Informad Concent (ETIKA)
Informad Concent (ETIKA)
PENDAHULUAN
Pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang
diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat menempatkan tenaga keperawatan
sebagai tenaga kesehatan mayoritas yang sering berhubungan dengan pasien sebagai
pengguna jasa pelayanan rumah sakit. Perawat hadir 24 jam bersama pasien dan memiliki
hubungan yang lebih dekat dengan pasien dibandingkan tenaga kesehatan lain. Pelayanan
keperawatan berupa bantuan yang diberikan karena adanya kelemahan fisik dan/atau mental,
keterbatasan pengetahuan serta kurangnya kemauan melaksanakan kegiatan sehari-hari secara
mandiri.
Informed consent berasal dari hak legal dan etis individu untuk memutuskan apa yang
akan dilakukan terhadap tubuhnya, dan kewajiban etik dokter dan tenaga kesehatan lainnya
untuk meyakinkan individu yang bersangkutan untuk membuat keputusan tentang pelayanan
kesehatan terhadap diri mereka sendiri.
Tenaga kesehatan yang tidak menunaikan hak pasien untuk memberikan informed
consent yang jelas, bisa dikategorikan melanggar case law (merupakan sifat hukum medik)
dan dapat menimbulkan gugatan dugaan mal praktek. Belakangan ini masalah malpraktek
medik (medical malpractice) yang cenderung merugikan pasien semakin mendapatkan
perhatian dari masyarakat dan sorotan media massa. Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Kesehatan Pusat di Jakarta mencatat sekitar 150 kasus malpraktik telah terjadi di Indonesia.
Meskipun data tentang malpraktek yang diakibatkan oleh informed consent yang kurang jelas
belum bisa dikalkulasikan, tetapi kasus-kasus malpraktek baru mulai bermunculan.
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Mahasiswa
Agar mampu memahami tentang bagaimana pemberian informed consent pada pasien agar
dapat meningkatkan kesehatan di masyarakat.
Agar dapat memberikan penjelasan yang lebih luas tentang pemberian informed consent pada
pasien dan dapat lebih banyak menyediakan referensi-referensi buku tentang etika dan hukum
kesehatan.
Agar lebih mengerti dan memahami tentang pemberian informed consent pada pasien untuk
meningkatkan mutu kesehatan masyarakat.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu informed yang berarti telah mendapat
penjelasan atau keterangan (informasi), dan consent yang berarti persetujuan atau memberi
izin. Jadi informed consent mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan
setelah mendapat informasi. Dengan demikian informed consent dapat didefinisikan
sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan
mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan
dengannya.
1) Threshold elements
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke
arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten
disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Kompetensi manusia
untuk membuat keputusan sebenarnya merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak
memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh diantaranya terdapat berbagai
tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu.
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan berada
dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah
mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap
tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga
kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu.
2) Information elements
Terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan understanding (pemahaman).
Elemen ini berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga
medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien dapat
mencapai pemahaman yang adekuat. Dalam hal ini, seberapa baik informasi harus
diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar, yaitu :
Standar Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi,
sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat
keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional
medis memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup
apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.
3) Consent elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan
authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi
ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari tekanan yang dilakukan tenaga medis yang
bersikap seolah-olah akan dibiarkan apabila tidak menyetujui tawarannya
Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien),
maka pelaksanaan informed consent, bertujuan untuk:
a) Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan
medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan
medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi
pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya
tinggi atau over utilization yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya
3. Proteksi terhadap pasien sebagai subjek penerima pelayanan kesehatan (health care
receiver = HCR)
8. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan
Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada pengetahuan medis
pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu mengenai tanggung jawab orang
lain yang berperan serta dalam pengobatan pasien.
Di Florida dinyatakan bahwa setiap orang dewasa yang kompeten memiliki hak dasar
menentukan tindakan medis atas dirinya termasuk pelaksanaan dan penghentian pengobatan
yang bersifat memperpanjang nyawa. Beberapa pengadilan membolehkan dokter untuk tidak
memberitahukan diagnosis pada beberapa keadaan. Dalam mempertimbangkan perlu
tidaknya mengungkapkan diagnosis penyakit yang berat, faktor emosional pasien harus
dipertimbangkan terutama kemungkinan bahwa pengungkapan tersebut dapat mengancam
kemungkinan pulihnya pasien.
Pasien memiliki hak atas informasi tentang kecurigaan dokter akan adanya penyakit tertentu
walaupun hasil pemeriksaan yang telah dilakukan inkonklusif. Hak-hak pasien dalam
pemberian inform consent adalah:
Informasi yang diberikan meliputi diagnosis penyakit yang diderita, tindakan medik apa yang
hendak dilakukan, kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan tersebut dan tindakan untuk
mengatasinya, alternatif terapi lainnya, prognosanya, perkiraan biaya pengobatan.
Consent merupakan suatu tindakan atau aksi beralasan yg diberikan tanpa paksaan oleh
seseorang yang memiliki pengetahuan cukup tentang keputusan yang ia berikan ,dimana
orang tersebut secara hukum mampu memberikan consent. Kriteria consent yang syah yaitu
tertulis, ditandatangani oleh klien atau orang yang betanggung jawab, hanya ada salah satu
prosedur yang tepat dilakukan, memenuhi beberapa elemen penting, penjelasan tentang
kondisi, prosedur dan konsekuensinya. Hak persetujuan atas dasar informasi (Informed
Consent).
4. Hak perlindungan bagi orang yg tidak berdaya (lansia, gangguann mental, anak dan
remaja di bawah umur)
Hak pasien membuat keputusan sendiri untuk berpartisipasi, mendapatkan informasi yang
lengkap, menghentikan partisipasi dalam penelitian tanpa sangsi, bebas bahaya, percakapan
tentang sumber pribadi dan hak terhindar dari pelayanan orang yang tidak kompeten.
1. Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah
sakit
3. Hak memperoleh pelayanan keperawatan dan asuhan yang bermutu sesuai dengan
standar profesi keperawatan tanpa diskriminasi
4. Hak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai
dengan peraturan yg berlaku di rumah sakit
5. Hak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri
pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh
informasi yg jelas tentang penyakitnya
7. Hak menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal
itu tidak mengganggu pasien lainnya
8. Hak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit
9. Hak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit terhadap dirinya
11. Hak didampingi perawat atau keluarga pada saat diperiksa dokter
Peran merupakan sekumpulan harapan yang dikaitkan dengan suatu posisi dalam masyarakat.
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang,
sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Berhubungan dengan profesi keperawatan, orang
lain dalam definisi ini adalah orang-orang yang berinteraksi dengan perawat baik interaksi
langsung maupun tidak langsung terutama pasien sebagai konsumen pengguna jasa pelayanan
kesehatan di rumah sakit.
Peran perawat professional dalam pemberian informed consent adalah dapat sebagai client
advocate dan educator. Client advocate yaitu perawat bertanggung jawab untuk membantu
klien dan keluarga dalam menginterpretasikan informasi dari berbagai pemberi pelayanan dan
dalam memberikan informasi lain yang diperlukan untuk mengambil persetujuan (informed
consent) atas tindakan keperawatan yang diberikan kepadanya. A client advocate is an
advocate of clients rights. Sedangkan educator yaitu sebagai pemberi pendidikan kesehatan
bagi klien dan keluarga.
1. Hasil Pemeriksaan
Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Misalnya
perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila infomasi sudah diberikan, maka
keputusan selanjutnya berada di tangan pasien.
1. Risiko
Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya antisipasi yang
dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi idiosinkratik dan kematian yang
tak terduga akibat pengobatan selama ini jarang diungkapkan dokter. Sebagian kalangan
berpendapat bahwa kemungkinan tersebut juga harus diberitahu pada pasien.
Jika seorang dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan terdapat
alternatif pengobatan lain yang lebih aman, ia harus memberitahukannya pada pasien. Jika
seorang dokter tidak yakin pada kemampuannya untuk melakukan suatu prosedur terapi dan
terdapat dokter lain yang dapat melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.
1. Alternatif
Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan terapi. Ia harus
dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya yang ditimbulkan dari beberapa
pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan terapi
yaitu obat, iodium radioaktif, dan subtotal tiroidektomi. Dokter harus menjelaskan prosedur,
keberhasilan dan kerugian serta komplikasi yang mungkin timbul.
1. Prognosis
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien)
bertindak sebagai subyek hukum yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban,
sedangkan jasa tindakan medis sebagai obyek hukum yakni sesuatu yang bernilai dan
bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu
perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun
oleh dua pihak.
Dalam masalah informed consent dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping
terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat
melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum
administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang
digunakan adalah kesalahan kecil (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam
tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum
berlaku adagium barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah kesalahan
berat (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan
tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan
medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien),
sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka
dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan
suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas
tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, informed consent mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan
invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa
tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis
dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa informed
consent benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien
dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang
seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan.
Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah
untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal
tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap,
sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang
berkenaan dengan informed consent ini.
1. Bagi pasien
b) Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak ada waktu
untuk tanya jawab
c) Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu mencerna
informasi
d) Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.
Kualitas informasi sangat ditentukan oleh pengetahuan, pengalaman, selera, dan iman
seseorang mengolah stimulus menjadi informasi. Burch (1986:5) mengatakan bahwa sebuah
informasi yang berkualitas sangat ditentukan oleh kecermatan (accuracy), tepat waktu
(timeliness) dan relevansinya (relevancy). Keakuratan informasi adalah bila informasi
tersebut terbebas dari bias. Informasi dikatakan tepat waktu bila dihasilkan pada saat
diperlukan. Adapun relevansi suatu informasi berhubungan dengan kepentingan pengambilan
keputusan yang telah direncanakan.
Dengan telah dijelaskannya kegunaan dari pemasangan alat tersebut oleh perawat diharapkan
akan meningkatkan kerja sama perawat dan orang tua yang pada gilirannya diharapkan akan
menurunkan tingkat kecemasan orang tua(Setiawan,1992,Sachari, 1996, Whaley and Wongs,
1999).
1) Tingkat pendidikan
Semakin tinggi pendidikan orang tua akan semakin luas wawasan pengetahuan dan akan
semakin mudah untuk menerima dan mengangkat informasi yang disampaikan. Tingkat
pendidikan ini akan berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi, penerimaan informasi oleh
petugas kesehatan serta menentukan penilaian objektif dan kognitif terhadap pengalaman
prioritas yang lain (Andrew, MC. Ghie, 1999).
2) Pengalaman
Pengalaman adalah sesuatu yang telah dihayati (Purwardaminta, 1991). Pengalama baik
bersifat efektif dan kognitif akan mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan
terhadap kehidupannya, pengalaman juga dapat terjadi setelah melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera yaitu penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba, sebagian besar pengethuan manusia diperoleh
melalui mata dan telinga (Andrew, MC. Ghie, 1999).
Nilai sosial adalah segala sesuatu yang mendasari perilaku seseorang yang ditinjau dari segi
nilai-nilai, kemanusiaan pengaruh dari individu lain dan sebagainya. Sistem nilai yang
dianut oleh sesorang akan dapat mempengaruhi pola pikir, sikap, dan tindakan yang diambil
untuk mencapai tujuan. Dalam pembangunan kesehatan, aspek tingkah laku yang didasari
oleh faktor sosial budaya perlu mendapat perhatian, karena umumnya program kesehatan
lebih berhasil apabila intensitas tingkah laku sosial budaya individu ataupun masyarakat tidak
begitu kuat (Azwar, 1996).
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hak pasien yang pertama adalah hak atas informasi. Dalam UU No 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan, pasal 53 dengan jelas dikatakan bahwa hak pasien adalah hak atas informasi dan
hak memberikan persetujuan tindakan medik atas dasar informasi (informed consent). Jadi,
informed consent merupakan implementasi dari kedua hak pasien tersebut. Hak pasien
tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dilindungi Undang-Undang.
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara
dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak
akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai
perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang
ditawarkan pihak lain.
Peran perawat dalam informed consent terutama adalah membantu pasien untuk mengambil
keputusan pada tindakan pelayanan kesehatan sesuai dengan lingkup kewenangannya setelah
diberikan informasi yang cukup oleh tenaga kesehatan. Dasar filosofi tersebut bertujuan
untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan yang terintegrasi sehingga dapat mewujudkan
keadaan sejahtera.
Definisi operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu
pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada dokter untuk
melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi informasi secukupnya.
Secara umum, seorang dokter diharuskan memperoleh suatu informed consent (persetujuan
medik) dari pasien sebelum melakukan pengobatan. Bahwa seorang anak terlalu muda atau
imatur untuk memberi persetujuannya sendiri tidak membebaskan seorang dokter dari
kewajibannya memperoleh suatu persetujuan medik.
3.2 Saran
Diharapkan mampu memahami tentang bagaimana pemberian informed consent pada pasien
agar dapat meningkatkan kesehatan di masyarakat.
Diharapkan dapat memberikan penjelasan yang lebih luas tentang pemberian informed
consent pada pasien dan dapat lebih banyak menyediakan referensi-referensi buku tentang
etika dan hukum kesehatan.
Diharapkan lebih mengerti dan memahami tentang pemberian informed consent pada pasien
untuk meningkatkan mutu kesehatan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja. 2005. Bioetik dan Hukum
Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum. Penerbit Pustaka Dwipar.
M.jusuf H & Amri Amir. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. EGC. Jakarta. 1999.