Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA KEDOKTERAN

BLOK BASIC SCIENCE OF DIGESTIVE


AND NEPHROURINARY SYSTEM
PEMERIKSAAN AKTIVITAS ENZIM AMILASE SALIVA DAN DARAH

Oleh :
Kelompok 4
G1A016014
Marhamdani
G1A016015
Aviasenna Andriand
G1A016030
Anggita Larasati P
G1A016033
Hawariyyun S
G1A016035
Zevic Aulia Noor
G1A016042
Mahayu Dian S
G1A016061
Pramesa Juan F
G1A016083
Fania Salsabilla MP
G1A016086
Azkia Muthia R
G1A016105
Delima Rochmah NS

Asisten
Lailatul Masruroh
NIM. G1A014018

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
PURWOKERTO

2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Judul Praktikum
1. Pemeriksaan Aktivitas Enzim Amilase Saliva
2. Pemeriksaan Aktivitas Enzim Amilase darah

B. Tanggal Praktikum
Senin, 27 Maret 2017

C. Tujuan Praktikum
1. Penentuan Enzim Amilase Saliva
a. Mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan untuk mengetahui aktivitas
enzim amilase pada saliva.
b. Mahasiswa dapat mengetahui aktivitas enzim amilase saliva dengan
bantuan praktikum yang dilakukan.
2. Penentuan Enzim Amilase Darah
a. Mengukur kadar enzim amilase dalam darah.
b. Menjelaskan nilai normal enzim amilase dalam darah.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Enzim
Enzim adalah biomolekul yang berfungsi sebagai katalis (senyawa yang
mempercepat proses reaksi tanpa habis bereaksi) dalam suatu reaksi kimia.
(Murray et al., 2014)
Sifat kimiawi enzim antara lain adalah :
a. Enzim mengatur suatu reaksi

2
Enzim di dalam organisme hidup mengatur suatu reaksi biologis
tertentu, misalnya adalah enzim kinase dan fosfatase yang mengatur
transduksi sinyal dan reaksi sel (Dunaway-Mariano, 2008).
b. Enzim adalah suatu protein
Kebanyakan enzim adalah protein, pengecualian yang penting
mencakup RNA ribosom dan beberapa molekul RNA self-cleaving dan
self splicing yang secara kolektif disebut ribozim. (Murray et al., 2014).
Sebagian besar enzim tersusun oleh dua bagian, yaitu bagian yang
berupa protein, disebut apoenzim dan bagian non protein yang disebut
kofaktor. Ada juga beberapa enzim yang hanya terdiri dari komponen
protein saja. Kofaktor dapat berupa molekul anorganik maupun molekul
organik. Molekul anorganik berupa mineral seperti ion Fe, ion Zn, dan ion
Mn. Molekul organik misalnya NAD+, vitamin B1, B2, B6, niasin, dan
biotin. Kofaktor yang berupa molekul organik disebut koenzim, sedangkan
kofaktor yang berupa molekul anorganik disebut gugus prostetik.
Apoenzim dan koenzim yang bersatu membentuk enzim yang lengkap,
disebut holoenzim (Rochmah, 2009).
c. Enzim bersifat khusus, spesifik, hanya untuk satu reaksi
Enzim spesifik tidak hanya untuk jenis reaksi yang dikatalisis, tetapi
juga untuk substrat tunggal atau satu set kecil substrat terkait erat. Enzim
juga katalis stereospesifik yang biasanya mengkatalisis reaksi dari hanya
satu stereoisomer dari senyawa-untuk diberikan. Misalnya, d- tapi tidak l-
gula, l- tapi tidak d-asam amino. Sejak mereka mengikat substrat melalui
setidaknya tiga poin lampiran, enzim juga dapat menghasilkan produk
kiral dari substrat non-kiral. (Murray et al., 2014).
d. Enzim bersifat katalisator
Salah satu sifat khas enzim adalah mempercepat dan mengkatalisis
reaksi tanpa ikut terlibat langsung dalam reaksi dan tidak mempengaruhi
keseimbangan akhir reaksi. Proses percepatan dan biokatalisis ini
dilakukan melalui mekanisme penurunan energi aktivasi sehingga energi
yang dibutuhkan untuk memulai reaksi lebih rendah dan reaksi
berlangsung lebih cepat. Adapun jenis-jenis katalisis antara lain adalah
katalisis karena kedekatan, katalisis asam basa, katalisis karena paksaan
dan katalisis kovalen (Illanes et al., 2014).
e. Enzim mengalami denaturasi pada suhu lebih dari 50 oC

3
Denaturasi adalah proses di mana enzim, yang merupakan jenis
spesifik protein, kehilangan strukturnya. Denaturasi telah dipelajari secara
ekstensif di lingkungan laboratorium. Jika asam kuat atau basa
ditambahkan ke enzim, kehilangan struktur. Demikian pula, jika cairan
yang mengandung enzim dipanaskan sampai 60 derajat Celcius atau lebih
tinggi, denaturasi akan terjadi (Berg et al., 2007).
f. Enzim bekerja pada pH netral
Enzim adalah polimer poliionik sehingga perubahan pH dapat
mempengaruhi karakteristik dan kinerjanya, perubahan pH dapat
menyebabkan perubahan kelistrikan di active site dan di keseluruhan
permukaan molekul protein. Hal ini terjadi karena enzim mempunyai
residu asam amino yang dapat terionisasi dengan perubahan Ph. (Illanes et
al., 2014).
g. Enzim dipengaruhi oleh kadar substrat
Jika kadar substrat dalam suatu reaksi bertambah banyak, maka
jumlah enzim yang dibutuhkan untuk mengkatalisir reaksi tersebut pun
akan bertambah banyak sehingga enzim yang dihasilkan lebih banyak, dan
sebaliknya.
h. Enzim dipengaruhi oleh inhibitor dan kofaktor
Enzim umumnya adalah protein sederhana dengan beberapa
diantaranya hanya berfungsi maksimal jika adanya ion metalik tertentu.
Kadang-kadang ion metalik ini melekat tidak erat dan mudah terlepas dari
struktur protein, yang disebut sebagai kofaktor. Selain itu, zat tertentu
dapat mengurangi efektivitas kerja enzim dengan berikatan pada gugus
aktif enzim ataupun bukan pada gugus aktif enzim. Zat ini dinamakan
sebagai inhibitor (Seager & Slabaugh, 2014).
i. Enzim dapat bekerja secara reversibel
Saat bekerja mengkatalisis suatu reaksi, enzim tidak ikut bereaksi dan
hanya mempercepat reaksi. Setelah suatu reaksi selesai, enzim langsung
bisa mengkatalisis reaksi lain dengan segera. Oleh karena itu, enzim dapat
bekerja secara reversibel (Saryono, 2011).

B. Mekanisme kerja enzim


Ada dua teori yag menjelaskan mengenai cara kerja enzim yaitu:
1. Lock and key theory (Teori Gembok dan Kunci)
Substrat akan berikatan dengan sisi aktif suatu enzim melalui
beberapa bentuk ikatan kimia yang lemah (misalnya interaksi elektrostatik,

4
ikatan hidrogen, ikatan van der Waals, dan interaksi hidrofobik). Setelah
berikatan dengan bagian sisi aktif enzim, substrat bersama-sama enzim
kemudian membentuk suatu kompleks enzim-substrat, selanjutnya terjadi
proses katalisis oleh enzim untuk membentuk produk. Ketika produk
sudah terbentuk enzim menjadi bebas kembali untuk selanjutnya bereaksi
kembali dengan substrat (Berg, 2007).
2. Induced fit theory (Teori Ketepatan Induksi)
Ketika mendekati dan berikatan dengan enzim, substrat
menginduksi perubahan konformasi pada enzim, yaitu perubahan analog
dengan memasukkan tangan (substrat) ke dalam sarung tangan (enzim).
Akibatnya adalah enzim memicu perubahan timbal-balik pada substrat
dengan memanfaatkan energi ikatan untuk memfasilitasi transformasi
substrat menjadi produk (Murray et al., 2014).

C. Active site enzim


Dalam bagian/tempat aktif (active site), substrat dibawa ke dalam suatu
penataan yang saling berdekatan dengan kofaktor, gugus prostetik dan rantai
samping asam amino yang berperan mengkatalisis transformasi kimianya
menjadi produk (Murray et al., 2014)
Karakteristik active side enzim adalah sebagai berikut (Murray, 20014)
1. Merupakan bagian kecil dari enzim yang mencerminkan spesifitas
substrat yang ekstrem dan efisiensi katlitik enzim yang tinggi
2. Umumnya berbentuk celah atau kantung
3. Bersifat 3 dimensi untuk melidungi substrat dari pelarut dan
mempermudah katalisis
4. Mengikat dan mengarahkan kofaktor atau gugus prostetik

Model dari active side adalah sebagai berikut :

1. Catalistic Side
Sisi aktif diidentifikasi sebagai katalis karena asam amino yang
dikandung enzim diketahui ikut berpartisipasi dalam reaksi kimia
yang dikatalisis (mempercepat reaksi) oleh enzim itu sendiri.
Rantai asam dan basa adalah penanda yang dapat diandalkan dalam
sisi aktif katalitik (Jimenez-Morales, 2012).
2. Binding side
Enzim mengkatalisis reaksi dengan mengikat substrat mereka.
Namun, meskipun enzim sering didefinisikan oleh situs aktif, yang

5
mengikat substrat, beberapa situs lain di enzim secara langsung
mempengaruhi fungsi enzim. Situs-situs lain dapat dibagi menjadi
dua kategori yaitu situs alosterik dan situs interaksi protein-protein.
Situs alosterik yang mana molekul yang menghambat fungsi enzim
dapat mengikat dan menyebabkan perubahan bentuk enzim. Di
lokasi interaksi protein-protein, enzim berikatan dengan enzim lain
atau protein. Interaksi protein-protein dapat berfungsi untuk
mengaktifkan enzim. Semua situs-situs tersebut memiliki bentuk
khusus yang hanya cocok molekul dengan bentuk yang sesuai
(Jimnez-Moralez, 2012).

D. Inhibitor enzim
Suatu inhibitor enzim adalah senyawa yang menurunkan kecepatan reaksi
melalui pengikatan dengan enzim, merupakan zat yang dapat menghambat
kerja enzim. Bersifat reversibel dan ireversibel. Inhibitor reversibel dibedakan
menjadi inhibitor kompetitif dan nonkompetitif. (Campbell, 2010).
1. Inhibitor kompetitif
Menghambat kerja enzim dengan menempati sisi aktif enzim.
Inhibitor ini bersaing dengan substra tuntuk berikatan dengan sisi aktif
enzim. Pengambatan bersifat reversibel (dapat kembali seperti semula) dan
dapat dihilangkan dengan menambah konsentrasi substrat. Inhibitor
kompetitif misalnya malonat dan oksalosuksinat, yang bersaing dengan
substrat untuk berikatan dengan enzim suksinat dehidrogenase, yaitu
enzim yang bekerja pada substrat oselisuksinat (Campbell, 2010).
2. Inhibitor nonkompetitif
Inhibitor ini biasanya berupa senyawa kimia yang tidak mirip
dengan substrat dan berikatan pada sisi selain sisi aktif enzim. Ikatan ini
menyebabkan perubahan bentuk enzim sehingga sisi aktif enzim tidak
sesuai lagi dengan substratnya, contohnya antibiotic penisilin menghambat
kerja enzim penyusun dinding sel bakteri. Inhibitor ini bersifat reversibel
tetapi tidak dapat dihilangkan dengan menambahkan konsentrasi substrat.
(Campbell, 2010).

6
Gambar 2.3 Inhibitor kompetitifdan non-kompetitif (Campbell, 2010)

E. Faktor yang mempengaruhi kerja enzim


Aktivitas suatu enzim dipengaruhi oleh faktor lingkungan umum, seperti
suhu dan pH, dan juga oleh faktor kimiawi tertentu yang secara khusus
mempengaruhi enzim itu (Campbell, 2010).
Efek suhu pada seluruh jenis bahan kimia, yaitu mempercepat terjadinya
reaksi kimia seiring dengan naiknya temperatur. Namun, pada jenis protein,
ketika temperatur naik, gerakan kinetik rantai asam amino ikut naik bersamaan
dengan kekuatan dan frekuensi tumbukan antara enzim dengan molekul di
sekitarnya. Pada titik tertentu, tumbukan ini menjadi cukup kuat untuk
mendenaturasi enzim tersebut. Ikatan hidrogen dan bagian lain yang
mempertahankan struktur tiga dimensi rusak, membuat enzim itu terurai
ikatannya dan kehilangan fungsinya (Hertz, 2008).
Di sisi lain, pH menunjukkan pengaruh yang kuat dan signifikan pada
aktivitas enzim untuk semua rangkaian yang diteliti (Honorato, dkk. 2011).
Enzim tersebut memiliki aktivitas paling optimal pada pH 7,8 dan temperatur
40 oC (Zhang, dkk. 2008).
Banyak enzim-enzim yang memerlukann bantuan dari komponen non-
protein untuk aktivitas katalitiknya. Komponen ini, yang disebut kofaktor,
dapat berikatan kuat dengan tempat aktif secara permanen, atau dapat berikatan
secara lemah dan reversible bersama-sama dengan substrat (Campbell, 2010).

7
Senyawa kimia tertentu secara selektif menghambat (menginhibisi) kerja
enzim spesifik. Jika inhibitor berikatan dengan enzim melalui ikatan kovalen,
inhibisi yang terjadi umumnya bersifat ireversibel. Akan tetapi, akan menjadi
dapat balik atau reversible jika inhibitor itu berikatan melalui ikatan lemah
(Campbell, 2010).

F. Kofaktor enzim
Kofaktor memiliki fungsi serupa dengan gugus prostetik, tetapi berikatan
secara transien dan mudah terlepas dengan enzim atau substrat, misalnya ATP.
Tidak seperti gugus prostetik yang terikat secar stabil, kofaktor harus terdapat
dalam medium di sekitar enzim agar katalisis dapat terjadi. Kofaktor yang
paling umum juga adalah ion logam. Enzim yang memerlukan kofaktor ion
logam disebut enzim yang diaktifkan oleh logam (metal-actived enzymes)
untuk membedakannya dari metaloenzim dengan ion logam berfungsi sebagai
gugus prostetik (Murray, 2014).

BAB III
METODE PRAKTIKUM

A. Pemeriksaan Aktivitas Enzim Amilase Saliva


1) Alat
a. Gelas kimia 50 ml 2 buah
b. Tabung reaksi kecil
c. Pipet tetes

8
d. Tabung reaksi
e. Penjepit tabung reaksi
f. Bunsen
g. Kertas saring
2) Bahan
a. Saliva
b. Larutan NaCl 0,2%
c. Larutan amilum 1%
d. Larutan iodium 0,01N
3) Cara Kerja
a. Probandus berkumur dengan NaCl selama 2-3 menit.
b. Sampel ditempatkan pada gelas kimia yang terdapat kertas saringnya.
c. Sampel dimasukkan ke dalam 2 tabung reaksi, masing-masing sebanyak
2,5 cc.
d. Salah satu tabung dipanaskan, sedangan tabung yang lain didiamkan.
e. Masing-masing tabung reaksi kecil diteteskan 3 tetes iodium dan 3 tetes
amilum.
f. Sampel baik dari tabung yang telah dipanaskan maupun yang tidak,
diteteskan pada Tabung reaksi kecil.
g. Untuk Tabung reaksi kecil yang ditetesi sampel yang dipanaskan,
diteteskan sampel kembali setiap 5 menit, amati perubahan warna.

B. Pemeriksaan Aktivitas Enzim Amilase Darah


1. Alat
a. Spuit 3cc
b. Torniquet 1 buah
c. Vacum non EDTA
d. Rak Tabung reaksi 1 buah
e. Mikropipet 10-100 l 1 buah
f. Mikropipet 100-1000 l 1 buah

9
g. Blue tip 1 buah
h. Yellow tip 1 buah
i. Kuvet 1 buah
j. Spektrofotometer
k. Sentrifugator
2. Bahan
a. Working reagen 1 cc
b. Serum 20 l
c. Alkohol 70%
3. Cara Kerja
a. Persiapan sampel:
1. Mengambil darah probandus menggunakan spuit kira-kira
sebanyak 3cc.
2. Memasukkan darah ke dalam Vacum non EDTA dan disentrifugasi
dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit, kemudian diambil
plasmanya untuk sampel.
b. Memasukkan 1 cc working reagen ke dalam tabung reaksi.
c. Memasukkan 20l serum ke dalam tabung reaksi yang telah terisi
working reagen hingga tercampur.
d. Membaca kadar enzim amilase dengan spektrofotometer
Nilai Normal :
Nilai normal amilase darah adalah <100 U/L untuk pria dan wanita.

10
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
a. Pemeriksaan Aktivitas Enzim Amilase Saliva
Probandus
Nama : Delima Rochmah N. S.
Usia : 19 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Hasil pengamatan bahwa sampel saliva yang dipanaskan ialah tidak terjadi
perubahan warna (tetap berwarna biru) setelah ditetesi iodium serta
amilum awalnya kami mengira lapisan jernih diatas lapisan biru adalah
hasil dari perubahan warna tetapi setelah diteliti kembali itu adalah
kumpulan dari saliva yang kami tetesi berulang- ulang. Sedangkan pada
saliva yang tidak dipanaskan setelah ditetesi iodine juga tidak terjadi
perubahan warna yang signifikan padahal menurut teori seharusnya
menjadi tidak berwarna (jernih). Hal tersebut kemungkinan dipengaruhi
oleh faktor pemberian iodium yang berlebihan yaitu sebanyak 3 tetes.
b. Pemeriksaan Aktivitas Enzim Amilase Darah
Probandus
Nama : Zevic Aulia Noor.
Usia : 18 tahun
Jenis kelamin : Laki laki
Hasil pemeriksaan amilase darah dengan metode fotometri enzimatik
adalah 0,871 U/L. Hasil yang teramat kecil untuk pemeriksaan ini
dimungkinkan oleh adanya kerusakan pada alat spektofotometri yang
digunakan . Sehrusnya nilainya tidak terlampau jauh dari nilai normal
yaitu < 100 U/L.

A. Pembahasan
Pemeriksaan suatu enzim tidak dapat dilakukan dengan menentukan
jumlah enzim dalam suatu zat. Pengukuran dilakukan berdasarkan adanya
aktivitas enzim amilase dalam mengubah amilum menjadi maltosa dan -

11
limit dekstrin (Sherwood, 2014). Perbedaan struktur dari substrat dan produk
tersebut mendasari dilakukannya uji enzim dengan melihat perubahan warna
setelah dicampur dengan larutan iodium. Amilum akan merefleksikan warna
biru sedangkan jenis diskarida khususnya maltosa tidak akan memberikan
warna apapun. Pemeriksaan yang bertujuan untuk mengethui pengaruh enzim
amilase terhadap larutan amilum 1%, dalam percobaan ini digunakan enzim
amilase yang terdapat pada saliva. Enzim ini diperoleh dengan stimulasi dari
larutan NaCl 0,2 %. Dalam reaksi yang terjadi, enzim amilase berperan aktif
sebagai katalis yang akan mempercepat laju reaksi penguraian larutan amilum
1 % menjadi maltosa dan desktrin antara. Larutan iodium berperan sebagi
indikator warna untuk menandai aktivitas enzim amilase pada larutan
amilum.
Dalam percobaan ini digunakan 2 buah tabung yang masing-masing
diberikan perlakuan yang berbeda. Tabung I dibiarkan tetap dengan suhu
kamar dan tabung II dipanaskan hingga mendidih menggunakan bunsen.
Dengan demikian dapat dilihat pengaruh suhu terhadap kerja enzim amilase
dalam memecah amilum karena pada tabung yang dipanaskan menjadikan
enzim inaktif.
Tabel 1: Pengaruh enzim amilase terhadap amilum per 5 menit
Waktu (menit) Tabung I (Tidak dipanaskan) Tabung II (Dipanaskan)
5 ++++++ ++++++
10 ++++++ ++++++
15 +++++ ++++++
20 +++++ ++++++
25 +++++ ++++++
30 ++++ ++++++

Keterangan :
++++++ : Biru Hitam
+++++ : Biru Tua
++++ : Biru
+++ : Biru Bening
++ : Hampir bening
+ : Bening
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dalam tabung I mengalami
perubahan akan tetapi tidak terlalu signifikan. Penyebab dari kondisi ini ialah

12
terlalu banyaknya larutan amilum dan iodium yang digunakan sehingga
diperlukan waktu yang cukup lama untuk memecah amilum tersebut.
Ditambah lagi dengan suhu lingkungan selama rekasi berlangsung berada di
bawah suhu tubuh.
Enzim amilase saliva dalam tubuh manusia tidak memberikan efek yang
begitu krusial. Umumnya amilase paling banyak disekresikan oleh kelenjar
pankreas. Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan amilase darah yang
menunujukan aktitas amilase saliva dan pankreas. Metode yang digunakan
ialah fotometri enzimatik dengan penambahan working reagen. Kadar enzim
amilase ditentukan dengan spektrum warna cahaya yang dibaca oleh
spektrofotometer. Hasil dari pemeriksaan ini ialah 0,871 U/L, sedangkan
kadar normalnya ialah dibawah 100 U/L. Terdapat perbedaan sangat jelas
dengan kadar normal sehingga hasil ini bisa diragukan dikarenakan adanya
salah satu atau beberapa faktor berikut:
1. Kesalahan praktikan dalam melakukan prosedur kerja.
2. Kesalahn dalam menggunakan working reagen.
3. Spektrofotometer yang belum ditera.
4. Faktor error alat yang digunakan

B. Aplikasi Klinis
A. Pankreatitis Akut
1) Definisi

Pankreatitis akut adalah kondisi inflamatori akut pada


pankreas yang dapat berhubungan dengan jaringan peripankreatik
dan/atau sistem organ lain. Penyakit ini dapat memiliki beberapa
komplikasi dan tingkat mortalitas yang tinggi. Biasanya, penyakit
ini memiliki gejala sakit tiba-tiba, nyeri yang berawal di
epigastrium dan menjalar ke belakang, yang biasanya diperparah
oleh makanan yang dimakan (Garg, 2013).

13
2) Etiologi

Pankreatitis akut dapat dipicu kejadian kejadian mekanik,


metabolik, vaskuler, atau infeksi. Meski mekanisme molekuler
berpengaruh pada induksi pankreatitis untuk tiap penyebab yang
sampai saat ini diketahui, tapi ada beberapa teori baru yang
didapatkan. Penyakit batu empedu mempengaruhi 80% kasus
pankreatitis akut; tapi, kejadian pankreatitis pada pasien dengan
kondisi tersebut cukup rendah (5%-10%). Hal ini membuktikan
bahwa terdapat kofaktor tambahan untuk dapat menimbulkan
pankreatitis. Penyebab idiopatik cukup umum dan berlaku pada
pasien yang terkonfirmasi sebagai pengidap pankreatitis dimana
agen kausatifnya tidak teridentifikasi. Meski demikian,
manifestasi klinis pankreatitis akut cukup mirip satu sama lain,
menunjukkan bahwa patogenesis terhubung dalam jalur bersama
(Balthazar, et al. 2009)

3) Gambaran klinis
Meski dari etiologi yang berbeda, tapi fase responsif
pankreatitis akut
mirip satu sama lain dan bergantung pada tingkat keparahan
penyakit tersebut. Patofisiologi dan mekanisme pankreatitis akut
cukup kompleks dan interaksi seluler maupun humoral ikut
berpengaruh pada jaringan patomekanisme proteolitik terinduksi
(Langley, 2007).
Patofisiologi pankreatitis akut melibatkan aktivasi prematur
dari tripsin di sel asinar pankreas. Berbagai mekanisme terjadi,
seperti disrupsi persinyalan kalsium di sel asinar, perubahan
tripsinogen menjadi tripsin oleh hidrolase lisosomal cathepsin-B,
dan berkurangnya aktivitas inhibitor tripsin pankreas intraseluler.
Ketika tripsin diaktifkan, akan timbul bervariasi enzim digestif
pankreas berbahaya yang nantinya akan menimbulkan inflamasi
intrapankreatik. Hal ini diikuti dengan inflamasi ekstrapankreatik

14
yang mampu menimbulkan sindrom respon inflamatori sistemik
(Garg, 2013).
Pankreatitis akut umumnya menimbulkan nyeri hebat pada
abdomen
dan tengah punggung, biasa dihubungkan dengan mual dan
muntah. Karena pankreatitis dapat menjadi parah dan mengancam
nyawa, perawatan rumah sakit dapat dibutuhkan. Dalam beberapa
kasus pankreatitis akut parah, syok dapat terjadi, dibutuhkan
perawatan intensif dan terapi suportif (Torpy, et al. 2012).

B. Parotitis
1) Definisi Parotitis
Parotitis adalah inflamasi salah satu kelenjar parotis, kelenjar
salivatori mayor yang terletak di kedua sisi wajah, pada manusia.
Kelenjar parotid adalah kelenjar salivatori yang paling umum
terkena inflamasi. Parotitis bakterial akut sering disebabkan oleh
infeksi bakteri Staphylococcus aureus tapi dapat juga disebabkan
oleh bakteri lain. Pada parotitis sebagai tuberculosis
extrapulmonari, myobakteri yang menyebabkan tuberkulosis dapat
juga menyebabkan infeksi parotis. Infeksi tersebut cenderung akan
membesar, padat, tapi menjadi kelenjar yang menyakitkan
(Surhone, 2010).
Parotitis ialah penyakit virus akut yang biasanya menyerang
kelenjar ludah terutama kelenjar parotis (sekitar 60% kasus).
Gejala khas yaitu pembesaran kelenjar ludah terutama kelenjar
parotis. Pada saluran kelenjar ludah terjadi kelainan berupa
pembengkakan sel epitel, pelebaran dan penyumbatan saluran.
Pada orang dewasa, infeksi ini bisa menyerang testis (buah zakar),
sistem saraf pusat, pankreas, prostat, payudara dan organ lainnya.
Adapun mereka yang beresiko besar untuk menderita atau tertular
penyakit ini adalah mereka yang menggunakan atau
mengkonsumsi obat-obatan tertentu untuk menekan hormon

15
kelenjar tiroid dan mereka yang kekurangan zat Iodium dalam
tubuh (Sumarmo,2008).
2) Etiologi Parotitis
Etiologi penyakit ini multifaktorial dan belum dapat dipahami
patogenesisnya secara pasti. Berkurangnya aliran saliva
diperkirakan menjadi faktor penting, karena ini menyebabkan
penampakan berulang dari infeksi ascenden dalam kelenjar parotid.
Ini menyebabkan destruksi asini lebih lanjut dan meningkatnya
mukosa pada saliva yang memperparah penyakit ini (Zhu, 2016).
Agen penyebab parotitis epidemika adalah anggota dari
kelompok paramyxovirus, yang juga termasuk didalamnya virus
parainfluenza, measles, dan virus newcastle disease. Virus ini aktif
dalam lingkungan yang kering tapi virus ini hanya dapat bertahan
selama 4 hari pada suhu ruangan. Lokasi yang dituju virus adalah
kalenjar parotis, ovarium, pancreas, tiroid, ginjal, jantung atau
otak. Virus masuk ke system saraf pusat melalui plexus choroideus
lewat infeksi pada sel mononuclear. Masa penyebaran virus ini
adalah 2-3 minggu melalui dari ludah, cairan serebrospinal, darah,
urin, otak dan jaringan terinfeksi lain. Virus dapat diisolasi dari
saliva 6-7 hari sebelum onset penyakit dan 9 hari sesudah
munculnya pembengkakan pada kalenjar ludah. Penularan terjadi
24 jam sebelum pembengkakan kalenjar ludah dan 3 hari setelah
pembengkakan menghilang (Sumarmo,2008)
3. Gambaran Klinis
Masa tunas 14-24 hari dimulai dengan stadium prodormal
lamanya 1-2 hari dengan gejala demam, anoreksia, sakit kepala,
muntah dan nyeri otot, suhu tubuh biasanya naik sampai 38,5-
39.5C kemudian timbul pembengakan kelenjar parotis yang mula-
mula unilateral kemudian dapat bilateral (tidak selalu).
Pembengkakan tersebut terasa nyeri, baik spontan maupun
perabaan terlebih bila pasien makan dan minum yang terasa asam.

16
Ini merupakan gejala khas untuk penyakit parotitis epidemika.
(Ngastiyah, 2007).

C. Kolelitiasis
1) Definisi
Kolelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliary
calculus. Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu
di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu merupakan
gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip
batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. Batu Empedu
adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu atau di dalam
saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu
disebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu
disebut koledokolitiasis. (Nucleus Precise Newsletter, edisi 72,
2011).

2) Etiologi
Kolelitiasis, batu atau kalkuli (batu empedu) di empedu,
disebabkan karena perubahan komponen empedu. Batu empedu
dibuat oleh kolesterol, kalsium bilirubinat, atau campuran
kolesterol dan pigmen bilirubin. Mereka meningkat selama periode
letargi empedu karena kehamilan, kontraseptif hormonal, diabetes
mellitus, penyakit celiac, sirosis hati, dan pankreatitis (Lippincott
Williams and Wilkins, 2009).
Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama
kolik dan asam chenodeoxycholic), 22% fosfolipid (lesitin), 4%
kolesterol, 3% protein dan 0,3% bilirubin. Komponen utama dari
batu empedu adalah kolesterol yang biasanya tetap berbentuk
cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh karena kolesterol, maka
kolesterol bisa menjadi tidak larut dan membentuk endapan di luar
empedu. (Nucleus Precise Newsletter, edisi 72, 2011).
3) Gejala Klinis

17
Meskipun penyakit empedu dapat tidak menunjukkan gejala,
kolelitiasis
akut memiliki gejala yang serupa dengan serangan empedu klasik.
Serangan tersebut biasa terjadi setelah makan makanan kaya lemak
atau terjadi saat malam hari, tiba-tiba dapat membangunkan pasien
(Lippincott Williams and Wilkins, 2009).
Gejala klinik yang timbul pada orang dewasa biasanya
dijumpai gejala dispepsia non spesifik, intoleransi makanan yang
mengandung lemak, nyeri epigastrium yang tidak jelas, tidak
nyaman pada perut kanan atas. Gejala ini tidak spesifik karena bisa
terjadi pada orang dewasa dengan atau tanpa kolelitiasis. (Nucleus
Precise Newsletter, edisi 72, 2011).

BAB V
KESIMPULAN

1 Enzim adalah protein yang berfungsi sebagai biokatalisator, senyawa yang


meningkatkan kecepatan reaksi kimia akan tetapi tidak merubah hasil
akhirnya.
2 Enzim katalisator berkaitan dengan reaktan yang disebut substrat, dimana
mengubah reaktan menjadi produk, lalu melepaskan hasilnya.
3 Kecepatan reaksi yang di katalisis enzim di pengaruhi oleh berbagai faktor
antara lain:
a Suhu
b pH

18
c Konsentrasi substrat
d Kecepatan awal reaksi
e Inhibitor
4 Aplikasi klinis yang berkaitan dengan enzim alpha amilase antara lain
pankreatitis, parotitis, dan insufisiensi ginjal.
5 Amilase adalah enzim yang dihasilkan oleh pankreas dan kelenjar saliva
6 Kelenjar saliva yang utama adalah kelenjar parotis, submandibularis dan
sublingualis.
7 Saliva mengandung dua tipe sekresi protein yang utama, yaitu sekresi serosa
dan sekresi mucus yang mengandung musin.
8 Kadar enzim amilase serum yang rendah juga menunjukkan beberapa
masalah kesehatan seperti penyakit ginjal, kerusakan pankreas seperti kanker
pankreas.

19
DAFTAR PUSTAKA
Balthazar, E.,J., Megibow, A., J., Mucelli, R. P. 2009. Imaging of the Pancreas:
Acute and Chronic Pancreatitis. Jerman: Springer

Berg, Jeremy M., Tymoczko, John L., and Stryer, Lubert. 2007. Biochemistry. 6th
ed. New York. N.Y.: W.H. Freeman and Company,
Campbell, Neil A; Reece; Mitchell. 2010. Student Study Guide for Biology.
Jakarta: Erlangga.
De Jong, Wim. R Sjamsuhidajat. 2010. Metode yang Digunakan di Lapangan
Bedah. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC.
Dr. H. Y. Kuncara Aplikasi klinis patofisiologi: Pemeriksaan dan manajemen,
edisi 2: 2009; Buku kedokteran EGC.

Garg, Pramod Kumar. 2013. Acute Pancreatitis. India: Elsevier

Goldbeter, A. 2013. Oscillatory enzyme reactions and MichaelisMentekinetics.


ELSEVIER. Vol 587 :2778- 2784
Hidalgo, M. 2010. Pancreatic Cancer. The New England Journal of Medicine: 3
(62). pp:1605-1617.

Illanes, A., Wilson, L., & Vera, C. 2014. Problem Solving in Enzyme Biocatalysis.
West Sussex: John Wiley & Sons Ltd.

Jimenez-Morales, David., Liang, Jie., Eisenberg, Bob. 2012. Ionizable Side


Chains at Catalytic Active Sites of Enzymes. Eur Biophys J. 2012
May ; 41(5): 449460.
Langley, W., C. 2007. Pancreatitis Research Advances. New York: Nova Science
Publishers, Inc.

Lippincott Williams and Wilkins. 2009. Professional Guide to Diseases. Cina:


Wolters Kluwer Health

Martini, Frederic H., Nath, J.L., & Bartholomew, E. 2012. Fundamentals of


Anatomy & Physiology Ninth Edition.San Francisco: Pearson
Education.

Murray, K Robert., Daryl K , Granner., Victor W, Rodwell. 2014. Biokimia


Harper. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

20
Nucleus Precise Newsletter. (2011). Batu Empedu. Jakarta : PT.Nucleus Precise
Rochmah, S. N., Sri Widayati, Mazrikhatul Miah. 2009. Biologi : SMA dan MA
Kelas XII. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta,
p. 282.

Saryono. 2011. Biokimia Enzim. Yogyakarta. Nuha Medika.

Seager, S., Slabaugh, M. 2014. Chemistry for Today: General, Organic, and
Biochemistry. Massachusetts: Cengage Learning.
Sherwood, L. 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta : EGC
Solomon, E., Berg, L., & Martin, D. 2010. Biology. Massachusetts: Cengage
Learning.

Suhara. 2009. Dasar- Dasar Biokimia. Bandung: Universitas Pendidikan


Indonesia.
Surhone, L., M., Timpledon, M.,T., Marseken, S., F. 2010. Parotitis. Amerika:
VDM Publishing

Torpy, J.,M., Lynm, C., Golub, R.,M. 2012. JAMA. Pancreatitis. Volume 307 (14)
page 1542

Wirawan, Riadi. 2012. FaalPankreas. Bio Medika Laboratorium Klinik Utama.


Vol. 22. Hal : 39-45.

Weng, Zhong-Yi., Huang, Feng-Yu., Lin, Wei-Chih., Chang, Hao-Tien Darby.


2011. A Study on The Flexibility of Enzyme Active Site. BMC
Bioinformatics 2011, 12 (Suppl 1):S32.
Torpy, J.,M., Lynm, C., Golub, R.,M. 2012. Pancreatitis. JAMA. Volume 307 (14)
page 1542

Zhu, W., Hu, F., Liu, X., Guo, S., Tao, Q. 2016.. Role of the Accessory Parotid
Gland in the Etiology of Parotitis: Statistical Analysis of Sialographic
Features. PloS ONE Volume 11 (2) page 0150212

21

Anda mungkin juga menyukai