit
Addison) yang ditandai dengan hiperpigmentasi, lemah, kelelahan, berat badan
menurun, hipotensi, dan tidak ada kemampuan untuk memelihara kadar gula
darah selama puasa. Untuk keadaan hiperfungsi adrenokortikal misalnya terjadi
pada hiperplasia adrenal kongenital, chusing sindrome atau aldosteronisme.
Kortisol dan analog sintetiknya berguna dalam pengobatan berbagai
kelompok penyakit yang tidak berhubungan dengan kelainan fungsi adrenal.
Kegunaan kortikosteroid pada kelainan ini merupakan kemampuannya untuk
menekan respon peradangan dan respon imun. Pada keadaan yang respons
peradangan atau respon imunnya penting untuk mengendalikan proses patologi,
terapi dengan kortikosteroid mungkin berbahaya tetapi dibenarkan untuk
mencegah timbulnya kerusakan yang tidak dapat diperbaiki akibat respon
peradangan jika digunakan bersama dengan terapi spesifik untuk proses
penyakitnya.4,19
7

2.1.6 Kontraindikasi
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut
kortikosteroid. Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat
dibenarkan, keadaan yang mungkin dapat merupakan kontraindikasi relatif dapat
dilupakan, terutama pada keadaan yang mengancam jiwa pasien. Bila obat akan
diberikan untuk beberapa hari atau beberapa minggu, kontraindikasi relatif yaitu
diabetes mellitus, tukak peptic/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau gangguan
sistem kardiovaskuler lain patut diperhatikan. Dalam hal yang terakhir ini
dibutuhkan pertimbangan matang antara resiko dan keuntungan sebelum obat
diberikan.4,19

2.1.7 Efek Samping


Ada dua penyebab timbulnya efek samping pada penggunaan
kortikosteroid. Efek samping dapat timbul karena penghentian pemberian secara
tiba-tiba atau pemberian terus-menerus terutama dengan dosis besar.
Pemberian kortikosteroid jangka lama yang dihentikan tiba-tiba dapat
menimbulkan insufisiensi adrenal akut dengan gejala demam, mialgia, artralgia,
dan malaise. Insufisiensi terjadi akibat kurang berfungsinya kelenjar adrenal yang
telah lama tidak memproduksi kortikosteroid endogen karena rendahnya
mekanisme umpan balik oleh kortikosteroid eksogen.
Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama ialah gangguan cairan
dan elektrolit, hiperglikemia dan glikosuria, mudah mendapat infeksi terutama
tuberkulosis, pasien tukak peptik mungkin dapat mengalami perdarahan atau
perforasi, osteoporosis, miopati yang karakteristik, psikosis, habitus pasien
Chusing (antara lain moon face, buffalo hump, timbunan lemak supraklavikular,
obesitas sentral, ekstremitas kurus, striae, ekimosis, akne, dan hirsutisme).
Efek samping lain yang cukup serius meliputi perkembangan ulkus
peptikum dan komplikasinya. Gambaran klinik yang menyertai kelainan lain,
terutama infeksi bakteri dan jamur, dapat diselubungi oleh kortikosteroid, dan
penderita harus diawasi dengan teliti untuk menghindari kecelakaan serius bila
digunakan dosis tinggi. Beberapa penderita mengalami miopati, yang sifatnya
8

belum diketahui. Frekuensi terjadinya miopati lebih besar pada penderita yang
diobati dengan triamnisolon. Penggunaan obat ini maupun metilprednisolon
berhubungan dengan timbulnya mual, pusing dan penurunan berat badan pada
beberapa penderita.
Psikosis juga dapat terjadi, terutama pada penderita yang mendapat dosis
besar kortikosteroid. Tetapi jangka lama dapat menimbulkan perkembangan
katarak subkapsular posterior. Hal ini ditunjukkan dengan pemeriksaan slitlamp
periodik pada penderita. Biasa terjadi peningkatan tekanan intraokular, dan
mungkin saja bisa menyebabkan glaukoma. Juga terjadi hipertensi intrakranial
jinak. Pada dosis 45 mg/m2/hari atau lebih, dapat terjadi retardasi pertumbuhan
pada anak-anak.
Jika diberikan dalam jumlah lebih besar dari jumlah fisiologi, steroid
seperti kortison dan hidrokortison yang mempunyai efek mineralokortikoid selain
efek glukokortikoid, dapat menyebabkan retensi natrium dan cairan serta
hilangnya kalium. Pada penderita dengan fungsi kardiovaskuler dan ginjal normal,
hal ini dapat menimbulkan alkalosis hipokloremik hipokalemik, dan akhirnya
peningkatan tekanan darah. Pada penderita hiponatremia, penyakit ginjal, atau
penyakit hati, dapat terjadi edema. Pada penderita penyakit jantung, tingkat retensi
natrium yang sedikit saja dapat menyebabkan gagal jantung kongestif.4,19

2.1.8 Penanganan Efek Samping


Penanganan yang disarankan untuk saat ini pada penderita yang
mendapatkan efek samping kortikosteroid adalah dengan melakukan penurunan
konsumsi dosis kortikosteroid secara perlahan lahan (tapering off). Jika timbul
diabetes, diobati dengan diet dan insulin. Sering pendertita yang resisten dengan
insulin, namun jarang berkembang menjadi ketoasidosis. Pada umumnya
penderita yang diobati dengan kortikosteroid seharusnya diberi diet protein tinggi,
dan peningkatan pemberian kalium serta rendah natrium seharusnya digunakan
apabila diperlukan.
Telah ditemukan beberapa zat yang dapat menghambat sekresi
kortikosteroid, antara lain metirapon dan aminoglutetimid. Ketokonazol, suatu
9

antifungal, menghambat steroidogenesis karena menghambat enzim CYP17 (17


alfa hidroksilase), hal ini dapat berdampak interaksi obat. Ketokonazol belum
diketahui manfaat kliniknya untuk menghambat produksi steroid. Mifepriston
menghambat mekanisme umpan balik sehingga meningkatkan ACTH dan
kortisol. Karena kemampuannya menghambat kerja kortikosteroid obat ini sedang
diteliti kemungkinan kegunaannya untuk kasus hiperkortisisme. Saat ini
digunakan hanya bila obat lain tidak berhasil.4,19

2.2 Penggunaan Steroid pada Mata


Kortikosteroid biasanya digunakan untuk mengobati bengkak dan gatal
pada mata yang disebabkan karna alergi, trauma, atau infeksi. Inflamasi yang
terjadi pada mata dapat diterapi dengan pengobatan topikal dengan injeksi lokal
atau sistemik.

2.2.1 Glukokortikoid
Steroid digunakan secara topikal untuk mencegah atau menekan proses
inflamasi yang terjadi pada mata akibat trauma dan uveitis. Pada injeksi
subkonjungtiva dan injeksi retrobulbar, steroid digunakan untuk terapi kasus
seperti ini yang tergolong berat akibat terjadi inflamasi pada mata. Terapi sistemik
steroid digunakan untuk terapi penyakit sistem imun seperti inflamasi pada mata
yang berat yang sudah resisten dengan terapi topikal. Metilprednisolon intravena
menjadi pilihan pada terapi demielinisasi saraf optik yang terinfeksi dan trauma
pada saraf optik.
Glukokortikoid menginduksi efek sel spesifik dalam limfosit, makrofag,
polimorfonuklear leukosit, sel endotel vaskuler, fibroblast, dan sel-sel lainnya.1,3,9

2.2.2 Farmakologi Kortikosteroid Topikal


Kortikosteroid topikal digunakan pada aksi anti inflamasi. Aspek dari
proses inflamasi seperti hiperemia, infiltrasi seluler, vaskularisasi dan proliferasi
fibroblastik ditekan. Steroid menghambat respons inflamasi untuk merangsang
agen-agen mekanis, kimia atau imunologi alami. Kortikosteroid topikal efektif
10

digunakan pada kondisi inflamasi akut pada konjungtiva, sklera, kornea, kelopak
mata, iris, badan siliar, dan segmen anterior dari bola mata, dan dalam kondisi
alergi bola mata.
Mekanisme dari aksi anti inflamasi dipirkan untuk menjadi potensi dari
vasokonstriksi epinefrin, stabilisasi dari membran lisosom, retardasi pergerakan
makrofag, pencegahan dari pelepasan kinin, inhibisi dari limfosit dan fungsi
neutrofil, inhibisi dari sintesis prostaglandin dan pada penggunaan jangka panjang
menurunkan produksi antibodi.
Hambatan proliferasi fibroblast dapat mencegah terjadinya formasi
simblefaron pada trauma kimia dan trauma panas. Pengurangan scar (bekas luka
dalam bentuk jaringan ikat) dengan kornea yang lebih jernih setelah pemberian
kortikosteroid topikal adalah hasil dari inhibisi proliferasi fibroblast dan
vaskularisasi.1,3,9

2.2.3 Indikasi
Pada keadaan inflamasi : kondisi pengobatan dengan menggunakan
steroid responsif inflamasi pada palpebra dan konjungtiva bulbar, kelopak mata,
kornea, dan segmen anterior bolamata seperti : konjungtivitis alergi, keratitis
superficial nonspesifik, keratitis superficial punctata, keratitis herpes zoster, iritis,
siklitis, konjungtivitis akibat infeksi bakteri ketika penggunaan steroid dengan
resiko yang tidak bisa dipisahkan diterima untuk mengurangi terjadinya edema
dan inflamasi. Rimexolone juga diindikasikan jika terjadi inflamasi post operasi
yang mengikuti pada operasi bola mata.
Cedera kornea : juga digunakan pada cedera kornea akibat bahan kimia,
radiasi atau trauma panas atau trauma benda asing.
Reaksi penolakan transplantasi : dapat digunakan untuk menekan reaksi
penolakan transplantasi setelah keratopati.1,3,9

2.2.4 Kontraindikasi
Keratitis herpes simpleks superficial akut; penyakit yang disebabkan oleh
jamur pada struktur bola mata; vaksinasi, varisela dan banyak lagi penyakit yang
11

disebabkan oleh virus pada kornea dan konjungtiva, infeksi mikobakterium pada
mata (contoh tuberculosis mata), penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme,
hipersensitivitas, setelah pemindahan yang tidak utuh pada badan asing superficial
kornea. Medrysone tidak digunakan pada iritis dan uveitis; hasilnya belum di uji
coba.1,3,9

2.2.5 Peringatan
Jika seseorang dengan glaukoma, operasi katarak, infeksi mata, dan alergi
pada mata perlu diperhatikan lebih teliti lagi. Pengobatan dengan kortikosteroid
tidak direkomendasikan untuk digunakan jika pada pasien terdapat infeksi pada
mata yang disebabkan oleh virus (misalnya herpes simpleks), infeksi mata yang
disebabkan oleh jamur, pengeluaran benda asing yang belum terlalu lama
dilakukan. Obat ini dapat menyebabkan penglihatan kabur setelah terapi.
Inflamasi yang sedang sampai berat : menggunakan dosis tinggi untuk
inflamasi yang sedang sampai berat. Pada kasus-kasus yang sulit dari penyakit
segmen anterior pada mata, terapi sistemik dapat diperlukan. Ketika struktur bola
mata yang lebih dalam lagi dilibatkan, menggunakan terapi sistemik.
Kerusakan bola mata : penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat
menyebabkan terjadinya glaukoma, peningkatan tekanan intra okular, kerusakan
saraf optik, defek pada ketajaman penglihatan dan lapangan pandang, katarak
subkapsular posterior, atau infeksi mata sekunder dari pelepasan benda-benda
patogen dari jaringan ikat pada mata. Periksa tekanan bola mata dan lensa terus-
menerus. Pada penyakit yang menyebabkan pengenceran dari sklera atau kornea,
dapat terjadi perforasi dengan pengobatan steroid topikal.
Infeksi : akut, purulen, infeksi mata yang tidak diobati dapat
disembunyikan atau aktivitasnya ditingkatkan oleh steroid. Infeksi jamur pada
kornea dapat disembuhkan dengan aplikasi pengobatan steroid jangka panjang.1,3,9

2.3 Efek Penggunaan Steroid pada Mata


12

Ada banyak kondisi penyakit mata dimana membutuhkan terapi steroid


secara sistemik. Umunya dosis yang digunakan adalah sekitar 20 mg atau lebih
pada penggunaan prednisolon. Efek samping sistemik mungkin dapat dijumpai
pada penggunaan steroid sistemik yang diindikasikan pada suatu penyakit mata.
Idealnya terapi steroid sistemik digunakan secara singkat dan tidak terus menerus
disertai syarat apabila terapi steroid topikal atau lokal tidak memberikan hasil
yang memuaskan.
Penggunaan terapi steroid juga baik itu diindikasikan oleh adanya penyakit
mata atau penyakit diluar mata memiliki beberapa efek yang buruk pada mata.
Adapun efek penggunaan terapi steroid pada mata antara lain galukoma, katarak
dan peningkatan resiko penyakit infeksi.7.16

2.3.1 Glaukoma
Steroid adalah kelompok obat yang dapat menghasilkan peningkatan TIO
melalui mekanisme open angle. Tidak semua pasien yang menggunakan steroid
akan mengakbatkan glaukoma. Faktor risiko yang mungkin mendukung adalah
adanya glakukoma primer sudut terbuka sebelumnya, riwayat keluarga glaukoma,
miopia tinggi dan diabetes mellitus. Telah menunjukkan bahwa 18-36% dari
populasi umum dan 46-92% pasien dengan glaukoma primer sudut terbuka,
pemeberian kortikosteroid topikal mengakibatkan peningkatan tekanan intra
okular. Hal tersebut terjadi biasanya dalam waktu 2-4 minggu setelah terapi
steroid diberikan.7
13

Tabel 1. Cara pemberian steroid yang akan menginduksi glaukoma6

Tabel 2. Tabel potensi jenis steroid penyebab glaukoma5


1. Definisi
Glaukoma adalah suatu neuropati optik kronik didapat yang ditandai
dengan pencekungan diskus optikus dan pengecilan lapang pandang, biasanya
disertai oleh peningkatan tekanan intra okular.11
2. Patofisiologi
Glaukoma yang diinduksi oleh penggunaan terapi steroid disebabkan oleh
adanya reseptor spesifik di trabekular meshwork mata. Suatu enzim yaitu
14

hyaluronidase yang sensitive dengan glycosaminoglycans secara normal berada di


sistem pengaliran aquos humor. Glycosaminoglycans dalam bentuk polimer
menyebabkan suatu edema oleh karena adanya hydrasi. Steroid menyetabilkan
membran lisosom dari goniosit yang berperan dalam pembentukan edema tersebut
sehingga mengakibatkan peningkatan bentuk polimer dari glycosamoglycans yang
mana akan menyebabkan peningkatan resistensi aliran aquos humor. Hal tersebut
akan meningkatkan tekanan intra okular. Penggunaan steroid (glukortikoid)
meningkatkan ekspresi dari kolagen, elastin dan fibronectin dalam trabekular
meshwork sehingga akan memperparah keadaan edema.5,6,12,13
3. Gejala klinis
Gejala klinis yang dapat ditemukan pada glaukoma yang disebabkan oleh
pemakaian steroid biasanya disertai dengan peningkatan tekanan intra okular yang
terjadi secara perlahan. Umur pasien biasanya dapat menetukan gejala yang
muncul. Biasanya pada bayi, gejala yang mucul mirip dengan gejala dari
glaukoma kongenital, antara lain epifora, fotofobia, blefarospasme, kornea yang
keruh, peningkatan tekanan intra okular dan optic disk cupping. Namun yang
membedakan antara glaukoma kongenital dengan glaukoma oleh karena terapi
steroid adalah sudut bilik mata depan yang normal pada glaukoma karena terapi
steroid.
Pada remaja dan dewasa gejala glaukoma karena steroid mirip dengan
glaukoma sudut terbuka yang disertai dengan adanya penurunan aliran aquos
humor. Gejala yang muncul antara lain peningkatan tekanan intra okular, nyeri
yang tidak terlalu, optic disk cupping dan penurunan penglihatan lapang pandang
mata.
Glaukoma sudut terbuka merupakan kelainan denga neuropati optik kronik
yang progresif secara perlahan yang ditandai dengan atrofi dan gaung papil saraf
optik yang khas disertai gambaran hilangnya lapang pandangan yang khas pula
dimana TIO tinggi merupakan faktor resiko utamanya. 5,6,12,13
15

Gambar 1. Gambaran optic disk pada pasien glaukoma13


4. Diagnosis banding
Diagnosis banding dari glaukoma dari karena steroid antara lain glaukoma
uveitis, krisis glaukoma, glaukoma dengan tekanan intra okular yang normal dan
glaukoma juvenil.
5. Terapi
Tekanan intra okular yang meningkat oleh karena penggunaan terapi
steroid biasanya akan muncul beberapa minggu setelah penggunaan steroid.
Dalam beberapa kasus, tekanan intra okular akan turun dengan sendirinya sejalan
dengan penghentian penggunaan steroid.
Terapi paling efektif untuk mengatasai glaukoma karena penggunaan
steroid adalah dengan menghentikan pemakaian steroid dan memberikan obat anti
glaukoma sampai tekanan intra okular menjadi normal kembali. Jika pasien tidak
dapat menghentikan pemakaian steroid oleh karena penyakit yang mendasarinya,
pemakaian steroid potensi rendah mungkin dapat dilakukan. Potensi steroid yang
rendah memiliki kecenderungan yang lebih kecil untuk meningkatkan tekanan
intra okular, namun kemampuan anti inflamasinya tidak sebaik steroid potensi
16

tinggi. Penggunaan non-steroid untuk anti inflamasi bisa menjadi solusi alternatif,
karena tidak memiliki potensi untuk meningkatkan tekanan intra okular dalam
pemakaiannya.
Apabila terapi medikamentosa tidak efektif dalam mengatasi peningkatan
tekanan intra okular, terapi pembedahan dan laser dapat dilakukan. Terapi tersebut
antara lain laser trabekuloplasti dan trabekulotomi. 5,6,12,13

2.3.2 Katarak
1. Definisi
Katarak adalah setiap kekeruhan yang terjadi pada lensa mata dengan
karakteristik terdapat agregat-agregat protein yang akan mengahamburkan berkas
cahaya dan mengurangi transaparasinya.14
2. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya katarak akibat penggunaan steroid masih belum
pasti dan banyak pendapat untuk menjelaskannya. Menurut Cotlier, terbentuknya
katarak akibat terapi kortikosteroid ini karena reaksi spesifik dengan asam amino
dari lensa sehingga menyebabkan agregasi protein dan kekeruhan lensa. Katarak
subkapsular posterior khas terbentuk pada katarak akibat kortikosteroid, hal ini
disebabkan oleh migrasi abnormal dari sel epitel lensa. Aktivasi reseptor
glukokortikoid pada sel epitel lensa yang berakibat proliferasi sel, penurunan
apoptosis, dan menghambat diferensiasi sel.
a. Gangguan metabolik
Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme selular dengan mengubah
aktivitas enzimenzim. Penelitian menunjukkan Adenosin Triphospate
(ATP) dan level dinukleotid pada lensa menurun setelah 24 jam paparan
deksametason. Hal ini menyebabkan gangguan dari penyediaan kebutuhan
energi seperti sintesis protein, transpor ion, dan mekanisme pertahanan
oleh antioksidan sedangkan bentuk fosfat kompeks lainnya seperti glukosa
meningkat.
Kortikosteroid yang mempengaruhi sel normal sangat kompleks,
kortikosteroid yang larut lemak menyebar secara pasif melalui membran
17

sel ke target sel. Di dalam sel akan terikat oleh reseptor yang terdiri atas
satu atau dua molekul protein spesifik dan protein lain yang penting agar
kortikosteroid dapat terikat dengan reseptor dan Deoxiribonuclei Acid
(DNA). Kortikosteroid juga memiliki pengaruh pada pertumbuhan sel dan
sintesis Deoxiribonuclei Acid (DNA) dan Ribonuclei Acid (RNA).
Pengaruh tersebut diamati pada mata misalnya seperti pada pertumbuhan
sel endotel retina mengalami hambatan, sedangkan sel lain mengalami
rangsangan. Pengaruh kortikosteroid terhadap sel epitel lensa tidak begitu
jelas karena banyaknya variasi penelitian observasi.
b. Kegagalan osmotik
Kegagalan osmotik karena adanya celah vakuol dan pembengkakan sel
diperkirakan menjadi penyebab adanya hidrasi lensa akibat kortikosteroid.
Pada umumnya lensa mempertahankan keseimbangan ion yang berada di
intrasel dan ekstrasel. Adanya Sodium potasium adenosin triphophatase
dan Na+ K + ATP-ase memberikan keseimbangan ion dalam intrasel
berupa kadar K+ yang tinggi dan rendah Na+, sedangkan dalam ekstrasel
berupa kadar Na+ yang tinggi dan K+ rendah.
Keseimbangan ion ini penting dalam memelihara kejernihan lensa, apabila
terdapat gangguan pada keseimbangan ion akan mempengaruhi
terbentuknya katarak. Keterangan umum lain mengenai terjadinya katarak
adalah karena adanya stress baik berupa oksidatif, osmotik, dan metabolik
menyebabkan rentan terhadap berbagai zat oksidatif.
18

Gambar 2. Proses kegagalan osmotik akibat pengaruh kortikosteroid10


c. Oksidasi
Stress oksidatif menyebabkan terbentuknya ikatan disulfida, pigmentasi,
dan perubahan oksidatif untuk menghasilkan agregasi protein yang tidak
larut dan menghamburkan cahaya. Lensa sendiri memiliki mekanisme
pertahanan terhadap stress oksidatif berupa glutation reduktase dan
pembuangan radikal bebas. Beberapa penelitian menunjukkan
kortikosteroid dapat menurunkan glutation, antioksidan , dan asam
askorbat.
d. Pembentukan Molekul Protein
Penambahan molekul protein pada lensa juga memiliki keterlibatan dalam
pembentukan katarak. Hal ini terkait pada beberapa penyakit seperti
diabetes, gagal ginjal, dan degenerasi. Tambahan protein pada lensa
mempengaruhi kekeruhan pada lensa yang disebabkan pengaruh
kortikoteroid terhadap struktur normal protein. Pembentukan ikatan
disulfid molekuler seperti interaksi hidrofobik non-spesifik menyebabkan
pembentukan agregasi molekul ukuran besar yang tidak larut dan
menghasilkan hamburan cahaya.
e. Efek reseptor kortikosteroid terhadap growth factor
Reseptor kortikosteroid berupa kompleks protein dalam sitosol yang
mengikat steroid dan mentranslokasikan ke nukleus. Reseptor
19

kortikosteroid okular dapat ditemukan retina, iris, corpus siliaris, jalur


humor aquous, dan sklera tetapi beberapa penelitian menunjukkan tidak
adanya reseptor kortikosteroid pada lensa. Pembentukan katarak terkait
reseptor kortikosteroid diperkirakan karena pengaruhnya terhadap Growth
Factors (GF). Growth factor yang terdapat pada humor aquous
menginduksi proliferasi dan migrasi dari sel epitel anterior menuju ke arah
ekuator dan berdiferensiasi menjadi serat lamelar terdesak oleh sel-sel
baru.25 Perubahan level GF pada humour aquous akibat kortikosteroid
menyebabkan gangguan diferensiasi sel epitel menjadi serat lamelar yang
terus bermigrasi sepanjang kapsul lensa menuju ke posterior lensa dan
membentuk kumpulan sel-sel yang tidak teratur sehingga menghamburkan
cahaya.
Salah satu gambaran katarak akibat kortikosteroid adalah terkumpulnya sel
epitel tidak teratur di bawah kapsul posterior atau disebut subkapsular
posterior. Hal ini menunjukkan adanya penyimpangan tingkah laku sel
yang berpengaruh terhadap terbentuknya katarak karena seharusnya sel-sel
tersebut berada di anterior lensa. Menurut McAvoy dan Chamberlain,
Fibroblast Growth Factor-2 (FGF) mempengaruhi pertumbuhan sel epitel
lensa. Pada umumnya FGF kadarnya meningkat dari anterior lensa ke
posterior. Perbedaan ini memberikan pengaruh pada sel, pada anterior
lensa yang memiliki kadar rendah merangsang proliferasi sel dan migrasi
ke arah ekuator, sedangkan pada daerah ekuator lensa yang memiliki kadar
tinggi merangsang diferensiasi menjadi serat.
f. Perubahan Sel Abnormal
Perubahan tingkah laku sel terhadap terbentuknya katarak terjadi apabila
pada daerah ekuator, FGF tidak cukup tinggi untuk menyebabkan
diferensiasi sel atau terjadi hambatan diferensiasi oleh sitokin. Sel yang
tidak beraturan ini tetap migrasi melewati daerah ekuator menuju ke kutub
posterior lensa menjadi katarak subkapsular posterior.8,10,15,17,18,20
20

3. Gejala klinis
Katarak yang terjadi akibat penggunaan steroid adalah katarak jenis
subkapsular posterior. Katarak subkapsular posterior terdapat pada korteks di
dekat kapsul posterior bagian sentral. Di awal perkembangannya, katarak ini
cenderung menimbulkan gangguan penglihatan dekat karena adanya keterlibatan
sumbu penglihatan. Gejala umum lain yang dapat ditemui adalah adanya glare
dan penurunan penglihatan pada kondisi pencahayaan yang terang. 8,10,15,17,18,20

Gambar 3. Opasitas subkapsular lensa akibat steroid2


4. Diagnosis banding
Diagnosis banding pada katarak akibat penggunaan steroid adalah katarak
senilis yang biasanya terjadi pada usia tua, katarak traumatika dan katarak juvenil.
Anamnesis serta pemeriksaan yang khas perlu dilakukakan untuk memastikan
katarak akibat penggunaan steroid. 8,10,15,17,18,20
5. Terapi
Terapi yang dapat dilakukan untuk katarak akibat penggunaan steroid
adalah dengan menghentikan penggunaan steroid untuk mencegah progresifitas
dari katarak. Setelah penghentian penggunaan steroid dapat dilakukan
pembedahan katarak berupa pembedahan intrakapsular, pembedahan
ekstrakapsular dan fakoemulsi. Penanaman lensa intra okular dapat
dipertimbangkan setelah dilakukan pembedahan katarak untuk memperbaiki visus
pasien. 8,10,15,17,18,20
21

BAB 3. KESIMPULAN

Kortikosteriod adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan


dibagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon
adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis atau atas
angiotensin II.
Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok besar berdasarkan atas aktivitas
biologis yang menonjol darinya, yakni glukokortikoid (mengendalikan
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi).
Kelompok lain yaitu mineralokortikoid (mengatur kadar elektrolit dan air).
Efek kortikosteroid secara umum yaitu kortisol dan analog sintetiknya dapat
mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat
kimia, mekanik, atau alergen. Penggunaan klinik kortikosteroid sebagai anti
inflamasi merupakan terapi paliatif, yaitu hanya gejalanya yang dihambat
sedangkan penyebab penyakit tetap ada.
Pengaruh kortikosteroid yang terpenting pada manusia adalah
penghambatan akumulasi makrofag dan netrofil di tempat radang juga
menyebabkan berkurangnya aktivitas makrofag. Akibatnya terjadi penghambatan
kerja faktor-faktor limfokin yang dilepaskan oleh sel-T sensitif pada makrofag.
Pada mata, kortikosteroid biasanya digunakan untuk mengobati bengkak dan gatal
pada mata yang disebabkan karena alergi, trauma, atau infeksi.
Kontraindikasi penggunaan kortikosteroid pada mata, yaitu pada pasien
dengan keratitis herpes simpleks superfisial akut, penyakit yang disebabkan oleh
jamur pada struktur bola mata, vaksinasi, varisela dan banyak lagi penyakit yang
disebabkan oleh virus pada kornea dan konjungtiva, infeksi mikobakterium pada
mata, penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme, hipersensitivitas, setelah
pemindahan yang tidak utuh pada badan asing superficial kornea.
Secara khusus, efek samping penggunaan kortikosteroid pada mata paling
sering terjadi pada pemberian dalam jangka waktu lama yaitu glaukoma dan
katarak. Pada glaukoma, terjadi peningkatan tekanan intra okuler yang disertai
dengan kerusakan saraf optik. Jenis glaukoma yang biasa terjadi yaitu glaukoma
22

sudut terbuka. Secara teori, kortikosteroid menginduksi protein (miosilin) yang


berada di daerah trabekulum sehingga menyebabkan terjadinya edema di daerah
tersebut. Edema tersebut yang menginduksi terjadinya glaukoma sudut terbuka.
Efek samping yang lain yaitu kortikosteroid bisa menyebabkan terjadinya
katarak. Jenis katarak yang bisa terjadi yaitu katarak posterior sub kapsular.
Biasanya pada penggunaan kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama bisa
menyebabkan katarak posterior sub kapsular. Patofisiologi terjadinya katarak
akibat pemberian kortikosteroid dalam jangka waktu lama belum bisa dipastikan
dengan jelas. Namun yang pasti jenis kortikosteroid yang bisa menyebabkan
terjadinya katarak yaitu jenis glukokortikoid. Ini semua berhubungan dengan
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, dan berhubungan dengan anti
inflamasi dengan cara menghambat pelepasan fosfolipid.

Anda mungkin juga menyukai