Anda di halaman 1dari 22

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

REFERAT

MARET 2017

TRAUMA MEDULA SPINALIS

Disusun oleh:

Dewi Katarina (C11113017)

Faizah Afifah Salim (C11113111)

Nur Alam Sulaiman (C11113355)

Pembimbing:

dr. Mariana Sutopo


I. DEFINISI
Trauma medula spinalis adalah trauma langsung atau tidak langsung pada
tulang belakang yang menyebabkan lesi medula spinalis sehingga menimbulkan
gangguan neurologik, yang dapat berakibat kecacatan menetap atau kematian.
Tergantung letak kerusakan saraf spinalis dan jaringan saraf yang rusak, gejala yang
didapatkan bervariasi mulai dari nyeri, paralisis, sampai terjadinya inkontinensia.1
II. EPIDEMIOLOGI

Tingkat insidensi di Amerika Serikat per tahun mencapai 40 kasus baru per 1
juta penduduk setiap tahunnya atau diperkirakan sekitar 12.000 kasus baru per tahun. 3
Cedera ini umumnya melibatkan pria dewasa muda dengan rentang usia rata-rata 28
tahun (terutama antara 16-30 tahun). Hampir seluruh pasien cedera medula spinalis
(80,6%) adalah pria. Perbandingan rasio pria dan wanita yaitu 4:1 karena resiko yang
lebih tinggi pada kecelakaan lalu lintas, kekerasan, jatuh, dan cedera yang
berhubungan dengan rekreasi seperti diving.2,3

Mortalitas yang tinggi (50%) pada cedera medula spinalis umumnya terjadi
pada saat kondisi kecelakaan awal, sedangkan tingkat mortalitas bagi pasien yang
masih bertahan hidup dan dilarikan ke rumah sakit adalah 16%. 5 Tingkat harapan
hidup pada pasien dengan cedera medula spinalis menurun secara drastis apabila
dibandingkan pada populasi normal dan tingkat mortalitas jauh lebih tinggi tahun
pertama, apabila dibandingkan di tahun-tahun berikutnya. 2
III. ETIOLOGI
Sejak tahun 2005 etiologi utama cedera medula spinalis antara lain kecelakaan
lalu lintas (39,2%), jatuh (28,3%), kekerasan (luka tembak, 14,6%), olah raga
(terutama diving, 8,2%), akibat lainnya mencakup 9,7%.2

IV. ANATOMI
A. Columna Vertebra dan Medula Spinalis
Columna vertebralis yang membentuk canalis medula spinalis terdiri dari 33
segmen yang terdiri dari 7 segmen cervial, 12 segmen thorakal, 5 segmen lumbal,
5 segmen sacral dan 4 segmen coccygeus.5
Gambar IVA Anatomi Columna Vertebra dan Medula Spinalis
dikutip dari Baehr M, Frotscher M. Duus: Topical Diagnosis in Neurology 4 th ed. New York :

Thieme;20054

Medula Spinalis menempati 2/3 bagian atas kanalis spinalis pada dewasa
dalam kolumna vertebra. Ada 31 segmen medula spinalis terdiri dari 8 segmen
cervicalis (level foramen magnum-vertebra cervical 7), 12 segmen thoracalis
(level vertebra thorakal 1-vertebra thorakal 10), 5 segmen lumbalis (level thorakal
10-thorakal 12), dan 5 segmen sacralis + 1 segmen coccygeus (level lumbal 1-
lumbal 2).5
Semasa embrional, pertumbuhan medula Spinalis jauh lebih lambat dari pada
pertumbuhan columna vertebrae, sehingga pada waktu lahir ujung bawah medula
spinalis terletak setinggi corpus vertebra L1 L2. Keadaan ini tidak berubah lagi
dan disebut asensus medullae, sehingga akan tampak bahwa 6
1. segmen C3 terletak di belakang ruas corpus vertebra C2
2. segmen C6 terletak di belakang ruas corpus vertebra C4
3. segmen Th4 terletak di belakang ruas corpus vertebra Th1
4. segmen Th8 terletak di belakang ruas corpus vertebra Th5
5. segmen L1 terletak di belakang ruas corpus vertebra Th9
6. segmen L4 terletak di belakang ruas corpus vertebra Th11
7. segmen sakral terletak di belakang ruas Th12 L1.

Beberapa area penting yang bisa digunakan untuk diagnosis topis adalah
papilla mammae yang dipersarafi medula spinalis segmen Th4, Umbilicus yang
dipersarafi medula spinalis Th10, Lipat paha yang dipersarafi medula spinalis
pada Th.12-L1.6

B. Jaras Motorik

Gambar IVB Jaras Kortikospinalis


dikutip dari Baehr M, Frotscher M. Duus: Topical Diagnosis in Neurology 4 th ed. New York :

Thieme;20054
Nervus spinalis akan keluar dari medula spinalis ipsilateral. Ada tiga plexus
yang perlu dipahami agar kita dapat mengetahui kelainan motorik yang terjadi
yakni:
1. Plexus Cervicalis

Gambar VB1 Plexus Cervicalis (C1-C4)


dikutip dari Baehr M, Frotscher M. Duus: Topical Diagnosis in Neurology 4 th ed. New York :
Thieme;2005.Plexus brachialis keluar dari C5-Th1.4
2. Plexus brachialis

Gambar VB2 Plexus Brachialis (C5-Th1)


dikutip dari Baehr M, Frotscher M. Duus: Topical Diagnosis in Neurology 4 th ed. New York :
Thieme;2005.
3. Plexus Lumbosacralis
Gambar VB3 Plexus Lumbalis (L1-L4) dan Plexus Sacralis (L4-S4)
dikutip dari Baehr M, Frotscher M. Duus: Topical Diagnosis in Neurology 4 th ed. New York :

Thieme;2005. Plexus Lumbosacralis keluar dari L4-S4.4

Gambaran klinis yang didapatkan jika terjadi lesi adalah6


a. Setinggi plexus cervicalis segmen C1 C4 : tetraparese / plegia upper motor
neuron.
b. Setinggi plexus brachialis segmen C5 Th1: tetraparese / plegia : setinggi lesi
mengalami lesi lower motor neuron dan dibawah lesi mengalami lesi upper
motor neuron.
c. Setinggi Th 2 s/d bagian atas pleksus lumbosacral : paraparese / plegia upper
motor neuron.
d. Setinggi pleksus lumbosacral : paraparese / plegia lower motor neuron
e. Setinggi konus medularis : refleks anus negative

C. Jaras Sensorik
Gambar IVC Potongan melintang medulla spinalis
dikutip dari Baehr M, Frotscher M. Duus: Topical Diagnosis in Neurology 4 th ed. New York :
Thieme;2005

Gambar IVD Dermatom Sensorik


dikutip dari Baehr M, Frotscher M. Duus: Topical Diagnosis in Neurology 4 th ed. New York :

Thieme;2005.4
Jaras sensorik terdiri dari jaras spinothalamikus lateralis yang membawa nyeri
dan suhu yang menyilang satu segmen keatas kontralateralnya area reseptipnya,
jaras spinothalamikus anterior yang mebawa raba dan tekan menyilang tiga
segmen ke atas kontralateralnya area reseptipnya, jaras dorsal collum yang terdiri
dari fasciculus cuneatus dan gracilis yang membawa sensasi proprioseptif akan
menyilang pada lemniscus medialis di batang atak kontralateral dengan daerah
reseptifnya, jaras spinocerebellaris dorsal yang naik ipsilateral dan
spinocerebellaris anterior yang naik kontraateral dengan area reseptipnya.4
Dermatom sangat penting untuk mengetahui dimana saraf spinalis yang
terganggu jika area reseptip mengalami gangguan neurologik baik fungsi sensorik
maupun fungsi otonom.

D. Sistem Otonom

Gambar IVE Sistem Otonom


dikutip dari Baehr M, Frotscher M. Duus: Topical Diagnosis in Neurology 4 th ed. New York :

Thieme;2005.4

Pada C8-TH1 terdapat saraf simpatis untuk mempersarafi dilatasi dari


pupil dan musculus levator palpebrae sehingga jika terjadi lesi di yang
menyebabkan parese di daerah ini maka dapat terjadi sindrom horner. Pada S2-S4
terdapat persarafan parasimpatis yang mengontrol buang air besar dan kecil
sehingga jika terjadi masalah, maka fungsi otonom BAK dan BAB akan
terganggu. Hal yang penting juga dalam sistem otonom adalah keringat. Jika
medulla spinalis bagian lateralis yang mempersarafi suatu dermatom maka akan
terjadi anhidrosis pada area tersebut. Prinsip inilah yang digunakan dalam tes
perspirasi.4

E. Vaskularisasi Medula Spinalis

Gambar IVe
dikutip dari Baehr M, Frotscher M. Duus: Topical Diagnosis in Neurology 4 th ed. New York :

Thieme;2005.4

Medula spinalis memiliki vaskularisasi dari satu arteri spinalis anterior dan 2
arteri spinalis posterior. Arteri pada spinalis anterior memperdarahi 2/3 daerah
anterior medulla spinalis dan posterior memperdarahi 1/3 posterior.4 Sehingga
apabila terjadi kerusakan pada arteri spinalis anterior maka akan terjadi kerusakan
pada jaras kortikospinalis lateralis dan anterior, jaras spinocerebellaris dorsal dan
ventral, dan jaras spinolthalamicus anterior dan lateralis.

V. Patofisiologi
Lokasi trauma medulla spinalis berturut-turut dari yang paling umum, antara
lain daerah servikal (level C5-C6), thoracolumbar junction, thorakal, dan lumbal.
Mekanisme cedera umumnya merupakan aspek utama yang menentukan lokasi cedera
medulla spinalis. 8
Cedera sevikal dapat terjadi pada kecelakaan lalu lintas (akibat hiperekstensi
dan hiperfleksi), Terjatuh dari tangga yang menyebabkan hiperfleksi dan
hiperkekstensi leher, Posisi diving yang salah, dan cedera kompresi

Gambar V1. Mekanisme cedera anterofleksi


dikutip dari: Sheerin F. Spinal Cord Injury: Causation and Pathophysiology. Emerg Nurse 2005.9

Gambar V2 Mekanisme cedera fleksi dan dislokasi dari C5-C6 dengan robekan pada interspinous dan
posterior longitudinal ligaments, kapsul facet, dan diskus intervertebralis posterior.
dikutip dari: Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal Cord. In: Jones
HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netters Neurology. 2nd edition. Elsevier, Saunders. 2012. 10
Gambar V3
Mekanisme cedera
hiperekstensi.
dikutip dari:
Freidberg
SR, Magge
SN. Chapter
60. Trauma
to the Spine
and Spinal
Cord. In:
Jones HR,
Srinivasan J,
Allam GJ,
Baker RA.
Netters Neurology. 2nd edition. Elsevier, Saunders. 2012.10

Gambar V4 Cedera kompresi


dikutip dari: Freidberg SR, Magge SN. Chapter
60. Trauma to the Spine and Spinal Cord. In:
Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA.
Netters Neurology. 2nd edition. Elsevier,
Saunders. 2012. 10

Gambar V5 Cedera kompresi


dikutip dari: Freidberg SR, Magge SN.
Chapter 60. Trauma to the Spine and
Spinal Cord. In: Jones HR, Srinivasan J,
Allam GJ, Baker RA. Netters
Neurology. 2nd edition. Elsevier,
Saunders. 2012. 10

Cedera pada daerah


thoracolumbar biasanya terjadi
pada pasien dengan jatuh dengan kaki menumpu yang mengakibatkan fraktur
kompresi atau burst fracture.10
Cedera pada daerah lumbar biasanya terjadi pada pasien jatuh dengan
menumpu pantat.10
Adanya trauma pada medula spinalis menyebabkan munculnya gejala dan
tanda klinis akibat dari cedera primer dan sekunder. Terdapat 4 jenis mekanisme
cedera primer pada medula spinalis, antara lain benturan dengan kompresi persisten,
benturan dengan kompresi sementara, distraksi, dan laserasi/transection.11
Mekanisme cedera primer pertama adalah benturan disertai kompresi
persisten, yang terutama terjadi pada burst fracture dengan retropulsi dari fragmen
tulang yang memberikan kompresi pada medula spinalis (tear drop fracture), fraktur-
dislokasi, dan ruptur diskus akut.
Mekanisme cedera kedua yaitu benturan dengan kompresi sementara yang
contohnya terjadi pada cedera hiperekstensi di individu dengan penyakit degenerasi
servikal.
Mekanisme cedera ketiga adalah distraksi yaitu regangan kuat yang terjadi
pada medulla spinalis akibat gaya fleksi, ekstensi, rotasi atau dislokasi yang
menyebabkan (dapat menyebabkan gangguan perfusi) merupakan mekanisme ketiga.
Cedera distraksi ini merupakan salah satu penyebab terjadinya cedera medulla spinalis
tanpa ditemukan adanya kelainan pada pencitraan radiologi.
Mekanisme cedera terakhir yaitu laserasi dapat disebabkan oleh cedera karena
roket, luka karena senapan api, dislokasi dari fragmen tulang yang tajam, dan distraksi
hebat. Laserasi dapat menyebabkan transection total sampai cedera minor.
Seluruh mekanisme cedera primer menyebabkan kerusakan pada substansia
kelabu bagian sentral, tanpa kerusakan substansia alba (bagian perifer). Adanya
kecenderungan cedera pada bagian substansia kelabu dispekulasikan merupakan
akibat konsistensi yang lebih lunak dan adanya pembuluh darah yang lebih banyak.11
Cedera tersebut menyebabkan kerusakan pembuluh darah (microhemorrhage)
dalam hitungan menit awal pascatrauma sampai beberapa jam kedepan yang berlanjut
mengakibatkan iskemia dan hipoksia medula spinalis. Kerusakan terjadi akibat dari
kebutuhan metabolisme yang tinggi dari medula spinalis. Selain pembuluh darah,
neuron juga mengalami kerusakan (ruptur akson dan membran sel neuron) dan
transmisinya terganggu akibat adanya edema pada daerah cedera.Edema hebat medula
spinalis terjadi dalam hitungan menit awal dan nantinya berlanjut menyebabkan
iskemia cedera sekunder.11
Gambar V6 Cedera primer dan sekunder dari Spinal Cord Injury
dikutip dari: Dumont et al. Acute Spinal Cord Injury, Part I: Pathophysiologic Mechanisms. Clin
Neuropharmacol 2001;24(5):254-64. 11
Cedera primer merupakan penyebab dari kerusakan sekunder dari cedera
medulla spinalis. Mekanisme cedera sekunder meliputi shok neurogenik, gangguan
vaskular berupa perdarahan dan iskemia-reperfusi, eksitotoksisitas, kerusakan
sekunder akibat kalsium, gangguan cairan-elektrolit, cedera imunologis, apoptosis,
gangguan fungsi mitokondria, dan proses lainnya.

Cedera medula spinalis menurut ASIA ( American Spinal Injury Association)


diklasifikasikan secara umum menjadi complete dan incomplete berdasarkan Sacral
Sparring. Sacral Sparing merujuk pada ada tidaknya fungsi motorik maupun
sensorik pada segmen sakral terbawah yang ditentukan berdasarkan pemeriksaan
(masih adanya fungsi sensoris pada dermatom S4-5, sensasi deep anal pressure atau
kontraksi spinchter ani volunter). Cedera complete didefiniskan sebagai absennya
sacral sparring (i.e. fungsi sensorik dan motorik pada segmen S4-S5), sedangkan
cedera incomplete didefinisikan sebagai masih adanya sacral sparring (i.e. beberapa
fungsis S4-S5 yang masih tersisa).12

Pada lesi komplit atau complete cord transection terjadi disrupsi dari traktus
sensorik (termasuk traktus spinotalamik anterior dan lateral), motorik (kortikospinal
anterior dan lateral), dan fungsi otonom dari level lesi kebawah.
Pada lesi incomplete masih ada fungsi sensorik, mortorik dan otonom yang
tersisa. Lesi incomplete terdiri dari central cord syndrome, anterior cord syndrome,
posterior cord syndrome, brown sequard syndrome dan conus medullaris syndrome,

Gambar V7 Sindrom klasik medulla spinalis. (a) central cord syndrome, (b) anterior cord syndrome, (c)
brown sequard syndrome, dan (d) posterior cord syndrome
dikutip dari: Kaye AH. Chapter 16. Spinal Injuries. In: Kaye AH. Essential
Neurosurgery. 3rd Edition. Victoria, Blackwell Publishing. 2005.13

Central Cord syndrome (CCS) atau Schneider syndrome merupakan salah satu
sindrom lesi inkomplit dari medula spinalis yang paling umum dan terjadi akibat
cedera hiperekstensi pada daerah servikal dengan kompresi medula spinalis oleh
osteophyte secara anterior dan ligamentum flavum secara posterior. Sindrom ini
merupakan akibat dari proses patologi yang terjadi di dalam dan sekitar kanalis
sentralis sehingga pada lesi awal (lesi kecil) hanya traktus spinotalamik yang
mengalami penyilangan pada daerah tersebut saja yang terlibat. Seiring dengan
meluasnya lesi ke lateral, traktus kortikospinal akan terlibat dan menyebabkan
kelemahan motorik yang lebih bermakna di ekstremitas atas dibandingkan ekstremitas
bawah (tekanan sentral menyebabkan lesi lebih berat pada traktus yang lebih medial
yaitu traktus kortikospinal untuk ekstremitas atas).Penurunan fungsi sensorik
umumnya minimal, berbentuk shawl-like (seperti syal) atau nonspesifik dan terjadi
dibawah lesi.13
Anterior Cord Syndrome atau Anterior Spinal Artery Syndrome merupakan
sindroma klinis pada cedera medulla spinalis akibat retropulsi dari tulang atau diskus
yang mengakibatkan kompresi dan mengganggu perfusi dari medulla spinalis anterior
(anterior spinal artery).
Hal ini menyebabkan kerusakan pada traktus kortikospinal dan spinotalamik,
tetapi tidak pada traktus kolumna dorsalis (perfusi utama berasal dari posterior spinal
artery).Sindrom ini umumnya terjadi setelah cedera fleksi atau kompresi (axial
loading). Adanya kelemahan motorik, dan sensorik pada beberapa level dibawah level
motorik tanpa adanya gangguan bermakna pada fungsi proprioseptif, raba halus, dan
getaran sugestif mengarahkan diagnosis pada anterior cord syndrome.13
Posterior cord syndrome merupakan cedera pada daerah posterior medula
spinalis yang menyebabkan hilangnya fungsi proprioseptif, getaran, dan two-point
discrimination. Sindrom ini jarang terjadi pada trauma medula spinalis, dan seringnya
terasosiasi dengan multiple sclerosis. Adanya tanda Romberg yang positif, gaya jalan
ataksik (atau stomping), dan tanda Lhermitte yang positif merupakan tanda utama dari
sindrom ini. 13
Brown-Sequards syndrome (BSS) terjadi karena hemisection dari medula
spinalis akibat trauma tembus (baik karena pisau maupun luka tembak) atau fraktur
tulang belakang. Kondisi ini jarang terjadi, dan umumnya datang dengan presentasi
berupa parase motorik ipsilateral dibawah lesi, hilangnya fungsi sensorik untuk nyeri,
temperatur, dan raba pada kontralateral dari lesi, dan hilangnya fungsi proprioseptif
ipsilateral dari lesi.13
Conus medullaris syndrome melibatkan level pada vertebraT11-L1. Sindrom
ini terjadi akibat cedera pada thorakolumbal yang menyebabkan fragmen tulang atau
diskus mengkompresi daerah medula spinalis. Adanya disfungsi miksi dini dan
saddle-type anesthesia, kelemahan faccid ekstremitas bawah yang simetris, nyeri
minimal (bila dibandingkan dengan nyeri hebat pada cauda equina syndrome)
membedakan sindrom ini dengan cauda equina syndrome.13
VI. Diagnosis
1. Evaluasi Klinis
Evaluasi klinis pada pasien dengan trauma medula spinalis membutuhkan
penilaian status neurologis lengkap, namun serupa dengan pasien trauma lainnya
evaluasi klinis awal dilakukan observasi primer. Pada observasi primer, ABC
(Airway, Breathing,Circulation) dinilai terlebih dahulu. Setelah ketiga aspek
tersebut dinilai stabil, maka penilaian status neurologis baru dilaksanakan
(Disability).
Dugaan terhadap adanya cedera medula spinalis didapatkan melalui anamnesis
yang menyeluruh baik mengenai mekanisme trauma dan gejala yang berhubungan
dengan trauma pada daerah spinal (umumnya nyeri) dan adanya defisit motorik
atau sensorik. Selain itu, trauma medula spinalis akut harus diduga apabila
ditemukan adanya gejala otonom (retensio urin, konstipasi, ileus, hipotermia,
hipotensi, bradikardia), defsit motorik (hemiplegia, tetraplegia, paraplegia), dan
sensorik (hemianestesia, hemihipestesia). 3,14
2. Pemeriksaan penunjang
- Foto polos vertebra, merupakan langkah awal untuk mendeteksi kelainan-kelainan
yang melibatkan medula spinalis, kolumna vertebralis dan jaringan sekitarnya.
Pada trauma servikal digunakan foto AP, lateral dan odontoid. Pada cedera
thorakal dan lumbal, digunakan foto AP dan lateral.15

- CT-scan vertebra digunakan untuk evaluasi lebih lanjut. Pemeriksaan CT-scan


jauh lebih superior dibandingkan dengan foto polos karena dapat melihat dari
potongan sagital, koronal, atau potongan lainnya sesuai dengan keinginan. 10,16 CT-
scan ini dapat memperlihatkan struktur tulang, dan kanalis spinalis dalam
potongan aksial.
- MRI vertebra dapat memperlihatkan seluruh struktur internal medula spinalis
dalam sekali pemeriksaan.

3. PENATALAKSANAAN
Prinsip utama dari tatalaksana trauma medula spinalis adalah mencegah terjadi
kerusakan sekunder, reduksi dan stabilisasi dari trauma (tulang dan ligamen),
mencegah dan menangani komplikasi dari trauma medula spinalis, dan rehabilitasi.
Penanganan awal pasien trauma medula spinalis difokuskan pada survei
primer (ABCDE) secara cepat untuk memperbaiki tanda-tanda vital yang ada
merupakan tindakan yang harus dilakukan sejak pertama kali menemukan pasien
trauma, kemudian disusul dengan survei sekunder secara cepat untuk melihat gejala
dan tanda klinis untuk trauma medula spinalis. 7,13,17
A: airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal
B: breathing dan ventilasi
C: circulation dengan kontrol perdarahan
D: disabilitas (status neurologis)
E: exposure/environmental control
Setelah dilakukan penanganan awal, fokus selanjutnya adalah mencegah
komplikasi sistem respiratorik, kardiovaskuler, urologi, gastrointestinal, dan kulit.
1. Sistem respiratorik
Terjadinya komplikasi pada traktus respirasi merupakan penyebab morbiditas
dan mortalitas utama pada pasien trauma medula spinalis.18 Lesi yang berkaitan
dengan fungsi pernafasan adalah lesi setingkat C5 keatas, sedangkan lesi pada
tingkat torakal hanya mengganggu fungsi batuk. Pasien dengan lesi diatas C5
sebaiknya diintubasi dan menggunakan ventilasi mekanik karena penurunan
fungsi respirasi secara gradual dapat terjadi. Fungsi respirasi harus dimonitor
secara ketat dengan memeriksaan saturasi oksigen, kapasitas vital paru, dan
analisa gas darah secara berkala.7 Retensi sputum umumnya terjadi dalam
beberapa hari setelah cedera diakibatkan gangguan pada fungsi batuk yang efektif,
hal ini akan menyebabkan atelektasis dan pneumonia.7,18 Chest physiotherapy,
assisted cough dan latihan nafas secara reguler dapat mencegah atelektasis dan
infeksi paru.7
2. Sistem kardiovaskuler
Komplikasi pada sistem kardiovaskuler akibat trauma medula spinalis adalah
syok neurogenik akibat dari syok spinal. Pada umumnya syok neurogenik terjadi
pada lesi diatas T6 akibat hilangnya tonus simpatis. Hilangnya tonus tersebut
dapat menyebabkan vasodilatasi dan bradikardi yang menyebabkabkan hipotensi
dan syok. Syok pada trauma medula spinalis harus dibedakan antara hipovolemik
dan neurogenik karena apabila pada syok neurogenik diberikan terlalu banyak
cairan maka akan terjadi edema paru.7,19 Tatalaksana syok neurogenik antara lain
adalah pemberian cairan IV, vasopressor dengan karakteristik alpha dan beta
adrenergik, atropine untuk meningkatkan nadi, dan hindari hipotermia akibat
vasodilatasi.(19) Mean arterial pressure (MAP) harus ditargetkan diatas 70
mmHg.
Pada pasien dengan paraplegia atau tetraplegia akibat trauma medula spinalis
dapat memberikan komplikasi berupa tromboemboli. 7 Insiden emboli paru paling
tinggi terjadi pada minggu ke-3 setelah trauma dan merupakan penyebab kematian
paling umum pada pasien trauma medula spinalis yang berhasil selamat setelah
terjadinya trauma. Apabila tidak ada trauma kapitis atau toraks, strocking
antiembolism digunakan selama 2 minggu pertama setelah trauma dan
penggunaan antikoagulan dimulai dalam 72 jam setelah trauma selama 8-12
jam.7,18,19
3. Sistem urologi
Pada trauma medula spinalis berat, buli-buli tidak dapat mengeluarkan urin
secara spontan, dan pasien yang tidak ditangani lebih lanjut akan menyebabkan
retensi urin yang berlanjut pada refluks urin dan gagal ginjal. 7,19 Pasien trauma
medula spinalis harus segera dipasangkan kateter Foley. Waktu pulihnya refleks
kemih bervariasi, umumnya 6-8 minggu, tapi bisa mencapai 1 tahun.8
Komplikasi lain pada sistem urologi adalah infeksi saluran kemih. 18 Infeksi
simptomatik yang disertai demam, leukositosis, dan pyuria harus disertai dengan
antibiotik yang adekuat selama 7-14 hari, sedangkan infeksi asimtomatik tidak
perlu diterapi secara rutin.
4. Sistem gastrointestinal
Pada trauma medula spinalis, pasien setidaknya menerima cairan secara
intravena selama 48 jam karena dapat terjadi ileus paralitik pada trauma medula
spinalis berat.7 Pada pasien dengan ileus paralitik harus dipasangkan nasogatric
tube dan nil per oral yang dipasangkan sampai bising usus kembali normal. Dapat
terjadi distensi abdomen dan gangguan pergerakan diafragma apabila ileus
paralitik terjadi lama. Ulkus peptikum akut dapat terjadi dengan perdarahan atau
perforasi, walaupun tidak umum terjadi, namun komplikasi ini berbahaya. Oleh
karena itu, pemberian proton pump inhibitor (PPI) harus dimulai secepatnya dan
diberikan minimal 3 minggu setelah trauma.7,18
Evaluasi fungsi defekasi harus dilakukan sejak dini dan penatalaksanaan
dimulai secara agresif segera timbul bising usus dan motilitas usus normal.
Ketinggian lesi menentukan fungsi defekasi, antara lain lesi diatas T12
menyebabkan hiperefleksi dan spastik dari sfingter ani, sedangkan lesi
dibawahnya menyebabkan arefleksi dan flaccid dari sfingter ani.8 Metode
pengosongan usus dengan stimulasi anorektal, merangsang pola evakuasi pada
kolon distal.18
5. Kulit
Pada trauma medula spinalis sering terjadi ulkus dekubitus maka dari itu perlu
dilakukan pencegahan dini.18 Pada fase akut, pasien diposisikan miring kiri-miring
kanan setiap 2 jam untuk mencegah ulkus. Penggunaan matras busa atau air bisa
membantu mengurangi tekanan pada tonjolan tulang, namun posisi pasien tetap
harus diubah tiap 2 jam.

Pengobatan Farmakoterapi adalah dengan pemberian metilprednisolon dosis


tinggi, yaitu 30 mg/kg bolus selama 15 menit, lalu 45 menit setelah pemberian bolus
pertama lanjutkan dengan infus 5,4 mg/kg/jam selama 23 jam yang dimulai 8 jam
setelah trauma medula spinalis tertutup meningkatkan prognosis neurologis
pasien.Studi lain menambahkan bahwa terapi metilprednisolon yang dimulai 3 jam
setelah trauma harus dilanjutkan selama 24 jam, sedangkan yang dimulai 3-8 jam
pasca trauma harus dilanjutkan 48 jam.7,8

Setelah parameter sistemik sudah stabil, maka perhatia diarahkan pada stabilisasi
dan alignment dari tulang belakang dan medula spinalis.13 Setiap trauma medula
spinalis yang tidak stabil harus distabilkan untuk mencegah adanya kerusakan lebih
lanjut akibat pergerakan dan juga melepaskan kompresi medula spinalis.20 Pasien
dengan trauma medula spinalis daerah servikal dapat ditangani menggunakan skeletal
traction untuk mereduksi dislokasi, melepaskan kompresi pada medula spinalis pada
burst fracture, dan splint pada tulang belakang.20 Trauma medula spinalis pada daerah
torakolumbal terjadi umumnya karena gaya fleksi-rotasi. Penanganan konservatif
yang dilakukan yaitu dengan postural reduction di ranjang. 13,20
Pembedahan dilakukan untuk mengeluarkan fragmen tulang, benda asing,
reparasi hernia diskus atau fraktur vertebra yang mungkin menekan medula spinalis;
juga diperlukan menstabilisasikan vertebra untuk mencegah nyeri kronis.19

Daftar pustaka
1. Maja P. S., Junita, Diagnosis dan Penatalaksanaan cedera medula spinalis. Bagian
neurologi FK Universitas Sam Ratulangi Manado.
2. National Spinal Cord Injury Statistical Center. Spinal Cord Injury Facts and Figures at
a Glance. Birmingham, Alabama. 2012.
3. Gondim FAA. Spinal Cord Trauma and Related Diseases. Emedicine Medscape 2013.
http://emedicine.medscape.com/article/1149070-overview#a0199
4. Baehr M, Frotscher M. Duus: Topical Diagnosis in Neurology 4th ed. New York :
Thieme;2005.
5. Indonesian Neurological Association. Advanced Neurology Lie Support-Student
Course Manual; 2012.
6. Aulina S. Bahan kuliah: Diagnosa Topis. Makassar: Bagian Neurologi FKUH;2009.
7. Swain A, Grundy D. Chapter 4. Early Management and Complications. In: Grundy D,
Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. Fourth edition. BMJ Publishing Group, London.
2002. P. 17-20
8. Derwenskus J, Zaidat OO. Chapter 23. Spinal Cord Injury and Related
Diseases. In: Suarez JI. Critical Care Neurology and Neurosurgery. New
Jersey. Humana Press. 2004. p.417-32
9. Sheerin F. Spinal Cord Injury: Causation and Pathophysiology. Emerg Nurse 2005;
12(9):29-38

10. Freidberg SR, Magge SN. Cahpter 60. Trauma to the spine and Spinal Cord. In: Jones
HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netters Neurology. Second edition. Elsevier,
Saunders. 2012.
11. Dumont et al. Acute Spinal Cord Injury, Part I: Pathophysiologic Mechanisms. Clin
Neuropharmacol 2001;24(5):254-64

12. American Spinal Injury Association. International Standards for Neurological


Classifications of Spinal Cord Injury. revised ed. Chicago, Ill: American Spinal Injury
Association; 2000. 1-23.

13. Kaye AH. Chapter 16. Spinal Injuries. In: Kaye AH. Essential Neurosurgery. 3rd
Edition. Victoria, Blackwell Publishing. 2005.

14. Chin LS. Spinal Cord Injuries. Emedicine Medscape 2013.


http://emedicine.medscape.com/article/793582-overview#showall
15. Dr. George Dewanto, Sp.S dkk. 2009. Panduan praktis Diagnosis dan Tatalaksana
Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.
16. Grundy D, Swain A, Morris A. Chapter 3. Radiological investigations. In: Grundy D,
Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. Fourth edition. BMJ Publishing Group, London.
2002. P. 11-6
17. Castellano JM. Prehospital Management of Spinal cord Injuries. Emergencias 2007;
19:25-31.
18. Wahjoepramono EJ. Medula spinalis dan tulang belakang. Fakultas kedokteran
universitas pelita harapan, lippo Karawaci. 2007. P. 131-56
19. Consortium for Spinal cord Medicine. Early Acute Management in Adults with Spinal
cord injury: A clinical Practice Guideline for Health-Care Providers. J spinal cord med
2008;31(4):408-79
20. Grundy D, Swain A, Morris A. Chapter 5. Early management and complications. In:
Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. Fourth edition. BMJ Publishing
Group, London. 2002. P. 21-4

Anda mungkin juga menyukai