Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN KOLESTASIS


DI RUANG ANAK LANTAI DASAR RSUP Dr. KARYADI SEMARANG

Untuk memenuhi tugas praktek klinik stase keperawatan anak

Disusun Oleh :
Tunjung Tejo Mukti
NIM : G3A016080

Ttd Pembimbing Klinik

PROGRAM STUDI PROFFESI NERS


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2016/2017
KOLESTASIS

A. Definisi
Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk duodenum dalam jumlah
normal. Gangguan dapat terjadi mulai dari membrana-basolateral dari hepatosit sampai
tempat masuk saluran empedu ke dalam duodenum. Dari segi klinis didefinisikan sebagai
akumulasi zat-zat yang diekskresi kedalam empedu seperti bilirubin, asam empedu, dan
kolesterol didalam darah dan jaringan tubuh. Secara patologi-anatomi kolestasis adalah
terdapatnya timbunan trombus empedu pada sel hati dan sistem bilier (Arief, 2010).
Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk ke dalam duodenum dalam
jumlah yang normal. Secara klinis, kolestasis dapat didefinisikan sebagai akumulasi zat-zat
yang diekskresi ke dalam empedu seperti bilirubin, asam empedu dan kolesterol di dalam
darah dan jaringan tubuh. Berdasarkan rekomendasi North American Society for Pediatric
Gastroenterology, Hepatology and Nutrition (NASPGHAN), kolestasis terjadi apabila kadar
bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl, bila bilirubin total kurang dari 5 mg/dl, sedangkan bila
kadar dari bilirubin total lebih dari 5 mg/dl, kadar bilirubin direk lebih dari 20% dari
bilirubin total (Benchimol dkk., 2009; Bhatita, 2014).
Kolestasis adalah kondisi yang terjadi akibat terhambatnya aliran empedu dari
saluran empedu ke intestinal. Kolestasis terjadi bila ada hambatan aliran empedu dan bahan-
bahan yang harus diekskresi hati (Nazer, 2010).

B. Etiologi
Penyebab cholestasis dibagi menjadi 2 bagian : intrahepatic cholestasis dan
ekstrahepatic cholestasis. Pada intrahepatic cholestasis terjadi akibat gangguan pada sel hati
yang terjadi akibat : infeksi bakteri yang menimbulkan abses pada hati, biliary cirrhosis
primer, virus hepatitis, lymphoma, cholangitis sclerosing primer, infeksi tbc atau sepsis,
obat-obatan yang menginduksi cholestasis. Pada extrahepatic cholestasis, disebabkan oleh
tumor saluran empedu, cista, striktur (penyempitan saluran empedu), pankreatitis atau tumor
pada pankreas, tekanan tumor atau massa sekitar organ, cholangitis sklerosis primer. Batu
empedu adalah salah satu penyebab paling umum dari saluran empedu diblokir. Saluran
empedu diblokir mungkin juga hasil dari infeksi, kanker atau jaringan parut internal. Parut
dapat memblokir saluran empedu, yang dapat mengakibatkan kegagalan hati (Richard,
2002).

C. Patofisiologi
Empedu adalah cairan yang disekresi hati berwarna hijau kekuningan merupakan
kombinasi produksi dari hepatosit dan kolangiosit. Empedu mengandung asam empedu,
kolesterol, phospholipid, toksin yang terdetoksifikasi, elektrolit, protein dan bilirubin
terkonyugasi. Kolesterol dan asam empedu merupakan bagian terbesar dari empedu sedang
bilirubin terkonyugasi merupakan bagian kecil. Bagian utama dari aliran empedu adalah
sirkulasi enterohepatik dari asam empedu. Hepatosit adalah sel epetelial dimana permukaan
basolateralnya berhubungan dengan darah portal sedang permukaan apikal (kanalikuler)
berbatasan dengan empedu. Hepatosit adalah epitel terpolarisasi berfungsi sebagai filter dan
pompa bioaktif memisahkan racun dari darah dengan cara metabolisme dan detoksifikasi
intraseluler, mengeluarkan hasil proses tersebut kedalam empedu.Salah satu contoh adalah
penanganan dan detoksifikasi dari bilirubin tidak terkonyugasi (bilirubin indirek).
Bilirubin tidak terkonyugasi yang larut dalam lemak diambil dari darah oleh
transporter pada membran basolateral, dikonyugasi intraseluler oleh enzim UDPGTa yang
mengandung P450 menjadi bilirubin terkonyugasi yang larut air dan dikeluarkan kedalam
empedu oleh transporter mrp2. mrp2 merupakan bagian yang bertanggungjawab terhadap
aliran bebas asam empedu. Walaupun asam empedu dikeluarkan dari hepatosit kedalam
empedu oleh transporter lain, yaitu pompa aktif asam empedu. Pada keadaan dimana aliran
asam empedu menurun, sekresi dari bilirubin terkonjugasi juga terganggu menyebabkan
hiperbilirubinemia. Proses yang terjadi di hati seperti inflamasi, obstruksi, gangguan
metabolik dan iskemia menimbulkan gangguan pada transporter hepatobilier menyebabkan
penurunan aliran empedu dan hiperbilirubinemi terkonjugasi (Areif, 2010).
Perubahan fungsi hati pada kolestasis
Pada kolestasis yang berkepanjangan terjadi kerusakan fungsional dan structural :
1. Proses transpor hati
Proses sekresi dari kanalikuli terganggu, terjadi inversi pada fungsi polaritas dari
hepatosit sehingga elminasi bahan seperti bilirubin terkonyugasi, asam empedu, dan
lemak kedalam empedu melalui plasma membran permukaan sinusoid terganggu.
2. Transformasi dan konjugasi dari obat dan zat toksik
Pada kolestasis berkepanjangan efek detergen dari asam empedu akan menyebabkan
gangguan sitokrom P-450. Fungsi oksidasi, glukoronidasi, sulfasi dan konyugasi akan
terganggu.
3. Sintesis protein
Sintesis protein seperti alkali fosfatase dan GGT, akan meningkat sedang produksi serum
protein albumin-globulin akan menurun.
4. Metabolisme asam empedu dan kolesterol
Kadar asam empedu intraseluler meningkat beberapa kali, sintesis asam empedu dan
kolesterol akan terhambat karena asam empedu yang tinggi menghambat HMG-CoA
reduktase dan 7 alfa-hydroxylase menyebabkan penurunan asam empedu primer
sehingga menurunkan rasio trihidroksi/dihidroksi bile acid sehingga aktifitas hidropopik
dan detergenik akan meningkat. Kadar kolesterol darah tinggi tetapi produksi di hati
menurun karena degradasi dan eliminasi di usus menurun.
5. Gangguan pada metabolisme logam
Terjadi penumpukan logam terutama Cu karena ekskresi bilier yang menurun. Bila kadar
ceruloplasmin normal maka tidak terjadi kerusakan hepatosit oleh Cu karena Cu
mengalami polimerisasi sehingga tidak toksik.
6. Metabolisme cysteinyl leukotrienes
Cysteinyl leukotrienes suatu zat bersifat proinflamatori dan vasoaktif dimetabolisir dan
dieliminasi dihati, pada kolestasis terjadi kegagalan proses sehingga kadarnya akan
meningkat menyebabkan edema, vasokonstriksi, dan progresifitas kolestasis. Oleh
karena diekskresi diurin maka dapat menyebabkan vaksokonstriksi pada ginjal.
7. Mekanisme kerusakan hati sekunder
a. Asam empedu, terutama litokolat merupakan zat yang menyebabkan kerusakan hati
melalui aktifitas detergen dari sifatnya yang hidrofobik. Zat ini akan melarutkan
kolesterol dan fosfolipid dari sistim membran sehingga intregritas membran akan
terganggu. Maka fungsi yang berhubungan dengan membran seperti Na+, K+-
ATPase, Mg++-ATPase, enzim-enzim lain dan fungsi transport membran dapat
terganggu, sehingga lalu lintas air dan bahan-bahan lain melalui membran juga
terganggu.Sistem transport kalsium dalam hepatosit juga terganggu. Zat-zat lain yang
mungkin berperan dalam kerusakan hati adalah bilirubin, Cu, dan cysteinyl
leukotrienes namun peran utama dalam kerusakan hati pada kolestasis adalah asam
empedu.
b. Proses imunologis
Pada kolestasis didapat molekul HLA I yang mengalami display secara abnormal
pada permukaan hepatosit, sedang HLA I dan II diekspresi pada saluran empedu
sehingga menyebabkan respon imun terhadap sel hepatosit dan sel kolangiosit.
Selanjutnya akan terjadi sirosis bilier (Nazer, 2010).

D. Klasifikasi
Berdasarkan lokasi anatominya kolestasis dapat dibagi menjadi 2 yaitu : kolestasis
intrahepatik dan kolestasis ekstrahepatik.
1. Kolestasis intrahepatic
Kolestasis intrahepatik bisa juga disebut dengan kolestasis hepatoseluler. Kolestasis
intrahepatik merupakan 68% dari kasus kolestasis. Kolestasis intrahepatik terjadi karena
kelainan pada hepatosit atau elemen duktus biliaris intrahepatik. Hal ini mengakibatkan
terjadinya akumulasi, retensi serta regurgitasi bahan-bahan yang merupakan komponen
empedu seperti bilirubin, asam empedu serta kolesterol ke dalam plasma, dan
selanjutnya pada pemeriksaan histopatologis akan ditemukan penumpukan empedu di
dalam sel hati dan sistem biliaris di dalam hati (Bisanto, 2011; Ermaya, 2014).
2. Kolestasis ekstrahepatik
Kolestasis ekstrahepatik merupakan 32% dari kasus kolestasis dan sebagian besar adalah
atresia bilier. Kolestasis ekstrahepatik terdapat penyumbatan atau obstruksi saluran
empedu ekstrahepatik. Penyebab utama kolestasis tipe ini adalah proses imunologis,
infeksi virus terutama Cytomegalo virus, Reo virus tipe 3, asam empedu yang toksik,
iskemia dan kelainan genetik. Akibat dari penyebab tersebut maka akan terbentuk
kelainan berupa nekroinflamasi, yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan dan
pembuntuan saluran empedu ekstrahepatik (Arief, 2012; Ermaya, 2014). Atresia bilier
merupakan salah satu contoh kolestasis ekstrahepatik dan merupakan penyebab yang
paling sering ditemukan. Deteksi dini kolestasis ekstrahepatik yang disebabkan oleh
atresia bilier merupakan langkah yang sangat penting, karena metode pengobatan untuk
atresia biler adalah dengan pembedahan hepatik-portoenterostomi yang biasa dikenal
dengan nama operasi Kasai, operasi ini kurang efektif apabila umur pasien sudah lebih
dari 2 bulan (Lee dkk., 2010).

E. Manifestasi Klinis
Bayi ikterus sampai usia dua minggu pada umumnya disebabkan oleh peningkatan
bilirubin indirek dan mencapai kadar puncak pada usia 5-7 hari. Bayi yang mengalami
peningkatan kadar biliribin direk akan mengalami ikterus setelah usia dua minggu.
Manifestasi klinis yang dapat dijumpai pada pasien kolestasis adalah ikterus atau kulit dan
mukosa berwarna ikterus yang berlangsung lebih dari dua minggu, urin berwarna lebih
gelap, tinja warnanya lebih pucat atau fluktuatif sampai berwarna dempul (akholik) (Arief,
2012; Oswari, 2014).
Pemeriksaan fisik pasien kolestasis dapat dijumpai hepatomegali, splenomegali,
gagal tumbuh, dan wajah dismorfik. Tanda lain yang dapat dijumpai pada pasien dengan
kolestasis adalah hipoglikemia yang biasanya ditemukan pada penyakit metabolik,
hipopituitarisme atau kelainan hati yang berat, perdarahan oleh karena defisiensi vitamin K,
hiperkolesterolemia, xanthelasma, sedangkan kasus asites masih jarang ditemukan (Bisanto,
2011; Ermaya, 2014).

F. Komplikasi dan Prognosis


1. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dari kolestasis neonatus ini adalah hyperlipidemia atau
xantelasma dan gagal hati.
2. Prognosis
Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat dioperasi, gambaran
histologik porta hepatis, kejadian penyulit kolangitis, dan pengalaman ahli bedahnya
sendiri. Bila operasi dilakukan pada usia < 8 minggu maka angka keberhasilannya 71-
86%, sedangkan bila operasi dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka
keberhasilannya hanya 34-43,6%. Sedangkan bila operasi tidak dilakukan, maka angka
keberhasilan hidup 3 tahun hanya 10% dan meninggal rata-rata pada usia 12 bulan. Anak
termuda yang mengalami operasi Kasai berusia 76 jam. Jadi faktor-faktor yang
mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat dilakukan operasi > 60 hari, adanya
gambaran sirosis pada sediaan histologik had, tidak adanya duktus bilier ekstrahepatik
yang paten, dan bila terjadi penyulit hipertensi portal.

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang sangat penting dilakukan untuk mengetahui tipe kolestasis.
Pada pemeriksaan penunjang terdapat beberapa metode pemeriksaan yang mencakup:
pemeriksaan laboratorium, ultrasonografi, biopsi hati dan kolangiografi intraoperatif
(Benchimol dkk., 2009; Bisanto, 2011; Ermaya, 2014).
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan kadar bilirubin merupakan pemeriksaan laboratorium rutin yang
dilakukan untuk pasien dengan kolestasis, dengan mengetahui hasil dari komponen
bilirubin kita dapat membedakan antara kolestasis dengan hiperbilirubinemia
fisiologis. Dikatakan kolestasis apabila didapatkan kadar billirubin direk lebih dari 1
mg/dl bila billirubin total kurang dari 5 mg/dl atau kadar billirubun direk lebih dari
20% apabila kadar billirubin total lebih dari 5 mg/dl.
b. Peningkatan kadar SGOT/SGPT >10 kali dengan peningkatan gamma GT <5 kali,
lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler, sedangkan apabila dari hasil
laboratorium didapatkan peningkatan SGOT/SGPT <5 kali dengan peningkatan
gamma GT >5 kali, hal ini lebih mengarah kepada kolestasis ekstrahepatik.
c. Aminotransferase serum meningkat lebih dari 2-4 kali nilai normal, maka hal ini
menunjukkan adanya proses infeksi.
d. Pemeriksaan alkali phosphatase yang biasanya meningkat pada pasien yang
mengalami kolestasis.
e. Serum lipoprotein-X meningkat pada kolestasis yang disebabkan oleh obstruksi.
f. Peningkatan kolesterol, penurunan kadar albumin, masa protrombin biasanya normal
tetapi mungkin memanjang, yang dapat dikoreksi dengan vitamin K.
g. Kadar gula darah pasien bisa didapatkan hipoglikemia, untuk mendeteksi kelainan
yang berhubungan dengan metabolik.
h. Pemeriksaan TORCH untuk menelusuri terhadap kemungkinan adanya infeksi
Toksoplasma, Cytomegalo virus, Rubella, dan Herpes.
i. Pemeriksaan FT4 dan TSH.
j. Pemeriksaan biakan bakteri (biakan urin dan darah).
k. Pemeriksaan hepatitis B dan pemeriksaan kadar -1 antitripsin.
Khusus untuk pemeriksaan tinja biasa disebut dengan pemeriksaan tinja 3
porsi (dilihat tinja akholik pada tiga periode dalam sehari). Kolestasis ekstrahepatik
hampir selalu menyebabkan manifestasi berupa tinja akholik (Girard dan Lacaille,
2008; Tufano dkk., 2009; Oswari, 2014).
Cara pemeriksaan tinja tiga porsi ini adalah :
1) Porsi I diambil pada pukul 06.00 14.00
2) Porsi II diambil pada pukul 14.00 22.00
3) Porsi III diambil pada pukul 22.00 06.00
Ketiga sampel tinja tersebut dimasukan ke dalam wadah yang berwarna gelap
kemudian setiap harinya dievaluasi apabila sudah terkumpul tiga sampel. Apabila
dalam beberapa hari pemeriksaan didapatkan hasil tinja yang berwarna dempul,
maka kemungkinan besar pasien tersebut mengalami kolestasis ekstrahepatik.
Pada pasien dengan kolestasis intrahepatik biasanya hasil pemeriksaan tinja yang
diperiksa hasilnya normal.
2. Ultrasonografi
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) merupakan salah satu teknik pemeriksaan untuk
mendeteksi kolestasis pada pasien. Dengan pemeriksaan USG dapat diketahui ukuran,
keadaan hati, dan kandung empedu. Pemeriksaan ini relatif murah harganya dengan
teknik yang sangat sederhana, serta efektifitasnya mencapai 80%. Ultrasonografi dapat
mendeteksi adanya tanda triangular cord dibagian atas percabangan vena porta.
Ultrasonografi memiliki sensitivitas 85%, spesifisitas 100%, dan akurasi 95% untuk
mendiagnosis atresia bilier ekstrahepatik (Oswari, 2007; Bisanto, 2011). Sebelum
dilakukan pemeriksaan USG pasien harus dipuasakan minimal selama 4 jam. Kemudian,
setelah pemeriksaan USG yang pertama pasien diberikan minum dan diperiksa USG
kembali. Panjang kandung empedu yang normal akan tampak 1,5 cm, sedangkan pada
60% pasien atresia bilier ektrahepatik tidak akan tampak (Bisanto, 2011). Pada pasien
dengan kolestasis intrahepatik, pada saat pasien dipuasakan akan terlihat kandung
empedu yang normal dan pada umumnya akan terisi cairan empedu sehingga mudah
terlihat dengan pemeriksaan USG. Setelah pasien diberikan minum, kandung empedu
akan mengalami kontraksi sehingga ukurannya akan lebih kecil dan tidak terlihat dengan
pemeriksaan USG. Kolestasis ekstrahepatik yang disebabkan oleh atresia bilier terjadi
karena adanya proses obstruksi di hati, sehingga pada saat pasien dipuasakan kandung
empedu tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan USG. Keadaan lain yang mengarah
kemungkinan atresia bilier, apabila saat puasa kandung empedu terlihat ukurannya kecil
dan setelah diberikan minum ukurannya tidak terjadi perubahan (Benchimol, 2009;
Oswari, 2014).
3. Biopsi hati
Biopsi hati merupakan cara yang paling akurat untuk mendiagnosis bayi dengan
kolestasis. Berdasarkan data-data yang didapatkan dari penelitian sebelumnya, pasien
kolestasis yang disebabkan oleh atresia bilier dapat dideteksi sekitar 90%-95% dengan
biopsi hati. Pada atresia bilier dapat ditemukan gambaran proliferasi duktus biliaris, bile
plug, portal track edema, dan fibrosis. Sedangkan pada pasien dengan hepatitis neonatal
idiopatik dengan metode ini akan didapatkan gambaran pembengkakan sel difus,
transformasi giant cell, dan nekrosis hepatoseluler fokal (Oswari, 2007).
4. Kolangiografi intraoperatif
Kolangiografi merupakan prosedur yang tidak selalu dikerjakan pada kolestasis, karena
merupakan prosedur yang sulit dan berbahaya, tetapi tingkat akurasinya sangat tinggi
sekitar 98% untuk mendiagnosis atresia bilier. Pemeriksaan dengan metode
kolangiografi intraoperatif sangat tergantung terhadap hasil histopatologi hati. Apabila
dari hasil histopatologi hati mengarah pada atresia bilier atau hasil yang diperoleh masih
belum bisa untuk menyingkirkan atresia bilier, maka diperlukan tindakan laparatomi
eksplorasi. Pada saat dilakukan laparatomi, pemeriksaan langsung terhadap keadaan
kandung empedu dan sistem bilier sangat diperlukan untuk melihat adanya obstruksi
pada sistem bilier (Oswari, 2007; Bisanto, 2011).
Kolestasis yang disebabkan oleh atresis bilier, kandung empedunya terlihat kecil dan
fibrotik diikuti fibrosis difus sistem bilier ekstrahepatik. Kolangiografi dilakukan untuk
menentukan patensi sistem bilier, sebuah jarum atau kateter diinsersikan ke kandung
empedu, kemudian disuntikan zat kontras sambil diamati dengan fluoroskopi untuk
menentukan luasnya obstruksi dan variasi anatominya. Variasi anatomi yang umum
dipakai adalah menurut Japanese Society Of Pediatric Surgeon, yang membagi keadaan
ini menjadi 3 tipe. Tipe 1 atresia meliputi terutama duktus biliaris komunis, tipe 2 atresia
bilier naik sampai keduktus hepatikus komunis dan tipe 3 atresia bilier mengenai seluruh
sistem bilier ekstrahepatik (Oswari, 2007).

H. Penatalaksanaan
Secara garis besar tata laksana pasien dengan kolestasis terbagi menjadi dua bagian,
yaitu :
1. Penatalaksanaan kausal
Terapi spesifik kolestasis sangat tergantung dari penyebabnya. Kolestasis ekstrahepatik
yang disebabkan oleh atresia bilier, tindakan operasi Kasai dan transpalantasi hati
merupakan cara yang efektif untuk tata laksananya. Tindakan operasi Kasai efektif bila
dikerjakan pada umur <6 minggu dengan angka keberhasilan mencapai 80-90%, apabila
dilakukan pada umur 10-12 minggu angka keberhasilannya hanya sepertiga saja. Tata
laksana kolestasis intrahepatik dengan medikamentosa sesuai dengan penyebab
merupakan tata laksana yang tepat (Benchimol, 2009; Putra dan Karyana, 2010; Bisanto,
2011).
2. Penatalaksanaan suportif
Tata laksana suportif kolestasis bertujuan untuk menunjang pertumbuhan dan
perkembangan seoptimal mungkin. Tata laksana suportif meliputi: (Oswari, 2007; Putra
dan Karyana, 2010, Bisanto, 2011).
a. Medikamentosa
Pemberian medikamentosa pada kolestasis bertujuan untuk meningkatkan aliran
empedu. Medikamentosa yang biasanya diberikan antara lain:
1) Asam ursodeoksikolat
Obat ini umumnya digunakan sebagai agen pilihan pertama pada pruritus yang
disebabkan kolestasis. Disamping itupula obat ini berfungsi sebagai
hepatoprotektor. Dosis yang diberikan adalah: 1020 mg/kgBB/Hari.
2) Kolestramin
Obat ini dapat digunakan untuk menghilangkan gatal-gatal dan menghalangi
sirkulasi enterohepatik. Dosis: 0,25-0,5 g/kgbb/hari.
b. Nutrisi
Kekurangan energi protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari kolestasis.
Penurunan eksresi asam empedu menyebabkan gangguan pada lipolisis intraluminal,
solubilisasi dan absorbsi trigliserid rantai panjang. Bayi dengan kolestasis
membutuhkan asupan kalori yang lebih tinggi dibanding bayi normal untuk mengejar
pertumbuhan. Untuk menjaga tumbuh kembang bayi seoptimal mungkin dengan
terapi nutrisi, digunakan formula khusus dengan jumlah kalori 120-150% dari
kebutuhan normal serta vitamin, mineral dan trace element :
1) Kebutuhan kalori umumnya dapat mencapai 130-150% kebutuhan bayi normal
sesuai dengan berat badan ideal. Kebutuhan protein 2-3 gr/kgbb/hari.
2) Vitamin yang larut dalam lemak: vitamin A 5000-25000 IU/hari, vitamin D
Calcitriol 0,05-0,2 ug/kgbb/hari, vitamin E 25-50 IU/kgbb/hari, dan vitamin K 2-
5 mg (IM) selama 3 hari berturut-turut apabila pasien dengan pemanjangan faal
hemostasis, pasien tanpa pemanjangan faal hemostasis berikan vitamin K 2-5 mg
(IM) setiap 2-3 minggu.
c. Dukungan psikologis dan edukasi keluarga terutama penderita dengan kelainan hati
yang progresif yang memerlukan transplantasi hati (Oswari, 2007; Putra dan
Karyana, 2010; Bisanto, 2011).
I. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Pengkajian
1. Anamnesis
Riwayat kehamilan dan kelahiran: infeksi ibu pada saat hamil atau melahirkan, berat
lahir, lingkar kepala, pertumbuhan janin (kolestasis intrahepatik umumnya berat lahirnya
< 3000 g dan pertumbuhan janin terganggu). Riwayat keluarga : riwayat kuning, tumor
hati, hepatitis B, hepatitis C, hemokro-matosis, perkawinan antar keluarga. Resiko
hepatitis virus B/C (transfusi darah, operasi, dll) paparan terhadap toksin/obat-obat.
2. Data subjektif dan objektif
a. Bagaimana nafsu makan klien
b. Berapa kali makan dalam sehari
c. Banyaknya makan dalam satu kali makan
d. Apakah ada mual muntah
e. Bagaimana pola eliminasinya
f. Apakah ada anoreksia
g. Apakah ada rasa nyeri pada daerah hepar
h. Apakah ada gatal-gatal pada seluruh tubuh (pruritus)
i. Bagaimanakah warna fesesnya
j. Bagaimanakah warna urinnya
3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan dahulu
Apakah ada tanda-tanda infeksi dahulu pada ibu, apakah ibu pernah mengkonsumsi
obat-obatan yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Pada umumnya bayi masuk rumah sakit dengan keluhan tubuh bayi berwarna kuning
dan ada rasa gatal-gatal dari tubuh bayi.
c. Riwayat keluarga
Adanya riwayat keluarga yang menderita kolestasis, maka kemungkinan besar
merupakan suatu kelainan genetik/metabolik.
4. Pengkajian fisik
Meliputi pengkajian komposisi keluarga, lingkungan rumah dan komunitas, pendidikan
dan pekerjaan anggota keluarga, fungsi dan hubungan anggota keluarga, kultur dan
kepercayaan, perilaku yang dapat mempengaruhi kesehatan, persepsi keluarga tentang
penyakit klien dan lain-lain. Pengkajian secara umum dilakukan dengan metode head to
toe yang meliputi: keadaan umum dan status kesadaran, tanda-tanda vital, area kepala
dan wajah, dada, abdomen, eksteremitas, dan genita-urinaria.
a. Pemeriksaan fisik abdomen antaralain :
1) Inspeksi
a) Lihat keadaan klien apakah kurus, ada edema pada muka atau kaki
b) Lihat warna rambut, kering dan mudah dicabut
c) Mata cekung dan pucat
d) Lihat warna kulit pasien ada warna kuning atau tidak
e) Lihat seluruh tubuh pasien ada bekas garukan karena gatal-gatal atau tidak
2) Auskultasi
a) Dengar denyut jantung apakah terdengar bunyi S1, S2, S3 serta S4
b) Dengarkan bunyi peristaltik usus
c) Dengarkan bunyi paru paru terutama weezing dan ronchi
3) Perkusi
a) Perut apakah terdengar adanya shitting duilnees
b) Bagaimana bunyinya pada waktu melakukan perkusi
4) Palpasi
a) Hati : bagaimana konsistensinya, kenyal, licin dan tajam pada permukaannya,
berapa besarnya dan apakah ada nyeri tekan
b) Limpa : apakah terjadi pembesaran limpa
c) Tungkai : apakah ada pembesaran pada tungkai
5) Pertumbuhan (berat badan, lingkar kepala)
6) Kulit : ikterus, spider angiomata, eritema palmaris, edema
7) Mata : ikterik (Arief, 2010).

J. Diagnosa Keperawatan
1. Diare berhubungan dengan kontaminasi ditandai dengan klien dikeluhkan BAB encer,
BAB lebih dari 6-8 kali sehari.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan factor
biologi : mual muntah ditandai dengan klien tampak kurus, nafsu makan menurun, klien
dikeluhkan muntah.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan pigmentasi ditandai dengan
kulit klien tampak kuning, terdapat bekas garukan, kulit klien tampak bersisik.
4. Risiko keterlambatan tumbuh kembang berhubungan dengan nutrisi tidak adekuat.

K. Intervensi dan Rasional


1. Diare berhubungan dengan kontaminasi ditandai dengan klien dikeluhkan BAB encer,
BAB lebih dari 6-8 kali sehari.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ....x 24 jam diharapkan diare
teratasi dengan kriteria hasil :
Bowel Management
a. Frekuensi BAB normal (1x1/hari)
b. Melporkan tidak ada diare
c. HR teraba dan da;am batas normal (100-120x/menit)
d. Turgor kulit elastis < 2 detik
e. Tidak terjadi confusi
Gastrointestinal Function
a. Klien dapat mentoleransi makanan dan minuman

Intervensi :
Manajemen Diare
a. Monitor untuk tanda dan gejala diare
Rasional : Untuk mengetahui intervensi yang sesuai
b. Monitor turgor kulit
Rasional : Turgor kulit yang tidak bagus menandakan terjadi dehidrasi akibat diare
c. Pantau frekuensi BAB
Rasional : Frekuensi BAB yang berlebihan >3kali menandakan terjadinya diare
Skin Surveilance
a. Monitor kulit pada bagian peri anal untuk terjadinya kemerahan
Rasional: Kulit yang lembab akibat adanya akumulasi kotoran dapat mengakibatkan
terjadinya kemerahan pada kulit
b. Pertahankan kondisi bagian anogenital tetap kering
Rasional: Keadaan kering mencegah terjadinya kemerahan pada kulit
Elektrolit Management
a. Monitor tanda-tanda ketidakseimbangan elektrolit
Rasional : Untuk mengetahui intervensi yang sesuai
b. Monitoring dan pertahankan keseimbangan intake dan output
Rasional : Agar tidak terjadi kelebihan atau kekurangan cairan dan elektrolit
c. Kolaborasi pemberian cairan rehidrasi melalui oral, NGT atau intravena sesuai
indikasi
Rasional : Membantu menggantikan jumlah elektrolit yang hilang atau sedang hilang
Management Nutrisi
a. Dorong input nutrisi pada klien sesuai dengan kondisi klien
Rasional : Input nutrisi yang sesuai untuk meningkatkan status nutrisi klien yang
menurun akibat diare dan muntah
b. Dorong peningkatan intake protein yang sesuai
Rasional : Protein berfungsi untuk memperbaiki sel-sel yang rusak dan meningkatkan
sistem imun.
c. Monitoring Berat badan klien
Rasional : Untuk mengetahui status nutrisi klien dan efektifitas terapi yang diberikan
d. Kolaborasi kepada ahli gizi untuk menetukan jumlah kalori dan tipe nutrisi yang
dibutuhkan terhadap perbaikan nutrisi klien.
Rasional : Kolaborasi dan pemberian nutrisi yang sesuai untuk memperbaiki status
nutrisi akibat muntah dan diare

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan factor


biologi ditandai dengan klien tampak kurus, nafsu makan menurun, klien dikeluhkan
muntah.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan
kebutuhan nutrisi klien terpenuhi dengan kriteria hasil :
a. Status nutrisi :
1) Masukan nutrisi adekuat (skala 5 = no deviation from normal range)
2) Masukan makanan dalam batas normal (skala 5 = no deviation from normal
range)
b. Status nutrisi : masukan nutrisi :
1) Masukan kalori dalam batas normal (skala 5 = totally adekuat)
2) Nutrisi dalam makanan cukup mengandung protein, lemak, karbohidrat, serat,
vitamin, mineral, ion, kalsium, sodium (skala 5 = totally adekuat)
c. Status nutrisi : hitung biokimia
1) Serum albumin dalam batas normal (3,4-4,8 gr/dl) (skala 5 = no deviation from
normal range)

Intervensi :
Nutrition therapy
a. Mengindikasikan pemberian terapi nutrisi parenteral (NGT).
Rasional : Membantu pemenuhan asupan nutrisi yang adekuat.
b. Monitor makanan/cairan yang dimakan dan hitung asupan kalori tiap hari dengan
tepat.
Rasional : Mengetahui perkembangan makan/minum klien sesuai kebutuhan.
c. Monitor ketepatan diet order yang sesuai dengan kebutuhan nutrisi klien.
Rasional : Mencegah klien mendapat asupan yang tidak sesuai dengan prosedur.
d. Jaga kebersihan mulut.
Rasional : Menjaga kebersihan mulut dapat meningkatkan nafsu makan
e. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
Rasional : Untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang sesuai dengan
kebutuhan klien
Fluid/ electrolyte management
a. Monitor abnormal serum elektrolit klien.
Rasional : Membantu memberikan terapi yang tepat sesuai kebutuhan.
b. Berikan intravenous infusion sesuai indikasi.
Rasional : Membantu menambah cairan/elektrolit tubuh bila asupan oral tidak
memenuhi kebutuhan.
Penanganan berat badan :
a. Timbang berat badan klien secara teratur.
Rasional : Dengan memantau berat badan klien dengan teratur dapat mengetahui
kenaikan ataupun penurunan status gizi.
b. Pantau konsumsi kalori harian.
Rasional : Membantu mengetahui masukan kalori harian klien disesuaikan dengan
kebutuhan kalori sesuai usia.
c. Pantau hasil laboratorium, seperti kadar serum albumin, dan elektrolit.
Rasional : Kadar albumin dan elektrolit yang normal menunjukkan status nutrisi baik.
Sajikan makanan dengan menarik.

3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan pigmentasi ditandai dengan


kulit klien tampak kuning, terdapat bekas garukan, kulit klien tampak bersisik.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama x24 jam diharapkan kerusakan
integritas kulit klien berkurang bahkan hilang dengan outcome :
a. Respon alergi local
1) Tidak ada kemerahan di kulit
2) Tidak ada rasa gatal di kulit
3) Tidak ada ruam di kulit
b. Integritas kulit
1) Tidak ada lesi di kulit
2) Tidak ada pengelupasan kulit
Intervensi :
Skin surveillance
a. Inspeksi kulit klien untuk melihat adanya kemerahan dan lesi.
Rasional : Inspeksi merupakan pengkajian awal mengenai tingkat kerusakan
integritas kulit pada klien.
b. Monitor kulit klien terhadap kekeringan dan kelembaban yang berlebihan.
Rasional : Kekeringan dan kelembaban berlebihan dapat memperberat gejala pruritus
klien.
c. Monitor adanya lesiserosi kulit lebih lanjut.
Rasional : Membantu melihat perkembangan integritas kulit klien, adanya erosi dan
lesi lanjut menunjukkan gejala yang lebih berat.
Perawatan kulit
a. Hindari penggunaan bed tekstur kasar.
Rasional : Mengurangi terjadinya gesekan yang memperberat pruritus klien.
b. Anjurkan klien mandi dengan sabun antiseptic, bukan sabun biasa.
Rasional : Sabun biasa mengandung deterjen yang dapat menjadi faktor pencetus
alergi lebih lanjut.
c. Jaga tempat tidur agar tetap bersih, kering, dan bebas lipatan.
Rasional : Mengurangi terjadi gesekan kulit dan bed yang dapat memperberat rasa
gatal.
d. Sarankan pasien menggunakan pakaian yang tidak terlalu ketat dan menyerap kering.
Rasional : Pakaian ketat dapat menimbulkan gesekan sedangkan pakaian menyerap
keringat dapat menurunkan risiko meningkatnya kelembaban kulit yang dapat
memperberat pruritus.
e. Kolaborasi : Kortikosteroid topical,antihistamin oral.
Rasional : Membantu menagatasi pruritus klien.
Managemen nutrisi
a. Kaji adanya alergi makanan tertentu pada klien.
Rasional ; Mencegah pemberian nutrisi yang memperberat gejala.
b. Berikan diet makanan sesuai kebutuhan klien; Tinggi Kalori Rendah Protein
Rasional : Tinggi kalori membantu memenuhi kebutuhan kalori klien sedangkan
rendah protein membantu menurunkan respon alergi, jika pruritus disebabkan alergi.
Daftar Pustaka

Anonym. available at http://herodessolution.blogspot.com/2010/09/asuhan-keperawatan-anak-


dengan.html.
Anonym. available at http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/bileductdiseases.html
Arief, Sjamsul. 2010. Deteksi dini kolestasis neonatal. Divisi Hepatologi Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FK UNAIR/RSU Dr Soetomo, Surabaya.
Mansjoer A. et al, 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I, Ed.3. hal 510-512. Jakarta: Media
Aesculapius, FKUI.
Nazer, Hisham. 2010. Cholestasis. available at http://emedicine.medscape.com/article/927624-
overview.
Reksoprodjo S. 1995. Ikterus dalam bedah, Dalam Ahmadsyah I, Kumpulan. Kuliah Ilmu Bedah,
hal 71 77, Bina Rupa Aksara, Jakarta.
Richard S. Snell. 2002, Anatomi klinik, edisi 3, bag. 1, hal 265 266. Jakarta: EGC
Sherlock. S, Dooley J. 1993. Disease of the Liver and Biliary Sistem 9 th. Ed. Blackwell
Scientific Publication: London.

Anda mungkin juga menyukai