Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pelaksanaan pelayanan kesehatan dalam rangka mempertahankan kesehatan yang


optimal harus dilakukan bersama-sama, oleh semua tenaga kesehatan sebagai konsekuensi
dari kebijakan.

Pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang
diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat menempatkan tenaga keperawatan
sebagai tenaga kesehatan mayoritas yang sering berhubungan dengan pasien sebagai
pengguna jasa pelayanan rumah sakit. Perawat hadir 24 jam bersama pasien dan memiliki
hubungan yang lebih dekat dengan pasien dibandingkan tenaga kesehatan lain. Pelayanan
keperawatan berupa bantuan yang diberikan karena adanya kelemahan fisik dan/atau mental,
keterbatasan pengetahuan serta kurangnya kemauan melaksanakan kegiatan sehari-hari secara
mandiri.

Keperawatan merupakan salah satu profesi tenaga kesehatan menurut Peraturan


Pemerintah No. 32 Tahun 1996. Perawat diposisikan sebagai salah satu dari profesi tenaga
kesehatan yang menempati peran yang setara dengan tenaga kesehatan lain. Perjalanan
awalnya perawat hanya dianggap okuvasi (pekerjaan) saja yang tidak membutuhkan
profesionalisme. Sejalan dengan perkembangan ilmu dan praktek keperawatan, perawat
sudah diakui sebagai suatu profesi, sehingga pelayanan atau asuhan keperawatan yang
diberikan harus didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan.

Dalam memberikan pelayanan kesehatan, perawat harus terlebih dahulu memberikan


informed consent kepada pasien. Persetujuan tindakan medik atau informed consent adalah
persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Persetujuan dapat diberikan
secara tertulis maupun lisan, tetapi setiap tindakan medik yang mengandung resiko tinggi
harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang hendak memberikan
persetujuan.

Informed consent berasal dari hak legal dan etis individu untuk memutuskan apa yang
akan dilakukan terhadap tubuhnya, dan kewajiban etik dokter dan tenaga kesehatan lainnya
untuk meyakinkan individu yang bersangkutan untuk membuat keputusan tentang pelayanan
kesehatan terhadap diri mereka sendiri.

Dalam permenkes 585/Men.Kes/Per/ IX/1989 tentang persetujuan medik pasal 6 ayat


1 sampai 3 disebutkan bahwa yang memberikan informasi dalam hal tindakan bedah adalah
dokter yang akan melakukan operasi, atau bila tidak ada, dokter lain dengan pengetahuan
atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab. Dalam hal tindakan yang bukan bedah
(operasi) dan tindakan invasif lainnya, informasi dapat diberikan oleh dokter lain atau
perawat, dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab.
Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan pasal 22 ayat 1 disebutkan bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam
melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk diantaranya adalah kewajiban untuk
menghormati hak pasien, memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan
yang akan dilakukan, dan kewajiban untuk meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan
dilakukan.

Tenaga kesehatan yang tidak menunaikan hak pasien untuk memberikan informed
consent yang jelas, bisa dikategorikan melanggar case law (merupakan sifat hukum medik)
dan dapat menimbulkan gugatan dugaan mal praktek. Belakangan ini masalah malpraktek
medik (medical malpractice) yang cenderung merugikan pasien semakin mendapatkan
perhatian dari masyarakat dan sorotan media massa. Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Kesehatan Pusat di Jakarta mencatat sekitar 150 kasus malpraktik telah terjadi di Indonesia.
Meskipun data tentang malpraktek yang diakibatkan oleh informed consent yang kurang jelas
belum bisa dikalkulasikan, tetapi kasus-kasus malpraktek baru mulai bermunculan.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah Informed Consent pada pasien?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Menjelaskan Informed Consent pada pasien

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menjelaskan pengertian Informed consent

2. Menjelaskan komponen-komponen Informed consent

3. Menjelaskan tujuan pelaksanaan Informed Consent

4. Menjelaskan fungsi pemberian Informed Consent

5. Menjelaskan ruang lingkup informed consent

6. Menjelaskan peran perawat dalam pemberian Informed Consent

7. Menjelaskan hal hal yang di informasikan pada pasien

8. Menjelaskan aspek hukum Informed Consent

9. Menjelaskan hal-hal yang mempengaruhi proses Informed Consent

10. Menjelaskan kualitas Informasi yang di berikan

1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Mahasiswa

Agar mampu memahami tentang bagaimana pemberian informed consent pada pasien agar
dapat meningkatkan kesehatan di masyarakat.

1.4.2 Bagi Institusi

Agar dapat memberikan penjelasan yang lebih luas tentang pemberian informed consent pada
pasien dan dapat lebih banyak menyediakan referensi-referensi buku tentang etika dan hukum
kesehatan.

1.4.3 Bagi Masyarakat

Agar lebih mengerti dan memahami tentang pemberian informed consent pada pasien untuk
meningkatkan mutu kesehatan masyarakat.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu informed yang berarti telah mendapat
penjelasan atau keterangan (informasi), dan consent yang berarti persetujuan atau memberi
izin. Jadi informed consent mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan
setelah mendapat informasi. Dengan demikian informed consent dapat didefinisikan
sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan
mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan
dengannya.

Menurut D. Veronika Komalawati, SH , informed consent dirumuskan sebagai suatu


kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap
dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat
dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin
terjadi.

2.2 Komponen-komponen Informed Consent

1) Threshold elements

Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke
arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten
disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Kompetensi manusia
untuk membuat keputusan sebenarnya merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak
memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh diantaranya terdapat berbagai
tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu.

Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan berada
dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah
mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap
tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga
kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu.
2) Information elements

Terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan understanding (pemahaman).
Elemen ini berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga
medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien dapat
mencapai pemahaman yang adekuat. Dalam hal ini, seberapa baik informasi harus
diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar, yaitu :

Standar Praktik Profesi

Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria keadekuatan informasi ditentukan


bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas tenga medis. Dalam standar ini ada
kemungkinan bakebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat,
misalnya resiko yang tidak bermakna (menurut medis) tidak diinformasikan, padahal
mungkin bermakna dari sisi sosial pasien.

Standar Subyektif

Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi,
sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat
keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional
medis memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.

Standar pada reasonable person

Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup
apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.

3) Consent elements

Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan
authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi
ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari tekanan yang dilakukan tenaga medis yang
bersikap seolah-olah akan dibiarkan apabila tidak menyetujui tawarannya

2.3 Tujuan Pelaksanaan Informed Consent

Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien),
maka pelaksanaan informed consent, bertujuan untuk:

a) Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan
medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan
medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi
pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya
tinggi atau over utilization yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya

b) Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-


tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan
bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak mungkin dihindarkan
walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik.
Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali
jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan
(ignorancy) yang sebenarnya tidak akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya.

2.4 Fungsi Pemberian Informed Consent

1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia

2. Penghormatan terhadap hak otonomi perorangan yaitu hak untuk menentukan


nasibnya sendiri

3. Proteksi terhadap pasien sebagai subjek penerima pelayanan kesehatan (health care
receiver = HCR)

4. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien

5. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter

6. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional

7. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan

8. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan

9. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk melakukan introspeksi


terhadap diri sendiri.

2.5 Ruang Lingkup Informed Consent

Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada pengetahuan medis
pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu mengenai tanggung jawab orang
lain yang berperan serta dalam pengobatan pasien.

Di Florida dinyatakan bahwa setiap orang dewasa yang kompeten memiliki hak dasar
menentukan tindakan medis atas dirinya termasuk pelaksanaan dan penghentian pengobatan
yang bersifat memperpanjang nyawa. Beberapa pengadilan membolehkan dokter untuk tidak
memberitahukan diagnosis pada beberapa keadaan. Dalam mempertimbangkan perlu
tidaknya mengungkapkan diagnosis penyakit yang berat, faktor emosional pasien harus
dipertimbangkan terutama kemungkinan bahwa pengungkapan tersebut dapat mengancam
kemungkinan pulihnya pasien.

Pasien memiliki hak atas informasi tentang kecurigaan dokter akan adanya penyakit tertentu
walaupun hasil pemeriksaan yang telah dilakukan inkonklusif. Hak-hak pasien dalam
pemberian inform consent adalah:

1. Hak atas informasi

Informasi yang diberikan meliputi diagnosis penyakit yang diderita, tindakan medik apa yang
hendak dilakukan, kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan tersebut dan tindakan untuk
mengatasinya, alternatif terapi lainnya, prognosanya, perkiraan biaya pengobatan.

1. Hak atas persetujuan (Consent)

Consent merupakan suatu tindakan atau aksi beralasan yg diberikan tanpa paksaan oleh
seseorang yang memiliki pengetahuan cukup tentang keputusan yang ia berikan ,dimana
orang tersebut secara hukum mampu memberikan consent. Kriteria consent yang syah yaitu
tertulis, ditandatangani oleh klien atau orang yang betanggung jawab, hanya ada salah satu
prosedur yang tepat dilakukan, memenuhi beberapa elemen penting, penjelasan tentang
kondisi, prosedur dan konsekuensinya. Hak persetujuan atas dasar informasi (Informed
Consent).

1. Hak atas rahasia medis

2. Hak atas pendapat kedua (Second opinion)

3. Hak untuk melihat rekam medik

4. Hak perlindungan bagi orang yg tidak berdaya (lansia, gangguann mental, anak dan
remaja di bawah umur)

5. Hak pasien dalam penelitian

Hak pasien membuat keputusan sendiri untuk berpartisipasi, mendapatkan informasi yang
lengkap, menghentikan partisipasi dalam penelitian tanpa sangsi, bebas bahaya, percakapan
tentang sumber pribadi dan hak terhindar dari pelayanan orang yang tidak kompeten.

1. Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah
sakit

2. Hak memperoleh pelayanan yg adil dan manusiawi

3. Hak memperoleh pelayanan keperawatan dan asuhan yang bermutu sesuai dengan
standar profesi keperawatan tanpa diskriminasi

4. Hak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai
dengan peraturan yg berlaku di rumah sakit
5. Hak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri
pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh
informasi yg jelas tentang penyakitnya

6. Hak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis

7. Hak menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal
itu tidak mengganggu pasien lainnya

8. Hak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit

9. Hak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit terhadap dirinya

10. Hak menerima atau menolak bimbingan moral maupun spiritual

11. Hak didampingi perawat atau keluarga pada saat diperiksa dokter

2.6 Peran Perawat dalam Pemberian Informed Consent

Peran merupakan sekumpulan harapan yang dikaitkan dengan suatu posisi dalam masyarakat.
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang,
sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Berhubungan dengan profesi keperawatan, orang
lain dalam definisi ini adalah orang-orang yang berinteraksi dengan perawat baik interaksi
langsung maupun tidak langsung terutama pasien sebagai konsumen pengguna jasa pelayanan
kesehatan di rumah sakit.

Peran perawat professional dalam pemberian informed consent adalah dapat sebagai client
advocate dan educator. Client advocate yaitu perawat bertanggung jawab untuk membantu
klien dan keluarga dalam menginterpretasikan informasi dari berbagai pemberi pelayanan dan
dalam memberikan informasi lain yang diperlukan untuk mengambil persetujuan (informed
consent) atas tindakan keperawatan yang diberikan kepadanya. A client advocate is an
advocate of clients rights. Sedangkan educator yaitu sebagai pemberi pendidikan kesehatan
bagi klien dan keluarga.

2.7 Hal hal yang dapat di informasikan

1. Hasil Pemeriksaan

Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Misalnya
perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila infomasi sudah diberikan, maka
keputusan selanjutnya berada di tangan pasien.

1. Risiko
Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya antisipasi yang
dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi idiosinkratik dan kematian yang
tak terduga akibat pengobatan selama ini jarang diungkapkan dokter. Sebagian kalangan
berpendapat bahwa kemungkinan tersebut juga harus diberitahu pada pasien.

Jika seorang dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan terdapat
alternatif pengobatan lain yang lebih aman, ia harus memberitahukannya pada pasien. Jika
seorang dokter tidak yakin pada kemampuannya untuk melakukan suatu prosedur terapi dan
terdapat dokter lain yang dapat melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.

1. Alternatif

Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan terapi. Ia harus
dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya yang ditimbulkan dari beberapa
pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan terapi
yaitu obat, iodium radioaktif, dan subtotal tiroidektomi. Dokter harus menjelaskan prosedur,
keberhasilan dan kerugian serta komplikasi yang mungkin timbul.

1. Rujukan atau konsultasi

Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa kemampuan dan


pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi pada pasien-pasien tertentu.
Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus merujuk saat ia merasa tidak mampu
melaksanakan terapi karena keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter
lain yang dapat menangani pasien tersebut lebih baik darinya.

1. Prognosis

Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele, ketidaknyamanan, biaya,


kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak mendapat pengobatan atau tidak
mendapat tindakan apapun. Pasien juga berhak mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa
yang terjadi dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan yang
dapat diduga oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan bagian dari
informed consent.

2.8 Aspek Hukum Informed Consent

Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien)
bertindak sebagai subyek hukum yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban,
sedangkan jasa tindakan medis sebagai obyek hukum yakni sesuatu yang bernilai dan
bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu
perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun
oleh dua pihak.

Dalam masalah informed consent dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping
terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat
melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum
administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang
digunakan adalah kesalahan kecil (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam
tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum
berlaku adagium barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah kesalahan
berat (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan
tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.

Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan
medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien),
sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka
dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan
suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas
tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;

Aspek Hukum Pidana, informed consent mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan
invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa
tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis
dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.

Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa informed
consent benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien
dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang
seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan.

Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah
untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal
tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap,
sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang
berkenaan dengan informed consent ini.

2.9 Hal-hal yang Mempengaruhi Proses Informed Consent

1. Bagi pasien

a) Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis

b) Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak ada waktu
untuk tanya jawab

c) Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu mencerna
informasi
d) Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.

1. Bagi petugas kesehatan

a) Pasien tidak mau diberitahu.

b) Pasien tak mampu memahami.

c) Resiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi.

d) Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit.

2.10 Kualitas Informasi yang di berikan

Kualitas informasi sangat ditentukan oleh pengetahuan, pengalaman, selera, dan iman
seseorang mengolah stimulus menjadi informasi. Burch (1986:5) mengatakan bahwa sebuah
informasi yang berkualitas sangat ditentukan oleh kecermatan (accuracy), tepat waktu
(timeliness) dan relevansinya (relevancy). Keakuratan informasi adalah bila informasi
tersebut terbebas dari bias. Informasi dikatakan tepat waktu bila dihasilkan pada saat
diperlukan. Adapun relevansi suatu informasi berhubungan dengan kepentingan pengambilan
keputusan yang telah direncanakan.

Informasi yang tidak adekuat sering menimbulkan masalah dalam menginterpretasikan


perawatan klien di Rumah Sakit seperti kecemasan pada keluarga menolak dilakukan
tindakan medik atau tindakan keperawatan invasif.

Adekuatnya informasi sangat dipengaruhi oleh kemampuan perawat dalam menyampaikan


pesan melalui komunikasi terapeutik, pengetahuan dan pemahaman dasar tentang penyakit.
Dalam melaksanakan tindakan invasif hal-hal yang perlu diinformasikan adalah:

1. Alasan dilakukan tindakan tersebut.

2. Manfaat atau kegunaannya.

3. Langkah-langkah yang akan dilakukan.

4. Persiapan yang akan dibutuhkan.

5. Cara perawatan setelah pemasangan alat tersebut.

Dengan telah dijelaskannya kegunaan dari pemasangan alat tersebut oleh perawat diharapkan
akan meningkatkan kerja sama perawat dan orang tua yang pada gilirannya diharapkan akan
menurunkan tingkat kecemasan orang tua(Setiawan,1992,Sachari, 1996, Whaley and Wongs,
1999).

Penerimaan informasi bagi seseorang dipengaruhi oleh:

1) Tingkat pendidikan
Semakin tinggi pendidikan orang tua akan semakin luas wawasan pengetahuan dan akan
semakin mudah untuk menerima dan mengangkat informasi yang disampaikan. Tingkat
pendidikan ini akan berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi, penerimaan informasi oleh
petugas kesehatan serta menentukan penilaian objektif dan kognitif terhadap pengalaman
prioritas yang lain (Andrew, MC. Ghie, 1999).

2) Pengalaman

Pengalaman adalah sesuatu yang telah dihayati (Purwardaminta, 1991). Pengalama baik
bersifat efektif dan kognitif akan mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan
terhadap kehidupannya, pengalaman juga dapat terjadi setelah melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera yaitu penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba, sebagian besar pengethuan manusia diperoleh
melalui mata dan telinga (Andrew, MC. Ghie, 1999).

3) Nilai sosial dan budaya

Nilai sosial adalah segala sesuatu yang mendasari perilaku seseorang yang ditinjau dari segi
nilai-nilai, kemanusiaan pengaruh dari individu lain dan sebagainya. Sistem nilai yang
dianut oleh sesorang akan dapat mempengaruhi pola pikir, sikap, dan tindakan yang diambil
untuk mencapai tujuan. Dalam pembangunan kesehatan, aspek tingkah laku yang didasari
oleh faktor sosial budaya perlu mendapat perhatian, karena umumnya program kesehatan
lebih berhasil apabila intensitas tingkah laku sosial budaya individu ataupun masyarakat tidak
begitu kuat (Azwar, 1996).

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Hak pasien yang pertama adalah hak atas informasi. Dalam UU No 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan, pasal 53 dengan jelas dikatakan bahwa hak pasien adalah hak atas informasi dan
hak memberikan persetujuan tindakan medik atas dasar informasi (informed consent). Jadi,
informed consent merupakan implementasi dari kedua hak pasien tersebut. Hak pasien
tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dilindungi Undang-Undang.
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara
dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak
akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai
perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang
ditawarkan pihak lain.

Peran perawat dalam informed consent terutama adalah membantu pasien untuk mengambil
keputusan pada tindakan pelayanan kesehatan sesuai dengan lingkup kewenangannya setelah
diberikan informasi yang cukup oleh tenaga kesehatan. Dasar filosofi tersebut bertujuan
untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan yang terintegrasi sehingga dapat mewujudkan
keadaan sejahtera.

Definisi operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu
pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada dokter untuk
melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi informasi secukupnya.

Secara umum, seorang dokter diharuskan memperoleh suatu informed consent (persetujuan
medik) dari pasien sebelum melakukan pengobatan. Bahwa seorang anak terlalu muda atau
imatur untuk memberi persetujuannya sendiri tidak membebaskan seorang dokter dari
kewajibannya memperoleh suatu persetujuan medik.

3.2 Saran

3.2.1 Bagi Mahasiswa

Diharapkan mampu memahami tentang bagaimana pemberian informed consent pada pasien
agar dapat meningkatkan kesehatan di masyarakat.

3.2.2 Bagi Institusi

Diharapkan dapat memberikan penjelasan yang lebih luas tentang pemberian informed
consent pada pasien dan dapat lebih banyak menyediakan referensi-referensi buku tentang
etika dan hukum kesehatan.

3.2.2 Bagi Masyarakat

Diharapkan lebih mengerti dan memahami tentang pemberian informed consent pada pasien
untuk meningkatkan mutu kesehatan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja. 2005. Bioetik dan Hukum
Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum. Penerbit Pustaka Dwipar.

J. Guwandi. Informed consent Consent. FKUI. Jakarta. 2004.

M.jusuf H & Amri Amir. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. EGC. Jakarta. 1999.

Anonim. (2012). Persetujuan dan Penolakan terhadap Tindakan Medis.


http://informedconsent_a1.webs.com/persetujuanpenolakan.htm. Diakses pada tanggal 01
November 2012, pukul 11.35 WIB

Anonim. (2012). Mengenal Informed Consent. http://www.scribd.com/doc/ 22040447/All-


About-Informed-Consent. Diakses pada tanggal 01 November 2012, pukul 11.35 WIB

Anda mungkin juga menyukai