Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN KOLESTASIS

PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN ANAK

OLEH

ANITA RAHAYU
2241312027

Kelompok G

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2022/2023
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Kolestasis

Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk duodenum dalam jumlah
normal. Gangguan dapat terjadi mulai dari membran-basolateral dari hepatosit sampai
tempat masuk saluran empedu ke dalam duodenum. Dari segi klinis didefinisikan sebagai
akumulasi zat-zat yang diekskresi kedalam empedu seperti bilirubin, asam empedu, dan
kolesterol didalam darah dan jaringan tubuh. Secara patologi-anatomi kolestasis adalah
terdapatnya timbunan trombus empedu pada sel hati dan sistem bilier (Arief & Sjamsul
2012). Kolestasis adalah kondisi yang terjadi akibat terhambatnya aliran empedu dari
saluran empedu ke intestinal.
Kolestasis terjadi bila ada hambatan aliran empedu dan bahan-bahan yang harus
diekskresi hati (Arvin, 2012). Kolestasis neonatal merupakan istilah nonspesifik untuk
kelainan hati dengan banyak etiologi yang mungkin terdapat pada neonatus. Pada 50%
kasus tidak terdapat penyebab yang bisa diidentifikasi. Pasien penyakit ini ditemukan
dengan hiperbilirubinemin terkonjugasi yang lama (kolestasis neonatal), hepatomegali dan
disfungsi hati dengan derajat yang bervariasi (misalnya hipoprotrombinemia) (Price &
Wilson, 2016)

B. Anatomi Fisiologi
1. Anatomi Sistem Hepatobilier

Sumber : (Arvin, 2012)


Hepar, secara makroskopis dibagi menjadi empat lobus yaitu dua lobus utama: lobus
kanan dan lobus kiri yang dibagi oleh ligamentum falciformis di bagian anterior, serta
dua lobus aksesoria yaitu lobus quadratus dan lobus caudatus. Berdasarkan fungsinya
hepar memiliki 3 bagian fungsional utama: lobus kaudatus, lobus kanan dan lobus kiri.
Lobus kanan dibagi menjadi 4 segmentum yaitu segmentum V, VI, VII, VIII, lobus kiri
menjadi 3 segmentum yaitu II,III dan IV, serta segmentum I adalah lobus kaudatus
(Mawardi, 2014)
Secara anatomis, kantung empedu atau vesica fellea terletak di antara dua lobus
hepar. Vesica fellea merupakan tempat penyimpanan asam empedu yang berbentuk
kantung piriformis, memiliki panjang 7-10 cm dan lebar 3-4 cm, serta dapat
menampung sebanyak 30-50 mL empedu. Vesica fellea terdiri dari tiga bagian yaitu
korpus, fundus, infundibulum dan kolum. Fundus membentang hingga 1 cm tepi bebas
hepar. Korpus merupakan bagian terbesar. Infundibulum merupakan area transisional
antara corpus dan collum. Kantung Hartmann merupakan penonjolan pada permukaan
inferior infundibulum. Batu empedu dapat tersangkut disini dan menyebabkan obstruksi
duktus sistikus. Vesica fellea akan berakhir pada duktus sistikus yang berdiameter 7
mm dan dengan mukosa yang memiliki valvula spiralis (valves of Heister) (Arvin,
2012). Duktus sistikus akan mengalirkan empedu menuju duktus koledokus, dimana
duktus ini melalui caput pankreas akan berakhir pada sfingter Oddi yang menembus
dinding duodenum dan membentuk suatu bangunan yang disebut ampulla Vateri.
2. Fisiologi Sistem Hepatobilliar

Sumber : (Sodikin, 2015)


Hepar memiliki berbagai macam fungsi untuk menjaga tubuh dalam kondisi
fisiologis. Hepar memiliki fungsi dalam sintesis protein, sebagian besar protein
diproduksi oleh hepatosit yang nantinya akan digunakan oleh organ, jaringan dan sel
lain. Protein yang diproduksi antara lain: albumin, transferrin, seruloplasmin,
haptoglobin, protein komplemen, dan faktor koagulasi. Selain memproduksi protein,
hepar juga memiliki fungsi dalam metabolisme karbohidrat, lemak, regulasi besi,
tembaga dan fungsi detoksifikasi. Empedu memiliki dua fungsi utama, berfungsi dalam
penyerapan lemak dan sebagai sarana eksresi kolesterol, besi dan tembaga. Asam
empedu merupakan komponen aktif utama dari sekresi bilier.
Empedu disekresi oleh hepatosit melewati membran kanalikular ke dalam celah
kanalikular. Proses sekresi terjadi secara aktif dan pasif, dimana fase aktif yang akan
menghasilkan aliran empedu. Produk dari sekresi aktif dikenal sebagai primary solutes
dan dibentuk oleh asam empedu terkonjugasi, bilirubin terkonjugasi, glutathione,
hormon steroid konjugat. Zat yang dapat difiltrasi dihasilkan dari sekresi pasif yang
diinduksi oleh tekanan osmotik dan dikenal sebagai secondary solutes. Zat tersebut
berisi terutama plasma, glukosa, elektrolit , asam organic dengan berat molekul rendah
dan kalsium. Rerata jumlah aliran basal cairan empedu pada manusia adalah 620mL/d.
Cairan empedu terus diproduksi oleh sel hepar secara kontinu, tetapi umumnya akan
disimpan dalam kantung empedu hingga akhirnya dibutuhkan oleh duodenum.
Volume maksimum yang dapat ditampung oleh kantung empedu adalah 30-60 mL,
namun sejumlah sekresi empedu selama 12 jam (umumnya berjumlah 450 mL) dapat
ditampung dalam kantung empedu karena air, natrium, klorida dan sejumlah elektrolit
kecil secara kontinu diserap oleh mukosa kantung empedu, dan memekatkan sisa cairan
empedu yang mengandung garam empedu, kolesterol, lesitin dan bilirubin. Ketika
makanan mulai dicerna di saluran pencernaan atas, kantung empedu akan
mengosongkan isinya terutama saat makanan berlemak memasuki duodenum (Sodikin,
2015). Mekanisme pengosongan terjadi dengan adanya kontraksi ritmis dinding
kantung empedu, tetapi agar terjadi proses pengosongan yang lebih efektif dibutuhkan
adanya relaksasi dari sfingter Oddi yang akan mengarahkan pengeluaran cairan empedu
menuju duodenum. Sekitar 94% dari garam empedu yang telah disekresi akan diserap
ke dalam darah dan kembali ke hepar, ketika mencapai hepar hampir seluruh garam
empedu diserap oleh hepatosit dan mengalami resekresi. Sebagian kecil cairan empedu
akan terbuang melalui feses dan akan digantikan oleh produksi empedu baru dari hepar.
Proses resirkulasi garam empedu ini disebut dengan “sirkulasi enterohepatik” (Lane,
2017)

C. Etiologi Kolestasis

Penyebab kolestasis dibagi menjadi 2 bagian yaitu: intrahepatik kolestasis dan


ekstrahepatik kolestasis (Lane, 2017):
1. Pada intrahepatik kolestasis terjadi akibat gangguan pada sel hati yang terjadi akibat
infeksi bakteri yang menimbulkan abses pada hati, biliari sirosis primer, virus hepatitis,
limphoma, kholangitis sklerosing primer, infeksi tuberkulosis atau sepsis, obat-obatan
yang menginduksi kolestasis.
2. Pada extrahepatik kolestasis, disebabkan oleh tumor saluran empedu, kista, striktur
(penyempitan saluran empedu), pankreatitis atau tumor pada pankreas, tekanan tumor
atau massa sekitar organ, kolangitis sklerosis primer. Batu empedu adalah salah satu
penyebab paling umum dari saluran empedu diblokir.

D. Klasifikasi
Secara garis besar kolestasis dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Kolestasis ekstrahepatik, obstruksi mekanis saluran empedu ekstrahepatik.
Secara umum kelainan ini disebabkan lesi kongenital atau didapat. Merupakan
kelainan nekroinflamatori yang menyebabkan kerusakan dan akhirnya pembuntuan
saluran empedu ekstrahepatik, diikuti kerusakan saluran empedu intrahepatik.
Penyebab utama yang pernah dilaporkan adalah proses imunologis,infeksi virus
terutama CMV dan Reo virus tipe 3, asam empedu yang toksik, iskemia dan kelainan
genetik. Biasanya penderita terkesan sehat saat lahir dengan berat badan lahir, aktifitas
dan minum normal. Ikterus baru terlihat setelah berumur lebih dari 1 minggu. 10-20%
penderita disertai kelainan kongenital yang lain seperti asplenia, malrotasi dan
gangguan kardiovaskuler.  Deteksi dini dari kemungkinan adanya atresia bilier sangat
penting sebab efikasi pembedahan hepatik-portoenterostomi (Kasai) akan menurun
apabila dilakukan setelah umur 2 bulan (Mawardi, 2014).  
Pada pemeriksaan ultrasound terlihat kandung empedu kecil dan atretik disebabkan
adanya proses obliterasi, tidak jelas adanya pelebaran saluran empedu intrahepatik.
Gambaran ini tidak spesifik, kandung empedu yang normal mungkin dijumpai pada
penderita obstruksi saluran empedu ekstrahepatal sehingga tidak menyingkirkan
kemungkinan adanya atresi bilier.Gambaran histopatologis ditemukan adanya portal
tract yang edematus dengan proliferasi saluran empedu, kerusakan saluran dan adanya
trombus empedu didalam duktuli. Pemeriksaan kolangiogram intraoperatif dilakukan
dengan visualisasi langsung untuk mengetahui patensi saluran bilier sebelum dilakukan
operasi Kasai (Mawardi, 2014).
2. Kolestasis intrahepatik
a. Saluran Empedu
Digolongkan dalam 2 bentuk, yaitu:
1) Paucity saluran empedu
2) Disgenesis saluran empedu
Oleh karena secara embriologis saluran empedu intrahepatik (hepatoblas)
berbeda asalnya dari saluran empedu ekstrahepatik (foregut) maka kelainan saluran
empedu dapat mengenai hanya saluran intrahepatik atau hanya saluran
ekstrahepatik saja.  Beberapa kelainan intrahepatik seperti ekstasia bilier dan
hepatik fibrosis kongenital, tidak mengenai saluran ekstrahepatik.  Kelainan yang
disebabkan oleh infeksi virus CMV, sklerosing kolangitis, Caroli’s disease
mengenai kedua bagian saluran intra dan ekstra-hepatik.Karena primer tidak
menyerang sel hati maka secara umum tidak disertai dengan gangguan fungsi
hepatoseluler. Serum transaminase, albumin, faal koagulasi masih dalam batas
normal. Serum alkali fosfatase dan GGT akan meningkat. Apabila proses berlanjut
terus dan mengenai saluran empedu yang besar dapat timbul ikterus, hepatomegali,
hepatosplenomegali, dan tanda-tanda hipertensi portal (Ndraha, 2013).
Paucity saluran empedu intrahepatik lebih sering ditemukan pada saat neonatal
dibanding disgenesis, dibagi menjadi sindromik dan nonsindromik. Dinamakan
paucity apabila didapatkan < 0,5 saluran empedu per portal tract.Contoh dari
sindromik adalah sindrom Alagille, suatu kelainan autosomal dominan disebabkan
haploinsufisiensi pada gene JAGGED 1.Sindroma ini ditemukan pada tahun 1975
merupakan penyakit multi organ pada mata (posterior embryotoxin), tulang
belakang (butterfly vertebrae), kardiovaskuler (stenosis katup pulmonal), dan muka
yang spesifik (triangular facial yaitu frontal yang dominan, mata yang dalam, dan
dagu yang sempit).Nonsindromik adalah paucity saluran empedu tanpa disertai
gejala organ lain. Kelainan saluran empedu intrahepatik lainnya adalah sklerosing
kolangitis neonatal, sindroma hiper IgM, sindroma imunodefisiensi yang
menyebabkan kerusakan pada saluran empedu (Ndraha, 2013).
b. Kelainan hepatosit
Kelainan primer terjadi pada hepatosit menyebabkan gangguan pembentukan
dan aliran empedu. Hepatosit neonatus mempunyai cadangan asam empedu yang
sedikit, fungsi transport masih prematur, dan kemampuan sintesa asam empedu
yang rendah sehingga mudah terjadi kolestasis.  Infeksi merupakan penyebab utama
yakni virus, bakteri, dan parasit. Pada sepsis misalnya kolestasis merupakan akibat
dari respon hepatosit terhadap sitokin yang dihasilkan pada sepsis (Ndraha, 2013).
Hepatitis neonatal adalah suatu deskripsi dari variasi yang luas dari neonatal
hepatopati, suatu inflamasi nonspesifik yang disebabkan oleh kelainan genetik,
endokrin, metabolik, dan infeksi intra-uterin. Mempunyai gambaran histologis
yang serupa yaitu adanya pembentukan multinucleated giant cell dengan gangguan
lobuler dan serbukan sel radang, disertai timbunan trombus empedu pada hepatosit
dan kanalikuli. Diagnosa hepatitis neonatal sebaiknya tidak dipakai sebagai
diagnosa akhir, hanya dipakai apabila penyebab virus, bakteri, parasit, gangguan
metabolik tidak dapat ditemukan
E. Patofisiologi

Empedu adalah cairan yang disekresi hati berwarna hijau kekuningan merupakan
kombinasi produksi dari hepatosit dan kolangiosit. Empedu mengandung asam empedu,
kolesterol, phospholipid, toksin yang terdetoksifikasi, elektrolit, protein, dan bilirubin
terkonyugasi. Kolesterol dan asam empedu merupakan bagian terbesar dari empedu
sedang bilirubin terkonjugasi merupakan bagian kecil. Bagian utama dari aliran empedu
adalah sirkulasi enterohepatik dari asam empedu. Hepatosit adalah sel epetelial dimana
permukaan basolateralnya berhubungan dengan darah portal sedang permukaan apikal
(kanalikuler) berbatasan dengan empedu. Hepatosit adalah epitel terpolarisasi berfungsi
sebagai filter dan pompa bioaktif memisahkan racun dari darah dengan cara metabolisme
dan detoksifikasi intraseluler, mengeluarkan hasil proses tersebut kedalam empedu.Salah
satu contoh adalah penanganan dan detoksifikasi dari bilirubin tidak terkonyugasi
(bilirubin indirek).
Bilirubin tidak terkonyugasi yang larut dalam lemak diambil dari darah oleh
transporter pada membran basolateral, dikonyugasi intraseluler oleh enzim UDPGTa yang
mengandung P450 menjadi bilirubin terkonyugasi yang larut air dan dikeluarkan kedalam
empedu oleh transporter mrp2. mrp2 merupakan bagian yang bertanggungjawab terhadap
aliran bebas asam empedu. Walaupun asam empedu dikeluarkan dari hepatosit kedalam
empedu oleh transporter lain, yaitu pompa aktif asam empedu. Pada keadaan dimana
aliran asam empedu menurun, sekresi dari bilirubin terkonyugasi juga terganggu
menyebabkan hiperbilirubinemia terkonyugasi. Proses yang terjadi di hati seperti
inflamasi, obstruksi, gangguan metabolik, dan iskemia menimbulkan gangguan pada
transporter hepatobilier menyebabkan penurunan aliran empedu dan hiperbilirubinemi
terkonjugasi (Arief, 2012).
Pada kolestasis yang berkepanjangan terjadi kerusakan fungsional dan struktural:
1. Proses transpor hati
Proses sekresi dari kanalikuli terganggu, terjadi inversi pada fungsi polaritas dari
hepatosit sehingga elminasi bahan seperti bilirubin terkonyugasi, asam empedu, dan
lemak kedalam empedu melalui plasma membran permukaan sinusoid terganggu.
2. Transformasi dan konyugasi dari obat dan zat toksik
Pada kolestasis berkepanjangan efek detergen dari asam empedu akan menyebabkan
gangguan sitokrom P-450. Fungsi oksidasi, glukoronidasi, sulfasi dan konyugasi akan
terganggu.
3. Sintesis protein
Sintesis protein seperti alkali fosfatase dan GGT, akan meningkat sedang produksi
serum protein albumin-globulin akan menurun.
4. Metabolisme asam empedu dan kolesterol
Kadar asam empedu intraseluler meningkat beberapa kali, sintesis asam empedu dan
kolesterol akan terhambat karena asam empedu yang tinggi menghambat HMG-CoA
reduktase dan 7 alfa-hydroxylase menyebabkan penurunan asam empedu primer
sehingga menurunkan rasio trihidroksi/dihidroksi bile acid sehingga aktifitas
hidropopik dan detergenik akan meningkat. Kadar kolesterol darah tinggi tetapi
produksi di hati menurun karena degradasi dan eliminasi di usus menurun.
5. Gangguan pada metabolisme logam
Terjadi penumpukan logam terutama Cu karena ekskresi bilier yang menurun. Bila
kadar ceruloplasmin normal maka tidak terjadi kerusakan hepatosit oleh Cu karena Cu
mengalami polimerisasi sehingga tidak toksik.
6. Metabolisme cysteinyl leukotrienes
Cysteinyl leukotrienes suatu zat bersifat proinflamatori dan vasoaktif dimetabolisir
dan dieliminasi dihati, pada kolestasis terjadi kegagalan proses sehingga kadarnya
akan meningkat menyebabkan edema, vasokonstriksi, dan progresifitas kolestasis.
Oleh karena diekskresi diurin maka dapat menyebabkan vaksokonstriksi pada ginjal.
7. Mekanisme kerusakan hati sekunder
Asam empedu, terutama litokolat merupakan zat yang menyebabkan kerusakan hati
melalui aktifitas detergen dari sifatnya yang hidrofobik. Zat ini akan melarutkan
kolesterol dan fosfolipid dari sistim membran sehingga intregritas membran akan
terganggu. Maka fungsi yang berhubungan dengan membran seperti Na+, K+-
ATPase, Mg++-ATPase, enzim-enzim lain dan fungsi transport membran dapat
terganggu, sehingga lalu lintas air dan bahan-bahan lain melalui membran juga
terganggu.Sistem transport kalsium dalam hepatosit juga terganggu. Zat-zat lain yang
mungkin berperan dalam kerusakan hati adalah bilirubin, Cu, dan cysteinyl
leukotrienes namun peran utama dalam kerusakan hati pada kolestasis adalah asam
empedu.
8. Proses imunologis
Pada kolestasis didapat molekul HLA I yang mengalami display secara abnormal pada
permukaan hepatosit, sedang HLA I dan II diekspresi pada saluran empedu sehingga
menyebabkan respon imun terhadap sel hepatosit dan sel kolangiosit. Selanjutnya
akan terjadi sirosis bilier (Nazer, 2010).

F. Manifestasi Klinis

Gambaran klinis pada kolestasis pada umunya disebabkan karena keadaankeadaan


(Arief & Sjamsul, 2012).
1. Terganggunya aliran empedu masuk ke dalam usus :
a. Tinja akolis/hipokolis/pucat, karena cairan empedu tidak masuk ke usus, maka
warna tinja menjadi lebih pucat dan tinja banyak mengandung lemak.
b. Urobilinogen/sterkobilinogen dalam tinja menurun/negative karena kerusakan sel
parenkim sehingga menyebabkan aliran asam empedu menurun
c. Urobilin dalam air seni negative karena hiperbilirubin terkonjugasi
d. Malabsorbsi lemak dan vitamin yang larut dalam lemak karena Konsentrasi aliran
empedu intra lumen menurun
e. Steatore (feses berminyak) karena terdapat banyak lemak di feses.
f. Hipoprotrombinemia (defisiensi protrombin dalam darah) karena kekurangan
vitamin K
2. Akumulasi empedu dalam darah Ikterus, gatal-gatal dan hiperkolesterolemia karena
hiperbilirubinemia terkonjugasi
3. Kerusakan sel hepar karena menumpuknya komponen empedu
a. Anatomis
1) Akumulasi pigmen Penumpukan zat-zat yang diekskresi kedalam empedu
(bilirubin dan asam empedu)
2) Reaksi peradangan dan nekrosis
b. Fungsional
1) Gangguan ekskresi yaitu perubahan warna kuning pada kulit dan mata, feses
warna kuning pucat dan urine warna kuning tua karena 12 ada sumbatan pada
saluran empedu sehingga terjadi peningkatan bilirubin pada usus, kulit dan mata.
2) Serum meningkat (ringan) karena terjadi perubahan fungsi hati yang meningkat.
3) Asam empedu dalam serum meningkat
Tanda-tanda non-hepatal sering pula membantu dalam diagnosa, seperti sindroma
polisplenia (situs inversus, levocardia, vena cava inferior tidak ada), sering
bersamaan dengan atresia bilier: bentuk muka yang khas, posterior
embriotokson,serta adanya bising pulmunal stenosis perifer, sering bersamaan
dengan “paucity of the intrahepatic bile ductule” (arterio hepatic
displasia/Alagille’s syndrome) nafsu makan yang jelek dengan muntah,
“irritable”, sepsis, sering karena adanya kelainan metabolisme seperti
galaktosemia, intoleransi froktosa herediter, tirosinemia.Neonatal hepatitis lebih
banyak pada anak laki, sedangkan atresia bilier ekstrahepatal lebih banyak pada
anak perempuan. Pertumbuhan pasien dengan kolestasis intrahepatik
menunjukkan perlambatan sejak awal. Pada pasien dengan kolestasis
ekstrahepatik umumnya bertumbuh dengan baik pada awalnya tetapi kemudian
akan mengalami gangguan pertumbuhan sesuai dengan perkembangan penyakit.
Pasien dengan kolestasis perlu dipantau pertumbuhannya dengan membuat kurva
pertumbuhan berat badan dan tinggi badan bayi/anak
Tabel 1.1 Empat kriteria klinis untuk membedakan kolestasis intrahepatik dan
ekstrahepatik
Kriteria Ekstrahepatik intrahepatik

Warna tinja
- Pucat 79% 26%
- Kuning
21% 74%

Berat lahir 45% (3200gr) 65% (2600gr)

Usia saat tinja dempul 2 minggu (1.5%) 1 bulan (2%)

Gambaran hati
- Normal 13% 47%
- Hepatomegaly
- Konsitensi normal
12% 35%
- Konsistensi padat
63% 47%
- Konsistensi keras
24% 6%
Sumber : (Prasetyo, 2016).

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut (Price & Wilson, 2016):
1. Radiologis
a. Foto polos abdomen.
Tujuannya: untuk dapat memperlihatkan densitas klasifikasi pada kandung empedu,
cabang saluran-saluran empedu (batu empedu), pancreas dan hati, juga dapat
memperlihatkan adanya splenomegali atau asites nyata.
b. Ultrasonografi (USG)
Metode yang disukai untuk mendeteksi batu empedu, dapat diandalkan untuk
mendeteksi dilatasi saluran empedu dan massa padat atau kistik didalam hati dan
pancreas, non invasif dan murah
c. CT scan
Pencitraan beresolusi tinggi pada hati, kandung empedu, pankreas, dan limpa
menunjukan adanya batu, massa padat, kista, abses dan kelainan struktur: sering
dipaki dengan bahan kontras
d. Magnetik Resonance Imaging (MRI) (Pengambilan gambar organ)
Pemakaian sama dengan CT scan tetapi memiliki kepekaan lebih tinggi, juga dapat
mendeteksi aliran darah dan sumbatan pembuluh darah; non invasive tetapi mahal.
2. Laboratorium
a. Ekskresi empedu: mengukur kemampuan hati untuk mengkonjugasi dan
mengekskresi pigmen empedu antara lain:
1) Bilirubin serum direk (terkonjugasi)
2) Meningkat apabila terjadi gangguan ekskresi bilirubin terkonjugasi (nilai
normalnya 0,1-0,3 mg/dl).
3) Bilirubin serum indirek (tidak terkonjugasi)
4) Meningkat pada keadaan hemolitik dan sindrom Gilbert (nilai normalnya 0,2-0,7
mg/dl).
5) Bilirubin serum total
6) Bilirubin serum direk dan total meningkat pada penyakit hepatoseluler (nilai
normalnya 0,3-1,0 mg/dl).
b. Metabolisme Protein
1) Protein serum total: sebagian besar protein serum dan protein pembekuan
disintesis oleh hati sehingga kadarnya menurun pada berbagai gangguan hati,
(nilai normalnya 6-8 gr/dl), albumin serum (nilai normalnya :3,2-5,5 gr/dl),
globulin serum (nilai normalnya: 2,0- 3,5 gr/dl)
2) Massa protrombin (nilai normalnya : 11-15 detik)
3) Meningkat pada penurunan sintesis protrombin akibat kerusakan sel hati atau
berkurangnya absorpsi vitamin K pada obstruksi empedu.
Sebagai tahap pertama dalam pendekatan diagnosa, harus dibuktikan apakah ada
kelainan hepatobilier atau tidak. Pemeriksaan yang perlu dilakukan pada tahap ini adalah:
1. Hapusan darah tepi
2. Bilirubin dalam air seni
3. Sterkobilinogen dalam air seni
4. Tes fungsi hepar yang standar: Heymans vd Bergh, SGOT, SGPT, alkali fosfatase serta
serum protein
Bila dari pemeriksaan tersebut masih meragukan, dilakukan pemeriksaan lanjutan yang
lebih sensitif seprti BSP/kadar asam empedu dalam serum. Bila fasilitas terbatas dapat
hanya dengan melihat pemerikasaan bilirubin air seni. Hasil positif menunjukkan adanya
kelainan hepatobilier. Bila ada bukti keterlibatan hepar maka dilakukan tahap berikutnya
untuk membuktikan kelainan intra/ekstrahepatal, mencari kemungkinan etiologi, dan
mengidentifikasi kelainan yang dapat diperbaiki/diobati. Pemeriksaan yang dilakukan
adalah:
Untuk pemeriksaan terhadap infeksi yang penting adalah:
1. Virus:
a. Virus hepatotropik: HAV, HBV, non A non B, virus delta
b. TORCH (Toxoplasma,Rubella,CMV,Herpes)
c. Virus lain: EBV, Coxsackie’s B, varisela-zoster
2. Bakteri: terutama bila klinis mencurigakan infeksi kuman leptospira, abses piogenik
a. Parasit: toksoplasma, amuba, leismania, penyakit hidatid
b. Bahan toksik, terutama obat/makanan hepatotoksik
3. Pemeriksaan kelainan metabolik yang penting:
a. Galaktosemia, fruktosemia
b. Tirosinosis: asam amino dalam air seni
c. Fibrosis kistik
d. Penyakit Wilson
e. Defisiensi alfa-1 antitripsin
Data tentang saluran empedu diperoleh melalui pemeriksaan Rose Bengal Excretion
(RBE), Hida Scan, USG atau Biopsi hepar. Bila dicurigai ada suatu kelainan saluran
empedu dilakukan pemeriksaan kolangiografi.

Gambar 2.1 Pendekatan Diagnosis Kolestasis

Sumber : (Arief & Sjamsul, 2012)

H. Penatalaksanaan Medis

Dalam hal ini, penatalaksanaan dibagi dalam 2 golongan besar, yaitu:


1. Tindakan medis
a. Perbaikan aliran empedu: pemberian fenobarbital dan kolestiramin, dan
ursodioksikolat acid (UDCA)
b. Aspek gizi: lemak sebaiknya diberikan dalma bentuk MCT (Medium chain
triglyceride) karena malabsorbsi lemak.
c. Diberikan tambahan vitamin larut lemak (A,D,E,K)
2. Tindakan Pembedahan
Tujuannya untuk memberi perbaikan langsung terhadap kelainan saluran empedu
yang ada.Operasi Kasai (hepatoportoenterostomy procedure)diperlukan untuk
mengalirkan empedu keluar dari hati, dengan menyambungkan usus halus langsung
dari hati untuk menggantikan saluran empedu. Untuk mencegah terjadinya komplikasi
cirrhosis, prosedur ini dianjurkan untuk dilakukan segera mungkin, diupayakan
sebelum anak berumur 90 hari. Perlu diketahui bahwa operasi Kasai bukanlah
tatalaksana definitif dari atresia biliaris, namun setidaknya tindakan ini dapat
memperbaiki prognosis anak dan memperlambat perjalanan menuju kerusakan hati
(Nezer, 2010)

I. Pengobatan Farmakologi
Pengobatan paling rasional untuk kolestasis adalah perbaikan aliran empedu ke dalam
usus. Pada prinsipnya ada beberapa hal pokok yang menjadi pedoman dalam
penatalaksanaannya, yaitu:
1. Sedapat mungkin mengadakan perbaikan terhadap adanya gangguan aliran empedu
2. Mengobati komplikasi yang telah terjadi akibat adanya kolestasis
3. Memantau sedapat mungkin untuk mencegah kemungkinan terjadinya keadaan fatal
yang dapat mengganggu proses regenerasi hepar
4. Melakukan usaha-usaha yang dapat mencegah terjadinya gangguan pertumbuhan
5. Sedapat mungkin menghindari segala bahan/keadaan yang dapat mengganggu atau
merusak hepar
Adapun terapi suportif yang dapat diberikan pada pasien kolestasis diantaranya:
a. Asam ursodeoksikolat 10-20 mg/kg dalam 2-3 dosis
b. Kebutuhan kalori mencapai 130-150% kebutuhan bayi normal dan mengandung
lemak rantai sedang (Medium chain trigliseride-MCT), misalnya panenteral,
progrestimil
c. Vitamin yang larut dalam lemak
1) A: 5000-25.000 IU
2) D: calcitriol 0,05-0,2 ug/kg/hari
3) E: 25-200 IU/kk/hari
4) K1: 2,5-5 mg: 2-7 x/ minggu
d. Mineral dan trace element: Ca, P, Mn, Zn, Se, Fe
e. Terapi komplikasi lain: misalnya hiperlipidemia/xantelasma: Obat HMG-coA
reductase inhibitor contohnya kolestipol, simvastatin
f. Pruritus:
1) Atihistamin: difenhidramin 5-10 mg/kg/hati, hidroksisin 2-5 mg/kg/hati
Rifampisin: 10 mg/kg/hari
2) Kolestiramin: 0,25-0,5g/kg/hari
(Nezer, 2010)

Tabel 2.1. Terapi obat-obatan pada kolestasis

Sumber : (Nezer, 2010)

J. Komplikasi
Komplikasi terberat ikterus pada bayi dan anak adalah ensefalopati bilirubin atau
kernikterus. Kernikterus terjadi pada keadaan hyperbilirubinemia indirek yang sangat
tinggi, cedera sawar darah otak, dan adanya molekul yang berkompetisi dengan bilirubin
untuk mengikat albumin. Adanya keadaan berikut ini, seperti hipoksemia, hiperkarbia,
hipotermia, hipoglikemia, hypoalbuminemia, dan hiperosmolalitas, dapat menurunkan
ambang toksisitas bilirubin dengan cara membuka sawar darah otak (Parsetyo, 2016).
Adapun komplikasi lainnya yang dapat terjadi bila kolestasis tidak ditangani segera,
diantaranya:
1. Pruritus
Pruritus merupakan morbiditas yang penting dan sering terjadi baik pada kolestasis
intrahepatic maupun ekstrahepatik. Daerah predileskinya meliputi seluruh bagian tubuh
dengan daerah telapak tangan dan kaki, permukaan ekstensor ekstremitas, wajah,
telingan, dan trunkus superior memiliki tingkat keparahan yang tinggi. Mekanisme
terjadinya pruritus masih belum diketahui pasti.
2. Hiperlidemia dan Xanthoma
Hyperlipidemia dan Xanthoma merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
kolestasis intrahepatic. Pada kolestasis terjadi gangguan lairan empedu yang akan
menyebabkan meningkatnya kadar lipioprotein di sirkulasi sehingga terjadi
hiperkolesterolemia (kolesterol serum mencapai 1000-2000 mg/dL). Hal ini
menyebabkan terdepositnya kolesterol di kulit, membran mukosa, dan arteri.
3. Sirosis dan gagal hati
Sirosis dan gagal hati dapat terjadi pada pasien yang mengalami keterlambatan
diagnosis sehingga fungsi hati sudah tidak dapat dipertahankan lagi.
4. Kolik bilier
Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu yang
tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat dari tersumbatnya saluran empedu
5. Kolestasis kronis
a. Hidrop kandung empedu.
b. Empiema kandung empedu.
c. Fistel kolesistoenterik
d. Ileus batu empedu (gallstone ileus)
(Parsetyo, 2016)
BAB II

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

1. Anamnesis
Pengkajian pada anak dengan kolestasis menurut Sodikin (2015) adalah:
1. Identitas klien : biodata, umur, pekerjaan, pendidikan dan alamat
2. Identitas penanggung jawab
3. Keluhan Utama
Biasanya ditemukan adanya penurunan nafsu makan karena kelainan metabolisme
seperti galaktosemia, intoleransi froktosa herediter dan tirosenemia. Frekuensi makan
biasanya normal tetapi porsi sering tidak dihabiskan karena adanya anoreksia dan mual
muntah. Pola eliminasi BAB dan BAK teratur, namun terdapat perubahan warna pada
tinja dan urine karena cairan empedu tidak masuk ke usus, maka warna tinja menjadi
lebih pucat dan tinja banyak mengandung lemak dan ada peningkatan bilirubin dalam
urin. Biasanya juga ditemukan gatal gatal pada seluruh tubuh (pruritus) karena terjadi
hiperbilirubinemia.
4. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang: pada umumnya anak masuk rumah sakit dengan
keluhan tubuh berwarna kuning dan ada rasa gatal-gatal dari tubuh bayi
b. Riwayat kesehatan dahulu: adanya tanda-tanda infeksi dahulu pada ibu, ibu pernah
mengkonsumsi obat-obatan yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi.
c. Riwayat keluarga: adanya riwayat keluarga yang menderita kolestasis, maka
kemungkinan besar merupakan suatu kelainan genetic atau metabolik.
d. Riwayat kehamilan dan kelahiran: riwayat obstetric ibu (infeksi TORCH, hepatitis
B, dan infeksi lain), berat badan lahir (pada infeksi biasanya didapatkan Kecil
Masa Kehamilan sedangkan pada atresia biliaris biasanya didapatkan Sesuai Masa
Kehamilan), infeksi intrapartum, morbiditas perinatal, riwayat pemberian nutrisi
parenteral.
e. Riwayat sosial: meliputi pengkajian komposisi keluarga, lingkungan rumah dan
komunitas, pendidikan dan pekerjaan anggota keluarga, fungsi dan hubungan
anggota keluarga, kultur dan kepercayaan, perilaku yang dapat mempengaruhi
kesehatan, persepsi keluarga tentang penyakit klien dan lain-lain.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan secara umum dilakukan dengan metode head to toe yang meliputi:
keadaan umum dan status kesadaran, tanda-tanda vital, area kepala dan wajah, dada,
abdomen, ekstermitas dan genital-urinaria.
b. Kepala : Biasanya pada anak ditemukan rambut kering dan tidak jarang ditemukan
distribusi rambut tidak
c. Wajah : Biasanya ditemukan keadaan wajah pasien pucat, mata cekung dan sklera
iktertik,
d. Kulit : pada umumnya adanya jaundice dan biasanya ditemukan pula seluruh tubuh
pasien terdapat bekas garukan karena gatal-gatal atau bahkan ada luka-luka kecil. b.
e. Abdomen : Umumnya ditemukan adanya pembesaran pada hati, nyeri tekan positif,
dinding perut mengeras dan kembung, dan terdapat pembesaran limpa
Pada umumnya gejala ikterik pada bayi akan terlihat bila kadar bilirubin sekitar 7
mg/dL. Secara klinis mulai terlihat pada bulan pertama (Ndraha, 2013)
1. Fasies dismorfik: pada sindrom Alagille
2. Mata:
 Katarak: pada infeksi TORCH
 Choreoretinitis: pada infeksi TORCH
 Posterior embryotoxon: pada sindrom Alagille
3. Thoraks: auskultasi jantung  sindrom Alagille, atresia biliaris
4. Abdomen:
 Hepar  mengetahui apakah sudah terjadi sirosis: hepatomegaly atau sudah
mengecil, konsistensi kenyal atau sudah mengeras, permukaan masih licin atau
sudah berbenjol-benjol.
 Lien  untuk mengetahui hipertensi portal atau mencari kemungkinan infeksi.
 Asites –> gangguan sintesis albumin
 Vena kolateral  pelacakan hipertensi portal
5. Kulit: icterus, spider angioma, eritema palmaris, edema  sudah terjadi sirosis.
6. Lain-lain: phimosis  kemungkinan ISK

3. Diagnosis Keperawatan yang Mungkin Muncul

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis


2. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien,
peningkatan kebutuhan metabolisme
3. Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif, kegagalan mekanisme
regulasi
4. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit
5. Risiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder
6. Risiko syok berhubungan dengan kekurangan volume cairan

4. Intervensi Keperawatan

No DX SDKI SLKI SIKI


D.0077 Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
berhubungan tindakan keperawatan (L.08238)
dengan agen 1x24 jam, diharapkan Observasi
pencedera Nyeri Akut dapat  Identifikasi lokasi. Karakteristik,
fisiologis teratasi dengan durasi, frekuensi, kualitas,
(misalnya: Kriteria Hasil: intensitas nyeri
inflamasi, Tingkat Nyeri  Identifikasi skala nyeri
iskemia, (L.08066)  Identifikasi respon nyeri non
neoplasma) verbal
 Keluhan nyeri
menurun  Identifikasi faktor yang
 Meringis menurun memperberat dan memperingan

 Gelisah menurun nyeri

 Frekuensi nadi  Identifikasi pengaruh dan

membaik keyakinan tentang nyeri

 Pola napas membaik Terapeutik

 Tekanan darah  Berikan teknik non farmakologis

membaik untuk mengurangi rasa nyeri


(terapi relaksasi napas dalam)
 Nafsu makan
membaik  Kontrol lingkungan yang
memperberat nyeri (misalnya:
 Pola tidur membaik
suhu ruangan, pencahayaan)
 Fasilitasi istirahat dan tidur
 Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode,
strategi, dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
 Anjurkan menggunakan analgesik
secara tepat
D.0019 Defisit nutrisi Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi
berhubungan tindakan keperawatan (I. 03119)
dengan 1x24 jam, diharapkan Observasi      
peningkatan Defisit Nutrisi dapat  Identifikasi status nutrisi  
kebutuhan teratasi dengan  Identifikasi alergi dan intoleransi
metabolisme Kriteria Hasil: makanan  
Status Nutrisi  Identifikasi makanan yang disukai
(L.03030)  Identifikasi kebutuhan kalori dan
 Porsi makanan yang jenis nutrient  
dihabiskan  Identifikasi perlunya penggunaan
meningkat selang nasogastrik  
 Serum albumin  Monitor asupan makanan  
meningkat  Monitor berat badan  
 Berat badan
 Monitor hasil pemeriksaan
membaik
laboratorium
 Indeks massa tubuh Terapeutik    
(IMT) membaik
 Fasilitasi menentukan pedoman
 Frekuensi makanan diet 
membaik
 Sajikan makanan secara menarik
 Nafsu makan dan suhu yang sesuai  
membaik
 Berikan makan tinggi serat untuk 
 Membrane mukosa mencegah konstipasi  
membaik
 Berikan suplemen makanan, jika
perlu  
 Hentikan pemberian makan
melalui selang nasogastrik jika
asupan oral dapat ditoleransi        
Edukasi
 Anjurkan posisi duduk, jika
mampu  
 Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian medikasi
sebelum makan  (mis. Pereda
nyeri, antiemetik), jika perlu
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah  kalori dan
jenis nutrient yang dibutuhkan,
jika perlu
 

D.0023 Hipovolemia Setelah dilakukan Manajemen Hipovolemia (I.03116)


berhubungan tindakan keperawatan Observasi
dengan 1x24 jam, diharapkan  Periksa tanda dan gejala
kegagalan Hipovolemia dapat hipovolemia (mis, nadi teraba
mekanisme teratasi dengan lemah, , tekanan nadi
regulasi Kriteria Hasil: menyempit,turgor kulit menurun,
Status cairan membrane mukosa kering, volume
(L.03028) urine menurun, lemah)
 Kekuatan nadi  Monitor intake dan output cairan
meningkat Terapeutik
 Turgor kulit  Hitung kebutuhan cairan
meningkat  Berikan asupan cairan oral
 Perasaan lemah Edukasi
menurun  Anjurkan memperbanyak asupan
 Konsentrasi urin cairan oral
menurun
 Anjurkan menghindari perubahan
 Membran mukosa posisi mendadak
membaik Kolaborasi
 Kadar Hb membaik  Kolaborasi pemberian cairan IV
 Kadar Ht membaik issotonis (mis. cairan NaCl, RL)
 Intake cairan  Kolaborasi pemberian cairan IV
membaik hipotonis (mis. glukosa 2,5%,
NaCl 0,4%)

 Kolaborasi pemberian cairan


koloid (mis. albumin, plasmanate)

 Kolaborasi pemberian produk


darah
D.0142 Resiko infeksi Setelah dilakukan Pencegahan Infeksi
ditandai dengan tindakan keperawatan (I.14539)
efek prosedur 1x24 jam, diharapkan
Observasi :
invasif Resiko Infeksi dapat
 Monitor tanda dan gejala infeksi
teratasi dengan
local dan sistemik
Kriteria Hasil:
Terapeutik
Tingkat Infeksi
 Berikan perawatan kulit pada area
(L.14137) edema
 Demam menurun  Cuci tangan sebelum dan sesudah
 Kemerahan kontak dengan pasien dan
menurun lingkungan pasien
 Nyeri menurun  Pertahankan teknik aseptic pada
 Bengkak menurun pasien beresiko tinggi
 Letargi menurun Edukasi :
 Kadar sel darah  Jelaskan tanda dan gejala infeksi
putih membaik  Ajarkan cara mencuci tangan
 Kultur darah dengan benar
membaik  Ajarkan etika batuk
 Ajarkan cara memeriksa kondisi
luka operasi
 Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
 Anjurkan meningkatkan asupan
cairan
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian imunisasi,
jika perlu
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk duodenum dalam jumlah
normal. Gangguan dapat terjadi mulai dari membran-basolateral dari hepatosit sampai
tempat masuk saluran empedu ke dalam duodenum. Dari segi klinis didefinisikan sebagai
akumulasi zat-zat yang diekskresi kedalam empedu seperti bilirubin, asam empedu, dan
kolesterol didalam darah dan jaringan tubuh.
Berdasarkan pada tujuan laporan kasus, maka dapat disimpulkan beberapa hal antara
lain:
1. Pengkajian
Merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan, yang difokuskan
pada alasan masuk pasien, kondisi pasien saat dikaji, riwayat kesehatan dahulu maupun
riwayay kesehatan keluarga. Hasil pengkajian yang dilakukan pada tanggal 17
November 2022 pukul 20.15 WIB didapatkan ibu mengatakan An. J tampak menguning
dan perut semakin membesar, abdomen tampak mengkilat, teraba keras dan tegang,
lingkar perut 45 cm, adanya jaundice, sklera ikterik, urin seperti teh pekat dan feses
berwarna kehitaman
2. Diagnosis keperawatan
Dari kasus yang ditemukan terdapat 5 diagnosis keperawatan yang muncul yaitu
Resiko perfusi gastrointestinal tidak efektif disertai dengan disfungsi hati, perfusi
perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan konsentrasi hemoglobin,
hipovolemia berhubungan dengan kegagalan mekanisme regulasi, defisit nutrisi
berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme dan gangguan perkembangan
berhubungan dengan efek ketidakmampuan fisik
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi Keperawatan disusun berdasarkan diagnosis yang muncul dan dibuat
berdasarkan rencana asuhan keperawatan secara teoritis. Rencana tindakan yang
dilakukan pada An. J yaitu pencegahan perdarahan, perawatan sirkulasi, manajemen
hipovolemia, manajemen nutrisi dan perawatan perkembangan
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi yang dilakukan untuk mengatasi masalah keperawatan yang muncul
pada kasus ini tidak jauh berbeda dengan tinjauan teori
5. Evaluasi Keperawatan
Dari diagnosis keperawatan yang telah ditegakkan dan implementasi yang telah
dilakukan sesuai dengan intervensi keperawatan didapatkan hasil yang dicantumkan
dalam evaluasi sebagai berikut: masih adanya jaundice dan sklera ikterik, adanya asites,
abdomen tampak mengkilat, teraba keras dan tegang urin masih seperti teh pekat dan
feses berwarna kehitaman mukosa bibir masih tampak kering cubit perut kembali
lambat, An. J sering cepat kenyang saat diberi susu , masih terpasang NGT dan tampak
perkembangan An. J mengalami keterlambatan atau tidak mampu melakukan
keterampilan sesuai usia.

B. Saran
Berdasarkan kasus yang diambil dengan judul Asuhan Keperawatan pada An. J
dengan Kolestasis di Ruang Akut Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang, demi kebaikan
selanjutnya maka penulis menyarankan kepada:
1. Bagi RSUP Dr. M. Djamil Padang
Diharapkan kepada tenaga khususnya perawat diharapkan dapat melanjutkan asuhan
keperawatan yang sudah dikelola oleh penulis yang bertujuan untuk pemulihan
kesehatan klien.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
Selanjutnya diharapkan dengan adanya laporan kasus ini dapat menambah ilmu
pengetahuan dan menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien dengan Kolestasis
3. Bagi Keluarga
Diharapkan keluarga mampu untuk melakukan tindakan yang mandiri untuk
perawatan An. J di rumah dengan implementasi dan edukasi yang telah diberikan
sebelumnya
C.
DAFTAR PUSTAKA

Arvin, Kliegman Behrman. 2012. Nelson Ilmu Keperawatan Anak ed. 15, alih bahasa

Indonesia, A.Samik Wahab.Jakarta: EGC.

Arief, Sjamsul. 2012. Deteksi dini kolestasis neonatal. Divisi Hepatologi Bagian Ilmu

Kesehatan Anak. FK UNAIR. Surabaya

Prince S. A dan Wilson, Lorraine M. C. 2016. Patologi Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit.Edisi 6.Vol 2. Alih Bahasa Brahm U. EGC: Jakarta.

Sodikin. 2015. Asuhan Keperawatan Anak Gangguan Gastrointestinal dan

Hepatobillier.           Jakarta : Salemba Medika

Lane E, Murray KF, 2017. Neonatal Cholestasis. Seattle. Division of Gastroenterology.

Seattle Children’s Hospital. Pp: 621-635

Mawardi M, Warouw S, Salendu P. 2014. Kolestasis Ekstrahepatik et causa Atresia

Bilier           pada seorang Bayi. Manado. Journal Biomedik Fakultas Kedokteran

Universitas Sam           Ratulangi Manado. Pp: 123-128

Ndraha S. 2013. Kolestasis Intrahepatik. Jakarta. CDK-2017. Volume: 40 no. 8 tahun

2013.           Pp: 567-570

Prasetyo, D. Ermaya Y. 2016. Perbedaan Manifestasi Klinis dan Laboratorium

Kolestasis           Intrahepatal dengan Ekstrahepatal pada Bayi. Bandung. Departemen

Ilmu Kesehatan           Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Volume 48.

No. 1. Pp: 45-49

Anda mungkin juga menyukai